Profesor Himendra: Antara Aktivis Mahasiswa, Membangun Almamater, Dan Pengembangan Diri.

(1)

PROFESOR HIMENDRA:

Antara Aktivis Mahasiswa, Membangun Almamater, dan Pengembangan Diri Oleh:

Muradi

I. Pendahuluan

Figur Professor Himendra Wargadibrata sangat berperan dalam memotivasi dan mendorong penulis mencapai situasi seperti sekarang ini. selama ini penulis merasa bahwa tanpa motivasi dan dorongan dari Prof. Himendra rasanya sulit dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan harapan penulis. Berangkat dari Jakarta menjadi mahasiswa pada tahun 1995 ke Bandung dengan bekal semangat dan modal nekad, penulis bertemu dengan Prof. Himendra, yang waktu itu masih mnjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebelum bergeser menjadi Pembantu Rektor Bidang Perencanaan namun tetap konsern dalam pembinaan kemahasiswaan.

Ada kalimat yang selalu diucapkan Prof. Himendra disela-sela pertemuan, baik formal maupun informal dengan penulis yang selalu menjadi pelecut bagi penulis untuk selalu memilih untuk berada di zona aman selaku mahasiswa. Prof. Himendra selalu mengatakan bahwa menjadi aktivis mahasiswa adalah bukan berarti melupakan tugas utama sebagai mahasiswa, yakni tetap fokus pada perkuliahan. Penulis baru memahami ucapan tersebut beberapa tahun kemudian saat penulis menyelesaian kuliah Sarjananya dari Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Padjadjaran pada tahun 2000, yakni banyak aktifis mahasiswa era sebelum penulis yang tidak lulus atau memilih tidak menyelesaikan studinya dengan berbagai pertimbangan.

Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana pengalaman penulis berinteraksi, termotivasi dan akhirnya menjalankan berbagai saran hingga menjadi seperti saat ini. tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni: saat menjadi mahasiswa dan aktivis mahasiswa, dan mengabdi menjadi pengajar di almamater tercinta.

II. Aktivis Mahasiswa

Pertama kali di datang ke Bandung sebagai mahasiswa pada tahun 1995 penuh dengan optimisme akan mampu menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu dengan nilai yang maksimal sebagaimana janji penulis pada kedua orang tua saat berangkat ke Bandung. Namun, secara perlahan optimisme tersebut bergeser pada ketidakyakinan, karena perkuliahan dilaksanakan di Jatinangor, yang ketika itu jauh dari bayangan penulis sebelum datang ke Bandung. Dengan fasilitas umum yang minim saat itu, penulis menjalani hari-hari perkuliahan dengan seadanya, bahkan berpikir untuk kembali ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang saat bersamaan penulis diterima di salah satu jurusan favorit.

Perbedaan system pendidikan di SMA dengan perkulihan di perguruan tinggi membuat penulis kesulitan dalam menjalani awal-awal perkuliahan. Bagaimana tidak banyak waktu senggang yang seharusnya dimanfaatkan untuk membaca dan berdiskusi layaknya mahasiswa lakukan di tengah perkuliahan yang tidak terlalu padat. Disinilah kemudian penulis


(2)

berkenalan dengan dunia aktivis mahasiswa dan tentu saja dengan Prof. Himendra. Ketika itu penulis sempat mengikuti Latihan Kader I Himpunan Mahasiswa Indonesia (LK I HMI), Cabang Bandung, tapi penulis tidak menemukan passion yang pas, begitu juga ketika penulis menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Bandung. Ada perasaan yang kurang pas ketika penulis bergabung dengan kedua lembaga kemahasiswaan Kelompok Cipayung tersebut, salah satunya adalah karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi mengedepankan penguatan eksistensi kampus. Pada akhirnya penulis bertemu dengan kelompok aktivis mahasiswa di Unpad, yakni Keluarga Aktivis Unpad (KA Unpad) yang memperkuat keinginan penulis untuk besar bersama dengan almamater.

Interaksi pertama kali penulis dengan Prof. Himedra saat penulis bersama teman-teman KA Unpad yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Bandung (SPMB) yang sedang mengadakan Aksi Solidaritas Mahasiswa Bandung untuk Mahasiswa Ujung Pandang (Makasar) sekitar April atau Mei 1996, waktu itu unjuk rasa berakhir ricuh, karena aparat keamanan; Polri dan tentara memaksa mahasiswa untuk tetap berekspresi di dalam kampus, sementara mahasiswa berkeinginan sebaliknya. Waktu itu penulis hanya menjadi salah satu perangkat aksi yang membagi-bagikan pernyataan sikap ke media dan mahasiswa serta publik terkait dengan tujuan demonstrasi tersebut. Saat itu seorang tinggi besar meminta selebaran tersebut sambil bertanya-tanya berkaitan dengan tujuan dari unjuk rasa ini. penulis baru mengetahui bahwa yang bertanya-tanya itu Prof. Himendra, yang sebelumnya menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan bergeser menjadi Pembantu Rektor Bidang Perencanaan dari seorang rekan sesame anggota KA Unpad. Belum ada kesan yang baik pada pertemuan pertama tersebut, karena sejak awal penulis ditekankan untuk melihat birokrat kampus harus hitam putih; baik sekali atau jahat sekali. Birokrat yang baik tidak akan terang-terangan mau berdekatan dengan kalangan aktivis mahasiswa dan menyuarakan kebenaran, sementara birokrat yang jahat akan memosisikan berhadap-hadapkan dengan aktivis mahasiswa. Demikian ‘doktrin’ yang diterima penulis saat itu.

Pada perjumpaan kedua antara penulis dengan Prof. Himendra justru berakhir kurang baik, saat terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan pada eskalasi unjuk rasa Solidaritas untuk Mahasiswa Ujung Pandang. Saat itu mahasiswa dipukul mundur ke kampus dan terjadi saling lempar batu antara mahasiswa dan aparat keamanan. ‘serbuan’ aparat keamanan tersebut menggugah mahasiswa yang sebelumnya hanya menonton unjuk rasa dan beraktivitas lainnya, akhirnya bergabung melempari aparat keamanan yang berupaya merangsek masuk ke halaman kampus. Prof. Himendra yang terlihat memantau unjuk rasa tersebut akhir merangsek ke depan, dan mendekati kerumunan mahasiswa, sambil mengucapkan kata-kata sebagai berikut, “Kalau sudah berani memulai, harus berani menuntaskan. Kalau tidak berani menyelesaikan, sama saja berani mengusik kedamaian kampus, kalu begitu berarti berhadapan dengan saya!” sambil tangannya menunjuk-nunjuk mahasiswa yang berkerumun.

