Respon Fisiologi Dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum Melongena) Terhadap Cekaman Suhu Tinggi

RESPON FISIOLOGI DAN MORFOLOGI TANAMAN
TERUNG (Solanum melongena) TERHADAP CEKAMAN
SUHU TINGGI

MELISNAWATI H ANGIO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Fisiologi dan
Morfologi Tanaman Terung (Solanum melongena) terhadap Cekaman Suhu
Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016

Melisnawati H Angio
NIM G353130101

RINGKASAN
MELISNAWATI H ANGIO. Respon Fisiologi dan Morfologi Tanaman Terung
(Solanum melongena) terhadap Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh
MIFTAHUDIN dan SOBIR.
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran
penting dari famili Solanaceae yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
sebagai bahan pangan yang enak dan menyehatkan, serta memiliki nilai ekspor
yang tinggi. Kondisi suhu udara yang kian meningkat akhir-akhir ini dapat
mempengaruhi produktivitas tanaman terung. Cekaman suhu tinggi sering
didefinisikan ketika terjadi kenaikan suhu di luar batas selama jangka waktu yang
cukup untuk menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang tidak dapat balik. Namun, informasi mengenai toleransi tanaman
terung terhadap cekaman suhu tinggi belum tersedia di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari respon fisiologi dan morfologi beberapa genotipe

tanaman terung terhadap cekaman suhu tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan informasi dasar dalam pengelolaan dan pemuliaan varietas unggul
terung yang toleran cekaman suhu tinggi namun tetap berproduksi optimal.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Agustus
2015. Sebanyak 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan 081) hasil koleksi
PKHT (Pusat Kajian Hortikultura Tanaman) yang berasal dari seluruh Indonesia.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3
ulangan. Faktor pertama adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069, 080, dan
081) dan faktor kedua adalah perlakuan suhu dengan 2 taraf yaitu: suhu sesuai
dengan kondisi lapang (25.9 °C) dan suhu tinggi di dalam rumah kaca (35.2 °C ).
Sejumlah 16 peubah fisiologi, pertumbuhan, dan komponen produksi diamati
dalam penelitian ini. Pengukuran peubah fisiologis meliputi konduktansi stomata,
laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan
klorofil daun yang dicerminkan dengan tingkat kehijauan daun, kandungan CO2
interseluler, dan laju fotosintesis. Pengukuran peubah pertumbuhan meliputi
tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang, sedangkan peubah produksi
meliputi jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah buah, panjang buah, dan bobot
buah per tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman suhu tinggi menurunkan
konduktansi stomata, laju transpirasi, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel

daun, kandungan klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju
fotosintesis. Suhu tinggi juga menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan
jumlah cabang, sehingga menurunkan jumlah bunga, viabilitas polen, jumlah
buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman. Genotipe 080 dan 081 memiliki
nilai yang lebih tinggi pada semua peubah fisiologi dan morfologi dibanding
dengan genotipe lain. Berdasarkan nilai HSI, kedua genotipe tersebut tergolong
genotipe moderat toleran terhadap suhu tinggi.

Kata Kunci: Cekaman suhu tinggi, fisiologi, morfologi, terung, toleran

SUMMARY
MELISNAWATI H ANGIO. Physiological and Morphological Responses of
Eggplant (Solanum tuberesum) to Heat Stress. Supervised by MIFTAHUDIN and
SOBIR.
Eggplant (Solanum melongena) is one of important vegetable plants of
family Solanaceae which is known by Indonesian people as a tasty and healthy
food, and also has a high export value. Temperature increasing currently can
affect eggplant productivity. Heat stress is often defined as a temperature rise
beyond the limits for a sufficient period of time to cause the disruption of
irreversible plant growth and development. There are no data on eggplant

tolerance of heat stress in Indonesia. This study aimed to study the physiological
and morphological responses of eggplant genotypes to heat stress. The result of
this study is expected as basic information for management and breeding of
superior varieties of eggplants which are tolerant to heat stress but the eggplants
are still productive.
This study was conducted in March 2014 to August 2015. Six genotypes of
eggplant (002, 007, 053, 069, 080, and 081) collected by PKHT (Center for
Tropical Horticulture Studies) from all over Indonesia were used. This research
was designed as a complete randomized factorial design with 2 factors and 3
replicates within each treatment. The first factor was 6 genotypes of eggplant
(encoded as 002, 007, 053, 069, 080, and 081) and the second factor was 2 levels
of temperature treatments, i.e.: normal field temperature (daily average
temperature of (25.9 °C) and heat stress temperature (35.2 °C). Sixteen variables
of physiological, growth and production components were observed in this study.
Measurement of physiological variables were stomatal conductance, transpiration
rate, humidity leaf cells, cell H2O content of the leaves, leaf chlorophyll content as
reflected by the level of leaf greenness, intercellular CO2 content, and the rate of
photosynthesis. Measurement of growth variables were plant height, leaf number,
and number of branches, while the production variables were the number of
flowers, pollen viability, number of fruit, fruit length and weight per plant.

