Sebaran Dan Akumulasi Logam Berat Cu Dan Pb Pada Ikhtiofauna Di Sungai Musi Bagian Hilir Provinsi Sumatera Selatan

SEBARAN DAN AKUMULASI LOGAM BERAT (Cu DAN Pb)
PADA IKHTIOFAUNA DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR
PROVINSI SUMATERA SELATAN

WIKE AYU EKA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul “Sebaran dan
Akumulasi Logam Berat (Cu dan Pb) pada Ikhtiofauna di Sungai Musi Bagian
Hilir Provinsi Sumatera Selatan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Wike Ayu Eka Putri
NIM C561110011

RINGKASAN
WIKE AYU EKA PUTRI. Sebaran dan Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb pada
Ikhtiofauna di Sungai Musi bagian Hilir Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing
oleh DIETRIECH G. BENGEN, TRI PRARTONO dan ETTY RIANI.
Sungai Musi merupakan satu dari sekian banyak sungai besar yang terdapat
di Pulau Sumatera. Membentang sejauh kurang lebih 720 km, memiliki hulu di
Provinsi Bengkulu dan bermuara ke Selat Bangka yang terdapat di Provinsi
Sumatera Selatan. Kawasan hilir Sungai Musi telah banyak menerima masukan
limbah akibat aktivitas manusia mulai dari hulu hingga hilir berupa pertanian,
perkebunan, industri, transportasi dan pelabuhan. Kondisi ini dapat meningkatkan
konsentrasi beberapa komponen kimia di perairan termasuk logam berat. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan telah adanya
akumulasi logam tertentu di perairan dan terhadap organisme yang hidup di
daerah tersebut. Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yaitu : (1) menentukan
sebaran logam berat Cu dan Pb dalam air dan sedimen di Sungai Musi bagian

hilir; (2) mengungkap keberadaan kandungan logam berat Cu dan Pb yang
terakumulasi di dalam jaringan organisme (plankton dan ikan) di Sungai Musi
bagian hilir serta kajian bioakumulasi pada setiap organ dan jenis ikan dan (3)
menjelaskan pengaruh logam berat terhadap kerusakan organ ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cu (0,0020,006 mg/l) dan Pb (0,002-0,004 mg/l) dalam fase terlarut telah melebihi
konsentrasi alamilnya di perairan. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh faktor
alam seperti proses pelapukan tanah dan batuan yang terdapat di bagian hulu
sungai. Selain itu, aktivitas manusia yang beragam di sepanjang aliran sungai dari
hulu hingga hilir seperti pertanian, perkebunan, industri, transportasi, pemukiman
dan pelabuhan serta lain sebagainya diduga juga berkontribusi terhadap
peningkatan kandungan Cu dan Pb di perairan. Secara umum terlihat bahwa
konsentrasi logam Cu terlarut lebih tinggi dibandingkan Pb. Sebaliknya,
konsentrasi logam Pb (31,56-89,52 mg/kg) dalam bentuk tersuspensi ditemukan
lebih tinggi dibandingkan Cu (5,65-15,17 mg/kg). Hal ini diduga karena adanya
perbedaan daya larut diantara kedua jenis logam tersebut. Akumulasi logam Cu
(6,14-15,28 mg/kg) dan Pb (5,79- 11,1 mg/kg) juga ditemukan di dalam sedimen
di sepanjang aliran Sungai Musi bagian hilir. Logam Cu dan Pb juga ditemukan
terakumulasi dalam organisme yang hidup di Sungai Musi bagian hilir.
Akumulasi logam Cu (1,82-3,70 mg/kg) dan Pb (1,01-2,87 mg/kg) ditemukan
pada organisme plankton yang hidup di daerah tersebut. Selanjutnya terdapat

variasi akumulasi logam Cu dan Pb dalam setiap jenis dan organ ikan. Akumulasi
logam dalam organ ikan berturut-turut terdapat pada hati>insang>daging. Organ
hati mengakumulasi Cu (1,958-7,239 mg/kg) dan Pb (0,329-0,996 mg/kg) lebih
tinggi dibandingkan daging (0,171-0,292 mg/kg Cu dan 0,157-0,204 mg/kg Pb)
dan insang (0,807-1,158 mg/kg Cu dan 0,202-0,328 mg/kg Pb). Selain itu,
konsentrasi Cu dan Pb juga bervariasi diantara keempat jenis ikan yang diamati.
Insang dan hati ikan belanak (Mugil chepalus) mengakumulasi Cu lebih besar
dibandingkan ikan jenis lainnya, berturut-turut 1,26 mg/kg dan 8,42 mg/kg. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan kebiasaan makan,
habitat dan lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi akumulasi yang terjadi.

Terdapat variasi nilai faktor bioakumulasi antar jenis ikan dan organ yang
diamati. Ikan belanak memiliki kemampuan akumulasi logam Cu lebih tinggi
dibandingkan ikan juaro, seluang dan sembilang. Kemampuan daging ikan
belanak mengakumulasi logam Cu 123 kali lebih tinggi dibandingkan kandungan
logam tersebut di perairan, insang 524 kali dan hati 3051 kali. Untuk logam Pb,
daging dan insang ikan juaro memiliki kemampuan akumulasi Pb yang lebih
tinggi dibandingkan ikan lainnya. Daging ikan juaro mampu mengakumulasi Pb
83 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya di air, adapun insang 158 kali
sementara hati ikan seluang mampu mengakumulasi logam Pb 481 kali lebih

tinggi dibandingkan konsentrasinya di perairan. Berdasarkan ambang batas yang
ditetapkan oleh beberapa negara dan lembaga, dapat disimpulkan bahwa logam Pb
dan Cu dalam semua organ dan jenis ikan belum tergolong ke dalam kriteria
akumulatif (BAF ≤ 5000 l/kg). Meskipun demikian, akumulasi logam Cu pada
hati ikan belanak dan seluang perlu diwaspadai karena lebih tinggi dibandingkan
organ lainnya. Demikian juga halnya dengan plankton, secara umum terlihat
bahwa plankton yang hidup di daerah Sungai Musi mampu mengakumulasi logam
Cu dan Pb masing-masing sebanyak 741 kali dan 795 kali lebih tinggi
dibandingkan keberadaannya di dalam air. Sementara plankton yang terdapat di
Muara Sungai Musi memiliki kemampuan mengakumulasi Cu dan Pb masingmasing sebanyak 698 dan 603 kali lebih tinggi dibandingkan ketersediaan logam
tersebut di perairan.
Hasil pengamatan terhadap jaringan organ insang semua jenis ikan
menunjukkan bahwa lamela primer semua jenis ikan berada dalam kondisi normal.
Jaringan kartilago sebagian nampak utuh namun pada ikan belanak telah
mengalami kerusakan. Lamela sekunder tampak mengalami penambahan sel
(hyperplasia epitel) sehingga ujung lamela sekunder lebih tebal. Beberapa
penyebab utama meningkatnya jumlah sel dalam jaringan adalah iritasi kronis
oleh logam dan infeksi beberapa jenis virus. Selanjutnya insang ikan belanak dan
sembilang mengalami hiperplasia yang lebih parah dibandingkan ikan jenis
lainnya bahkan sudah mengarah ke kondisi fusi. Pengamatan terhadap organ hati