Pertemuan dalam suasana yang kurang baik tersebut, sedikit banyak memberi kesan bagi penulis, apa soal? Karena sependek penulis rasakan


(3)

selama menjadi mahasiswa kebanyakan birokrat kampus memilih menghindar berurusan dengan aktivis mahasiswa kritis, dan memilih untuk menghadapkannya dengan Tim Pendamping Mahasiswa (TPM), baik di tingkat universitas maupun fakultas. Apalagi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswa saat itu juga tidak kelihatan batang hidungnya.1 Hanya Nampak beberapa staf TPM universitas yang memantau unjuk rasa tersebut.

Kesan ini sesungguhnya yang memberikan rasa penasaran penulis untuk bertemu kembali dengan Prof. Himendra. Apalagi ada kesepakatan di organisasi bahwa memetakan birokrat yang cenderung terbuka untuk berdialog dengan mahasiswa menjadi penting dilakukan guna memuluskan sejumlah tujuan untuk penguatan basis gerakan mahasiswa di Universitas Padjadjaran untuk pengembangan dan kejayaan almamater. Waktu itu penulis diminta untuk melakukan upaya pendekatan ke Pof. Himendra, setidaknya untuk menjalin hubungan baik dan dapat dijadikan sumber informasi di kalangan internal birokrat kampus yang saat itu aktivis mahasiswa di Unpad meyakini bahwa rektor Unpad ketika itu, Prof. Maman P. Rukmana melakukan praktik penyimpangan dan korupsi dalam menjalankan roda kepemimpinannya.

Singkat cerita, penulis akhirnya diterima dan berdiskusi dengan Prof. Himendra di ruangan Pembantu Rektor V, dari sejumlah diskusi, akhirnya keluarlah pertanyaan kami kepada Prof. Himendra terkait dengan data yang dimiliki oleh mahasiswa bahwa ada dugaan praktik penyimpangan dan korupsi di internal Unpad, yang melibatkan Rektor Unpad ketika itu, Prof. Maman. P. Rukmana (almarhum). Alih-alih mendapatkan dukungan dari Prof. Himendra dan data yang valid, kami justru disemprot oleh kemarahan. Menurut Prof. Himendra, dirinya tidak dalam kapasitas menjawab itu, dan apabila benar adanya, maka sebagai bagian dari system di Unpad, maka dirinya menjadi bagian dari system tersebut. Sebagian dari mahasiswa yang ikut beraudiensi dan berdiskusi dengan Prof. Himendra menggerutu bahwa semua birokrat kampus sama saja, sebagian lain, masih bingung dengan pernyataan tersebut. Namun penulis saat ini menilai apa yang diucapkan oleh Prof. Himendra adalah bentuk dari implementasi etika organisasi, sebagian bagian dari system ‘pemerintahan’ di Unpad yang secara praktis sulit diterima oleh kami saat itu.

Mendapat dampratan tersebut membuat mahasiswa melakukan caranya sendiri untuk mengungkapkan sejumlah data dan temuan praktik penyimpangan di Unpad, salah satunya melalui media independen bernama Padjadjaran Post, bulletin mingguan yang diterbitkan oleh KA Unpad ini menyoroti sejumlah praktik penyimpangan mulai Dana Persatuan Orang Tua Mahasiswa (POMA). Penerbitan Padjadjaran Post ini membuat Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan gerah juga, dengan pendekatan yang formalitas dan menindas, salah satunya dengan memanggil mahasiswa yang aktif menjadi staf redaksi, termasuk penulis ketika itu. Pemanggilan oleh Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan dengan intimidasi dikeluarkan dari kampus karena berprilaku tidak baik sebagai mahasiswa. Intimidasi tersebut       

1 Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan saat itu adalah Prof. A. Djadja Saefullah, Ph.D, mantan Dekan FISIP Unpad.


(4)

membuat penulis makin yakin bahwa aktivitasnya sebagai mahasiswa saat itu sudah benar, ada keberanian yang luar biasa untuk terus menyuarakan kebenaran. Apalagi saat itu ada dosen-dosen yang luar biasa berani menyokong sikap penulis, sebut saja misalnya Dr. Gugun Gunardi, Dosen Sastra Sunda, yang kemudian menjadi Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan di Fakultas Sastra, dan Dr. Mumuh Muhsin, yang ketika itu menjadi Ketua Jurusan Ilmu Sejarah dan kemudian menjadi Pembantu Dekan bidang Akademik. Tak lama berselang Dr. Mumuh Muhsin kemudian melanjutkan sekolah ke Jerman, dan praktis penulis banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan Dr. Gugun Gunardi.

Dengan perantara Dr. Gugun Gunardi inilah, penulis secara rutin melanjutkan interaksi dengan Prof. Himendra, yang dalam perjalanannya kemudian juga mengetahui bahwa Dr. Gugun Gunardi adalah kader dari Prof. Himendra untuk diplot mengurusi bidang kemahasiswaan, bersama di antaranya Dr. Hadi Suprapto, Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad dan kemudian menjadi Koordinator Hubungan Masyarakat (Humas) Universitas Padjadjaran. Praktis, banyak hal yang penulis lihat dan belajar dari interaksi dengan Prof. Himendra. Salah satu yang menjadi titik tekan penulis berkaitan dengan perkuliahan adalah mengingatkan bahwa sikap kritis harus ditopang oleh disiplin belajar yang simultan, dengan kata lain, nilai perkuliahan harus tetap bagus agar upaya intimidasi dengan perkuliahan tidak dapat dilakukan.

Apa yang ditekankan oleh Prof. Himendra tersebut penulis rasakan saat-saat unjuk rasa kritik terhadap praktik penyelewengan dan korupsi di internal makin kuat bersamaan dengan memanasnya suhu politik Indonesia, berkaitan dengan kepemimpinan politik Orde Baru. Penulis ketika itu dipanggil oleh Dekan Fakultas Sastra Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (almarhum) untuk datang ke ruang dekan, yang mana ketika itu telah menunggu seluruh pimpinan fakultas, selan Dekan, hadir juga Prof. Dr. Duddy Zuhud, Pembantu Dekan bidang Akademik, Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan, pak Bachtiar (almarhum), dan juga hadir Ketua Jurusan Ilmu Sejarah ketika itu, Dr. Mumuh Muhsin. Kecuali Dr. Mumuh Muhsin, para birokrat fakultas tersebut mendesak agar penulis menandatangani surat yang menyetetujui mundur sebagai mahasiswa karena menciptakan ketidak kondusifan dan menyebarkan kebencian kepada birokrasi kampus serta pemerintah. Tentu saja penulis menolaknya, karena secara akademik penulis tidak dalam posisi yang dituduhkan tersebut. Selain nilai akademik penulis relative baik, juga tidak dalam masa penghabisan masa perkuliahan. Di sini sesungguhnya kebenaran yang Prof. Himendra selalu ulang dan katakan kepada penulis kerap kali bertemu terkait dengan perkuliahan.

