Seleksi In Vitro Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq ) Moderat Tahan Terhadap Ganoderma Boninense Pat

SELEKSI IN VITRO KALUS EMBRIOGENIK KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MODERAT TAHAN
TERHADAP Ganoderma boninense Pat.

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Seleksi In Vitro
Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Moderat Tahan
terhadap Ganoderma boninense Pat. adalah karya saya sendiri dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor,

Agustus 2014

Antonius Dony MP
NIM A253100071

RINGKASAN
ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO. 2014. Seleksi In Vitro Kalus
Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Moderat Tahan terhadap
Ganoderma boninense Pat. Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI dan
NURITA TORUAN-MATHIUS.
Variasi somaklonal pada kultur jaringan kelapa sawit berpotensi sebagai
sumber keragaman genetik baru ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal
batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense Pat melalui teknik
seleksi in vitro. Tujuan umum penelitian ini yaitu mengembangkan prosedur
teknik seleksi in vitro ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap G. boninsense
Pat. penyebab penyakit Busuk Pangkal Batang pada tanaman kelapa sawit. Tujuan
khusus penelitian yaitu (i) Mendapatkan isolat G. boninense. yang memiliki

tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya, (ii) Menetapkan
kondisi optimal teknik seleksi ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap
Ganoderma boninense Pat., (iii) Menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat
Ganoderma boninense Pat. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit.
Sepuluh isolat G. boninense digunakan untuk evaluasi isolat virulen melalui
media 2% malt ekstrak agar (MEA) dan penambahan asam Tanik 5%, 1 mM 2,2azino-bis (3-etilbenzotiazolin-6-sulfonat) sebagai media kromogenik melalui
sebelas peubah. Kalus embriogenik remah kelapa sawit Tenera sebanyak 0.1 g
digunakan untuk seleksi dan isolat patogen G. boninense dipilih yang paling
virulen. Panen filtrat dilakukan setiap tiga hari selama 30 hari untuk penentuan
waktu panen filtrat optimal. Konsentrasi letal filtrat ditentukan dari sembilan belas
media uji toksisitas, ditambahkan dari 0 sampai 50% (v/v). Seleksi dilakukan
selama 3 bulan yang diulang empat kali pada konsentrasi filtrat 20%, 24%, 28%,
32%, dan 36% (v/v). Visualisasi area nekrosis dilakukan dengan pewarnaan
jaringan dengan teknik mikrotom. Analisis kimia filtrat G. boninense dilakukan
pada asam organik, ergosterol, protein dan polisakarida. Kebocoran elektrolit
digunakan untuk mengetahui peran senyawa dalam filtrat melalui analisis lintas.
Isolat G. boninense dengan virulensi tertinggi adalah strain G3-11-U5.
Kultur filtrat G. boninense dengan filtrasi pada waktu panen 15 hari setelah
inokulasi digunakan sebagai sumber agen seleksi. Konsentrasi letal filtrat adalah
40% (v/v). Konsentrasi subletal filtrat optimal adalah 32% (v/v). Periode seleksi

terbaik dilakukan selama 3 bulan per siklus selama empat siklus. Aktivitas enzim
peroksidase dan enzim fenilalanina amonia liase dapat digunakan sebagai
indikator peubah ketahanan kalus. Gejala nekrosis teramati pada irisan mikrotome
dipengaruhi konsentrasi dan waktu pemaparan filtrat. Asam oksalat dan kelompok
protein merupakan senyawa fitotoksin terhadap kalus kelapa sawit berdasarkan
analisis lintas. Hasil seleksi in vitro diperoleh enam tunas in vitro putatif moderat
tahan terhadap G. boninense.
Kata kunci: Asam oksalat, Busuk pangkal batang, Fenilalanina amonia liase,
Kebocoran elektrolit, Media kromogenik, Peroksidase.

SUMMARY
ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO. In Vitro Selection of Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq.) Embryogenic Callus Moderate Resistance to Ganoderma
boninense Pat. Supervised by NI MADE ARMINI WIENDI and NURITA
TORUAN-MATHIUS.
Somaclonal variation in oil palm tissue culture has the potential as a new
source of genetic variability of resistance to basal stem rot (BPB) disease caused
by Ganoderma boninense Pat. The general objective of this research was to
develop the in vitro selection technique procedure of oil palm callus culture
resistance against G. boninsense, the causal agent of Basal Stem Rot disease. The

specific objective of the research were to: (i) Obtain isolates of G. boninense
which have the highest level of virulence based on physiological characteristics,
(ii) Determine the optimal conditions for oil palm callus culture resistance
selection technique against G. boninense, (iii) Determine the active compounds in
the culture filtrate of G. boninense which cause cell necrosis in oil palm callus.
Ten isolates of G. boninense were used for the selection of pathogenic
isolates by using as chromogenic medium: 5% tannin acid and 1 mM 2,2-azinobis (3-etilbenzotiazolin-6-sulfonic acid) with five variables. About 0.1 g clump
embryogenic callus of Tenera were used to test the virulence of G. boninense.
Filtrate of selected G. boninense was harvested every three days for 30 days to
determine optimum harvest time. Lethal concentration of the filtrate on oil palm
callus was determined by growing the callus in nineteen toxicity test mediums
supplied with filtrate with varying concentration from 0 to 50% (v/v). Sub lethal
concentration was determined by growing the callus on mediums with filtrate
concentration of 20%, 24%, 28%, 32%, and 36% (v/v). Surviving callus were
subcultured on the same medium for four times every three months. Visualization
of necrosis area was done using tissue colorization with microtome. Chemical
analysis of G. boninense filtrate was done for organic acid, ergosterol, protein,
and polysaccharide. Path analysis was used to measure electrolyte leakage in
order to know the role of these compounds in the toxicity of G. boninense filtrate.
The highest virulence of G .boninense was achieved by G3-11-U5 strain.

Culture filtrat as selection agent was harvested 15 days after inoculation. The sub
lethal concentration of filtrate was 32% (v/v). The best selection process was done
in 3 months per cycles with four cycles. Enzyme activity comparison between
control and selected callus showed that peroxidase and phenylalanine ammonia
lyase enzyme activity could be used as variables to determine the resistance level
of selected callus. Necrosis symptoms observed in microtome slices were
influenced by exposure time of callus to filtrate and filtrate concentration on the
medium. Path analysis revealed that oxalic acid and some unidentified crude
proteins were toxic to oil palm callus. Six in vitro shoots with putative moderate
resistance against G. boninense were obtained from this selection process.
Keywords:

Basal stem rot, Chromogenic medium, Electrolyte leakage,
Peroxidase, Phenilalanin ammonia lyase, Oxalic acid.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SELEKSI IN VITRO KALUS EMBRIOGENIK KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MODERAT TAHAN
TERHADAP Ganoderma boninense Pat.

