Aktualisasi diri pada aktivis gerakan mahasiswa berdasarkan teori Carl Rogers.

(1)

AKTUALISASI DIRI PADA AKTIVIS GERAKAN MAHASISWA

BERDASARKAN TEORI CARL ROGERS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Budhi Ardiyandhani NIM : 039114108

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

AKTUALISASI DIRI PADA AKTIVIS GERAKAN MAHASISWA

BERDASARKAN TEORI CARL ROGERS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Budhi Ardiyandhani NIM : 039114108

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008


(3)

(4)

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Manusia adalah bagian dari alam semesta dan bersatu dengan inti universal

Semua yang perlu kita lakukan adalah membuka hati kita dan membiarkan diri menjadi satu dengan waktu dan ruang yang ada … Wujud kehidupan tanpa pertentangan antara ego kita dan seluruh

dunia.

Jangan mengisolasi diri kita dari inti universal. Jangan memisahkan diri kita dengan kekuatan hidup Karya ini kupersembahkan untuk:

Orang tua terbaikku (Thank’s Dad atas pengorbanan & kasih sayang yang tlah kau berikan slama 11 tahun terakhir ini ’n just for My Mom berbahagialah di sana, doaku slalu untukmu ... I Miss U ...) Kakak & adik-adik-Qu: Argo, Tha-Tha & Tyo (Makasih buat support -nya...Roda kehidupan akan slalu berputar & Aqu kan selalu ada untuk kalian...), ’n Mba’ Arum (yang sabar ya...)

Semua orang terkasih, yang tlah memberi makna & warna serta berproses dalam kehidupanku … (moga makin menjadi pribadi yang dewasa ...)


(6)

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 Maret 2008


(8)

ABSTRAK

AKTUALISASI DIRI PADA AKTIVIS GERAKAN MAHASISWA BERDASARKAN TEORI CARL ROGERS

BUDHI ARDIYANDHANI Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini menggunakan kerangka teori aktualisasi diri Carl Rogers. Teori aktualisasi diri Carl Rogers mengungkapkan bahwa aktualisasi diri individu ikut berperan dalam mengatasi perkembangan zaman serta perubahan-perubahan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa peranan aktualisasi diri sejalan dengan peran aktivis Gerakan Mahasiswa yaitu untuk mengatasi berbagai permasalahan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses aktualisasi diri pada aktivis Gerakan Mahasiswa. Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Data penelitian diperoleh dengan metode wawancara semi terstruktur pada tiga orang subjek aktivis Gerakan Mahasiswa yang pernah menjabat sebagai koordinator Gerakan Mahasiswa. Analisis data berdasarkan respon verbal subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivis Gerakan Mahasiswa cenderung mengalami peningkatan hidup secara eksistensial yaitu memiliki perilaku fleksibel dalam menangani suatu hal sesuai situasi yang dihadapi dan berperilaku kreatif baik ketika mengalami kegagalan atau tidak (subjek memiliki perilaku yang fleksibel dan kreatif). Berkaitan dengan peningkatan kepercayaan pada organisme, hal ini terjadi dalam dua dinamika. Dinamika pertama adalah aktivis Gerakan Mahasiswa cenderung tidak mengalami peningkatan kepercayaan pada organisme terkait dengan dirinya ketika menghadapi norma sosial, yaitu takut atas adanya penilaian dan reaksi negatif dari orang lain. Dinamika kedua adalah aktivis Gerakan Mahasiswa cenderung mengalami peningkatan kepercayaan pada organismenya, yaitu subjek cenderung mampu mengambil keputusan sendiri atas pilihan hidupnya.

Kata kunci: aktualisasi diri, aktivis Gerakan Mahasiswa, peningkatan hidup secara eksistensial, peningkatan kepercayaan pada organisme.


(9)

ABSTRACT

SELF ACTUALIZATION TOWARD STUDENT MOVEMENT ACTIVIST BASED ON CARL ROGERS THEORY

BUDHI ARDIYANDHANI Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

This research employed the fundamental theory of self actualization by Carl Rogers. This theory revealed how self actualization plays a role of each individual’s portray in dealing with not only global development, but also in our environment changes. It furthermore, showed that the role of self actualization is come along with the role of Student Movement activists; that is to deal with current problems and changed that occurring in the society.

This research aimed is to described the process of self actualization toward student Movement activists. Describe the qualitative study with the phenomenology approach was employed as the research design. Meanwhile, the research data was gained by conducting semi-structured interview to three student movement activists, who in the past experienced as student movement coordinators, as the research subject. The data analysis, therefore, was elaborated based on verbal responses of the research subject.

The results of this research revealed that student movement activists tended to undergo an increasingly existential living in form of having flexible behavior as they encounter a critical situation and condition. In addition, they also behaved in a well creative attitude as they experienced failure or even success (subjects behaved in flexible and creative way). Related to the increasing trust in his organism, that happened in to two dynamica. The first dynamica is student movement activists tended not to experience the increasing trust in his organism if related to social norm, that is a cautious behavior toward the society’s negative reaction and judgement. The second dynamica is student movement activists tended to experience the increasing trust in his organism, that is subjects tended to determine their life choices instead.

Key word: self actualization, Student Movement activist, increasingly existential living, and increasing trust in his organism.


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Syukur tiada batas penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga pada akhirnya karya ini berhasil diselesaikan dengan baik. Berbagai proses dan pengalaman baru telah dilewati sejak awal pembuatan skripsi dan tentunya melibatkan berbagai pihak yang dengan hati terbuka memberikan motivasi bagi penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis sampaikan kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah memberi kesempatan pada mahasiswa untuk mengembangkan diri di Fakultas Psikologi.

2. Ibu Silvia Carolina, M. Y. M, S. Psi., M. Si., yang telah memberikan dukungan bagi penulis agar segera menyelesaikan studi.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Psi., selaku dosen pembimbing akademik atas kebaikan dan kesediaan konsultasinya.

4. Bapak Heri Widodo, S. Psi., M. Psi., sebagai dosen pembimbing skripsi yang berdedikasi tinggi, yang telah memberikan waktu, dukungan, masukan, pengertian, kritik dan teguran yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi sehingga karya ini berhasil saya selesaikan (makasi banyak atas kesabarannya Pak…sukses slalu untuk Bapak…).

5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S. Psi, yang telah memberikan masukan-masukan lewat diskusi skripsi dan pengalaman hidup (sukses untuk studinya).


(12)

6. Bapak Drs. Indarto, SU (alm), terima kasih pernah memberikan pesan yang konstruktif sehingga selalu menjadi spirit bagi penulis (saya bersyukur pernah belajar dengan Bapak, itulah titik penggalian minat yang sesungguhnya). 7. Semua dosen fakultas Psikologi yang telah memberikan kesempatan untuk

berproses menimba pengetahuan (Bu Ratri, Bu Nimas, Bu Titik, Bu Ari, Bu Lusi, Pak Didik, Pak Pratik, Bu Tanti, Pak Minto, Pak Wahyudi, Pak Priyo, Bu Susan, Mba’ Eta, Pak Cahyo, Rm. Purnomo, Bu Dewa).

8. Kedua orang tua & keluarga terkasih yang telah memberikan dukungan moral, spiritual, dan material selama hidup penulis (kalian yang terbaik untukku…). 9. Keempat subjek penelitian, semoga tetap semangat untuk perjuangkan aspirasi

sosial kalian... (meski salah satu subjek tidak sampai proses terakhir...).

10.Bapak Tatang Iskarna, S. S., M. Hum. dan Drs. Bambang. L., M. Si., yang pernah memberikan kesempatan penulis untuk berkarya di PMB Humas USD serta mas Devy BAA ‘n teman-teman admission staff PMB.

11.Romo Baskara T. Wardaya, S. J, Pak Tri, Mbak Monic, Mbak Endang di PUSDEP USD, yang menyediakan diri berdiskusi di awal pembuatan skripsi. 12.Mas Muji, Mas Gandung, Pak Gie, Mbak Nani’, Mas Doni yang telah banyak

membantu dalam semua hal terkait perkuliahan (makasih banget smuanya...) 13.Semua sahabat yang sangat berarti dalam hidupku…thanks for everything...

Anny & Devy (sobat suka duka-Qu), Sr. Hedwig (penasehat spiritual-Qu), Jane, Hanny, Dita, Anita, Fenty, Rachel, Toa …tempat berbagi pengalaman hidup dan kesediaan hati kalian untukku; Dadang UNAIR buat semua support-nya; Danang atas persahabatannya; Ronald sukses buatmu dimanapun sekarang berada;


(13)

Rubby atas bantuan dan diskusinya; Ade atas semangatnya; Galih untuk ide brilliant-mu; Abe atas pemilihan dosen pembimbing; serta Anton, Arif, Ius & Nanang yang telah membantu diskusi maupun teknis penting penyelesaian skripsi.

Keluarga besar ‘Agatha kost’ (Bapak & Ibu Yoseph; Vita TI ‘04; Gatha, Ina, Beatrix, Stella, Reny, mb’ Desy; Nia, Sisco Yamie, Desi P. Mat ’05; mb’ Prima, Deta, Nisi, Hetty Farmasi).

14.Keluarga Mahasiswa Buddhis USD 2004-2006 (Ivan, Sun Ming, Elvin, A Fu, Hansen, dkk) makasih untuk semua kebersamaan dan pembelajaran dharma-nya…jagalah spirit yang pernah kita bangun.

15.BEMF Psikologi 2004-2005 (mas Adi dkk) dan BEMU 2005-2006 (Camelia dkk), makasih atas semua proses pembelajaran yang telah dilalui.