Menjelang pemerintahan Orde Baru dan Soeharto tumbang, unjuk rasa yang hampir tiap hari menyebkan organisasi kemahasiswaan juga terbelah. Penulis ketika itu menjadi Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Sastra, memilih bergabung dengan pimpinan mahasiswa di Unpad yang menyikapi masalah kebangsaan dengan turun ke jalan dengan membentuk Forum Lembaga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (FLMUP)


(5)

yang menginisiasi unjuk rasa di Jatinangor.2 Untuk memperluas dukungan mahasiswa dan civitas mahasiswa FLMUP kemudian berubah menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Unpad (KAMU) yang diinisiasi oleh FLMUP, KA Unpad, dan sejumlah oganisasi kemahasiswaan yang memiliki kegelisahan yang sama terkait.

Singkat kata ketika unjuk rasa makin membesar dan melakukan pendudukan ke DPRD dan Lapangan Gasibu dengan ratusan ribu pengunjuk rasa, maka dibutuhkan secretariat bersama bagi koalisi mahasiswa Bandung raya, bernama Forum Mahasiswa Bandung (FMB), yang berjumlah lebih dari 85 kampus se-Bandung Raya. Pilihan Unpad Dipati Ukur, karena kedekatan jarak dengan Gedung DPRD dan Lapangan Gasibu. Masalah yang kemudian muncul adalah akses untuk masuk ke Unpad Dipati Ukur dan mendapatkan tempat bagi Sekretariat Bersama (Sekber) FMB bukan hal yang mudah, lain soal mungkin kalau di Kampus Unpad Jatinangor. Penulis ketika itu mengontak Dr. Gugun Gunardi dan Pak Hadi Suprapto untuk meminta akses ruangan bagi Sekretariat Bersama dan mungkin juga dapur umum bersama. Waktu itu penulis bersama rekan-rekan lain seperti Muh. Halim dari FH Unpad, Okky Seiful dari FISIP Unpad, Eko Arief Nugroho dari Fikom Unpad, dan rekan-rekan lain yang tergabung dalam KAMU memilih untuk memaksa masuk apabila akses tersebut tidak diperbolehkan.

Dugaan penulis dan rekan-rekan benar adanya Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan melarang mahasiswa menggunakan ruangan di Unpad Dipati Ukur untuk Sekber FMB dan dapur umum. Perlakuan yang berbeda kepada rekan-rekan lembaga kemahasiswaan lain yang menggunakan salah satu ruangan kelas di Fakultas Ekonomi Unpad. Akhirnya dengan setengah memaksa ribuan pengunjuk rasa masuk ke Unpad karena hari telah senja dan akan banyak terjadi kemungkinan. Pilihan ruangan yang cukup representative adalah Aula Graha Sanusi Hardjadinata. Dengan membuka paksa, ribuan pengunjuk rasa akhirnya bisa istirahat di dalam. Saat tengah beristirahat, penulis dan sejumlah pengurus KAMU didatangi oleh Prof. Nasrullah Natzir, yang biasa dipanggil Pak Rully, Kasmatrik Unpad dan Pak Syahlan, orang yang bertanggung jawab untuk perijinan pemanfaatan gedung dan peralatan di Unpad, serta sejumlah Satpam Unpad.

Penulis dan rekan-rekan awalnya telah mempersiapkan argumentasi berkaitan dengan perijinan penggunaan paksa ruangan di Aula Sanusi, tapi ternyata kedua orang tersebut hanya menyampaikan bahwa silakan gunakan aula tersebut, tapi mohon dijaga kebersihan dan keamanannya, tanpa meminta surat permohonan perijinan. Pak Rully kemudian mengajak penulis bicara empat mata, sambil setengah berbisik, Pak Rully mengatakan bahwa jaminan penggunaan aula ini dari Prof. Himendra, dan dirinya datang untuk khusus menyampaikan hal tersebut, sambil menyampaikan ada titipan dari Prof. Himendra buat para pengunjuk rasa asal Unpad dan sejumlah mahasiswa lainnya tersebut. Titipan tersebut ternyata bantuan anggaran untuk logistik bagi mahasiswa untuk tetap fokus melakukan unjuk rasa dan       

2 FLMUP terdiri dari Ketua Umum BPM Fakultas Sastra, FISIP, FIKOM, FMIPA, FK, dan Ketua Umum Senat Fakultas Sastra, dan FIKOM.


(6)

penolakan terhadap rejim Orde Baru. Besarnya demontrasi ini juga karena dipicu tewasnya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti pada Mei 1998, yang menandai makin besarnya dukungan kepada mahasiswa membesarnya gelombang unjuk rasa di sejumlah kota besar, termasuk di Bandung.

Sikap dan langkah yang dilakukan oleh Prof. Himendra untuk mengambil tanggung jawab dan mem-back up aksi dan perjuangan mahasiswa ini dalam pandangan penulis di luar ekspektasi teman-teman mahasiswa ketika itu. Karenanya sejak saat itu penulis dan rekan-rekan tidak lagi ragu memosisikan Prof. Himendra sebagai kawan perjuangan, dan tak akan segan-segan pula mendukungnya memimpin Unpad.

Salah satu sikap yang tak mungkin penulis lupakan adalah saat penulis dan teman-teman ingin mendorong pengungkapan dugaan korupsi Prof. Maman P. Rukmana (almarhum), yang bersangkutan tetap menegaskan bahwa Prof. Maman sudah bersedia mundur lebih awal dari jabatannya dan meminta maaf kepada civitas academia Unpad, itu lebih dari cukup untuk menghukum secara social yang bersangkutan di lingkungan Unpad. Apalagi secara akademik juga, Prof. Maman pernah dikucilkan karena prilaku memimpinnya yang dianggap menyimpang. Prof. Himendra menginginkan saatnya untuk fokus ke depan membawa Unpad lebih baik. Meski ada kekecewaan penulis dan teman-teman, tapi menjaga soliditas Unpad menjadi pilihan saat itu karena suasana politik yang tidak kondusif juga, apabila Unpad melakukan hal yang sama dan terbelah oleh perpecahan.

Keinginan agar penulis dan teman-teman kritis terhadap lingkungan dan Negara, Prof. Himendra juga mendesak agar KAMU bermetamorfosis menjadi lembaga kajian, semacam Unit Kegiatan Mahasiswa yang mengkhususkan untuk melakukan kajian sosial, politik kenegaraan dan masyarakat. Hal ini menarik, dan ketika itu Okky Seiful yang tertarik untuk memimpin proses perubahan sekaligus memimpin lembaga tersebut untuk kali pertama. Penulis dan sejumlah aktivis yang tergabung dalam KAMU memilih untuk mendukung saja. Singkat cerita lembaga kajian tersebut dinamakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD). Tidak sedikit dukungan dan bantuan dari Prof. Himendra, khususnya selama dua periode memimpin Unpad, mulai materi, akses, hingga hal-hal tekhnis lainnya. Meski sekarang LPPMD tengah kehilangan orientasinya sebagai lembaga kajian kritis mahasiswa, namun semangat untuk mengarah kepada hal tersebut tetap ada. Pergantian Rektor dari Prof. Himendra pada rector baru yang memilki visi berbeda dalam menangani masalah kemahasiswaan telah menjadi salah satu masalah bagi LPPMD untuk mengembangkan diri, selain masalah pengkaderan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.

