Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

(1)

AKUMULASI LOGAM BERAT Cu DAN Pb PADA

Rhizophora apiculata

TINGKAT PANCANG DAN POHON

SKRIPSI

Oleh :

NOA VIOLEN SIMANGUNSONG 101201119/ Budidaya Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

AKUMULASI LOGAM BERAT Cu DAN Pb PADA

Rhizophora apiculata

TINGKAT PANCANG DAN POHON

SKRIPSI

Oleh :

NOA VIOLEN SIMANGUNSONG 101201119/ Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

Nama : Noa Violen Simangunsong NIM : 101201119

Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Dr. Budi Utomo, S.P, M.P

Ketua Anggota

Mengetahui

Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(4)

ABSTRACT

NOA VIOLEN S. Accumulation of Heavy Metals Cu and Pb on Rhizophora apiculata Stake and Tree Level. Under academic supervision of YUNASFI and BUDI UTOMO.

The excessive utilizations of using mangrove cause wastes heavy metals enter mangrove ecosystem. The purposes of the research is to find and compare the content of heavy metals Cu and Pb in roots, leaves and barks of Rhizophora apiculata stake and tree level and to know the ability of Rhizophora apiculata in accumulating heavy metals. Analysis of heavy metals is done in Laboratory Research, the Faculty of Pharmaceuticals, University of North Sumatera using the Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) method with two stage that is wet destruction and dry destruction.

The results indicate that heavy metals of Cu and Pb in roots, leaves and barks tree level is more bigger than stake level. Based on the Bioconcentration Factor the ability of Rhizophora apiculata in accumulate heavy metals Cu stake and tree level classified high meanwhile the value of BCF Pb classified medium. Keyword : Heavy Metal, Cu, Pb, AAS, Rhizophora apiculata


(5)

ABSTRAK

NOA VIOLEN S. Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophoraapiculata

Tingkat Pancang dan Pohon. Dibawah bimbingan YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove menyebabkan masuknya limbah logam berat ke dalam ekosistem mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun dan kulit Rhizophora apiculata tingkat pancang dan pohon, dan untuk mengetahui kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara menggunakan metode Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) dengan dua tahap yaitu dekstruksi basah dan dekstruksi kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cu dan Pb pada kulit, akar dan daun tingkat pohon lebih besar dibandingkan tingkat pancang. Berdasarkan faktor biokonsentrasi kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi sedangkan nilai BCF Pb tergolong sedang.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 6 Februari 1992 dari ayah M. Simangunsong dan ibu S.M Sianturi. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SD Swasta Methodist 2 Tebing Tinggi. Penulis melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tebing Tinggi tamat tahun 2007. Kemudian melanjut ke SMA Negeri 1 Tebing Tinggi tamat tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis masuk Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN dengan jurusan Kehutanan. Penulis melakukan penelitian dengan judul Akumulasi Logam Berat (Cu dan Pb) Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon. Penulis masuk organisasi HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva) tahun 2010, mengikuti kegiatan P2EH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) tahun 2012 di Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh selama 10 hari. Penulis melakukan PKL (Praktek Kerja Lapang) di Balai

Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada tanggal 4 Februari 2014- 7 Maret 2014.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon” ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Dr. Budi Utomo, S.P, M.P selaku Komisi Pembimbing

yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan kedua saudari (Eva Friska dan Dian Julia) serta teman-teman di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian USU (Yepta, Ria, Ervan, Juneith, Bunga, Soni, Fitri, Sukma, Marisi, Triskin, Gusti, Wika, Riston, Mario, Adrian, tim PKL dll) yang selalu memberi semangat kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca demi kelancaran penelitian ini. Semoga penelitian ini akan memberi manfaat dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove ... 4

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove ... 5

Ciri Umum Rhizophora apiculata ... 8

Pengertian Logam Berat ... 9

Tembaga (Cu)... 11

Timbal (Pb) ... 12

Mekanisme Penyerapan Logam Berat Oleh Mangrove ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

Alat dan Bahan ... 17

Prosedur Penelitian... 17

Pengambilan sampel ... 17

Preparasi sampel akar, daun, kulit batang dan sedimen ... 18

Preparasi sampel air ... 19

Pembuatan larutan standard Cu dan Pb ... 19

Prinsip Kerja Atomic Absorpsion Spectrofotometer (AAS) ... 19

Analisis data ... 20 HASIL DAN PEMBAHASAN


(9)

Hasil

Kondisi Lingkungan Perairan ... 22

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar, Daun dan Kulit batang Rhizophora apiculata... . 22

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen... .. 23

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb ... 23

Pembahasan Kondisi Lingkungan Perairan ... 24

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar Rhizophora .. apiculata ... 26

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Daun Rhizophora . apiculata ... 27

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Kulit batang Rhizophora apiculata ... 28

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen ... 29

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan ... 22 2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam

Akar, Daun dan Kulit Batang Rhizophora apiculata ... 22 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada

Air dan Sedimen ... 23 4. Nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) Cu dan Pb pada Tingkat


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) ... 9 2. Lokasi Pengambilan Sampel dan Peta Lokasi Penelitian ... 16


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Dokumentasi penelitian ... 37 2. KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004 Baku Mutu Air Laut Untuk

Biota Laut ... 41 3. IADC / CEDA Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Logam Berat Dalam

Sedimen ... 43

4. Data Dasar Konsentrasi Logam Berat ... 44 5. Tally Sheet Pengambilan Sampel di Lapangan ... 47


(13)

ABSTRACT

NOA VIOLEN S. Accumulation of Heavy Metals Cu and Pb on Rhizophora apiculata Stake and Tree Level. Under academic supervision of YUNASFI and BUDI UTOMO.

The excessive utilizations of using mangrove cause wastes heavy metals enter mangrove ecosystem. The purposes of the research is to find and compare the content of heavy metals Cu and Pb in roots, leaves and barks of Rhizophora apiculata stake and tree level and to know the ability of Rhizophora apiculata in accumulating heavy metals. Analysis of heavy metals is done in Laboratory Research, the Faculty of Pharmaceuticals, University of North Sumatera using the Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) method with two stage that is wet destruction and dry destruction.

The results indicate that heavy metals of Cu and Pb in roots, leaves and barks tree level is more bigger than stake level. Based on the Bioconcentration Factor the ability of Rhizophora apiculata in accumulate heavy metals Cu stake and tree level classified high meanwhile the value of BCF Pb classified medium. Keyword : Heavy Metal, Cu, Pb, AAS, Rhizophora apiculata


(14)

ABSTRAK

NOA VIOLEN S. Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophoraapiculata

Tingkat Pancang dan Pohon. Dibawah bimbingan YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove menyebabkan masuknya limbah logam berat ke dalam ekosistem mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun dan kulit Rhizophora apiculata tingkat pancang dan pohon, dan untuk mengetahui kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara menggunakan metode Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) dengan dua tahap yaitu dekstruksi basah dan dekstruksi kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cu dan Pb pada kulit, akar dan daun tingkat pohon lebih besar dibandingkan tingkat pancang. Berdasarkan faktor biokonsentrasi kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi sedangkan nilai BCF Pb tergolong sedang.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove di Indonesia saat ini kondisinya sangat mengkhawatirkan akibat tekanan pertambahan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk yang terus bertambah membutuhkan lahan untuk pemukiman dan mencari nafkah. Mangrove sebagai ekosistem pesisir dan dekat dengan pusat-pusat pemukiman penduduk sangat rawan ancaman dan tekanan, sehingga kelestariannya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan (Tomlinson, 1986).

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove, menyebabkan luasan mangrove berkurang dari tahun ke tahun. Kegiatan ini seperti reklamasi pantai, pembukaan lahan untuk pertanian dan perikanan budidaya, industri serta pengembangan perumahan di daerah pesisir. Dampak langsung yang disebabkan oleh kegiatan di atas adalah masuknya limbah ke dalam ekosistem mangrove terutama limbah yang mengandung logam berat. Peningkatan kadar logam berat pada ekosistem mangrove dapat juga berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan minyak, pengolahan limbah tumbuhan serta peningkatan sampah dan aktivitas pertambangan. Konsentrasi logam berat yang tinggi akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas, persistan dan bioakumulasi logam itu sendiri (Lindsey dkk., 2004).

