PROFESOR HIMENDRA: Antara Aktivis Mahasiswa, Membangun Almamater, dan Pengembangan Diri
Oleh: Muradi
I. Pendahuluan
Figur  Professor  Himendra  Wargadibrata  sangat  berperan  dalam memotivasi  dan  mendorong  penulis  mencapai  situasi  seperti  sekarang  ini.
selama  ini  penulis  merasa  bahwa  tanpa  motivasi  dan  dorongan  dari  Prof. Himendra  rasanya  sulit  dapat  mewujudkan  apa  yang  menjadi  cita-cita  dan
harapan penulis. Berangkat dari Jakarta menjadi mahasiswa pada tahun 1995 ke  Bandung  dengan  bekal  semangat  dan  modal  nekad,  penulis  bertemu
dengan  Prof.  Himendra,  yang  waktu  itu  masih  mnjadi  Pembantu  Rektor Bidang  Kemahasiswaan  sebelum  bergeser  menjadi  Pembantu  Rektor  Bidang
Perencanaan namun tetap konsern dalam pembinaan kemahasiswaan.
Ada  kalimat  yang  selalu  diucapkan  Prof.  Himendra  disela-sela pertemuan,  baik  formal  maupun  informal  dengan  penulis  yang  selalu
menjadi  pelecut  bagi  penulis  untuk  selalu  memilih  untuk  berada  di  zona aman selaku mahasiswa. Prof. Himendra selalu mengatakan bahwa menjadi
aktivis  mahasiswa  adalah  bukan  berarti  melupakan  tugas  utama  sebagai mahasiswa,  yakni  tetap  fokus  pada  perkuliahan.  Penulis  baru  memahami
ucapan tersebut beberapa tahun kemudian saat penulis menyelesaian kuliah Sarjananya  dari  Program  Studi  Ilmu  Sejarah,  Fakultas  Sastra  Fakultas  Ilmu
Budaya,  Universitas  Padjadjaran  pada  tahun  2000,  yakni  banyak  aktifis mahasiswa  era  sebelum  penulis  yang  tidak  lulus  atau  memilih  tidak
menyelesaikan studinya dengan berbagai pertimbangan.
Tulisan  ini  akan  membahas  tentang  bagaimana  pengalaman  penulis berinteraksi,  termotivasi  dan  akhirnya  menjalankan  berbagai  saran  hingga
menjadi  seperti  saat  ini.  tulisan  ini  terbagi  menjadi  tiga  bagian,  yakni:  saat menjadi mahasiswa dan aktivis mahasiswa, dan mengabdi menjadi pengajar
di almamater tercinta. II. Aktivis Mahasiswa
Pertama  kali  di  datang  ke  Bandung  sebagai  mahasiswa  pada  tahun 1995  penuh  dengan  optimisme  akan  mampu  menyelesaikan  perkuliahan
dengan  tepat  waktu  dengan  nilai  yang  maksimal  sebagaimana  janji  penulis pada  kedua  orang  tua  saat  berangkat  ke  Bandung.  Namun,  secara  perlahan
optimisme  tersebut  bergeser  pada  ketidakyakinan,  karena  perkuliahan dilaksanakan  di  Jatinangor,  yang  ketika  itu  jauh  dari  bayangan  penulis
sebelum  datang  ke  Bandung.  Dengan  fasilitas  umum  yang  minim  saat  itu, penulis  menjalani  hari-hari  perkuliahan  dengan  seadanya,  bahkan  berpikir
untuk kembali ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang saat bersamaan penulis diterima di salah satu jurusan favorit.
