PROFESOR HIMENDRA: Antara Aktivis Mahasiswa, Membangun Almamater, dan Pengembangan Diri
Oleh: Muradi
I. Pendahuluan
Figur Professor Himendra Wargadibrata sangat berperan dalam memotivasi dan mendorong penulis mencapai situasi seperti sekarang ini.
selama ini penulis merasa bahwa tanpa motivasi dan dorongan dari Prof. Himendra rasanya sulit dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan
harapan penulis. Berangkat dari Jakarta menjadi mahasiswa pada tahun 1995 ke Bandung dengan bekal semangat dan modal nekad, penulis bertemu
dengan Prof. Himendra, yang waktu itu masih mnjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebelum bergeser menjadi Pembantu Rektor Bidang
Perencanaan namun tetap konsern dalam pembinaan kemahasiswaan.
Ada kalimat yang selalu diucapkan Prof. Himendra disela-sela pertemuan, baik formal maupun informal dengan penulis yang selalu
menjadi pelecut bagi penulis untuk selalu memilih untuk berada di zona aman selaku mahasiswa. Prof. Himendra selalu mengatakan bahwa menjadi
aktivis mahasiswa adalah bukan berarti melupakan tugas utama sebagai mahasiswa, yakni tetap fokus pada perkuliahan. Penulis baru memahami
ucapan tersebut beberapa tahun kemudian saat penulis menyelesaian kuliah Sarjananya dari Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Padjadjaran pada tahun 2000, yakni banyak aktifis mahasiswa era sebelum penulis yang tidak lulus atau memilih tidak
menyelesaikan studinya dengan berbagai pertimbangan.
Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana pengalaman penulis berinteraksi, termotivasi dan akhirnya menjalankan berbagai saran hingga
menjadi seperti saat ini. tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni: saat menjadi mahasiswa dan aktivis mahasiswa, dan mengabdi menjadi pengajar
di almamater tercinta. II. Aktivis Mahasiswa
Pertama kali di datang ke Bandung sebagai mahasiswa pada tahun 1995 penuh dengan optimisme akan mampu menyelesaikan perkuliahan
dengan tepat waktu dengan nilai yang maksimal sebagaimana janji penulis pada kedua orang tua saat berangkat ke Bandung. Namun, secara perlahan
optimisme tersebut bergeser pada ketidakyakinan, karena perkuliahan dilaksanakan di Jatinangor, yang ketika itu jauh dari bayangan penulis
sebelum datang ke Bandung. Dengan fasilitas umum yang minim saat itu, penulis menjalani hari-hari perkuliahan dengan seadanya, bahkan berpikir
untuk kembali ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang saat bersamaan penulis diterima di salah satu jurusan favorit.
Perbedaan system pendidikan di SMA dengan perkulihan di perguruan tinggi membuat penulis kesulitan dalam menjalani awal-awal
perkuliahan. Bagaimana tidak banyak waktu senggang yang seharusnya dimanfaatkan untuk membaca dan berdiskusi layaknya mahasiswa lakukan
di tengah perkuliahan yang tidak terlalu padat. Disinilah kemudian penulis
berkenalan dengan dunia aktivis mahasiswa dan tentu saja dengan Prof. Himendra. Ketika itu penulis sempat mengikuti Latihan Kader I Himpunan
Mahasiswa Indonesia LK I HMI, Cabang Bandung, tapi penulis tidak menemukan passion yang pas, begitu juga ketika penulis menjadi anggota
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia GMNI Cabang Bandung. Ada perasaan yang kurang pas ketika penulis bergabung dengan kedua lembaga
kemahasiswaan Kelompok Cipayung tersebut, salah satunya adalah karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi mengedepankan penguatan
eksistensi kampus. Pada akhirnya penulis bertemu dengan kelompok aktivis mahasiswa di Unpad, yakni Keluarga Aktivis Unpad KA Unpad yang
memperkuat keinginan penulis untuk besar bersama dengan almamater.