16.Romo Agung, Sr. Okta, Fr. Didik, Mba’ Nita & Mba’ Tiwi di CM (Campus Ministry) USD, makasih atas semangat pluralisme-nya.

17.FORMALIN (Forum Lintas Iman) USD: Bli Adi Banteng, Mba’ Ika, Mba’ Tina, Mayos UPN, Kak John...difference make as beautiful, thank’s 4 all. 18.Temen-temen kelompok ex penelitian sosial Psi 2003 (Herdian, Mia, Benny,

Indri, Rondang, Atok, ’n Diana), KKN angkatan 33 (Yenny, Manggar, Adit, Stella, Emma, Arien, Bambang)

19.Marin, Ocha, Anna, Nana, Ita, (Psi ’03), Fanny, Tyas, Bella (Psi ’04), Hendrik UGM, Mufly & Surya-1 UNDIP, Dion TI ’03, Siska Man ’03, Heri TE ’02, Diana UAJY, Fr. Christ, Fr. Louis Butong, & Fr. OQ.

20.Semua pihak dan teman-temanku yang tidak dapat disebutkan satu persatu…makasih atas pengalaman hidup yang kualami bersama kalian...


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ……… vii

ABSTRACT ……… viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……… ix

KATA PENGANTAR ……….. x

DAFTAR ISI ………. xiii

DAFTAR TABEL ………. xvi

DAFTAR SKEMA ……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 8

C. Tujuan Penelitian ………. 8

D. Manfaat Penelitian ……… 9

1. Manfaat Teoretis ……… 9

2. Manfaat Praktis ………. 9

BAB II DASAR TEORI ……… 10

A. Gambaran Kepribadian Carl Rogers ………... 10

1. Struktur Kepribadian ………. 10

a. Organisme ……… 10

b. Diri ………... 12

c. Organisme dan Diri ………. 14

2. Dinamika Kepribadian ……….. 15

a. Tendensi Aktualisasi ………... 15

b. Aktualisasi Diri ……… 17


(15)

c. Individu Yang Berfungsi Penuh

(The Fully Functioning Person) ……….. 25

3. Aktualisasi Diri atau Proses Menuju Individu Yang Berfungsi Penuh (The Fully Functioning Person) …… 39

B. Aktivis Gerakan Mahasiswa ……… 43

1. Pengertian Aktivis ………. 43

2. Gerakan Mahasiswa (GM) ……… 43

a. Pengertian Gerakan Mahasiswa ……….. 43

b. Tujuan Gerakan Mahasiswa ……… 45

c. Aktivitas Gerakan Mahasiswa ………. 46

C. Proses Aktualisasi Diri Pada Aktivis Gerakan Mahasiswa Berdasarkan Teori Carl Rogers ……… 47

BAB III METODE PENELITIAN ………. 51

A. Jenis Penelitian ……… 51

B. Variabel Penelitian ..……… 52

C. Subjek Penelitian ………. 54

D. Batasan Penelitian ……….. 55

E. Metode Pengumpulan Data ……… 55

F. Prosedur Penelitian ……… 58

G. Metode Analisis Data ……… 59

1. Organisasi Data ……….... 59

2. Pengkodean ……….. 60

3. Interpretasi ……… 60

H. Keabsahan Data ……….. 61

1. Credibility ………. 61

2. Dependability ……… 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .………….. 63

A. Hasil Penelitian ………... 63

1. Pelaksanaan Penelitian ……….. 63


(16)

3. Deskripsi Subjek dan Hasil Penelitian……….. 68

a. Subjek 1 ………... 68

b. Subjek 2 ………... 89

c. Subjek 3 ………... 114

4. Kategorisasi Hasil Penelitian ………. 143

5. Hasil Penelitian Gabungan Ketiga Subjek ……… 144

B. Pembahasan ………. 145

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 157

A. Kesimpulan ………... 157

B. Saran ………... 158

DAFTAR PUSTAKA ………... 160

LAMPIRAN ………... 164


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabel 1. Pedoman Umum Wawancara

(general guide interview) ……….. 56

2. Tabel 2. Identitas Subjek 1 (LR), 2 (RG) dan 3 (BX) ... 67

3. Tabel 3. Kategorisasi Hasil Wawancara ... 163

4. Tabel 4. Kategorisasi Hasil Wawancara Lengkap... 168

5. Tabel 5. Hasil Penelitian Lengkap Persamaan dan Contoh Kasus Subjek LR, RG, & BX ... 184

6. Tabel 6. Ringkasan Persamaan Hasil Penelitian subjek LR, RG, dan BX ………... 198

7. Tabel 7. Persamaan dan Contoh Kasus Subjek LR & RG. ... 199

8. Tabel 8. Persamaan dan Contoh Kasus Subjek LR & BX ... 207


(18)

DAFTAR SKEMA

Halaman

1. Skema 1. Proses Aktualisasi Diri berdasarkan

teori Carl Rogers ……… 34

2. Skema 2. Hasil penelitian subjek 1 ……… 72

3. Skema 3. Hasil penelitian subjek 2 ……… 92

4. Skema 4. Hasil penelitian subjek 3 ……… 117

5. Skema 5. Hasil penelitian gabungan subjek 1, 2 & 3 ……… 144


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. John Dewey (dalam Veerger, 1985), filsuf sosial Amerika, mengemukakan bahwa ada tiga pendapat mengenai konsep masyarakat dan hubungannya dengan individu. Konsep yang pertama yaitu individu ada untuk masyarakat, kedua bahwa masyarakat ada untuk individu, dan ketiga masyarakat dan individu saling tergantung dan berkorelasi satu sama lain. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat sudah sewajarnya apabila mereka ikut berpartisipasi aktif atau berkontribusi dalam memajukan masyarakatnya.

Mahasiswa memiliki citra akademis dengan kemampuan nalar logis, kritis, dan sistematis. Mahasiswa juga dikatakan memiliki kesadaran akan tugas bagi perubahan dan kemajuan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Apabila dilihat dari perspektif tanggung jawabnya, mahasiswa dilihat sebagai perintis perubahan dan perbaikan (agent of social change) bagi kemajuan masyarakatnya. Mereka juga diharapkan agar mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Pada proses pematangan selanjutnya, mereka diharapkan memiliki ide-ide atau konsep-konsep yang berhubungan dengan persoalan real dalam kehidupan masyarakatnya (http:/www.bigs.or.id/bujet/5-3/artikel4.htm).

Arbi Sanit (1990), tokoh intelektual yang aktif mengikuti perkembangan Gerakan Mahasiswa, juga mengemukakan dua peran pokok pemuda (mahasiswa).


(20)

Peran pertama adalah sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa mahasiswa sebagai pemuda sebaiknya tidak tinggal diam ketika ada penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Peran kedua adalah sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema (masalah) yang ada dan menumbuhkan kesadaran tersebut untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh pemuda itu sendiri sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan (dalam Widjojo, 1999).

Mahasiswa dalam merealisasikan perannya, tentunya dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dialaminya, yaitu berada pada masa remaja akhir atau memasuki masa dewasa awal. Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa remaja akhir memiliki beberapa karakteristik. Remaja akhir dalam konteks ini adalah mahasiswa. Karakteristik pertama, yaitu emosi mahasiswa cenderung meninggi. Mahasiswa memiliki keinginan untuk memberontak, tidak akan tinggal diam, dan melakukan perubahan ketika melihat sesuatu yang tidak disukainya. Karakteristik kedua yaitu mahasiswa berusaha untuk mencari identitas diri, terkait penjelasan mengenai siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Karakteristik ketiga, yaitu mahasiswa memiliki idealisme atau cita-cita, yang mana terkadang idealisme tersebut tidak realistik. Karakteristik keempat, yaitu mahasiswa bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka terlihat menginginkan dan menuntut suatu kebebasan, tetapi mereka cenderung takut bertanggung jawab pada akibat yang ditimbulkan.


(21)

Mahasiswa merupakan bagian dari pemuda. Karakteristik mahasiswa menurut Hurlock sejalan dengan pandangan Depernas (Dewan Perancang Nasional) yang mengemukakan bahwa sifat khas pemuda cenderung semakin berani, dinamis, revolusioner, radikal, dan kritis. Depernas (1961-1969) juga menyatakan bahwa semakin berkembangnya pengertian dan penghargaan akan nilai-nilai pada diri mahasiswa, maka akan semakin terbentuk pandangan hidup dan cita-citanya. Cita-cita mahasiswa tersebut sudah berorientasi pada kegiatan-kegiatan sosial, tidak hanya terbatas pada lingkungan keluarga dan sekolahnya (dalam Surakhmad, 1980). Karakteristik-karakteristik mahasiswa itu, mungkin dapat membantu atau menghalangi kemampuan mahasiswa dalam mengaktualisasikan dirinya.

Rogers mengatakan bahwa individu yang bertambah besar (usianya) akan mengalami perkembangan “diri”. Pada masa ini, tekanan pada tendensi aktualisasi beralih dari segi fisiologis ke segi psikologis (berpusat pada kepribadian). Menurut pemikiran-pemikiran Rogers, dapat disimpulkan bahwa perubahan tendensi aktualisasi pada individu dimulai pada masa kanak-kanak dan berakhir pada masa adolesensi/ remaja (dalam Schultz, 1991). Setelah “diri” mulai muncul, maka akan terlihat kecenderungan ke arah aktualisasi diri, yang mana aktualisasi diri ini akan berlangsung terus dalam kehidupan individu.

