Studi Karakteristik Morfofisiologi Dan Efisiensi Penggunaan Air Beberapa Varietas Padi Pada Cekaman Suhu Tinggi

STUDI KARAKTERISTIK MORFOFISIOLOGI DAN
EFISIENSI PENGGUNAAN AIR BEBERAPA VARIETAS PADI
PADA CEKAMAN SUHU TINGGI

SRI ASTUTI
A252130281

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Studi
Karakteristik Morfofisiologi dan Efisiensi Penggunaan Air Beberapa Varietas
Padi pada Cekaman Suhu Tinggi” merupakan gagasan dan karya saya bersama
pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak

cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Sri Astuti
NIM A252130281

RINGKASAN
SRI ASTUTI. Studi Karakteristik Morfofisiologi dan Efisiensi Penggunaan Air
Beberapa Varietas Padi pada Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh AHMAD
JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS, dan MUHAMAD ACHMAD CHOZIN.
Perubahan iklim seperti peningkatan suhu udara merupakan faktor
lingkungan penting yang mempengaruhi ketersediaan air dan produksi padi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui volume konsumsi air dan
efisiensi penggunaan air beberapa varietas padi pada cekaman suhu tinggi.
Penelitian ini menggunakan rancangan Petak Tersarang yaitu perlakuan suhu
(suhu rata-rata harian T1 = 27.6±4.8 oC, T2 = 27.7±4.9 oC, T3 = 28.5±6.0 oC), dan
varietas (Ciherang, Jatiluhur, IR64, dan Way Apo Buru). Padi yang telah berumur
14 hari ditanam ke dalam kontainer plastik (ukuran 67 cm x 47 cm x 37 cm)
dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Air dipertahankan tetap berada pada

ketinggian 3 cm di atas permukaan tanah, dan volume air yang ditambahkan
dilakukan pencatatan.
Hasil menunjukkan bahwa peningkatan suhu rata-rata harian sebesar 1.1
o
C berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman padi, bobot kering tajuk,
SPAD 9 MST, laju fotosintesis 6 dan 9 MST, konduktansi stomata 6 dan 9 MST,
persentase gabah hampa, serta nyata menurunkan jumlah kerapatan stomata 6 dan
9 MST, bobot 1 000 butir, persentase gabah berisi tidak penuh, dan volume
konsumsi air. Namun peningkatan suhu tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah anakan padi, panjang akar, bobot basah akar, volume akar, bobot kering
akar, rasio tajuk akar, SPAD 6 MST, laju transpirasi 6 dan 9 MST, bobot gabah
total, bobot gabah berisi tidak penuh, bobot gabah hampa, bobot gabah bernas,
jumlah gabah total, dan efisiensi penggunaan air. Interaksi suhu dan varietas
berpengaruh nyata terhadap persentase jumlah gabah bernas. Varietas dengan
nilai konsumsi air paling tinggi adalah varietas Jatiluhur mencapai 37.34 L
tanaman-1 musim-1, kemudian diikuti oleh varietas Ciherang (31.36 L) dan Way
Apo Buru (30.94 L). Sedangkan volume konsumsi air paling rendah diperoleh
pada varietas IR64 sebesar 28.64 L tanaman-1 musim-1. Ciherang memiliki nilai
efisiensi penggunaan air yang lebih tinggi pada setiap perlakuan suhu udara,
namun Jatiluhur memiliki persentase peningkatan efisiensi penggunaan air yang

lebih besar yaitu 39.6 % dibandingkan Ciherang (12.5%) seiring dengan
peningkatan suhu udara. Varietas IR 64 mengalami penurunan efisiensi
penggunaan air yaitu sebesar 21.1 %, sedangkan Way Apo Buru memiliki nilai
efisiensi penggunaan air yang cenderung stabil seiring dengan meningkatnya suhu
udara.
Kata kunci: fotosintesis, komponen hasil, pemanasan global, volume konsumsi
air.

SUMMARY
SRI ASTUTI. Studies on morphophysiology and water use efficiency of some rice
varieties exposed to high temperature stresses. Supervised by AHMAD JUNAEDI,
ISKANDAR LUBIS, and MUHAMAD ACHMAD CHOZIN.
Global warming such as increasing air temperature is an important
environmental factor that affected water availability and rice production. The
purpose of this study was to determine the water consumption volume and water
use efficiency of some rice varieties under high temperature stress. This study
conducted in net plot design with two factors namely temperature treatment (daily
average temperature T1 = 27.6±4.8 oC, T2 = 27.7±4.9 oC, T3 = 28.5±6.0 oC) and
varieties (Ciherang Jatiluhur, IR64, and Way Apo Buru). Rice seedling at 14days-old were transplanted into plastic container (size 67 cm x 47 cm x 37 cm)
with a spacing of 20 cm x 20 cm. The water was maintained on 3 cm above the

soil surface, and volume of water that was added into the container was recorded.
The results showed that increasing in daily average temperature of 1.1 oC
had increased significantly to the plant height, shoot dry weight, SPAD at 9 WAT
(Weeks After Transplanting), photosynthetic rate at 6 and 9 WAT, stomatal
conductance at 6 and 9 WAT, unfilled grain percentage, and also significantly
decreased on stomatal density at 6 and 9 WAT, weight of 1 000 grain, uncomplete
filled grain percentage, and volume of water use. However the temperature
treatment were not significantly affected to the tillers number, root length, root
wet weight, root volume, root dry weight, shoot and root ratio, SPAD at 6 WAT,
transpiration rate at 6 and 9 WAT, total grain weight, uncomplete filled grain
weight, unfilled grain weight, filled grain weight, total grain number, and water
use efficiency. The temperature and varieties interaction had significant effect to
the filled grain percentage. The highest water consumption volume was obtained
in Jatiluhur which consumed 37.74 L plant-1 season-1, and then followed by
Ciherang (31.36 L) and Way Apo Buru (30.94 L). While the lowest water
consumption volume was obtained in IR64 which consumed 28.64 L plant-1
season-1. Ciherang had the highest of water use efficiency on each temperature
treatments, while Jatiluhur had higher of the percentage of increasing water use
efficiency by 39.6 % compared to Ciherang (12.5 %) with increasing in the air
temperature. IR 64 was decreased 29.0% is water use efficiency, while the value

of water use efficiency of Way Apo Buru was to be stable with increasing the air
temperature.
Keyword

: global warming, photosynthesis, water consumption volume,
yield component

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STUDI KARAKTERISTIK MORFOFISIOLOGI DAN
EFISIENSI PENGGUNAAN AIR BEBERAPA VARIETAS
PADI PADA CEKAMAN SUHU TINGGI


SRI ASTUTI

Tesis
sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Supijatno MSi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulisan tesis yang berjudul Studi Karakteristik