Interaksi pertama kali penulis dengan Prof. Himedra saat penulis bersama teman-teman KA Unpad yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda
dan Mahasiswa Bandung SPMB yang sedang mengadakan Aksi Solidaritas Mahasiswa Bandung untuk Mahasiswa Ujung Pandang Makasar sekitar
April atau Mei 1996, waktu itu unjuk rasa berakhir ricuh, karena aparat keamanan; Polri dan tentara memaksa mahasiswa untuk tetap berekspresi di
dalam kampus, sementara mahasiswa berkeinginan sebaliknya. Waktu itu penulis hanya menjadi salah satu perangkat aksi yang membagi-bagikan
pernyataan sikap ke media dan mahasiswa serta publik terkait dengan tujuan demonstrasi tersebut. Saat itu seorang tinggi besar meminta selebaran
tersebut sambil bertanya-tanya berkaitan dengan tujuan dari unjuk rasa ini. penulis baru mengetahui bahwa yang bertanya-tanya itu Prof. Himendra,
yang sebelumnya menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan bergeser menjadi Pembantu Rektor Bidang Perencanaan dari seorang rekan
sesame anggota KA Unpad. Belum ada kesan yang baik pada pertemuan pertama tersebut, karena sejak awal penulis ditekankan untuk melihat
birokrat kampus harus hitam putih; baik sekali atau jahat sekali. Birokrat yang baik tidak akan terang-terangan mau berdekatan dengan kalangan
aktivis mahasiswa dan menyuarakan kebenaran, sementara birokrat yang jahat akan memosisikan berhadap-hadapkan dengan aktivis mahasiswa.
Demikian ‘doktrin’ yang diterima penulis saat itu.
Pada perjumpaan kedua antara penulis dengan Prof. Himendra justru berakhir kurang baik, saat terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat
keamanan pada eskalasi unjuk rasa Solidaritas untuk Mahasiswa Ujung Pandang. Saat itu mahasiswa dipukul mundur ke kampus dan terjadi saling
lempar batu antara mahasiswa dan aparat keamanan. ‘serbuan’ aparat keamanan tersebut menggugah mahasiswa yang sebelumnya hanya
menonton unjuk rasa dan beraktivitas lainnya, akhirnya bergabung melempari aparat keamanan yang berupaya merangsek masuk ke halaman
kampus. Prof. Himendra yang terlihat memantau unjuk rasa tersebut akhir merangsek ke depan, dan mendekati kerumunan mahasiswa, sambil
mengucapkan kata-kata sebagai berikut, “Kalau sudah berani memulai, harus berani menuntaskan. Kalau tidak berani menyelesaikan, sama saja berani
mengusik kedamaian kampus, kalu begitu berarti berhadapan dengan saya” sambil tangannya menunjuk-nunjuk mahasiswa yang berkerumun.
Pertemuan dalam suasana yang kurang baik tersebut, sedikit banyak memberi kesan bagi penulis, apa soal? Karena sependek penulis rasakan
selama menjadi mahasiswa kebanyakan birokrat kampus memilih menghindar berurusan dengan aktivis mahasiswa kritis, dan memilih untuk
menghadapkannya dengan Tim Pendamping Mahasiswa TPM, baik di tingkat universitas maupun fakultas. Apalagi Pembantu Rektor Bidang
Kemahasiswa saat itu juga tidak kelihatan batang hidungnya.
1
Hanya Nampak beberapa staf TPM universitas yang memantau unjuk rasa tersebut.
Kesan ini sesungguhnya yang memberikan rasa penasaran penulis untuk bertemu kembali dengan Prof. Himendra. Apalagi ada kesepakatan di
organisasi bahwa memetakan birokrat yang cenderung terbuka untuk berdialog dengan mahasiswa menjadi penting dilakukan guna memuluskan
sejumlah tujuan untuk penguatan basis gerakan mahasiswa di Universitas Padjadjaran untuk pengembangan dan kejayaan almamater. Waktu itu
penulis diminta untuk melakukan upaya pendekatan ke Pof. Himendra, setidaknya untuk menjalin hubungan baik dan dapat dijadikan sumber
informasi di kalangan internal birokrat kampus yang saat itu aktivis mahasiswa di Unpad meyakini bahwa rektor Unpad ketika itu, Prof. Maman
P. Rukmana melakukan praktik penyimpangan dan korupsi dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Singkat cerita, penulis akhirnya diterima dan berdiskusi dengan Prof. Himendra di ruangan Pembantu Rektor V, dari sejumlah diskusi, akhirnya
keluarlah pertanyaan kami kepada Prof. Himendra terkait dengan data yang dimiliki oleh mahasiswa bahwa ada dugaan praktik penyimpangan dan
korupsi di internal Unpad, yang melibatkan Rektor Unpad ketika itu, Prof. Maman. P. Rukmana almarhum. Alih-alih mendapatkan dukungan dari
Prof. Himendra dan data yang valid, kami justru disemprot oleh kemarahan. Menurut Prof. Himendra, dirinya tidak dalam kapasitas menjawab itu, dan
apabila benar adanya, maka sebagai bagian dari system di Unpad, maka dirinya menjadi bagian dari system tersebut. Sebagian dari mahasiswa yang
ikut beraudiensi dan berdiskusi dengan Prof. Himendra menggerutu bahwa semua birokrat kampus sama saja, sebagian lain, masih bingung dengan
pernyataan tersebut. Namun penulis saat ini menilai apa yang diucapkan oleh Prof. Himendra adalah bentuk dari implementasi etika organisasi,
sebagian bagian dari system ‘pemerintahan’ di Unpad yang secara praktis sulit diterima oleh kami saat itu.