Menurut Hurlock (1980), masa awal mahasiswa berada dalam tahap perkembangan masa remaja akhir dan memasuki masa dewasa awal. Berdasarkan pemikiran Rogers dan Hurlock tersebut, berarti mahasiswa yang berada pada masa remaja akhir dan memasuki masa dewasa awal, dapat dikatakan sebagai individu


(22)

yang sudah memasuki masa awal terjadinya aktualisasi diri. Proses aktualisasi diri mahasiswa ini akan dapat terus berlangsung pada masa dewasa awal, yaitu ketika mahasiswa berada di Perguruan Tinggi. Selanjutnya, pergerakan aktualisasi diri dapat mengalami pergerakan sampai sepanjang usianya. Batasan usia mahasiswa yang terlibat dalam organisasi Gerakan Mahasiswa sebagai bagian dari Gerakan Pemuda ini mengacu pada pandangan Depernas (Dewan Perancang Nasional). Depernas (1961-1969) menyatakan bahwa batas usia pemuda yang terlibat dalam organisasi Gerakan Pemuda yaitu antara 15-35 tahun (dalam Surakhmad, 1980). Dalam penelitian ini, usia mahasiswa yang menjadi subjek penelitian yaitu dimulai usia 18 sampai 35 tahun.

Aktualisasi diri merupakan suatu proses yang tidak bersifat statis dan berlangsung terus dalam kehidupan individu serta berorientasi ke masa yang akan datang (Rogers, 1961). Pengaktualisasian diri individu dapat dicapai melalui perluasan pengalaman, pencarian stimulus, dan aktivitas-aktivitas lain yang bisa merangsang pengungkapan potensi-potensinya (Rogers, 1959, dalam Koeswara, 1989). Mahasiswa sebagai seorang individu juga tidak akan pernah berhenti untuk mencari aktivitas-aktivitas untuk mengaktualisasikan diri dan mengeksplorasi dunianya sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya.

Berdasarkan kedua pemikiran di atas dapat dikatakan bahwa salah satu hal yang penting bagi mahasiswa dalam aktualisasi diri yaitu terlibat dalam aktivitas-aktivitas dan menemukan berbagai pengalaman dalam hidupnya. Salah satu aktivitas yang diikuti oleh mahasiswa yaitu terlibat dalam Gerakan Mahasiswa. Gerakan Mahasiswa dalam konteks ini adalah kegiatan yang dilandasi


(23)

spirit atau semangat kepemudaan dan ideologi tertentu yang bergerak untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat) lewat berbagai aktivitas seperti berdiskusi serius, dialog, membuat petisi, demonstrasi, mogok, maupun terlibat dalam ruang ‘eksperimentasi’ yang lain. Ruang ‘eksperimentasi’ yang dimaksud adalah media untuk merealisasikan potensi mereka, seperti advokasi perburuhan, petani, Pedagang Kaki Lima, Sekolah Masyarakat, maupun Gerakan-Gerakan di bidang sosial lainnya. Mahasiswa yang terlibat dalam aktivitas Gerakan Mahasiswa dinamakan sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa. Oleh karena itu, apabila melihat dari sudut pandang teori Carl Rogers, peneliti mengasumsikan bahwa aktualisasi diri dapat terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari aktivitas atau keterlibatan mahasiswa dalam Gerakan Mahasiswa.

Carl Rogers merupakan tokoh psikologi penganut aliran humanistik. Oleh karena itu, Rogers memandang individu dalam arah yang cenderung optimistik dan positif (Rogers, dalam Koeswara, 1989). Aktualisasi diri menurut Rogers (1961) merupakan proses pergerakan pengungkapan potensi-potensi individu ke arah pertumbuhan yang positif. Aktualisasi diri dipahami sebagai proses menuju tujuan akhir yaitu menjadi individu yang berfungsi penuh (fully functioning person). Individu yang berfungsi penuh ini ditandai dengan tiga karakteristik, yaitu adanya peningkatan keterbukaan terhadap pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan adanya peningkatan kepercayaan pada organisme. Rogers (dalam Cremers, 1987) juga mengemukakan bahwa individu yang berfungsi sepenuh-penuhnya atau pribadi yang ideal merupakan gambaran ideal yang utopis. Meskipun demikian, dinyatakan bahwa individu dikatakan


(24)

“lebih baik” jika ia berusaha untuk mencapai pribadi ideal tersebut (bergerak ke arah adanya peningkatan tiga karakteristik fully functioning person), walaupun pribadi yang ideal itu tidak akan pernah dicapai sepenuh-penuhnya. Penelitian ini menggunakan konsep aktualisasi diri Carl Rogers yang beraliran humanistik yang memandang individu secara positif. Oleh karena itu, konsekuensi dari penggunaan konsep humanistik tersebut yaitu bahwa hasil penelitian ini akan cenderung melihat lebih banyak sisi positif dari aktivis Gerakan Mahasiswa.

Dilihat dari segi peranan aktualisasi diri, dapat dikatakan bahwa aktualisasi diri merupakan hal yang penting karena pada akhirnya aktivis Gerakan Mahasiswa akan lebih mampu melakukan tanggung jawabnya dengan baik. Aktivis Gerakan Mahasiswa juga akan lebih dapat menyikapi berbagai kondisi, situasi, orang, masalah, atau pengalaman baru lainnya dalam lingkungannya yang tentunya syarat dengan kedinamisan dan perubahan secara lebih adaptif. Pandangan tersebut didasari oleh asumsi Rogers (dalam Schultz, 1991) yaitu bahwa aktualisasi diri individu ikut berperan dalam mengatasi perkembangan zaman serta perubahan-perubahan lingkungan. Aktualisasi diri juga penting bagi individu untuk dapat menyesuaikan diri dan memiliki fleksibilitas serta kreatifitas. Hal ini menunjukkan bahwa peranan aktualisasi diri sejalan dengan peran aktivis Gerakan Mahasiswa yaitu untuk mengatasi berbagai permasalahan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara lebih baik.

Berkebalikan dengan peran penting adanya aktualisasi diri tersebut, apabila tidak ada proses aktualisasi diri pada aktivis Gerakan Mahasiswa maka mereka cenderung tidak akan mampu menjadi individu penggerak atau pelopor


(25)

perbaikan bagi kemajuan masyarakatnya. Aktivis Gerakan Mahasiswa juga akan cenderung berperilaku yang tidak adaptif dan tidak kreatif atas situasi yang dihadapinya. Hal ini didasari oleh asumsi Rogers yang menyatakan bahwa individu yang tidak mengalami aktualisasi diri akan cenderung defensif, berperilaku tidak fleksibel, tidak spontan, dan tidak kreatif. Konsekuensi dari tidak adanya aktualisasi diri akan menyebabkan individu cenderung memilih kehidupan yang aman daripada mencari tantangan, dorongan, maupun rangsangan baru dalam hidupnya (dalam Schultz, 1991 dan Hall & Lindzey, 1993).

Berikut ini merupakan salah satu contoh gambaran realita perubahan yang pernah terjadi dalam masyarakat Indonesia secara umum yaitu lahirnya era reformasi demokrasi yang disebabkan oleh masalah ekonomi politik. Permasalahan ekonomi politik tersebut diawali adanya penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1996 (peristiwa 27 Juli), tingkat kecurangan yang tinggi dalam Pemilihan Umum tahun 1997, krisis moneter pada akhir tahun 1997, runtuhnya pemerintahan presiden Soeharto pada Mei 1998, peristiwa Semanggi I November 1998, penolakan Sidang Umum MPR September 1999 yang berakhir dengan munculnya peristiwa Semanggi II hingga Januari-Agustus 2001 yaitu adanya tuntutan mundurnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI dan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi sampai tahun 2007.

Para aktivis Gerakan Mahasiswa yang masih aktif saat ini, rata-rata merupakan aktivis yang tidak terlibat dalam melahirkan era reformasi. Meskipun demikian, keberhasilan penegakan demokratisasi atas peristiwa-peristiwa tersebut dapat ditentukan oleh peran aktif perjuangan aktivis Gerakan Mahasiswa, yang


(26)

mana didukung oleh aktualisasi diri. Oleh karena itu, perubahan-perubahan yang dilakukan aktivis pada peristiwa-peristiwa di atas dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktualisasi diri aktivis Gerakan Mahasiswa yang ada saat ini.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk perlunya melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana aktualisasi diri atau proses menuju tercapainya individu yang berfungsi penuh (fully functioning person) yang terjadi dalam diri para aktivis Gerakan Mahasiswa berdasarkan teori Carl Rogers.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: bagaimana aktualisasi diri pada aktivis Gerakan Mahasiswa berdasarkan teori Carl Rogers?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi aktualisasi diri pada aktivis Gerakan Mahasiswa berdasarkan teori Carl Rogers.


(27)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

a. Hasil penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan wawasan pendeskripsian aktualisasi diri pada remaja akhir/ dewasa awal berdasarkan teori Carl Rogers.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan kontribusi wacana di bidang Psikologi, terutama Psikologi Pertumbuhan, Psikologi Kepribadian maupun Psikologi Sosial mengenai deskripsi aktualisasi diri secara konkret pada diri remaja (khususnya remaja akhir/ dewasa awal).

2. Manfaat praktis

a. Bagi aktivis Gerakan Mahasiswa, penelitian ini dapat membantu mereka untuk mengetahui deskripsi aktualisasi diri sehingga mereka dapat melakukan hal-hal yang fleksibel dan adaptif, serta kreatif.

b. Bagi mahasiswa pada umumnya, hasil penelitian dapat memberi informasi mengenai bagaimana aktualisasi diri pada aktivis Gerakan Mahasiswa sehingga mampu memahami karakteristik maupun perilaku yang dilakukan oleh aktivis.

c. Bagi pihak Universitas, hasil penelitian dapat digunakan untuk membantu melihat karakteristik pemikiran maupun perilaku aktivis Gerakan Mahasiswa sehingga akan menciptakan pemahaman dan interaksi yang lebih kondusif. d. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian serupa.