Morfofisiologi dan Efisiensi Penggunaan Air Beberapa Varietas Padi pada
Cekaman Suhu Tinggi ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juni sampai Desember 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi, Dr Ir
Iskandar Lubis, MS dan Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr selaku pembimbing yang
telah memberi banyak saran, motivasi, dan pengarahan dalam perbaikan tesis ini.
Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih penulis
ucapkan kepada:
1. Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah membiayai
seluruh biaya pendidikan Pascasarjana dan kegiatan penelitian di
Institut Pertanian Bogor.
2. Dr Ir Supijatno, MSi yang telah berkenan menjadi dosen penguji luar
komisi pembimbing, dan atas saran dan hasil koreksi untuk perbaikan
tesis ini.
3. Keluarga tercinta ayahanda Tukiran dan ibunda Sri Utami, serta mas
Eko Harjanto, mas Edi Joko Waluyo dan Adik Agus Deka Ranti yang
telah memberikan doa, nasehat dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan masa pendidikan Pascasarjana ini.
4. Kepala dan staf kebun percobaan di Sawah Baru Darmaga Bogor dan
tenaga Laboratorium Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak Farti Suandri dan Ibu Marwiyah yang telah memberikan banyak
motivasi, nasehat dan bantuan sampai detik ini.
6. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura
Institut Pertanian Bogor (AGH, PBT, dan ITB) terutama Rice Team
yang telah memberikan dukungan dan kerjasamanya selama penulis
menempuh pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak orang dan dapat memberikan
informasi dalam bidang pertanian.
Bogor, April 2016

Sri Astuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

ix
x
xi


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Perubahan Iklim Global
Peran Air bagi Tanaman
Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Pertumbuhan dan Konsumsi Air

3
3
4

5
6

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Rancangan Percobaan
Pelaksaaan Penelitian
Pengamatan Penelitian
Analisis Data

7
7
7
7
8
9
10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu Rata-rata Harian
Peubah Pertumbuhan
Peubah Fisiologi
Peubah Hasil dan Komponen Hasil

10
10
13
17
20

SIMPULAN

26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

31

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata tinggi tanaman empat varietas padi pada perlakuan suhu yang
berbeda
2 Rata-rata jumlah anakan empat varietas padi pada perlakuan suhu yang
berbeda
3 Panjang akar, bobot basah akar, dan volume akar empat varietas padi
pada perlakuan suhu yang berbeda
4 Bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan rasio tajuk akar empat
varietas padi pada perlakuan suhu yang berbeda
5 Nilai SPAD dan laju fotosintesis empat varietas padi pada perlakuan
suhu yang berbeda
6 Kerapatan stomata daun empat varietas padi umur 6 dan 9 MST pada
perlakuan suhu yang berbeda
7 Laju transpirasi dan konduktansi stomata daun empat varietas padi pada
perlakuan suhu yang berbeda
8 Bobot gabah total, bobot gabah berisi tidak penuh, bobot gabah hampa,
bobot gabah bernas, dan bobot 1 000 butir empat varietas padi pada
perlakuan suhu yang berbeda
9 Jumlah gabah total, persentase gabah hampa, dan persentase gabah
berisi tidak penuh empat varietas padi pada perlakuan suhu yang
berbeda
10 Interaksi suhu dan varietas terhadap persentase gabah bernas padi
11 Volume konsumsi air dan efisiensi penggunaan air empat varietas padi
pada perlakuan suhu yang berbeda
12 Pola peningkatan efisiensi penggunaan air empat varietas padi pada
peningkatan suhu udara

13
14
15
16
18
19
20

21

23
23
24
26

DAFTAR GAMBAR
1 Suhu rata-rata harian dari awal tanam sampai panen
2 Suhu rata-rata harian pada umur 6 sampai 10 MST
3 Durasi tanaman padi terpapar suhu udara di atas 35 oC dari awal tanam
sampai panen
4 Durasi varietas padi terpapar suhu di atas 35 oC pada selang waktu
seminggu sebelum dan sesudah berbunga

10
11
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Deskripsi varietas Ciherang
Deskripsi varietas Jatiluhur
Deskripsi varietas IR64
Deskripsi varietas Way Apo Buru
Rekapitulasi sidik ragam peubah pertumbuhan
Rekapitulasi sidik ragam peubah fisiologi

32
33
34
35
36
36

7 Rekapitulasi sidik ragam peubah hasil dan komponen hasil
8 Korelasi antar peubah pengamatan

37
38

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi merupakan tanaman pangan utama sebagian besar penduduk dunia.
Kebutuhan beras selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Tahun 2013 terjadi peningkatan luas
areal lahan dan peningkatan produktivitas lahan di Indonesia masing˗masing
sebesar 2.9% dan 0.3% sehingga produksi padi meningkat menjadi 71.29 juta ton
gabah kering giling (GKG) atau meningkat sebesar 3.2% dari tahun 2012 yaitu
sebesar 69.06 juta ton GKG (BPS 2014). Peningkatan produksi padi perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap beras yang selalu
meningkat dari tahun ke tahun.
Perubahan iklim global merupakan salah satu kendala utama dalam
peningkatan produksi padi. Perubahan iklim berhubungan dengan peningkatan
suhu udara, perubahan pola curah hujan, kelembaban tanah, dan ketinggian
permukaan air laut (Aydinalp dan Cresser 2008). Salah satu penyebab terjadinya
perubahan iklim global adalah adanya pembakaran bahan bakar fosil yang
meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer, dimana CO2 menahan panas di
atmosfer yang seharusnya diteruskan ke ruang angkasa (Cook 2010). Peningkatan
level CO2 yang menyebabkan peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan dan
peningkatan level permukaan air laut akan berdampak penting terhadap pertanian
global (Aydinalp dan Cresser 2008), mempengaruhi ketersediaan air bagi tanaman
karena distribusi curah hujan yang tidak merata dan berkurangnya curah hujan
efektif saat musim tanam.
Suhu rata-rata permukaan bumi pada akhir abad 21 diperkirakan meningkat
o
2 C ˗ 4 oC dimana peningkatan suhu tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman padi (Shah et al. 2011). Menurut Yin et al. (1996)
suhu optimum pertumbuhan normal tanaman padi berkisar antara 27 oC ˗ 32 oC.
Batas kritis suhu untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi yaitu 35 oC
(Yoshida 1981). Peningkatan suhu udara pada fase sensitif pertumbuhan padi
dapat menurunkan hasil padi secara drastis (Krishnan et al. 2011). Pembungaan
dan pengisian gabah merupakan fase sensitif terhadap peningkatan suhu udara
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi (Wheeler et al. 2000; Tao et
al. 2008).
Peningkatan suhu udara dapat mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan
biokimia tanaman (Wahid et al. 2007). Peningkatan suhu udara menurunkan
persentase fertilitas serbuk sari dan pengisian gabah padi yang diuji di Cina (Tao
et al. (2008); Guo-Hua et al. (2013)), menurunkan jumlah spikelet selama periode
meiosis (Ying et al. 2008), meningkatkan suhu daun sehingga menyebabkan
penurunan aktivitas akar dan laju fotosintesis (Cao et al. 2009; Guo-Hua et al.
2013). Peningkatan suhu udara baik siang maupun malam tidak nyata
mempengaruhi jumlah daun tanaman (Yin dan Kropff 1996). Suhu udara malam
yang tinggi sebesar 32 oC nyata mempengaruhi alokasi C dan N pada malai dan
batang dimana kedua organ tersebut merupakan organ penting dalam
mengakumulasi C dan N selama pertumbuhan tanaman (Cheng et al. 2010).