Mendapat dampratan tersebut membuat mahasiswa melakukan caranya sendiri untuk mengungkapkan sejumlah data dan temuan praktik
penyimpangan di Unpad, salah satunya melalui media independen bernama Padjadjaran Post, bulletin mingguan yang diterbitkan oleh KA Unpad ini
menyoroti sejumlah praktik penyimpangan mulai Dana Persatuan Orang Tua Mahasiswa POMA. Penerbitan Padjadjaran Post ini membuat Pembantu
Rektor bidang Kemahasiswaan gerah juga, dengan pendekatan yang formalitas dan menindas, salah satunya dengan memanggil mahasiswa yang
aktif menjadi staf redaksi, termasuk penulis ketika itu. Pemanggilan oleh Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan dengan intimidasi dikeluarkan dari
kampus karena berprilaku tidak baik sebagai mahasiswa. Intimidasi tersebut
1
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan saat itu adalah Prof. A. Djadja Saefullah, Ph.D, mantan Dekan FISIP Unpad.
membuat penulis makin yakin bahwa aktivitasnya sebagai mahasiswa saat itu sudah benar, ada keberanian yang luar biasa untuk terus menyuarakan
kebenaran. Apalagi saat itu ada dosen-dosen yang luar biasa berani menyokong sikap penulis, sebut saja misalnya Dr. Gugun Gunardi, Dosen
Sastra Sunda, yang kemudian menjadi Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan di Fakultas Sastra, dan Dr. Mumuh Muhsin, yang ketika itu
menjadi Ketua Jurusan Ilmu Sejarah dan kemudian menjadi Pembantu Dekan bidang Akademik. Tak lama berselang Dr. Mumuh Muhsin kemudian
melanjutkan sekolah ke Jerman, dan praktis penulis banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan Dr. Gugun Gunardi.
Dengan perantara Dr. Gugun Gunardi inilah, penulis secara rutin melanjutkan interaksi dengan Prof. Himendra, yang dalam perjalanannya
kemudian juga mengetahui bahwa Dr. Gugun Gunardi adalah kader dari Prof. Himendra untuk diplot mengurusi bidang kemahasiswaan, bersama di
antaranya Dr. Hadi Suprapto, Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad dan kemudian menjadi Koordinator
Hubungan Masyarakat Humas Universitas Padjadjaran. Praktis, banyak hal yang penulis lihat dan belajar dari interaksi dengan Prof. Himendra. Salah
satu yang menjadi titik tekan penulis berkaitan dengan perkuliahan adalah mengingatkan bahwa sikap kritis harus ditopang oleh disiplin belajar yang
simultan, dengan kata lain, nilai perkuliahan harus tetap bagus agar upaya intimidasi dengan perkuliahan tidak dapat dilakukan.