menunjukkan umumnya sel hati semua jenis ikan mengalami pembengkakan sel
hati (edema). Kerusakan paling parah terjadi pada hati ikan belanak, inti sel
mengalami kerusakan bahkan telah dikeilingi oleh sel radang. Akumululasi Cu
dan Pb yang lebih tinggi dalam kedua organ ini berkontribusi terhadap kerusakan
yang terjadi.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan
konsentrasi logam berat Cu dan Pb di Sungai Musi bagian hilir mengakibatkan
terjadinya akumulasi kedua jenis logam tersebut di dalam organ insang, hati dan
daging empat jenis ikan konsumsi yang hidup di perairan tersebut. Akumulasi
logam Cu dan Pb yang tinggi di dalam organ hati dan insang berkontribusi
terhadap kerusakan jaringan organ insang dan hati yang ditandai dengan adanya
hiperplasia dan fusi pada insang serta adanya edema pada jaringan organ hati.
Kata kunci: logam Cu dan Pb, akumulasi, Sungai Musi bagian hilir, plankton, ikan

SUMMARY
WIKE AYU EKA PUTRI. The Distribution and Accumulation of Heavy Metals
Cu and Pb on Ichthyofauna at Musi River Downstream, South Sumatra.
Supervised by DIETRIECH G. BENGEN, TRI PRARTONO and ETTY RIANI.
Musi River is one of many great rivers in Sumatera. It has more extents over
720 km which is upstream in the Province of Bengkulu and ends into Bangka

Strait, which is in the province of South Sumatra. Musi River downstream region
has received a lot of waste and pollutant due to human activities such as
agriculture, plantation, industrial, transportation and ports. This condition might
increases the concentration of some chemical components in the water including
heavy metals. This theory is supported by several previous studies which have
indicated that some heavy metals were found and accumulated in water and
several organisms live there. The study had three main objectives: (1) to
determine the distribution of Cu and Pb in the waters and in the sediment of Musi
River downstream; (2) to reveal the presence and accumulation of Cu and Pb in
the tissues of organisms (plankton and fish), to analyze the bioaccumulation in
every fish species and fish organs and (3) to explain the damaging effect of heavy
metals on fish organs.
The results were shown that dissolved phase of Cu (0.002-0.006 mg/l) and
Pb (0.002-0.004 mg/l) have exceeded their natural concentration in the waters. It
might caused by natural factors such as soil and rock weathering processes at the
upstream of the river. In addition, human activities at upstream and downstream
river (agriculture, plantation, industrial, transportation, residential and ports as
well as others) also contribute to increasing the concentration of Cu and Pb
component in the waters. It was widely perceived that the concentration of
dissolved Cu is higher than Pb. On the contrary, the concentrations of Pb

suspension (31.56-89.52 mg/kg) were found to be higher than Cu (5.65 to 15.17
mg/kg). This was presumably due to the differences in solubility between these
two types of heavy metal. The accumulation of Cu (6.14-15.28 mg/kg) and Pb
(5,79-11.1 mg/kg) were also found in the sediments of Musi River downstream.
Cu and Pb were also found have accumulated in organisms living there. Cu (1.823.70 mg/kg) and Pb (1.01-2.87 mg/kg) were found have accumulated in
planktonic organisms. Furthermore, there are variations of Cu and Pb
accumulation in every type of fish and in their organs. The accumulation of heavy
metal were highest found in liver and followed by gill and muscle respectively.
The accumulation of Cu in liver was between 1.958-7.239 mg/kg and Pb 0.329 to
0.996 mg/kg, which was higher than muscle (0.171-0.292 mg/kg Cu and 0.1570.204 mg/kg Pb) and gill (0.807-1.158 mg/kg Cu and 0.202-0.328 mg/kg Pb). In
addition, Cu and Pb have varied concentration were observed among the four
types of fish. The gill and the liver of Mugil chepalus was accumulated more Cu
compared to other types of fish, these were consecutively 1.26 mg/kg and 8.42
mg/kg. There are several factors which causing the higher accumulation, such as
the differences of food habits and their living environments.
There are variations in bioaccumulation factor between for types of fishes
and organs were observed. M. chepalus can accumulate Cu more than Pangasius

polyuronodon, Rasbora sp and Paraloptosus albilabris. Muscles of M. chepalus
had an ability to accumulate Cu 123 times, gills had 524 times and liver had 3051

times higher than the concentration of Cu in waters. The muscle and the gills of P.
polyuronodon were able to accumulate Pb in higher concentration than other fish.
The muscles of P. polyuronodon were able to accumulate Pb 83 times and the
gills had 158 times higher than the concentration in the waters. The gills and the
livers of Rasbora sp had an ability to accumulate Pb 481 times higher than the
concentration in the waters. Based on the threshold has been determined by some
countries and institutions, it can be concluded that the heavy metals Cu and Pb in
all organs and types of fishes did not belong to the accumulative criteria (BAF ≤
5000 l / kg). Nevertheless, the accumulation of Cu in the liver of M. chepalus and
P. polyuronodon must be observed carefully because it was higher than other
fishes and organs. Similarly with plankton, it is generally seen which the plankton
living in Musi River downstream can accumulate Cu and Pb respectively 741
times and 795 times higher than the concentration in the waters. While plankton
that live in the estuary of Musi River can accumulate Cu and Pb 698 and 603
times higher than their availability in the water.
The observation of the gill tissues on all kinds of fishes indicated that the
primary lamella are in normal condition. Partially, the cartilage tissue in M.
chepalus has been damaged. Secondary lamela seems had an addition of cells
(epithelial hyperplasia) which thicker in the end of secondary. The main causes of
increasing number of cells in tissue were a chronic irritation by heavy metals and

some types of viral infections. Further, the gills of M. chepalus and P. albilabris
had severe hyperplasia than other types of fish which have been led to fusion
conditions. Generally, the observation of livers showed liver cell swelling (edema)
on all kinds of fishes. The most severe damage that occurred inside the M.
Chepalus liver; focal necrosis arose and inflammatory cells surrounded the liver.
Cu and Pb accumulation were higher in both organs have ccontributed to the
damage.
The conclusion can be drawn that increases of heavy metals Cu and Pb in
the Musi River downstream can affects to the accumulation in gill, liver and
muscle of four types consumption fishes. The higher accumulation of Cu and Pb
in liver and gill was contributed and affected to organ damage which is indicated
by hyperplasia and fusion in the gills and an edema in liver tissues.
Keywords : Cu and Pb, accumulation, downstream of the Musi River, plankton,
fish