2

Peningkatan suhu udara diduga menurunkan ketersediaan air bagi tanaman
karena terjadi peningkatan transpirasi serta meningkatkan volume konsumsi air
tanaman. Peningkatan transpirasi tanaman terjadi untuk menghindari pengaruh
buruk dari cekaman suhu tinggi (Takahashi et al. 2008). Sances˗Reinoso et al.
(2014) melakukan penelitian terhadap suhu udara pada padi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan suhu 35 oC meningkatkan transpirasi 3 kultivar
padi dibandingkan perlakuan suhu 25 oC. Rang et al. (2011) melaporkan bahwa
peningkatan suhu udara diiringi dengan cekaman air berpengaruh menurunkan
fertilitas spikelet padi.
Penggunaan varietas tertentu dalam budidaya padi juga sangat menentukan
tingkat konsumsi air padi pada kondisi suhu tinggi namun diharapkan tetap dapat
menghasilkan produksi yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al.
(2012) yang meneliti tingkat konsumsi air beberapa varietas padi menunjukkan
bahwa IR 64 merupakan varietas yang mengkonsumsi air paling sedikit yaitu
15.93 L tanaman-1 (setara dengan 3 639 m3 ha-1), sedangkan Jatiluhur merupakan
varietas yang paling banyak mengkonsumsi air yaitu berkisar 24.13 L tanaman-1
(setara dengan 4 827 m3 ha-1). IR 64 merupakan varietas yang paling banyak di
tanam di Indonesia. Menurut Khamid (2014) yang melakukan penelitian respon
pertumbuhan dan produksi padi pada suhu tinggi menunjukkan bahwa Ciherang
dan Jatiluhur merupakan varietas yang peka terhadap peningkatan suhu tinggi
karena terjadi penurunan jumlah anakan produktif. Varietas IR 64 dan Ciherang
mewakili tanaman dengan budidaya padi sawah, sedangkan Jatiluhur mewakili
varietas yang ditanam dengan sistem gogo yang tidak banyak menggunakan air.
Meskipun Jatiluhur merupakan padi gogo, namun dari hasil penelitian Fauzi
(2012) menunjukkan bahwa Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak
mengkonsumsi air yaitu mencapai 232 906 liter petak-1 percobaan selama satu
musim tanam (ukuran petak 3 m x 3 m). Meskipun merupakan padi gogo, namun
ketika dibudidayakan dengan sistem sawah, varietas padi gogo juga bersifat
seperti padi sawah dengan banyak mengkonsumsi air.
Penelitian tentang pengaruh peningkatan suhu udara terhadap produksi padi
telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian volume konsumsi air
tanaman padi pada kondisi lingkungan normal juga telah dilaporkan oleh
Supijatno et al. (2012) di Indonesia. Penelitian mengenai konsumsi air tanaman
padi pada cekaman suhu tinggi belum banyak dilakukan. Informasi tentang
volume konsumsi dan efisiensi penggunaan air tanaman padi pada cekaman suhu
tinggi sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan iklim global.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari respon pertumbuhan dan produksi padi pada cekaman suhu
tinggi.
2. Mempelajari efisiensi penggunaan air beberapa varietas padi pada cekaman
suhu tinggi.

3

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi pada
varietas padi tertentu.
2. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan air pada varietas
padi tertentu.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Tanaman padi (Oryza sativa L.) memiliki struktur batang yang tersusun dari
beberapa ruas. Ruas yang terpendek berada pada bagian pangkal batang,
sedangkan ruas kedua, ruas ketiga dan seterusnya lebih panjang dari pada ruas
sebelumnya. Pada buku bagian bawah ruas terdapat pelepah daun yang membalut
ruas sampai buku bagian atas, dan pada buku bagian atas dari ujung pelepah daun
memperlihatkan percabangan. Percabangan yang terpendek disebut ligule dan
yang terpanjang disebut kelopak daun (Siregar 1981).
Perkembangan tanaman padi dibagi menjadi 3 fase yaitu vegetatif,
reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif berlangsung dari awal perkecambahan
sampai membentuk malai (Yoshida 1981). Pada tahap perkecambahan, setelah
tunas muncul dari permukaan tanah, beberapa daun muncul sebagai pemanjangan
batang utama (Champagne 2004).
Benih padi merupakan benih kariopsis yang menyatu dengan dinding
(pericarp) membentuk butiran seperti biji (De Datta 1981). Benih padi
mengandung embrio dan endosperm. Bagian permukaannya mengandung
beberapa lapisan tipis dari jaringan yang menutupi embrio dan endosperm
(Yoshida 1981). Permukaan tipis yang menyelimuti benih padi disebut lemma dan
palea (Siregar 1981). Benih padi mengalami dormansi selama beberapa minggu
atau dalam waktu yang lebih lama tergantung pada sifat varietas serta kondisi
lingkungan seperti frekuensi curah hujan dan suhu optimum pada proses
perkecambahan. Perkecambahan akan terjadi ketika dormansi benih dapat
dipecahkan dan benih menyerap cukup air serta pada kisaran suhu antara 10 oC
sampai 40 oC (Yoshida 1981).
Sistem perakaran tanaman padi berupa akar serabut yang terdiri dari dua
jenis akar yaitu akar primer dan akar sekunder. Akar primer tumbuh dari radikula
dan bersifat sementara. Sedangkan akar sekunder merupakan akar yang bercabang
dan dihasilkan dari ruas yang lebih rendah dari batang yang masih muda. Akar
sekunder ini menggantikan akar primer (De Datta 1981).
Daun tanaman padi tersusun dari pelepah daun, daun bendera, ligula dan
auricle. Pelepah daun tumbuh memanjang. Daun bendera lebih sempit, rata, dan
lebih panjang daripada pelepah daun untuk semua daun kecuali daun kedua.
Ligula berbentuk segitiga kecil, putih, dan terlihat seperti sambungan dari pelepah
daun. Auricle berbentuk sabit terdapat pada persimpangan antara collar dan
pelepah daun. Pemanjangan daun terjadi secara cepat setelah daun itu muncul