Apa yang ditekankan oleh Prof. Himendra tersebut penulis rasakan saat-saat unjuk rasa kritik terhadap praktik penyelewengan dan korupsi di
internal makin kuat bersamaan dengan memanasnya suhu politik Indonesia, berkaitan dengan kepemimpinan politik Orde Baru. Penulis ketika itu
dipanggil oleh Dekan Fakultas Sastra Prof. Dr. Edi S. Ekadjati almarhum untuk datang ke ruang dekan, yang mana ketika itu telah menunggu seluruh
pimpinan fakultas, selan Dekan, hadir juga Prof. Dr. Duddy Zuhud, Pembantu
Dekan bidang
Akademik, Pembantu
Dekan bidang
Kemahasiswaan, pak Bachtiar almarhum, dan juga hadir Ketua Jurusan Ilmu Sejarah ketika itu, Dr. Mumuh Muhsin. Kecuali Dr. Mumuh Muhsin,
para birokrat fakultas tersebut mendesak agar penulis menandatangani surat yang menyetetujui mundur sebagai mahasiswa karena menciptakan ketidak
kondusifan dan menyebarkan kebencian kepada birokrasi kampus serta pemerintah. Tentu saja penulis menolaknya, karena secara akademik penulis
tidak dalam posisi yang dituduhkan tersebut. Selain nilai akademik penulis relative baik, juga tidak dalam masa penghabisan masa perkuliahan. Di sini
sesungguhnya kebenaran yang Prof. Himendra selalu ulang dan katakan kepada penulis kerap kali bertemu terkait dengan perkuliahan.
Menjelang pemerintahan Orde Baru dan Soeharto tumbang, unjuk rasa yang hampir tiap hari menyebkan organisasi kemahasiswaan juga terbelah.
Penulis ketika itu menjadi Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa BPM Fakultas Sastra, memilih bergabung dengan pimpinan mahasiswa di Unpad
yang menyikapi masalah kebangsaan dengan turun ke jalan dengan membentuk Forum Lembaga Mahasiswa Universitas Padjadjaran FLMUP
yang menginisiasi unjuk rasa di Jatinangor.
2
Untuk memperluas dukungan mahasiswa dan civitas mahasiswa FLMUP kemudian berubah menjadi
Kesatuan Aksi Mahasiswa Unpad KAMU yang diinisiasi oleh FLMUP, KA Unpad, dan sejumlah oganisasi kemahasiswaan yang memiliki kegelisahan
yang sama terkait.
Singkat kata ketika unjuk rasa makin membesar dan melakukan pendudukan ke DPRD dan Lapangan Gasibu dengan ratusan ribu pengunjuk
rasa, maka dibutuhkan secretariat bersama bagi koalisi mahasiswa Bandung raya, bernama Forum Mahasiswa Bandung FMB, yang berjumlah lebih dari
85 kampus se-Bandung Raya. Pilihan Unpad Dipati Ukur, karena kedekatan jarak dengan Gedung DPRD dan Lapangan Gasibu. Masalah yang kemudian
muncul adalah akses untuk masuk ke Unpad Dipati Ukur dan mendapatkan tempat bagi Sekretariat Bersama Sekber FMB bukan hal yang mudah, lain
soal mungkin kalau di Kampus Unpad Jatinangor. Penulis ketika itu mengontak Dr. Gugun Gunardi dan Pak Hadi Suprapto untuk meminta akses
ruangan bagi Sekretariat Bersama dan mungkin juga dapur umum bersama. Waktu itu penulis bersama rekan-rekan lain seperti Muh. Halim dari FH
Unpad, Okky Seiful dari FISIP Unpad, Eko Arief Nugroho dari Fikom Unpad, dan rekan-rekan lain yang tergabung dalam KAMU memilih untuk memaksa
masuk apabila akses tersebut tidak diperbolehkan.
Dugaan penulis dan rekan-rekan benar adanya Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan melarang mahasiswa menggunakan ruangan di
Unpad Dipati Ukur untuk Sekber FMB dan dapur umum. Perlakuan yang berbeda
kepada rekan-rekan
lembaga kemahasiswaan
lain yang
menggunakan salah satu ruangan kelas di Fakultas Ekonomi Unpad. Akhirnya dengan setengah memaksa ribuan pengunjuk rasa masuk ke Unpad
karena hari telah senja dan akan banyak terjadi kemungkinan. Pilihan ruangan yang cukup representative adalah Aula Graha Sanusi Hardjadinata.
Dengan membuka paksa, ribuan pengunjuk rasa akhirnya bisa istirahat di dalam. Saat tengah beristirahat, penulis dan sejumlah pengurus KAMU
didatangi oleh Prof. Nasrullah Natzir, yang biasa dipanggil Pak Rully, Kasmatrik Unpad dan Pak Syahlan, orang yang bertanggung jawab untuk
perijinan pemanfaatan gedung dan peralatan di Unpad, serta sejumlah Satpam Unpad.