The results showed that heat stress decreased stomatal conductance,
transpiration rate, humidity and H2O content of leaf cells, chlorophyll content of
leaves, CO2 content of intercellular leaf, and the rate of photosynthesis. High
temperatures also decreased plant height, leaf and branch number, thus decreased
the number of flowers, pollen viability, number of fruit, fruit length and weight
per plant. Two eggplant genotypes, 080 and 081, showed moderat tolerant to heat
stress based on heat susceptibility index and plant growth differences between
normal and high temperature condition.

Keywords: Eggplant, heat stress, morphology, physiology, tolerance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


RESPON FISIOLOGI DAN MORFOLOGI TANAMAN
TERUNG (Solanum melongena) TERHADAP CEKAMAN
SUHU TINGGI

MELISNAWATI H ANGIO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji luar komisi: Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si


PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Respon Fisiologi
dan Morfologi Tanaman Terung (Solanum melongena) terhadap Cekaman
Suhu Tinggi” dapat diselesaikan, sebagai syarat utama untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan, Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 hingga Agustus
2015.
Penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada 1) Dosen
pembimbing (Dr Ir Miftahudin, MSi dan Prof Dr Ir Sobir, MSi) yang telah
memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian
dan penyusunan tesis ini; 2) Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si sebagai Dosen
penguji luar komisi; 3) Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas kesediaan
menguji dan mengoreksi penulisan tesis ini agar menjadi lebih baik; 4) DIKTI
atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri tahun 2013 yang telah
diberikan selama menempuh pendidikan; 5) Kepala PKHT IPB Dr Ir Darda
Efendi, MSi atas bahan penelitian yang telah digunakan selama penelitian; 6) Staf
di kebun percobaan Cikabayan-IPB; 7) seluruh dosen dan staf Program Studi
Biologi Tumbuhan; 8) teman-teman seperjuangan Program Studi Biologi

Tumbuhan Pascasarjana IPB 2013 dan teman-teman Asrama Gorontalo atas
kebersamaan yang berharga dan penuh kenangan, serta 9) pihak lainnya yang
tidak tersebutkan.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
orang tua tersayang (Papa Alm. Hamza Angio dan Mama Djamila Dumo) dan
Kakak-kakak serta seluruh keluarga besar atas segala do’a, dukungan, motivasi
dan dukungan dalam segala hal, pengertian dan kesabaran yang luar biasa hingga
studi yang panjang ini terselesaikan. Semoga tesis ini selalu bermanfaat bagi
kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, November 2016

Melisnawati H Angio

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

Halaman
xii


DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiiii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


2 TINJAUAN PUSTAKA

2

Botani Tanaman Terung

2

Syarat Tumbuh dan Kebutuhan Suhu Tanaman Terung

3

Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman

3

Mekanisme Toleransi dan Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi 4
Peubah Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi
3 METODE PENELITIAN


5
6

Bahan Tanaman

7

Waktu dan Tempat

7

Rancangan Percobaan

7

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan

7

Pelaksanaan Percobaan

7

Pengukuran Peubah Pertumbuhan

8

Pengukuran Peubah Fisiologis

8

Pengukuran Peubah Produksi

8

Analisis Data

9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Iklim Mikro Lokasi Percobaan

9

Pemilihan Genotipe untuk Percobaan

11

Respon Fisiologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi

12

Respon Morfologi Tanaman Terung terhadap Cekaman Suhu Tinggi

18

Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi terhadap Komponen Produksi Tanaman
Terung

20

Heat Susceptibility Index

23

Pembahasan

24

5 SIMPULAN DAN SARAN

27

Simpulan

27

Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
Halaman
Suhu udara, kelembaban udara, PAR, dan cahaya selama pelaksanaan
penelitian
10
2 Rata-rata total persentase penurunan pada 15 genotipe terung
11
3 Enam genotipe terpilih hasil penapisan
12
4 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap tinggi tanaman (cm) pada umur 8
MST
19
5 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah daun pada umur 8 MST
19
6 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah cabang pada umur 8
MST
20
7 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah bunga
20
8 Nilai duga viabilitas polen (%) pada kondisi lapang dan tercekam suhu
tinggi
21
9 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap jumlah buah
22
10 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap panjang buah (cm)
22
11 Pengaruh cekaman suhu tinggi terhadap bobot buah per tanaman (g)
23
12 Indeks kepekaan terhadap cekaman (HSI) yang dihitung berdasarkan
peubah laju fotosintesis, viabilitas polen, dan jumlah buah 6 genotipe
terung terhadap cekaman suhu tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif
dan generatif
24
1

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Bagan alir penelitian respon fisiologi dan morfologi tanaman terung
(Solanum melongena) terhadap cekaman suhu tinggi
6
2 Grafik pengamatan rata-rata suhu harian pada jam 06.00 sampai dengan
18.00 di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan dan di dalam
rumah kaca dengan suhu tercekam suhu tinggi
10
3 Grafik pengamatan rata-rata suhu pada fase pertumbuhan tanaman terung
di luar rumah kaca dengan kondisi lapangan (Hs0) dan di dalam rumah
kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi (Hs1)
11