Perbedaan  system  pendidikan  di  SMA  dengan  perkulihan  di perguruan  tinggi  membuat  penulis  kesulitan  dalam  menjalani  awal-awal
perkuliahan.  Bagaimana  tidak  banyak  waktu  senggang  yang  seharusnya dimanfaatkan  untuk  membaca  dan  berdiskusi  layaknya  mahasiswa  lakukan
di  tengah  perkuliahan  yang  tidak  terlalu  padat.  Disinilah  kemudian  penulis
berkenalan  dengan  dunia  aktivis  mahasiswa  dan  tentu  saja  dengan  Prof. Himendra.  Ketika  itu  penulis  sempat  mengikuti  Latihan  Kader  I  Himpunan
Mahasiswa  Indonesia  LK  I  HMI,  Cabang  Bandung,  tapi  penulis  tidak menemukan  passion  yang  pas,  begitu  juga  ketika  penulis  menjadi  anggota
Gerakan  Mahasiswa  Nasional  Indonesia  GMNI  Cabang  Bandung.  Ada perasaan yang kurang pas ketika penulis bergabung dengan kedua lembaga
kemahasiswaan  Kelompok  Cipayung  tersebut,  salah  satunya  adalah  karena kedua  organisasi  tersebut  tidak  berorientasi  mengedepankan  penguatan
eksistensi kampus. Pada akhirnya penulis bertemu dengan kelompok aktivis mahasiswa  di  Unpad,  yakni  Keluarga  Aktivis  Unpad  KA  Unpad  yang
memperkuat keinginan penulis untuk besar bersama dengan almamater.
Interaksi  pertama  kali  penulis  dengan  Prof.  Himedra  saat  penulis bersama teman-teman KA Unpad yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda
dan Mahasiswa Bandung SPMB yang sedang mengadakan Aksi Solidaritas Mahasiswa  Bandung  untuk  Mahasiswa  Ujung  Pandang  Makasar  sekitar
April  atau  Mei  1996,  waktu  itu  unjuk  rasa  berakhir  ricuh,  karena  aparat keamanan; Polri dan tentara memaksa mahasiswa untuk tetap berekspresi di
dalam  kampus,  sementara  mahasiswa  berkeinginan  sebaliknya.  Waktu  itu penulis  hanya  menjadi  salah  satu  perangkat  aksi  yang  membagi-bagikan
pernyataan sikap ke media dan mahasiswa serta publik terkait dengan tujuan demonstrasi  tersebut.    Saat  itu  seorang  tinggi  besar  meminta  selebaran
tersebut  sambil  bertanya-tanya  berkaitan  dengan  tujuan  dari  unjuk  rasa  ini. penulis  baru  mengetahui  bahwa  yang  bertanya-tanya  itu  Prof.  Himendra,
yang  sebelumnya  menjadi  Pembantu  Rektor  Bidang  Kemahasiswaan  dan bergeser  menjadi  Pembantu  Rektor  Bidang  Perencanaan  dari  seorang  rekan
sesame  anggota  KA  Unpad.  Belum  ada  kesan  yang  baik  pada  pertemuan pertama  tersebut,  karena  sejak  awal  penulis  ditekankan  untuk  melihat
birokrat  kampus  harus  hitam  putih;  baik  sekali  atau  jahat  sekali.  Birokrat yang  baik  tidak  akan  terang-terangan  mau  berdekatan  dengan  kalangan
aktivis  mahasiswa  dan  menyuarakan  kebenaran,  sementara  birokrat  yang jahat  akan  memosisikan  berhadap-hadapkan  dengan  aktivis  mahasiswa.
Demikian ‘doktrin’ yang diterima penulis saat itu.
Pada perjumpaan kedua antara penulis dengan Prof. Himendra justru berakhir  kurang  baik,  saat  terjadi  bentrokan  antara  mahasiswa  dan  aparat
keamanan  pada  eskalasi  unjuk  rasa  Solidaritas  untuk  Mahasiswa  Ujung Pandang. Saat itu mahasiswa dipukul mundur ke kampus dan terjadi saling
lempar  batu  antara  mahasiswa  dan  aparat  keamanan.  ‘serbuan’  aparat keamanan  tersebut  menggugah  mahasiswa  yang  sebelumnya  hanya
menonton  unjuk  rasa  dan  beraktivitas  lainnya,  akhirnya  bergabung melempari  aparat  keamanan  yang  berupaya  merangsek  masuk  ke  halaman
kampus.  Prof.  Himendra  yang  terlihat  memantau  unjuk  rasa  tersebut  akhir merangsek  ke  depan,  dan  mendekati  kerumunan  mahasiswa,  sambil
mengucapkan kata-kata sebagai berikut, “Kalau sudah berani memulai, harus berani  menuntaskan.  Kalau  tidak  berani  menyelesaikan,  sama  saja  berani
mengusik kedamaian kampus, kalu begitu berarti berhadapan dengan saya” sambil tangannya menunjuk-nunjuk mahasiswa yang berkerumun.