III. ‘Diminta’ Mengabdi di Almamater

Dua tahun setelah Soeharto mundur dan Orde Baru runtuh, penulis menyelesaikan perkuliahannya dari Program Studi Ilmu Sejarah, dengan fokus pada kajian sejarah politik, yang menjadi konsern penulis selama kurang lebih lima tahun menjadi mahasiswa di Unpad. Setelah pamitan kepada Dr. Gugun Gunardi dan Prof. Himendra untuk fokus pada pengembangan karir paska kuliah. Waktu itu penulis tidak ada terbersit


(7)

untuk menjadi pengajar di almamater tercinta. Setelah sempat menjadi wartawan majalah otomotif, penulis akhirnya mengambil program magister ilmu politik di Universitas Indonesia di tengah-tengah bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kajian bernama the Ridep Institute, Jakarta. Waktu itu, tak sengaja bertemu dengan Dr. Gugun Gunardi di kampus Fakultas Sastra, saat itu masih menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan. Obrolan waktu itu adalah Dr. Gugun Gunardi masih ingin dibantu dalam penataan dan pembinaan kemahasiswaan oleh penulis, dan permintaan itu sebenarnya sudah penulis lakukan saat menjadi mahasiswa. Hanya saja memang ada keinginan dari Dr. Gugun Gunardi untuk membangun ‘kaderisasi’ agar Pembina kemahasiswaan tetap terencana dan memiliki visi yang sama dalam pembinaan dan pengembangannya. Hal tersebut penulis setujui hanya, mekanisme rekruitmen dosen ada di program studi, padahal penulis ketahui bahwa ada semacam perasaan alergi terhadap aktivis mahasiswa menjadi dosen, apalagi bukan dari kelompok mayoritas. Waktu itu Dr. Gugun menyatakan tenang saja aan diatur Dr. Gugun, yang penting penulis mau mengajukan lamaran sebagaimana proses yang harus dilalui. Karena menghormati Dr. Gugun, yang sudah penulis anggap sebagai kakak dan orang tua sendiri, penulis menyatakan kesediaannya dan sesegera mungkin mengirimkan lamaran menjadi dosen magang di fakultas.

Saat bertemu dengan Prof. Himendra beberapa saat kemudian, penulis sampaikan pembicaraan penulis dengan Dr. Gugun terkait dengan rencana untuk menjadi staf pengajar magang di fakultas. Yang membuat penulis terkesan luar biasa adalah Prof. Himendra menyatakan memang dirinya yang meminta dan mendesak Dr. Gugun untuk mencari kader-kader muda bagi Pembina dan pengelola kemahasiswaan, dan waktu itu Dr. Gugun mengajukan nama penulis. Prof. Himendra juga mengetahui kalau penulis tengah mengambil program S2 Ilmu Politik di UI dari Dr. Gugun. Prof. Himendra mendorong penulis agar selekasnya lulus dari program S2 agar segera mengabdi di almamater sebagai staf pengajar penuh.

Ketika itu penulis membagi waktu tiga hari di Jakarta untuk kuliah dan bekerja paruh waktu di the Ridep Institute, dan sisanya berada di jatinangor dan Bandung, mengajar di program ekstensi di Dago Pojok dan mendampingi Dr. Gugun dalam pembinaan kemahasiswaan sambil belajar dalam pola dan pendekatan pembinaan yang baik bagi mahasiswa. Tak jarang juga penulis memberikan masukan berkaitan dengan pembinaan yang dirasakan sudah tidak lagi tepat pada saat itu. Sesekali juga penulis bertemu dengan Prof. Himendra untuk mendiskusikan berbagai hal berkaitan dengan pembinaan kemahasiswaan. SK Dosen Magang penulis ketika itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Fatimah, Dekan Fakultas Sastra.

Hampir bersamaan dengan kelulusan penulis dari UI tahun 2003, penulis menikah dengan dengan Alia Maharani, gadis yang dipacari lebih dari empat tahun. Ketika itu Dr. Gugun penulis minta sebagai perwakilan dari keluarga dan Prof. Himendra menjadi saksi pernikahan penulis. Hubungan baik tersebut tetap berlanjut, namun hingga hampir setahun penulis lulus dari magister ilmu politik UI atau hampir empat tahun sejak menjadi dosen magang, penulis belum juga diangkat. Sempat ada kegamangan dari penulis dan hingga akhir 2004 penulis belum juga diangkat


(8)

menjadi dosen tetap. Penulis sempat sampaikan masalah tersebut ke Dr. Gugun dan Prof. Himendra, dan jawabannya sama; sebelum tahun 2004 berakhir, penulis akan diangkat menjadi dosen tetap, dan menjadi pegawai penuh pada tahun 2005.

Janji tersebut terpenuhi dan penulis mendapatkan hambatan baru, yakni mengintegrasikan ke dalam program studi Ilmu Sejarah yang sedari awal kurang berkenan menerima penulis bergabung mnjadi salah satu staf pengajarnya. Lagi-lagi, campur tangan Prof. Himendra memudahkan penulis di terima di program studi. Dengan pendekatan yang dilakukan Prof. Himendra, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (almarhum), mantan Dekan Fakultas Sastra yang juga dosen senior di Ilmu Sejarah bersedia menjadi pengampuh penulis bersama Drs. Benyamin Batubara (almarhum) dalam mata kuliah yang berkaitan dengan sejarah politik.

Agaknya kerumitan belum beranjak dari penulis, pada waktu hampir bersamaan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan Drs. Benyamin Batubara meninggal dunia karena penyakit kronis. Padahal pada saat yang sama penulis ketika itu akan mengambil program master di Jerman, di Universitas Frankfurt Ode, mengambil kajian Eropa, dan hampir mendapatkan titik terang dalam pengajuan beasiswa DAAD saat itu. Namun, logika yang dibangun oleh Prof. Himendra saat itu ada benarnya; mengabdi dulu di program studi dan fakultas, baru nanti mengambil sekolah ke luar negeri untuk master dan doktoral sambil memperkuat bahasa inggris dan jerman. Apalagi saat itu dosen pengampuh mata kuliah penulis sedang dalam perawatan medis dan akhirnya meninggal dunia. Atas saran Prof. Himendra dan situasi yang tidak tepat, penulis mengurungkan meneruskan proses pengajuan beasiswa DAAD, dan memilih mengabdikan diri dulu di program studi.