(28)

BAB II

DASAR TEORI

A. Gambaran Kepribadian Carl Rogers

Carl Rogers memandang dirinya sebagai orang yang berpandangan humanistik dalam psikologi kontemporer. Psikologi humanistik memandang individu secara lebih penuh dengan harapan dan optimistik. Diri individu memiliki potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif (dalam Hall & Lindzey, 1993). Hal tersebut berarti bahwa Rogers memandang individu dengan arah yang cenderung positif.

1. Struktur Kepribadian

a. Organisme

Rogers (1959) mengungkapkan bahwa organisme adalah tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman tersebut meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran individu setiap saat. Pengalaman juga terdiri dari proses-proses psikologis, kesan-kesan sensoris, dan aktivitas-aktivitas motoris (Rogers 1951, dalam Suryabrata, 2003). Organisme adalah keseluruhan individu. Keseluruhan pengalaman tersebut disebut medan fenomenal. Medan fenomenal merupakan “frame of reference” atau kerangka pemikiran dari individu dan hanya dapat diketahui oleh individu tersebut. Tingkah laku individu tergantung pada kenyataan subyektif, bukan pada keadaan-keadaan perangsangnya atau kenyataan luar (Rogers, 1959, dalam Hall & Lindzey, 1993).


(29)

Medan fenomenal berbeda dengan medan kesadaran. Medan kesadaran berisi sebagian dari pengalaman individu, sedangkan medan fenomenal merupakan keseluruhan dari pengalaman individu (Rogers, 1959, dalam Hall & Lindzey, 1993). Medan fenomenal terdiri dari pengalaman sadar dan pengalaman tak sadar, sehingga dikatakan bahwa sifat dari medan fenomenal adalah disadari dan tidak disadari. Sifat tersebut tergantung apakah pengalaman yang mendasari medan fenomenal itu dilambangkan atau tidak dilambangkan (Rogers, dalam Suryabrata, 2003). Meskipun demikian, organisme dapat membedakan kedua jenis pengalaman tersebut dan bereaksi terhadap pengalaman tak sadar, yang mana peristiwa ini disebut subsepsi (subception). Subsepsi adalah mekanisme ketika organisme diperingatkan akan adanya pengalaman yang mengancam dirinya (Rogers, 1961).

Rogers (dalam Hall & Lindzey, 1993) mengatakan bahwa pengalaman yang tidak tepat disadari menyebabkan tingkah laku individu tidak adaptif. Individu dapat bertingkah laku secara realistis apabila ia mampu mencocokan informasi yang diterima dan yang mendasari pemikirannya dengan sumber informasi lain atas pengalaman-pengalaman yang disadari dengan dunia nyata. Tingkah laku individu menjadi tidak realistis ketika ia tidak atau kurang mampu mencocokan informasi yang diterima dan yang mendasari pemikirannya dengan sumber informasi lain atas persepsi-persepsi tertentu.

Rogers (1977) mengemukakan bahwa hal-hal yang dialami atau dipikirkan individu merupakan dugaan sementara tentang suatu kenyataan, yang dapat benar atau salah (yang sebenarnya bukanlah kenyataan baginya). Individu


(30)

akan mengambil keputusan apabila ia sudah mencocokan ketepatan informasi yang diterima dan yang mendasari pemikiran sementaranya dengan sumber-sumber informasi yang lain. Sebagian besar individu menerima begitu saja pengalamannya sebagai gambaran yang tepat tentang kenyataan dan tidak memperlakukannya sebagai hipotesis tentang kenyataan. Hal ini menyebabkan individu memiliki konsepsi yang salah mengenai diri maupun dunia luarnya. Rogers juga mengemukakan bahwa “pribadi yang utuh” adalah individu yang sepenuhnya terbuka pada data yang dialami dalam dirinya dan yang dialaminya dari dunia luar (dalam Hall & Lindzey, 1993).

Rogers (dalam Suryabrata, 2003) mengemukakan sifat-sifat organisme yaitu sebagai berikut:

1) Organisme bereaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal, dengan tujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

2) Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan diri.

3) Organisme mungkin melambangkan pengalamannya, sehingga hal itu disadari, atau mungkin menolak pelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari, atau mungkin juga organisme itu mengabaikan pengalaman-pengalamannya.

b. Diri

Diri adalah konseptual gestalt yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari diri subjek atau diri obyek dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antara diri subjek atau diri obyek


(31)

dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Sejalan dengan Rogers, Allport mengungkapkan bahwa gambaran diri yaitu bagaimana individu melihat dirinya dan pendapatnya tentang dirinya (dalam Schultz, 1991).

“Diri” merupakan sebagian dari medan fenomenal, yang mana terbentuk karena lama-kelamaan terpisah dari medan fenomenal. Sifat-sifat “diri” yaitu berada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari; bersifat lentur dan berubah-ubah; suatu proses; suatu entitas spesifik pada setiap saat (Rogers, 1959, dalam Hall & Lindzey, 1993). Kelenturan dan kedinamisan sifat ‘diri’ akan muncul ketika adanya kedekatan antara diri real dan diri ideal. Kedekatan antara diri real dan diri ideal ini menyebabkan individu dapat melakukan penyesuaian diri. Apabila perbedaan jarak antara diri real dan diri ideal adalah besar, maka individu merasa tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri (Rogers, dalam Hall & Lindzey, 1993). Rogers juga mengemukakan bahwa ‘diri’ merupakan suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri. ‘Diri’ dipahami sebagai suatu proses aktif yaitu berpikir dan mengamati.

Rogers (dalam Suryabrata, 2003) mengemukakan bahwa diri (self) adalah bagian dari medan fenomenal yang terdeferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar atas “I” atau “me”. Sifat-sifat self (diri) yaitu sebagai berikut:

1) Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungannya.

2) Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya


(32)

3) Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan, keselarasan). 4) Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent) dengan self. 5) Pengalaman-pengalaman yang tak selaras dengan struktur self diamati sebagai ancaman.

6) Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation) dan belajar. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa “diri” adalah bagian dari medan fenomenal yang terdeferensiasikan (pemisahan dari medan fenomenal), yang terdiri dari persepsi-persepsi (pola pengamatan dan penilaian sadar) tentang sifat-sifat dari diri subjek atau diri obyek dan tentang hubungan-hubungan antara diri subjek atau diri obyek dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini.

c. Organisme dan Diri

Individu akan memiliki penyesuaian yang baik, matang, dan berfungsi sepenuhnya apabila pengalaman-pengalaman yang disadari yang membentuk diri sungguh-sungguh mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme. Individu tersebut akan menerima pengalaman seluruh organismiknya tanpa merasa cemas atau terancam. Hal itu menjadikan individu mampu berpikir secara realistis. Tingkah laku individu menjadi tidak defensif dan pemikirannya tidak kaku

(rigid). Sebaliknya, individu akan menjadi lebih terbuka pada

pengalaman-pengalamannya dan memiliki pemikiran yang terbuka serta fleksibel (Rogers, 1959, dalam Hall & Lindzey, 1993).


(33)

2. Dinamika Kepribadian

a. Tendensi Aktualisasi

1) Pandangan Umum tentang Tendensi Aktualisasi

Rogers mengemukakan bahwa tendensi aktualisasi adalah motivasi dasar yang tidak hanya mempengaruhi tingkah laku manusia saja, tetapi semua organisme yang hidup. Tendensi aktualisasi ini berusaha mewujudkan dan mengembangkan semua kemungkinan inheren (bawaan) dari organisme. Pada umumnya, pada setiap organisme, baik yang berada pada perkembangan yang rendah ataupun tinggi, terdapat suatu daya yang mendorong organisme untuk mengembangkan dan memenuhi potensi-potensi pembawaan lahirnya (dalam Koeswara, 1989 dan Hall & lindzey, 1993). Maslow (1976b) juga mengungkapkan bahwa hampir pada setiap bayi yang baru lahir terdapat kemauan yang aktif ke arah pertumbuhan atau aktualisasi potensi-potensi manusia (dalam Hall & Lindzey, 1993).

Pada keadaan normal, setiap organisme hidup bertujuan untuk memperkuat dan mempertahankan diri melalui reproduksi dan mengatur diri. Tendensi otonomi ini tidak dapat dihilangkan oleh kontrol dari kekuatan-kekuatan atau pengaruh-pengaruh eksternal. Hal ini disebabkan karena tendensi aktualisasi hanya dapat dihalangi tetapi tidak pernah dapat dihancurkan (Rogers, dalam Cremers, 1987).

2) Pengertian Tendensi Aktualisasi

Rogers (1957) mengatakan bahwa tendensi aktualisasi adalah dorongan yang paling menonjol dan memotivasi eksistensi serta mencakup tindakan yang


(34)

mempengaruhi keseluruhan kepribadian. Rogers (1951) mengemukakan bahwa organisme memiliki satu kecenderungan (tendensi) dasar yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organisme yang mengalami. Sifat dari tendensi ini yaitu selektif, hanya memberi perhatian pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan individu bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan dan kebulatan (dalam Hall & Lindzey, 1993).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tendensi aktualisasi adalah dorongan yang paling menonjol dan memotivasi tindakan untuk mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organisme yang mengalami.

