Respon Pengisian Gabah pada Padi yang Mengalami Cekaman Suhu Tinggi
RESPON PENGISIAN GABAH PADA PADI YANG
MENGALAMI CEKAMAN SUHU TINGGI
FAISAL AJI WIBOWO
A24110147
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Pengisian
Gabah pada Padi yang Mengalami Cekaman Suhu Tinggi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Faisal Aji Wibowo
NIM A24110147
ABSTRAK
FAISAL AJI WIBOWO. Respon Pengisian Gabah pada Padi yang Mengalami
Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI.
Pemanasan global menyebabkan dampak negatif, antara lain menurunkan
produktivitas padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pengisian
gabah beberapa varietas padi terhadap cekaman suhu tinggi. Penelitian ini
dilakukan di University Farm IPB, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi 2 faktor yaitu suhu (petak
utama) dan varietas IR64, Ciherang, Jatiluhur, dan Way Apo Buru (anak petak).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C dari 35.44°C ke 39.51°C memberikan respon pengisian gabah
yang sama pada tiap varietas. Perlakuan suhu tinggi berpengaruh nyata terhadap
tinggi maksimum, berat gabah bernas pada ujung primer, bobot 1 000 butir
pangkal sekunder dan total gabah bernas pada ujung malai. Suhu tinggi cenderung
berpengaruh nyata pada berat gabah bernas ujung sekunder dan total gabah bernas
pada ujung primer.
Kata kunci: bobot gabah, pemanasan global, sebaran pengisian gabah
ABSTRACT
FAISAL AJI WIBOWO. Response of Rice Grain Filling at High Temperature
Stress. Supervised by AHMAD JUNAEDI.
Global warming could imply negative impact on reducing productivity of
rice. The aim of this research was to study grain filling response of rice using
some rice varieties grown under high temperature stress. The research was
conducted at the University Farm IPB, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Research was perfomed using split plot design with two factors: temperature
(main plots) and varieties of IR64, Ciherang, Jatiluhur, and Way Apo Buru
(subplot). The results showed that the increasing of average maximum
temperature of 4.07°C form 35.44°C to 39.51°C gave the same response of grain
filling on each variety. Moreover it was significantly different on the maximum
height, full grain at primary tip, and the weight of 1 000 grains at secondary base.
High temperature has tendency on the weight of full grain at secondary tip total
full grain at primary tip.
Keyword: global warming, grain filling dispersion, grain weight
RESPON PENGISIAN GABAH PADA PADI YANG
MENGALAMI CEKAMAN SUHU TINGGI
FAISAL AJI WIBOWO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Respon Pengisian Ciabah pacia Pacii yang Mengalami Cckatran Suhu
Tinggi
Fiiisal Aji Wibouo
A24110117
Disetujui oleh
Dr Ir Ahmad Junaedi. MSi
Dosen Pembimbing
ranggal Lulus:
ff $
liilI t"ql
rfi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang
dilaksanakan pada bulan Desember 2014 – Maret 2015 ini berjudul Respon
Pengisian Gabah pada Padi yang Mengalami Suhu Tinggi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1. Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dari awal penyusunan proposal penelitian hingga penelitian
selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup dan
motivasi yang diberikan selama bimbingan.
2. Dr Ir Supijatno, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan arahan selama studi.
3. Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc dan Dr Ir Iskandar Lubis, MS selaku dosen
penguji skripsi yang telah memberikan saran terhadap penulis.
4. Orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi, semangat
dan doa kepada penulis.
5. Rekan-rekan laboratorium perkebunan (Bapak Hafit Furqoni, Bapak Miftahul
Bachrir, Bapak Putut Setyo Nugroho, Jumiatun, Sri Astuti, Izzah, Lerry
Sormin, dan Muhammad Zamromi), dan rekan-rekan yang telah berpartisipasi
membantu penelitian (Kridaningtyas Purwandari, Widyaningtyas, Dede
Rahmatullah, Anis Khairunnisa, Agiv Julio P, Muhammad Risky) serta
rekan-rekan DANDELION 48 yang telah memberikan semangat dan
motivasinya kepada penulis.
Bogor, Agustus 2015
Faisal Aji Wibowo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Padi
Siklus Hidup Tanaman Padi
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Suhu Tinggi
METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Pelaksanaan
Pengamatan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Jumlah Anakan, Jumlah Malai per Rumpun, Panjang Malai dan Tinggi
Maksimum
Berat Gabah Hampa dan Bernas pada Tiap-tiap Posisi Malai
Total Gabah per Rumpun dan per Posisi Malai
Bobot 1 000 Butir pada Tiap-tiap Posisi Malai
Total Gabah Hampa dan Bernas Pada Ujung dan Pangkal Malai
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
i
i
1
1
2
2
2
2
3
5
6
6
6
6
7
7
8
8
9
10
12
14
15
16
17
19
24
i
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Pengaruh suhu dan varietas terhadap jumlah anakan
maksimum, jumlah malai per rumpun dan panjang malai
Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa ujung
primer, sekunder dan berat gabah bernas ujung primer,
sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa
pangkal primer, sekunder, dan berat gabah bernas pangkal
primer, sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap bobot 1000 butir ujung
primer. ujung sekuder, pangkal primer dan pangkal sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total bobot gabah bernas
per rumpun, total bobot gabah hampa per rumpun, dan total
bobot gabah per rumpun
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah bernas cabang
primer, total gabah hampa cabang primer, total gabah bernas
cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah hampa ujung
malai, total gabah bernas ujung malai, total gabah hampa
pangkal malai, dan total gabah bernas pangkal malai
10
11
12
15
13
13
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
Waktu tanaman terpapar suhu udara diatas 35°C
Perubahan suhu udara selama penelitian
8
9
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
Deskripsi varietas IR64
Deskripsi varietas Ciherang
Deskripsi varietas Jatiluhur
Deskripsi varietas Way Apo Buru
Rekapitulasi sidik ragam
19
20
21
22
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan dengan
tingkat konsumsi tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada besarnya
kebutuhan kalori masyarakat Indonesia yang menempatkan tanaman padi sebesar
919.1 Kkal orang-1 hari-1, sangat jauh dibandingkan dengan tingkat konsumsi
tanaman pangan lainnya seperti umbi-umbian 43.4 Kkal orang-1 hari-1, kacangkacangan 54.1 Kkal orang-1 hari-1 dan sumber protein hewani seperti daging
sebesar 44.7 Kkal orang-1 hari-1, telur dan susu sebesar 55.9 Kkal orang-1 hari-1
(BPS 2011). Kebutuhan padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia akan
semakin besar, mengingat data proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205.1 juta pada
tahun 2000 menjadi 273.2 juta pada tahun 2025 (BPS 2014).
Perkembangan industri serta peningkatan polusi menyebabkan dampak
perubahan iklim yang sering disebut global warming. Perubahan iklim global
telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang
dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global memberikan dampak yang
sangat luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu dampak dari perubahan iklim
global yaitu mempengaruhi stabilitas produksi tanaman (Aydinalp dan Cresser
2008). Kajian yang dilakukan oleh IPCC (2007) memproyeksikan bahwa
peningkatan suhu global akan terus meningkat sekitar 1.1 ̊C – 6.4 ̊C. δitbang
BMKG (2009) mencatat bahwa pada tahun 1981 – 2003 di Indonesia telah terjadi
peningkatan suhu sebesar 0.036 ̊C – 1.383 ̊C.
Dengan adanya global warming petani semakin disulitkan oleh cuaca yang
tidak dapat diprediksi serta ancaman gagal panen. Salah satu dampak yang
ditimbulkan dari pemanasan global khususnya peningkatan suhu yaitu dapat
menurunkan produk tivitas padi yang disebabkan oleh kegagalan pada saat
penyerbukan serta gangguan pada saat fase pengisian gabah (Yoshida 1981). Hal
tersebut telah terjadi di Indonesia tepatnya pada tahun 2014, banyak petani yang
melaporkan gagal panen dan penurunan produktivitas akibat dampak dari
pemanasan global (Indriani 2014). Terganggunya produktifitas tersebut bukan
hanya terjadi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia ikut merasakan hal yang sama.
Beberapa penelitian (Ying et al. 2009; Kim et al. 2011; Lu et al. 2013) juga
melaporkan bahwa pemanasan global sangat mengganggu produktivitas padi di
Jepang dan Cina, sebagian besar permasalahan yang timbul akibat global warming
yaitu penurunan produktivitas padi.
Mengingat dimasa yang akan datang jumlah manusia akan terus bertambah
dan diikuti dengan peningkatan suhu, maka perlu adanya perakitan varietas yang
toleran dengan suhu tinggi, salah satunya yaitu pada aspek pengisian gabah yang
baik dibawah cekaman suhu tinggi. Dengan demikian, studi mengenai padi yang
memiliki tingkat pengisian gabah yang efisien dibawah cekaman suhu tinggi
sangat penting diteliti lebih lanjut untuk mengidentifikasi varietas-varietas yang
toleran suhu tinggi, sehingga dapat menciptakan varietas baru yang toleran suhu
tinggi dan dapat menjaga ketersediaan pangan di masa yang akan datang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pengisian gabah beberapa
varietas padi dengan perlakuan suhu tinggi.
Hipotesis
1.
2.
3.
Terdapat perbedaan respon pengisian gabah pada cekaman suhu tinggi.
Terdapat keragaman respon pengisian gabah pada beberapa varietas padi.
Terdapat pengaruh interaksi antara suhu tinggi dengan varietas padi terhadap
pengisian gabah.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Padi
Klasifikasi botani tanaman padi menurut Siregar (1981) masuk dalam divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monotyledonae, keluarga
Gramineae (Poaceae), Genus Oryza, spesies Oryza sativa L. Padi merupakan
tumbuhan yang ditandai dengan adanya batang yang tersusun dari beberapa ruas.
Ruas tersebut merupakan bubug kosong yang tertutup oleh buku. Ruas yang
tersusun memiliki panjang yang berbeda, umumnya ruas pada pangal batang
mempunyai ukuran yang lebih pendek. Pada morfologi bunga, terdiri dari tangkai
bunga, benang sari, kepala putik, serta daun mahkota bunga yang sering disebut
palea dan lemma. Pada bagian bawah karyopsis tumbuh 6 filamen (benangsari).
Setiap benangsari memiliki kepala sari, kepala sari inilah yang nantinya sebagai
penyimpan tepung sari yang nantinya berfungsi sebagai bahan untuk
penyerbukan.
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman
pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis. Bukti
sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai
pada 3 000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Utara
Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal
padi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam, di Indonesia
terdapat 25 spesies Oryza, dan yang banyak dikenal adalah O. sativa (Kementrian
RISTEK 2000).
Padi yang termasuk dalam spesies Oryza Sativa L. memiliki banyak varietas
yang tentunya sifat dan morfologinya berbeda. Pada dasarnya padi dibagi menjadi
dua golongan, antara lain golongan indica dan golongan japonica. Padi golongan
indica umumnya banyak dibudidayakan pada daerah tropis, sedangkan padi
japonica umumnya dibudidayakan pada daerah subtropis. Perbedaan yang
mencolok antara padi indica dan japonika yaitu postur beras japonica lebih bulat
dibandingkan beras indica. Selain itu tekstur beras japonika umumnya lebih pulen
dibandingkan dengan beras indica. Umumnya di negara tropis seperti Indonesia,
budidaya tanaman padi umumnya dilakukan dengan sistem sawah dan
3
sistem gogo. Perbedaan yang mendasar antara padi sawah dan gogo yaitu pada
penggunaan air. Pada sistem sawah penggunaan air selama musim tanam
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan teknik budidaya secara gogo (Siregar
1981).
Ditinjau dari iklim tempat budidaya padi di daerah tropis pada 45 derajat
LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan
musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau
1 500 – 2 000 mm tahun-1. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada
musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim
hujan, walaupun air melimpah produksi dapat menurun karena penyerbukan
kurang intensif. Pada dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0 – 650 m dpl,
sedangkan di dataran tinggi 650 – 1 500 m dpl. Tanaman padi memerlukan
penyinaram matahari penuh tanpa naungan (DEPTAN 2012).
Siklus Hidup Tanaman Padi
Secara umum pertumbuhan padi dibagi menjadi beberapa fase antara lain:
fase vegetatif (awal pertumbuhan sampai terbentuknya bakal malai/primordia);
fase reproduksi (primordia sampai pembungaan); dan pematangan (pembungaan
sampai gabah matang) (Makarim dan Suhartatik 2009; Yoshida 1981).
Pertumbuhan padi dimulai dari fase perkecambahan sampai muncul ke permukaan
tanah. Pada ahir tahap ini memperlihatkan daun pertama yang muncul masih
melengkung dan bakal akar memanjang (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada
fase perkecambahan, air memasuki benih secara imbibisi, sehingga meningkatkan
kadar air 25-35%. Secara ekofisiologis fase perkecambahan dipengaruhi beberapa
faktor, antara lain: faktor suhu, oksigen, dan varietas (Yoshida 1981).