Pertemuan  dalam  suasana  yang  kurang  baik  tersebut,  sedikit  banyak memberi  kesan  bagi  penulis,  apa  soal?  Karena  sependek  penulis  rasakan
selama  menjadi  mahasiswa  kebanyakan  birokrat  kampus  memilih menghindar berurusan dengan aktivis mahasiswa kritis, dan memilih untuk
menghadapkannya  dengan  Tim  Pendamping  Mahasiswa  TPM,  baik  di tingkat  universitas  maupun  fakultas.  Apalagi  Pembantu  Rektor  Bidang
Kemahasiswa  saat  itu  juga  tidak  kelihatan  batang  hidungnya.
1
Hanya Nampak beberapa staf TPM universitas yang memantau unjuk rasa tersebut.
Kesan  ini  sesungguhnya  yang  memberikan  rasa  penasaran  penulis untuk bertemu kembali dengan Prof. Himendra. Apalagi ada kesepakatan di
organisasi  bahwa  memetakan  birokrat  yang  cenderung  terbuka  untuk berdialog  dengan  mahasiswa  menjadi  penting  dilakukan  guna  memuluskan
sejumlah  tujuan  untuk  penguatan  basis  gerakan  mahasiswa  di  Universitas Padjadjaran  untuk  pengembangan  dan  kejayaan  almamater.  Waktu  itu
penulis  diminta  untuk  melakukan  upaya  pendekatan  ke  Pof.  Himendra, setidaknya  untuk  menjalin  hubungan  baik  dan  dapat  dijadikan  sumber
informasi  di  kalangan  internal  birokrat  kampus  yang  saat  itu  aktivis mahasiswa di Unpad meyakini bahwa rektor Unpad ketika itu, Prof. Maman
P.  Rukmana    melakukan  praktik  penyimpangan  dan  korupsi  dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Singkat cerita, penulis akhirnya diterima dan berdiskusi dengan Prof. Himendra  di  ruangan  Pembantu  Rektor  V,  dari  sejumlah  diskusi,  akhirnya
keluarlah pertanyaan kami kepada Prof. Himendra terkait dengan data yang dimiliki  oleh  mahasiswa  bahwa  ada  dugaan  praktik  penyimpangan  dan
korupsi  di  internal  Unpad,  yang  melibatkan    Rektor  Unpad  ketika  itu,  Prof. Maman.  P.  Rukmana  almarhum.  Alih-alih  mendapatkan  dukungan  dari
Prof. Himendra dan data yang valid, kami justru disemprot oleh kemarahan. Menurut  Prof.  Himendra,  dirinya  tidak  dalam  kapasitas  menjawab  itu,  dan
apabila  benar  adanya,  maka  sebagai  bagian  dari  system  di  Unpad,  maka dirinya menjadi bagian dari system tersebut. Sebagian dari mahasiswa yang
ikut  beraudiensi  dan  berdiskusi  dengan  Prof.  Himendra  menggerutu  bahwa semua  birokrat  kampus  sama  saja,  sebagian  lain,  masih  bingung  dengan
pernyataan  tersebut.  Namun  penulis  saat  ini  menilai  apa  yang  diucapkan oleh  Prof.  Himendra  adalah  bentuk  dari  implementasi  etika  organisasi,
sebagian  bagian  dari  system  ‘pemerintahan’  di  Unpad  yang  secara  praktis sulit diterima oleh kami saat itu.
Mendapat  dampratan  tersebut  membuat  mahasiswa  melakukan caranya  sendiri  untuk  mengungkapkan  sejumlah  data  dan  temuan  praktik
penyimpangan di Unpad, salah satunya melalui media independen bernama Padjadjaran  Post,  bulletin  mingguan  yang  diterbitkan  oleh  KA  Unpad  ini
menyoroti sejumlah praktik penyimpangan mulai Dana Persatuan Orang Tua Mahasiswa  POMA.  Penerbitan  Padjadjaran  Post  ini  membuat  Pembantu
Rektor  bidang  Kemahasiswaan  gerah  juga,  dengan  pendekatan  yang formalitas dan menindas, salah satunya dengan memanggil mahasiswa yang
aktif  menjadi  staf  redaksi,  termasuk  penulis  ketika  itu.  Pemanggilan  oleh Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan dengan intimidasi dikeluarkan dari
kampus karena berprilaku tidak baik sebagai mahasiswa. Intimidasi tersebut
1
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan saat itu adalah Prof. A. Djadja Saefullah, Ph.D, mantan Dekan FISIP Unpad.