4

kemudian menyempurnakan proses pemanjangannya dan memulai fungsinya
sebagai daun. Masa hidup setiap daun setelah proses pemanjangan berbeda-beda.
Daun yang paling atas memiliki masa hidup lebih panjang dari pada daun yang
dibawahnya. Pada tahap awal perkembangan daun, bobot daun meningkat diikuti
dengan pemanjangan daun. Setelah proses pemanjangan selesai, bobot daun terus
meningkat karena adanya akumulasi protein, pati dan meningkatnya material
dinding sel seperti hemiselulosa. Pada tahap pertumbuhan berikutnya, bobot daun
mengalami penurunan karena protein, gula dan pati ditranslokasikan ke bagian
daun paling atas (Yoshida 1981).
Fase reproduktif terjadi dari inisiasi malai sampai berbunga (De Datta 1981).
Tahap ini merupakan fase pertumbuhan yang kritis untuk mengetahui jumlah biji
potensial pada bunga (Champagne 2004). Stadia reproduktif juga ditandai dengan
berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, kebuntingan, dan
keluarnya malai. Inisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum
pembungaan (De Datta 1981). Perkembangan malai bergerak ke atas melewati
interior tanaman dengan pemanjangan batang antar ruas. Dalam satu hari setelah
bunga muncul, kelopak bunga membuka dan menunjukkan bagian organ anthesis.
Polinasi terjadi ketika anther dan polen ditumpahkan ke dalam stigma yang
menghubungkan ke ovari dan pada saat bunga membuka (Champagne 2004).
Fase pemasakan berlangsung dari mulai berbunga sampai masak penuh
(Yoshida 1981). Dalam tiga hari setelah pembentukan embrio, nutrisi dari organ
vegetatif tanaman di remobilisasi ke perkembangan embrio dan endosperm.
Akumulasi bahan kering terjadi dengan laju yang cepat pada periode awal dan
kemudian melambat pada periode akhir pengisian biji, hal ini karena adanya
hambatan yang berlawanan dari proses fisiologi dan senesen daun dan batang.
Cekaman fisiologi yang terjadi selama fase pengisian biji mempengaruhi jumlah
biji yang terisi, ukuran biji, dan komposisinya (Champagne 2004).
Perubahan Iklim Global
Iklim merupakan faktor penting dalam kegiatan pertanian. Perubahan iklim
sudah dirasakan dalam beberapa dekade terakhir, yang disebabkan adanya
pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Beberapa gas terakumulasi di atmosfer
sehingga menimbulkan global warming. Perubahan iklim global yang terjadi
berhubungan dengan perubahan suhu, curah hujan, kelembaban tanah dan
ketinggian permukaan air laut (Aydinalp dan Cresser 2008). Suhu, radiasi
matahari dan curah hujan secara langsung mempengaruhi proses fisiologi tanaman
padi termasuk produksi biji, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap
hama dan penyakit tanaman (Yoshida 1981).
Kegiatan pertanian berkontribusi terhadap global warming melalui
pelepasan gas karbon dioksida, methana dan nitrogen oksida. Efek negatif yang
mungkin terjadi dan mempengaruhi produktivitas pertanian antara lain perubahan
hasil pada bidang pertanian, penurunan kuantitas air tersedia untuk irigasi, serta
hilangnya luas daratan melalui peningkatan muka air laut yang berhubungan
dengan salinitas tanah (Aydinalp dan Cresser 2008).
Perubahan iklim global dapat mempengaruhi bidang pertanian dengan
berbagai cara. Pada kisaran suhu tertentu, peningkatan suhu cenderung

5

mengurangi hasil panen, karena tanaman dengan cepat melewati tahap
perkembangannya. Suhu tinggi juga mengganggu kemampuan tanaman
mempertahankan kelembaban, mempercepat penguapan dari tanah dan
meningkatkan transpirasi (Cline 2008). Suhu tinggi berpengaruh menurunkan
produksi tanaman tanpa mempengaruhi adanya gulma, hama dan penyakit
tanaman. Dampak keseluruhan dari perubahan iklim global dirasakan sangat
negatif dan mengancam keamanan pangan global (Nelson et al. 2009).
Peran Air bagi Tanaman
Air merupakan unsur penting dalam kehidupan tanaman karena air sangat
dibutuhkan dalam proses metabolisme tanaman. Struktur dan kandungan air
secara nyata mempengaruhi struktur dan kandungan protein, membran sel, asam
nukleat dan unsur-unsur sel lainnya pada tanaman. Setiap tanaman membutuhkan
air dalam jumlah yang berbeda-beda karena perbedaan sifat anatomi dan
morfologi masing-masing spesies tanaman sehingga menyebabkan perbedaan laju
transpirasi (Taiz and Zeiger 2002). Fungsi air sebagai faktor produksi tanaman
padi bertujuan untuk memelihara struktur tanah yang telah diperoleh selama
pengolahannya, menghambat dan menekan pertumbuhan gulma yang bisa
menimbulkan kompetisi unsur hara bagi tanaman padi itu sendiri, mengatur suhu
di dalam tanah, dan sebagai unsur utama yang dibutuhkan dalam proses
metabolisme untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Siregar 1981).
Padi dapat tumbuh di bawah kondisi irigasi atau tadah hujan baik pada
dataran rendah maupun dataran tinggi (Tuong dan Bouman 2003). Kebutuhan
tanaman padi terhadap air ditentukan oleh berbagai faktor seperti tanah, iklim,
jenis varietas dan umur tanaman. Perbedaan kebutuhan terhadap air di lapangan
juga terjadi karena adanya perbedaan jumlah air yang hilang atau disebut
transpirasi maupun evaporasi (Siregar 1981).
Menurut Yoshida (1981) tanaman padi membutuhkan 180 sampai 300 mm
bulan-1 agar dapat berproduksi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul
et al. (2012) menyatakan bahwa dalam satu kali musim tanam, padi membutuhkan
939.9 mm air atau setara dengan 7.77 mm hari-1 pada musim kering. Lebih lanjut
Bouman (2007) menambahkan bahwa untuk menghasilkan 1 kg gabah, tanaman
padi membutuhkan 1 500 liter air. Tingginya kebutuhan air tersebut dihadapkan
pada persoalan perubahan iklim yang terjadi. Besarnya kebutuhan air satu kali
produksi tanaman padi dapat ditentukan dengan teknik pengelolaan air yang
efektif dan efisien. Efisiensi penggunaan air merupakan jumlah dari hasil biji yang
diperoleh per unit air, tergantung dari tipe aliran air (Tuong dan Bouman 2003).
Hasil penelitian Supijatno et al. (2012) melaporkan bahwa kebutuhan air tanaman
padi dalam satu kali musim tanam mencapai 3 639 m3 ha-1 (varietas IR 64) sampai
4 827 m3 ha-1 (varietas Jatiluhur). Meskipun merupakan varietas yang paling besar
mengkonsumsi air, namun Jatiluhur merupakan varietas yang paling efisien dalam
menggunakan air, karena dalam satu liter air yang dikonsumsi mampu
membentuk bobot gabah bernas sebesar 0.999 g.