Setelah fase perkecambahan selesai, dilanjutkan pada fase pertunasan yang
ditandai dengan benih yang berkecambah tumbuh menjadi tanaman muda hingga
keluar anakan pertama. Pada tahap ini akar seminal dan lima daun terbentuk.
Daun terus berkembang pada kecepatan 1 daun setiap 3 – 4 hari. Selain itu akar
sekunder membentuk perakaran serabut permanen dengan cepat menggantikan
radikula dan akar seminal (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada jenis padi
japonica umumnya membutuhkan waktu perkecambahan lebih lama dibandingkan
dengan padi jenis indica. Yoshida (1981) menyebutkan bahwa pada satu minggu
pertama, pengaruh suhu tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, pada
minggu pertama pengaruh suhu tinggi berkorelasi positif terhadap pertumbuhan
tanaman. Radikula mengalami pemanjangan secara optimum pada suhu 30 °C
serta akan berhenti pada suhu dibawah 15 °C dan diatas 40 °C.
Tahap selanjutnya yaitu tahap pembentukan anakan dan fase pemanjangan
batang. Fase berlangsung sejak munculnya anakan pertama sampai pembentukan
anakan maksimum. Anakan muncul pada tunas aksial pada buku batang dan
menggantikan tempat daun. Selang muncul anakan pertama dengan anakan kedua
membutuhkan waktu sekitar 30 hari setelah pindah tanam. Tanaman akan terus
menghasilkan anakan sampai pada tahap berikutnya (Makarim dan Suhartatik
2009).
Fase berikutnya adalah pembentukan malai sampai bunting. Pada padi yang
memiliki umur genjah, bakal malai terlihat berupa kerucut putih. Pertama kali
muncul pada ruas buku utama, kemudian pada anakan dengan pola tidak teratur.
4
Pada saat malai terus berkembang, bulir akan terlihat dan dapat dibedakan.
Ukuran malai mengalami peningkatan dan berkembang ke atas dalam pelepah
daun bendera, sehingga menyebabkan pelepah daun menggelembung.
Penggelembungan pelepah daun bendera disebut bunting. Pada tahapan bunting,
ujung daun akan layu dan anakan non produktif akan terlihat pada bagian dasar
tanaman (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada umumnya di daerah tropikal,
inisiasi malai akan berlangsung 23–25 hari sebelum heading (Yoshida 1981).
Setelah melewati fase bunting, tanaman padi akan mengalami fase heading
yang sering disebut tahap keluarnya malai. Heading ditandai dengan munculnya
ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar
seutuhnya dari pelepah daun. Anthesis terjadi segera setelah heading, oleh sebab
itu ditinjau pada hari kalender anthesis sering diartikan sama dengan heading.
Apabila 50% bunga telah keluar maka tanaman sudah dalam fase pembungaan
(Yoshida 1981)
Tahap selanjutnya yaitu pembungaan, fase pembungaan dimulai ketika
benang sari bunga yang paling ujung tiap cabang malai telah tampak keluar dari
bulir dan terjadi proses penyerbukan. Pada umumnya anthesis terjadi antara pukul
08.00 – 13.00, serbuk sari dapat bertahan selama 1 – 2.5 jam dan persarian selesai
dalam 5 – 6 jam setelah anthesis. Pada tahap pembungaan, antera akan keluar dari
kelopak bunga dan terjadi pembuahan ketika serbuk sari jatuh ke putik.
Pembungaan akan terjadi 1 hari setelah heading (Makarim dan Suhartatik 2009).
Pada tanaman padi peristiwa anthesis terjadi 25 hari setelah bunting. Pada fase
anthesis, padi sangat rentan dengan cekaman suhu tinggi, dampak yang
ditimbulkan dari suhu tinggi yaitu dapat menurunkan produktivitas padi (Yoshida
1981).
Setelah mengalami fase pembungaan, masuk pada fase matang susu dimana
pada fase ini gabah mulai terisi dengan cairan kental berwarna putih susu. Bila
gabah ditekan maka cairan tersebut akan keluar. Selain terjadi pengsian pada
gabah, malai hijau akan mulai merunduk, pelayuan pada dasar anakan serta daun
bendera dan dua daun dibawahnya akan tetap hijau (Makarim dan Suhartatik
2009).
Tahap setelah fase matang susu, padi akan mengalami fase gabah ½ matang
atau masak kuning, dimana gabah yang menyerupai susu akan berubah menjadi
gumpalan yang lunak. Selain itu ditandai dengan gabah yang mulai menguning,
pelayuan dari anakan dan daun di bagian dasar tanaman tampak semakin jelas,
tanaman akan terlihat menguning diikuti dengan mengeringnya anakan (Makarim
dan Suhartatik 2009).
Tahapan yang terahir adalah gabah matang penuh dan matang mati. Pada
fase ini ditandai dengan setiap gabah matang berkembang penuh, tekstur keras,
berwarna kuning, daun bagian atas dengan cepat dan sejumlah daun akan mati
yang terakumulasi pada bagian dasar tanaman. Periode pemasakan memerlukan
waktu berkisar 30 hari ditandai dengan penuaan daun. Pada tahap ini suhu
mempengaruhi periode pemasakan gabah (Yoshida 1981)
Kapasitas limbung (sink size) dalam hal ini ukuran gabah, biasanya
ditentukan sebelum tahap pembungaan, seperti jumlah malai per rumpun dan
jumlah gabah per malai. Jumlah gabah isi dan bobot 1 000 butir ditentukan selama
tahap pematangan atau setelah pembungaan (Yoshida dan Parao 1976). Jumlah
5
gabah isi ditentukan oleh kondisi suhu selama pematangan. Cuaca yang tidak
optimal selama tahap pembelahan dan antesis serta kerapatan tanaman yang tinggi
menentukan jumlah gabah isi per malai. Jumlah malai dan gabah isi menentukan
bobot 1 000 butir. Tingginya suhu harian selama tahap pematangan menurunkan
bobot 1 000 butir dan efisiensi pengisian gabah (Oldeman et al. 1986).
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Suhu Tinggi
Stres suhu tinggi adalah suatu kondisi suhu yang dihadapi oleh tanaman
yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik. Suhu menjadi cekaman bagi
tanaman tergantung pada laju perubahan, intensitas maupun durasinya. Toleransi
terhadap
suhu
tinggi
merupakan
kemampuan
tanaman
untuk
mempertahankan pertumbuhan dan hasil pada kondisi cekaman suhu tinggi
(Wahid et al. 2007).
Berbagai penelitian terkait tanaman padi, menyebutkan bahwa peningkatan
suhu dapat menurunkan produktivitas dan kualitas padi. Hal ini terjadi karena
adanya gangguan suhu tinggi dapat meningkatkan persentase bunga steril yang
mengakibatkan menurunnya jumlah serbuk sari yang ditangkap oleh stigma,
sehingga berdampak pada peningkatan jumlah persentase gabah hampa (Oh-e et
al. 2007; Tsukaguchi dan Iida 2008; Nagai dan Makino 2009). Cekaman suhu
tinggi pada tanaman dapat mengganggu aktifitas fisiologi dan biokimia (Susandi
et al. 2008).
Suhu tinggi dapat meningkatkan respirasi pada saat fase vegetatif, hal
tersebut menyebabkan rusaknya membran daun (Reynolds et al. 1994), kerusakan
membran daun dapat mengakibatkan penurunan suplai air, ion dan perpindahan
antar memberan sel, sehingga mengakibatkan penurunan konsumsi karbon, dan
transport asimilat.
Penelitian Ying et al. (2009) menyatakan bahwa tanaman mempunyai
mekanisme adaptasi terhadap suhu tinggi dengan mengeluarkan enzim
antioksidan, antara lain: peroxidase catalase, malondialdehyde dan superoxide
dismutase. Genotipe toleran suhu tinggi menunjukkan aktifitas perakaran yang
kuat, meningkatnya sistem pertahanan antioxidatif aktif pada daun, tingginya
aktifitas ATPase pada bulir, dan suhu daun yang lebih rendah dibandingkan
dengan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi. Selain itu Murakami et al.
(2006) melaporkan bahwa peningkatan kadar asam lemak trienoik dalam
membran dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi,
selain itu anthesis lebih awal merupakan mekanisme penghindaran terhadap
cekaman suhu tinggi. Yul-Sung et al. (2003) juga melaporkan bahwa membran
tanaman yang mengandung unsur kalsium dalam sitosol akan lebih toleran
terhadap cekaman suhu tinggi.
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Penanaman dilakukan pada lahan di bawah konstruksi rumah plastik,
dilaksanakan dari Desember 2014 sampai dengan Maret 2015.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah padi varietas
IR64, Ciherang, Jatiluhur dan Way Apo Buru. Pupuk yang digunakan yaitu Urea,
SP18 dan KCl. Pestisida digunakan jika dibutuhkan. Alat yang digunakan: alat
pertanian, meteran, penggaris, timbangan analitik, oven, Thermo recorder (TR71U, TandD, Japan) untuk mengukur suhu udara dan suhu tanah, trai semai,
gunting dan alat tulis.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi
(split plot) dengan dua perlakuan yaitu periode suhu tinggi sebagai petak utama
yang terdiri atas 3 taraf : 1) suhu udara di dalam rumah plastik plot-1 (T1); 2)
suhu udara di dalam rumah plastik dengan peningkatan suhu maksimum sekitar
(T1 + 0.22–1.61°C) (T2); 3) dan suhu udara di dalam rumah plastik dengan
peningkatan sekitar (T2 + 0.07–2.46°C) (T3). Varietas sebagai anak petak terdiri
dari IR64, Ciherang, Jatiluhur dan Way Apo Buru. Kombinasi dari 2 faktor
perlakuan menghasilkan 12 kombinasi perlakuan, sehingga terdapat 36 unit
percobaan. Tiap unit percobaan terdapat 6 tanaman, sehingga terdapat sebanyak
216 tanaman.
Model linier Rancangan Petak terbagi (split plot):
Yijk = μ + αi + ik + βj +(αβ)ij + ijk
Keterangan :
: Nilai pengamatan faktor perlakuan suhu tinggi ke-I dan varietas ke-j dan
blok ke-k.
μ
: Rataan umum.
αi
: Pengaruh petak utama (suhu tinggi ke-i)
ik
: Komponen acak dari petak utama (suhu tinggi) yang menyebar normal
βj
: Pengaruh anak petak (varietas ke-j).
(αβ)ij : Komponen interaksi antara petak utama taraf ke-i (suhu tinggi) dan anak
petak taraf ke-j (varietas).
ijk
: Pengaruh acak anak petak (varietas) yang menyebar normal.
Yijk
7
Pelaksanaan
Penanaman dilakukan dalam bak kontainer yang berukuran 67 cm x 47 cm x
37 cm. Pada setiap bak kontainer ditanam 1 varietas padi, pada 1 varietas ditanam
sebanyak 6 tanaman per kontainer dengan jarak 20 cm x 20 cm. Tanah yang
digunakan sebagai media tanam dilakukan pembersihan dari kotoran, akar dan
kerikil dengan cara diayak dengan saringan yang terbuat dari kawat yang
berukuran 1 cm x 1 cm. Tanah yang sudah diayak selanjutnya dimasukkan pada
bak kontaier dengan berat rata-rata 83 kg per kontainer. Tanah yang sudah
dimasukkan ke bak kontainer kemudian ditambahkan air hingga jenuh dan
tergenang 2 cm di atas permukaan tanah. Selanjutnya diaduk sampai membentuk
lumpur hingga siap digunakan sebagai media tanam (Supijatno et al. 2012).
Pemeliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan
pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha diberikan 1 MST dan
untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9
MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan.
Perbedaan suhu pada tiap-tiap ruang, dapat dilakukan dengan pemberian lubang
ventilasi dan mulsa pastik pada permukaan tanah. Semakin jarang diberikan
lubang ventilasi serta pemberian mulsa plastik menyebabkan terjadinya
peningkatan suhu pada ruangan.
Pengamatan dan Analisis Data
Peubah pengamatan tanaman yang diamati adalah :
1.
Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun/malai
terpanjang dengan mengunakan meteran. Pengamatan dilakukan pada
saat 3 MST, 5 MST, 7 MST dan 9 MST.
2. Jumlah anakan maksimum, dihitung saat 3 MST, 5 MST dan 7 MST.
3. Jumlah malai dan panjang malai (cm), pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah malai per rumpun yang menghasilkan malai.
Panjang malai dihitung dari buku pertama pada pangkal malai.
4. Berat gabah hampa dan bernas pada ujung primer, ujung sekunder,
pangkal primer dan pangkal sekunder, serta total gabah bernas dan
gabah hampa pada ujung dan pangkal malai, total gabah bernas per
rumpun, total gabah hampa per rumpun, total gabah per rumpun, total
gabah bernas cabang primer, total gabah hampa cabang primer, total
gabah bernas cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder.
Pengamatan dilakukan dengan menimbang berat gabah pada masingmasing posisi malai.