membuat  penulis  makin  yakin  bahwa  aktivitasnya  sebagai  mahasiswa  saat itu  sudah  benar,  ada  keberanian  yang  luar  biasa  untuk  terus  menyuarakan
kebenaran.  Apalagi  saat  itu  ada  dosen-dosen  yang  luar  biasa  berani menyokong  sikap  penulis,  sebut  saja  misalnya  Dr.  Gugun  Gunardi,  Dosen
Sastra  Sunda,  yang  kemudian  menjadi  Pembantu  Dekan  bidang Kemahasiswaan di Fakultas Sastra, dan Dr. Mumuh Muhsin, yang ketika itu
menjadi Ketua Jurusan Ilmu Sejarah dan kemudian menjadi Pembantu Dekan bidang  Akademik.  Tak  lama  berselang  Dr.  Mumuh  Muhsin  kemudian
melanjutkan sekolah ke Jerman, dan praktis penulis banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan Dr. Gugun Gunardi.
Dengan  perantara  Dr.  Gugun  Gunardi  inilah,  penulis  secara  rutin melanjutkan  interaksi  dengan  Prof.  Himendra,  yang  dalam  perjalanannya
kemudian  juga  mengetahui  bahwa  Dr.  Gugun  Gunardi  adalah  kader  dari Prof. Himendra untuk diplot mengurusi bidang kemahasiswaan, bersama di
antaranya  Dr.  Hadi  Suprapto,  Pembantu  Dekan  bidang  Kemahasiswaan Fakultas  Ilmu  Komunikasi  Unpad  dan  kemudian  menjadi  Koordinator
Hubungan Masyarakat Humas Universitas Padjadjaran. Praktis, banyak hal yang  penulis  lihat  dan  belajar  dari  interaksi  dengan  Prof.  Himendra.  Salah
satu  yang  menjadi  titik  tekan  penulis  berkaitan  dengan  perkuliahan  adalah mengingatkan  bahwa  sikap  kritis  harus  ditopang  oleh  disiplin  belajar  yang
simultan,  dengan  kata  lain,  nilai  perkuliahan  harus  tetap  bagus  agar  upaya intimidasi dengan perkuliahan tidak dapat dilakukan.
Apa  yang  ditekankan  oleh  Prof.  Himendra  tersebut  penulis  rasakan saat-saat  unjuk  rasa  kritik  terhadap  praktik  penyelewengan  dan  korupsi  di
internal makin kuat bersamaan dengan memanasnya suhu politik Indonesia, berkaitan  dengan  kepemimpinan  politik  Orde  Baru.  Penulis  ketika  itu
dipanggil  oleh  Dekan  Fakultas  Sastra  Prof.  Dr.  Edi  S.  Ekadjati  almarhum untuk datang ke ruang dekan, yang mana ketika itu telah menunggu seluruh
pimpinan  fakultas,  selan  Dekan,  hadir  juga  Prof.  Dr.  Duddy  Zuhud, Pembantu
Dekan bidang
Akademik, Pembantu
Dekan bidang
Kemahasiswaan,  pak  Bachtiar  almarhum,  dan  juga  hadir  Ketua  Jurusan Ilmu  Sejarah  ketika  itu,  Dr.  Mumuh  Muhsin.  Kecuali  Dr.  Mumuh  Muhsin,
para birokrat fakultas tersebut mendesak agar penulis menandatangani surat yang  menyetetujui  mundur  sebagai  mahasiswa  karena  menciptakan  ketidak
kondusifan  dan  menyebarkan  kebencian  kepada  birokrasi  kampus  serta pemerintah. Tentu saja penulis menolaknya, karena secara akademik penulis
tidak  dalam  posisi  yang  dituduhkan  tersebut.  Selain  nilai  akademik  penulis relative  baik,  juga  tidak  dalam  masa  penghabisan  masa  perkuliahan.  Di  sini
sesungguhnya  kebenaran  yang  Prof.  Himendra  selalu  ulang  dan  katakan kepada penulis kerap kali bertemu terkait dengan perkuliahan.
Menjelang pemerintahan Orde Baru dan Soeharto tumbang, unjuk rasa yang  hampir  tiap  hari  menyebkan  organisasi  kemahasiswaan  juga  terbelah.