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc

Judul Tesis : Seleksi In vitro Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) Moderat Tahan terhadap Ganoderma boninense Pat.
Nama

: Antonius Dony Madu Praptomo

NIM

: A253100071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS

Dr Nurita Toruan-Mathius, MS


Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 22 Juli 2014

Tanggal Lulus: Agustus 2014


PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian bertema
teknik seleksi in vitro dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga November
2013. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan sumber
genetik baru terutama pada sifat ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh patogen G. boninense. Selanjutnya penelitian
dilakukan dalam beberapa seri penelitian dengan berjudul : Seleksi In vitro Kalus
Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guiniensis Jacq.) Moderat Tahan terhadap
Ganoderma boninense Pat.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr
Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang
dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya bagi penulis.
2. Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan tesis ini.
3. Bpk. Jo Daud Darsono selaku HoU dan Dr Tony Liwang, MSc selaku
Division Head of Plant Production and Biotechnology PT. SMART. tbk yang
telah memberi izin dan dana penulis melanjutkan tugas belajar pada jenjang

Magister di IPB.
4. Randi Abdur Rohman, SSi, Hadi Septian Guna Putra, SSi dan Yogo Adhi
Nugroho, MSc yang banyak membantu dan berdiskusi selama proses
penelitian dan penulisan.
5. Ibu Lisa, Ibu Helena, Bpk Irang, Bpk Yanto, Ibu Cyntia, Ibu Urip dan staf
Plant Production lainnya yang telah memberi kultur kalus kelapa sawit dan
dukungan moril.
6. Rekan rekan staf Biotek PT SMART.tbk yang tidak dapat disebutkan satu per
satu atas segala dukungannya.
7. Warid, Tinche, Iin, Irni, Aziz dan rekan-rekan seangkatan PBT IPB 2010
dalam perjuangannya selama ini.
8. Saudara Sanju dan Pipit dengan segala ketelitian dan kesabarannya membantu
secara teknis pelaksanaan penelitian.
9. Bapak Ag. Sudarno, Mas Darwanto, Mbak Novi, Dik Dian, Bpk. Purnama dan
Ibu yang telah memberi dukungan moril kepada penulis.
10. Istri tercinta YMM Anita Nugraheni dan buah hati kami Sebastian Gamma
dengan segala penuh cinta, doa, kerelaan dan kesabaran menemani selama
proses belajar ini.
Serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moril
serta inspirasi bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Antonius Dony MP

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Bagan Alir Kegiatan Penelitian

x
xi
xii
1
1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Variasi Somaklonal pada Kultur Jaringan Kelapa Sawit
Patogenesitas G. boninense pada Tanaman Kelapa Sawit
Efektor

5
5
8
10

EVALUASI ISOLAT Ganoderma boninense Pat. VIRULEN
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Bahan dan Metode
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

12
13
13
13
16
17
24

OPTIMASI TEKNIK SELEKSI IN VITRO KETAHANAN KALUS
EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT TERHADAP Ganoderma boninense Pat.
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Bahan dan Metode
Peubah Amatan
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

25
26
27
27
32
32
34
49

ANALISIS KANDUNGAN SENYAWA AKTIF DALAM FILTRAT DAN
RESPONS KALUS KELAPA SAWIT PADA UJI TOKSISITAS FILTRAT
Ganoderma boninense Pat.
Pendahuluan
Tujuan
Bahan dan Metode
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

50
51
52
52
55
57
73

PEMBAHASAN UMUM

73

SIMPULAN UMUM

78

DAFTAR PUSTAKA

78

LAMPIRAN

92

DAFTAR ISTILAH

105

RIWAYAT HIDUP

108

DAFTAR TABEL
1 Isolat uji virulensi Ganoderma boninense berdasarkan daerah dan jenis
tanah

14

2 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona reaksi, diameter miselium,
indeks isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ATT

18

3

Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona, diameter koloni, indeks
isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ABTS

20

Pengaruh jenis isolat terhadap laju tumbuh miselium pada media uji
MEA, ATT dan ABTS

22

Hasil pengujian karakter fisiologis dalam pendugaan tingkat virulensi
sepuluh isolat G. boninense

23

Pengaruh metode modifikasi kultur patogen terhadap penurunan jumlah
kalus hidup dan berat basah kalus

34

7

Waktu panen filtrat terhadap penurunan jumlah kalus hidup

36

8

Uji toksisitas media YMB dan filtrat terhadap jumlah kalus hidup dalam
penentuan konsentrasi letal filtrat G. boninense

39

Pengaruh konsentrasi sub letal filtrat terhadap penurunan jumlah kalus
hidup dan selisih berat basah kalus

40

4
5
6

9

10 Pengaruh siklus seleksi terhadap penurunan jumlah kalus hidup dan
selisih berat basah kalus

41

11 Pengaruh konsentrasi filtrat terhadap perkecambahan embrio somatik
dan pembentukan tunas pada siklus seleksi keempat

43

12 Pengukuran aktivitas enzim kitinase, fenilalaninina amonia liase dan
peroksidase berdasarkan asal kalus dan media induksi

47

13 Pengaruh dual kultur terhadap pencokelatan kalus, penurunan jumlah
regenerasi kalus dan penurunan berat basah kalus

58

14 Pengaruh konsentrasi penduga subletal dan letal filtrat terhadap luas area
nekrosis jaringan kalus kelapa sawit

60

15 Perbandingan konsentrasi asam-asam organik filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion

65

16 Perbandingan konsentrasi total protein filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion

66

17 Perbandingan konsentrasi ergosterol filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion
18 Perbandingan konsentrasi total polisakarida filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion
19 Korelasi peubah kimia oksalat, ergosterol, polisakarida dan protein pada
filtrat terhadap kebocoran ion kalus

67
67
70

DAFTAR GAMBAR
1
2

Sistem regenerasi in vitro eksplan daun kelapa sawit melalui
embriogenesis tidak langsung

7

Skema ilustrasi jaringan tanaman inang terinfeksi patogen sebagai aksi
dari efektor apoplastis dan sitoplasmik

10

3

Media kromogenik pada uji fisiologis isolat.