Sebagaimana penjelasan di atas, penulis masih mendapatkan masalah untuk mengabdi di jurusan paska wafatnya dosen pengampuh penulis. bahkan pernah dalam satu semester penulis tidak diberikan kelas mengajar, mata kuliah yang diampuh almarhum Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan almarhum Drs. Benyamin Batubara diambil oleh dosen-dosen tertentu yg telah memiliki asisten dosennya sendiri, dan hanya diberikan pekerjaan adminstratif, yang seharusnya menjadi staf administrasi. Pada jeda semester tanpa kelas tersebut penulis mengajukan beasiswa Chevenings British Council, dan telah mendapatkan Letter of Offer dari Universitas Lancaster, Inggris, bidang Kajian Stratejik. Sekali lagi prosesnya tidak berlanjut, karena alasan untuk mengabdi di program studi, dan Dr. Gugun juga mengingatkan unuk bersabar sampai situasinya kondusif, baru setelah itu mengambil sekolah ke luar negeri.

Beruntung ketika itu Dr. Mumuh Muhsin pulang dari Jerman dan menjadikan penulis sebagai asisten dosen untuk mata kuliah bidang filsafat sejarah politik islam. Namun, problematika tersebut masih berlanjut, karena situasi tidak berajak kondusif, bahkan mengarah pada pembelahan di program studi. Hal tersebut penulis sampaikan pada Dr. Gugun dan Prof. Himendra, keduanya hanya geleng-geleng kepala, sambil menegaskan bahwa mereka akan rugi dan menyesal telah memperlakukan penulis tidak cukup baik. selain itu Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultsa Sastra, Dr. Dian


(9)

Indira, yang juga banyak menjadi teman berdiskusi di luar nama-nama tersebut di atas.

Di sini sebenarnya titik balik penulis dalam mengabdikan diri di almamater. Di tengah situasi yang tidak terlalu padat dan kondusif, penulis bertemu dengan Iman Soleh M.Si., dan Antik Bintari, M.T. pada saat lokakarya mata kuliah Kewarganegaraan. Saat itu memang penulis sudah mantap pada kajian ilmu politik sebagai pilihan kajian, dengan kekhususan pada kajian politik keamanan. Beberapa kali penulis menjadi dosen tamu pada mata kuliah pembangunan politik dan kajian politik pertahanan dan keamanan. Akhirnya tercetus juga ketika penulis meminta saran pada Dr. Gugun dan Prof. Himendra berkaitan kemungkinan penulis pidah ke Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Unpad. Lagi-lagi penulis mendapatkan sokongan luar biasa, bahkan mereka menyatakan bahwa passion penulis lebih pada kajian politik, dan sangat tepat apabila penulis pindah ke program studi tersebut. Sesekali pada diskusi dengan Prof. Himendra mengingatkan bahwa penulis harus mengikuti prosedur yang ada, dan yang bersangkutan akan mem-back up-nya agar semua berjalan dengan baik.

Apa yang diucapkan Prof. Himendra esoknya terbukti benar, saat Iman Soleh, M.Si, mengontak penulis dan mengabarkan bahwa Prof. rully sebagai ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan meminta penulis menghadap berkaitan dengan rencana kepindahan penulis. gayung bersambut, proses administrasi yang dilakukan memakan lebih dari enam bulan, tapi hal tersebut terasa cepat karena dukungan yang luar biasa, baik secara administrasi maupun pendekatan personal pada masing-masing pemangku kepentingan; Dekan FISIP, Pembantu Dekan II, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan, dan juga Biro Kepegawaian dan kemudian Pembantu Rektor II yang memuluskan proses tersebut lebih mudah.

Kepindahan penulis ke FISIP ini tidak memutuskan silaturahmi dan komitmennya dengan Dr. Gugun, sambil mengajar di FISIP, penulis masih membantu program-program yang dilakukan oleh Dr. Gugun selaku Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan.

Setelah agak tenang dan kondusif, penulis merasa bahwa melanjutkan perkuliahan ke luar negeri tidak bisa ditunda lagi. Selain karena usia yang terus makin matang, juga karena penulis memiliki Nadzar (janji) saat di tengah keletihan mendorong kejatuhan Soeharto, jika Soeharto dan Orde Baru tumbang, maka penulis akan menyelesaikan studinya hingga doktoral di luar negeri. Dan hal tersebut harus segera dibayar oleh penulis, beruntung Prof Rully dan Pembantu Dekan bidang Akademik FISIP ketika itu, Ade Makmur, Ph.D. serta Dekan FISIP, Prof. Dr. Asep Kartiwa memberikan kemudahan tersebut. Dan atas ijin dan saran dari Prof. Himendra penulis mengambil program Master (M.Sc) di Kajian Stratejik, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, Singapura tahun 2007 dan tanpa jeda setelah menyelesaikannya di tahun 2008, penulis langsung mengambil program Doktoral (Ph.D) bidang Ilmu Politik pada Flinders Asia Centre, Flinders University, Australia.

Saat ini penulis merasakan bahwa sebagai figure, Prof. Himendra telah memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup penulis sejak menjadi


(10)

mahasiswa hingga menjadi sekarang ini. apa yang penulis tuliskan adalah bentuk apresiasi dan penghormatan yang tak terkira bahwa sebagai figure, Prof. Himendra tetap menjadi panutan bagi banyak orang, khususnya penulis. bahkan di tengah kesibukannya setelah tidak menjabat dan memegang posisi strategis di Unpad, Prof. Himendra sepulang penulis menyelesaikan studi doktoralnya menanyakan aktivitas penulis dan tentang mengajar di Paska Sarjana FISIP Unpad, ketika penulis menjelaskan belum mulai mengajar. Prof. Himendra langsung mengontak via handphone Dekan FISIP dan juga Ketua Program Paska Sarjana FISIP Unpad untuk memberikan atensi dan memanfaatkan tenaga dan pikiran penulis bagi pengembangan FISIP Unpad dan Unpad secara umum, penulis begitu sangat dihargai dan terharu karena dilakukan didepan penulis saat perjumpaan penulis dengan Prof. Himendra di Salasar Fakultas Kedokteran Unpad.

VI. Penutup

Biar bagaimanapun Prof. Himendra adalah orang tua yang telah memberikan perhatian dan dukungan yang luar biasa pada penulis. Bahkan pada saat situasinya tidak menguntungkan sekalipun, Prof. Himendra melakukan sesuatu yang pada derajat tertentu sebagai pasang badan bagi penulis. hal tersebut mengharukan hal itu dilakukan berulang kali, tanpa pamrih. Penulis meyakini bahwa Prof. Himendra memiliki apa yang disebutkan sebagai jiwa kemanusiaan yang berlimpah dan berbalut kasih sayang. Di mana tidak lagi mengharap pamrih, kecuali memastikan siapapun yang dibantu dan didukung menuai keberhasilan terkait dengan apa yang penulis rasakan selama ini. Terima Kasih Prof. Himendra, Semoga Panjang Umur dan Sehat Selalu!