5. Bobot 1 000 butir pada ujung primer, ujung sekunder, pangkal primer,
dan pangkal sekunder. Pengamatan dilakukan dengan menghitung
bobot 1 000 butir pada tiap posisi malai.
Apabila sidik ragam menunjukkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan
uji lanjut DMRT pada taraf 5% (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan software SAS 9.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Suhu (oC)
Penanaman dilakukan dalam rumah plastik yang terdapat 3 kompartemen
dengan suhu berbeda-beda, perbedaan suhu tersebut didapatkan dengan
menggunakan mulsa hitam perak dan pemasangan ventilasi. Dengan
menggunakan cara tersebut berhasil meningkatkan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C. Pada T1 dapat mencapai suhu maksimum sebesar 35.44°C dan
suhu minimum sebesar 21.67°C, pada T2 dengan suhu maksimum 37.05°C dan
suhu minimum sebesar 21.89°C, pada T3 dengan suhu maksimum 39.51°C dan
suhu minimum sebesar 21.96°C.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yoshida (1981) dilaporkan
bahwa batasan suhu yang dapat ditoleransi padi berkisar dibawah 35°C, dan
ketika suhu diatas 35°C padi dapat mengalami dampak yang buruk baik pada
pertumbuhan maupun dalam pengisian gabah. Efek yang disebabkan cekaman
suhu tinggi salah satunya yaitu meningkatnya bunga steril yang akan berdampak
pada meningkatnya jumlah bulir hampa, selain itu dapat menyebabkan gabah
mengapur dan menurunnya bobot gabah isi. Pada penelitian ini, suhu dapat
melampaui 35°C. Pada kompartemen T1 suhu mencapai 35°C pada pukul 11.30 –
14.00 WIB, pada kompartemen T2 suhu dapat mencapai 35°C pada pukul 11.30 –
14.30 WIB, sedangkan pada kompartermen T3 suhu mencapai diatas 35°C
didapatkan lebih awal dan lebih lama yaitu pada pukul 10.00 – 15.30 WIB
(Gambar 1).
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
Waktu
T1
T2
T3
Gambar 1 Waktu tanaman terpapar suhu udara diatas 35°C
9
45,00
Suhu (̊C)
40,00
35,00
30,00
25,00
T1
Waktu
T2
23:30
22:30
21:30
20:30
19:30
18:30
17:30
16:30
14:30
15:30
13:30
12:30
11:30
9:30
10:30
8:30
7:30
6:30
5:30
4:30
3:30
2:30
1:30
0:30
20,00
T3
Gambar 2 Perubahan suhu udara selama penelitian
Jumlah Anakan, Jumlah Malai per Rumpun, Panjang Malai dan Tinggi
Maksimum
Jumlah anakan dilakukan pengamatan setiap 2 minggu dimulai pada 3 MST
hingga 7 MST, karena pada 7 MST padi sudah mulai memasuki fase pemanjangan
batang disusul dengan munculnya daun bendera dan fase primordia (fase
generatif). Pertumbuhan anakan berlangsung sejak munculnya anakan pertama
sampai pembentukan anakan maksimum. Anakan terus berkembang sampai
tanaman memasuki tahap pemanjangan batang dan fase primordia (Makarim dan
Suhartatik 2009). Faktor perlakuan suhu dan interaksi suhu dan varietas tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan, jumlah malai per rumpun dan panjang
malai, sedangkan varietas berbeda nyata pada peubah tersebut. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khamid (2014) yang melaporkan bahwa
perlakuan suhu tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan, jumlah
malai per rumpun dan panjang malai.
Pada peubah tinggi maksimum suhu memberikan pengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Kim et al. (2011) yang
menyebutkan bahwa pengaruh suhu tinggi dapat mempercepat siklus hidup padi,
hal ini terjadi karena adanya cekaman suhu tinggi dapat meningkatkan tingkat
pengisian gabah dan penuan pada daun, tetapi mengurangi waktu pada tingkat
pengisian gabah. Dalam hal ini pengisian pada gabah padi yang tercekam suhu
tinggi akan berhenti lebih awal dari pada padi yang tidak mendapatkan cekaman
suhu tinggi. Sehingga mengakibatkan penyaluran assimilat kembali meningkat
pada seludang daun dan batang padi. Kemungkinan hal tersebut dapat
mengakibatkan adanya pemanjangan batang pada padi pada saat tercekam suhu
tinggi.
Pada peubah jumlah anakan maksimum, varietas Ciherang berbeda nyata
lebih tinggi terhadap varietas lainya, sedangkan varietas Jatiluhur berbeda nyata
lebih rendah dibandingkan varietas yang lainya. Ditinjau dari peubah jumlah
malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru merupakan varietas yang memiliki
jumlah malai paling banyak dibandingkan varietas lainya. Ditinjau dari peubah
panjang malai, varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru tidak berbeda nyata,
10
tetapi varietas Jatiluhur memiliki panjang malai yang berbeda nyata lebih panjang
dibandingkan dengan varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru (Tabel 1).
Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi maksimum, hal ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan karakteristik antar varietas. Varietas Jatiluhur memiliki
nilai tertinggi sebesar 155.65 cm. Sedangkan varietas Ciherang memiliki tinggi
sebesar 106.94 cm sehingga menempatkan varietas tersebut memiliki tinggi
dibawah varietas lainnya.
Tabel 1 Pengaruh suhu dan varietas terhadap jumlah anakan maksimum, jumlah
malai per rumpun dan panjang malai
Perlakuan
Jumlah
anakan
maksimum
Jumlah malai
per rumpun
Panjang malai
(cm)
Tinggi
maksimum
(cm)
Suhu
T1
19.20
17.41
23.62
118.54 b
T2
18.48
17.41
23.78
121.73 ab
T3
19.05
19.47
24.13
124.67 a
Varietas
Ciherang
23.50 a
16.77 b
23.30 b
106.94 c
Jatiluhur
12.83 d
12.63 c
24.94 a
155.65 a
IR64
20.94 b
22.55 a
23.50 b
112.28 b
Way Apo
18.39 c
20.44 a
23.63 b
111.73 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.
Berat Gabah Hampa dan Bernas pada Tiap-tiap Posisi Malai
Pada peubah berat gabah bernas posisi ujung sekunder, varietas cenderung
berinteraksi dengan suhu. Suhu berpengauh nyata terhadap peubah berat gabah
bernas ujung primer dan berat gabah hampa ujung sekunder, perlakuan suhu
relatif berpengaruh pada peubah berat gabah hampa ujung primer, berat gabah
bernas ujung sekunder dan berat gabah hampa pangkal sekunder, tetapi perlakuan
suhu tidak berpengaruh nyata pada peubah berat gabah hampa pangkal primer,
berat gabah bernas pangkal primer dan berat gabah bernas pangkal sekunder
(Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoshida (1981),
Oh-e et al. (2007), Tsukaguchi dan Iida (2008), Nagai dan Makino (2009) yang
melaporkan bahwa suhu tinggi dapat meningkatkan bunga steril akibat dari tidak
ditangkapnya serbuk sari oleh stigma, sehingga meningkatnya jumlah gabah
hampa. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Noviandy (2012)
dengan faktor perlakuan kekeringan juga menyebutkan bahwa periode cekaman
kekeringan berpengaruh nyata pada beberapa peubah berat gabah pada tiap-tiap
posisi malai. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2011) menyebutkan
bahwa cekaman suhu tinggi dapat mengakibatkan proses pengisian gabah berhenti
lebih awal, berhentinya pengisian bukan karena kurangnya assimilat, tetapi lebih
diakibatkan karena hilangnya aktivitas sink dan penuaan daun bendera secara
11
cepat. Aktivitas sink yang tercekam suhu tinggi dapat menurunkan kemampuan
translokasi dan sintesis enzim pati. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Mohammed dan Tarpley (2010) yang melaporkan
bahwa pengisian gabah pada padi dimulai pada bagian ujung malai, akibat dari
cekaman suhu tinggi terjadi gangguan dalam transport assimilat pada bulir padi
dan terjadi persaingan pengisian antar bulir pada malai.
Tabel 2 Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa ujung primer,
sekunder dan berat gabah bernas ujung primer, sekunder
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Perlakuan
hampa ujung
bernas ujung
hampa ujung bernas ujung
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
0.70 ab
7.80 a
0.80 b
12.74 a
T2
0.64 b
7.49 a
0.81 b
11.44 ab
T3
0.78 a
6.34 b
0.88 a
10.84 b
Varietas
Ciherang
0.60 b
7.39 b
0.69 b
11.66 ab
Jatiluhur
0.59 b
3.97 c
0.76 b
12.99 a
IR64
0.79 a
10.12 a
0.94 a
12.55 a
Way Apo
0.85 a
7.36 b
0.91 a
9.49 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Varietas memiliki perbedaan sangat nyata pada peubah berat gabah hampa
ujung primer, berat gabah bernas ujung primer dan berat gabah hampa ujung
sekunder. Varietas cenderung nyata pada peubah berat gabah bernas ujung
sekunder. Ying et al. (2009) menyatakan bahwa genotipe toleran suhu tinggi
menunjukkan aktivitas perakaran yang kuat, meningkatnya sistem pertahanan
antioxidatif aktif pada daun, tingginya aktivitas ATPase pada bulir, dan suhu daun
yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi.
Noviandy (2012) juga melaporkan bahwa varietas toleran ditunjukkan oleh respon
pengisian gabah ujung malai pada cabang sekunder lebih baik daripada pengisian
gabah pagkal malai pada cabang sekunder. Selain itu, merujuk pada penelitian
Mohammed dan Tarpley (2010) yang melaporkan bahwa varietas toleran suhu
tinggi cenderung memiliki respon pengisian pada ujung malai yang baik.
Pada posisi ujung malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru memiliki nilai
berat gabah hampa ujung primer tertinggi, sedangkan varietas IR64 merupakan
varietas dengan tingkat bernas ujung primer tertinggi. Varietas IR64 dan Way
Apo Buru memiliki berat gabah hampa ujung sekunder tertinggi, varietas Jatiluhur
dan IR64 memiliki nilai yang paling tinggi pada peubah berat gabah bernas ujung
sekunder. Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C dapat
meningkatkan persentase gabah hampa pada ujung primer sebesar 21.9% dan
persentase gabah hampa pada ujung sekunder sebesar 13.8%, dan persentase
gabah hampa pada pangkal sekunder sebesar 11.7%. Selain itu mengakibatkan
12
penurunan persentase gabah bernas pada ujung primer sebesar 23.8%, dan
persentase gabah bernas pada ujung sekunder sebesar 17.5%.
Pada posisi pangkal malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru memiliki berat
gabah hampa pangkal primer tertinggi. Pada peubah berat gabah bernas pangkal
primer, varietas Jatiluhur memiliki berat tertinggi. Pada peubah berat gabah
hampa pangkal sekunder, varietas yang memiliki nilai tertinggi yaitu Jatiluhur dan
Way Apo Buru. Varietas Jatiluhur pada peubah berat gabah bernas pangkal
sekunder memiliki nilai paling tertinggi (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa pangkal primer,
sekunder, dan berat gabah bernas pangkal primer, sekunder
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
hampa
bernas
hampa
bernas
Perlakuan
pangkal
pangkal
pangkal
pangkal
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
0.82
11.55
1.19 a
18.07
T2
0.73
11.30
1.05 b
16.88
T3
0.72
11.21
1.09 ab
18.93
Varietas
Ciherang
0.62 b
12.11 ab
1.06 ab
16.51 b
Jatiluhur
0.66 b
14.38 a
1.26 a
28.19 a
IR64
0.82 a
9.75 bc
0.93 b
11.88 b
Way Apo
0.92 a
9.17 c
1.19 a
15.26 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Total Gabah per Rumpun dan per Posisi Malai
Pada peubah total gabah bernas per rumpun, total bobot gabah hampa per
rumpun, dan total bobot gabah per rumpun, peningkatan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C tidak berpengaruh nyata. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Khamid (2014) yang menyatakan bahwa perlakuan suhu tinggi
tidak berpengaruh nyata pada jumlah gabah isi per rumpun, gabah hampa per
rumpun dan total gabah per rumpun, serta interaksinya dengan perlakuan varietas
tidak berpengaruh nyata. Selain itu, peningakatan suhu maksimum sebesar 4.07°C
cenderung berpengaruh terhadap total gabah hampa pada cabang primer, dan tidak
berpengaruh nyata terhadap peubah total gabah bernas cabang primer, total gabah
bernas cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder.
Varietas menunjukan perbedaan yang nyata pada peubah total gabah
bernas per rumpun, gabah hampa per rumpun dan total bobot gabah per rumpun,
serta menunjukan perbedaan sangat nyata pada total gabah hampa cabang primer
dan total gabah bernas cabang sekunder. Varietas Jatiluhur merupakan varietas
yang mempunyai total bobot gabah per rumpun dan total bobot gabah bernas per
rumpun paling tinggi dibandingkan dengan varietas lainya. Seperti yang
13
dilaporkan oleh Supijatno et al. (2012) yang menyatakan bahwa varietas Jatiluhur
mempunyai postur malai yang lebih panjang serta mempunyai tingkat kerapatan
malai yang lebih tinggi daripada varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru.