1

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13
14

Konduktansi stomata tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca
pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam
suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Laju transpirasi tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada
kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu
tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Suhu daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada kondisi
lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi
(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Kelembaban sel daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca
pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam
suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Kandungan H2O sel daun tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca
pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam
suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Kandungan klorofil tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada
kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu
tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Kandungan CO2 interseluler sel tanaman yang ditumbuhkan di luar
rumah kaca pada kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi
tercekam suhu tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Laju fotosintesis tanaman yang ditumbuhkan di luar rumah kaca pada
kondisi lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu
tinggi (Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Tinggi tanaman genotipe 081 (A) dan genotipe 069 (B) pada kondisi
lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi
(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC
Bakal bunga (A) dan bunga mekar (B) yang gugur pada kondisi tercekam
suhu tinggi
Produksi buah genotipe 081 (kiri) dan genotipe 053 (kanan) pada kondisi
lapang (Hs0) dengan suhu 25.9 ºC dan kondisi tercekam suhu tinggi
(Hs1) dalam rumah kaca dengan suhu 35.2 ºC

13

13

14

14

15

16

17

17

18
21

23

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

11
1
2
3
4
5

Deskripsi enam genotipe terung bahan penelitian
32
Hasil penapisan 15 genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi
35
Morfologi bunga 6 genotipe terung bahan penelitian
36
Morfologi buah 6 genotipe terung bahan penelitian
37
Nilai koefisien korelasi respon fisiologi dan morfologi tanaman terung (Solanum
melongena) terhadap cekaman suhu tinggi
38

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran
penting dari famili Solanaceae yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
sebagai bahan pangan yang kaya kandungan gizi dan menyehatkan. Kandungan
mineral (mg) dalam 100 g terung ungu antara lain 2.57 Na, 6.32 Mg, 0.14 Zn,
254.26 K, dan 0.23 Fe (Surahman & Darmajana 2004). Terung juga merupakan
sumber vitamin C dan mineral. Menurut USDA NRC (2014) kandungan nutrisi
terung lebih baik jika dibandingkan dengan sayuran umum lainnya, yaitu 92.7%
air, 1.4% protein, 1.3% serat, 0.3% lemak, 0.3% mineral, dan 4% sisanya terdiri
atas karbohidrat dan vitamin (A dan C). Lim (2013) juga melaporkan manfaat
buah terung berwarna putih bagi penderita diabetes dan sangat diajurkan bagi
penderita gangguan hati. Selain itu buah terung kaya akan gula total terlarut,
antosianin, fenol, glycol alkaloids (seperti solasodine), dan protein yang tinggi.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan kesadaran untuk hidup sehat
berdampak terhadap peningkatan konsumsi sayuran termasuk terung. Data
konsumsi kalori per kapita per tahun komoditas terung pada tahun 2014 sebesar
2451 kg dan meningkat menjadi 2503 kg pada tahun 2015 (SUSENAS BPS
2015). Produktivitas tanaman terung sebesar 11.20 ton/Ha pada tahun 2015
namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas tanaman
tomat dan kentang pada tahun yang sama yaitu lebih dari 16.09 ton/Ha dan 18.20
ton/Ha (BPS 2015). Oleh karena itu perbaikan tanaman terung di Indonesia perlu
ditingkatkan.
Peningkatan produktivitas tanaman pada umumnya terkendala oleh
cekaman abiotik. Cekaman suhu tinggi merupakan salah satu cekaman
lingkungan abiotik yang disebabkan oleh peningkatan suhu lingkungan akibat
dari perubahan iklim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah
melaporkan bahwa pada akhir abad ke-21 rata-rata suhu permukaan bumi akan
meningkat antara 2–4 °C (2013). Berdasarkan data suhu tahun 2015, di Indonesia
telah terjadi peningkatan suhu sebesar 0.65–1.43 ºC (BMKG 2015).
Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kondisi terjadinya
kenaikan suhu di luar batas suhu optimum pertumbuhan selama jangka waktu
yang cukup untuk menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang tidak dapat balik. Tanaman mengalami cekaman suhu tinggi
apabila kondisi suhu yang diterima mengalami peningkatan 10-15 °C di atas suhu
optimum pertumbuhan tanaman (Kotak et al. 2007). Batas cekaman suhu tinggi
ditentukan berdasarkan suhu rata-rata harian yang menyebabkan awal terjadinya
penurunan pertumbuhan tanaman.
Cekaman suhu tinggi pada tanaman secara umum berpengaruh terhadap
proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, kandungan air, dan stabilitas
membran (Wahid et al. 2007). Hasil penelitian Camejo et al. (2005)
membuktikan bahwa tanaman tomat yang diberi cekaman suhu tinggi 45 °C
selama 2 jam menunjukkan penurunan kandungan klorofil dan laju fotosintesis
akibat penurunan biosintesis klorofil. Pengaruh lain dari cekaman suhu tinggi
adalah perubahan morfologi dan penurunan produksi (Fageria et al. 2005; Rao et
al. 2006). Selain kandungan klorofil daun dan produksi tanaman, salah satu