3) Proses Tendensi Aktualisasi pada Individu

Tendensi aktualisasi dibawa sejak lahir dan meliputi komponen-komponen pertumbuhan, baik fisiologis maupun psikologis. Pada masa awal kehidupan individu, tendensi tersebut lebih terarah pada segi-segi fisiologis. Tendensi aktualisasi yang terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar yaitu akan makanan, air, dan udara. Tendensi aktualisasi ini berfungsi untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah dasar, serta memungkinkan individu untuk terus hidup. Selain itu, tendensi aktualisasi juga penting untuk meningkatkan pematangan dan pertumbuhan individu (Rogers, dalam Schultz, 1991).

Rogers juga mengatakan bahwa tendensi aktualisasi pada tingkat fisiologis tidak dapat dikekang. Tendensi ini mendorong individu ke arah depan, dari salah satu tingkat pematangan ke tingkat pematangan berikutnya. Usaha


(35)

individu dalam aktualisasi akan mengarahkan ke arah pertumbuhan dan peningkatan, serta ke arah tujuan yang berfungsi semakin kompleks sehingga dapat menjadi semuanya menurut kemampuan untuk menjadi (dalam Schultz, 1991).

b. Aktualisasi Diri

1) Pengertian Aktualisasi Diri

Rogers (1957, dalam Schultz, 1991) mengemukakan bahwa sejak bayi, setiap individu adalah orang yang sadar, terarah dari dalam (inner directed) dan bergerak ke arah aktualisasi diri. Individu mengalami suatu proses aktualisasi diri, yang berorientasi ke depan sehingga mendorong individu untuk mengembangkan segala segi dari dirinya. Aktualisasi diri diasumsikan sebagai suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologisnya yang unik. Sejalan dengan aktualisasi diri menurut Rogers, Maslow mengemukakan bahwa semua individu memiliki kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan diri yang dimiliki oleh individu (dalam Schultz 1991). Perls juga memandang bahwa aktualisasi diri menjadi ‘seseorang’ sebagai tujuan bawaan pada semua umat manusia, tumbuhan dan hewan. Hal itu merupakan kebutuhan dasar semua makhluk hidup (dalam Schultz, 1991).

Rogers menyatakan bahwa individu yang mengalami aktualisasi diri akan cenderung mampu untuk percaya pada dirinya sendiri dan berperilaku fleksibel dalam keputusan serta tindakan yang dipilihnya. Individu tersebut juga dapat bertingkah secara spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai


(36)

respon dalam menghadapi berbagai stimulus kehidupan yang beragam di sekitar mereka. Berbeda dengan hal tersebut, individu yang tidak mengalami aktualisasi diri maka akan cenderung defensif, berperilaku tidak fleksibel, tidak spontan, dan tidak kreatif. Hal ini menyebabkan individu itu cenderung memilih kehidupan yang aman daripada mencari tantangan, dorongan, maupun rangsangan baru dalam hidupnya (dalam Schultz, 1991). Dengan demikian, individu yang memiliki fleksibilitas cenderung dapat menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang selalu berubah (Rogers, dalam Suryabrata, 1993).

Rogers dan Maslow memiliki persamaan dan perbedaan mengenai teori aktualisasi diri. Persamaan konsep aktualisasi diri antara Rogers dan Maslow yaitu kedua tokoh tersebut termasuk dalam teori kepribadian humanistik yang berpandangan secara positif dan optimistik terhadap pertumbuhan individu. Individu yang berkepribadian sehat ditandai dengan adanya aktualisasi diri (dalam Schultz, 1991). Menurut Hjelle & Ziegler (1981), Rogers dan Maslow menekankan hal yang sama mengenai pertumbuhan dan perubahan individu yaitu bertitik tolak dari konsep penjadian (becoming) (dalam Koeswara, 1989). Rogers dan Maslow juga mengakui kelebihan mendasar dari dimensi subjektif dan kecenderungan menuju aktualisasi diri. Aktualisasi diri menunjukkan realisasi kapasitas inheren untuk tumbuh dan berkembangnya individu (dalam Graham, 2005).

Perbedaan konsep aktualisasi diri antara Rogers dan Maslow yaitu bahwa menurut Rogers (1961), aktualisasi diri dipahami sebagai suatu proses atau pergerakan ke arah individu yang berfungsi penuh (fully functioning person) yang


(37)

ditandai dengan karakteristik adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan peningkatan kepercayaan pada organisme pada individu. Menurut Maslow, aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan universal individu. Pencapaian aktualisasi diri individu dipandang secara hierarkis, yaitu individu baru akan mencapai aktualisasi diri ketika individu tersebut sudah memuaskan empat kebutuhan yang berada di tingkat lebih rendah (pada tingkatan sebelumnya), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, dan kebutuhan akan harga diri. Hal ini berarti bahwa pemuasan dari empat kebutuhan tersebut menjadi prasyarat individu untuk mencapai aktualisasi diri. Masing-masing dari keempat kebutuhan itu, minimal harus dipuaskan sebagiannya sebelum muncul kebutuhan aktualisasi diri (dalam Schultz, 1991).

Rogers mengatakan bahwa proses pengaktualisasian diri ini dibantu oleh pengalaman dan proses belajar seseorang terhadap pengalaman tersebut. Individu bebas untuk mengaktualisasikan dirinya dan untuk mengembangkan seluruh potensinya (dalam Schultz, 1991). Setelah aktualisasi diri berlangsung maka individu dapat menuju ke tujuan terakhir yaitu menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Tujuan dari aktualisasi diri yaitu mencapai penentuan diri semaksimal mungkin, berusaha untuk mengurangi ketergantungan, dan meningkatkan kedaulatan serta kreativitas (Rogers, 1961).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aktualisasi diri menurut teori Carl Rogers adalah suatu proses individu untuk menjadi diri sendiri, mengungkapkan potensi-potensi psikologis yang unik, dan berusaha ke arah


(38)

pertumbuhan diri yang optimal sehingga menjadi individu yang berfungsi penuh (the fully functioning person).

2) Proses Terbentuknya Aktualisasi Diri

Rogers (dalam Schultz, 1991) kemudian mengemukakan bahwa ketika individu bertambah besar (usianya bertambah), maka “diri” mulai berkembang. Pada masa ini, tekanan pada aktualisasi individu akan berubah dari segi fisiologis ke segi psikologis. Tubuh individu, bentuk, dan fungsi-fungsinya yang khusus telah mencapai tingkat perkembangan dan pertumbuhan yang lebih dewasa. Individu mengalami perkembangan organ-organ tubuh dan proses fisiologis yang semakin kompleks serta sampai pada perkembangan sifat-sifat jenis kelamin sekunder pada masa remaja.

Setelah itu, aktualisasi akan berpusat pada kepribadian (psikologis). Perubahan tersebut mulai pada masa kanak-kanak dan selesai pada akhir masa adolesensi (remaja). Setelah “diri” mulai muncul, maka tendensi aktualisasi akan mulai menjadi aktualisasi diri. Fokus pencapaian aktualisasi adalah untuk mencapai satu tujuan hidup yaitu menjadi pribadi yang teraktualisasikan dirinya atau pribadi yang utuh (Rogers, 1951, dalam Schultz, 1991).

Rogers (1959) membedakan antara tendensi mengaktualisasikan pada organisme dengan tendensi mengaktualisasikan pada diri. Tendensi aktualisasi akan tetap relatif selaras jika ‘diri’ dan seluruh pengalaman organisme relatif sesuai. Apabila terdapat ketidakselarasan antara ‘diri’ dan pengalaman maka tendensi umum untuk mengaktualisasikan organisme akan membentuk tendensi untuk mengaktualisasikan diri (dalam Hall & Lindzey, 1993). Hal ini didukung


(39)

oleh Perls yang mengungkapkan bahwa aktualisasi diri hanya dapat terjadi melalui integrasi berbagai bagian dari diri. Dalam hal ini berarti bahwa aktualisasi diri akan terjadi ketika adanya keselarasan atas bagian-bagian dari diri (dalam Schultz, 1991).

Tendensi dasar pertumbuhan akan mengaktualisasikan dan mengekspansikan diri sendiri. Hal ini akan terlihat paling jelas ketika individu diamati dalam jangka waktu yang lama. Tendensi dasar juga menjadikan adanya suatu gerak maju yang terus menerus pada kehidupan setiap individu (Rogers, dalam Hall & Lindzey, 1993).

3) Hal-Hal Yang Dapat Membantu Terbentuknya Proses Aktualisasi Diri

Rogers mengungkapkan bahwa proses aktualisasi diri ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari lingkungan sosial individu. Hal ini berarti bahwa proses aktualisasi diri ini dapat dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan pembelajaran individu. Proses pembentukan oleh pengalaman dan belajar ini, terutama dalam masa kanak-kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup individu (dalam Schultz, 1991). Perls juga mengatakan bahwa masyarakat dapat mencegah aktualisasi diri yang wajar, spontan, dan penuh. Perls menyebut aktualisasi diri dengan nama “pertumbuhan otentik” (dalam Schultz, 1991). Sejalan dengan Rogers dan Perls, Maslow mengungkapkan bahwa lingkungan budaya dapat dan sering menghambat perkembangan manusia ke arah aktualisasi diri (dalam Goble, 1987).