Sehinga berdampak pada tingginya total gabah per rumpun.
Tabel 4 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total bobot gabah bernas per
rumpun, total bobot gabah hampa per rumpun, dan total bobot gabah
per rumpun
Total bobot
Total bobot
Total bobot gabah
gabah hampa
gabah per
Perlakuan
bernas per rumpun
per rumpun
rumpun
............................................g..........................................
Suhu
T1
50.18
3.43
53.02
T2
47.03
3.22
50.44
T3
47.42
3.58
49.48
Varietas
Ciherang
47.68 b
2.98 c
49.74 b
Jatiluhur
59.54 a
3.29 bc
62.28 a
IR64
43.73 b
3.50 ab
46.48 b
Way Apo Buru
41.88 b
3.88 a
45.41 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Tabel 5 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah bernas cabang primer,
total gabah hampa cabang primer, total gabah bernas cabang sekunder
dan total gabah hampa cabang sekunder
Total gabah
Total gabah
Total gabah
Total gabah
bernas
hampa
Perlakuan bernas cabang hampa cabang
cabang
cabang
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
19.36
0.97 ab
30.81
1.41
T2
18.70
0.91 b
28.32
1.37
T3
17.64
1.11 a
29.78
1.30
Varietas
Ciherang
19.50
0.83 b
28.18 b
1.23
Jatiluhur
18.36
0.84 b
41.18 a
1.44
IR64
19.29
1.10 a
24.43 b
1.29
Way Apo
17.12
1.22 a
24.76 b
1.47
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
14
Bobot 1 000 Butir pada Tiap-tiap Posisi Malai
Hasil bobot 1 000 butir pada tiap-tiap posisi malai, menunjukan perbedaan
antar varietas dan cekaman suhu. Pada peubah bobot 1 000 butir, peningkatan
suhu berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir posisi pangkal sekunder, tetapi
tidak berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir ujung primer, ujung sekunder, dan
pangkal primer. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
maka bobot 1 000 butir pangkal sekunder semakin meningkat. Hal ini
bertentangan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa
cekaman suhu tinggi dapat menurunkan bobot 1 000 butir. Penelitian yang
dilakukan oleh Yoshida (1981) menyebutkan bahwa perbedaan bobot 1 000 butir
dapat dipengaruhi oleh tipe bentuk gabah pada masing-masing varietas dan
adanya pengaruh suhu tinggi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ma et al.
(2009) juga melaporkan bahwa penurunan bobot 1 000 butir terjadi
karenahambatan pada saat proses pengisian gabah, hal ini terjadi karena
pembentukan dan akumulasi protein yang akan disimpan dalam bulir gabah
mengalami gangguan akibat suhu tinggi sehingga berdampak pada menurunnya
bobot 1 000 butir. Reynolds et al. (1994) melaporkan bahwa cekaman suhu tinggi
dapat merusak membran daun sehingga dampak yang ditimbulkan yaitu
terganggunya transport asimilat ke bulir. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dong et al. (2014) yang melaporkan bahwa bobot 1 000 butir pada
tanaman yang mendapatkan cekaman suhu tinggi akan lebih rendah bila
dibandingkan dengan padi yang dibudidayakan pada suhu normal. Hal ini terjadi
karena adanya penurunan pembentukan dan pengisian bulir khususnya pada posisi
pangkal malai. Meningkatnya suhu diikuti dengan meningkatnya bobot 1 000
butir juga kemungkinan dapat terjadi, hal ini disebabkan karena adanya
metabolisme sekunder pada suatu tanaman. Murakami et al. (2006) menyebutkan
bahwa peningkatan kadar asam lemak trienoik pada suatu membran pada suatu
tanaman dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yul-Sung et al. (2003) cekaman suhu
tinggi yang diujikan diberbagai tanaman pangan juga menyatakan bahwa sel
tanaman yang mengandung kalsium lebih tinggi cenderung lebih toleran terhadap
cekaman suhu tinggi.
Varietas berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir ujung sekunder dan
pangkal sekunder, serta berpengaruh sangat nyata pada pangkal primer. Pada tiap
posisi malai, bobot 1 000 butir ujung primer pada masing-masing suhu
menunjukan nilai yang lebih tinggi daripada posisi lainya. Bila dihubungkan
dengan penelitian Mohammed dan Tarpley (2010) dan Kim et al. (2011) yang
menyebutkan bahwa pengisian biji dimulai pada ujung malai. Dengan adanya
cekaman suhu tinggi mengakibatkan pengisian berhenti lebih awal sehingga
mengakibatkan partisi assimilat menjadi terpecah dan sebagian besar
ditranslokasikan ke seludang daun serta ke batang. Dari pernyataan tersebut dan
dibuktikan dengan data yang ada, menunjukan bahwa pada cekaman suhu tinggi
pengisian assimilat pada biji yang optimal terdapat pada posisi ujung malai
cabang primer.
15
Tabel 6 Pengaruh suhu dan varietas terhadap bobot 1000 butir ujung primer.
ujung sekuder, pangkal primer dan pangkal sekunder
Bobot 1000
Bobot 1000
Bobot 1000
Bobot 1000
butir ujung
butir ujung
butir pangkal
butir pangkal
Perlakuan
primer
sekunder
primer
sekunder
............................................g............................................
Suhu
23.92
21.87
23.62
19.99 b
T1
(100%)
(-8.57%)
(-1.25%)
(-16.42%)
24.14
21.55
23.60
20.03 b
T2
(100%)
(-10.72%)
(-2.23%)
(-17.02%)
24.21
22.37
23.63
21.29 a
T3
(100%)
(-7.60%)
(-2.39%)
(-12.06%)
Varietas
Ciherang
23.81
21.48 b
23.50 ab
20.18 b
Jatiluhur
24.70
21.94 ab
24.07 a
19.66 b
IR64
23.57
21.89 ab
22.80 b
20.49 ab
Way Apo
24.28
22.42 ab
24.10 a
21.33 a
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk faktor perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata
menurut uji DεRT pada taraf α 5%. - = persentase terhadap bobot
gabah pada posisi ujung primer untuk tiap perlakuan suhu.
Total Gabah Hampa dan Bernas Pada Ujung dan Pangkal Malai
Pada peubah total gabah hampa dan bernas pada ujung dan pangkal malai,
peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C berpengaruh nyata terhadap
total gabah hampa dan bernas pada ujung malai, tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap total gabah hampa dan bernas pada pangkal malai. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mohammed dan Tarpley (2010), yang
menyebutkan bahwa pada cekaman suhu tinggi, posisi ujung malai mengalami
tingkat kehampaan yang tinggi dibandingkan dengan pangkal malai. Hal ini
dimungkinkan karena pada posisi ujung malai terjadi anthesis lebih awal
dibandingkan dengan pangkal malai. Sedangkan anthesis pada ujung malai terjadi
bersamaan dengan peningkatan suhu udara. Sehingga terjadi kegagalan pada saat
penyerbukan yang berdampak pada peningkatan gabah hampa dan penurunan
gabah bernas pada padi. Sedangkan pada posisi pangkal malai, dimungkinkan
anthesis terjadi pada saat suhu ruangan mulai menurun dibawah suhu 35°C.
Sehingga dapat terhindar dari cekaman suhu tinggi.
Varietas memberikan pengaruh nyata pada masing-masing peubah
pengamatan. Varitas Way Apo Buru menunjukan total gabah hampa pada ujung
malai dan pangkal malai tertinggi. Varietas IR64 menunjukan total gabah bernas
ujung malai tertinggi, sedangkan pada varietas Jatiluhur memiliki berat tertinggi
pada peubah total gabah bernas pangkal malai.
16
Tabel 7 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah hampa ujung malai, total
gabah bernas ujung malai, total gabah hampa pangkal malai, dan total
gabah bernas pangkal malai
Total gabah
Total gabah
Total gabah
Total gabah
bernas ujung
hampa
bernas
Perlakuan hampa ujung
malai
malai
pangkal malai pangkal malai
............................................g............................................
Suhu
T1
0.96 b
20.62 a
1.38
30.23
T2
0.98 b
18.93 ab
1.31
29.63
T3
1.12 a
17.18 b
1.25
28.10
Varietas
Ciherang
0.83 c
19.05 ab
1.19 bc
28.63 b
Jatiluhur
0.93 c
17.05 b
1.40 ab
42.57 a
IR64
1.13 ab
22.67 a
1.18 c
21.05 b
Way Apo
1.19 a
16.86 b
1.47 a
25.02 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
KESIMPULAN
Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C tidak menunjukan
adanya interaksi yang nyata antara suhu dan varietas. Hal ini menunjukan bahwa
4 varietas tersebut mempunyai respon pengisian gabah yang sama terhadap
cekaman suhu tinggi. Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C tidak
berpengaruh nyata pada jumlah anakan maksimum, panjang malai, jumlah malai,
berat gabah bernas pangkal primer, berat gabah bernas pangkal sekunder, bobot 1
000 butir pada posisi ujung primer, ujung sekunder, dan pangkal primer, serta
pada total bernas pangkal malai, total gabah bernas per rumpun, total gabah
bernas cabang primer dan total gabah bernas cabang sekunder. Suhu tinggi
cenderung berpengaruh nyata pada berat gabah bernas ujung sekunder dan total
berat gabah bernas pada ujung primer. Suhu tinggi berpengaruh nyata terhadap
tinggi maksimum, barat gabah bernas pada ujung primer, bobot 1 000 butir
pangkal sekunder, dan total gabah bernas pada ujung malai.
Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C berdampak pada
meningkatnya persentase gabah hampa pada ujung primer sebesar 21.9% dan
persentase gabah hampa pada ujung sekunder sebesar 13.8%. Suhu tinggi
mengakibatkan penurunan persentase gabah bernas pada ujung primer sebesar
23.8% dan penurunan persentase gabah bernas pada ujung sekunder sebesar
17.5%. Selain itu perlakuan suhu tinggi menurunkan bobot 1 000 butir masingmasing sebesar 9%, 5.9%, dan 15.2% pada posisi secara berurutan malai ujung
sekunder, pangkal primer, dan pangkal sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Aydinalp C, Cresser MS. 2008. The effects of global climate change on
agriculture. J Agric & Environ Sci. 3 (5): 672-676.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Kalori (KKal) per Kapita
Sehari Menurut Kelompok Makanan. [internet]. [diunduh 2014 Mar 8].
Tersedia pada: http://bps.go.id/tab_sub/view.php ?kat=1&tabel= 1&
daftar=1& id_sub yek=05¬ ab=5.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk.
[internet]. [diunduh 2014 Mar 8].Tersedia pada: http://bps.go.id/tab_sub/
view.php?kat=1&tab el=1& daftar=1&id_sub yek=05¬ab=5.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2012. Syarat pertumbuhan tanaman padi
sawah [internet]. [diunduh 2014 Mar 15]. Tersedia pada :
http://cybex.deptan.go.id/ penyuluhan /syarat-pertumbuhan-tanaman-padisawah
[IPCC] Intergovenrmental Panel on Climate Change. 2007. Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. New York (USA):
Cambridge University Press.
Dong W, Chen J, Wang L, Tian Y, Zhang B, Lai Y, Meng Y, Qian C, Guo J.
2014. Impacts of nighttime post-anthesis warming on rice productivity and
grain quality in East China. The Crop Journal. 2:63-69.
Indriani. 2014. Petani semakin terdesak perubahan iklim. [internet]. [diunduh
2015 mar 25]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/425138/
petani-semakin-terdesak-perubahan-iklim.
Kementrian RISTEK. 2000. PADI ( Oryza Sativa ).[internet]. [diunduh 2014 Mar
19]. Tersedia pada: www.warintek.ristek.go.id/pertanian/padi.pdf.
Khamid MBR. 2014. Respon pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa L.)
terhadap cekaman suhu tinggi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kim J, Shon J, Lee CK, Yang W, Yoon W, Yang WH, Kim YG, Lee BW. 2011.
Relationship between grain filling duration and leaf senescence of temperate
rice under high temperature. Field Crops Res. 122: 207-213.
Litbang BMKG. 2009. Suhu udara rata-rata di Indonesia naik. [internet].
[diunduh 2014 mar 2]. Tersedia pada: http://sains.kompas.com/read
/2012/11/29/22052636/ Suhu. di.Indonesia. Rata-rata.Naik.
MENGALAMI CEKAMAN SUHU TINGGI
FAISAL AJI WIBOWO
A24110147
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Pengisian
Gabah pada Padi yang Mengalami Cekaman Suhu Tinggi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Faisal Aji Wibowo
NIM A24110147
ABSTRAK
FAISAL AJI WIBOWO. Respon Pengisian Gabah pada Padi yang Mengalami
Cekaman Suhu Tinggi. Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI.