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu perairan dapat menyebabkan kehidupan organism mengalami defisiensi,namun bila unsure logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat racun. Sifat–sifat logam berat yaitu sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan


(16)

perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan), mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Selain itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu (Sutamihardja dkk, 1982).

Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma, dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan.

Mangrove yang tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan terakhir bagi limbah-limbah yang terbawa aliran sungai, terutama jika jumlah limbah yang masuk ke lingkungan estuari melebihi kemampuan pemurnian alami oleh badan air. Penyerapan logam berat oleh akar pohon dipengaruhi sistem perakaran dan luasan permukaan akarnya. Pohon bakau mempunyai tekanan osmosis tinggi dalam cairan selnya, dan karena itu sistem akarnya berdaya absorbsi lebih tinggi daripada larutan tanahnya. Kondisi ini mempermudah tumbuhan untuk menyerap air walaupun pada waktu salinitas air muara itu


(17)

meningkat, potensial osmosis tinggi terjadi karena bertumpuknya zat organik atau akibat garam mineral yang terserap dari medium beragam(Arisandi, 2008).

Jenis Rhizophora apiculata menyerap polutan cukup besar terutama di bagian akar dan batang. Diperkirakan jenis ini mempunyai akar jangkar yang cukup banyak, panjang, dan besar, sehingga kemampuan daya serap logam berat di habitatnya lebih besar dari daya serap sistem perakaran Avicennia marina

(Subiandono dkk, 2013).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengukur dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun dan kulit Rhizophoraapiculata tingkat pancang dan pohon.

2. Mengukur dan membandingkan nilai BCF logam Cu dan Pb

Rhizophoraapiculata tingkat pancang dan pohon.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai akumulasi logam berat Cu dan Pb pada Rhizophora apiculata secara kuantitatif berdasarkan komposisi jenis pancang dan pohon serta sebagai referensi bagi masyarakat untuk menanam mangrove jenis tersebut sebagai akumulator logam berat.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah kandungan logam berat pada tingkat pohon

Rhizophora apiculata lebih tinggi dibandingkan pada tingkat pancang Rhizophora apiculata.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Menurut Macnae (1978), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan air laut.

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili dan 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2001).

Menurut Kusmana dkk (2005) hutan mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang-surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang

berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting dalam mendukung

kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem tersebut. Fungsi hutan mangrove menurut Arief (2003) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu fungsi fisik,


(19)

fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain (wanawisata) seperti dibawah ini. Fungsi fisik: (a) Menjaga garis pantai agar tetap stabil; (b) melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat; (c) Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru; (d) Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar; (e) Mencegah terjadinya erosi pantai. Fungsi kimia: (a) Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen; (b) Sebagai penyerap karbondioksida; (c) Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan. Fungsi biologi: (a) Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan detritus, yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar; (b) Sebagai kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan kerang yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai; (c) Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain; (d) Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik. Fungsi ekonomi: (a) Penghasil kayu; (b) Penghasil bahan baku industri; (c) Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung. Fungsi lain (Wanawisata): (a) Sebagai kawasan wisata alam pantai; (b) Sebagai tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian.

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok sesuai dengan kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan mangrove, yakni:


(20)

1. Flora mangrove mayor, yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dan mengontrol garam. Contohnya adalah: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegialitis, Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora, Phempis, Osbornia, dan Peliciera.

3. Asosiasi mangrove, jenis-jenis ini bukan merupakan anggota komunitas mangrove sejati dan tumbuh pada lingkungan vegetasi darat contohnya adalah

Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dll.

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi

Sonneratia sp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh

Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. Zona transisi antara hutan mangrove


(21)

dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Menurut Supriharyono (2007) beberapa faktor yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu :

1. Gelombang pasang surut, yang menentukan waktu dan tinggi penggenangan suatu lokasi, sehingga menentukan spesies tumbuhan yang tumbuh.

2. Salinitas, yang berkaitan dengan penyebaran tumbuhan mangrove, karena ada beberapa spesies yang tidak tahan pada salinitas yang tinggi.

3. Substrat (bentuk tekstur tanah dan kemantapan), tipe substrat yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt

(debu), clay (liat), dan bahan – bahan organik yang lembut.

4. Suhu, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah tidak kurang dari 200C.

Umumnya mangrove di Indonesia jika diurutkan dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar / jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lunak (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia sp) dan prepat (Sonneratia sp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp).


(22)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lunak (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang ( Bruguiera sp ). 3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya ( Bengen, 2001 ).

Ciri Umum Rhizophora apiculata

Pohon Rhizophora apiculata termasuk kedalam famili Rhizophoraceae.

Dalam bahasa lokal, pohon ini dikenal dengan nama bakau kacang, bakau minyak, bakau kecil dan lain-lain. Pertumbuhan Rhizophora apiculata akan semakin jelek apabila kadar garam dalam air makin rendah. Rhizophora apiculata memiliki ciri yang sangat khas yaitu memiliki tulang daun berwarna merah kecoklatan dan daun meruncing. Buahnya (propagul) termasuk tipe vivipari dimana buah telah berkecambah saat di pohon (Martawijaya dkk.,1989).

Habitusnya berupa pohon, berakar jangkar, daun tebal mengulit, berbintik-bintik hitam pada bagian permukaan bawah, duduk daun berhadapan, bentuk daun


(23)

elips, tunggal, ujung bermukro (ekor), tangkai daun pendek, terdapat stipula di ujung, dan berbentuk tabung; buah berbentuk bulat telur, berwarna coklat, biji vivipar, berkecambah dengan mengeluarkan hipokotil, panjang 15-70 cm (Munawar & Rina, 2010).

Secara ekologis Rhizophora merupakan penyusun vegetasi mangrove muda. Pada tipe vegetasi ini dicirikan oleh satu lapis tajuk hutan yang seragam tingginya dari jenis Rhizophora dan berperan juga sebagai jenis pioner di tempat-tempat yang posisinya terlindung dari hempasan ombak yang kuat, atau berkembang setelah kolonisasi dari jenis Avicennia dan Sonneratia yang kemudian Rhizophora tumbuh diantaranya (Sukardjo, 2002).

Gambar 1. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)

Pengertian Logam Berat

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode III– VII. Faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat


(24)

pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi (Darmono, 1995).

Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe (Moore dan Ramamoorthy, 1984).

Kandungan kelompok anorganik logam di perairan alami sangat rendah (trace element). Kelompok logam berat yang termasuk bersifat esensial adalah Cr, Ni, Cu, Zn dan yang bersifat non esensial adalah As, Cd, Pb, Hg. Elemen yang bersifat esensial dibutuhkan dalam proses kehidupan biota akuatik. Kelompok elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi kehidupan biota akuatik terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam perairan (Sanusi, 2006).

Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984).

Hutagalung (1994) menyatakan selain suhu dan pH, salinitas dan kesadahan juga mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya dengan suhu, toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu. Kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat karena logam


(25)

berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. Logam berat yang terdapat di perairan dapat diketahui melalui media air, sedimen maupun organisme hidup.

Tembaga (Cu)

Tembaga merupakan logam berat yang diperlukan untuk terjadinya proses fisiologis secara normal dalam tubuh makhluk hidup, karena Cu merupakan logam esensial yang diperlukan makhluk hidup terutama dalam perannya sebagai kofaktor enzim (membantu kerja enzim). Bahkan pada tumbuhan seperti alga, Cu dapat berperan sebagai pembawa elektron sebagai baik pada proses fotosintesis maupun pada proses respirasi (Perales, dkk., 2007).

Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa, dan liat yang melebur pada 1038°C. Potensial elektroda standardnya positif (+ 0,34 V), logam ini tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer (Vogel 1994). Logam ini banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas dan zat warna yang biasa dicampur dengan logam lain seperti alloy dengan perak, kadmium, timah putih, dan seng (Merian, 1994).

Tembaga bukan hanya meracuni hewan, tetapi juga bersifat toksik pada tumbuhan (jasad autotrof). Dalam hal ini tembaga dalam jumlah sedikit merupakan unsur yang esensial yang diperlukan oleh tubuh, karena tembaga akan berperan sebagai elemen penting dalam mengatur protein, berpartisipasi dalam transportasi elektron pada proses fotosintesis, membantu proses respirasi pada mitokondria, merespon stress oksidatif yang terjadi pada seluruh tubuh, membantu proses metabolisme pada dinding sel, dan akan membantu kerja hormon (Yruela, 2005).


(26)

Timbal (Pb)

Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada tekanan atmosfer. Timbal mempunyai nomor atom terbesar dari semua unsur yang stabil, yaitu 82 dengan berat atom 207,20 g/mol. Namun logam ini sangat beracun. Seperti halnya merkuri yang juga merupakan logam berat. Timbal adalah logam yang yang dapat merusak sistem syaraf jika terakumulasi dalam jaringan halus dan tulang untuk waktu yang lama. Logam ini sangat resistan (tahan) terhadap korosi, oleh karena itu seringkali dicampur dengan cairan yang bersifat korosif (seperti asam sulfat) (BPLHD Jabar, 2013).

Timbal hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal diperairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi, 2003).

Sifat-sifat timbal berdasarkan Darmono (1995) dan Fardiaz (2005) antara lain:

1. Memiliki titik cair rendah.

2. Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk.


(27)

3. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni.

4. Memiliki densitas yang tinggi dibandingkan logam lain kecuali emas dan merkuri yaitu 11,34 g/cm3.

5. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab.

Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Mangrove

Komunitas mangrove sering kali mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan pertanian. Tumbuhan mangrove ini termasuk jenis tumbuhan air yang mempunyai kemampuan sangat tinggi untuk mengakumulasi logam berat yang berada pada wilayah perairan. Proses absorpsi pada tumbuhan terjadi seperti pada hewan dengan berbagai proses difusi, dan istilah yang digunakan adalah translokasi. Transpor ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler agar dapat didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Menurut Soemirat (2003), menyatakan bahwa proses absorpsi dapat terjadi lewat beberapa bagian tumbuhan, yaitu : 1. Akar, terutama untuk zat anorganik dan zat hidrofilik.

2. Daun bagi zat yang lipofilik. 3. Stomata untuk masukan gas.

Tumbuhan mangrove mampu mengalirkan oksigen melalui akar ke dalam sedimen tanah untuk mengatasi kondisi anaerob pada sedimen tersebut. Jika logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas, pengambilan (up taken) logam berat oleh tumbuhan di lahan basah adalah melalui penyerapan dari akar, setelah itu tumbuhan dapat melepaskan senyawa kelat,


(28)

seperti protein dan glukosida yang berfungsi mengikat logam dan dikumpulkan ke jaringan tubuh kemudian ditransportasikan ke batang, daun dan bagian lainnya, sedangkan ekskresinya terjadi melalui transpirasi (Panjaitan, 2009).

Menurut Fitter dan Hay (1991) mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi toksik adalah :

1. Penanggulangan (ameliorasi), proses ameliorasi dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu :

a. Lokalisasi (intraseluler atau ekstraseluler) biasanya di dalam akar.

b. Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun.

c. Dilusi, yaitu melalui pengenceran. d. Inaktivasi secara kimia.

2. Toleransi, yaitu tumbuhan mengembangkan sistem metabolik yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik.

Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma, dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan.


(29)

Menurut Priyanto dan Prayitno (2006) mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung. Pertama adalah penyerapan logam berat oleh akar. Agar dapat menyerap logam, tanaman membentuk suatu enzim reduktase di membran akarnya. Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut ke bagian tumbuhan lainnya melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem. Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul kelat kemudian senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diserap oleh akar bersama air. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain, yaitu setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut xilem ke bagian tanaman lainnya. Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman.


(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Februari 2015. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan hutan mangrove Kuala Dewi Desa Kota Pari kecamatan Pantai Cermin Serdang Bedagai Sumatera Utara yang terletak antara 03039’42” LU dan 98057’40” BT dengan luas ± 4 ha. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.


(31)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian adalah pisau, tali rafia, kompas, kantong plastik, pita ukur, hand refractometer, mortal dan pastle, botol akuades, labu erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, oven, corong, tanur, krus porselin, gelas ukur, labu takar 100 ml dan 25 ml, termometer, timbangan analitik, hot plate, kertas saring whatman ukuran 42, atomic absorbsion spectrofotometer (AAS).

Bahan yang digunakan pada penelitian adalah tally sheet, akar

Rhizophora apiculata, daun Rhizopora apiculata, kulit batang

Rhizophora apiculata, sampel sedimen, sampel air, akuabides, larutan HNO3,

larutan standar Cu dan Pb.

Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada lokasi dilakukan dengan metode stasiun secara

purposif. Sampel akar, daun, dan kulit batang diambil dari pohon

Rhizophora apiculata. Akar yang diambil adalah akar tunjang yang berada diatas batas yang terkena batas pasang surut air laut, sedangkan untuk daun yang diambil adalah daun muda pada pucuk dan daun tua pada pangkal ranting, kulit batang pohon Rhizophora apiculata yang diambil adalah kulit batang yang terkena pasang surut air laut dengan jarak sekitar 10-15 cm dari batas akar tunjang. Diambil 3 titik sampel pada setiap lokasi dengan jarak antar titik sampel 50 meter. Pengambilan sampel pohon Rhizophora apiculata setiap titiknya dengan tiga ulangan. Sebagai data penunjang dilakukan juga pengukuran logam berat pada air permukaan dan sedimen (kedalaman ± 30 cm) serta pengukuran parameter


(32)

kualitas air, seperti suhu udara, suhu air, pH air, dan salinitas pada keenam titik tersebut. Gambar lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Preparasi Sampel Akar, Daun, Kulit Batang dan Sedimen

Sampel akar, daun, kulit batang dihomogenkan dengan cara mengkompositkan sampel yang diambil dari enam titik pengambilan pada setiap stasiun. Untuk preparasi akar, daun, dan kulit batang, sampel dipotong kecil-kecil sebelum dihaluskan. Demikian juga sampel sedimen yang dapat langsung dihaluskan. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 75º C sampai diperoleh berat konstan.

Sampel akar, daun, kulit batang dan sedimen masing masing ditimbang sebanyak 5 gram kemudian diarangkan di atas hotplate hingga menjadi arang. Untuk mempercepat terjadinya arang dapat diteteskan sedikit HNO3 secara

perlahan. Sampel yang telah menjadi arang dimasukkan dalam tanur pada suhu 700º C (pengabuan) sampai menjadi abu. Setelah selesai proses pengabuan sampel akar, daun dan sedimen tersebut dilarutkan dengan menambahkan 10 ml HNO3

pekat.

Campuran larutan tersebut digerus di dalam wadah krus porselin lalu disaring kedalam labu ukur 25 ml dengan menggunakan kertas saring whatman

ukuran 42. Krus yang telah digerus dibilas dengan menggunakan akuabides sebanyak dua kali agar kandungan logam yang masih menempel pada krus dapat larut. Setelah larutan disaring tambahkan akuabides hingga garis tanda batas pada labu ukur 25 ml. Larutan yang diperoleh dapat diuji dengan menggunakan AAS. Gambar preparasi dekstruksi kering dapat dilihat pada Lampiran 1.


(33)

3. Preparasi Sampel Air

Air laut diukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 pekat.

Panaskan dalam wadah erlenmeyer dalam hot plate sampai volumenya menjadi 35 ml. Larutan yang telah diendapkan disaring fasa airnya dengan kertas saring

whatman ukuran 42. Larutan yang diperoleh siap untuk dianalisis dengan menggunakan AAS. Gambar preparasi dekstruksi basah dapat dilihat pada Lampiran 1.