Selain itu, Berkowitz (1980) juga mengatakan bahwa norma sosial menentukan perilaku individu pada suatu situasi yang dihadapi. Perilaku individu


(40)

terkait dengan apa yang dipikirkan atas apa yang akan dilakukan pada beberapa situasi berdasarkan harapan orang lain (lebih pada harapan orang lain dan bukan individu itu sendiri). Secara lebih khusus, apabila dilihat berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat, dalam konteks penelitian ini yaitu masyarakat Jawa, maka perilaku individu masih dipengaruhi oleh etika Jawa. Meskipun etika Jawa sudah mengalami kemerosotan dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari, namun masih tetap berpengaruh pada individu yang berada dalam masyarakat tersebut (Hardjowirogo, 1983 dan Kartodirdjo, 1987/1988). Menurut Magnis Suseno (1996), etika Jawa adalah seluruh norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana mereka harus bersikap maupun bertindak dalam kehidupannya. Salah satu hal yang ditekankan dalam etika Jawa adalah menjaga keselarasan dengan orang lain. Hal ini didasari oleh prinsip kerukunan yang mengacu pada keadaan masyarakat yang harmonis, selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, dan saling membantu. Tuntutan kerukunan memiliki dua segi, segi yang pertama yaitu tidak mengganggu ketenangan dan keselarasan sosial atau menghindari terjadinya konflik. Segi yang kedua yaitu menjaga keselarasan dalam pergaulan, dimana yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang tampak dan perlu mencegah terjadinya konflik terbuka. Masyarakat memiliki harapan agar individu berperilaku yang selaras dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa individu Jawa dalam perilakunya cenderung akan memikirkan bagaimana pandangan sosial masyarakat atas akibat perilaku yang dilakukannya. Kehidupan diri individu tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial.


(41)

Perilaku yang dipilih oleh individu tentunya akan terkait dengan perilaku keselarasan yang diharapkan masyarakatnya. Apabila terdapat ketidakselarasan dengan lingkungan maka diri individu akan mengalami ketidakseimbangan, bahkan mendapat sanksi sosial.

Carl Gustav Jung (1945) mengemukakan pendapatnya mengenai mengenai persona. Menurut Jung, persona merupakan kepribadian publik. Persona adalah topeng yang dipakai individu sebagai respon atas tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat (dalam Hall & Lindzey, 1993). Hal ini berarti bahwa individu diharapkan oleh masyarakat untuk melakukan suatu peranan tertentu. Apabila individu mengidentifikasikan diri dengan persona maka ia akan lebih sadar akan peran yang dimainkan daripada menjadi dirinya sendiri. Dalam hal ini, dapat terjadi individu tidak dapat mengaktualisasikan dirinya (Jung menyebut aktualisasi diri dengan sebutan realisasi diri).

Rogers (1959) mengungkapkan secara lebih khusus bahwa dalam diri individu terdapat kebutuhan yang penting dan mendasar yang menjadi prasyarat bagi pertumbuhan diri yang sehat. Kebutuhan tersebut dinamakan kebutuhan akan penghargaan positif (need for positive regard). Setiap individu memiliki kebutuhan akan penghargaan positif, yaitu untuk memperoleh penerimaan sikap atau perlakuan yang baik, dihargai, dan dicintai secara hangat oleh orang lain. Kebutuhan akan pengharagaan positif bersifat inheren dan bawaan, namun dalam perkembangan dan pemuasannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penghargaan positif tersebut dikatakan bisa menunjang tendensi pengaktualisasian apabila diperoleh individu tanpa syarat. Penghargaan positif tanpa syarat


(42)

memungkinkan diri (self) individu untuk bebas dari ancaman-ancaman dan bebas untuk tumbuh dan berubah sehingga pada akhirnya individu dapat mencapai pertumbuhan diri yang optimal menjadi orang yang berfungsi penuh (fully functioning person) (dalam Hall & Lindzey, 1993).

4) Sifat Aktualisasi Diri

Sifat aktualisasi diri menurut Rogers (dalam Schultz, 1991), yaitu sebagai berikut:

a) Aktualisasi diri berlangsung terus

Aktualisasi diri merupakan proses yang dialami oleh individu. Aktualisasi diri tidak pernah merupakan suatu kondisi yang statis atau selesai. Individu memiliki orientasi ke masa yang akan datang untuk mengembangkan segala segi dari dirinya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi pusat perhatian peneliti adalah manifestasi saat sekarang, dalam arti ketika subjek melibatkan diri dalam aktivitas yang dijalani ataupun kondisi terakhir individu yang menjadi subjek penelitian.

b) Aktualisasi diri adalah suatu proses yang sukar dan terkadang menyakitkan Aktualisasi diri merupakan suatu ujian, rentangan, dan pecutan terus-menerus terhadap semua kemampuan individu. Rogers mengungkapkan bahwa aktualisasi diri merupakan keberanian untuk mengada dan berani meluncurkan diri sepenuhnya dalam arus kehidupan. Individu mengalami kehidupan dan merasakan hal-hal yang jauh lebih dalam dibandingkan individu yang tidak teraktualisasikan dirinya. Kebahagiaan bukan merupakan tujuan dalam diri


(43)

individu yang mengaktualisasikan diri, tetapi merupakan hasil sampingan dan perjuangan dalam aktualisasi diri.

c) Individu-individu yang mengaktualisasikan diri adalah benar-benar diri mereka sendiri

Pengaktualisasi diri tidak tersembunyi dibalik topeng atau kedok yang berbeda-beda menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan diri mereka sendiri/menyembunyikan sebagian diri mereka. Pengaktualisasi diri bebas dari harapan-harapan dan rintangan-rintangan yang diberikan masyarakat atau orang tua mereka. Mereka telah mengatasi aturan-aturan tersebut. Akan tetapi individu yang mengaktualisasi diri ini tidaklah agresif atau dengan sengaja tidak konvensional dalam mencemoohkan aturan-aturan dari orang tua atau masyarakat. Mereka menyadari bahwa diri mereka dapat berfungsi sebagai individu-individu dalam sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari masyarakat.

c. Individu Yang Berfungsi Penuh (The Fully Functioning Person)

Rogers mengemukakan bahwa individu yang berhasil mengikuti tendensi aktualisasi ke arah aktualisasi diri, ia akan mengalami proses aktualisasi diri. Proses aktualisasi diri ini berlangsung menuju ke tujuan terakhir yaitu menjadi individu yang berfungsi sepenuhnya (dalam Schultz, 1991). Menurut Rogers (1961), individu yang berfungsi penuh (the fully functioning person) memiliki tiga karakteristik atau ciri, yaitu sebagai berikut:

1) Peningkatan Keterbukaan pada Pengalaman

Hal pertama pada proses menjadi individu yang berfungsi penuh yaitu melibatkan adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman. Individu yang


(44)

mengalami keterbukaan pada pengalaman berarti melawan kedefensifan. Kedefensifan merupakan respon organisme terhadap pengalaman-pengalaman yang dianggap sebagai sesuatu yang mengancam maupun tidak sesuai (inkongruen) dengan gambar diri individu, baik mengenai dirinya ataupun mengenai hubungannya dengan dunia luar. Individu telah mengantisipasi pengalaman yang mengancam tersebut. Hal itu terjadi karena individu mendistorsi atau menyangkalnya masuk ke kesadaran. Individu yang terbuka pada pengalaman akan sungguh dapat melihat secara akurat berbagai pengalaman, perasaan, dan reaksi-reaksi yang tidak sesuai dengan gambar diri yang telah dimilikinya. Proses keterbukaan pada pengalaman merupakan pengungkapan yang berkelanjutan (terus-menerus). Hal ini berarti bahwa individu dapat mengalami berbagai perasaan dan sikap yang selama ini tidak pernah mampu disadarinya atau tidak pernah ia terima sebagai milik dirinya.

Individu yang secara penuh terbuka pada pengalaman akan menerima setiap stimulus, baik yang berasal dari dalam organisme atau dari lingkungan. Stimulus-stimulus tersebut akan diterima dalam kesadaran tanpa terdistorsi oleh mekanisme subsepsi. Mekanisme subsepsi merupakan mekanisme ketidaksadaran yaitu organisme diperingatkan akan adanya pengalaman yang mengancam dirinya. Individu yang terbuka pada pengalaman akan menerima secara lengkap dalam kesadaran dan menghidupi setiap stimulus. Stimulus tersebut seperti warna, suara, kenangan masa lalu, ataupun sensasi kengerian, jijik, atau kesenangan.

Individu yang dapat menerima berbagai stimulus dari dalam dan luar dirinya, menjadi lebih mampu mengalami apa yang terjadi dalam dirinya. Ia


(45)

menjadi lebih terbuka pada rasa senang, kagum, kelembutan hati, ataupun keberaniannya. Ia bebas menghidupi perasaannya secara subyektif, sebagaimana perasaan-perasaan tersebut ada dalam dirinya. Hal ini mengarahkan individu menjadi semakin sadar atas perasaan-perasaan dan sikap-sikapnya sendiri, sebagaimana perasaan dan sikap tersebut muncul padanya di tingkatan organik. Ia juga makin sadar pada realitas sebagaimana keberadaan realitas yang ada di luar dirinya. Hal ini berarti bahwa individu tidak mempersepsi realitas secara a priori atau sesuai dengan apa yang sudah dipersepsikan sebelumnya.

Rogers juga mengungkapkan bahwa individu yang semakin memiliki keterbukaan pada pengalaman, ia akan jauh lebih realistik dalam berhadapan dengan orang-orang, situasi, dan berbagai masalah baru. Hal ini berarti bahwa kepercayaannya tidak kaku dan dapat mentoleransi ambiguitas. Individu juga dapat menerima berbagai pengalaman yang bertentangan dengan dirinya. Ia tidak memaksakan agar pengalaman yang dialami itu harus sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Keterbukaan kesadaran pada hal-hal yang terdapat dalam diri individu dan berada dalam situasi yang dihadapi saat ini merupakan sesuatu yang penting.