Penulis dan rekan-rekan awalnya telah mempersiapkan argumentasi berkaitan dengan perijinan penggunaan paksa ruangan di Aula Sanusi, tapi
ternyata kedua orang tersebut hanya menyampaikan bahwa silakan gunakan aula tersebut, tapi mohon dijaga kebersihan dan keamanannya, tanpa
meminta surat permohonan perijinan. Pak Rully kemudian mengajak penulis bicara empat mata, sambil setengah berbisik, Pak Rully mengatakan bahwa
jaminan penggunaan aula ini dari Prof. Himendra, dan dirinya datang untuk khusus menyampaikan hal tersebut, sambil menyampaikan ada titipan dari
Prof. Himendra buat para pengunjuk rasa asal Unpad dan sejumlah mahasiswa lainnya tersebut. Titipan tersebut ternyata bantuan anggaran
untuk logistik bagi mahasiswa untuk tetap fokus melakukan unjuk rasa dan
2
FLMUP terdiri dari Ketua Umum BPM Fakultas Sastra, FISIP, FIKOM, FMIPA, FK, dan Ketua Umum Senat Fakultas Sastra, dan FIKOM.
penolakan terhadap rejim Orde Baru. Besarnya demontrasi ini juga karena dipicu tewasnya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti pada Mei 1998,
yang menandai makin besarnya dukungan kepada mahasiswa membesarnya gelombang unjuk rasa di sejumlah kota besar, termasuk di Bandung.
Sikap dan langkah yang dilakukan oleh Prof. Himendra untuk mengambil tanggung jawab dan mem-back up aksi dan perjuangan
mahasiswa ini dalam pandangan penulis di luar ekspektasi teman-teman mahasiswa ketika itu. Karenanya sejak saat itu penulis dan rekan-rekan tidak
lagi ragu memosisikan Prof. Himendra sebagai kawan perjuangan, dan tak akan segan-segan pula mendukungnya memimpin Unpad.
Salah satu sikap yang tak mungkin penulis lupakan adalah saat penulis dan teman-teman ingin mendorong pengungkapan dugaan korupsi
Prof. Maman P. Rukmana almarhum, yang bersangkutan tetap menegaskan bahwa Prof. Maman sudah bersedia mundur lebih awal dari jabatannya dan
meminta maaf kepada civitas academia Unpad, itu lebih dari cukup untuk menghukum secara social yang bersangkutan di lingkungan Unpad. Apalagi
secara akademik juga, Prof. Maman pernah dikucilkan karena prilaku memimpinnya yang dianggap menyimpang. Prof. Himendra menginginkan
saatnya untuk fokus ke depan membawa Unpad lebih baik. Meski ada kekecewaan penulis dan teman-teman, tapi menjaga soliditas Unpad menjadi
pilihan saat itu karena suasana politik yang tidak kondusif juga, apabila Unpad melakukan hal yang sama dan terbelah oleh perpecahan.
Keinginan agar penulis dan teman-teman kritis terhadap lingkungan dan Negara, Prof. Himendra juga mendesak agar KAMU bermetamorfosis
menjadi lembaga kajian, semacam Unit Kegiatan Mahasiswa yang mengkhususkan untuk melakukan kajian sosial, politik kenegaraan dan
masyarakat. Hal ini menarik, dan ketika itu Okky Seiful yang tertarik untuk memimpin proses perubahan sekaligus memimpin lembaga tersebut untuk
kali pertama. Penulis dan sejumlah aktivis yang tergabung dalam KAMU memilih untuk mendukung saja. Singkat cerita lembaga kajian tersebut
dinamakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis LPPMD. Tidak sedikit dukungan dan bantuan dari Prof. Himendra,
khususnya selama dua periode memimpin Unpad, mulai materi, akses, hingga hal-hal tekhnis lainnya. Meski sekarang LPPMD tengah kehilangan
orientasinya sebagai lembaga kajian kritis mahasiswa, namun semangat untuk mengarah kepada hal tersebut tetap ada. Pergantian Rektor dari Prof.
Himendra pada rector baru yang memilki visi berbeda dalam menangani masalah kemahasiswaan telah menjadi salah satu masalah bagi LPPMD
untuk mengembangkan diri, selain masalah pengkaderan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.
III. ‘Diminta’ Mengabdi di Almamater