4

Alur kerja percobaan deteksi isolat virulen G. boninense

16

5

Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses menggunakan media
ATT

17

6

Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses pada media ABTS

19

7

Diameter morfologi koloni G. boninense pada media MEA pada 6 hsi

21

8

Dendrogram berdasarkan karakter fisiologis sepuluh isolat kelompok G.
boninense

24

Tahap persiapan teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit untuk
ketahanan terhadap G. boninense

28

10 Metode dual layer G. boninense modifikasi kultur patogen pada seleksi
kalus embriogenik kelapa sawit

30

11 Alur kerja optimasi teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense

33

12 Pengaruh metode modifikasi kultur G. boninense terhadap kalus
embriogenik kelapa sawit selama 2 bulan

35

13 Pola penambahan biomas miselium G. boninense pada setiap waktu
panen filtrat

37

14 Pola perubahan derajat kemasaman media tumbuh G. boninense

38

15 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi keempat

44

16 Inisiasi embrio somatik serta tahapan perkembangan proembrio yang
berasal dari kalus terseleksi pada siklus seleksi pertama

45

17 Berkas jaringan proembrio pada irisan tipis jaringan kalus embriogenik
kelapa sawit

45

18 Germinasi embrio menjadi tunas in vitro hasil seleksi pada konsentrasi
32% (v/v) disiklus ke IV

46

19 Tahap perakaran tunas in vitro kelapa sawit putatif tahan G. boninense

46

9

20 Kalus terseleksi dan kontrol setelah 3 hari inkubasi untuk uji biokimia
aktivitas enzim peroksidase, PAL dan kitinase

48

21 Alur kerja evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense terhadap
kalus kelapa sawit

56

22 Penampakan makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit

57

23 Penampakan makroskopis clump kalus kelapa sawit yang mengalami
perubahan warna cokelat selama 2 bulan

57

24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit

59

25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan nekrosis

60

26 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi I

61

27 Irisan tipis jaringan sel kalus kelapa sawit terpapar filtrat G. boninense

62

28 Kromatogram asam organik dalam filtrat G. boninense

63

29 Pola kandungan asam organik dalam filtrat pada waktu panen filtrat

64

30 Pola kandungan total protein dalam filtrat pada waktu panen filtrat

65

31 Kromatogram ergosterol pada pengukuran kultur filtrat G. boninense

66

32 Model regresi linier pengaruh filtrat

68

33 Model regresi linier pengaruh asam oksalat
34 Model analisis lintas

69
71

35 Mikrograf elektron penampang kalus embriogenik kelapa sawit

72

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ATT
Sidik ragam diameter koloni isolat pada media ATT
Sidik ragam indeks isolat pada media ATT
Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ATT
Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ABTS
Sidik ragam diameter miselium isolat pada media ABTS
Sidik ragam indeks isolat pada media ABTS
Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ABTS
Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ATT
Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ABTS
Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media MEA
Analisis cluster berdasarkan sebelas karakter fisiologis
Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada metode modifikasi
patogen
14 Sidik ragam penurunan berat basah kalus pada metode modifikasi
patogen
15 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol negatif
16 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol positif waktu

92
92
92
92
92
93
93
93
93
93
94
94
94
94
95
95

17 Sidik ragam regresi rasio kalus hidup pada penentuan konsentrasi letal
18 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada penentuan konsentrasi
19 Sidik ragam penurunan selisih berat basah kalus pada penentuan
konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan
20 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim peroksidase
21 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim fenilalanina amonia liase
22 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim kitinase
23 Larutan seri Jonsen dan lama waktu perendaman pada tahap fiksasi
spesimen
24 Larutan pewarnaan, tahap perendaman dan lama perendaman pada tahap
pewarnaan spesimen
25 Model regresi peubah aktivitas enzim fenilalanina amonia liase standar
enzim Rhodotorula glutinis
26 Model regresi peubah aktivitas enzim peroksidase standar enzim Horse
radish peroksidase
28 Model regresi peubah aktivitas enzim β-N-Acetyl glucosaminidase
standar enzim Canavalia ensiformis
27 Kandungan asam α-ketoglutarat dari media YMB
29 Kandungan asam sitra dari media YMB
30 Kandungan asam malat dari media YMB
31 Kandungan asam oksalat dari media YMB
32 Kandungan ergosterol dari media YMB
33 Kandungan protein total dari media YMB
34 Kandungan polisakarida total dari media YMB
35 Statistika diskriptif peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas
36 Korelasi Pearson antar peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas
37 Sidik ragam regresi kebocoraan elektrolit
38 Nilai b peubah eksogenus terhadap peubah kebocoran elektrolit kalus
pada analisis lintas
39 Validasi metode analisis kandungan polisakarida total menggunakan
standar β-glukan
40 Validasi metode analisis kandungan asam α-ketoglutarat, sitrat, malat
dan oksalat
41 Validasi metode analisis kandungan ergostrol menggunakan standar
ergosterol
42 Validasi metode analisis kandungan protein total menggunakan standar
Bovin albumin

95
95
96
96
96
97
97
97
98
98
99
99
99
100
100
100
100
101
101
101
102
102
102
103
104
105

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan penyakit yang sangat
penting pada perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan
Indonesia. Cendawan Ganoderma boninense Pat. diketahui sebagai penyebab
umum penyakit BPB pada kelapa sawit. Pada tahun 1931, penyakit ini untuk
pertama kali dilaporkan oleh Thompson menyerang tanaman kelapa sawit di
Malaysia dan Indonesia. Pada awalnya, G. boninense dianggap menyerang
tanaman kelapa sawit yang sudah tua, namun diketahui dapat menyerang tanaman
yang masih muda. Ariffin et al. (1989) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit
berumur 1 tahun dapat diinfeksi oleh G. boninense.
Zakaria et al. (2005) melaporkan bahwa penyakit BPB memperpendek umur
produktif tanaman kelapa sawit, serta mengakibatkan kehilangan hasil secara
ekonomi. Kerugian ekonomi akibat penyakit BPB antara lain menurunnya hasil
panen tandan buah segar (TBS) dan kematian tanaman. Menurut Roslan dan Idris
(2011) kehilangan hasil TBS kelapa sawit dapat mencapai 0.2 sampai 24.0%,
terhitung sejak tanaman berumur 10 sampai 22 tahun.
Kejadian penyakit BPB di Indonesia dilaporkan dapat mencapai 80% di
beberapa perkebunan yang telah lama berproduksi (Susanto dan Sudharto 2003).
Susanto (2002) melaporkan bahwa kejadian penyakit akan meningkat seiring
dengan replanting tanaman, saat replanting ke empat dapat mencapai 11%.
Kejadian penyakit BPB meningkat pada tanaman yang telah berumur lebih dari 16
tahun dapat mencapai 13% sampai 87% (Virdiana et al. 2011).
Penyakit BPB sukar dikendalikan, hal itu disebabkan oleh cara hidup
cendawan G. boninense dan sifat infeksinya. Sebagai cendawan saprofit fakultatif
yang bersifat nekrotropik, G. boninense mampu hidup pada jaringan mati tanaman
di tanah serta dapat menginfeksi jaringan hidup inangnya. Kisaran inang yang luas
serta mempunyai keragaman genetik mating yang tinggi memberikan peluang G.
boninense bertahan dalam kondisi lingkungan yang berubah. Bentuk miselium
resisten, basidiospora dan struktur klamidospora pada G. boninense dapat
meningkatkan ketahanannya dalam kondisi cekaman.
Proses infeksi yang lambat, menyebabkan gejala eksternal berbeda dengan
gejala internal. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam mendeteksi gejala
penyakit saat awal infeksinya. Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan pada
saat gejala terlihat umumnya sudah terlambat karena perkembangan penyakit telah
mencapai 60% sampai 70% (Shamala et al. 2006).
Beberapa usaha preventif maupun kuratif telah dilakukan untuk
mengendalikan penyakit BPB. Pendekatan kuratif yang telah dilaporkan antara
lain penggunaan fungisida dan surgery (Idris et al. 2004). Pendekatan preventif
yang dilakukan diantaranya melalui kultur teknis dan penggunaan agen antagonis
Trichoderma sp. (Ain-Izzati dan Abdullah 2008). Metode deteksi awal infeksi G.
boninense merupakan salah satu metode preventif lainnya sebagai contoh :
ergosterol (Mohd-Aswad et al. 2011). Menurut laporan Idris (2012) dan Susanto
et al. (2012), pengendalian penyakit BPB di Malaysia dan Indonesia telah
mengkombinasikan usaha preventif dan kuratif tersebut. Namun demikian,