4. Pembuatan Larutan Standar Cu dan Pb

Sebanyak 10 ml dari larutan induk logam Cu dan Pb dipipet lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuabides sampai garis tanda akhir. Larutan yang diperoleh mengandung konsentrasi 100 ppm. Dari larutan 100 ppm dipipet sebanyak 10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuabides sampai garis tanda akhir untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi 10 ppm. Dibuat larutan dengan konsentrasi 10 ppm sebanyak 5 ulangan untuk mempermudah pembuatan larutan standar berikutnya.

Untuk mendapatkan larutan standar dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm, berturut-turut dipipet sebanyak 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml dan 10 ml dari larutan 10 ppm lalu masing masing dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades sampai garis tanda akhir.

5. Prinsip Kerja Atomic Absorpsion Spectrofotometer (AAS)

Alat AAS diset terlebih dahulu sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut. Kemudian dikalibrasikan dengan kurva standar dari masing-masing


(34)

logam Cu dan Pb dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm. Diukur absorbansi atau konsentrasi masing-masing sampel.

6. Analisis Data

a. Konsentrasi Sebenarnya

Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat sebenarnya maka digunakan rumus :

K sebenarnya (mg/l) = K AAS (mg /l) x Vol .Pelarut (L) Berat Sampel (mg )

Keterangan :

1. K.AAS : Konsentrasi yang didapat melalui pembacaan alat AAS 2. K. Sebenarnya : Konsentrasi sebenarnya

3. Vol Pelarut : Volume pelarut

4. Berat Sampel : Berat sampel yang akan diuji

b. Faktor Biokonsentrasi (BCF)

Setelah kandungan logam berat dalam air diketahui maka data tersebut digunakan untuk menghitung kemampuan Rhizophora apiculata mengakumulasi logam berat Cu dan Pb melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus :

BCF Cu / Pb = [Logam berat Cu / Pb ] Tumbuhan [Logam berat Cu / Pb ] Air Dimana, jika nilai BCF > 1000 = Kemampuan Tinggi

1000 > BCF > 250 = Kemampuan Sedang BCF < 250 = Kemampuan Rendah


(35)

c. Analisis Deskriptif

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu lingkungan yang terdapat dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 untuk kualitas air. Sedangkan baku mutu untuk logam berat dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang dikeluarkan IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi.


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Lingkungan Perairan

Berdasarkan data Tabel 1 yang menunjukkan parameter kualitas lingkungan di hutan mangrove Kuala Dewi diketahui bahwa pH dan salinitas tertinggi terdapat pada titik pengamatan tingkat pancang. Suhu air dan suhu udara tertinggi diperoleh di titik pengamatan tingkat pohon. Hasil analisis parameter kualitas lingkungan perairan dari tiap stasiun disajikan pada Tabel 1. Data dasar kondisi lingkungan perairan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 4.

Tabel 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan

Parameter TINGKAT PERMUDAAN

Pancang Pohon

pH air 6,67 6,33

Salinitas (ppt) 27,3 27,1

Suhu Air (0C) 27 28,3

Suhu Udara (0C) 32,3 32,7

Cu (mg/L) 0,04 0,06

Pb (mg/L) 0,01 0,01

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar, Daun dan Kulit batang Rhizophora apiculata

Berdasarkan pengukuran konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam akar, daun dan kulit Rhizophora apiculata diperoleh hasil bahwa penyerapan logam Cu dan Pb dalam akar, daun dan kulit batang lebih tinggi di tingkat pohon daripada di tingkat pancang. Hasil analisis secara lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam Akar, Daun dan Kulit Batang Rhizophora apiculata

Sampel Pancang Pohon

Cu (mg/kg) Pb (mg/kg) Cu (mg/kg) Pb (mg/kg)

Akar 19,23 0,53 21,84 1,27


(37)

Kulit Batang 9,74 0,36 15,30 1,80 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen

Berdasarkan pengukuran konsentrasi logam Cu dan Pb pada air dan sedimen di titik pengamatan, penyerapan logam Cu dan Pb tertinggi terdapat pada tingkat pohon. Hasil analisis secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Baku mutu air laut untuk lingkungan pelabuhan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Sedangkan baku mutu sedimen disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Air dan Sedimen

Sampel Pancang Pohon Baku Mutu

Cu Pb Cu Pb

Air (mg/L)

0,04 0,01 0,06 0,01 KEPMEN KLH No 51 Tahun 2004

(0,008 mg/L) Sedimen (mg/kg) 1,24 1,23 2,21 2,27 IADC/CEDA (1997)

Cu ( 600 mg/kg) Pb (1000 mg/kg)

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Dari hasil perhitungan faktor biokonsentrasi (BCF) diketahui bahwa nilai BCF tertinggi untuk logam Cu yaitu pada tingkat pancang dengan nilai 2345,10 dan nilai BCF terendah untuk logam Pb yaitu pada tingkat pancang dengan nilai 394,28.

Tabel 4. Nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) Cu dan Pb Pada Tingkat Pancang dan Pohon TINGKAT PERMUDAAN Konsentrasi Cu BCF Cu (L/kg) Konsentrasi Pb BCF Pb (L/kg) Tumbuhan = total akar, kulit batang dan daun (mg/kg) Air (mg/L) Tumbuhan = total akar, kulit batang dan daun (mg/kg) Air (mg/L)

Pancang 84,81 0,04 2345,10 2,30 0,06 394,29 Pohon 94,58 0,06 1595,54 5,75 0,01 821,43


(38)

Pembahasan

Kondisi Lingkungan Perairan

pH rata-rata pada titik pengukuran pancang yaitu 6,67 dan pH rata-rata pada titik pengukuran pohon yaitu 6,33. Dari kisaran nilai derajat keasaman (pH) pada kedua stasiun pengukuran sampel dapat disimpulkan bahwa perairan mangrove Pantai Kuala Dewi bersifat asam. Kondisi di perairan mangrove biasanya bersifat asam karena banyaknya bahan organik di kawasan itu. Bahan organik juga mempengaruhi kandungan logam berat di perairan.

Pengukuran pH diperlukan karena perubahan nilai pH perairan dapat menjadi indikator adanya limbah yang bersifat asam atau basa. pH mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan. Kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutagalung (1994) yang menyatakan bahwa penurunan pH menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Berdasarkan KEPMEN LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai baku mutu yang dipakai untuk kualitas air, pH perairan mangrove tersebut berada di bawah ambang batas yang ditolerir.

Salinitas laut adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas berpengaruh terhadap kehidupan organisme perairan. Salinitas rata-rata di titik pengambilan sampel pancang yaitu 27,3 ppt sedangkan salinitas rata-rata di titik pengambilan sampel pohon yaitu 27,1 ppt. Menurut Hutagalung (1994), bahwa nilai salinitas perairan laut mempengaruhi faktor konsentrasi logam berat yang mencemari lingkungan, dimana penurunan salinitas pada perairan dapat


(39)

menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat pada organisme semakin meningkat.

Berdasarkan KEPMEN LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai baku mutu air laut, salinitas yang terkandung pada lokasi penelitian masih berada di ambang batas normal. Perubahan salinitas juga mempengaruhi logam berat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutagalung (1994) yang menyatakan bahwa penurunan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar dan sebaliknya semakin tinggi salinitas maka konsentrasi logam berat akan semakin rendah.

Suhu udara rata-rata pada saat pengambilan sampel di titik pengukuran tingkat pancang dan pohon cukup tinggi yaitu 32,30C dan 32,70C. Kisaran suhu yang cukup tinggi ini disebabkan adanya intensitas cahaya matahari yang tinggi pada saat dilakukannya pengukuran di lapangan sementara jumlah individu tanaman yang ada tidak rapat.