Pemanasan global menyebabkan dampak negatif, antara lain menurunkan
produktivitas padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pengisian
gabah beberapa varietas padi terhadap cekaman suhu tinggi. Penelitian ini
dilakukan di University Farm IPB, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Penelitian menggunakan rancangan petak terbagi 2 faktor yaitu suhu (petak
utama) dan varietas IR64, Ciherang, Jatiluhur, dan Way Apo Buru (anak petak).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C dari 35.44°C ke 39.51°C memberikan respon pengisian gabah
yang sama pada tiap varietas. Perlakuan suhu tinggi berpengaruh nyata terhadap
tinggi maksimum, berat gabah bernas pada ujung primer, bobot 1 000 butir
pangkal sekunder dan total gabah bernas pada ujung malai. Suhu tinggi cenderung
berpengaruh nyata pada berat gabah bernas ujung sekunder dan total gabah bernas
pada ujung primer.
Kata kunci: bobot gabah, pemanasan global, sebaran pengisian gabah
ABSTRACT
FAISAL AJI WIBOWO. Response of Rice Grain Filling at High Temperature
Stress. Supervised by AHMAD JUNAEDI.
Global warming could imply negative impact on reducing productivity of
rice. The aim of this research was to study grain filling response of rice using
some rice varieties grown under high temperature stress. The research was
conducted at the University Farm IPB, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Research was perfomed using split plot design with two factors: temperature
(main plots) and varieties of IR64, Ciherang, Jatiluhur, and Way Apo Buru
(subplot). The results showed that the increasing of average maximum
temperature of 4.07°C form 35.44°C to 39.51°C gave the same response of grain
filling on each variety. Moreover it was significantly different on the maximum
height, full grain at primary tip, and the weight of 1 000 grains at secondary base.
High temperature has tendency on the weight of full grain at secondary tip total
full grain at primary tip.
Keyword: global warming, grain filling dispersion, grain weight
RESPON PENGISIAN GABAH PADA PADI YANG
MENGALAMI CEKAMAN SUHU TINGGI
FAISAL AJI WIBOWO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Respon Pengisian Ciabah pacia Pacii yang Mengalami Cckatran Suhu
Tinggi
Fiiisal Aji Wibouo
A24110117
Disetujui oleh
Dr Ir Ahmad Junaedi. MSi
Dosen Pembimbing
ranggal Lulus:
ff $
liilI t"ql
rfi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang
dilaksanakan pada bulan Desember 2014 – Maret 2015 ini berjudul Respon
Pengisian Gabah pada Padi yang Mengalami Suhu Tinggi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1. Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dari awal penyusunan proposal penelitian hingga penelitian
selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas pelajaran hidup dan
motivasi yang diberikan selama bimbingan.
2. Dr Ir Supijatno, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan arahan selama studi.
3. Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc dan Dr Ir Iskandar Lubis, MS selaku dosen
penguji skripsi yang telah memberikan saran terhadap penulis.
4. Orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi, semangat
dan doa kepada penulis.
5. Rekan-rekan laboratorium perkebunan (Bapak Hafit Furqoni, Bapak Miftahul
Bachrir, Bapak Putut Setyo Nugroho, Jumiatun, Sri Astuti, Izzah, Lerry
Sormin, dan Muhammad Zamromi), dan rekan-rekan yang telah berpartisipasi
membantu penelitian (Kridaningtyas Purwandari, Widyaningtyas, Dede
Rahmatullah, Anis Khairunnisa, Agiv Julio P, Muhammad Risky) serta
rekan-rekan DANDELION 48 yang telah memberikan semangat dan
motivasinya kepada penulis.
Bogor, Agustus 2015
Faisal Aji Wibowo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Padi
Siklus Hidup Tanaman Padi
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Suhu Tinggi
METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Pelaksanaan
Pengamatan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Jumlah Anakan, Jumlah Malai per Rumpun, Panjang Malai dan Tinggi
Maksimum
Berat Gabah Hampa dan Bernas pada Tiap-tiap Posisi Malai
Total Gabah per Rumpun dan per Posisi Malai
Bobot 1 000 Butir pada Tiap-tiap Posisi Malai
Total Gabah Hampa dan Bernas Pada Ujung dan Pangkal Malai
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
i
i
1
1
2
2
2
2
3
5
6
6
6
6
7
7
8
8
9
10
12
14
15
16
17
19
24
i
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Pengaruh suhu dan varietas terhadap jumlah anakan
maksimum, jumlah malai per rumpun dan panjang malai
Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa ujung
primer, sekunder dan berat gabah bernas ujung primer,
sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa
pangkal primer, sekunder, dan berat gabah bernas pangkal
primer, sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap bobot 1000 butir ujung
primer. ujung sekuder, pangkal primer dan pangkal sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total bobot gabah bernas
per rumpun, total bobot gabah hampa per rumpun, dan total
bobot gabah per rumpun
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah bernas cabang
primer, total gabah hampa cabang primer, total gabah bernas
cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder
Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah hampa ujung
malai, total gabah bernas ujung malai, total gabah hampa
pangkal malai, dan total gabah bernas pangkal malai
10
11
12
15
13
13
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
Waktu tanaman terpapar suhu udara diatas 35°C
Perubahan suhu udara selama penelitian
8
9
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
Deskripsi varietas IR64
Deskripsi varietas Ciherang
Deskripsi varietas Jatiluhur
Deskripsi varietas Way Apo Buru
Rekapitulasi sidik ragam
19
20
21
22
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan dengan
tingkat konsumsi tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada besarnya
kebutuhan kalori masyarakat Indonesia yang menempatkan tanaman padi sebesar
919.1 Kkal orang-1 hari-1, sangat jauh dibandingkan dengan tingkat konsumsi
tanaman pangan lainnya seperti umbi-umbian 43.4 Kkal orang-1 hari-1, kacangkacangan 54.1 Kkal orang-1 hari-1 dan sumber protein hewani seperti daging
sebesar 44.7 Kkal orang-1 hari-1, telur dan susu sebesar 55.9 Kkal orang-1 hari-1
(BPS 2011). Kebutuhan padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia akan
semakin besar, mengingat data proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205.1 juta pada
tahun 2000 menjadi 273.2 juta pada tahun 2025 (BPS 2014).
Perkembangan industri serta peningkatan polusi menyebabkan dampak
perubahan iklim yang sering disebut global warming. Perubahan iklim global
telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang
dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global memberikan dampak yang
sangat luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu dampak dari perubahan iklim
global yaitu mempengaruhi stabilitas produksi tanaman (Aydinalp dan Cresser
2008). Kajian yang dilakukan oleh IPCC (2007) memproyeksikan bahwa
peningkatan suhu global akan terus meningkat sekitar 1.1 ̊C – 6.4 ̊C. δitbang
BMKG (2009) mencatat bahwa pada tahun 1981 – 2003 di Indonesia telah terjadi
peningkatan suhu sebesar 0.036 ̊C – 1.383 ̊C.
Dengan adanya global warming petani semakin disulitkan oleh cuaca yang
tidak dapat diprediksi serta ancaman gagal panen. Salah satu dampak yang
ditimbulkan dari pemanasan global khususnya peningkatan suhu yaitu dapat
menurunkan produk tivitas padi yang disebabkan oleh kegagalan pada saat
penyerbukan serta gangguan pada saat fase pengisian gabah (Yoshida 1981). Hal
tersebut telah terjadi di Indonesia tepatnya pada tahun 2014, banyak petani yang
melaporkan gagal panen dan penurunan produktivitas akibat dampak dari
pemanasan global (Indriani 2014). Terganggunya produktifitas tersebut bukan
hanya terjadi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia ikut merasakan hal yang sama.
Beberapa penelitian (Ying et al. 2009; Kim et al. 2011; Lu et al. 2013) juga
melaporkan bahwa pemanasan global sangat mengganggu produktivitas padi di
Jepang dan Cina, sebagian besar permasalahan yang timbul akibat global warming
yaitu penurunan produktivitas padi.
Mengingat dimasa yang akan datang jumlah manusia akan terus bertambah
dan diikuti dengan peningkatan suhu, maka perlu adanya perakitan varietas yang
toleran dengan suhu tinggi, salah satunya yaitu pada aspek pengisian gabah yang
baik dibawah cekaman suhu tinggi. Dengan demikian, studi mengenai padi yang
memiliki tingkat pengisian gabah yang efisien dibawah cekaman suhu tinggi
sangat penting diteliti lebih lanjut untuk mengidentifikasi varietas-varietas yang
toleran suhu tinggi, sehingga dapat menciptakan varietas baru yang toleran suhu
tinggi dan dapat menjaga ketersediaan pangan di masa yang akan datang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pengisian gabah beberapa
varietas padi dengan perlakuan suhu tinggi.
Hipotesis
1.
2.
3.
Terdapat perbedaan respon pengisian gabah pada cekaman suhu tinggi.
Terdapat keragaman respon pengisian gabah pada beberapa varietas padi.
Terdapat pengaruh interaksi antara suhu tinggi dengan varietas padi terhadap
pengisian gabah.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Padi
Klasifikasi botani tanaman padi menurut Siregar (1981) masuk dalam divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monotyledonae, keluarga
Gramineae (Poaceae), Genus Oryza, spesies Oryza sativa L. Padi merupakan
tumbuhan yang ditandai dengan adanya batang yang tersusun dari beberapa ruas.
Ruas tersebut merupakan bubug kosong yang tertutup oleh buku. Ruas yang
tersusun memiliki panjang yang berbeda, umumnya ruas pada pangal batang
mempunyai ukuran yang lebih pendek. Pada morfologi bunga, terdiri dari tangkai
bunga, benang sari, kepala putik, serta daun mahkota bunga yang sering disebut
palea dan lemma. Pada bagian bawah karyopsis tumbuh 6 filamen (benangsari).
Setiap benangsari memiliki kepala sari, kepala sari inilah yang nantinya sebagai
penyimpan tepung sari yang nantinya berfungsi sebagai bahan untuk
penyerbukan.
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman
pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis. Bukti
sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai
pada 3 000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Utara
Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal
padi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam, di Indonesia
terdapat 25 spesies Oryza, dan yang banyak dikenal adalah O. sativa (Kementrian
RISTEK 2000).
Padi yang termasuk dalam spesies Oryza Sativa L. memiliki banyak varietas
yang tentunya sifat dan morfologinya berbeda. Pada dasarnya padi dibagi menjadi
dua golongan, antara lain golongan indica dan golongan japonica. Padi golongan
indica umumnya banyak dibudidayakan pada daerah tropis, sedangkan padi
japonica umumnya dibudidayakan pada daerah subtropis. Perbedaan yang
mencolok antara padi indica dan japonika yaitu postur beras japonica lebih bulat
dibandingkan beras indica. Selain itu tekstur beras japonika umumnya lebih pulen
dibandingkan dengan beras indica. Umumnya di negara tropis seperti Indonesia,
budidaya tanaman padi umumnya dilakukan dengan sistem sawah dan
3
sistem gogo. Perbedaan yang mendasar antara padi sawah dan gogo yaitu pada
penggunaan air. Pada sistem sawah penggunaan air selama musim tanam
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan teknik budidaya secara gogo (Siregar
1981).
Ditinjau dari iklim tempat budidaya padi di daerah tropis pada 45 derajat
LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan
musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau
1 500 – 2 000 mm tahun-1. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada
musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim
hujan, walaupun air melimpah produksi dapat menurun karena penyerbukan
kurang intensif. Pada dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0 – 650 m dpl,
sedangkan di dataran tinggi 650 – 1 500 m dpl. Tanaman padi memerlukan
penyinaram matahari penuh tanpa naungan (DEPTAN 2012).
Siklus Hidup Tanaman Padi
Secara umum pertumbuhan padi dibagi menjadi beberapa fase antara lain:
fase vegetatif (awal pertumbuhan sampai terbentuknya bakal malai/primordia);
fase reproduksi (primordia sampai pembungaan); dan pematangan (pembungaan
sampai gabah matang) (Makarim dan Suhartatik 2009; Yoshida 1981).
Pertumbuhan padi dimulai dari fase perkecambahan sampai muncul ke permukaan
tanah. Pada ahir tahap ini memperlihatkan daun pertama yang muncul masih
melengkung dan bakal akar memanjang (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada
fase perkecambahan, air memasuki benih secara imbibisi, sehingga meningkatkan
kadar air 25-35%. Secara ekofisiologis fase perkecambahan dipengaruhi beberapa
faktor, antara lain: faktor suhu, oksigen, dan varietas (Yoshida 1981).
Setelah fase perkecambahan selesai, dilanjutkan pada fase pertunasan yang
ditandai dengan benih yang berkecambah tumbuh menjadi tanaman muda hingga
keluar anakan pertama. Pada tahap ini akar seminal dan lima daun terbentuk.