6

Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Pertumbuhan dan Konsumsi Air
Faktor lingkungan seperti suhu yang terjadi selama fase sebelum
pembungaan sampai pengisian biji dapat mempengaruhi fertilisasi, perkembangan
biji dan komposisi biji. Suhu tinggi selama fase reproduksi dapat menyebabkan
bunga steril dan mempengaruhi laju pengisian biji (Camphagne 2004), serta
indeks panen (Guo˗Hua et al. 2013). Tanaman padi memperlihatkan pengaruh
negatif pada kondisi suhu tinggi saat pembungaan. Hal ini diduga karena pada
saat pembungaan merupakan tahap dengan tingkat kepekaan yang lebih tinggi
terhadap suhu tinggi (Guo˗Hua et al. 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh
Das et al. (2014) yang menyatakan bahwa cekaman suhu tinggi sebelum
pembungaan menurunkan viabilitas serbuk sari dan kandungan air di dalam polen
sehingga mempengaruhi kesuburan bulir padi (spikelet).
Suhu tinggi menyebabkan laju pembentukan biji lebih cepat dan periode
pengisian biji lebih pendek. Secara umum, batas kritis suhu rendah dan tinggi
masing-masing dibawah 20oC dan diatas 30oC bervariasi dari setiap tahap
pertumbuhan. Suhu kritis setiap tanaman berbeda menurut variasi, durasi suhu,
perubahan diurnal dan status fisiologi tanaman (Yoshida 1981).
Peningkatan suhu udara pada umumnya diiringi dengan peningkatan
konsentrasi CO2 di udara. Pada percobaan yang dilakukan oleh Cheng et al.
(2009) dengan perlakuan peningkatan konsentrasi CO2 dan suhu malam yang
tinggi menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 meningkatkan
konsentrasi C pada tanaman, sedangkan peningkatan suhu malam hari
menurunkan konsentrasi C, dan jumlah konsentrasi C pada batang meningkat
pada kedua kombinasi percobaan tersebut. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Egeh et al. (1992) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu udara menurunkan
konduktansi stomata dan laju transpirasi daun, serta CO2 interseluler, namun
peningkatan suhu udara meningkatkan suhu daun dan kanopi pada tanaman padi
yang diamati.
Padi dataran rendah tumbuh baik pada tanah-tanah tergenang dengan
kedalaman air yang bervariasi. Pertumbuhan tanaman secara tidak langsung
dipengaruhi oleh suhu air (Yoshida 1981) dan suhu tanah (Arai˗Sanoh et al. 2010).
Kehilangan air pada padi sawah sebagian besar akibat proses transpirasi,
evaporasi, perkolasi dan perembesan. Transpirasi merupakan hilangnya air
melalui tanaman, sedangkan evaporasi merupakan hilangnya air dari permukaan
air itu sendiri. Kombinasi hilangnya air dari tanaman dan dari permukaan air
disebut evapotranspirasi. Transpirasi meningkat dengan meningkatnya indeks luas
daun. Evaporasi tinggi pada fase pertumbuhan awal, ketika indeks luas daun kecil.
Bentuk stomata yang kecil pada permukaan daun sebagai salah satu adaptasi
memecahkan masalah kebutuhan air dan mengurangi transpirasi. Transpirasi
diatur oleh sel penjaga stomata daun, yang mengatur ukuran pori stomata untuk
melewatkan CO2, namun harus meminimalisir kehilangan air ke udara. Penguapan
air dari dinding sel pada sel mesofil daun menghasilkan tekanan negatif yang
besar. Pada umumnya kekurangan air pada tanaman memerlukan sejumlah respon
adaptif yang mengubah proses fisiologi dan perkembangan tanaman (Taiz dan
Zeiger 2002).
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Ying et al. (2009) pada
cekaman suhu tinggi, genotipe padi toleran suhu tinggi menunjukkan aktivitas

7

akar yang lebih kuat, sistem pertahanan antioksidan pada daun lebih aktif,
aktivitas ATPase pada biji lebih tinggi serta mempunyai suhu daun yang lebih
rendah dibandingkan genotipe padi sensitif suhu tinggi. Hasil ini mengindikasi
bahwa genotipe padi toleran suhu tinggi mengurangi cekaman panas melalui
peningkatan aktivitas enzim pelindung terhadap sistem antioksidan untuk
melepaskan radikal bebas pada tanaman. Peningkatan aktivitas enzim ATPase
secara relatif mampu mentranslokasikan asimilat dari source menuju ke sink dan
kegiatan unloading asimilasi pada organ sink sehingga menghasilkan
perkembangan polen dan pengisian biji yang baik.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru,
Darmaga, Bogor dan Laboratorium Analisis Tanaman Departemen Agronomi dan
Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014
sampai Desember 2014.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi
varietas Ciherang, Jatiluhur, IR64, dan Way Apo Buru. Deskripsi varietas padi
yang digunakan disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 4. Pupuk
yang digunakan adalah Urea, SP36 dan KCl dengan dosis sesuai rekomendasi
pada penelitian Khamid (2014) yaitu masing-masing 37.5 kg N ha -1, 36 kg P2O5
ha -1, dan 60 kg K2O ha-1. Pestisida digunakan sesuai dengan kebutuhan. Alat
yang digunakan yaitu alat-alat pertanian, alat analisis kimia, kontainer ukuran 67
cm x 47 cm x 37 cm, meteran, penggaris, timbangan analitik, Hand counter,
Portable Photosynthesis δicor δi˗6400, chlorophyll meter (SPAD Minolta),
Thermo recorder (TR˗71wf, TandD, Japan), mikroskop, bak semai, kamera, dan
alat tulis.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan petak tersarang dengan dua factor dimana ulangan tersarang dalam
perlakuan. Perlakuan suhu merupakan petak utama yang terdiri dari suhu rata-rata
harian yang diharapkan pada perlakuan T1 = suhu lingkungan (oC), T2 = T1+ (1
sampai 2 oC), dan T3 = T2 + (1 sampai 2 oC), sehingga terdapat selisih 1 oC
sampai 4 oC perbedaan suhu pada setiap perlakuan. Data suhu akan diperoleh
sesuai dengan kondisi lingkungan alami, namun karena adanya modifikasi rumah
plastik dan penyekatan dinding plastik dengan ketinggian yang berbeda-beda
diharapkan suhu di dalam rumah plastik dapat lebih tinggi daripada suhu
lingkungan. Varietas sebagai anak petak yaitu Ciherang, Jatiluhur, IR 64, dan
Way Apo Buru. Kombinasi 2 faktor perlakuan menghasilkan 12 kombinasi

8

perlakuan yang diulang 3 kali sehingga terdapat 36 unit percobaan. Setiap unit
percobaan yang ditanam di dalam kontainer terdiri dari 6 tanaman sehingga
terdapat 216 tanaman.
Model linier Rancangan Split plot:
Yijk = µ + Kk +
Yijk
µ
Kk
ik
αi
βj
(αβ) ij
ijk

ik

+ αi + βj+ (αβ) ij +

ijk

Nilai pengamatan perlakuan perbedaan suhu ke-i,
varietas ke-j dan blok ke-k
Rataan umum
Pengaruh pengelompokan ke – k
Pengaruh galat pengelompokkan
Pengaruh perbedaan suhu ke-i; i = 1,…,3
Pengaruh varietas ke˗j; j=1,….,4
Pengaruh Interaksi suhu dan varietas
Pengaruh galat percobaan.