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SEBARAN DAN AKUMULASI LOGAM BERAT (Cu DAN Pb)
PADA IKHTIOFAUNA DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR
PROVINSI SUMATERA SELATAN

WIKE AYU EKA PUTRI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
Prof. Hilda Zulkifli, MSi, DEA

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
Prof. Hilda Zulkifli, MSi, DEA

PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamiin. Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa
ta’ala, Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan, atas segala rahmat, karunia dan kasihNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian bertemakan
pencemaran ini berjudul Sebaran dan Akumulasi Logam Berat (Cu dan Pb) pada
Ikhtiofauna di Sungai Musi Bagian Hilir Provinsi Sumatera Selatan telah
dilaksanakan sepanjang bulan Maret 2014-Mei 2015.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir.
Dietriech G. Bengen, DEA, Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, MSc dan Ibu Dr. Ir. Etty
Riani, MS yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis. Kepada
bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Ibu Prof. Hilda Zulkifli, MSi, DEA
selaku penguji luar komisi, terimakasih atas masukan dan saran yang sangat
bermanfaat. Ibu Dr. Ir Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan
Mba Ani. Terimakasih kepada kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan
FMIPA-UNSRI, rekan sejawat di kampus kelautan UNSRI serta mahasiswa yang
telah membantu selama penelitian. Tidak lupa terimakasih kepada
Kemenristekdikti, sebagian dari penelitian ini dibiayai dari dana penelitian Hibah
Bersaing tahun 2015-2017. Terimakasih kepada Anna Ida Sunaryo Purwiyanto
selaku rekan satu tim, atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Lestari, Bapak Abdul Rozak
dan Bapak Taufik Kaisupy dari P2O LIPI yang telah membantu analisa sampel
logam berat di laboratorium. Ibu Dr. Muharni dan Mba Wiwiek di LDB UNSRI,
Mba Nani di Program Pascasarjana UNSRI, Miftahussalam dan Dewi serta mas
Aris di Lab. Bima MSP, drh. Mawar Subangkit MSi, drh. Joni Saputra dan mas
Arbi, terimakasih atas bantuannya selama ini. Kepada teman-teman di PS. IKLIPB (Mba Riris, Iwan, Mutia, Khalid, Pak Tumpak, Mas Muhaimin UNILA, bang
Udin serta bang Rozirwan), Mba Lilik di UNDIP dan Baharuddin di UNLAM, Ni
Vivi serta kak Rosa, terimakasih banyak untuk diskusi dan bantuan petanya.
Ungkapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada kedua orang tua
terkasih (Bapak Drs. Arwis Suin dan Ibu Yusnawati), suami tercinta Ferry
Arisandy dan anak-anak yang senantiasa menjadi penyemangat menyelesaikan
studi ini, Faiq Aghra Firjatullah dan Fairuzia Azzura Radinka. Tidak lupa kepada
bapak dan ibu mertua (Bapak Fauzi Dt. Bungsu dan Ibu Baridah), adik-adik yang
selalu bisa diandalkan dalam kondisi apapun (Haris Bayu Vani serta keluarga dan
Tito Trio Putra serta keluarga). Kepada seluruh keluarga besar di Solok dan Bukit
Tinggi, terimakasih atas semua doa, kasih sayang dan bantuan serta dukungannya
selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Wike Ayu Eka Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan

1
1
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

3 DISTRIBUSI LOGAM BERAT Cu DAN Pb DI SUNGAI MUSI BAGIAN
HILIR
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

18
18
21
31

4 LOGAM BERAT Cu DAN Pb DALAM PLANKTON DAN IKAN DI
SUNGAI MUSI BAGIN HILIR
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

32
33
35
46

5 KONDISI HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG DAN HATI EMPAT JENIS
IKAN DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR
Pendahuluan
47
Metode Penelitian
48
Hasil dan Pembahasan
50
Simpulan
55
6 PEMBAHASAN UMUM

56

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

62
62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Sumber dan jenis polutan di Sungai Musi bagian hilir
Konsentrasi rata-rata parameter fisika kimia di lokasi penelitian
Faktor bioakumulasi Cu pada semua organ dan jenis ikan
Faktor bioakumulasi Cu pada semua organ dan jenis ikan
Faktor bioakumulasi Cu dan Pb pada plankton
Ambang batas logam berat dalam makanan di beberapa negara (mg/kg
bb)

11
22
44
44
45
60

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kerangka fikir penelitian
Zonasi Sungai Musi dari hulu hingga hilir (Kompas 2010)
Jaring-jaring makanan di estuaria
Lokasi stasiun penelitian
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb terlarut selama penelitian
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb tersuspensi selama penelitian
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb sedimen selama penelitian
Analisis komponen utama logam berat Cu dan Pb di lokasi penelitian
Lokasi stasiun penelitian
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb dalam plankton
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb dalam ikan
Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb dalam masing-masing organ ikan
Lokasi stasiun penelitian
Struktur histopatologi insang ikan yang ditemukan selama penelitian
Struktur histopatologi insang normal
Struktur histopatologi hati ikan yang ditemukan selama penelitian
Struktur histopatologi hati normal

5
7
13
19
25
27
28
31
33
36
38
41
48
51
51
53
54

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Posisi koordinat stasiun penelitian
Hasil pengukuran kualitas air setiap pengambilan sampel
Hasil pengukuran logam Cu dan Pb selama penelitian
Tabel test of equality of group means terhadap semua jenis ikan
Tabel test of equality of group means dari hasil analisa diskriminan
terhadap ikan yang hidup di sungai (pelagis-demersal)
Tabel test of equality of group means dari hasil analisa diskriminan
terhadap ikan yang hidup di muara (pelagis-demersal)
Tabel test of equality of group means dari hasil analisa diskriminan
terhadap ikan pelagis (muara-sungai)
Tabel test of equality of group means dari hasil analisa diskriminan
terhadap ikan demersal (muara-sungai)
Konsentrasi rata-rata logam dalam organ ikan dan kolom air
sebagai dasar perhitungan faktor bioakumulasi
Gambar ikan yang menjadi objek penelitian
Peta penggunaan lahan Provinsi Sumatera Selatan