2
hasilnya masih belum memuaskan oleh karena efektifitas metode dan biaya yang
cukup besar dalam aplikasinya.
Penggunaan bahan tanaman kelapa sawit tahan terhadap penyakit BPB
merupakan pengendalian yang lebih efektif dan efisien dalam jangka panjang.
Beberapa persilangan telah dilakukan untuk mendapatkan genotipe tahan terhadap
penyakit BPB, namun belum mendapatkan hasil yang diharapkan. Beberapa
genotipe kelapa sawit Tenera yang berasal dari Afrika terindikasi lebih tahan
terhadap penyakit BPB yang menunjukkan gejala penyakit lebih lambat daripada
Dura Deli (Idris et al. 2004). Laporan tersebut menunjukkan keragaman genetik
untuk sifat tahan terhadap penyakit BPB masih terbatas.
Keragaman genetik yang sempit merupakan salah satu faktor penghambat
keberhasilan program pemuliaan kelapa sawit untuk ketahanan terhadap penyakit
BPB. Sifat ketahanan terhadap penyakit biasanya melibatkan banyak gen minor,
sehingga program pemuliaan memerlukan sumber gen-gen ketahanan baru.
Pendekatan lain perlu dilakukan untuk mendapatkan sumber gen baru sehingga
diharapkan program pemuliaan menjadi relatif singkat, murah dan mudah namun
sifat tahan yang diperoleh dapat stabil ekpresinya secara genetik.
Kultur jaringan kelapa sawit dapat menjadi salah satu sumber keragaman
genetik yang potensial untuk dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman
kelapa sawit. Proses selama tahap kultur jaringan dapat menginduksi perubahan
salinan genetik pada jaringan eksplan yang diinduksi oleh kondisi in vitro.
Menurut Larkin dan Scrowcrot (1981) keragaman genetik yang terinduksi melalui
proses kultur jaringan disebut variasi somaklonal.
Ho dan Tan (1990) melaporkan bahwa tanaman hasil kultur jaringan kelapa
sawit menunjukkan fenomena variasi somaklonal yang disebut buah mantel. OngAbdullah et al. (2005) melaporkan bahawa terdapat beberapa perubahan fenotipe
pada vegetatif tanaman klonal kelapa sawit seperti daun erek, daun kimera dan
beberapa perubahan bentuk yang lain. Walaupun perubahan tersebut cenderung
bersifat negatif, potensi variasi somaklonal kelapa sawit yang bersifat positif
masih belum banyak diketahui sehingga perlu diekplorasi untuk mendapatkan
manfaat.
Teknik seleksi in vitro berpotensi menjadi solusi untuk mendapatkan
genotipe kelapa sawit tahan penyakit BPB melalui pemanfaatan variasi
somaklonal. Teknik ini telah berhasil dimanfaatkan untuk mendapatkan galurgalur yang toleran terhadap tekanan faktor biotik maupun abiotik (Svabova dan
Lebeda 2005; Rai et al. 2011). Keberhasilan teknik seleksi in vitro pada tanaman
tahunan telah banyak dilaporkan. Sebagai contoh pada Eucalyptus marginata
tahan terhadap Phytophthora cinnamomi (Cahill et al. 1992), tanaman Coffea
arabica tahan terhadap Colletotrichum kahawae (Nyange et al. 1997) dan
tanaman Malus domestica tahan terhadap Phytophthora cactorum (Mezzetti et al.
1992).
Keunggulan teknik seleksi in vitro adalah kemampuan menapis jaringan sel
mutan yang mungkin terdapat pada kultur tanaman selama proses kultur jaringan.
Seleksi pada tingkat sel, mendorong populasi unit seleksi yang mampu dikerjakan
dapat mencapai jutaan sel. Respons ketahanan terhadap cekaman tingkat seluler
dapat dimaksimalkan, sebaliknya pengaruh lingkungan dapat diminimalkan.
Teknik ini juga tidak membutuhkan lahan luas dan dikerjakan dalam waktu relatif
singkat. Hasil penelitian Ganesan dan Jayabalan (2006) dan Kumar et al. (2008a)