dan

Pelaksaaan Penelitian
Penelitian dilakukan di rumah plastik yang memiliki 3 bagian kompartemen
dengan masing˗masing kompartemen memiliki dinding penyekat dengan
ketinggian yang berbeda˗beda. Kompartemen T1 memiliki ketinggian dinding 1/3
bagian dari tinggi bangunan, dan 2/3 nya ditutup menggunakan waring.
Kompartemen T2 hampir seluruh bagian dinding ditutup, namun bagian atasnya
diberi ventilasi dengan lebar 1 m. Kompartemen T3 seluruh bagian dindingnya
ditutup dengan plastik, sehingga diharapkan memiliki level suhu yang lebih panas
dibandingkan kompartemen T2 dan T1. Kontainer disusun di dalam
masing˗masing kompartemen rumah plastik. Jarak antar masing-masing kontainer
50 cm. Tanah sebagai media tanam dibersihkan dari kotoran rumput, kerikil
maupun sisa akar tanaman lainnya dengan cara diayak menggunakan saringan
yang terbuat dari kawat dengan ukuran lubang 1 cm x 1 cm. Tanah yang sudah
halus dimasukkan ke dalam kontainer dengan berat rata-rata 83 kg tanah per
kontainer kemudian ditambahkan air sampai jenuh dan tergenang dengan
ketinggian air 3 cm di atas permukaan tanah atau setara dengan 39 liter air per
kontainer. Tanah dan air diaduk secara merata sampai membentuk lumpur dan
kemudian didiamkan selama 2 hari sebelum penanaman padi dilakukan.
Pengamatan terhadap suhu dilakukan dengan memasang Thermo recorder
pada masing˗masing kompartemen. Perekaman terhadap suhu udara dilakukan
dari awal tanam sampai panen dengan interval 30 menit, sehingga dalam 24 jam
terdapat 48 titik suhu. Data suhu dari awal tanam sampai panen diakumulasikan
dan dirata˗ratakan menjadi suhu maksimum, minimum, dan rata-rata harian.
Padi yang telah berumur 14 hari ditanam ke dalam kontainer dengan jarak
tanam 20 cm x 20 cm, sehingga terdapat 6 tanaman per kontainer. Pemeliharaan
tanaman dilakukan dengan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan pupuk dasar
37.5 kg N ha -1, 36 kg P2O5 ha -1, dan 60 kg K2O ha-1 diberikan 2 minggu setelah
tanam (MST) dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N ha-1
pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian gulma pada area penelitian dlakukan
secara manual. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

9

Untuk mengetahui efisiensi penggunaan air tanaman padi dilakukan
pemberian air pada kontainer dari awal tanam sampai panen dan air dipertahankan
tetap tergenang pada ketinggian 3 cm di atas permukaan tanah dan dilakukan
perhitungan pada setiap penambahan air ke dalam kontainer. Penambahan air
dilakukan 3 sampai 4 hari sekali.
Pengamatan Penelitian
Peubah yang diamati dalam percobaan ini adalah:
Peubah pertumbuhan:
1. Tinggi tanaman (cm) diamati dari permukaan tanah hingga daun tertinggi.
Setelah membentuk malai pengukuran tinggi tanaman dilakukan hingga
malai tertinggi. Tinggi tanaman diamati setiap 2 minggu sekali sejak
tanaman berumur 3˗9 εST
2. Jumlah anakan yang diamati setiap 2 minggu sekali sejak tanaman berumur
3˗7 εST. Jumlah anakan dihitung per rumpun dari setiap tanaman sampel
dengan menggunakan alat bantu Hand counter.
3. Panjang akar (cm), bobot basah akar (g) dan volume akar (ml) diamati pada
akhir panen.
4. Bobot kering tajuk dan bobot kering akar diamati pada akhir penelitian.
Rasio tajuk per akar dihitung dari hasil pembagian bobot kering tajuk
terhadap bobot kering akar tanaman padi.
Peubah fisiologi:
1. Kerapatan stomata diamati saat tanaman berumur 6 dan 9 MST pada pukul
10.00 WIB.
2. Nilai SPAD diamati saat tanaman berumur 6 dan 9 MST menggunakan
SPAD minolta. Pengamatan dilakukan pada pukul 10.00 WIB.
3. δaju fotosintesis diukur dengan licor δi˗6 400 (Gene Co.δtd., USA)
dilakukan pada 6 dan 9 MST pada pukul 10.00 WIB.
4. Laju transpirasi dan konduktansi stomata diamati saat tanaman berumur 6
dan 9 MST menggunakan Licor 6 400 (Gene Co.Ltd., USA)
Peubah hasil dan komponen hasil:
1. Bobot gabah total (g), bobot gabah bernas (g), bobot gabah hampa (g) dan
bobot gabah berisi tidak penuh (g) dilakukan dengan cara memisahkan
gabah bernas, gabah hampa dan gabah berisi tidak penuh menggunakan
blower.
2. Jumlah gabah total dilakukan dengan cara menghitung semua gabah per
rumpun menggunakan alat hitung hand counter.
3. Persentase gabah bernas (%), persentase gabah hampa (%), dan persentase
gabah berisi tidak penuh (%) dilakukan dengan membandingkan masingmasing peubah tersebut terhadap jumlah gabah total.
4. Bobot 1 000 butir dilakukan dengan menimbang 1 000 butir gabah dengan
kadar air mencapai 13%.
5. Efisiensi penggunaan air dilakukan dengan cara mencatat setiap liter
penambahan air ke dalam kontainer sampai pada batas 3 cm di atas
permukaan tanah dari awal penanaman hingga panen. Efisiensi penggunaan

10

air dihitung dari perbandingan bobot gabah bernas (g) terhadap volume air
yang dikonsumsi tanaman (L).
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pengujian sidik ragam
pada selang kepercayaan 95%. Jika pengujian hasil analisis sidik ragam nyata,
maka dilakukan pengujian dengan uji Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu Rata-rata Harian
Perbedaan suhu pada masing-masing ruangan dapat terjadi dengan
melakukan sistem penyekatan dinding rumah plastik dengan ketinggian yang
berbeda-beda. Suhu tercatat dalam interval 30 menit dan terdapat 48 titik suhu
dalam 24 jam pengamatan. Suhu rata-rata harian yang tercatat selama penelitian
adalah 27.6 oC untuk perlakuan T1, 27.7 oC untuk perlakuan T2, dan 28.5 oC
untuk perlakuan T3. Suhu maksimum dan minimum pada masing-masing
perlakuan dari awal tanam sampai panen adalah 35.4 oC dan 21.6 oC untuk T1,
37.0 oC dan 21.8 oC untuk perlakuan T2, serta 39.5 oC dan 21.9 oC untuk
perlakuan T3 (Gambar 1).