73
74
76
78
79
80
81
82
83
84
85

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Estuaria merupakan ekosistem peralihan antara air tawar dan air laut.
Pengaruh air laut saat pasang terhadap badan sungai dapat dilihat dari salinitas
yang bervariasi pada lapisan kedalaman. Demikian juga pengaruh air sungai saat
surut terhadap perairan laut yang menyebabkan salinitas di muara sungai menjadi
lebih rendah dibandingkan salinitas laut pada umumnya. Ekosistem estuaria
merupakan ekosistem produktif dan memiliki peranan ekologis penting bagi
organisme yang hidup di dalamnya. Produktivitas hayati estuaria setara dengan
produktivitas hayati hutan hujan tropis dan ekosistem terumbu karang. Peran
ekologis penting estuaria antara lain sebagai sumber zat hara dan bahan organik
yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat
bagi sejumlah organisme, sebagai tempat berlindung dan mencari makanan
(feeding ground), tempat untuk bereproduksi dan tumbuh besar (nursery ground)
terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.
Salah satu ekosistem estuaria yang terdapat di pesisir timur Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan adalah Muara Sungai Musi. Selain sebagai
habitat berbagai jenis biota yang bernilai ekonomis, kawasan ini juga
dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan dan jalur pelayaran kapal
penumpang dan barang tujuan Pulau Bangka. Beberapa anak sungai bermuara ke
daerah ini, dua diantaranya yang cukup besar adalah Sungai Musi dan Sungai
Telang. Sungai Musi adalah satu dari beberapa sungai yang terdapat di Provinsi
Sumatera Selatan dengan panjang mencapai ± 750 km dan debit air bervariasi
antara 2.700 m3/detik pada musim kemarau dan mencapai 4000 m3/detik pada
musim hujan. Pada aliran utama Sungai Musi, bermuara sembilan buah anak
sungai besar yang sering disebut Batang Hari Sembilan yaitu Sungai Kelingi,
Sungai Kikim, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Semangus, Sungai
Batanghari Leko, Sungai Lematang, Sungai Ogan dan Sungai Komering yang
tersebar di beberapa kabupaten (BRPPU 2010).
Sungai Musi bagian hulu berarus deras yang terdapat di kaki gunung dan
bagian hilir merupakan dataran rendah yang dipengaruhi oleh kondisi pasang
surut yaitu daerah muara yang berbatasan dengan Selat Bangka. Aliran air Sungai
Musi melewati bermacam fungsi dan tata guna lahan mulai dari kegiatan pertanian,
hutan lindung, perkebunan, pemukiman, transportasi, kawasan industri,
pertambangan (stockpile batu bara) dan hutan mangrove di bagian hilirnya (BPS
Provinsi Sumatera Selatan 2012). Sungai Musi telah lama menjadi daerah alur
pelayaran yang dipadati dengan aktivitas transportasi seperti tongkang pengangkut
batu bara dan kayu, kapal feri, kapal penumpang serta kapal bermuatan barangbarang kebutuhan sehari-hari. Selain itu, aktifitas perikanan oleh nelayan setempat
juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan yang ada di sekitar
Sungai Musi bagian hilir. Beragam aktifitas tersebut diperkirakan dapat
mempengaruhi penurunan kualitas perairan dan mengancam kehidupan organisme
di kawasan tersebut. Penurunan kualitas lingkungan dapat disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi beberapa komponen kimia di perairan diantaranya adalah
logam berat. Saat ini tercatat sekitar 20 industri yang berlokasi di sepanjang aliran
Sungai Musi diantaranya industri pupuk, keramik, dok kapal, detergen, minyak,

2
gas, cold storage, electroplating, industri minuman ringan, pengilangan minyak,
pengolahan karet alam, kayu lapis dan lain-lain. Sebagian besar industri tersebut
diketahui belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang optimal
dengan kata lain kualitas buangan limbah padat dan limbah cair tergolong belum
baik. Kondisi ini berpotensi memberikan kontribusi beban buangan di Sungai
Musi (Bapedalda Provinsi Sumatera Selatan 2006). Selain itu, aktivitas bongkar
muat batu bara, pelabuhan dan transportasi air juga diperkirakan dapat
berkontribusi terhadap peningkatan beberapa jenis logam di kolom perairan.
Penumpukan batu bara di sekitar pelabuhan dapat meningkatkan masukan logam
berat baik melalui deposisi partikel debu maupun melalui air limpasan atau air
lindi dari tumpukan batu bara. Demikian juga dengan aktifitas transportasi dan
pelabuhan yang menghasilkan ceceran bahan bakar dari mesin serta pencucian
kapal juga berkontribusi terhadap pencemaran logam berat di perairan.
Pencemaran logam berat di lingkungan pesisir telah menjadi fenomena
global karena sifat toksik dan keberadaan logam yang stabil (persisten) serta
diikuti oleh proses bioakumulasi dan biomagnifikasi pada rantai makanan.
Kemampuan biota mengakumulasi zat dari mediumnya dinyatakan dengan faktor
bioakumulasi, yaitu perbandingan kandungan zat dalam biota terhadap kandungan
zat dalam mediumnya. Akumulasi logam pada hewan dihasilkan melalui proses
pengambilan (uptake) logam terlarut dari media air serta melalui makanan
(Reinfelder et al. 1998; Garnier-Laplace et al. 2000; Besser et al. 2001). Adapun
proses masuknya logam berat ke dalam tubuh organisme dapat melalui
penyerapan secara langsung melalui insang dan dapat juga melalui mekanisme
transfer dari tingkat tropik paling bawah ke tingkat tropik berikutnya. Logam yang
ditransfer melalui rantai makanan akuatik yang masuk ke dalam tubuh ikan dan
hewan lainnya sangat terkait dengan kesehatan manusia (Farkas et al. 2001; Chen
et al. 2000).
Logam berat merupakan salah satu jenis limbah B3 yang dapat
membahayakan kehidupan organisme di perairan karena bersifat akumulatif
melalui rantai makanan, baik rantai makanan detrivor maupun planktivor.
Akumulasi logam berat pada jaring-jaring makanan dapat terjadi melalui proses
biokonsentrasi dan bioakumulasi dari media sekitarnya seperti air dan sedimen
atau melalui biomagnifikasi dari sumber makanan (Tulonen et al. 2006). Menurut
Unlu and Gumgum (1993) logam berat dapat diserap langsung oleh organisme
dan dapat juga ditransfer dari tropik level paling rendah hingga tropik level paling
tinggi melalui rantai makanan. Akumulasi logam berat yang tinggi pada
komponen-komponen tersebut dapat menyebabkan perubahan ekologis yang
serius (Veena et al. 1997; Tulonen et al. 2006). Diantara dampak serius
keberadaan logam berat yang persisten di perairan adalah biomagnifikasi logam
berat di dalam rantai makanan, perubahan struktur komunitas perairan, jaringjaring makanan, tingkah laku, efek fisiologis, genetika dan resistensi. Pemantauan
logam berat yang meliputi pengukuran di kolom air dan sedimen belum
menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Informasi tentang kondisi organisme
(biomonitoring) yang hidup di lingkungan perairan dibutuhkan agar diperoleh
gambaran nyata kondisi lingkungan sebenarnya. Monitoring pada organisme
hidup atau dikenal dengan bioindikator merupakan penggunaan jenis organisme
tertentu yang dapat mengakumulasi bahan-bahan pencemar yang ada di air
sebagai media hidupnya, sehingga mewakili keadaan yang sebenarnya.