2) Peningkatan Hidup secara Eksistensial

Rogers mengungkapkan bahwa individu yang secara penuh terbuka pada pengalamannya akan melihat tiap momen sebagai sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Konsekuensi dari hidup penuh dalam momen yaitu individu akan menyadari bahwa “akan jadi apa saya di momen selanjutnya, dan


(46)

apa yang akan saya lakukan, tumbuh dari momen itu sendiri, tak akan dapat diramalkan, baik oleh saya ataupun oleh orang lain”.

Individu yang hidup dalam momen berarti bahwa diri dan kepribadian individu muncul dari pengalaman yang dialaminya. Pengalaman tersebut tidak disesuaikan dengan struktur dirinya. Individu menjadi partisipan dalam, pengamat dari, dan menjadi proses pengalaman organismik yang terus menerus. Individu yang hidup dalam momen berarti bahwa ia tidak kaku (rigid) atau tidak memiliki organisasi yang ketat, yang dipaksa masuk ke dalam pengalaman. Hal ini mengarahkan individu untuk memiliki kemampuan adaptif yang maksimum dan memiliki organisasi diri yang mengalir (Rogers, 1961).

Di sisi lain, kemampuan untuk bertahan dan penyesuaian diri individu juga didukung oleh adanya pengaruh kelompok minoritas terhadap mayoritas. Kenworthy & Miller (2001) mengungkapkan bahwa kelompok minoritas mempersepsikan bahwa mereka mendapatkan dukungan yang lebih besar dari kelompok mayoritas atas pandangan yang dimiliki meskipun pada kenyataannya dukungan tersebut tidak seperti yang mereka bayangkan. Meskipun demikian, hal itu berpengaruh positif bagi kelompok minoritas, yaitu berfungsi untuk meyakinkan kelompok minoritas agar bertahan pada kemungkinan situasi yang dihadapi (dalam Baron, 2005). Sejalan dengan kemampuan bertahannya suatu kelompok minoritas dalam lingkungan yang dihadapi, Sarwono (1978) dalam penelitiannya menemukan bahwa aktivis gerakan protes berjumlah sedikit. Menurut Sarwono, secara kuantitatif terdapat perbedaan jumlah yang mencolok antara aktivis gerakan protes dengan non aktivis. Dari 2500 responden penelitian,


(47)

diketahui kalau jumlah aktivis Gerakan hanya 5,4 %, sisanya adalah mahasiswa yang tergolong pemimpin dan non aktivis. Data penelitian ini menggambarkan bahwa aktivis gerakan merupakan kelompok minoritas di kampus (dalam Musa, 2006).

Di samping itu, kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri atas situasi yang dihadapi juga didukung adanya perasaan harga diri. Hal ini sesuai dengan Bednar, wells, & Peterson, (1989) & Lazarus (1991) yang mengungkapkan bahwa harga diri sering meningkat ketika individu berani mencoba menghadapi masalahnya, bukan menghindarinya. Hal ini berarti bahwa individu yang berani menghadapi masalah artinya ia tidak defensif atas pengalaman yang dihadapinya (dalam Santrock, 2002). Selain itu, rendahnya harga diri dapat menyebabkan masalah penyesuaian diri pada individu (Damon & Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter & Marold, 1992, Markus & Nurius, 1986, Pfeffer, 1986, dalam Santrock, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Snider & Miller (1993) juga mengungkapkan bahwa organisasi kepemudaan dapat memiliki pengaruh bagi perkembangan individu. Menurut Ericson (1982) terdapat lebih dari 400 organisasi kepemudaan di Amerika. Selanjutnya, Erikson menjelaskan secara khusus bahwa remaja yang tergabung dalam kelompok organisasi kepemudaan lebih mau berpartisipasi dalam aktivitas di masyarakat dan memiliki harga diri yang lebih tinggi di masa dewasanya dibandingkan dengan individu yang tidak mengikuti organisasi kepemudaan (dalam Santrock, 2003). Sejalan dengan adanya hubungan antara harga diri dengan keterlibatan individu dalam suatu komunitas juga didukung oleh hasil penelitian Boys and Girls Club’s of


(48)

American (1989) yang menunjukkan bahwa individu yang berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan secara regular, terlihat lebih berpartisipasi dalam aktivitas lingkungan masyarakat dan memiliki harga diri yang lebih tinggi (dalam Santrock, 2003).

Kemampuan penyesuaian diri tersebut juga mengarahkan diri individu untuk sanggup berubah. Individu yang mengalami peningkatan hidup secara eksistensial melibatkan pengungkapan struktur pengalamannya dalam proses menghidupi pengalaman. Ia tidak memaksakan evaluasi dan struktur a priori ke pengalaman yang dialami. Ia juga tidak memasukkan pengalaman agar sesuai dengan prekonsepsinya. Selain itu, individu tidak merasa terganggu saat aliran (fluiditas) pengalaman tak cocok dengan struktur prekonsepsi tersebut (Rogers, 1961).

3) Peningkatan Kepercayaan pada Organismenya

Rogers (1961) mengatakan bahwa individu yang mengalami peningkatan kepercayaan pada organisme berarti bahwa individu memiliki kepercayaan pada dirinya ketika memilih arah perilaku yang harus diambil di setiap situasi. Individu tidak mendasarkan arah perilakunya pada suatu prinsip pemandu atau hal-hal yang ditanamkan suatu kelompok atau institusi. Arah perilaku individu juga tidak berdasarkan pada penilaian orang lain atau pengalaman masa lalu saat berhadapan dengan situasi yang sama. Keterbukaan pada pengalaman menyebabkan individu memiliki peningkatan kepercayaan terhadap reaksi total organismiknya. Ketika menghadapi suatu situasi baru, individu yang cenderung terbuka pada pengalaman akan melakukan apa yang “dirasa benar”. Hal inilah yang terbukti sebagai


(49)

panduan kompeten dan dapat dipercaya dalam memilih perilaku yang paling memuaskan.

Individu yang sepenuhnya terbuka pada pengalaman akan memiliki akses ke seluruh data yang tersedia di suatu situasi. Data tersebut digunakan sebagai dasar perilakunya. Data ini dapat berupa tuntutan-tuntutan sosial, kebutuhan individu yang saling bertentangan, ingatan pada situasi yang sama, maupun persepsi individu akan keunikan situasi yang dihadapi. Individu tersebut memilih arah perilaku yang paling memuaskan kebutuhannya. Hal ini dilakukan dengan membiarkan organisme totalnya dan melibatkan kesadarannya untuk mempertimbangkan tiap stimulus, kebutuhan dan tuntutan, serta mempertimbangkan intensitas relatif dan nilai penting masing-masing.

Individu yang terbuka pada pengalaman akan menggunakan informasi yang sesuai situasi yang dihadapi. Individu tidak memperlakukan kenangan-kenangan dan hal-hal yang telah dipelajari sebagai kenyataan saat ini (yang sedang terjadi), tetapi sebagai data yang harus diolah. Ia juga tidak menghalangi pengalaman-pengalaman mengancam untuk masuk ke dalam kesadaran. Individu akan menemukan bahwa organismenya sungguh-sungguh dapat dipercaya. Hal ini terjadi karena seluruh data yang tersedia digunakan dan diolah berdasarkan bentuk akuratnya, bukan bentuk yang telah terdistorsi. Oleh karena itu, perilaku yang dipilihnya akan cenderung memuaskan semua kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk mengembangkan diri, berafiliasi dengan orang lain, dan lain sebagainya (Rogers, 1961).


(50)

Selain itu, Rogers (1961) juga mengatakan bahwa individu dalam proses mempertimbangkan arah perilakunya tidak akan melanggar organismenya. Proses tersebut akan selalu menghasilkan jawaban terbaik yang paling mungkin didapatkan atas seluruh data yang ada, walaupun kadang-kadang data tertentu juga dapat hilang. Akibat adanya unsur keterbukaan pada pengalaman, individu akan cepat mengoreksi tiap error (kesalahan) atau tiap hal yang terjadi karena arah perilaku yang tak memuaskan. Dengan demikian, proses pemilihan arah perilaku akan juga selalu mengalami proses pengkoreksian. Hal ini disebabkan karena apa yang dipilih individu akan diuji secara terus-menerus dalam perilaku nyata.

Individu yang semakin terbuka pada seluruh pengalamannya semakin mungkin percaya pada reaksi-reaksi yang dialami. Ketika individu merasa akan mengekspresikan kemarahan, ia akan mengekspresikan kemarahan itu dan merasakan bahwa ekspresi ini memuaskan. Keinginan mengekspresikan kemarahan ini juga sama hidupnya (sama adanya) dengan keinginan individu yang lain, seperti keinginan akan afeksi, afiliasi, atau berelasi. Individu merasa surprised (terkejut bercampur bahagia) dengan keterampilan intuitif yang dimiliki dalam menemukan solusi-solusi berperilaku untuk menghadapi berbagai masalah yang ada. Setelah itu, individu baru dapat menyadari bahwa reaksi inner tersebut bisa dipercaya dan dapat menghasilkan perilaku-perilaku yang memuaskan. Reaksi inner contohnya adalah dorongan sadar atau tidak sadar, dorongan emosional, psikomotorik, reflek, kognitif, maupun perasaan (Rogers, 1961).

Di samping itu, peningkatan kepercayaan pada organisme juga dapat didukung oleh kemampuannya dalam berpikir kritis. Hal ini diungkapkan oleh


(51)

Santrock (2002), bahwa berpikir kritis memampukan individu dalam menggali makna suatu masalah secara lebih mendalam dan berpikiran terbuka pada berbagai pendekatan dan pandangan yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan individu dapat menetapkan apa yang akan diyakini atau dilakukannya untuk dirinya sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri dalam mengambil suatu keputusan juga didukung oleh pengalaman. Jacobs & Potenza (1990) dan Keating (1990a) yang mengemukakan bahwa keluasan pengalaman ikut berperan dalam kemampuan individu mengambil keputusan sendiri.