3
menunjukkan bahwa teknik seleksi in vitro dapat menginduksi peningkatan
ekspresi patogenesis-related proteins (PR), peptida antifungi atau biosintesis
fitoaleksin.
Beberapa prinsip dasar yang perlu dipenuhi dalam aplikasi teknik seleksi in
vitro pada tanaman, meliputi perbanyakan tanaman secara in vitro melalui somatik
embriogenesis tidak langsung. Kultur in vitro tanaman dapat berupa kultur
suspensi sel, kalus, bahkan tunas in vitro. Proses perbanyakan klonal kelapa sawit
jalur somatik embriogenesis tidak langsung memerlukan waktu yang cukup lama
dan melalui sub kultur berulang. Kondisi tersebut diperkirakan dapat
meningkatkan kejadian mutasi sehingga menimbulkan keragaman genetik. Selain
itu, keragaman genetik dapat berasal dari sumber jaringan eksplan yang digunakan
dalam perbanyakan, disebut pre-existing (Skirvin et al. 1994).
Teknik seleksi in vitro membutuhkan protokol perbanyakan klonal tanaman
secara lengkap dan terbakukan. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan akhir dari
teknik ini, yaitu menapis sel mutan yang diinginkan dan meregenerasi sel mutan
tersebut menjadi tanaman lengkap. Sejauh ini telah tersedia protokol dalam proses
perbanyakan tanaman kelapa sawit unggul (Wong et al. 1997). Adanya protokol
tersebut membuat potensi pemanfaatan kultur jaringan kelapa sawit untuk
pengembangan teknik seleksi in vitro semakin terbuka.
Seleksi in vitro memerlukan suatu agen seleksi. Agen seleksi merupakan
faktor yang terlibat secara langsung dalam proses cekaman pada tanaman secara
fisiologis. Agen seleksi untuk ketahanan terhadap penyakit tanaman dapat
menggunakan kultur filtrat patogen, senyawa patotoksinnya atau dengan isolat
patogennya (Svabova dan Labeda 2005). Agen seleksi yang sesuai pada G.
boninense merupakan permasalahan penting dalam pengembangan teknik seleksi
in vitro kelapa sawit untuk ketahanan terhadap penyakit BPB. Dharmaputra et al.
(1990) melaporkan bahwa filtrat G. boninense memiliki potensi digunakan dalam
mempelajari respons sel kelapa sawit terhadap G. boninense.
Menurut Paterson (2007) G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan
busuk putih (white rot) yang aktif mensekresikan enzim-enzim lignolitik,
pendegradasi komponen lignin dinding sel tanaman. Elissetche et al. (2006)
melaporkan bahawa terdapat akumulasi asam oksalat pada media tumbuh G.
australe. Kultur cair G. lucidum dilaporkan juga mengandung berbagai macam
senyawa metabolit seperti kelompok terpenoid dan polisakarida (Zhu et al. 2009).
Kehadiran senyawa-senyawa tersebut dalam media tumbuh cendawan
menunjukkan penggunaan fitrat G. boninense berpotensi sebagai agen seleksi
dalam memilih somaklon yang memiliki tingkat ketahanan tertentu dari kultur in
vitro kelapa sawit.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan prosedur teknik seleksi in
vitro ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap Ganoderma boninsense Pat.
penyebab penyakit Busuk Pangkal Batang pada tanaman kelapa sawit.

4
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian adalah dapat digunakan sebagai rujukan teknis
tahap awal penerapan teknik seleksi in vitro pada tanaman tahunan khususnya
untuk ketahanan terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang yang disebabkan oleh
kelompok cendawan busuk putih.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup tiga bagian, yaitu metode seleksi untuk
mendapatkan isolat virulen G. boninense, beberapa seri percobaan penetapan
kondisi optimal agen seleksi pada G. boninense hingga diperoleh tunas in vitro
kelapa sawit, dan menduga jenis senyawa yang terkandung dalam filtrat G.
boninense dalam hubungannya sebagai agen seleksi terhadap kalus kelapa sawit.

Bagan Alir Kegiatan Penelitian

I. Evaluasi Virulensi Isolat Ganoderma boninense Pat.
Tujuan : Mendapatkan isolat Ganoderma boninense Pat. yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya
Output : Isolat Ganoderma boninense Pat. dengan ciri virulensi tertinggi

II. Optimasi Teknik Seleksi Ketahanan Kalus Embriogenik Kelapa Sawit
terhadap Ganoderma boninense Pat. Secara In vitro
Tujuan : Menetapkan kondisi optimal teknik seleksi ketahanan kultur kalus
kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense Pat.
Output : Kondisi optimal teknik seleksi in vitro ketahanan kultur kelapa
sawit terhadap Ganoderma boninense Pat dan peubah ketahanan
nya.

III. Analisis Kandungan Senyawa Aktif Dalam Filtrat d an Respons Kalus
Kelapa Sawit pada Uji Toksisitas Filtrat Ganoderma boninense Pat.
Tujuan : Menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma
boninense Pat. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit
Output : Senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma boninense Pat. yang
bersifat fitotoksin terhadap kultur kalus kelapa sawit

5

TINJAUAN PUSTAKA
Variasi Somaklonal pada Kultur Jaringan Kelapa Sawit
Perbanyakan kelapa sawit secara in vitro dapat dikatakan sukses, namun
terdapat aspek negatif berupa abnormalitas tanaman di lapang (Ho et al. 2008).
Ong-Abdullah et al. (2005) melaporkan beberapa tipe keragaman somaklonal
pada organ vegetatif maupun reproduktif tanaman klonal kelapa sawit.
Keragaman organ vegentatif antara lain daun erek, daun kimera dan struktur
bunga berubah menjadi daun. Pada bagian reproduktif dilaporkan ditemukan
tanaman jantan, bunga androgenous, dan buah mantel.
Secara intensif keragaman somaklonal telah banyak diamati pada tanaman
monokotil kurma (Phoenix dactylifera L.). Al Kaabi et al. (2005) melaporkan
sedikitnya ada tujuh keragaman morphologi yang teramati pada tanaman klonal
kurma di antaranya pertumbuhan bushiness (0.1%–1.4%), daun kimera (0.02%),
kerdil (0.4 - 30%), daun putih kehilangan hijau daun (0.06%), deformasi tunas
(0.05%), pembungaan terlambat (abnormalitas organ reproduktif 50%), buah
mantel (80 – 100%).
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab variasi somaklonal pada
tanaman hasil kultur jaringan kelapa sawit adalah :
Genotipe Sumber Bahan Tanam (Ortet)
Perbanyakan klonal kelapa sawit umumnya melalui metode somatik
embriogenesis tidak langsung. Metode ini dikerjakan melalui beberapa tahap yaitu
induksi eksplan menjadi kalus, kalus membentuk embroid dan embroid menjadi
ramet. Perbanyakan klonal kelapa sawit dianggap kurang efisien dalam skala
komersial karena hanya sekitar 50% hingga 80% ortet yang dapat menghasilkan
ramet (Soh et al. 2011). Menurut Soh et al. (2011) kemampuan kalogenesis
eksplan daun kelapa sawit rata-rata sekitar 15% dan hanya 25% ortet yang
menghasilkan embroid dengan poliferasi embroid kurang dari 5%.
Ginting dan Fatmawati (1995) melaporkan kemampuan kalogenesis bahan
ortet berbeda-beda berdasarkan originnya. Kalogenesis bahan ortet asal
Yangambi, Avros, Dumpy Avros dan Cameroon diperkirakan sekitar 20%, asal
Avros, Lame sekitar 16%, sedangkan asal Nifor sekitar 11%. Walau demikian,
Syed Alwee et al. (2010) melaporkan bahwa bahan ortet asal Lame menunjukkan
paling berhasil dalam perbanyakan klonal dibandingkan dengan origin lainnya.
Sanputawong dan Te-chato (2008) melaporkan bahwa perbedan kalogenesis dan
embriogenesis kelapa sawit akibat pengaruh genotipe berdasarkan pada 16
persilangan Dura x Pisifera.
Sumber Jaringan Eksplan
Jaringan akar, bunga atau daun pada perbanyakan klonal kelapa sawit dapat
digunakan sebagai eksplan. Eksplan daun muda kelapa sawit paling sering
digunakan sebagai eksplan. Eksplan daun muda diambil dari daerah pucuk daun
muda tanaman ortet kemudian dibagi menjadi potongan kecil 1 cm2 per eksplan
dan diinokulasikan pada media in vitro (Rohani 2001). Penggunaan eksplan daun