3
Perumusan Masalah
Intensifikasi dan ekstensifikasi industri, aktivitas pelabuhan, transportasi
dan pemukiman di kawasan Kota Palembang telah memberikan dampak
lingkungan hingga ke daerah muara Sungai Musi. Muara sungai dan laut memiliki
kapasitas terbatas dalam menerima beban pencemar yang masuk. Kelebihan
pasokan beban pencemar yang masuk dibandingkan dengan kapasitas dan daya
dukung lingkungan yang dimiliki dapat berdampak buruk bagi organisme yang
hidup di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, salah satu bahan
pencemar di Sungai Musi bagian hilir adalah logam berat yang terkonsentrasi
pada air, sedimen dan biota yang hidup disana. Birmansyah (2008) menemukan
kandungan logam berat Pb dalam fraksi sedimen di sepanjang aliran Sungai Musi
bagian hilir berkisar antara 0,0196-0,3097 µg/g (April) dan 0,03630-1,747 µg/g
(Juli). Selain itu, logam Pb terkonsentrasi lebih tinggi pada daerah-daerah industri,
transportasi dan sarana pelabuhan yaitu di sekitar Jembatan Ampera dan Pusri.
Selain itu, hasil penelitian Aryawati dan Agustriani (2004) menemukan sampel
kerang darah Anadara granosa Linnaeus yang berasal dari perairan pesisir timur
Sumatera Selatan mengandung Cu dan Zn walaupun konsentrasinya masih di
bawah ambang batas yang diperbolehkan dalam makanan laut yaitu berkisar 0,387
–28,621 ppm. Selanjutnya, hasil penelitian Purwiyanto dan Lestari (2012) juga
menunjukkan bahwa konsentrasi Pb dan Cu di kolom air dan sedimen pesisir
timur Muara Sungai Banyuasin telah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh
KepMenLH No. 51 tahun 2004. Selain itu juga ditemukan adanya kandungan Pb
dan Cu pada daging kepiting Scylla serrata yang dikonsumsi oleh manusia.
Khusus logam berat Fe dan Mn, konsentrasi yang tinggi juga ditemukan di dalam
sedimen di sekitar Muara Sungai Banyuasin.
Penelitian tentang pergerakan atau “fate” logam berat di perairan telah
banyak dilakukan terutama di perairan tawar namun masih ada beberapa informasi
yang belum diketahui dengan baik. Sebagian besar studi tersebut hanya terbatas
pada satu jenis logam atau mekanisme transfer yang diamati masih pada sebagian
kecil dari komponen jaring-jaring makanan. Hal ini membuat kesulitan dalam
membandingkan proses transfer pada logam jenis lain. Kesulitan lain yang dialami
adalah generalisasi hasil penelitian atau temuan di setiap sistem yang ada serta
kesulitan dalam memprediksi pergerakan logam di dalam rantai makanan.
Hingga saat ini belum tersedia informasi tentang bagaimana mekanisme
atau alur kontaminasi logam Cu dan Pb di Sungai Musi bagian hilir yang dapat
menerangkan adanya transfer logam berat melalui tingkat trofik dan dampaknya
bagi organisme terutama ikan. Sebagai contoh : seberapa besar konsentrasi dan
akumulasi logam Cu dan Pb dalam komponen perairan?; apakah ikan-ikan
konsumsi di daerah tersebut telah terkontaminasi logam berat dan bagaimana
dampak logam berat tersebut terhadap jaringan ikan?. Informasi-informasi ini
sangat penting untuk dijadikan bahan evaluasi terkait dengan dampak aktivitas
pembangunan di sepanjang aliran Sungai Musi terhadap ekosistem perairan. Oleh
karena itu dibutuhkan penelitian tersendiri tentang bagaimana kondisi dan
akumulasi logam berat Cu dan Pb di Sungai Musi bagian hilir sehingga informasi
yang diperoleh menggambarkan kondisi wilayah tersebut yang sebenarnya.
Kajian tentang logam berat Cu dan Pb secara menyeluruh pada setiap tropik
level sangat sulit dilakukan disebabkan banyaknya komponen organisme yang

4
terlibat di dalamnya apalagi penelitian dilakukan di alam. Penelitian ini
difokuskan pada akumulasi logam berat Cu dan Pb dalam organisme plankton dan
empat jenis ikan konsumsi yang terdapat di Sungai Musi bagian hilir (Gambar 1)
serta dampak yang ditimbulkan terhadap organisme.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengungkap lebih lanjut
bagaimana pengaruh logam berat (Pb dan Cu) terhadap komponen rantai makanan
di Muara Sungai Musi. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan sebaran logam berat Cu dan Pb dalam air dan sedimen di
Sungai Musi bagian hilir
2. Mengungkap keberadaan logam berat Cu dan Pb yang terakumulasi di
dalam jaringan organisme (plankton dan ikan) di Sungai Musi bagian
hilir serta kajian bioakumulasi pada setiap organ dan jenis ikan
3. Menjelaskan pengaruh logam berat terhadap kerusakan organ ikan
(histopatologi)
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan informasi tentang kondisi lingkungan Sungai Musi
bagian hilir khususnya logam berat,
2. Mendapatkan informasi tentang dampak yang telah ditimbulkan oleh
kegiatan pertarnian, perkebunan, industri, pelabuhan dan transportasi
terhadap kualitas kehidupan organisme di Sungai Musi.
3. Mendapatkan informasi dasar tentang upaya pencegahan bahaya
lingkungan akibat kontaminasi logam berat
4. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan guna antisipasi degradasi lingkungan.
Kebaharuan
Kebaharuan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa di daerah
muara, akumulasi logam berat Cu pada ikan pelagis lebih tinggi dibandingkan
ikan demersal. Selanjutnya, akumulasi logam berat Cu pada ikan demersal yang
hidup di muara lebih tinggi dibandingkan yang hidup di sungai.