(1)

yang menginisiasi unjuk rasa di Jatinangor.2 Untuk memperluas dukungan

mahasiswa dan civitas mahasiswa FLMUP kemudian berubah menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Unpad (KAMU) yang diinisiasi oleh FLMUP, KA Unpad, dan sejumlah oganisasi kemahasiswaan yang memiliki kegelisahan yang sama terkait.

Singkat kata ketika unjuk rasa makin membesar dan melakukan pendudukan ke DPRD dan Lapangan Gasibu dengan ratusan ribu pengunjuk rasa, maka dibutuhkan secretariat bersama bagi koalisi mahasiswa Bandung raya, bernama Forum Mahasiswa Bandung (FMB), yang berjumlah lebih dari 85 kampus se-Bandung Raya. Pilihan Unpad Dipati Ukur, karena kedekatan jarak dengan Gedung DPRD dan Lapangan Gasibu. Masalah yang kemudian muncul adalah akses untuk masuk ke Unpad Dipati Ukur dan mendapatkan tempat bagi Sekretariat Bersama (Sekber) FMB bukan hal yang mudah, lain soal mungkin kalau di Kampus Unpad Jatinangor. Penulis ketika itu mengontak Dr. Gugun Gunardi dan Pak Hadi Suprapto untuk meminta akses ruangan bagi Sekretariat Bersama dan mungkin juga dapur umum bersama. Waktu itu penulis bersama rekan-rekan lain seperti Muh. Halim dari FH Unpad, Okky Seiful dari FISIP Unpad, Eko Arief Nugroho dari Fikom Unpad, dan rekan-rekan lain yang tergabung dalam KAMU memilih untuk memaksa masuk apabila akses tersebut tidak diperbolehkan.

Dugaan penulis dan rekan-rekan benar adanya Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan melarang mahasiswa menggunakan ruangan di Unpad Dipati Ukur untuk Sekber FMB dan dapur umum. Perlakuan yang berbeda kepada rekan-rekan lembaga kemahasiswaan lain yang menggunakan salah satu ruangan kelas di Fakultas Ekonomi Unpad. Akhirnya dengan setengah memaksa ribuan pengunjuk rasa masuk ke Unpad karena hari telah senja dan akan banyak terjadi kemungkinan. Pilihan ruangan yang cukup representative adalah Aula Graha Sanusi Hardjadinata. Dengan membuka paksa, ribuan pengunjuk rasa akhirnya bisa istirahat di dalam. Saat tengah beristirahat, penulis dan sejumlah pengurus KAMU didatangi oleh Prof. Nasrullah Natzir, yang biasa dipanggil Pak Rully, Kasmatrik Unpad dan Pak Syahlan, orang yang bertanggung jawab untuk perijinan pemanfaatan gedung dan peralatan di Unpad, serta sejumlah Satpam Unpad.

Penulis dan rekan-rekan awalnya telah mempersiapkan argumentasi berkaitan dengan perijinan penggunaan paksa ruangan di Aula Sanusi, tapi ternyata kedua orang tersebut hanya menyampaikan bahwa silakan gunakan aula tersebut, tapi mohon dijaga kebersihan dan keamanannya, tanpa meminta surat permohonan perijinan. Pak Rully kemudian mengajak penulis bicara empat mata, sambil setengah berbisik, Pak Rully mengatakan bahwa jaminan penggunaan aula ini dari Prof. Himendra, dan dirinya datang untuk khusus menyampaikan hal tersebut, sambil menyampaikan ada titipan dari Prof. Himendra buat para pengunjuk rasa asal Unpad dan sejumlah mahasiswa lainnya tersebut. Titipan tersebut ternyata bantuan anggaran untuk logistik bagi mahasiswa untuk tetap fokus melakukan unjuk rasa dan       

2 FLMUP terdiri dari Ketua Umum BPM Fakultas Sastra, FISIP, FIKOM, FMIPA, FK, dan Ketua Umum Senat Fakultas Sastra, dan FIKOM.


(2)

penolakan terhadap rejim Orde Baru. Besarnya demontrasi ini juga karena dipicu tewasnya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti pada Mei 1998, yang menandai makin besarnya dukungan kepada mahasiswa membesarnya gelombang unjuk rasa di sejumlah kota besar, termasuk di Bandung.

Sikap dan langkah yang dilakukan oleh Prof. Himendra untuk mengambil tanggung jawab dan mem-back up aksi dan perjuangan mahasiswa ini dalam pandangan penulis di luar ekspektasi teman-teman mahasiswa ketika itu. Karenanya sejak saat itu penulis dan rekan-rekan tidak lagi ragu memosisikan Prof. Himendra sebagai kawan perjuangan, dan tak akan segan-segan pula mendukungnya memimpin Unpad.

Salah satu sikap yang tak mungkin penulis lupakan adalah saat penulis dan teman-teman ingin mendorong pengungkapan dugaan korupsi Prof. Maman P. Rukmana (almarhum), yang bersangkutan tetap menegaskan bahwa Prof. Maman sudah bersedia mundur lebih awal dari jabatannya dan meminta maaf kepada civitas academia Unpad, itu lebih dari cukup untuk menghukum secara social yang bersangkutan di lingkungan Unpad. Apalagi secara akademik juga, Prof. Maman pernah dikucilkan karena prilaku memimpinnya yang dianggap menyimpang. Prof. Himendra menginginkan saatnya untuk fokus ke depan membawa Unpad lebih baik. Meski ada kekecewaan penulis dan teman-teman, tapi menjaga soliditas Unpad menjadi pilihan saat itu karena suasana politik yang tidak kondusif juga, apabila Unpad melakukan hal yang sama dan terbelah oleh perpecahan.

Keinginan agar penulis dan teman-teman kritis terhadap lingkungan dan Negara, Prof. Himendra juga mendesak agar KAMU bermetamorfosis menjadi lembaga kajian, semacam Unit Kegiatan Mahasiswa yang mengkhususkan untuk melakukan kajian sosial, politik kenegaraan dan masyarakat. Hal ini menarik, dan ketika itu Okky Seiful yang tertarik untuk memimpin proses perubahan sekaligus memimpin lembaga tersebut untuk kali pertama. Penulis dan sejumlah aktivis yang tergabung dalam KAMU memilih untuk mendukung saja. Singkat cerita lembaga kajian tersebut dinamakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD). Tidak sedikit dukungan dan bantuan dari Prof. Himendra, khususnya selama dua periode memimpin Unpad, mulai materi, akses, hingga hal-hal tekhnis lainnya. Meski sekarang LPPMD tengah kehilangan orientasinya sebagai lembaga kajian kritis mahasiswa, namun semangat untuk mengarah kepada hal tersebut tetap ada. Pergantian Rektor dari Prof. Himendra pada rector baru yang memilki visi berbeda dalam menangani masalah kemahasiswaan telah menjadi salah satu masalah bagi LPPMD untuk mengembangkan diri, selain masalah pengkaderan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.