Suhu air rata-rata pada saat pengambilan sampel di titik pengukuran tingkat pancang dan pohon yaitu 270C dan 28,30C. Kisaran suhu air pada pancang dan pohon ini tidak jauh berbeda dikarenakan pada titik pengukuran pancang jumlah vegetasinya lebih rapat sehingga proyeksi tutupan tajuknya lebih besar. Sedangkan pada titik pengukuran pohon jumlah vegetasinya agak jarang dan lebih sedikit. Suhu mempengaruhi kandungan logam berat pada suatu lingkungan, hal ini seperti yang dinyatakan oleh Hutagalung (1994) bahwa suhu yang tinggi akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kandungan logam berat, naiknya suhu pada perairan akan mempercepat reaksi dalam pembentukan ion-ion logam berat.


(40)

Berdasarkan KEPMEN LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai baku mutu yang dipakai untuk kualitas air, suhu perairan pada kedua stasiun pengambilan sampel tergolong baik dan dapat mendukung kehidupan biota laut di dalamnya. Adapun data mengenai kondisi lingkungan pengambilan sampel terlampir (Lampiran 4).

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar Rhizophora apiculata

Dari hasil pengukuran sampel akar menggunakan atomic absorbsion spectrofotometer (AAS), diperoleh hasil bahwa akar pada pancang mampu menyerap kandungan logam Cu sebanyak 19,23 mg/kg, sedangkan akar pada pohon menyerap kandungan logam Cu sebanyak 21,84 mg/kg. Pada pengukuran logam Pb, akar pancang mengandung konsentrasi Pb sebesar 0,53 mg/kg, akar pohon mengandung konsentrasi Pb sebesar 1,27 mg/kg.

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa akar pohon menyerap lebih banyak logam Cu dan Pb dibandingkan dengan akar pancang. Hal ini disebabkan pohon memiliki perakaran yang lebih banyak dan ukurannya yang lebih besar. Bentuk akar pohon yang besar dan permukaan akar yang luas menyebabkan bidang penyerapan akar pohon lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Arisandi (2008) yang menyatakan bahwa penyerapan logam berat oleh akar pohon di pengaruhi sistem perakaran dan luasan permukaan akarnya. Pohon bakau mempunyai tekanan osmosis tinggi dalam cairan selnya, dan karena itu sistem akarnya berdaya absorbsi lebih tinggi.

Akar-akar mangrove merupakan bagian tumbuhan yang pertama kali menyerap logam. Selain menyerap logam pada sedimen, akar-akar mangrove juga dapat menyerap logam yang terdapat pada air. Tekanan osmosis pada akar


(41)

menyebabkan logam berat yang larut pada sedimen maupun pada perairan ditarik oleh ujung-ujung akar. Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel daun.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Daun Rhizophora apiculata

Daun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah campuran dari daun muda pada pucuk dan daun tua pada pangkal ranting. Kandungan logam pada daun di tingkat pancang dan pohon memiliki nilai yang beragam. Pancang

R. apiculata mampu menyerap logam Cu dengan rata-rata 55,84 mg/kg, sedangkan pada tingkat pohon R. apiculata mampu menyerap logam Cu dengan rata-rata 57,46 mg/kg. Perbedaan yang signifikan juga dapat dilihat pada penyerapan logam Pb. Pada pancang, daun mengandung Pb sebanyak 1,42 mg/kg sedangkan daun pada pohon mengandung Pb sebanyak 2,68 mg/kg.

Akumulasi logam paling banyak ditemukan di bagian daun jika dibandingkan dengan bagian-bagian mangrove lainnya, hal ini merupakan salah satu proses adaptasi mangrove terhadap logam berat yaitu dengan melakukan lokalisasi pada salah satu bagian tumbuhan dalam hal ini yaitu daun. Lokalisasi adalah proses pengumpulan logam berat pada salah satu organ tumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fitter dan Hay (1991) yang mengatakan bahwa mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi toksik adalah dengan melakukan lokalisasi secara intraseluler maupun ekstraseluler.


(42)

Kandungan logam berat pada daun merupakan yang terbesar karena daun merupakan organ tumbuhan yang paling peka terhadap logam berat. Masuknya logam berat pada daun dapat berasal dari xilem yang kemudian diedarkan ke seluruh tubuh tumbuhan atau terpapar unsur logam berat dari udara. Logam berat Pb menempel di permukaan daun kemudian masuk melalui stomata dan berikatan dengan kloroplas.

Bentuk adaptasi mangrove lainnya terhadap logam berat adalah dengan menyimpan logam berat pada daun yang lebih tua atau ekskresi. Daun yang tua tersebut akan mengeluarkan kelebihan logam tersebut melalui proses pengguguran daun-daun yang tua kemudian menggantinya dengan daun yang muda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fitter dan Hay (1991) yang mengatakan bahwa ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi (pengguguran) daun.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Kulit batang Rhizophora apiculata

Untuk kandungan logam pada kulit, pancang mampu menyerap logam Cu dengan rata-rata 9,74 mg/kg sedangkan pohon menyerap logam Cu dengan rata-rata 15,30 mg/kg. Dibandingkan dengan logam Cu, konsentrasi penyerapan logam berat Pb pada tingkat pancang dan pohon lebih sedikit. Logam Pb lebih sedikit diserap karena sifat translokasinya yang rendah. Translokasi meliputi gerakan berbagai materi dalam tubuh tumbuhan. Kulit pancang menyerap Pb lebih sedikit dari kulit pohon yaitu 0,36 mg/kg sedangkan kandungan logam pada kulit pohon adalah 1,80 mg/kg.


(43)

Perbedaan diameter batang pohon dan usia pohon menentukan banyaknya logam berat dan zat-zat lain yang terakumulasi di dalam pohon tersebut. Semakin besar diameter batang pohon maka usia pohon juga semakin tua sehingga akumulasi zat-zat yang terdapat di dalam pohon tersebut semakin besar. Data mengenai diameter dan tinggi sampel pancang maupun pohon tercantum pada Lampiran 4.

Jumlah logam berat yang diserap di akar mangrove berkurang kadarnya ketika sudah sampai di batang mangrove karena logam tersebut sudah ditranslokasikan ke bagian tanaman lain melalui xilem dan diakumulasikan di daun-daun tua yang akan mengalami absisi daun sehingga kadar logam berat yang tertinggal di batang sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyanto dan Prayitno (2006) yang mengatakan bahwa mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yaitu penyerapan logam berat oleh akar, kedua melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain melalui jaringan pengangkut (xilem) dan ketiga lokalisasi logam pada sel dan jaringan yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen

Kandungan logam berat Cu pada sampel air pancang dan pohon bervariasi namun tidak menunjukkan perbedaan nilai yang cukup jauh. Kandungan logam Cu pada sampel air pancang adalah 0,04 mg/L, sedangkan kandungan logam Cu pada sampel air pohon adalah 0,06 mg/L. Logam Pb yang terkandung dalam sampel air pancang dan pohon lebih sedikit dibandingkan


(44)

dengan logam Cu. Air pancang mengandung logam Pb 0,01 mg/L dan air pohon mengandung logam Pb 0,01 mg/L.

Karena menurut KEPMEN KLH No 51 Tahun 2004 (Lampiran 2) baku mutu air laut untuk biota laut tidak boleh mengandung logam Cu dan Pb melebihi 0,008 mg/L maka kandungan logam pada titik pengambilan sampel pancang dan pohon R. apiculata di hutan mangrove Kuala Dewi masih berada di bawah ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan KEPMEN KLH No 51 Tahun 2004.

Menurut Bryan (1984) logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik di sungai maupun lautan akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan. Pada saat buangan limbah industri masuk ke dalam suatu perairan maka akan terjadi proses pengendapan dalam sedimen. Hal ini menyebabkan konsentrasi bahan pencemar dalam sedimen meningkat. Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut.