5

Gambar 1 Kerangka fikir penelitian

6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sekilas tentang Sungai Musi
Sungai Musi adalah sungai terpanjang di Provinsi Sumatera Selatan yang
membentang melewati dua provinsi yaitu Bengkulu dan Sumatera Selatan. Pada
aliran utama Sunga Musi bermuara sembilan buah anak sungai besar yang sering
disebut Batang Hari Sembilan yaitu Sungai Kelingi, Sungai Kikim, Sungai
Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Semangus, Sungai Batanghari Leko, Sungai
Lematang, Sungai Ogan dan Sungai Komering yang tersebar di beberapa
kabupaten (BRPPU 2010).
Badan utama Sungai Musi dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu Musi
bagian hulu, Musi bagian tengah dan Musi bagian hilir. Bagian hulu bersumber
dari sumber mata air yang terdapat di Provinsi Bengkulu hingga ke Muara Kelingi,
bagian tengah dimulai dari Muara Kelingi hingga Tebing Abang dan bagian hilir
dari Tebing Abang hingga Muara Sungai Musi (BRPPU 2010). Berikut penjelasan
tentang karakteristik dan tata guna lahan tiga bagian utama Sungai Musi.
1. Zona bagian hulu (Up Stream)
Zona musi bagian hulu dimulai dari Desa Tabarena di Kabupaten Rejang
Lebong Provinsi Bengkulu dengan ketinggian ± 600 meter di atas permukaan laut.
Sungai Musi bagian hulu memiliki ciri sungai pegunungan yang berarus deras ,
banyak tebing curam dengan dasar batuan pasir, berkerikil, alur sungai yang
berkelok-kelok serta memiliki hidrografi aliran dengan puncak-puncak yang tajam
sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage). Dasar sungai
merupakan bebatuan dengan kondisi air jernih dan kedalaman 30-80 cm serta
kecepatan arus berkisar 1,0-2,0 meter/detik. Pemanfaatan lahan pada bagian hulu
Sungai Musi umumnya pertanian padi, hortikultura, perkebunan kopi sedangkan
di bagian tepi sungai didominasi oleh usaha perikanan dan pertambangan (pasir
dan batu bara). Batas akhir zona bagian hulu Sungai Musi berada disekitar
Kecamatan Muara Kelingi Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan
dengan ketinggian ±40 meter diatas permukaan laut.
2. Zona bagian tengah (Middle Stream)
Zona Musi bagian tengah dimulai dari Kecamatan Muara Kelingi
Kabupaten Musi Rawas sampai ke Desa Tebing Abang yang terletak di bagian
hilir Kota Sekayu. Zona Musi bagian tengah memiliki ketinggian antara 40-45
meter diatas permukaan laut. Di sekitar badan sungai, banyak terdapat area hutan
rawa yang disebut rawang. Disamping hutan rawa, beberapa jenis perairan lain
yang juga terdapat di zona tengah adalah rawa banjiran, sungai mati (oxbow lake)
dan lebung yaitu cekungan di daerah rawa banjiran serta anak-anak sungai yang
bermuara ke sungai utama. Ciri khas zona ini adalah kualitas dan kuantitas air
yang berasal dari rawa banjiran yang terdapat di kiri-kanan sungai. Selain itu pada
zona ini ditemukan kadar pH dan oksigen yang lebih rendah dibandingkan zona
bagian hulu.

7
3. Zona bagian hilir (Down Stream)
Zona Musi bagian hilir dimulai dari desa Tebing Abang hingga ke Selat
Bangka dekat Desa Sungsang yang beada pada ketinggian 0-15 meter diatas
permukaan laut. Pada daerah yang berdekatan dengan muara, kondisi perairan
sudah dipengaruhi oleh salinitas air laut yang berasal dari Selat Bangka. Saat
musim hujan, kondisi salinitas Sungai Musi di sekitar daerah Makarti (20 km dr
muara) memiliki salinitas ±3 ppt dan pada musim kemarau ±6,5 ppt. Arus di zona
hilir lebih lemah dibandingkan zona hulu dan tengah karena badan sungai berada
di daerah yang sangat landai. Selain itu pengaruh fluktuasi harian pasang dan
surut juga berperan di zona ini. Substrat dasar didominasi oleh lumpur, pasir dan
liat. Tata guna lahan Sungai Musi bagian hilir terutama sekitar Kota Palembang
hingga bagian hilir yaitu sekitar Pulau Borang dan Selat Ajaran banyak dijumpai
industri-industri besar antara lain industri pupuk urea (PUSRI), industri
pengolahan minyak bumi (Pertamina), industri pengolahan karet, industri kayu
lapis, industri pengolahan minyak kelapa sawit dan lain-lain.

Gambar 2 Zonasi Sungai Musi dari hulu hingga hilir (Sumber : Kompas 2010)
Sungai Musi memiliki peran strategis dan bersifat multigunan dalam
mendukung pembangunan perekonomian masyarakat Sumatera Selatan.
Pentingnya peran Sungai Musi tercatat secara historis sejak zaman Kerajaan
Sriwijaya. Saat itu Sungai Musi banyak digunakan sebagai alur pelayaran kapalkapal yang mengangkut hasil bumi menuju pusat-pusat perdagangan baik di
daerah Sumatera Selatan maupun daerah Pulau Sumatera lainnya. Sampai saat ini,
Sungai Musi masih dimanfaatkan dalam berbagai sektor seperti perikanan,
perhubungan, perindustrian, transportasi dan pemukiman (BRPPU 2010). Selain
itu, Sungai Musi mempunyai nilai penting bagi penduduk yang tinggal di sekitar
aliran sungai diantaranya sebagai jalur transportasi dan sumber air untuk
kebutuhan sehari-hari serta kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan sekitar.
Sebagai sumber perikanan, Sungai Musi memiliki kontribusi cukup penting
terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Sebagai contoh, kurang lebih 35-45%
PAD di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan berasal dari hasil lelang