2

kriteria seleksi untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap cekaman suhu
tinggi adalah viabilitas polen. Kakani et al. (2005) menyatakan bahwa pada
tanaman kapas varietas yang toleran memiliki viabilitas polen yang tinggi dalam
kondisi suhu tinggi.
Tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi dapat diduga
berdasarkan besarnya penurunan relatif berbagai peubah pertumbuhan dan hasil
pada kondisi lingkungan optimal dan lingkungan tercekam (Rosielle & Hamblin
1986). Pendekatan tersebut telah digunakan oleh Handayani (2013b), Altuhaish
(2014) dan Frey et al. (2016) untuk mengidentifikasi toleransi terhadap cekaman
suhu tinggi pada tanaman kentang, gandum, dan jagung.
Informasi mengenai toleransi tanaman terung terhadap cekaman suhu
tinggi belum tersedia di Indonesia. Studi fisiologi dan morfologi perlu dilakukan
untuk mengetahui sifat-sifat tanaman terung toleran suhu tinggi namun tetap
berproduksi optimal sehingga dapat dipilih genotipe yang memiliki sifat-sifat
tersebut baik sebagai tetua dalam pemuliaan tanaman terung maupun dalam
pemilihan bahan tanaman yang akan dibudidayakan pada lingkungan bersuhu
tinggi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanaman yang ditumbuhkan dalam
rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi menunjukkan perbedaaan respon
fisiologi dan morfologi dengan tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi lapang.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon fisiologi dan morfologi
beberapa genotipe terung terhadap cekaman suhu tinggi.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Terung
Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari
Asia, terutama India dan Birma yang kemudian diperkenalkan ke Eropa oleh para
pedagang Arab lalu dibawa ke Amerika Utara oleh para imigran Eropa. Tipe liar
terung dengan ukuran buah kecil sering disebut sebagai S. melongena var.
insanum, ditemukan di dataran Bengal, India. Variasi warna dan bentuk buah
terung ditemukan di seluruh Asia Tenggara, hal ini menunjukkan bahwa daerah
ini merupakan daerah pusat keragaman dan memungkinkan sebagai daerah asal
tanaman terung (Daunay & Janick 2007 ).
Terung merupakan tanaman semusim dengan tinggi mencapai 50 hingga
125 cm. Tanaman terung pada umumnya bercabang dan batangnya berbulu,
daunnya memiliki ukuran panjang 10-20 cm dan lebar 5-10 cm dengan bagian
bawah permukaan daun berbulu. Terung berbunga sempurna dengan benang sari
tidak berlekatan (lepas). Jumlah bunga terung dalam satu tandan banyak.
Umumnya bunga berwarna ungu, tetapi ada pula yang berwarna putih. Tanaman
terung mulai berbunga umur ±2 bulan dan buah dipanen sekitar umur 3–4 bulan.
Bentuk buah beraneka ragam, antara lain: bulat lonjong atau bulat panjang.

3

Warna buah ungu, tetapi ada pula yang berwarna putih dan hijau bergaris putih.
Warna kulit buah kurang menarik apabila terjadi kekurangan air (Ashari 1995).
Setelah tua buah terung berwarna kekuningan. Bergantung jenisnya, satu buah
terung berisi sekitar 2500 biji. Tanaman terung berakar tunggang dengan akar
samping yang dangkal (Magioli & Mansur 2005).
Syarat Tumbuh dan Kebutuhan Suhu Tanaman Terung
Budidaya terung dilakukan di tempat terbuka dengan kondisi cahaya
matahari yang cukup. Terung dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan
dataran tinggi dari kisaran 1-1000 mdpl, tetapi pada ketinggan tempat lebih dari
800 mdpl pertumbuhannya akan lambat dan produksinya akan berkurang
(Siemonsma & Piluek 1994). Kondisi tanah yang ideal untuk penanaman terung
yaitu tanah liat lempung berpasir dan cukup bahan organik dengan kondisi aerasi
dan draenasinya baik, serta tidak mudah tergenang air. Keasaman (pH) tanah yang
sesuai untuk tanaman terung sekitar 6.0-6.5. Kelembaban udara 65-80 % dengan
curah hujan 800-1200 mm/tahun (Lim 2013).
Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman terung berkisar antara 22-30
ºC. Terung tumbuh baik pada suhu siang hari berkisar antara 22-30 °C, dan suhu
malam berkisar antara 20-27 °C. Suhu optimum untuk pembungaan berkisar
antara 22–30 ºC. Pada suhu dibawah 17 ºC menyebabkan polen menjadi steril.
Pertumbuhan tanaman terung akan terhambat pada kondisi suhu tinggi dan
menyebabkan kekerdilan tanaman. Pertumbuhan tanaman terung lebih mengarah
ke pertumbuhan vegetatif ketika suhu dan kelembaban tinggi (Chen et al. 2002).
Pengaruh Cekaman Suhu Tinggi pada Tanaman
Cekaman suhu tinggi adalah suatu kondisi suhu yang dihadapi oleh
tanaman yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik. Suhu menjadi
cekaman bagi tanaman bergantung pada laju perubahan, intensitas maupun
durasinya. Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan ketika terjadi kenaikan suhu
di luar batas suhu pertumbuhan optimum tanaman selama jangka waktu yang
cukup untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang tidak dapat balik. Secara umum, peningkatan 10-15 ºC di atas suhu
optimum pertumbuhan dianggap sebagai cekaman suhu tinggi (heat shock, heat
stress) (Wahid et al. 2007).
Cekaman suhu tinggi pada tanaman secara umum mempengaruhi proses
fisiologi pada tanaman (Howarth 2005). Salah satu proses fisiologis yang sangat
sensitif terhadap cekaman suhu tinggi adalah fotosintesis. Hasil penelitian
sebelumnya membuktikan bahwa tanaman tomat, kentang, dan gandum yang
diberi cekaman suhu tinggi menunjukkan penurunan laju fotosintesis dan
kandungan klorofil tanaman (Camejo et al. 2005; Aien et al. 2011; Almeselmani
et al. 2012; Handayani et al. 2013a). Hal ini disebabkan karena cekaman suhu
tinggi menghambat sintesis dan aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam
sintesis klorofil (5-aminolevulinic acid dehydratase dan porphobilinogen
deaminase) sehingga menyebabkan penurunan kandungan klorofil daun yang
memberikan pengaruh terhadap laju fotosintesis tanaman (Tewari & Tripathy
1998). Selain penurunan kandungan klorofil, cekaman suhu tinggi juga
menurunkan laju fotosintesis melalui kerusakan pada membran tilakoid akibat