Kandungan logam sedimen pada tingkat pancang dan pohon memiliki perbedaan nilai yang cukup jauh dimana pancang Cu mengandung 1,24 mg/kg sedangkan pohon mengandung logam Cu 2,21 mg/kg. Pada logam Pb terdapat perbedaan yang cukup signifikan juga dimana pancang mengandung 1,23 mg/kg sedangkan pohon mengandung 2,27 mg/kg. Berdasarkan IADC/CEDA (1997) kandungan logam berat Pb dan Cu pada sedimen di lokasi pengambilan sampel masih berada di bawah nilai level target, yang berarti logam berat yang ada di sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.


(45)

Pada sedimen yang berada di sekitar pohon logam Pb yang terkandung lebih banyak jika dibandingkan dengan logam Cu. Hal ini mungkin disebabkan karena pada lokasi pengambilan sampel pohon sedimen yang berada di sekitarnya banyak tercemari logam Pb dan potensi buangan Pb ke perairan akibat aktivitas manusia lebih besar daripada Cu.

Rata-rata kandungan logam berat di air lebih sedikit jika dibandingkan dengan kandungan logam di dalam sedimen. Hal ini disebabkan karena kelarutan logam di air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Sutamihardja dkk (1982) yang mengatakan bahwa salah satu sifat dari logam berat adalah mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Selain itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Faktor biokonsentrasi (BCF) adalah konsentrasi suatu senyawa di dalam suatu organisme percobaan dibagi dengan konsentrasi senyawa tersebut dalam

medium air satuannya (L/kg). Untuk mendapatkan faktor biokonsentrasi dari

R. apiculata maka kandungan logam berat Cu dan Pb dari akar, kulit batang dan daun dibagi dengan konsentrasi logam berat Cu dan Pb pada air dari kedua

stasiun. Faktor biokonsentrasi dihitung untuk melihat kemampuan


(46)

Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai BCF Cu pada pancang

Rhizophora apiculata lebih tinggi daripada tingkat pohon jenis R. apiculata yaitu 2345,10. Sedangkan nilai BCF pada logam Pb lebih tinggi pada tingkat pohon yaitu 821,43. Data dasar kandungan logam berat pada tiap-tiap bagian pancang atau pohon tercantum di Lampiran 3.

Berdasarkan Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa tingkat pancang lebih efektif dalam menyerap logam Cu sedangkan tingkat pohon lebih efektif dalam menyerap logam Pb. Cu merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman walaupun dalam jumlah yang sedikit. Pancang merupakan tingkat permudaan yang masih membutuhkan banyak unsur hara yang dapat menunjang proses pertumbuhannya serta proses fisiologisnya. Tingginya konsentrasi Cu pada pancang menunjukkan kebutuhan fisiologi dari pancang itu sendiri.

Logam Pb pada dasarnya merupakan unsur toksik yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh tanaman. Itulah sebabnya pancang hanya mampu menyerap sedikit logam Pb karena diameter batang, besarnya akar serta jumlah daun yang dimilikinya masih sedikit. Sedangkan pohon mampu menyerap lebih banyak logam Pb karena diameter batangnya yang besar, akarnya yang banyak serta jumlah daunnya yang banyak mampu menjadi tempat menyimpan logam Pb dalam muatan besar.

Nilai BCF Cu lebih besar dari nilai BCF Pb, hal ini disebabkan karena Cu merupakan unsur hara mikro bagi tumbuhan yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun dapat menghambat metabolisme suatu tanaman jika berada dalam jumlah yang besar. Sedangkan nilai BCF Pb lebih sedikit karena Pb bukan


(47)

merupakan unsur hara essensial bagi tanaman dan menjadi toksik bagi tanaman bila konsentrasi yang terkandung tinggi.

Nilai BCF Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi yaitu 2345,10 dan 1595,54. Nilai BCF Pb pada pancang dan pohon tergolong sedang yaitu 394,29 dan 821,43. Dari faktor biokonsentrasi diatas dapat disimpulkan bahwa jenis Rhizophora apiculata memiliki kecenderungan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat yang terkandung di dalam habitat tempat tinggalnya. Perbedaan penyerapan logam pada bagian tumbuhan disebabkan karena mekanisme penyerapan logam pada tumbuhan itu sendiri yang berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyanto dan Prayitno (2006) yang menyatakan bahwa mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung. Pertama adalah penyerapan logam berat oleh akar. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain, Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman.


(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan logam Cu rata-rata pada akar, daun dan kulit pancang Rhizophora apiculata berturut-turut adalah 19,23 mg/kg, 55,84 mg/kg dan 9,74 mg/kg. Kandungan logam Cu rata-rata pada akar, daun dan kulit pohon R. apiculata

berturut-turut adalah 21,84 mg/kg, 57,46 mg/kg dan 15,30 mg/kg. Kandungan logam Pb rata-rata pada akar, daun dan kulit pancang R. apiculata berturut-turut adalah 0,53 mg/kg, 1,42 mg/kg dan 0,36 mg/kg. Kandungan logam Pb rata-rata pada akar, daun dan kulit pohon R. apiculata adalah 1,27 mg/kg, 2,68 mg/kg dan 1,80 mg/kg.

2. Nilai BCF Cu pada pancang R. apiculata lebih tinggi daripada tingkat pohon jenis R. apiculata yaitu 2345,10. Sedangkan nilai BCF pada logam Pb lebih tinggi pada tingkat pohon yaitu 821,43.

Saran

Rhizophora apiculata merupakan salah satu jenis mangrove yang dapat mengakumulasi logam Cu dan Pb sehingga perlu dilakukan peningkatan jumlah penanaman jenis tersebut sebagai akumulator logam di lokasi tersebut.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A . 2003. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Arisandi, P. 2008. Bioakumulasi Logam Berat Dalam Pohon Bakau (Rhizophora mucronata) dan Pohon Api-Api (Avicennia marina). http ://ecoton.terranet.or.id [1 April 2014]

Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Press. Bogor.

BPLHD Jawa Barat. 2008. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai Cikijing. Jawa Barat.

Brooks, R. R. 1989. Terrestrial Higher Plants Which Hyperaccumulate Metal Elements. A Review of Their Distribution, Ecology And Phytochemistry. Biorecovery.

Bryan, G.W. 1984. Heavy Metal Contamination in The Sea. Marine Pollution Bulletin. London Academic Press. London.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan

Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fardiaz, S. 2005. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Fitter, A. H dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Hutagalung. 1994. Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen di Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.

Lindsey, H.D., M.M. James, and M.G. Hector. 2004. An Assessment of Metal Contamination in Mangrove Sediments and Leaves From Punta Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin. London Academic Press. London.

Macnae, W. 1978. A General Account of The Fauna and Flora Mangrove Swamp and Forest in The Indo Pacific Region. Adv. Mor .Biol. 6 : 73-270.

Martawijaya, Abdurahim, Kartasujana dan Suwanda. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan


(50)

Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Merian, E. 1994. Toxic Metal In The Environment. Vch verlagsgeselischattmbh. Weinheim.

Moore, J.W., and S. Ramamoorthy. 1984. Organic Chemicals in Natural Waters – Applied Monitoring and Impact Assessment. New York – Berlin – Heidelberg – Tokyo, Springer Verlag.

Munawar, A dan Rina. 2010. Kemampuan Tanaman mangrove Untuk Menyerap

Logam Merkuri Dan Timbal. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 2 No. 2

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.

Panjaitan, G. Y. 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove. USU Press. Medan. Perales, I. 2003. Culture Media of Aeromonas spp. and Plesiomonas shigelloides.

Handbook of Culture Media for Food Microbiology.

Priyanto, B., dan J. Prayitno. 2006. Fitoremediasi Sebagai Sebuah Teknologi Pemulihan Pencemaran, Khusus Logam Berat. [1 April 2014]

Sanusi, H. S. 2006. Kimia Laut Proses Fisik Kimia dan Interaksinya Dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Press. Bogor.

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. UGM Press. Yogyakarta.

Subiandono, E, M. Bismark, dan N. M. Heriyanto. 2013. Kemampuan

Avicennia Marina (Forsk.) Vierh. dan Rhizophora apiculata Bl. Dalam Penyerapan Polutan Logam Berat Pusat Litbang Konservasi Dan Rehabilitasi. Bogor.