Daun terus berkembang pada kecepatan 1 daun setiap 3 – 4 hari. Selain itu akar
sekunder membentuk perakaran serabut permanen dengan cepat menggantikan
radikula dan akar seminal (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada jenis padi
japonica umumnya membutuhkan waktu perkecambahan lebih lama dibandingkan
dengan padi jenis indica. Yoshida (1981) menyebutkan bahwa pada satu minggu
pertama, pengaruh suhu tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, pada
minggu pertama pengaruh suhu tinggi berkorelasi positif terhadap pertumbuhan
tanaman. Radikula mengalami pemanjangan secara optimum pada suhu 30 °C
serta akan berhenti pada suhu dibawah 15 °C dan diatas 40 °C.
Tahap selanjutnya yaitu tahap pembentukan anakan dan fase pemanjangan
batang. Fase berlangsung sejak munculnya anakan pertama sampai pembentukan
anakan maksimum. Anakan muncul pada tunas aksial pada buku batang dan
menggantikan tempat daun. Selang muncul anakan pertama dengan anakan kedua
membutuhkan waktu sekitar 30 hari setelah pindah tanam. Tanaman akan terus
menghasilkan anakan sampai pada tahap berikutnya (Makarim dan Suhartatik
2009).
Fase berikutnya adalah pembentukan malai sampai bunting. Pada padi yang
memiliki umur genjah, bakal malai terlihat berupa kerucut putih. Pertama kali
muncul pada ruas buku utama, kemudian pada anakan dengan pola tidak teratur.
4
Pada saat malai terus berkembang, bulir akan terlihat dan dapat dibedakan.
Ukuran malai mengalami peningkatan dan berkembang ke atas dalam pelepah
daun bendera, sehingga menyebabkan pelepah daun menggelembung.
Penggelembungan pelepah daun bendera disebut bunting. Pada tahapan bunting,
ujung daun akan layu dan anakan non produktif akan terlihat pada bagian dasar
tanaman (Makarim dan Suhartatik 2009). Pada umumnya di daerah tropikal,
inisiasi malai akan berlangsung 23–25 hari sebelum heading (Yoshida 1981).
Setelah melewati fase bunting, tanaman padi akan mengalami fase heading
yang sering disebut tahap keluarnya malai. Heading ditandai dengan munculnya
ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar
seutuhnya dari pelepah daun. Anthesis terjadi segera setelah heading, oleh sebab
itu ditinjau pada hari kalender anthesis sering diartikan sama dengan heading.
Apabila 50% bunga telah keluar maka tanaman sudah dalam fase pembungaan
(Yoshida 1981)
Tahap selanjutnya yaitu pembungaan, fase pembungaan dimulai ketika
benang sari bunga yang paling ujung tiap cabang malai telah tampak keluar dari
bulir dan terjadi proses penyerbukan. Pada umumnya anthesis terjadi antara pukul
08.00 – 13.00, serbuk sari dapat bertahan selama 1 – 2.5 jam dan persarian selesai
dalam 5 – 6 jam setelah anthesis. Pada tahap pembungaan, antera akan keluar dari
kelopak bunga dan terjadi pembuahan ketika serbuk sari jatuh ke putik.
Pembungaan akan terjadi 1 hari setelah heading (Makarim dan Suhartatik 2009).
Pada tanaman padi peristiwa anthesis terjadi 25 hari setelah bunting. Pada fase
anthesis, padi sangat rentan dengan cekaman suhu tinggi, dampak yang
ditimbulkan dari suhu tinggi yaitu dapat menurunkan produktivitas padi (Yoshida
1981).
Setelah mengalami fase pembungaan, masuk pada fase matang susu dimana
pada fase ini gabah mulai terisi dengan cairan kental berwarna putih susu. Bila
gabah ditekan maka cairan tersebut akan keluar. Selain terjadi pengsian pada
gabah, malai hijau akan mulai merunduk, pelayuan pada dasar anakan serta daun
bendera dan dua daun dibawahnya akan tetap hijau (Makarim dan Suhartatik
2009).
Tahap setelah fase matang susu, padi akan mengalami fase gabah ½ matang
atau masak kuning, dimana gabah yang menyerupai susu akan berubah menjadi
gumpalan yang lunak. Selain itu ditandai dengan gabah yang mulai menguning,
pelayuan dari anakan dan daun di bagian dasar tanaman tampak semakin jelas,
tanaman akan terlihat menguning diikuti dengan mengeringnya anakan (Makarim
dan Suhartatik 2009).
Tahapan yang terahir adalah gabah matang penuh dan matang mati. Pada
fase ini ditandai dengan setiap gabah matang berkembang penuh, tekstur keras,
berwarna kuning, daun bagian atas dengan cepat dan sejumlah daun akan mati
yang terakumulasi pada bagian dasar tanaman. Periode pemasakan memerlukan
waktu berkisar 30 hari ditandai dengan penuaan daun. Pada tahap ini suhu
mempengaruhi periode pemasakan gabah (Yoshida 1981)
Kapasitas limbung (sink size) dalam hal ini ukuran gabah, biasanya
ditentukan sebelum tahap pembungaan, seperti jumlah malai per rumpun dan
jumlah gabah per malai. Jumlah gabah isi dan bobot 1 000 butir ditentukan selama
tahap pematangan atau setelah pembungaan (Yoshida dan Parao 1976). Jumlah
5
gabah isi ditentukan oleh kondisi suhu selama pematangan. Cuaca yang tidak
optimal selama tahap pembelahan dan antesis serta kerapatan tanaman yang tinggi
menentukan jumlah gabah isi per malai. Jumlah malai dan gabah isi menentukan
bobot 1 000 butir. Tingginya suhu harian selama tahap pematangan menurunkan
bobot 1 000 butir dan efisiensi pengisian gabah (Oldeman et al. 1986).
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Suhu Tinggi
Stres suhu tinggi adalah suatu kondisi suhu yang dihadapi oleh tanaman
yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik. Suhu menjadi cekaman bagi
tanaman tergantung pada laju perubahan, intensitas maupun durasinya. Toleransi
terhadap
suhu
tinggi
merupakan
kemampuan
tanaman
untuk
mempertahankan pertumbuhan dan hasil pada kondisi cekaman suhu tinggi
(Wahid et al. 2007).
Berbagai penelitian terkait tanaman padi, menyebutkan bahwa peningkatan
suhu dapat menurunkan produktivitas dan kualitas padi. Hal ini terjadi karena
adanya gangguan suhu tinggi dapat meningkatkan persentase bunga steril yang
mengakibatkan menurunnya jumlah serbuk sari yang ditangkap oleh stigma,
sehingga berdampak pada peningkatan jumlah persentase gabah hampa (Oh-e et
al. 2007; Tsukaguchi dan Iida 2008; Nagai dan Makino 2009). Cekaman suhu
tinggi pada tanaman dapat mengganggu aktifitas fisiologi dan biokimia (Susandi
et al. 2008).
Suhu tinggi dapat meningkatkan respirasi pada saat fase vegetatif, hal
tersebut menyebabkan rusaknya membran daun (Reynolds et al. 1994), kerusakan
membran daun dapat mengakibatkan penurunan suplai air, ion dan perpindahan
antar memberan sel, sehingga mengakibatkan penurunan konsumsi karbon, dan
transport asimilat.
Penelitian Ying et al. (2009) menyatakan bahwa tanaman mempunyai
mekanisme adaptasi terhadap suhu tinggi dengan mengeluarkan enzim
antioksidan, antara lain: peroxidase catalase, malondialdehyde dan superoxide
dismutase. Genotipe toleran suhu tinggi menunjukkan aktifitas perakaran yang
kuat, meningkatnya sistem pertahanan antioxidatif aktif pada daun, tingginya
aktifitas ATPase pada bulir, dan suhu daun yang lebih rendah dibandingkan
dengan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi. Selain itu Murakami et al.
(2006) melaporkan bahwa peningkatan kadar asam lemak trienoik dalam
membran dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi,
selain itu anthesis lebih awal merupakan mekanisme penghindaran terhadap
cekaman suhu tinggi. Yul-Sung et al. (2003) juga melaporkan bahwa membran
tanaman yang mengandung unsur kalsium dalam sitosol akan lebih toleran
terhadap cekaman suhu tinggi.
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru, Dramaga, Bogor.
Penanaman dilakukan pada lahan di bawah konstruksi rumah plastik,
dilaksanakan dari Desember 2014 sampai dengan Maret 2015.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah padi varietas
IR64, Ciherang, Jatiluhur dan Way Apo Buru. Pupuk yang digunakan yaitu Urea,
SP18 dan KCl. Pestisida digunakan jika dibutuhkan. Alat yang digunakan: alat
pertanian, meteran, penggaris, timbangan analitik, oven, Thermo recorder (TR71U, TandD, Japan) untuk mengukur suhu udara dan suhu tanah, trai semai,
gunting dan alat tulis.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi
(split plot) dengan dua perlakuan yaitu periode suhu tinggi sebagai petak utama
yang terdiri atas 3 taraf : 1) suhu udara di dalam rumah plastik plot-1 (T1); 2)
suhu udara di dalam rumah plastik dengan peningkatan suhu maksimum sekitar
(T1 + 0.22–1.61°C) (T2); 3) dan suhu udara di dalam rumah plastik dengan
peningkatan sekitar (T2 + 0.07–2.46°C) (T3). Varietas sebagai anak petak terdiri
dari IR64, Ciherang, Jatiluhur dan Way Apo Buru. Kombinasi dari 2 faktor
perlakuan menghasilkan 12 kombinasi perlakuan, sehingga terdapat 36 unit
percobaan. Tiap unit percobaan terdapat 6 tanaman, sehingga terdapat sebanyak
216 tanaman.
Model linier Rancangan Petak terbagi (split plot):
Yijk = μ + αi + ik + βj +(αβ)ij + ijk
Keterangan :
: Nilai pengamatan faktor perlakuan suhu tinggi ke-I dan varietas ke-j dan
blok ke-k.
μ
: Rataan umum.
αi
: Pengaruh petak utama (suhu tinggi ke-i)
ik
: Komponen acak dari petak utama (suhu tinggi) yang menyebar normal
βj
: Pengaruh anak petak (varietas ke-j).
(αβ)ij : Komponen interaksi antara petak utama taraf ke-i (suhu tinggi) dan anak
petak taraf ke-j (varietas).
ijk
: Pengaruh acak anak petak (varietas) yang menyebar normal.
Yijk
7
Pelaksanaan
Penanaman dilakukan dalam bak kontainer yang berukuran 67 cm x 47 cm x
37 cm. Pada setiap bak kontainer ditanam 1 varietas padi, pada 1 varietas ditanam
sebanyak 6 tanaman per kontainer dengan jarak 20 cm x 20 cm. Tanah yang
digunakan sebagai media tanam dilakukan pembersihan dari kotoran, akar dan
kerikil dengan cara diayak dengan saringan yang terbuat dari kawat yang
berukuran 1 cm x 1 cm. Tanah yang sudah diayak selanjutnya dimasukkan pada
bak kontaier dengan berat rata-rata 83 kg per kontainer. Tanah yang sudah
dimasukkan ke bak kontainer kemudian ditambahkan air hingga jenuh dan
tergenang 2 cm di atas permukaan tanah. Selanjutnya diaduk sampai membentuk
lumpur hingga siap digunakan sebagai media tanam (Supijatno et al. 2012).
Pemeliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan
pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha diberikan 1 MST dan
untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9
MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan.
Perbedaan suhu pada tiap-tiap ruang, dapat dilakukan dengan pemberian lubang
ventilasi dan mulsa pastik pada permukaan tanah. Semakin jarang diberikan
lubang ventilasi serta pemberian mulsa plastik menyebabkan terjadinya
peningkatan suhu pada ruangan.
Pengamatan dan Analisis Data
Peubah pengamatan tanaman yang diamati adalah :
1.
Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun/malai
terpanjang dengan mengunakan meteran. Pengamatan dilakukan pada
saat 3 MST, 5 MST, 7 MST dan 9 MST.
2. Jumlah anakan maksimum, dihitung saat 3 MST, 5 MST dan 7 MST.
3. Jumlah malai dan panjang malai (cm), pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah malai per rumpun yang menghasilkan malai.
Panjang malai dihitung dari buku pertama pada pangkal malai.
4. Berat gabah hampa dan bernas pada ujung primer, ujung sekunder,
pangkal primer dan pangkal sekunder, serta total gabah bernas dan
gabah hampa pada ujung dan pangkal malai, total gabah bernas per
rumpun, total gabah hampa per rumpun, total gabah per rumpun, total
gabah bernas cabang primer, total gabah hampa cabang primer, total
gabah bernas cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder.
Pengamatan dilakukan dengan menimbang berat gabah pada masingmasing posisi malai.
5. Bobot 1 000 butir pada ujung primer, ujung sekunder, pangkal primer,
dan pangkal sekunder. Pengamatan dilakukan dengan menghitung
bobot 1 000 butir pada tiap posisi malai.