8
lebak lebung (Nasution et al. 1993). Data BRPPU (2010), Sungai Musi
mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Diantara jenis organisme yang
bernilai ekonomis tinggi adalah ikan, krustasea, moluska dan reptil.
Seperti halnya beberapa sungai besar lainnya, aliran air Sungai Musi melalui
beberapa tata guna lahan seperti perkebunan, pertanian, pemukiman, pelabuhan,
industri, pertambangan, perikanan dan lainnya. Sungai Musi termasuk kategori
sungai besar dengan panjang sungai yang dapat dilayari kurang lebih mencapai
700 km (BPS Provinsi Sumatera Selatan 2012). Luas Daerah Aliran Sungai Musi
± 2,5 juta ha yang terdiri atas sungai dan rawa (Manggabarani 2005; Sukadi
2005). Aliran air Sungai Musi melalui beberapa tata guna lahan dan sarat dengan
pemanfaatan dimulai dari hulu hingga bagian hilir. Bagian hulu dan tengah Sungai
Musi pemanfaatan lahan yang ditemukan umumnya adalah pertanian padi,
hortikultura, perkebunan kopi dan coklat serta karet, sedangkan pada bagian
pinggir perairan dijumpai usaha perikanan dan pertambangan seperti
penambangan pasir dan batu bara. Pemanfaatan lahan Sungai Musi bagian hilir
lebih banyak dan bervariasi antara lain pemukiman, kegiatan rumah tangga,
transportasi air dan didominasi oleh kegiatan industri seperti pengilangan minyak,
pabrik pupuk, pengolahan karet alam, kayu lapis dan lain-lain (Husnah et al.
2006; BRPPU 2010).
Logam Berat
Sebagaian besar degradasi kualitas lingkungan diakibatkan oleh ulah
manusia. Salah satu komponen pencemar tersebut adalah logam berat yang dapat
berasal dari kegiatan seperti pertambangan, pertanian, perkotaan, transportasi dan
pembakaran bahan bakar fosil. Pencemaran logam berat di lingkungan pesisir
telah menjadi fenomena global karena sifat toksik dan keberadaan logam yang
stabil (persisten) untuk beberapa dekade, serta proses bioakumulasi dan
biomagnifikasi pada rantai makanan. Logam berat ditransfer menuju ikan,
manusia dan karnivor lainnya melalui rantai makanan akuatik (Chinnaraja et al.
2011).
Logam merupakan zat murni organik dan anorganik yang berasal dari kerak
bumi. Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi ke lapisan
tanah, ke makhluk hidup, ke dalam air selanjutnya mengendap dan akhirnya
kembali ke kerak bumi lagi (Darmono 2006). Logam berat adalah logam dengan
berat jenis lebih besar dari 5 gr/cm3 dan mempunyai nilai atom lebih besar dari 21
dan terletak di bagian tengah daftar periodik (Connel dan Miller 1995). Logam
berat memiliki karakter yang lunak, berkilau, daya hantar panas dan listrik yang
tinggi, bersifat kimiawi sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam (Connel
dan Miller 1995).
Berdasarkan kegunaannya, logam berat dapat dibedakan atas dua golongan
yaitu esensial, golongan yang dalam konsentrasi tertentu berfungsi sebagai
mikronutrien yang bermanfaat bagi kehidupan organisme perairan seperti Zn, Fe,
Cu, Co. Selanjutnya adalah golongan yang sama sekali belum diketahui
manfaatnya bagi organisme perairan (non esensial), seperti Hg, Cd, dan Pb
(Darmono 2006; Chinaraja et al. 2011). Umumnya logam berat non esensial
seperti Cd dan Pb bersifat toksik terhadap organisme hidup meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah sedangkan Zn dan Cu merupakan komponen

9
logam yang yang bersifat esensial dan umumnya bersifat toksik pada konsentrasi
yang tinggi (Darmono 2006; Chinaraja et al. 2011).
Berbagai aktifitas di daratan seringkali limbahnya berakhir di sungai yang
kemudian akan bermuara ke laut, termasuk logam berat. Logam berat yang masuk
ke lingkungan akuatik umumnya berasal dari atmosfir, erosi lapisan permukaan
bumi atau akibat aktivitas antropogenik seperti industri, limbah domestik dan
limbah pertambangan (Forstner and Wittmann 1979; Nriagu 1989; Veena et al.
1997; Tarvainen et al. 1997; Puspitasari 2007). Logam berat umumnya masuk ke
lingkungan perairan akuatik melalui deposisi atmosfir, erosi matriks geologi atau
melalui masukan antropogenik yang disebabkan oleh limbah idustri, limbah
domestik dan limbah pertambangan (Tarvainen et al. 1997). Logam berat dapat
hadir di lingkungan perairan dengan konsentrasi beberapa kali lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi alami di alam dan dapat mencemari sedimen laut di area
sekitar kawasan industri dan pemukiman. Logam berat masuk ke dalam ekosistem
darat dan perairan melalui limbah lumpur, limbah pertambangan, pembuangan
limbah industri, deposisi atmosfer dan penerapan pupuk dan pestisida di lahan
pertanian (Forstner 1995).
Hutagalung (1994) menyatakan bahwa senyawa logam berat banyak
digunakan untuk kegiatan industri sebagai bahan baku, katalisator, biosida
maupun sebagai additive. Limbah yang mengandung logam berat ini akan terbawa
oleh sungai dan umumnya limbah industri merupakan sumber pencemar logam
berat yang potensial bagi pencemaran laut. Logam berat tergolong dalam kategori
komponen pencemar lingkungan karena efek racun pada tanaman, manusia dan
makanan. Beberapa logam berat seperti arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb),
merkuri (Hg) bersifat akumulatif, keberadaannya persisten atau stabil,
terakumulasi dan tidak dapat dimetabolisme serta tidak mudah terurai di
lingkungan.
Kandungan logam berat di suatu perairan yang tinggi dapat menyebabkan
kontaminasi atau pencemaran serta akumulasi pada lingkungan seperti biota,
sedimen dan air. Logam berat dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu
akan berubah fungsi menjadi racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun
yang ditimbulkan oleh satu logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama
namun hilangnya sekelompok organisme tertentu dapat menyebabkan terputusnya
satu mata rantai kehidupan. Pada tingkat lanjutan, kondisi ini tentu saja dapat
menghancurkan satu tatanan ekosistem perairan (Palar 2004). Lebih lanjut,
pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,
keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan
ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor
kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk kedalam perairan, sifat
toksisitas dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat menyebabkan
terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku,
efek fisiologis, genetika dan resistensi. Selanjutnya Prabu (2009) menyebutkan
bahwa logam berat yang bersifat racun kemudian masuk ke dalam ekosistem
dapat memicu terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Kontaminasi rantai
makanan oleh logam berat telah menjadi isu hangat pada beberapa tahun terakhir
karena logam tersebut berpotensi terakumulasi di dalam biosistem melalui
pencemaran air, udara dan tanah.