6
muda memberikan keuntungan dalam jumlah eksplan yang diperoleh lebih
banyak, ukuran lebih seragam serta mudah dalam sterilisasinya.
Eksplan asal bunga telah digunakan di beberapa laboratorium. Eksplan
bunga diambil dari bagian bunga muda dengan seludang belum terbuka dan
dipotong kecil sekitar 2 sampai 4 mm lalu dikulturkan (Vovola dan Lord 2004).
Vovola dan Lord (2004) menemukan bahwa penggunaan eksplan bunga mampu
menginduksi abnormalitas morfogenesis sel kalus menjadi tunas.
Media Kultur
Komposisi media dasar in vitro pada banyak tanaman sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan perbanyakan demikian juga pada kelapa sawit. Media dasar
kultur jaringan tanaman umumnya mengandung hara mineral antara lain N, P, K,
Ca, Mg, S, Fe, B, Mn, Cu, Zn dan Mo. Media dasar Murashige dan Skoog (MS)
banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit dengan beberapa
modifikasi (Wooi 1993).
Beberapa penelitian menggunakan media dasar lain, diantaranya media
Eeuwens (Y3), Broun & Wood dan N 6 dengan modifikasi tertentu (Sogeke at al.
1999; Muniran et al. 2008; Kramut dan Te-chato 2010). Hasil penelitian Sogeke
(1996) menunjukkan bahwa media Y3 menghasilkan regenerasi kalus dan embrio
somatik yang lebih baik dibandingkan dengan media lainnya. Al-Khayri (2011)
melaporkan adanya perbedaan media dasar untuk setiap tahap perkembangan
kultur tanaman.
Eksplan dalam kondisi in vitro, belum mampu menghasilkan fotosintat
sehingga perlu ditambahkan gula sebagai sumber karbon utama untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Selain sebagai sumber karbon, gula juga
berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik dalam media (George dan Sherington
1984). Sukrosa digunakan lebih sering dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit
pada konsentrasi 1% hingga 3% (b/v) (Wooi 1993). Gula diantaranya glukosa,
fruktosa, sorbitol dan manitol juga ditambahkan dalam skala percobaan. Gula
sukrosa pada media in vitro kelapa sawit menunjukkan lebih baik daripada jenis
gula lainnya (Hilae dan Te-chato 2005).
Senyawa organik lain juga ditambahkan pada beberapa media in vitro
kelapa sawit seperti myo inositol, vitamin seperti niasin, tiamin (B1), piridoksin
(B6) dan glisin (Muniran et al. 2008). Penambahan vitamin diharapkan dapat
memperbaiki proses enzimatik pada jaringan kultur tanaman (George dan
Sherington 1984). Senyawa kompleks yang lain juga digunakan, diantaranya
kasein hidrolisat dan air kelapa. Penambahan senyawa tersebut dengan tujuan
memperbaiki pertumbuhan kultur (Wooi 1993). Asam amino seperti glutamin,
arginin dan asparagin terutama pada media dasar Euweans digunakan sebagai
salah satu sumber nitrogen organik (Muniran et al. 2008). Agar-agar digunakan
sebagai bahan pemadat pada media kultur jaringan kelapa sawit. Pada fase
perkembangan tertentu penggunaan pitagel memberikan pengaruh lebih baik dari
pada jenis pemadat lainnya (Wong et al. 1997).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu bahan esensial dalam sistem
regenerasi in vitro berbagai tanaman. Jenis dan komposisinya pada media in vitro
dapat mendorong arah perkembangan suatu eksplan ke jalur organogenesis atau

7
embriogenesis (George dan Sherington 1984). Efektivitas kalogenesis dan
embriogenesis jaringan eksplan kelapa sawit salah satunya dipengaruhi oleh jenis
dan komposisi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Golongan auksin yang
umum
digunakan
adalah
1-Naphthaleneacetic acid (NAA),
2.4Dichlorophenoxyacetic acid (2.4-D), Indole-3-butyric acid (IBA), 3.6-dichloro-2methoxybenzoic acid (Decamba) dan pikloram (Wong et al. 1997; Kramut dan TeChato 2010).
Media cair kultur kelapa sawit dapat menggunakan hormon golongan
sitokinin seperti N6-(2-Isopentenyl) adenine (2-IP), 6-benzyladenine (BA) dan
kinetin (Paranjothy et al. 1989; Aberlenc-Bertossi et al. 1999; Te-Chato et al.
2008). Asam giberelat (GA) juga digunakan dalam regenerasi in vitro kelapa
sawit yang berperan dalam induksi pemanjangan jaringan (Suranthran et al.
2011). Namun penggunaan sitokinin cenderung dihindari pada perbanyakan
klonal kelapa sawit, karena diduga dapat menyebabkan abnormalitas organ
generatif maupun vegetatif (Paranjothy et al. 1989; Inpeuy et al. 2011).
Periode Perbanyakan In vitro
Tahap perkembangan eksplan daun kelapa sawit meliputi tahap induksi
kalus, diferensiasi dan perkembangan kalus, pembentukan embroid, pendewasaan
dan perkecambahan embrio. Wong et al. (1997) melaporkan waktu yang
dibutuhkan untuk keselurahan tahapan perbanyakan klonal kelapa sawit antara 9 52 bulan (Gambar 1). Periode waktu perbanyakan dapat dikurangi menjadi 29
bulan yaitu melalui pemilihan ortet dilapang dan perbaikan protokol in vitro (Soh
et al. 2011).
Eksplan Daun
Induksi kalus
Kalus

(1 – 15 bulan)
Diferensiasi

Embrioid

(1 - 12 bulan)
Proliferasi dan perkecambahan

Tunas

(6 – 10 bulan)
Induksi akar dan perkembangan

Ramet
Gambar 1

(1 – 15 bulan)