Apabila sidik ragam menunjukkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan
uji lanjut DMRT pada taraf 5% (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan software SAS 9.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Suhu (oC)
Penanaman dilakukan dalam rumah plastik yang terdapat 3 kompartemen
dengan suhu berbeda-beda, perbedaan suhu tersebut didapatkan dengan
menggunakan mulsa hitam perak dan pemasangan ventilasi. Dengan
menggunakan cara tersebut berhasil meningkatkan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C. Pada T1 dapat mencapai suhu maksimum sebesar 35.44°C dan
suhu minimum sebesar 21.67°C, pada T2 dengan suhu maksimum 37.05°C dan
suhu minimum sebesar 21.89°C, pada T3 dengan suhu maksimum 39.51°C dan
suhu minimum sebesar 21.96°C.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yoshida (1981) dilaporkan
bahwa batasan suhu yang dapat ditoleransi padi berkisar dibawah 35°C, dan
ketika suhu diatas 35°C padi dapat mengalami dampak yang buruk baik pada
pertumbuhan maupun dalam pengisian gabah. Efek yang disebabkan cekaman
suhu tinggi salah satunya yaitu meningkatnya bunga steril yang akan berdampak
pada meningkatnya jumlah bulir hampa, selain itu dapat menyebabkan gabah
mengapur dan menurunnya bobot gabah isi. Pada penelitian ini, suhu dapat
melampaui 35°C. Pada kompartemen T1 suhu mencapai 35°C pada pukul 11.30 –
14.00 WIB, pada kompartemen T2 suhu dapat mencapai 35°C pada pukul 11.30 –
14.30 WIB, sedangkan pada kompartermen T3 suhu mencapai diatas 35°C
didapatkan lebih awal dan lebih lama yaitu pada pukul 10.00 – 15.30 WIB
(Gambar 1).
40
39
38
37
36
35
34
33
32
31
Waktu
T1
T2
T3
Gambar 1 Waktu tanaman terpapar suhu udara diatas 35°C
9
45,00
Suhu (̊C)
40,00
35,00
30,00
25,00
T1
Waktu
T2
23:30
22:30
21:30
20:30
19:30
18:30
17:30
16:30
14:30
15:30
13:30
12:30
11:30
9:30
10:30
8:30
7:30
6:30
5:30
4:30
3:30
2:30
1:30
0:30
20,00
T3
Gambar 2 Perubahan suhu udara selama penelitian
Jumlah Anakan, Jumlah Malai per Rumpun, Panjang Malai dan Tinggi
Maksimum
Jumlah anakan dilakukan pengamatan setiap 2 minggu dimulai pada 3 MST
hingga 7 MST, karena pada 7 MST padi sudah mulai memasuki fase pemanjangan
batang disusul dengan munculnya daun bendera dan fase primordia (fase
generatif). Pertumbuhan anakan berlangsung sejak munculnya anakan pertama
sampai pembentukan anakan maksimum. Anakan terus berkembang sampai
tanaman memasuki tahap pemanjangan batang dan fase primordia (Makarim dan
Suhartatik 2009). Faktor perlakuan suhu dan interaksi suhu dan varietas tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan, jumlah malai per rumpun dan panjang
malai, sedangkan varietas berbeda nyata pada peubah tersebut. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khamid (2014) yang melaporkan bahwa
perlakuan suhu tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan, jumlah
malai per rumpun dan panjang malai.
Pada peubah tinggi maksimum suhu memberikan pengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Kim et al. (2011) yang
menyebutkan bahwa pengaruh suhu tinggi dapat mempercepat siklus hidup padi,
hal ini terjadi karena adanya cekaman suhu tinggi dapat meningkatkan tingkat
pengisian gabah dan penuan pada daun, tetapi mengurangi waktu pada tingkat
pengisian gabah. Dalam hal ini pengisian pada gabah padi yang tercekam suhu
tinggi akan berhenti lebih awal dari pada padi yang tidak mendapatkan cekaman
suhu tinggi. Sehingga mengakibatkan penyaluran assimilat kembali meningkat
pada seludang daun dan batang padi. Kemungkinan hal tersebut dapat
mengakibatkan adanya pemanjangan batang pada padi pada saat tercekam suhu
tinggi.
Pada peubah jumlah anakan maksimum, varietas Ciherang berbeda nyata
lebih tinggi terhadap varietas lainya, sedangkan varietas Jatiluhur berbeda nyata
lebih rendah dibandingkan varietas yang lainya. Ditinjau dari peubah jumlah
malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru merupakan varietas yang memiliki
jumlah malai paling banyak dibandingkan varietas lainya. Ditinjau dari peubah
panjang malai, varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru tidak berbeda nyata,
10
tetapi varietas Jatiluhur memiliki panjang malai yang berbeda nyata lebih panjang
dibandingkan dengan varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru (Tabel 1).
Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi maksimum, hal ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan karakteristik antar varietas. Varietas Jatiluhur memiliki
nilai tertinggi sebesar 155.65 cm. Sedangkan varietas Ciherang memiliki tinggi
sebesar 106.94 cm sehingga menempatkan varietas tersebut memiliki tinggi
dibawah varietas lainnya.
Tabel 1 Pengaruh suhu dan varietas terhadap jumlah anakan maksimum, jumlah
malai per rumpun dan panjang malai
Perlakuan
Jumlah
anakan
maksimum
Jumlah malai
per rumpun
Panjang malai
(cm)
Tinggi
maksimum
(cm)
Suhu
T1
19.20
17.41
23.62
118.54 b
T2
18.48
17.41
23.78
121.73 ab
T3
19.05
19.47
24.13
124.67 a
Varietas
Ciherang
23.50 a
16.77 b
23.30 b
106.94 c
Jatiluhur
12.83 d
12.63 c
24.94 a
155.65 a
IR64
20.94 b
22.55 a
23.50 b
112.28 b
Way Apo
18.39 c
20.44 a
23.63 b
111.73 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.
Berat Gabah Hampa dan Bernas pada Tiap-tiap Posisi Malai
Pada peubah berat gabah bernas posisi ujung sekunder, varietas cenderung
berinteraksi dengan suhu. Suhu berpengauh nyata terhadap peubah berat gabah
bernas ujung primer dan berat gabah hampa ujung sekunder, perlakuan suhu
relatif berpengaruh pada peubah berat gabah hampa ujung primer, berat gabah
bernas ujung sekunder dan berat gabah hampa pangkal sekunder, tetapi perlakuan
suhu tidak berpengaruh nyata pada peubah berat gabah hampa pangkal primer,
berat gabah bernas pangkal primer dan berat gabah bernas pangkal sekunder
(Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoshida (1981),
Oh-e et al. (2007), Tsukaguchi dan Iida (2008), Nagai dan Makino (2009) yang
melaporkan bahwa suhu tinggi dapat meningkatkan bunga steril akibat dari tidak
ditangkapnya serbuk sari oleh stigma, sehingga meningkatnya jumlah gabah
hampa. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Noviandy (2012)
dengan faktor perlakuan kekeringan juga menyebutkan bahwa periode cekaman
kekeringan berpengaruh nyata pada beberapa peubah berat gabah pada tiap-tiap
posisi malai. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2011) menyebutkan
bahwa cekaman suhu tinggi dapat mengakibatkan proses pengisian gabah berhenti
lebih awal, berhentinya pengisian bukan karena kurangnya assimilat, tetapi lebih
diakibatkan karena hilangnya aktivitas sink dan penuaan daun bendera secara
11
cepat. Aktivitas sink yang tercekam suhu tinggi dapat menurunkan kemampuan
translokasi dan sintesis enzim pati. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Mohammed dan Tarpley (2010) yang melaporkan
bahwa pengisian gabah pada padi dimulai pada bagian ujung malai, akibat dari
cekaman suhu tinggi terjadi gangguan dalam transport assimilat pada bulir padi
dan terjadi persaingan pengisian antar bulir pada malai.
Tabel 2 Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa ujung primer,
sekunder dan berat gabah bernas ujung primer, sekunder
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Perlakuan
hampa ujung
bernas ujung
hampa ujung bernas ujung
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
0.70 ab
7.80 a
0.80 b
12.74 a
T2
0.64 b
7.49 a
0.81 b
11.44 ab
T3
0.78 a
6.34 b
0.88 a
10.84 b
Varietas
Ciherang
0.60 b
7.39 b
0.69 b
11.66 ab
Jatiluhur
0.59 b
3.97 c
0.76 b
12.99 a
IR64
0.79 a
10.12 a
0.94 a
12.55 a
Way Apo
0.85 a
7.36 b
0.91 a
9.49 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Varietas memiliki perbedaan sangat nyata pada peubah berat gabah hampa
ujung primer, berat gabah bernas ujung primer dan berat gabah hampa ujung
sekunder. Varietas cenderung nyata pada peubah berat gabah bernas ujung
sekunder. Ying et al. (2009) menyatakan bahwa genotipe toleran suhu tinggi
menunjukkan aktivitas perakaran yang kuat, meningkatnya sistem pertahanan
antioxidatif aktif pada daun, tingginya aktivitas ATPase pada bulir, dan suhu daun
yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe yang peka terhadap suhu tinggi.
Noviandy (2012) juga melaporkan bahwa varietas toleran ditunjukkan oleh respon
pengisian gabah ujung malai pada cabang sekunder lebih baik daripada pengisian
gabah pagkal malai pada cabang sekunder. Selain itu, merujuk pada penelitian
Mohammed dan Tarpley (2010) yang melaporkan bahwa varietas toleran suhu
tinggi cenderung memiliki respon pengisian pada ujung malai yang baik.
Pada posisi ujung malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru memiliki nilai
berat gabah hampa ujung primer tertinggi, sedangkan varietas IR64 merupakan
varietas dengan tingkat bernas ujung primer tertinggi. Varietas IR64 dan Way
Apo Buru memiliki berat gabah hampa ujung sekunder tertinggi, varietas Jatiluhur
dan IR64 memiliki nilai yang paling tinggi pada peubah berat gabah bernas ujung
sekunder. Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C dapat
meningkatkan persentase gabah hampa pada ujung primer sebesar 21.9% dan
persentase gabah hampa pada ujung sekunder sebesar 13.8%, dan persentase
gabah hampa pada pangkal sekunder sebesar 11.7%. Selain itu mengakibatkan
12
penurunan persentase gabah bernas pada ujung primer sebesar 23.8%, dan
persentase gabah bernas pada ujung sekunder sebesar 17.5%.
Pada posisi pangkal malai, varietas IR64 dan Way Apo Buru memiliki berat
gabah hampa pangkal primer tertinggi. Pada peubah berat gabah bernas pangkal
primer, varietas Jatiluhur memiliki berat tertinggi. Pada peubah berat gabah
hampa pangkal sekunder, varietas yang memiliki nilai tertinggi yaitu Jatiluhur dan
Way Apo Buru. Varietas Jatiluhur pada peubah berat gabah bernas pangkal
sekunder memiliki nilai paling tertinggi (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh suhu dan varietas terhadap berat gabah hampa pangkal primer,
sekunder, dan berat gabah bernas pangkal primer, sekunder
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
Berat gabah
hampa
bernas
hampa
bernas
Perlakuan
pangkal
pangkal
pangkal
pangkal
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
0.82
11.55
1.19 a
18.07
T2
0.73
11.30
1.05 b
16.88
T3
0.72
11.21
1.09 ab
18.93
Varietas
Ciherang
0.62 b
12.11 ab
1.06 ab
16.51 b
Jatiluhur
0.66 b
14.38 a
1.26 a
28.19 a
IR64
0.82 a
9.75 bc
0.93 b
11.88 b
Way Apo
0.92 a
9.17 c
1.19 a
15.26 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Total Gabah per Rumpun dan per Posisi Malai
Pada peubah total gabah bernas per rumpun, total bobot gabah hampa per
rumpun, dan total bobot gabah per rumpun, peningkatan rata-rata suhu maksimum
sebesar 4.07°C tidak berpengaruh nyata. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Khamid (2014) yang menyatakan bahwa perlakuan suhu tinggi
tidak berpengaruh nyata pada jumlah gabah isi per rumpun, gabah hampa per
rumpun dan total gabah per rumpun, serta interaksinya dengan perlakuan varietas
tidak berpengaruh nyata. Selain itu, peningakatan suhu maksimum sebesar 4.07°C
cenderung berpengaruh terhadap total gabah hampa pada cabang primer, dan tidak
berpengaruh nyata terhadap peubah total gabah bernas cabang primer, total gabah
bernas cabang sekunder dan total gabah hampa cabang sekunder.
Varietas menunjukan perbedaan yang nyata pada peubah total gabah
bernas per rumpun, gabah hampa per rumpun dan total bobot gabah per rumpun,
serta menunjukan perbedaan sangat nyata pada total gabah hampa cabang primer
dan total gabah bernas cabang sekunder. Varietas Jatiluhur merupakan varietas
yang mempunyai total bobot gabah per rumpun dan total bobot gabah bernas per
rumpun paling tinggi dibandingkan dengan varietas lainya. Seperti yang
13
dilaporkan oleh Supijatno et al. (2012) yang menyatakan bahwa varietas Jatiluhur
mempunyai postur malai yang lebih panjang serta mempunyai tingkat kerapatan
malai yang lebih tinggi daripada varietas Ciherang, IR64 dan Way Apo Buru.