III. ‘Diminta’ Mengabdi di Almamater

Dua tahun setelah Soeharto mundur dan Orde Baru runtuh, penulis menyelesaikan perkuliahannya dari Program Studi Ilmu Sejarah, dengan fokus pada kajian sejarah politik, yang menjadi konsern penulis selama kurang lebih lima tahun menjadi mahasiswa di Unpad. Setelah pamitan kepada Dr. Gugun Gunardi dan Prof. Himendra untuk fokus pada pengembangan karir paska kuliah. Waktu itu penulis tidak ada terbersit


(3)

untuk menjadi pengajar di almamater tercinta. Setelah sempat menjadi wartawan majalah otomotif, penulis akhirnya mengambil program magister ilmu politik di Universitas Indonesia di tengah-tengah bekerja paruh waktu di sebuah lembaga kajian bernama the Ridep Institute, Jakarta. Waktu itu, tak sengaja bertemu dengan Dr. Gugun Gunardi di kampus Fakultas Sastra, saat itu masih menjabat sebagai Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan. Obrolan waktu itu adalah Dr. Gugun Gunardi masih ingin dibantu dalam penataan dan pembinaan kemahasiswaan oleh penulis, dan permintaan itu sebenarnya sudah penulis lakukan saat menjadi mahasiswa. Hanya saja memang ada keinginan dari Dr. Gugun Gunardi untuk membangun ‘kaderisasi’ agar Pembina kemahasiswaan tetap terencana dan memiliki visi yang sama dalam pembinaan dan pengembangannya. Hal tersebut penulis setujui hanya, mekanisme rekruitmen dosen ada di program studi, padahal penulis ketahui bahwa ada semacam perasaan alergi terhadap aktivis mahasiswa menjadi dosen, apalagi bukan dari kelompok mayoritas. Waktu itu Dr. Gugun menyatakan tenang saja aan diatur Dr. Gugun, yang penting penulis mau mengajukan lamaran sebagaimana proses yang harus dilalui. Karena menghormati Dr. Gugun, yang sudah penulis anggap sebagai kakak dan orang tua sendiri, penulis menyatakan kesediaannya dan sesegera mungkin mengirimkan lamaran menjadi dosen magang di fakultas.

Saat bertemu dengan Prof. Himendra beberapa saat kemudian, penulis sampaikan pembicaraan penulis dengan Dr. Gugun terkait dengan rencana untuk menjadi staf pengajar magang di fakultas. Yang membuat penulis terkesan luar biasa adalah Prof. Himendra menyatakan memang dirinya yang meminta dan mendesak Dr. Gugun untuk mencari kader-kader muda bagi Pembina dan pengelola kemahasiswaan, dan waktu itu Dr. Gugun mengajukan nama penulis. Prof. Himendra juga mengetahui kalau penulis tengah mengambil program S2 Ilmu Politik di UI dari Dr. Gugun. Prof. Himendra mendorong penulis agar selekasnya lulus dari program S2 agar segera mengabdi di almamater sebagai staf pengajar penuh.

Ketika itu penulis membagi waktu tiga hari di Jakarta untuk kuliah dan bekerja paruh waktu di the Ridep Institute, dan sisanya berada di jatinangor dan Bandung, mengajar di program ekstensi di Dago Pojok dan mendampingi Dr. Gugun dalam pembinaan kemahasiswaan sambil belajar dalam pola dan pendekatan pembinaan yang baik bagi mahasiswa. Tak jarang juga penulis memberikan masukan berkaitan dengan pembinaan yang dirasakan sudah tidak lagi tepat pada saat itu. Sesekali juga penulis bertemu dengan Prof. Himendra untuk mendiskusikan berbagai hal berkaitan dengan pembinaan kemahasiswaan. SK Dosen Magang penulis ketika itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Fatimah, Dekan Fakultas Sastra.

Hampir bersamaan dengan kelulusan penulis dari UI tahun 2003, penulis menikah dengan dengan Alia Maharani, gadis yang dipacari lebih dari empat tahun. Ketika itu Dr. Gugun penulis minta sebagai perwakilan dari keluarga dan Prof. Himendra menjadi saksi pernikahan penulis. Hubungan baik tersebut tetap berlanjut, namun hingga hampir setahun penulis lulus dari magister ilmu politik UI atau hampir empat tahun sejak menjadi dosen magang, penulis belum juga diangkat. Sempat ada kegamangan dari penulis dan hingga akhir 2004 penulis belum juga diangkat


(4)

menjadi dosen tetap. Penulis sempat sampaikan masalah tersebut ke Dr. Gugun dan Prof. Himendra, dan jawabannya sama; sebelum tahun 2004 berakhir, penulis akan diangkat menjadi dosen tetap, dan menjadi pegawai penuh pada tahun 2005.

Janji tersebut terpenuhi dan penulis mendapatkan hambatan baru, yakni mengintegrasikan ke dalam program studi Ilmu Sejarah yang sedari awal kurang berkenan menerima penulis bergabung mnjadi salah satu staf pengajarnya. Lagi-lagi, campur tangan Prof. Himendra memudahkan penulis di terima di program studi. Dengan pendekatan yang dilakukan Prof. Himendra, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (almarhum), mantan Dekan Fakultas Sastra yang juga dosen senior di Ilmu Sejarah bersedia menjadi pengampuh penulis bersama Drs. Benyamin Batubara (almarhum) dalam mata kuliah yang berkaitan dengan sejarah politik.

Agaknya kerumitan belum beranjak dari penulis, pada waktu hampir bersamaan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan Drs. Benyamin Batubara meninggal dunia karena penyakit kronis. Padahal pada saat yang sama penulis ketika itu akan mengambil program master di Jerman, di Universitas Frankfurt Ode, mengambil kajian Eropa, dan hampir mendapatkan titik terang dalam pengajuan beasiswa DAAD saat itu. Namun, logika yang dibangun oleh Prof. Himendra saat itu ada benarnya; mengabdi dulu di program studi dan fakultas, baru nanti mengambil sekolah ke luar negeri untuk master dan doktoral sambil memperkuat bahasa inggris dan jerman. Apalagi saat itu dosen pengampuh mata kuliah penulis sedang dalam perawatan medis dan akhirnya meninggal dunia. Atas saran Prof. Himendra dan situasi yang tidak tepat, penulis mengurungkan meneruskan proses pengajuan beasiswa DAAD, dan memilih mengabdikan diri dulu di program studi.