Sukardjo, S. 2002. Integrated Coastal Zone Management (ICZM) in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist. Southest Asian Studies. Vol. 40 No.2, September 2002.

Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sutamihardja, R.T.M., Adnan, K., Sanusi. 1982. Perairan Teluk Jakarta Ditinjau dari Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL. IPB Press. Bogor.


(51)

Tomlinson, C. B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge Tropical Biology Series. Cambridge University Press. Cambridge, New York, U.S.

Vogel. 1994. Qualitative Inorganik Analysis. Department of Chemistry Queens University. Belfast, N. Ireland.

Walsh, G.E. 1974. Mangrove, A Review. In : Ecology of Halophytes sp. New York Academic Press. New York.

Yruela, I .2005. Copper In Plants. Estación Experimental de Aula Dei, Consejo Superior de Investigaciones Científicas (CSIC), Apdo. 202, E-50080 Zaragoza. Spain.


(52)

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian

Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata


(53)

Lampiran 1. Lanjutan

Penyaringan Sampel Air


(54)

Lampiran 1. Lanjutan

Tanur Untuk Proses Pengabuan


(55)

Lampiran 1. Lanjutan

Penambahan HNO3 Pada Sampel Kering


(56)

Lampiran 2. KEPMEN LH No 51. Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut

No Parameter Satuan Baku Mutu

FISIKA

1 Kecerahana m Coral : >3

Mangrove : - lamun : >3

2 Kebauan - Alami3

3 Kekeruhana NTU <5

4 Padatan tersuspensi total mg/l Coral : 20 Mangrove : 80 lamun : 20

5 Sampah - Nihil1(4)

6 Suhuc ◦C Alami -3(c)

Coral : 28-30(c) Mangrove : 28-32(c) lamun : 28-30(c)

7 Lapisan minyak5 - Nihil1(5)

KIMIA

1 pHd - 7 – 8,5(d)

2 Salinitase %o Alami-3(e)

Coral : 33-34(e) Mangrove : s/d 34(e) lamun : 33-34(e)

3 Oksigen terlarut mg/l >5

4 BOD5 mg/l 20

5 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0.3

6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015

7 Nitrat (NO3 - N) mg/l 0.008

8 Sianida (CN-) mg/l 0.5

9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01

10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0.003

11 Senyawa fenol total mg/l 0.002

12 PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0.01 13 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1

14 Minyak dan lemak mg/l 1

15 Pestisidaf µg/l 0.01

16 TBT (tri butyl tin)6 µg/l 0.01

Logam Terlarut

17 Raksa (Hg) mg/l 0.001

18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0.005


(57)

20 Kadmium (Cd) mg/l 0.001

21 Tembaga (Cu) mg/l 0.008

22 Timbal (Pb) mg/l 0.008

23 Seng (Zn) mg/l 0.05

24 Nikel (Ni) mg/l 0.05

BIOLOGI

1 Coliform (total)g MPN/100 ml 1000(g)

2 Patogen sel/100 ml Nihil1

3 Plankton sel/100ml tidak bloom6

RADIO NUKLIDA

1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4 Keterangan:

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)

2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)

4. Pengamatan oleh manusia (visual).

5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm

6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan

dipengaruhi oleh nutrient, cahaya, suhu, kecepatan arus dan kestabilan plankton itu sendiri

7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman

euphotic

b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alam. d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman.

Lampiran 2. Lanjutan


(58)

Lampiran 3. IADC / CEDA Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Logam Berat Dalam Sedimen

Logam

Berat Simbol

Level Target

Level

Limit Level Tes

Level Intervensi

Level Bahaya

Tembaga Cu 30 75 126 200 600

Timbal Pb 85 530 530 530 1000

Keterangan:

a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.

b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada

kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.

d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang.

e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.


(59)

42

Lampiran 3. Data Dasar Konsentrasi Logam Berat

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Daun Pancang Cu 1 11,20 25 5 56

55,84

Daun Pancang Cu 2 12,22 25 5 61,12

Daun Pancang Cu 3 10,08 25 5 50,42

Daun Pohon Cu 1 10,99 25 5 54,95

57,46

Daun Pohon Cu 2 13,28 25 5 66,38

Daun Pohon Cu 3 10,21 25 5 51,06

Daun Pancang Pb 1 0,41 25 5 2,05

1,42

Daun Pancang Pb 2 0,22 25 5 1,10

Daun Pancang Pb 3 0,22 25 5 1,10

Daun Pohon Pb 1 0,31 25 5 1,55

2,68

Daun Pohon Pb 2 0,59 25 5 2,95

Daun Pohon Pb 3 0,71 25 5 3,55

Akar Pancang Cu 1 2,26 25 5 11,30

19,23

Akar Pancang Cu 2 2,73 25 5 13,65

Akar Pancang Cu 3 6,55 25 5 32,75

Akar Pohon Cu 1 3,74 25 5 18,69

21,84

Akar Pohon Cu 2 4,53 25 5 22,66

Akar Pohon Cu 3 4,84 25 5 24,18

Akar Pancang Pb 1 0,15 25 5 0,77

0,53

Akar Pancang Pb 2 0,08 25 5 0,39

Akar Pancang Pb 3 0,09 25 5 0,43

Akar Pohon Pb 1 0,30 25 5 1,50

1,27

Akar Pohon Pb 2 0,33 25 5 1,65


(60)

43

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Kulit batang Pancang Cu 1 2,06 25 5 10,30 9,74

Kulit batang Pancang Cu 2 1,40 25 5 6,98

Kulit batang Pancang Cu 3 2,39 25 5 11,94

Kulit batang Pohon Cu 1 1,65 25 5 8,27 15,30

Kulit batang Pohon Cu 2 3,89 25 5 19,45

Kulit batang Pohon Cu 3 3,62 25 5 18,12

Kulit batang Pancang Pb 1 0,08 25 5 0,40 0,36

Kulit batang Pancang Pb 2 0,04 25 5 0,21

Kulit batang Pancang Pb 3 0,09 25 5 0,47

Kulit batang Pohon Pb 1 0,41 25 5 2,05 1,80

Kulit batang Pohon Pb 2 0,24 25 5 1,20

Kulit batang Pohon Pb 3 0,43 25 5 2,15

Sedimen Pancang Cu 1 0,44 25 5 2,19 1,24

Sedimen Pancang Cu 2 0,23 25 5 1,16

Sedimen Pancang Cu 3 0,07 25 5 0,37

Sedimen Pohon Cu 1 0,22 25 5 1,09 2,21

Sedimen Pohon Cu 2 0,20 25 5 0,99

Sedimen Pohon Cu 3 0,91 25 5 4,55

Sedimen Pancang Pb 1 0,56 25 5 2,79 1,23

Sedimen Pancang Pb 2 0,10 25 5 0,50

Sedimen Pancang Pb 3 0,08 25 5 0,40

Sedimen Pohon Pb 1 0,18 25 5 0,89 2,27

Sedimen Pohon Pb 2 0,23 25 5 1,13

Sedimen Pohon Pb 3 0,96 25 5 4,80

Air Pancang Cu 1 0,10 35 100 0,04 0,04

Air Pancang Cu 2 0,11 35 100 0,04

Air Pancang Cu 3 0,10 35 100 0,04


(61)

44

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Air Pohon Cu 1 0,33 35 100 0,12 0,06

Air Pohon Cu 2 0,10 35 100 0,04

Air Pohon Cu 3 0,07 35 100 0,03

Air Pancang Pb 1 0,03 35 100 0,01 0,01

Air Pancang Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pancang Pb 3 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 1 0,02 35 100 0,01 0,01

Air Pohon Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 3 0,03 35 100 0,01


(62)

Lampiran 4. Tally Sheet Pengambilan Sampel di Lapangan

Tally sheet pengambilan sampel pancang

TALLY SHEET PENGAMBILAN SAMPEL PANCANG PLOT KE No. PANCANG TINGGI (m) DIAMETER (cm) pH AIR SUHU UDARA (OC)