Penulis ketika itu menjadi Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa BPM Fakultas  Sastra,  memilih  bergabung  dengan  pimpinan  mahasiswa  di  Unpad
yang  menyikapi  masalah  kebangsaan  dengan  turun  ke  jalan  dengan membentuk  Forum  Lembaga  Mahasiswa    Universitas  Padjadjaran  FLMUP
yang  menginisiasi  unjuk  rasa  di  Jatinangor.
2
Untuk  memperluas  dukungan mahasiswa  dan  civitas  mahasiswa  FLMUP  kemudian  berubah  menjadi
Kesatuan Aksi Mahasiswa Unpad KAMU yang diinisiasi oleh FLMUP, KA Unpad,  dan  sejumlah  oganisasi  kemahasiswaan  yang  memiliki  kegelisahan
yang sama terkait.
Singkat  kata  ketika  unjuk  rasa  makin  membesar  dan  melakukan pendudukan ke DPRD dan Lapangan Gasibu dengan ratusan ribu pengunjuk
rasa, maka dibutuhkan secretariat bersama bagi koalisi mahasiswa Bandung raya, bernama Forum Mahasiswa Bandung FMB, yang berjumlah lebih dari
85 kampus se-Bandung Raya. Pilihan Unpad Dipati Ukur, karena kedekatan jarak dengan Gedung DPRD dan Lapangan Gasibu. Masalah yang kemudian
muncul adalah akses untuk masuk ke Unpad Dipati Ukur dan mendapatkan tempat  bagi  Sekretariat  Bersama  Sekber  FMB  bukan  hal  yang  mudah,  lain
soal  mungkin  kalau  di  Kampus    Unpad  Jatinangor.  Penulis  ketika  itu mengontak Dr. Gugun Gunardi dan Pak Hadi Suprapto untuk meminta akses
ruangan bagi Sekretariat Bersama dan mungkin juga dapur umum bersama. Waktu  itu  penulis  bersama  rekan-rekan  lain  seperti  Muh.  Halim  dari  FH
Unpad, Okky Seiful dari FISIP Unpad, Eko Arief Nugroho dari Fikom Unpad, dan rekan-rekan lain yang tergabung dalam KAMU memilih untuk memaksa
masuk apabila akses tersebut tidak diperbolehkan.
Dugaan  penulis  dan  rekan-rekan  benar  adanya  Pembantu  Rektor bidang  Kemahasiswaan  melarang  mahasiswa  menggunakan  ruangan  di
Unpad  Dipati  Ukur  untuk  Sekber  FMB  dan  dapur  umum.  Perlakuan  yang berbeda
kepada rekan-rekan
lembaga kemahasiswaan
lain yang
menggunakan  salah  satu  ruangan  kelas  di  Fakultas  Ekonomi  Unpad. Akhirnya dengan setengah memaksa ribuan pengunjuk rasa masuk ke Unpad
karena  hari  telah  senja  dan  akan  banyak  terjadi  kemungkinan.  Pilihan ruangan yang cukup representative adalah Aula Graha Sanusi Hardjadinata.
Dengan  membuka  paksa,  ribuan  pengunjuk  rasa  akhirnya  bisa  istirahat  di dalam.  Saat  tengah  beristirahat,  penulis  dan  sejumlah  pengurus  KAMU
didatangi  oleh  Prof.  Nasrullah  Natzir,  yang  biasa  dipanggil  Pak  Rully, Kasmatrik  Unpad  dan  Pak  Syahlan,  orang  yang  bertanggung  jawab  untuk
perijinan  pemanfaatan  gedung  dan  peralatan  di  Unpad,  serta  sejumlah Satpam Unpad.
Penulis  dan  rekan-rekan  awalnya  telah  mempersiapkan  argumentasi berkaitan  dengan  perijinan  penggunaan  paksa  ruangan  di  Aula  Sanusi,  tapi
ternyata kedua orang tersebut hanya menyampaikan bahwa silakan gunakan aula  tersebut,  tapi  mohon  dijaga  kebersihan  dan  keamanannya,  tanpa
meminta surat permohonan perijinan. Pak Rully kemudian mengajak penulis bicara  empat  mata,  sambil  setengah  berbisik,  Pak  Rully  mengatakan  bahwa
jaminan penggunaan aula ini dari Prof. Himendra, dan dirinya datang untuk khusus  menyampaikan  hal  tersebut,  sambil  menyampaikan  ada  titipan  dari
Prof.  Himendra  buat  para  pengunjuk  rasa  asal  Unpad  dan  sejumlah mahasiswa  lainnya  tersebut.  Titipan  tersebut  ternyata  bantuan  anggaran
untuk logistik bagi mahasiswa untuk tetap fokus melakukan unjuk rasa dan
2
FLMUP terdiri dari Ketua Umum BPM Fakultas Sastra, FISIP, FIKOM, FMIPA, FK, dan Ketua Umum Senat Fakultas Sastra,  dan FIKOM.