4

kehilangan atau pembengkakan susunan grana dimana Photosystem II terjadi. Hal
ini menyebabkan perubahan distribusi energi dan menghambat aktivitas enzim
metabolisme karbon, terutama rubisko melalui gangguan pada transport elektron
dan inaktivasi enzim (Salvucci & Crafts 2004).
Pengaruh lain dari cekaman suhu tinggi adalah perubahan morfologi dan
penurunan produksi tanaman (Rao et al. 2006; Handayani et al. 2013b).
Kerentanan beberapa spesies dan genotipe terhadap suhu tinggi mungkin
bervariasi dengan fase perkembangan tanaman, tetapi seluruh fase vegetatif dan
generatif akan dipengaruhi oleh cekaman suhu tinggi. Selama fase vegetatif, suhu
tinggi akan merusak daun tempat pertukaran gas. Pengaruh terbesar suhu tinggi
terhadap pertumbuhan pucuk adalah terjadi penurunan aktivitas sink dan source
yang dapat menyebabkan penurunan hebat terhadap pertumbuhan sehingga dapat
menyebabkan kematian secara prematur pada tanaman (Kotak et al. 2007).
Pada tomat ketika suhu lingkungan melampaui 35 ºC, perkecambahan biji,
pertumbuhan biji, dan pertumbuhan vegetatif tetap berlangsung, tetapi
pembungaan, pembentukan buah, dan pemasakan buah sangat terhambat. Paparan
suhu tinggi dalam waktu singkat selama pengisian biji akan menginduksi
senesense lebih awal, mengurangi pembentukan biji dan bobot biji, serta akan
mengurangi hasil tanaman. Menurut Frey et al. (2016), pertumbuhan jagung
menurun pada suhu 40 ºC dan terhenti pada suhu 45 ºC. Suhu tinggi
memperpanjang lamanya pengisian biji dan mereduksi pertumbuhan kernel yang
menyebabkan kehilangan pada kernel dan berat kernel sampai 7% pada gandum
(Altuhaish 2014).
Selama fase generatif, cekaman suhu tinggi dalam periode singkat
sekalipun dapat menggugurkan bakal bunga dan bunga yang mekar. Tanaman
cowpea, pada fase generatif sangat sensitif terhadap cekaman suhu tinggi.
Cekaman suhu 30-35 ºC hanya dalam beberapa hari dapat menyebabkan
kehilangan hasil yang besar pada tanaman legum karena gugurnya bunga dan
aborsi polong (Ahmed 1992). Pengaruh lain dari cekaman suhu tinggi pada
beberapa spesies tanaman adalah induksi sterilitas polen ketika tanaman terpapar
suhu tinggi secara tiba-tiba pada fase sebelum atau selama pembungaan
berlangsung (Muller & Rieu 2016). Kegagalan perkembangan polen dan antera
oleh peningkatan suhu merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap
penurunan jumlah bunga pada beberapa tanaman pada kondisi yang suhu tinggi.
Dalam kondisi cekaman suhu tinggi, pembentukan buah tomat mengalami
kegagalan karena adanya metabolisme gula dan transport prolin yang dihambat
selama perkembangan reproduktif bunga jantan (Sato et al. 2006).
Mekanisme Toleransi dan Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Suhu
Tinggi
Toleran terhadap suhu tinggi umumnya didefinisikan sebagai kemampuan
tanaman untuk mempertahankan pertumbuhan dan hasil pada kondisi suhu tinggi.
Wahid et al. (2007) menyatakan bahwa suhu rata-rata harian merupakan angka
yang paling tepat digunakan sebagai penentu respon tanaman terhadap suhu
tinggi. Penelitian yang melaporkan mekanisme adaptasi tanaman terhadap suhu
tinggi masih terbatas. Pada tanaman yang mengalami cekaman suhu tinggi,
secara umum terjadi penutupan stomata. Hal ini ditunjukan untuk membatasi