SUHU AIR (OC)

SALINITAS (ppt) PLOT 1

1 11,1

6,40 6 34 26

26

2 5,10 26

3 8,15 27

PLOT 2

1 11,4

8,42 7 32 28

29

2 10,3 30

3 8,6 30

PLOT 3

1 9,2

7,76 7 31 27

25

2 5,3 27

3 6,2 26

Rata - rata 8,37 7,58 6,67 32,3 27 27,3

Tally sheet pengambilan sampel pohon

TALLY SHEET PENGAMBILAN SAMPEL POHON PLOT KE No. POHON TINGGI (m) DIAMETER (cm) pH AIR SUHU UDARA (OC)

SUHU AIR (OC)

SALINITAS (ppt) PLOT 1

1 18,5

17,62 6 34 29

26

2 17,5 26

3 17,2 26

PLOT 2

1 23,6

15,68 6 30 29

30

2 15,6 30

3 19,1 30

PLOT 3

1 13,7

14,65 7 34 27

25

2 16,2 26

3 22,6 25


(1)

20 Kadmium (Cd) mg/l 0.001

21 Tembaga (Cu) mg/l 0.008

22 Timbal (Pb) mg/l 0.008

23 Seng (Zn) mg/l 0.05

24 Nikel (Ni) mg/l 0.05

BIOLOGI

1 Coliform (total)g MPN/100 ml 1000(g)

2 Patogen sel/100 ml Nihil1

3 Plankton sel/100ml tidak bloom6

RADIO NUKLIDA

1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

Keterangan:

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai

dengan metode yang digunakan)

2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air

laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,

malam dan musim)

4. Pengamatan oleh manusia (visual).

5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu

adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm

6. Tidak

bloom

adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat

menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan

dipengaruhi oleh nutrient, cahaya, suhu, kecepatan arus dan kestabilan

plankton itu sendiri

7. TBT adalah zat

antifouling

yang biasanya terdapat pada cat kapal

a.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman

euphotic

b.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi

rata-rata musiman

c.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2

o

C dari suhu alam.

d.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata

musiman

f.

Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi

rata-rata musiman.


(2)

Lampiran 3. IADC / CEDA Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Logam Berat

Dalam Sedimen

Logam

Berat Simbol

Level Target

Level

Limit Level Tes

Level Intervensi

Level Bahaya

Tembaga Cu 30 75 126 200 600

Timbal Pb 85 530 530 530 1000

Keterangan:

a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki

nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada

sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.

b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai

maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.

c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada

kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai

tercemar ringan.

d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada

kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai

tercemar sedang.

e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar

dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan

sedimen.


(3)

42

Lampiran 3. Data Dasar Konsentrasi Logam Berat

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Daun Pancang Cu 1 11,20 25 5 56

55,84

Daun Pancang Cu 2 12,22 25 5 61,12

Daun Pancang Cu 3 10,08 25 5 50,42

Daun Pohon Cu 1 10,99 25 5 54,95

57,46

Daun Pohon Cu 2 13,28 25 5 66,38

Daun Pohon Cu 3 10,21 25 5 51,06

Daun Pancang Pb 1 0,41 25 5 2,05

1,42

Daun Pancang Pb 2 0,22 25 5 1,10

Daun Pancang Pb 3 0,22 25 5 1,10

Daun Pohon Pb 1 0,31 25 5 1,55

2,68

Daun Pohon Pb 2 0,59 25 5 2,95

Daun Pohon Pb 3 0,71 25 5 3,55

Akar Pancang Cu 1 2,26 25 5 11,30

19,23

Akar Pancang Cu 2 2,73 25 5 13,65

Akar Pancang Cu 3 6,55 25 5 32,75

Akar Pohon Cu 1 3,74 25 5 18,69

21,84

Akar Pohon Cu 2 4,53 25 5 22,66

Akar Pohon Cu 3 4,84 25 5 24,18

Akar Pancang Pb 1 0,15 25 5 0,77

0,53

Akar Pancang Pb 2 0,08 25 5 0,39

Akar Pancang Pb 3 0,09 25 5 0,43

Akar Pohon Pb 1 0,30 25 5 1,50

1,27

Akar Pohon Pb 2 0,33 25 5 1,65


(4)

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Kulit batang Pancang Cu 1 2,06 25 5 10,30 9,74

Kulit batang Pancang Cu 2 1,40 25 5 6,98

Kulit batang Pancang Cu 3 2,39 25 5 11,94

Kulit batang Pohon Cu 1 1,65 25 5 8,27 15,30

Kulit batang Pohon Cu 2 3,89 25 5 19,45

Kulit batang Pohon Cu 3 3,62 25 5 18,12

Kulit batang Pancang Pb 1 0,08 25 5 0,40 0,36

Kulit batang Pancang Pb 2 0,04 25 5 0,21

Kulit batang Pancang Pb 3 0,09 25 5 0,47

Kulit batang Pohon Pb 1 0,41 25 5 2,05 1,80

Kulit batang Pohon Pb 2 0,24 25 5 1,20

Kulit batang Pohon Pb 3 0,43 25 5 2,15

Sedimen Pancang Cu 1 0,44 25 5 2,19 1,24

Sedimen Pancang Cu 2 0,23 25 5 1,16

Sedimen Pancang Cu 3 0,07 25 5 0,37

Sedimen Pohon Cu 1 0,22 25 5 1,09 2,21

Sedimen Pohon Cu 2 0,20 25 5 0,99

Sedimen Pohon Cu 3 0,91 25 5 4,55

Sedimen Pancang Pb 1 0,56 25 5 2,79 1,23

Sedimen Pancang Pb 2 0,10 25 5 0,50

Sedimen Pancang Pb 3 0,08 25 5 0,40

Sedimen Pohon Pb 1 0,18 25 5 0,89 2,27

Sedimen Pohon Pb 2 0,23 25 5 1,13

Sedimen Pohon Pb 3 0,96 25 5 4,80

Air Pancang Cu 1 0,10 35 100 0,04 0,04

Air Pancang Cu 2 0,11 35 100 0,04

Air Pancang Cu 3 0,10 35 100 0,04


(5)

44

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Air Pohon Cu 1 0,33 35 100 0,12 0,06

Air Pohon Cu 2 0,10 35 100 0,04

Air Pohon Cu 3 0,07 35 100 0,03

Air Pancang Pb 1 0,03 35 100 0,01 0,01

Air Pancang Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pancang Pb 3 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 1 0,02 35 100 0,01 0,01

Air Pohon Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 3 0,03 35 100 0,01


(6)

Lampiran 4.

Tally Sheet

Pengambilan Sampel di Lapangan

Tally sheet

pengambilan sampel pancang

TALLY SHEET PENGAMBILAN SAMPEL PANCANG PLOT KE No. PANCANG TINGGI (m) DIAMETER (cm) pH AIR SUHU UDARA (OC)

SUHU AIR (OC)

SALINITAS (ppt) PLOT 1

1 11,1

6,40 6 34 26

26

2 5,10 26

3 8,15 27

PLOT 2

1 11,4

8,42 7 32 28

29

2 10,3 30

3 8,6 30

PLOT 3

1 9,2

7,76 7 31 27

25

2 5,3 27

3 6,2 26

Rata - rata 8,37 7,58 6,67 32,3 27 27,3

Tally sheet

pengambilan sampel pohon

TALLY SHEET PENGAMBILAN SAMPEL POHON PLOT KE No. POHON TINGGI (m) DIAMETER (cm) pH AIR SUHU UDARA (OC)

SUHU AIR (OC)

SALINITAS (ppt) PLOT 1

1 18,5

17,62 6 34 29

26

2 17,5 26

3 17,2 26

PLOT 2

1 23,6

15,68 6 30 29

30

2 15,6 30

3 19,1 30

PLOT 3

1 13,7

14,65 7 34 27

25

2 16,2 26

3 22,6 25