Sebagaimana penjelasan di atas, penulis masih mendapatkan masalah untuk mengabdi di jurusan paska wafatnya dosen pengampuh penulis. bahkan pernah dalam satu semester penulis tidak diberikan kelas mengajar, mata kuliah yang diampuh almarhum Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan almarhum Drs. Benyamin Batubara diambil oleh dosen-dosen tertentu yg telah memiliki asisten dosennya sendiri, dan hanya diberikan pekerjaan adminstratif, yang seharusnya menjadi staf administrasi. Pada jeda semester tanpa kelas tersebut penulis mengajukan beasiswa Chevenings British Council, dan telah mendapatkan Letter of Offer dari Universitas Lancaster, Inggris, bidang Kajian Stratejik. Sekali lagi prosesnya tidak berlanjut, karena alasan untuk mengabdi di program studi, dan Dr. Gugun juga mengingatkan unuk bersabar sampai situasinya kondusif, baru setelah itu mengambil sekolah ke luar negeri.

Beruntung ketika itu Dr. Mumuh Muhsin pulang dari Jerman dan menjadikan penulis sebagai asisten dosen untuk mata kuliah bidang filsafat sejarah politik islam. Namun, problematika tersebut masih berlanjut, karena situasi tidak berajak kondusif, bahkan mengarah pada pembelahan di program studi. Hal tersebut penulis sampaikan pada Dr. Gugun dan Prof. Himendra, keduanya hanya geleng-geleng kepala, sambil menegaskan bahwa mereka akan rugi dan menyesal telah memperlakukan penulis tidak cukup baik. selain itu Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultsa Sastra, Dr. Dian


(5)

Indira, yang juga banyak menjadi teman berdiskusi di luar nama-nama tersebut di atas.

Di sini sebenarnya titik balik penulis dalam mengabdikan diri di almamater. Di tengah situasi yang tidak terlalu padat dan kondusif, penulis bertemu dengan Iman Soleh M.Si., dan Antik Bintari, M.T. pada saat lokakarya mata kuliah Kewarganegaraan. Saat itu memang penulis sudah mantap pada kajian ilmu politik sebagai pilihan kajian, dengan kekhususan pada kajian politik keamanan. Beberapa kali penulis menjadi dosen tamu pada mata kuliah pembangunan politik dan kajian politik pertahanan dan keamanan. Akhirnya tercetus juga ketika penulis meminta saran pada Dr. Gugun dan Prof. Himendra berkaitan kemungkinan penulis pidah ke Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Unpad. Lagi-lagi penulis mendapatkan sokongan luar biasa, bahkan mereka menyatakan bahwa

passion penulis lebih pada kajian politik, dan sangat tepat apabila penulis pindah ke program studi tersebut. Sesekali pada diskusi dengan Prof. Himendra mengingatkan bahwa penulis harus mengikuti prosedur yang ada, dan yang bersangkutan akan mem-back up-nya agar semua berjalan dengan baik.

Apa yang diucapkan Prof. Himendra esoknya terbukti benar, saat Iman Soleh, M.Si, mengontak penulis dan mengabarkan bahwa Prof. rully sebagai ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan meminta penulis menghadap berkaitan dengan rencana kepindahan penulis. gayung bersambut, proses administrasi yang dilakukan memakan lebih dari enam bulan, tapi hal tersebut terasa cepat karena dukungan yang luar biasa, baik secara administrasi maupun pendekatan personal pada masing-masing pemangku kepentingan; Dekan FISIP, Pembantu Dekan II, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan, dan juga Biro Kepegawaian dan kemudian Pembantu Rektor II yang memuluskan proses tersebut lebih mudah.

Kepindahan penulis ke FISIP ini tidak memutuskan silaturahmi dan komitmennya dengan Dr. Gugun, sambil mengajar di FISIP, penulis masih membantu program-program yang dilakukan oleh Dr. Gugun selaku Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan.

Setelah agak tenang dan kondusif, penulis merasa bahwa melanjutkan perkuliahan ke luar negeri tidak bisa ditunda lagi. Selain karena usia yang terus makin matang, juga karena penulis memiliki Nadzar (janji) saat di tengah keletihan mendorong kejatuhan Soeharto, jika Soeharto dan Orde Baru tumbang, maka penulis akan menyelesaikan studinya hingga doktoral di luar negeri. Dan hal tersebut harus segera dibayar oleh penulis, beruntung Prof Rully dan Pembantu Dekan bidang Akademik FISIP ketika itu, Ade Makmur, Ph.D. serta Dekan FISIP, Prof. Dr. Asep Kartiwa memberikan kemudahan tersebut. Dan atas ijin dan saran dari Prof. Himendra penulis mengambil program Master (M.Sc) di Kajian Stratejik, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, Singapura tahun 2007 dan tanpa jeda setelah menyelesaikannya di tahun 2008, penulis langsung mengambil program Doktoral (Ph.D) bidang Ilmu Politik pada Flinders Asia Centre, Flinders University, Australia.

Saat ini penulis merasakan bahwa sebagai figure, Prof. Himendra telah memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup penulis sejak menjadi


(6)

mahasiswa hingga menjadi sekarang ini. apa yang penulis tuliskan adalah bentuk apresiasi dan penghormatan yang tak terkira bahwa sebagai figure, Prof. Himendra tetap menjadi panutan bagi banyak orang, khususnya penulis. bahkan di tengah kesibukannya setelah tidak menjabat dan memegang posisi strategis di Unpad, Prof. Himendra sepulang penulis menyelesaikan studi doktoralnya menanyakan aktivitas penulis dan tentang mengajar di Paska Sarjana FISIP Unpad, ketika penulis menjelaskan belum mulai mengajar. Prof. Himendra langsung mengontak via handphone Dekan FISIP dan juga Ketua Program Paska Sarjana FISIP Unpad untuk memberikan atensi dan memanfaatkan tenaga dan pikiran penulis bagi pengembangan FISIP Unpad dan Unpad secara umum, penulis begitu sangat dihargai dan terharu karena dilakukan didepan penulis saat perjumpaan penulis dengan Prof. Himendra di Salasar Fakultas Kedokteran Unpad.

VI. Penutup

Biar bagaimanapun Prof. Himendra adalah orang tua yang telah memberikan perhatian dan dukungan yang luar biasa pada penulis. Bahkan pada saat situasinya tidak menguntungkan sekalipun, Prof. Himendra melakukan sesuatu yang pada derajat tertentu sebagai pasang badan bagi penulis. hal tersebut mengharukan hal itu dilakukan berulang kali, tanpa pamrih. Penulis meyakini bahwa Prof. Himendra memiliki apa yang disebutkan sebagai jiwa kemanusiaan yang berlimpah dan berbalut kasih sayang. Di mana tidak lagi mengharap pamrih, kecuali memastikan siapapun yang dibantu dan didukung menuai keberhasilan terkait dengan apa yang penulis rasakan selama ini. Terima Kasih Prof. Himendra, Semoga Panjang Umur dan Sehat Selalu!