Gambar 1 Suhu rata-rata harian dari awal tanam sampai panen
Fase sensitif pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi adalah pada
tahap pembungaan dan pengisian gabah. Suhu rata-rata harian tanaman dari umur

11

6 sampai 10 MST adalah T1= 27.9 ± 4.4 oC, T2 = 27.9 ±4.1 oC, dan T3 = 29.8
±5.5 oC (Gambar 2). Interval waktu dari umur 6 sampai 10 MST menggambarkan
tanaman memasuki fase pembungaan sampai pematangan padi. Suhu optimum
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi berkisar 27 oC ˗ 32 oC (Yin
et al. 1996). Batas kritis suhu untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman
padi mencapai kisaran 35 oC (Yoshida 1981). Pada penelitian ini, tanaman
terpapar suhu di atas 35 oC dari awal tanam sampai panen terjadi pada perlakuan
T2 yang dimulai pada pukul 11.30 WIB sampai 14.30 dan T3 dari pukul 10.30
WIB sampai 15.00 WIB (Gambar 3). Tanaman yang terpapar suhu di atas 35 oC
memiliki berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil. Suhu di atas 35 oC
merupakan suhu kritis pada fase pembungaan dan pengisian biji (Tao et al. 2008).
Pengaruh suhu tinggi pada fase reproduktif dan pematangan gabah menyebabkan
gabah menjadi mengapur, jumlah gabah berkurang, dan menurunnya bobot gabah
isi tanaman (Sun dan Huang 2011).

Gambar 2 Suhu rata-rata harian pada umur 6 sampai 10 MST

Gambar 3 Durasi tanaman padi terpapar suhu udara di atas 35 oC dari
awal tanam sampai panen

12

Fase reproduktif adalah fase yang paling sensitif terhadap suhu tinggi
dibanding fase vegetatif (Yoshida 1981). Pembungaan dan pengisian gabah
merupakan fase sensitif terhadap suhu tinggi (Roy et al. 2012). Nakagawa et al.
(2001) menyatakan bahwa munculnya anther pada proses pembungaan merupakan
bagian yang paling sensitif terhadap suhu tinggi. Data suhu udara di atas 35 oC
pada masing-masing varietas menjelang berbunga disajikan pada Gambar 4. Data
suhu tersebut dihitung mulai satu minggu sebelum berbunga sampai satu minggu
setelah berbunga untuk masing-masing varietas, kemudian diakumulasikan
menjadi suhu rata-rata harian. Dari hasil pengamatan, tanaman yang terekspos
suhu udara di atas 35 oC hanya terjadi pada perlakuan T3. Varietas IR 64 terpapar
suhu di atas 35 oC memasuki fase pembungaan dimulai pada pukul 11.00 WIB
sampai 15.00 WIB, sedangkan varietas Ciherang, Jatiluhur, dan Way Apo Buru
terpapar suhu di atas 35 oC mulai pukul 11.30 WIB sampai 14.30 WIB. Varietas
Ciherang, Jatiluhur dan Way Apo Buru tersaji dalam satu garis dikarenakan
varietas tersebut memiliki perhitungan hari yang sama ketika memasuki fase
pembungaan yaitu berkisar 68 ˗ 69 hari setelah semai (HSS) sedangkan IR 64
memasuki fase pembungaan rata-rata pada 59 HSS.

Gambar 4 Durasi varietas padi terpapar suhu di atas 35 oC pada selang
waktu seminggu sebelum dan sesudah berbunga. (Keterangan: T3
A: data suhu varietas IR 64, T3 B: Data suhu varietas Ciherang,
Jatiluhur, dan Way Apo Buru)
Peningkatan suhu pada fase berbunga dapat menurunkan laju pengisian
gabah dan meningkatkan gabah hampa (Tao et al. 2008). Peningkatan suhu
sebesar 1 oC di atas suhu optimal memperlambat laju pengisian bulir beberapa
genotipe padi selama 4 sampai 5 hari (Nakagawa et al. 2001). Peningkatan suhu
udara sebesar 5 oC di atas suhu lingkungan nyata menurunkan produksi serbuk
sari tanaman padi (Prasad et al. 2006). Genotipe padi dapat melewati atau
menghindari pengaruh buruk dari cekaman suhu tinggi pada saat anthesis dengan
melewati proses pembungaan pada periode waktu yang belum memasuki cekaman

13

suhu tinggi (Yoshida 1981). Prasad et al. (2006) menyatakan bahwa puncak
anthesis tanaman padi terjadi pada pagi hari, hal ini merupakan mekanisme
tanaman dalam menghindari cekaman suhu tinggi.
Peubah Pertumbuhan
Pengamatan terhadap respon pertumbuhan diwakili tinggi tanaman, jumlah
anakan, panjang akar, bobot basah akar, volume akar, bobot kering akar, bobot
kering tajuk dan rasio tajuk akar tanaman padi. Pengamatan terhadap tinggi
tanaman dilakukan pada umur 3 sampai 9 MST dengan interval 2 minggu. Hasil
rekapitulasi sidik ragam peubah pertumbuhan tersaji pada Lampiran 5. Perlakuan
suhu rata-rata harian 27.6 oC sampai 28.5 oC memberikan pengaruh yang nyata
terhadap peubah tinggi tanaman yaitu meningkatkan tinggi tanaman pada setiap
umur pengamatan (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan suhu
tinggi pada penelitian ini meningkatkan aktivitas pertumbuhan tanaman. Hasil
penelitian ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Shah et al.
(2014) bahwa suhu tinggi pada siang hari cenderung meningkatkan tinggi dan
perkembangan tanaman, namun setiap tanaman memiliki batas maksimum
terhadap suhu. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Julia dan
Dingkuhn (2013) dan Khamid (2014) bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman pada perlakuan suhu tinggi.
Tabel 1 Rata-rata tinggi tanaman empat varietas padi pada perlakuan suhu yang
berbeda
Tinggi tanaman (cm)

Perlakuan
3 MST

5 MST

7 MST

9 MST

Suhu rata-rata
harian
T1= 27.6±4.8 oC

63.5 B

93.3 C

114.0 B

118.5 B

T2 = 27.7±4.9 oC

67.2 A

99.9 A

118.3 A

121.7 AB

T3 = 28.5±6.0 C

65.0 AB

98.0 A

118.8 A

124.6 A

Varietas
Ciherang

63.1 b

92.7 a

105.1 b

106.9 c

Jatiluhur

73.2 a

112.7 a

145.9 a

155.6 a

IR 64

63.0 b

92.0 b

108.4 b

112.2 b

o

Way Apo Buru
61.5 b
90.9 b
108.6 b
111.7 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada
taraf α 5%.
Penggunaan 4 varietas padi pada penelitian ini menghasilkan nilai tinggi
tanaman yang berbeda nyata pada masing-masing varietas. Varietas Jatiluhur
memiliki tinggi tanaman paling tinggi dan berbeda nyata dengan varietas lainnya