10
Logam berat Cu dan Pb di perairan terdapat dalam bentuk terlarut dan
tersuspensi. Umumnya konsentrasi Pb di dalam air rendah karena daya larutnya
yang juga rendah (Effendi 2003). Hasil penelitian Siahaan (2003) menyebutkan
bahwa kelarutan Pb pada air payau dan air laut kecil jika dibandingkan air tawar.
Hal ini disebabkan anion-anion yang melimpah di air payau dan laut sehingga
terjadi pembentukan PbCl2 dan PbCO3. Ion-ion terlarut seperti Pb42- dan Cl- dalam
air payau dan air laut akan menyebabkan anion-anion bereaksi dengan logam Pb
dan menghasilkan suspensi PbCl2 dan PbSO4 yang kemudian mengendap.
Menurut Trefry and Metz (1985) sekitar 90% timbal berasosiasi dengan sedimen
tersuspensi dan sebagian besarnya merupakan run off dari area pemukiman dan
industri. Di lingkungan perairan, logam bisa berpindah dari air ke sedimen, air ke
biota atau sebaliknya. Perilaku logam di lingkungan sangat dinamik dan
dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia seperti salinitas, pH, suhu dan reaksi redoks.
Logam yang larut dalam air berada dalam bentuk ion, dapat berupa ion-ion bebas
(Pb2+, Cu2+, Zn2+), pasangan ion organik (Cu2(OH)22+ atau Pb(CO3)22-), kompleksi
organik dan ion logam organik (CH3-Hg+) (Palar 2004). Sedangkan keberadaan
logam di sedimen dipengaruhi beberapa proses yaitu sedimentasi dan flokulasi,
presipitasi dan adsorpsi (Matagi et al. 1998), oleh karena proses-proses tersebut
sehingga sedimen umumnya mengakumulasi logam dalam jumlah yang besar
(Che et al. 2003). Menurut Luoma (1983) umumnya logam dalam fase larut
merupakan bentuk yang bioavailable bahkan beberapa studi bioavailabiliitas
logam menunjukkan bahwa organisme akuatik menyerap logam dalam bentuk ion
bebas (free ion) sangat efisien.
Timbal merupakan salah satu jenis logam berat yang memiliki penyebaran
cukup luas di alam terutama diakibatkan oleh aktivitas manusia. Jenis industri
yang banyak menggunakan Pb antara lain industri pipa, cat, senjata dan batere.
Aktivitas lain yang dapat menyumbangkan Pb dalam jumlah besar di perairan
adalah pertambangan minyak bumi dan perkapalan (Moore and Ramamoorthy
1984; Darmono 2006). Sumber timbal di perairan alami berupa batuan kapur dan
dalam bentuk sulfide (gelana) (PbS), Pb karbonat, PbSO4 (Moore 1991; Palar
2004). Selain itu komponen gugus alkyl timbal yang digunakan sebagai bahan
additive bensin, beracun terhadap seluruh aspek kehidupan. Secara alamiah timbal
masuk ke perairan melalui pengkristalan timbal di udara dengan batuan air hujan,
jatuhan debu yang mengandung timbal seperti bahan bakar yang mengandung
timbal tetraetil. Selain itu, erosi dan korosifikasi batuan mineral dan limbah
industri seperti pabrik batrai, amunisi, kawat dan cat juga berkontribusi terhadap
Pb di perairan (Saeni 1989).
Timbal (Pb) merupakan logam berat yang relatif sukar terdegradasi, selain
itu afinitasnya yang cukup besar dengan gugus protein yang terdapat pada
organisme air menyebabkan logam berat tersebut mudah terabsorpsi dan
terakumulasi pada organ tubuh ikan. Peningkatan konsentrasi dan toksisitas Pb di
perairan dipengaruhi oleh pH, kesadahan dan oksigen terlarut. Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa Pb beracun bagi sistem syaraf, hati, darah dan mempengaruhi
kerja ginjal. Keracunan akut Pb pada manusia akan menyebabkan tidak
berfungsinya ginjal, sistem reproduksi, hati, otak dan sistem saraf pusat yang
berakibat pada rasa sakit bahkan kematian (Satya et al. 2011). Saeni (1989)
menyebutkan Pb merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah Hg.
Perbedaannya pada daya racun Hg yang bersifat akut sedangkan Pb bersifat

11
akumulatif. Meskipun demikian limbah pembuangan Pb paling banyak jika
dibandingkan Hg yang paling sedikit diantara logam berat. Umumnya Hg berasal
dari limbah pembuangan penggunaan energi batubara dan minyak bumi yaitu
sebesar 221 ton/tahun, As = 678 ton/tahun, Cd = 256 ton/tahun dan Pb = 2.835
ton/tahun. Hal ini menyebabkan Hg relatif kurang menjadi pusat perhatian bagi
manusia dibandingkan Pb. Dengan demikian timbal menjadi pusat perhatian
manusia tidak hanya karena bahayanya, akan tetapi juga karena pencemarannya
paling tinggi (data untuk seluruh dunia).
Tembaga atau copper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada
perairan alami dan tergolong unsur essensial bagi hewan dan tumbuhan. Pada
tumbuhan termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang
berfungsi dalam transpor elektron pada proses fotosintesis (Boney 1989 dalam
Effendi 2003). Tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan terlarut.
Fase terlarut merupakan Cu2+ bebas dan ikatan kompleks, baik dengan ligan
inorganik (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun organik. Selain dengan ligan OH-, Cu
membentuk ikatan kompleks dengan ligan inorganik lainnya yaitu dengan:
karbonat (CO32-), nitrat (NO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-), sulfida (SH-),
klorida(Cl-) dan ammonia (NH3) yang bersifat basa dengan stabilitas berbeda-beda.
Ikatan Cu–kompleks dengan ammonia dan sulfida tergolong stabil (Sanusi 2006).
Hasil penelitian Birmansyah (2008) menyebutkan bahwa kandungan logam
berat Pb dalam fraksi sedimen disepanjang aliran sungai musi bagian hilir berkisar
antara 0,0196-0,3097 µg/g (April) dan 0,03630-1,747 µg/g (Juli). Konsentrasi Pb
lebih tinggi pada daerah-daerah industri, transportasi dan sarana pelabuhan yaitu
disekitar Jembatan Ampera dan Pusri. Secara umum, sumber dan jenis polutan
Sungai Musi bagian hilir dapat diringkas dalam Tabel 1.
Tabel 1 Sumber dan jenis polutan di Sungai Musi bagian hilir
Kegiatan/Sumber Polutan
Pemukiman/Perkotaan/Perdagangan
Pertanian/Perkebunan/Perikanan
Industri
Pertambangan
Pariwisata
Transportasi
Pembangkit listrik/energi
Kesehatan/rumah sakit

Jenis Polutan
Padatan/sampah, unsur senyawa kimia
beracun/deterjen, mikroorganisme, logam
berat
Senyawa kimia/insektisida, pestisisda,
hara/pupuk, minyak dan lemak
Padatan minyak dan lemak, unsur/senyawa
kimia beracun, suhu panas, logam berat
Padatan unsur/senyawa kimia, radioaktif
Padatan/sampah, cairan/MCK
Padatan minyak dan lemak
Suhu panas radioaktif
Padatan cair, senyawa kimia, radioaktif

Sumber : Bapedalda Propinsi Sumatera Selatan, 2007

Akumulasi Logam Berat dalam