Sehinga berdampak pada tingginya total gabah per rumpun.
Tabel 4 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total bobot gabah bernas per
rumpun, total bobot gabah hampa per rumpun, dan total bobot gabah
per rumpun
Total bobot
Total bobot
Total bobot gabah
gabah hampa
gabah per
Perlakuan
bernas per rumpun
per rumpun
rumpun
............................................g..........................................
Suhu
T1
50.18
3.43
53.02
T2
47.03
3.22
50.44
T3
47.42
3.58
49.48
Varietas
Ciherang
47.68 b
2.98 c
49.74 b
Jatiluhur
59.54 a
3.29 bc
62.28 a
IR64
43.73 b
3.50 ab
46.48 b
Way Apo Buru
41.88 b
3.88 a
45.41 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
Tabel 5 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah bernas cabang primer,
total gabah hampa cabang primer, total gabah bernas cabang sekunder
dan total gabah hampa cabang sekunder
Total gabah
Total gabah
Total gabah
Total gabah
bernas
hampa
Perlakuan bernas cabang hampa cabang
cabang
cabang
primer
primer
sekunder
sekunder
............................................g............................................
Suhu
T1
19.36
0.97 ab
30.81
1.41
T2
18.70
0.91 b
28.32
1.37
T3
17.64
1.11 a
29.78
1.30
Varietas
Ciherang
19.50
0.83 b
28.18 b
1.23
Jatiluhur
18.36
0.84 b
41.18 a
1.44
IR64
19.29
1.10 a
24.43 b
1.29
Way Apo
17.12
1.22 a
24.76 b
1.47
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
14
Bobot 1 000 Butir pada Tiap-tiap Posisi Malai
Hasil bobot 1 000 butir pada tiap-tiap posisi malai, menunjukan perbedaan
antar varietas dan cekaman suhu. Pada peubah bobot 1 000 butir, peningkatan
suhu berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir posisi pangkal sekunder, tetapi
tidak berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir ujung primer, ujung sekunder, dan
pangkal primer. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
maka bobot 1 000 butir pangkal sekunder semakin meningkat. Hal ini
bertentangan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa
cekaman suhu tinggi dapat menurunkan bobot 1 000 butir. Penelitian yang
dilakukan oleh Yoshida (1981) menyebutkan bahwa perbedaan bobot 1 000 butir
dapat dipengaruhi oleh tipe bentuk gabah pada masing-masing varietas dan
adanya pengaruh suhu tinggi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ma et al.
(2009) juga melaporkan bahwa penurunan bobot 1 000 butir terjadi
karenahambatan pada saat proses pengisian gabah, hal ini terjadi karena
pembentukan dan akumulasi protein yang akan disimpan dalam bulir gabah
mengalami gangguan akibat suhu tinggi sehingga berdampak pada menurunnya
bobot 1 000 butir. Reynolds et al. (1994) melaporkan bahwa cekaman suhu tinggi
dapat merusak membran daun sehingga dampak yang ditimbulkan yaitu
terganggunya transport asimilat ke bulir. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dong et al. (2014) yang melaporkan bahwa bobot 1 000 butir pada
tanaman yang mendapatkan cekaman suhu tinggi akan lebih rendah bila
dibandingkan dengan padi yang dibudidayakan pada suhu normal. Hal ini terjadi
karena adanya penurunan pembentukan dan pengisian bulir khususnya pada posisi
pangkal malai. Meningkatnya suhu diikuti dengan meningkatnya bobot 1 000
butir juga kemungkinan dapat terjadi, hal ini disebabkan karena adanya
metabolisme sekunder pada suatu tanaman. Murakami et al. (2006) menyebutkan
bahwa peningkatan kadar asam lemak trienoik pada suatu membran pada suatu
tanaman dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yul-Sung et al. (2003) cekaman suhu
tinggi yang diujikan diberbagai tanaman pangan juga menyatakan bahwa sel
tanaman yang mengandung kalsium lebih tinggi cenderung lebih toleran terhadap
cekaman suhu tinggi.
Varietas berpengaruh nyata pada bobot 1 000 butir ujung sekunder dan
pangkal sekunder, serta berpengaruh sangat nyata pada pangkal primer. Pada tiap
posisi malai, bobot 1 000 butir ujung primer pada masing-masing suhu
menunjukan nilai yang lebih tinggi daripada posisi lainya. Bila dihubungkan
dengan penelitian Mohammed dan Tarpley (2010) dan Kim et al. (2011) yang
menyebutkan bahwa pengisian biji dimulai pada ujung malai. Dengan adanya
cekaman suhu tinggi mengakibatkan pengisian berhenti lebih awal sehingga
mengakibatkan partisi assimilat menjadi terpecah dan sebagian besar
ditranslokasikan ke seludang daun serta ke batang. Dari pernyataan tersebut dan
dibuktikan dengan data yang ada, menunjukan bahwa pada cekaman suhu tinggi
pengisian assimilat pada biji yang optimal terdapat pada posisi ujung malai
cabang primer.
15
Tabel 6 Pengaruh suhu dan varietas terhadap bobot 1000 butir ujung primer.
ujung sekuder, pangkal primer dan pangkal sekunder
Bobot 1000
Bobot 1000
Bobot 1000
Bobot 1000
butir ujung
butir ujung
butir pangkal
butir pangkal
Perlakuan
primer
sekunder
primer
sekunder
............................................g............................................
Suhu
23.92
21.87
23.62
19.99 b
T1
(100%)
(-8.57%)
(-1.25%)
(-16.42%)
24.14
21.55
23.60
20.03 b
T2
(100%)
(-10.72%)
(-2.23%)
(-17.02%)
24.21
22.37
23.63
21.29 a
T3
(100%)
(-7.60%)
(-2.39%)
(-12.06%)
Varietas
Ciherang
23.81
21.48 b
23.50 ab
20.18 b
Jatiluhur
24.70
21.94 ab
24.07 a
19.66 b
IR64
23.57
21.89 ab
22.80 b
20.49 ab
Way Apo
24.28
22.42 ab
24.10 a
21.33 a
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk faktor perlakuan suhu dan varietas tidak berbeda nyata
menurut uji DεRT pada taraf α 5%. - = persentase terhadap bobot
gabah pada posisi ujung primer untuk tiap perlakuan suhu.
Total Gabah Hampa dan Bernas Pada Ujung dan Pangkal Malai
Pada peubah total gabah hampa dan bernas pada ujung dan pangkal malai,
peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C berpengaruh nyata terhadap
total gabah hampa dan bernas pada ujung malai, tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap total gabah hampa dan bernas pada pangkal malai. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mohammed dan Tarpley (2010), yang
menyebutkan bahwa pada cekaman suhu tinggi, posisi ujung malai mengalami
tingkat kehampaan yang tinggi dibandingkan dengan pangkal malai. Hal ini
dimungkinkan karena pada posisi ujung malai terjadi anthesis lebih awal
dibandingkan dengan pangkal malai. Sedangkan anthesis pada ujung malai terjadi
bersamaan dengan peningkatan suhu udara. Sehingga terjadi kegagalan pada saat
penyerbukan yang berdampak pada peningkatan gabah hampa dan penurunan
gabah bernas pada padi. Sedangkan pada posisi pangkal malai, dimungkinkan
anthesis terjadi pada saat suhu ruangan mulai menurun dibawah suhu 35°C.
Sehingga dapat terhindar dari cekaman suhu tinggi.
Varietas memberikan pengaruh nyata pada masing-masing peubah
pengamatan. Varitas Way Apo Buru menunjukan total gabah hampa pada ujung
malai dan pangkal malai tertinggi. Varietas IR64 menunjukan total gabah bernas
ujung malai tertinggi, sedangkan pada varietas Jatiluhur memiliki berat tertinggi
pada peubah total gabah bernas pangkal malai.
16
Tabel 7 Pengaruh suhu dan varietas terhadap total gabah hampa ujung malai, total
gabah bernas ujung malai, total gabah hampa pangkal malai, dan total
gabah bernas pangkal malai
Total gabah
Total gabah
Total gabah
Total gabah
bernas ujung
hampa
bernas
Perlakuan hampa ujung
malai
malai
pangkal malai pangkal malai
............................................g............................................
Suhu
T1
0.96 b
20.62 a
1.38
30.23
T2
0.98 b
18.93 ab
1.31
29.63
T3
1.12 a
17.18 b
1.25
28.10
Varietas
Ciherang
0.83 c
19.05 ab
1.19 bc
28.63 b
Jatiluhur
0.93 c
17.05 b
1.40 ab
42.57 a
IR64
1.13 ab
22.67 a
1.18 c
21.05 b
Way Apo
1.19 a
16.86 b
1.47 a
25.02 b
Buru
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
untuk masing-masing faktor perlakuan suhu dan varietas tidak
berbeda nyata menurut uji DεRT pada taraf α 5%.
KESIMPULAN
Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C tidak menunjukan
adanya interaksi yang nyata antara suhu dan varietas. Hal ini menunjukan bahwa
4 varietas tersebut mempunyai respon pengisian gabah yang sama terhadap
cekaman suhu tinggi. Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C tidak
berpengaruh nyata pada jumlah anakan maksimum, panjang malai, jumlah malai,
berat gabah bernas pangkal primer, berat gabah bernas pangkal sekunder, bobot 1
000 butir pada posisi ujung primer, ujung sekunder, dan pangkal primer, serta
pada total bernas pangkal malai, total gabah bernas per rumpun, total gabah
bernas cabang primer dan total gabah bernas cabang sekunder. Suhu tinggi
cenderung berpengaruh nyata pada berat gabah bernas ujung sekunder dan total
berat gabah bernas pada ujung primer. Suhu tinggi berpengaruh nyata terhadap
tinggi maksimum, barat gabah bernas pada ujung primer, bobot 1 000 butir
pangkal sekunder, dan total gabah bernas pada ujung malai.
Peningkatan rata-rata suhu maksimum sebesar 4.07°C berdampak pada
meningkatnya persentase gabah hampa pada ujung primer sebesar 21.9% dan
persentase gabah hampa pada ujung sekunder sebesar 13.8%. Suhu tinggi
mengakibatkan penurunan persentase gabah bernas pada ujung primer sebesar
23.8% dan penurunan persentase gabah bernas pada ujung sekunder sebesar
17.5%. Selain itu perlakuan suhu tinggi menurunkan bobot 1 000 butir masingmasing sebesar 9%, 5.9%, dan 15.2% pada posisi secara berurutan malai ujung
sekunder, pangkal primer, dan pangkal sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Aydinalp C, Cresser MS. 2008. The effects of global climate change on
agriculture. J Agric & Environ Sci. 3 (5): 672-676.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Kalori (KKal) per Kapita
Sehari Menurut Kelompok Makanan. [internet]. [diunduh 2014 Mar 8].
Tersedia pada: http://bps.go.id/tab_sub/view.php ?kat=1&tabel= 1&
daftar=1& id_sub yek=05¬ ab=5.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk.
[internet]. [diunduh 2014 Mar 8].Tersedia pada: http://bps.go.id/tab_sub/
view.php?kat=1&tab el=1& daftar=1&id_sub yek=05¬ab=5.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2012. Syarat pertumbuhan tanaman padi
sawah [internet]. [diunduh 2014 Mar 15]. Tersedia pada :
http://cybex.deptan.go.id/ penyuluhan /syarat-pertumbuhan-tanaman-padisawah
[IPCC] Intergovenrmental Panel on Climate Change. 2007. Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. New York (USA):
Cambridge University Press.
Dong W, Chen J, Wang L, Tian Y, Zhang B, Lai Y, Meng Y, Qian C, Guo J.
2014. Impacts of nighttime post-anthesis warming on rice productivity and
grain quality in East China. The Crop Journal. 2:63-69.
Indriani. 2014. Petani semakin terdesak perubahan iklim. [internet]. [diunduh
2015 mar 25]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/425138/
petani-semakin-terdesak-perubahan-iklim.
Kementrian RISTEK. 2000. PADI ( Oryza Sativa ).[internet]. [diunduh 2014 Mar
19]. Tersedia pada: www.warintek.ristek.go.id/pertanian/padi.pdf.
Khamid MBR. 2014. Respon pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa L.)
terhadap cekaman suhu tinggi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kim J, Shon J, Lee CK, Yang W, Yoon W, Yang WH, Kim YG, Lee BW. 2011.
Relationship between grain filling duration and leaf senescence of temperate
rice under high temperature. Field Crops Res. 122: 207-213.
Litbang BMKG. 2009. Suhu udara rata-rata di Indonesia naik. [internet].
[diunduh 2014 mar 2]. Tersedia pada: http://sains.kompas.com/read
/2012/11/29/22052636/ Suhu. di.Indonesia. Rata-rata.Naik.