5

kehilangan air melalui proses transpirasi yang merupakan mekanisme penurunan
suhu tubuh tanaman ketika tanaman tercekam suhu tinggi (Rao et al. 2006).
Selama fase vegetatif, suhu tinggi pada siang hari dapat menurunkan laju
asimilasi CO2 sehingga membatasi peningkatan fotosintesis neto (Pn) (Nakamoto
& Hiyama 1999). Kobayashi et al. (2010) melaporkan bahwa antesis bunga
lebih lama merupakan salah satu mekanisme untuk menghindari cekaman panas
atau suhu tinggi. Penghambatan reproduksi tanaman merupakan salah satu
mekanisme tanaman untuk menghadapi cekaman suhu tinggi karena tanaman
menggunakan fotosintat dalam jumlah yang terbatas untuk menghadapi cekaman
suhu tinggi (Soepandi 2013).
Peubah Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi
Status air tanaman adalah peubah yang sangat penting dalam perubahan
suhu lingkungan. Pada umumnya tanaman cenderung mempertahankan status
airnya tanpa terpengaruh oleh perubahan suhu bila kelembaban udara cukup,
tetapi pada kondisi suhu tinggi kondisi tersebut tidak memungkinkan sama sekali
karena ketersediaan air sangat terbatas. Pada kondisi lapang, cekaman suhu tinggi
sering dihubungkan dengan penurunan ketersediaan air. Pada umumnya, suhu
tinggi meningkatkan transpirasi yang menyebabkan defisit air pada tanaman
sehingga menginduksi penurunan potensial air yang menimbulkan gangguan
terhadap beberapa proses fisiologis (Morales et al. 2003).
Klorofil merupakan pigmen fotosintesis di dalam kloroplas yang
dihasilkan melalui serangkaian proses sintesis. Beberapa enzim berperan dalam
sintesis klorofil dan aktivitasnya dihambat oleh suhu tinggi (Tewari & Tripathy
1998). Oleh karena itu, pengukuran kandungan klorofil dan laju fotosintesis dapat
digunakan sebagai peubah toleransi suatu genotipe terhadap cekaman suhu tinggi
(Camejo et al. 2005; Aien et al. 2011; Almeselmani et al. 2012; Handayani et al.
2013a).
Perubahan dalam atribut fotosintesis pada kondisi cekaman suhu tinggi
adalah indikator yang baik dalam toleransi suhu tinggi untuk menunjukkan adanya
korelasi dengan pertumbuhan tanaman. Proses fotosintesis yang terhambat akibat
pengaruh cekaman suhu tinggi akan menurunkan hasil fotosintat sehingga akan
membatasi pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Kotak et al 2007).
Tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi dapat diduga
berdasarkan besarnya penurunan relatif berbagai peubah pertumbuhan dan hasil
pada kondisi lingkungan optimal dan lingkungan tercekam (Rosielle & Hamblin
1986). Pendekatan tersebut telah digunakan oleh peneliti untuk mengidentifikasi
toleransi terhadap cekaman suhu tinggi pada tanaman kentang (Handayani et al.
2013a) , gandum (Altuhaish 2014), dan jagung (Frey et al. 2016).

6

3 METODE
Penelitian cekaman suhu tinggi pada tanaman terung dilakukan pada saat
fase vegetatif sampai dengan fase generatif. Untuk mengetahui respon fisiologi
dan morfologi tanaman terung terhadap cekaman kekeringan maka diperlukan
beberapa peubah penting yang diamati dan dianalisis terkait pertumbuhan dan
fisiologi tanaman. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir penelitian respon fisiologi dan morfologi tanaman terung
(Solanum melongena) terhadap suhu tinggi

7

Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053,
069, 080, dan 081) hasil koleksi Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Bogor
yang berasal dari seluruh Indonesia (Lampiran 1).
Waktu dan Tempat
Pengujian terhadap genotipe terung hasil koleksi PKHT dilakukan di
rumah kaca kebun percobaan Cikabayan IPB dan di Laboratorium Mikroteknik,
Departeman Biologi FMIPA, IPB dari bulan Maret 2014 sampai dengan bulan
Agustus 2015.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial
dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah 6 genotipe terung (002, 007, 053, 069,
080, dan 081) dan faktor kedua adalah perlakuan suhu dengan 2 taraf yaitu: suhu
sesuai dengan kondisi lapang (Hs0) dan suhu tinggi di dalam rumah kaca (Hs1).
Terdapat 12 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 36 unit
percobaan.
Pemilihan Genotipe untuk Percobaan
Uji pendahuluan dilaksanakan selama bulan Maret 2014 sampai dengan
bulan Desember 2014. Benih yang diperoleh direndam dalam air hangat selama
±1 jam untuk menghilangkan sifat dormansi (15 benih/genotipe). Penelitian
diawali dengan tahapan penapisan 56 genotipe terung hasil koleksi PKHT. Dari
hasil penapisan tahap awal terpilih 15 genotipe yang memenuhi syarat
berdasarkan persentase tumbuh ketika benih disemai selama 5 minggu. Genotipe
yang memiliki presentase tumbuh yang baik dipindahkan ke dalam polybag
berukuran 30x25 cm dan ditempatkan di luar rumah kaca (kondisi lapang) serta di
dalam rumah kaca (cekaman suhu tinggi). Tahap penapisan akhir dilakukan
selama fase vegetatif sampai tanaman berbuah dengan mengamati peubah tinggi
tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil yang dicerminkan dengan tingkat
kehijauan daun, dan jumlah buah.
Pelaksanaan Percobaan
Pelaksannaan percobaan 6 genotipe terung yang terpilih dari hasil
penapisan dilaksanakan selama bulan Februari 2015 sampai dengan bulan
Agustus 2015. Biji terung dikecambahkan dengan merendam biji-biji yang terpilih
dalam air hangat selama ± 1 jam untuk menghilangkan sifat dormansinya. Benih
ditanam pada media persemaian sampai 14 hari setelah semai (HTS), kecambah
yang tumbuh baik dan sehat dengan tinggi relatif seragam dipindah ke polybag
berukuran 40x40 cm dengan media campuran tanah, pasir, dan kompos dengan
perbandingan 1:1:1 (v/v/v). Pemeliharaan tanaman dilakukan hingga benih
tumbuh dengan baik. Pemberian pupuk NPK majemuk (16:16:16) dilakukan pada
minggu ke 3 dan minggu ke 5 setelah transplanting dengan cara dilarutkan dalam
air dengan konsentrasi 20 g/l, dengan dosis 150 ml/tanaman (Koswara 2006).
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari selama proses penyemaian dan 1 kali sehari