14

pada umur 3, 7, dan 9 MST, sedangkan Way Apo Buru merupakan varietas
dengan tinggi tanaman paling rendah pada umur 3, 5, dan 9 MST (Tabel 1).
Perbedaan tinggi tanaman ini dikarenakan masing-masing varietas padi memiliki
perbedaan karakteristik dan merupakan sifat genetik varietas tersebut. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yunanda et al. (2013) yang menguji
2 varietas padi menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur menghasilkan tanaman
yang lebih tinggi daripada IR 64 yaitu masing-masing 117.29 cm dan 90.00 cm
yang terlihat di akhir pengamatan pada perlakuan sistem budidaya padi sawah dan
gogo. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan suhu dan varietas yang diuji pada
penelitian ini terhadap tinggi tanaman padi.
Berdasarkan nilai sidik ragam peubah jumlah anakan pada penelitian ini
terlihat bahwa perlakuan suhu rata-rata harian dari 27.6 oC sampai 28.5 oC tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah anakan padi (Tabel 2). Interaksi
suhu dan varietas juga tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan suhu rata-rata harian sebesar 1.1 oC pada
penelitian ini tidak memberikan tekanan terhadap peubah jumlah anakan padi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Julia dan
Dingkhun (2013) serta Khamid (2014) yang menunjukkan bahwa perlakuan suhu
tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan padi.
Terdapat keragaman yang nyata antar varietas dalam jumlah anakan padi.
Varietas Ciherang, IR 64 dan Way Apo Buru memiliki jumlah anakan yang lebih
banyak namun tidak berbeda nyata diantara ketiga varietas tersebut (Tabel 2).
Banyaknya anakan pada varietas tersebut merupakan ciri-ciri dari varietas-varietas
padi sawah. Jatiluhur merupakan varietas dengan jumlah anakan paling sedikit
pada setiap umur tanaman. Penelitian lain yang menunjukkan hasil yang sama
dengan penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Yunanda et al. (2013). Jatiluhur
memiliki jumlah anakan paling sedikit dibandingkan IR 64 yaitu masing-masing 8
anakan untuk Jatiluhur dan 10 anakan rumpun-1 untuk varietas IR 64 pada umur
10 MST (minggu terakhir pengamatan).
Tabel 2 Rata-rata jumlah anakan empat varietas padi pada perlakuan suhu yang
berbeda
Perlakuan
Suhu rata-rata harian
T1 = 27.6±4.8 oC
T2 = 27.7±4.9 oC
T3 = 28.5±6.0 oC

3 MST
7.4
6.6
6.5

Jumlah anakan tanaman-1
5 MST
7 MST
17.1
16.6
17.0

19.2
18.4
19.0

Varietas
Ciherang
7.5 a
20.2 a
23.5 a
Jatiluhur
4.7 b
11.7 b
12.8 d
IR 64
6.9 a
18.3 a
20.9 b
Way Apo Buru
8.3 a
17.4 a
18.3 c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada
taraf α 5%.

15

Pengamatan terhadap panjang akar, bobot basah akar, dan volume akar pada
penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan suhu tidak berpengaruh nyata
terhadap peubah tersebut (Tabel 3). Budidaya sistem sawah yang dilakukan pada
penelitian ini memberikan kondisi yang sama untuk semua perlakuan yaitu air
selalu tersedia sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air walaupun pada
suhu tinggi.
Tabel 3 Panjang akar, bobot basah akar, dan volume akar empat varietas padi pada
perlakuan suhu yang berbeda
Perlakuan
Suhu rata-rata harian
T1 = 27.6±4.8 oC
T2 = 27.7±4.9 oC
T3 = 28.5±6.0 oC

Panjang akar
(cm)
tanaman-1

Bobot basah
akar (g)
tanaman-1

Volume akar
(ml) tanaman-1

34.1
31.2
34.1

47.6
44.9
50.7

263.7
233.3
256.2

Varietas
Ciherang
36.2 a
44.5 bc
230.0 bc
Jatiluhur
34.1 a
58.8 a
331.1 a
IR 64
27.1 b
36.1 c
175.5 c
Way Apo Buru
35.2 a
51.5 ab
267.7 ab
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada
taraf α 5%.
Perbedaan yang nyata diperoleh pada masing-masing varietas dengan
peubah panjang akar, bobot basah akar, dan volume akar padi. IR 64 merupakan
varietas dengan nilai panjang akar, bobot basah akar, dan volume akar nyata lebih
rendah dibandingkan varietas lainnya. Varietas Ciherang, Jatiluhur, dan Way Apo
Buru memiliki panjang akar yang lebih panjang dan tidak berbeda nyata di antara
ketiga varietas tersebut. Pada peubah bobot basah akar dan volume akar, Jatiluhur
dan Way Apo Buru merupakan varietas dengan nilai bobot akar lebih tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan IR 64 dan Ciherang. Tidak terdapat interaksi
perlakuan suhu dan varietas pada peubah panjang akar, bobot akar, dan volume
akar pada penelitian ini.
Peubah pertumbuhan lain yang diamati pada penelitian ini adalah bobot
kering tajuk, bobot kering akar, dan rasio tajuk akar tanaman padi. Pengamatan
terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering akar dilakukan pada akhir penelitian.
Perlakuan suhu udara memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk,
namun tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan rasio tajuk akar
tanaman padi (Tabel 4). Berat kering mencapai maksimum terjadi pada saat panen.
Peningkatan suhu udara sebesar 1.1 oC meningkatkan bobot kering tajuk tanaman
padi sebesar 9.4%. Guo-Hua et al. (2013) mengemukakan hasil penelitiannya
bahwa perlakuan suhu udara yang lebih tinggi sebesar 41 oC selama tahap

16

pertumbuhan meningkatkan berat kering jerami terhadap total biomas tanaman
yang di uji di Cina.
Tabel 4 Bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan rasio tajuk akar empat varietas
padi pada perlakuan suhu yang berbeda
Perlakuan
Suhu rata-rata harian
T1 = 27.6±4.8 oC
T2 = 27.7±4.9 oC
T3 = 28.5±6.0 oC

Bobot kering
tajuk (g)
tanaman-1

Bobot kering
akar (g)
tanaman-1

Rasio
tajuk/akar
tanaman-1

50.4 B
46.5 C
55.1 A

10.2
8.7
9.9

5.6
5.8
5.2

Varietas
Ciherang
49.5 b
9.2
5.7
Jatiluhur
56.7 a
10.5
4.9
IR 64
45.0 c
9.7
6.2
Way Apo Buru
51.4 b
9.1
5.2
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada
taraf α 5%.
Peningkatan bobot kering tajuk terjadi karena adanya peningkatan laju
fotosintesis dan asimilasi bersih tanaman (Roy et al. 2012). Peningkatan berat
kering jerami berarti akan mempunyai efek yang