Sistem regenerasi in vitro eksplan daun kelapa sawit melalui
embriogenesis tidak langsung (Wong et al. 1997)

Tipe Kalus
Menurut Besse et al. (1992) terdapat dua tipe kalus yaitu kalus fast growing
callus (FGC) dan nodular compact callus (NCC). Dua tipe kalus tersebut
memiliki morfologi dan fisiologi yang berbeda, namun mempunyai kemampuan

8
embriogenesis yang hampir sama. Kalus FGC dapat muncul dari jenis kalus NCC.
Hal ini berhubungan dengan umur kalus dan waktu subkultur yang lama.
Ramet kelapa sawit yang dihasilkan dari kalus FGC menunjukkan fenomena
buah mantel lebih tinggi daripada asal kalus NCC (Jaligot et al. 2000). Menurut
Paranjothy et al. (1993) abnormalitas buah dilapang berhubungan dengan
frekuensi subkultur yang tinggi serta umur kalus. Basse et al. (1992) melaporkan
sitokinin endogen lebih rendah pada kalus tipe FGC dibandingkan dengan tipe
kalus NCC. Namun auksin tidak berbeda nyata antara tipe FGC dengan kalus tipe
NCC.
Kalus jenis FGC biasanya muncul secara spontan dengan frekuensi yang
rendah di area tertentu pada kultur kalus. Kalus FGC menunjukkan berwarna
putih lembut dan friabel. Kalus tipe ini mempunyai sel bervakuola dan volume
vakuola bertambah besar pada sel turunannya serta tidak terlihat senyawa fenol.
Bertambahnya waktu subkultur menyebabkan peningkatan pembesaran vakuola
sel dan berat basah kalus jenis ini (Besse et al. 1992).
Keseimbangan eksogen antara auksin dan sitokinin pada media dapat
menstimulasi pembentukan kalus FGC atau jenis NCC secara acak. Morfologi
kalus yang akan terbentuk sangat dipengaruhi oleh jenis eksplan dan keragaman
kondisi lingkungan ortet. Kondisi itu menginduksi perbedaan konsentrasi auksin
dan sitokinin endogen eksplan.
Laporan Muniran et al. (2008) menunjukkan terdapat pengaruh komposisi
media kultur terhadap perbedaan kalogenesis dan embriogenesis kelapa sawit.
Inpeuy et al. (2011) menghasilkan ramet kelapa sawit abnormal pada media kultur
yang mengandung air kelapa dan sitokinin. Hal tersebut menunjukkan ketidakseimbangan hara nutrisi pada media kultur jaringan dapat menginduksi kondisi
abnormal pada regeneran, yang menunjukkan plastisitas fenotipe tanaman
terhadap cekaman lingkungan (Brautigam et al. 2013).
Patogenesitas G. boninense pada Tanaman Kelapa Sawit
Proses Infeksi G. boninense pada Tanaman
Cendawan G. boninense dikenal secara umum sebagai patogen penyebab
penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada kelapa sawit. Dua spesies Ganoderma
yang lain diketahui juga bersifat patogenik pada kelapa sawit yaitu G. zonatum
and G. miniatocinctum (Idris et al. 2001). Ganoderma merupakan organisme
pendegradasi lignin yang efesien sehingga digolongkan sebagai cendawan busuk
putih (White Rot).
Cendawan Ganoderma hidup sebagai saprofit dengan mengkolonisasi kayu
mati untuk bertahan hidup ketika inang tidak ditemukan (Eriksson et al. 1990).
Cendawan G. bonisnense secara umum bersifat parasit fakultatif oleh karena
beraktivitas parasit, tetapi tidak seutuhnya mengandalkan pada inangnya untuk
menyelesaikan siklus hidupnya (Khairudin 1993).
Khairudin et al. (1991) melaporkan keberhasilan inokulasi buatan G.
bonisnense pada bibit kelapa sawit sehingga menyebabkan gejala penyakit BPB.
Infeksi G. boninense di alam diperkirakan karena adanya kontak antara akar yang
sehat dengan sumber inokulum pada bahan organik kayu atau akar tanaman yang
telah mati, masuk dalam jaringan akar lewat luka atau tanpa adanya luka
(Khairudin 1993; Rees et al. 2009). Miselium menembus jaringan kortek dan

9
tumbuh sepanjang akar terinfeksi menuju bagian pangkal batang melalui jaringan
pembuluh (Arrifin et al. 1991). Hasil pengamatan mikroskopis miselium terlihat
ditemukan pada jaringan korteks, endodermis, xilem, floem dan sel parenkima
(Rees et al. 2009).
Rees et al. (2009) menyatakan bahwa cendawan G. boninense bersifat
hemibiotropi. Massa miselium dalam jumlah cukup dibutuhkan untuk dapat
menyebabkan gejala penyakit. Cendawan G. boninense memerlukan energi untuk
dapat menginfeksi jaringan akar sel inang. Kontak yang baik antara miselium
dengan akar diperlukan untuk dapat berpenetrasi langsung ke dalam jaringan
epidermis akar.
Miselium dalam jaringan epidermis akar berkembang mengkolonisasi
jaringan akar secara cepat. Keadaan tersebut menunjukkan perubahan tipikal dari
nekrotropi. Tahap nekrotropi tersebut dapat terlihat pada jaringan pangkal batang
kelapa sawit berupa perubahan warna kuning kecokelat sampai hitam.
Proses penetrasi dan kolonisasi cendawan umumnya memerlukan kerja
enzim pendegradasi jaringan tanaman di antaranya adalah pektinase, selulase,
hemiselulase dan ligninase. Cendawan busuk putih memiliki kemampuan
mendegradasi komponen lignin kayu lebih dominan daripada mendegradasi
selulosa atau hemiselulosa. Namun, pada G. boninense degradasi selulosa dan
lignin dilakukan hampir bersamaan, kondisi tersebut merupakan ciri dari pelapuk
kayu yang bertipe simultan (Rees et al. 2009).
Produk Enzim Ganoderma Sp. dalam Aktivitas Infeksi
Cendawan G. boninense memiliki kemampuan menghidrolisis pati dengan
cepat pada jaringan parenkima bagian batang bawah kelapa sawit (Rees et al.
2009; Cooper et al. 2011). Hidrolisis pati pada sel parenkim umumnya
menggunakan enzim glukosidase diubah menjadi Asetil-CoA yang diperlukan
dalam metabolisme sel cendawan.
Enzim ekstraseluler lignolitik yang utama pendegradasi lignin adalah lignin
peroksidase (LiP), manganase peroksidase (MnP) dan lakase (Hatakka 2001).
Sejauh ini enzim pendegradasi lignin diketahui ekstraseluler dan non spesifik,
berperan dalam reaksi oksidatif yang berbeda pada struktur aromatik lignin dan
pemutusan ikatan antara unit dasar (Eriksson et al. 1990, Kuhad et al. 1997).
Enzim lignin peroksidase merupakan peroksidase yang mengandung
senyawa heme. Enzim LiP merupakan katalis oksidasi senyawa aromatik non
fenolik. Reaksi ynag dihasilkan berupa radikal kation yang akan mendekomposisi
komponen lignin pada kayu secara kimiawi (Conesa et al. 2002; Martinez 2002).
Pada kebanyakan golongan cendawan busuk putih enzim lignolitik yang paling
banyak adalah MnP dan lakase (Hatakka 2001).
Enzim Mn peroksidase (MnP) merupakan peroksidase yang mengandung
heme yang dihasilkan oleh cendawan pendegradasi lignin. Enzim MnP
mengoksidase senyawa fenolik menjadi radikal fenolik dengan oksidasi Mn (II)
menjadi Mn (III) dengan H 2 O 2 sebagai pengoksidasi. Mn (III) dikelat oleh asam
organik di antaranya asam oksalat di alam. Mn (III) terkelat mengoksidasi gugus
fenolik pada lignin menyebabkan degradasi secara spontan (Hofrichter 2002). Mn
peroksidase mengoksidasi berbagai gugus senyawa dari lignin menjadi polisiklik
aromatik hidrokarbon (PAHs) (Steffen 2003).