8

setelah tanaman ditanam di polybag. Penyemprotan insektisida dilakukan sesuai
tingkat dan jenis serangan hama. Penyiangan terhadap tanaman pengganggu
dilakukan secara berkala.
Enam genotipe yang terpilih digolongkan ke dalam tingkat toleran
terhadap cekaman suhu tinggi (toleran, moderat, dan peka) dan ditempatkan
berdasarkan perlakuan suhu yang diberikan. Perlakuan suhu optimum dilakukan
dengan cara menempatkan tanaman di luar rumah kaca (Hs0) dengan suhu ratarata harian 25.9 ºC, sedangkan perlakuan cekaman suhu tinggi dilakukan dengan
cara menempatkan tanaman di dalam rumah kaca (Hs1) dengan suhu rata-rata
harian 35.2 ºC.
Pengukuran Peubah Pertumbuhan
Pengukuran peubah pertumbuhan terung dilakukan setiap minggu selama
3 bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang terung yang ada di
permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman dengan menggunakan meteran.
Pengamatan jumlah daun dan jumlah cabang per tanaman dilakukan mulai 3
minggu setelah tanam (MST).
Pengukuran Peubah Fisiologis
Pengukuran peubah fisiologis yang meliputi konduktansi stomata, laju
transpirasi, suhu daun, kelembaban sel daun, kandungan H2O sel daun, kandungan
klorofil daun, kandungan CO2 interseluler daun, dan laju fotosintesis dilakukan
dengan menggunakan Portable photosynthesis system (LICOR-6400, Inc.,
Lincoln, NE, USA). Pengukuran dilakukan pada daun lebar penuh dan
berkembang sempurna (daun ketiga) dari pucuk batang utama. Pengukuran
dilakukan selama fase vegetatif (5 MST) dan generatif (9 MST). Kandungan
klorofil daun yang dicerminkan dengan tingkat kehijauan daun diukur
menggunakan alat Chlorophyll meter, SPAD-502 (Minolta Co. Ltd, Japan).
Pengukuran Peubah Produksi
Pengukuran peubah produksi meliputi jumlah bunga, viabilitas polen,
jumlah buah, panjang buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan jumlah
bunga per tanaman dilakukan pada saat terung berumur 9 (MST). Pengukuran
viabilitas polen dilakukan dengan menggunakan metode Song (2001). Polen yang
diambil di pagi hari sebelum bunga mekar, dibawa ke laboratorium dan diwarnai
dengan pewarna Iodine Kalium Iodide (IKI) 1% (0.5 g potassium iodine dan 0.5
gram iodide yang dilarutkan dalam 100 ml akuades). Pengamatan dilakukan pada
48 jam setelah pewarnaan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x.
Polen dikategorikan normal apabila polen sudah mencapai 70% terwarnai oleh
pewarna IKI. Pengamatan dihentikan apabila sudah mencapai nilai yang konstan.
Untuk tiap pengujian dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan setiap ulangan
diamati pada 5 bidang pandang. Selanjutnya dilakukan penghitungan viabilitas
polen dengan menggunakan rumus :

9

Pengamatan jumlah buah dilakukan pada saat panen dengan cara
menghitung jumlah buah per tanaman tiap polybag. Panjang buah diukur mulai
dari pangkal buah sampai ujung buah pada saat panen. Bobot buah ditentukan
dengan menimbang masing-masing buah pada saat panen. Morfologi buah
(bentuk buah, warna kulit buah, dan warna daging buah) diamati pada saat panen
(12 MST).
Analisis Data
Seluruh data percobaan dianalisis menggunakan analisis ragam pada taraf
uji α = 0,05 dan analisis lanjut menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test
(DMRT). Pengolahan data menggunakan program statistik SPSS untuk Windows
(Versi 15). Pengelompokan genotipe terung berdasarkan kemampuan toleransinya
terhadap cekaman suhu tinggi dilakukan berdasarkan nilai Heat Susceptibility
Index (Fischer & Maurer 1978) dengan rumus:

Dimana: Y= nilai pengamatan untuk 1 genotipe pada kondisi tercekam suhu
tinggi, Yp= nilai pengamatan untuk 1 genotipe pada kondisi lapangan, X= nilai
rata-rata pengamatan untuk semua genotipe dalam kondisi cekaman suhu tinggi,
Xp= nilai rata-rata pengamatan untuk semua genotipe dalam kondisi lapangan.
Genotipe terung dikelompokkan menjadi toleran (T) jika HSI1

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Iklim Mikro Lokasi Percobaan
Selama pelaksanaan percobaan dilakukan pengukuran iklim mikro yang
meliputi suhu udara, kelembaban udara, Photosynthetically Active Radiation
(PAR), dan intensitas cahaya (Tabel 1). Perbedaan rata-rata suhu udara di rumah
kaca dan luar rumah kaca mencapai 9.3 ºC, sedangkan perbedaan kelembaban
udara mencapai 10.8%. Pengukuran PAR dan intensitas cahaya yang dilakukan di
dalam rumah kaca menunjukkan bahwa tanaman menerima cahaya dalam rentang
optimum yang diperlukan untuk proses pertumbuhan sehingga tanaman tidak
berada dalam kondisi ternaungi.