penolakan  terhadap  rejim  Orde  Baru.  Besarnya  demontrasi  ini  juga  karena dipicu  tewasnya  sejumlah  mahasiswa  Universitas  Trisakti  pada  Mei  1998,
yang menandai makin besarnya dukungan kepada mahasiswa membesarnya gelombang unjuk rasa di sejumlah kota besar, termasuk di Bandung.
Sikap  dan  langkah  yang  dilakukan  oleh  Prof.  Himendra  untuk mengambil  tanggung  jawab  dan  mem-back  up  aksi  dan  perjuangan
mahasiswa  ini  dalam  pandangan  penulis  di  luar  ekspektasi  teman-teman mahasiswa ketika itu. Karenanya sejak saat itu penulis dan rekan-rekan tidak
lagi  ragu  memosisikan  Prof.  Himendra  sebagai  kawan  perjuangan,  dan  tak akan segan-segan pula mendukungnya memimpin Unpad.
Salah  satu  sikap  yang  tak  mungkin  penulis  lupakan  adalah  saat penulis  dan  teman-teman  ingin  mendorong  pengungkapan  dugaan  korupsi
Prof. Maman P. Rukmana almarhum, yang bersangkutan tetap menegaskan bahwa Prof. Maman sudah bersedia mundur lebih awal dari jabatannya dan
meminta  maaf  kepada  civitas  academia  Unpad,  itu  lebih  dari  cukup  untuk menghukum secara social yang bersangkutan di lingkungan Unpad. Apalagi
secara  akademik  juga,  Prof.  Maman  pernah  dikucilkan  karena  prilaku memimpinnya  yang  dianggap  menyimpang.  Prof.  Himendra  menginginkan
saatnya  untuk  fokus  ke  depan  membawa  Unpad  lebih  baik.  Meski  ada kekecewaan penulis dan teman-teman, tapi menjaga soliditas Unpad menjadi
pilihan  saat  itu  karena  suasana  politik  yang  tidak  kondusif  juga,  apabila Unpad melakukan hal yang sama dan terbelah oleh perpecahan.
Keinginan  agar  penulis  dan  teman-teman  kritis  terhadap  lingkungan dan  Negara,  Prof.  Himendra  juga  mendesak  agar  KAMU  bermetamorfosis
menjadi  lembaga  kajian,  semacam  Unit  Kegiatan  Mahasiswa  yang mengkhususkan  untuk  melakukan  kajian  sosial,  politik  kenegaraan  dan
masyarakat. Hal ini menarik, dan ketika itu Okky Seiful yang tertarik untuk memimpin  proses  perubahan  sekaligus  memimpin  lembaga  tersebut  untuk
kali  pertama.  Penulis  dan  sejumlah  aktivis  yang  tergabung  dalam  KAMU memilih  untuk  mendukung  saja.  Singkat  cerita  lembaga  kajian  tersebut
dinamakan  Lembaga  Penelitian  dan  Pengabdian  Masyarakat  Demokratis LPPMD.  Tidak  sedikit  dukungan  dan  bantuan  dari  Prof.  Himendra,
khususnya  selama  dua  periode  memimpin  Unpad,  mulai  materi,  akses, hingga  hal-hal  tekhnis  lainnya.  Meski  sekarang  LPPMD  tengah  kehilangan
orientasinya  sebagai  lembaga  kajian  kritis  mahasiswa,  namun  semangat untuk mengarah kepada hal tersebut tetap ada. Pergantian Rektor dari Prof.
Himendra  pada  rector  baru  yang  memilki  visi  berbeda  dalam  menangani masalah  kemahasiswaan  telah  menjadi  salah  satu  masalah  bagi  LPPMD
untuk mengembangkan diri, selain masalah pengkaderan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.
III. ‘Diminta’ Mengabdi di Almamater