10
Enzim lakase merupakan oksidase multikoper fenol, senyawa fenol
teroksidasi menjadi radikal fenolik. Lakase memiliki senyawa mediator di alam,
yang membuat lakase mampu mengoksidasi gugus senyawa non fenolik (Eggert et
al. 1996a). Senyawa mediator secara sintetis seperti ABTS [2,2’-azinobis (3etilbenztazoline-6-sulfonate) ]. Lakase pertama kali diisolasi dari tanaman tetapi
terdapat juga pada cendawan dan beberapa bakteri (Thurston 1994). Lakase pada
cendawan berperan dalam proses degradasi lignin, sporulasi produksi pigmen,
pembentukan badan buah dan patogenesitas (Thurston 1994, Mayer dan Staples
2002). Lakase merupakan enzim ekstraseluler lignolitik yang tersekresi saat awal
infeksi ke sekeliling media cendawan.
Menurut Dashtban et al. (2010) degradasi lignoselulose pada kayu
memerlukan kombinasi dari enzim lignolitik, asam organik, mediator dan enzim
pendukung lainnya. Ekstraseluler enzim liknolitik bekerja melalui produksi
radikal bebas hidroksil (.OH) yang akan mengubah struktur polimer fenol pada
lignin menjadi fraksi senyawa yang lebih sederhana. Pemecahan lignin melalui
kerja enzim lignolitik memerlukan bantuan mediator diantaranya asam oksalat,
asam glioksilat, dan veratil alkohol. Senyawa mediator yang kecil memungkinkan
untuk membawa radikal bebas masuk ke dalam dinding sel tanaman, sehingga
menyebabkan komponen senyawa penyusun dinding sel menjadi tidak stabil dan
akhirnya jaringan nekrosis.
Efektor
Interaksi patogen-tanaman melibatkan sekresi protein dan molekul –molekul
lain sehingga patogen mampu memodulasi rangkaian pertahanan tanaman dan
memungkinkan kolonisasi jaringan tanaman (Hogenhout et al. 2009). Istilah
efektor digunakkan untuk memahami fungsi molekul-molekul yang disekresikan
patogen. Hal ini diterima secara luas sebagai konsep penting untuk pemahaman
mekanisme proses kolonisasi jaringan tanaman oleh patogennya.

Gambar 2 Skema ilustrasi jaringan tanaman inang terinfeksi patogen sebagai
aksi dari efektor apoplastis dan sitoplasmik (Sumber: Kamoun 2006)

11
Menurut Kamoun (2006) molekul efektor dapat memanipulasi struktural
dan fungsional sel tanaman inangnya dalam kesuksesan infeksi dan dapat juga
menimbulkan respon pertahanan sel inang. Molekul efektor dapat berfungsi
sebagai elisitor dan toksin. Selanjutnya molekul efektor dapat bekerja di daerah
antar sel (Apoplastis) dan didalam sel (Sitoplasmik) seperti tersaji pada Gambar 2.
Difinisi efektor menunjukkan lebih umum yang mengarah pada tujuan akhir yaitu
suksesnya infeksi suatu patogen pada jaringan inangnya.
Tanaman memiliki strategi pertahanan dalam cakupan yang luas sebagai
proses pertahanan terhadap serangan patogen. Pertahanan tanaman tersebut secara
umum bersifat konstitutif dan sebagian bersifat terinduksi. Respons pertahanan
terinduksi oleh pengenalan berbagai faktor kimia yang disebut elisitor
(Vidhyasekaran 2008). Asal kata elisitor digunakan untuk mendifinisikan
kemampuan suatu molekul menginduksi produksi fitoaleksin namun saat ini
umumnya digunakan untuk senyawa yang menstimulasi berbagai tipe pertahanan
tanaman (Montesano et al. 2003).
Elisitor merupakan molekul yang sangat stabil yang menginduksi respons
imun pada tanaman, berberat molekul rendah dan disintesis atau dilepaskan dari
prekursor polimerik selama infeksi. Elisitor dapat diklasifikasikan sebagai elisitor
fisik dan kimiawi. Elisitor fisik dapat berupa radiasi sinar UV, radioaktif,
cekaman suhu dan pelukaan (Radman et al. 2003). Elisitor kimiawi menurut
asalnya dapat dibagi menjadi biogenik dan abiogenik. Elisitor abiogenik dapat
berupa senyawa logam berat seperti kadnium, perak, europium dan lantanum.
dapat juga merupakan inhibitor metabolisme seperti antibiotik, fungisida dan
asam oksalat (Ozeretskovskaya dan Vasyukova 2002; Kim et al. 2008).
Elisitor biogenik dapat dikelompokkan menjadi elisitor endogen dan elisitor
eksogen, elisitor endogen merupakan senyawa yang dilepaskan oleh tanaman dan
elisitor eksogen dapat berasal dari patogen atau kultur filtrat (Bent dan Mackey
2007). Umumnya elisitor abiogenik diberikan dalam konsentrasi cukup tinggi
sedangkan elisitor biogenik diberikan dalam konsentrasi rendah
Elisitor yang memiliki senyawa kimia kompleks dapat berupa fraksi dinding
sel cendawan, dari miselium atau sporanya. Elisitor biogenik asal patogen dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu elisitor umum dan elisitor spesif