10

Tabel 1 Suhu udara, kelembapan udara, PAR, dan cahaya selama pelaksanaan
percobaan

Maksimum
Minimum
Rata-rata

Suhu udara
Kelembapan udara Intensitas Cahaya
(ºC)
(%)
(Lux)
Hs0
Hs1
Hs0
Hs1
Hs0
Hs1
31.3
44.7
95.4
90.1 15850
12270
20.5
25.7
43.6
27.3 11365
10815
25.9
35.2
69.5
58.7 14060
11090

PAR
(µmol m-2s-1)
Hs0
Hs1

681.0

535.9

Keterangan: Hs0= Di Luar rumah kaca dengan kondisi lapangan, Hs1= Di dalam
rumah kaca dengan kondisi tercekam suhu tinggi.

Suhu (ºC)

Dari hasil pengamatan suhu harian yang diamati dari jam 06.00-18.00
menunjukkan bahwa rata-rata suhu tertinggi terjadi pada kisaran waktu pukul
13.00-14.00 dengan suhu di luar rumah kaca 32.8-33.1ºC dan di dalam rumah
kaca 38.2-40.6 ºC, sedangkan rata-rata suhu terendah terjadi pada pukul 06.00 dan
18.00 dengan suhu di luar rumah kaca 19.7-20.5 ºC dan di dalam rumah kaca
24.4-26.7 ºC (Gambar 2).
45
43
41
39
37
35
33
31
29
27
25
23
21
19
17
15
6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

Jam Pengamatan (Jam)
Gambar 2 Grafik pengamatan rata-rata suhu harian pada jam 06.00 sampai dengan
18.00 di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan (♦) dan di
dalam rumah kaca dengan suhu tercekam suhu tinggi (□).
Pengamatan suhu per minggu dilakukan dari minggu pertama pengamatan
sampai dengan minggu ke-13 pengamatan yang meliputi pengamatan pada fase
vegetatif dan generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman terung
yang ditumbuhkan di luar rumah kaca (Hs0) dengan suhu rata-rata harian 25.9 ºC
menerima suhu yang sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan tanaman terung,
sedangkan tanaman terung yang ditumbuhkan di dalam rumah kaca (Hs1) dengan
rata-rata suhu harian 35.2 ºC menerima suhu yang melampaui batas suhu optimum
untuk pertumbuhan tanaman terung (Gambar 3).

Suhu (ºC)

11

42
40
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20

GENERATIF

VEGETATIF

1

2

3

4

5
6
7
8
9
10
Minggu Pengamatan (Minggu)

11

12

13

Gambar 3 Grafik pengamatan rata-rata suhu pada fase pertumbuhan tanaman
terung di luar rumah kaca (Hs0) dengan kondisi lapangan (♦) dan di
dalam rumah kaca (Hs1) dengan suhu tercekam suhu tinggi (□)
Pemilihan Genotipe untuk Percobaan
Tahapan penapisan genotipe dilaksanakan di rumah kaca kebun percobaan
Cikabayan IPB. Suhu rata-rata di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan ±35.2
ºC lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi rumah kaca IPB yang lain, sehingga
lokasi ini dianggap sesuai untuk pelaksanaan penapisan awal dari 56 genotipe
terung berdasarkan persentase tumbuh dari masing-masing genotipe pada saat
penyemaian. Dari hasil tahap penapisan awal terpilih 15 genotipe yang memenuhi
syarat untuk dilanjutkan pada tahapan selanjutnya (Lampiran 2).
Tahapan penapisan akhir dilakukan selama fase vegetatif sampai tanaman
berbuah. Hasil analisis data dari semua peubah digunakan untuk
mengelompokkan genotipe berdasarkan tingkat toleransinya terhadap cekaman
suhu tinggi dan dipilih 6 genotipe yang masing-masing mewakili 2 genotipe
toleran, 2 genotipe moderat, dan 2 genotipe peka terhadap cekaman suhu tinggi
(Tabel 2).
Tabel 2 Rata-rata total persentase penurunan pada 15 genotipe terung
Genotipe

Rata-rata Total
Nilai Peubah (%)

Keterangan

Genotipe

M

081

089

38.88

025

54.75

P

071

45.29

M

004

34.13

080

Rata-rata Total
Nilai Peubah (%)

Keterangan

27.53

T

007

46.5

P

069

46.38

P

M

055

46.66

P

23.66

T

072

45.13

M

053

41.16

M

067

30.84

T

001

33.03

M

056

44.03

M

002

39.93

M

Keterangan: T = toleran jika rata-rata total nilai peubah