Alur proses dari ketiga karakteristik individu yang berfungsi penuh (the fully functioning person) menurut Rogers di atas dapat digambarkan pada skema di bawah ini (halaman 34).


(52)

HE

(Peningkatan Hidup secara Eksistensial)

MH

DK

TK

KP (Peningkatan Keterbukaan pada

Pengalaman)

MA

MS

BMS

KO (Peningkatan Kepercayaan pd

Organisme)

PP


(53)

No Karakteristik Aktualisasi Diri

Indikator Keterangan

MA Melihat secara akurat berbagai pengalaman, perasaan, & reaksi-reaksi yang tidak sesuai dengan gambar diri individu, baik mengenai dirinya atau hubungannya dengan dunia luar

MS Menerima dalam kesadarannya setiap stimulus, baik yang berasal dari dalam organisme atau dari lingkungan.

1. KP: Peningkatan

Keterbukaan pada Pengalaman

BMS Bebas menyadari dan menghidupi pengalaman, perasaan & sikap secara subyektif atas apa yang sedang dialami.

MH Setiap momen kehidupan dilihat sebagai sesuatu yang baru dan berfokus pada masa sekarang

DK Diri dan kepribadian muncul dari pengalaman (menjadi partisipan dalam, pengamat dari, dan menyerahkan diri pada kemungkinan-kemungkinan yang sedang berkembang)

2. HE: Peningkatan Hidup

secara Eksistensial

TK Tidak kaku (rigid), sanggup berubah, dan adaptif atas pengalaman

PP Percaya atas penilaian-penilaian & keputusan yang akan diambil berdasar diri sendiri atas situasi yang dihadapi (independent & tidak menggantungkan pilihan hidup pada suatu peran atau pihak lain)

3. KO: Peningkatan

Kepercayaan pada

Organismenya PR Percaya pada reaksi-reaksi inner yang dialami & bersifat intuitif dalam menghasilkan perilaku-perilaku yang memuaskan untuk mengatasi masalahnya.

= menandakan satu rangkaian proses yang terjadi pada 1 karakteristik aktualisasi diri.

= menyebabkan terjadinya


(54)

Rogers (1961) mengemukakan bahwa tiap pandangan mengenai hal-hal yang ikut menentukan pergerakan ke arah the fully functioning person mengandung dua implikasi. Dua implikasi dari ketiga karakteristik yang telah disebutkan di atas, yaitu sebagai berikut:

1) Kebebasan

Implikasi pertama yaitu kebebasan, terkait dengan ‘kehendak bebas’. Individu bebas untuk menjadi dirinya sendiri atau bersembunyi di balik topeng, untuk bergerak maju atau justru mundur, untuk berperilaku yang merusak diri sendiri atau orang lain, atau menjadi bermanfaat, maupun bebas untuk mati atau hidup. Individu memilih arah perilaku yang paling efektif, baik ketika menghadapi stimulus internal (dari dalam individu) maupun eksternal (dari luar individu). Hal ini disebabkan karena perilaku itulah yang akan paling memuaskannya secara mendalam. Individu yang berfungsi penuh akan mengalami dan memanfaatkan kebebasan paling mutlak saat ia memilih atau menghendaki perilaku. Pemilihan perilaku ini dilakukan secara spontan, bebas, dan suka rela meskipun sebenarnya perilaku tersebut secara mutlak juga terdeterminasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa individu yang semakin berproses menuju the fully functioning person, ia akan semakin mengalami kebebasan dalam memilih. Pilihan individu tersebut akan semakin terimplementasi secara efektif dalam perilakunya.

2) Kreativitas

Rogers mengungkapkan bahwa individu yang bergerak ke arah the fully functioning person merupakan individu-individu yang kreatif. Keterbukaan


(55)

individu pada dunia dan kepercayaan pada kemampuannya dalam membentuk hubungan baru dengan lingkungan akan menjadikan individu itu sebagai individu yang kreatif. Individu tersebut tidak akan selalu harus ‘tersesuaikan’ ke dalam kebudayaannya. Pada tiap waktu dan tiap budaya, individu akan hidup secara konstruktif ataupun selaras dengan kebudayaannya. Meskipun demikian, hal itu seimbang dengan kebutuhan yang telah terpuaskan. Dalam beberapa situasi budaya, individu mungkin sangat tidak bahagia pada hal-hal tertentu, tapi ia akan terus bergerak maju menjadi dirinya sendiri. Individu akan berperilaku sedemikian rupa sebagai cara untuk menyediakan pemuasan maksimum bagi kebutuhan terdalamnya. Individu tersebut paling mungkin dapat beradaptasi dan bertahan di berbagai kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Individu juga akan mampu secara kreatif membuat penyesuaian yang benar pada kondisi-kondisi yang baru maupun yang lama.

Mihaly (1996) mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan tindakan atau produk yang merupakan perubahan dari suatu keberadaan tertentu dan membutuhkan usaha untuk melakukan perubahan tersebut. Perubahan ini dilakukan untuk melakukan penyesuaian diri. Piers (1970) juga mengemukakan bahwa ciri-ciri orang-orang kreatif diantaranya cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, tidak puas pada apa yang ada, percaya diri, otonom, bebas dalam pertimbangan, dan tertarik pada hal-hal yang kompleks (dalam Supriadi, 1994). Selain itu, Cashdan & Welsh (1966, dalam Supriyadi, 1994) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa siswa SMA yang kreativitasnya tinggi terlihat lebih mandiri dan mengusahakan perubahan dalam lingkungan, sedangkan siswa yang


(56)

kreativitasnya lebih rendah memiliki otonomi yang rendah dan kurang menonjolkan diri.

Dilihat dari segi peranan pengalaman belajar terhadap kemampuan individu dalam berperilaku kreatif, dapat terlihat bahwa perilaku kreatif juga dibantu oleh pengalaman keterlibatan individu dalam suatu organisasi. Salah satu hal yang didapatkan dari organisasi yaitu adanya budaya organisasi. Budaya organisasi terdiri dari asumsi-asumsi dasar yang dipelajari, baik sebagai hasil memecahkan masalah yang muncul dalam proses penyesuaian dengan lingkungan maupun organisasi itu sendiri (Schein, 1992, dalam Munandar, 2001). Sejalan dengan peranan pengalaman belajar individu terhadap kreatifitas juga didukung oleh Supriadi (1989) dalam studi terhadap para finalis dan pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa responden pemenang lomba lebih mempunyai pengalaman bermakna dan lebih beragam dibandingkan kelompok pembanding. Mereka juga lebih unggul dalam kegemaran membaca dan mengarang, serta keaktifan dalam organisasi. Pengalaman-pengalaman kehidupan responden diduga mampu menyebabkan mereka menjadi kreatif (dalam Supriadi, 1994).

Sejalan dengan karakteristik-karakteristik dan implikasi karakteristik individu yang berfungsi penuh menurut teori asli Rogers, Koeswara (1989), Schultz (1991), dan Cloninger (2004) juga mengemukakan bahwa karakteristik individu yang berfungsi penuh menurut Rogers ada lima, yaitu keterbukaan pada pengalaman, hidup secara eksistensial, adanya kepercayaan pada organismenya,


(57)

adanya kebebasan, dan kreativitas. Meskipun demikian, peneliti hanya menggunakan tiga karakteristik individu yang berfungsi penuh, yang mana menggunakan penjelasan teoritis berdasarkan pada teori asli Rogers (1961) agar tidak terjadi interpretasi yang berlebihan. Karakteristik tersebut yaitu adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan peningkatan kepercayaan pada organismenya.

3. Aktualisasi Diri atau Proses Menuju Individu Yang Berfungsi Penuh

(The Fully Functioning Person)

Rogers (dalam Schultz, 1991) mengungkapkan bahwa individu yang bertambah besar (usianya bertambah), akan mengalami perkembangan “diri”. Pada masa ini, aktualisasi individu akan berubah dari segi fisiologis ke segi psikologis atau berpusat pada kepribadian. Perubahan itu mulai pada masa kanak-kanak dan selesai pada akhir masa remaja. Setelah “diri” mulai muncul, maka tendensi aktualisasi akan mulai menjadi aktualisasi diri. Hal ini dapat dikatakan bahwa aktualisasi diri mulai berlangsung pada masa akhir remaja, lalu memasuki masa dewasa awal, dan akan terus berlangsung sampai sepanjang hidup individu. Aktualisasi diri merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus pada kehidupan setiap individu.

Rogers (1959) mengungkapkan bahwa diri merupakan bagian dari medan fenomenal yang terdeferensiasikan (pemisahan dari medan fenomenal). Diri berisi persepsi-persepsi (pola pengamatan dan penilaian sadar) tentang sifat-sifat dari diri subjek atau diri obyek dan tentang hubungan-hubungan antara diri


(58)

subjek atau diri obyek dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini (dalam Hall & Lindzey, 1993).

Rogers (1961) mengemukakan bahwa aktualisasi diri adalah suatu proses individu untuk menjadi diri sendiri, mengungkapkan potensi-potensi psikologis yang unik, dan berusaha ke arah pertumbuhan diri yang optimal sehingga menjadi individu yang berfungsi penuh (the fully functioning person). Individu yang mengaktualisasikan diri akan terlihat paling jelas ketika individu diamati dalam jangka waktu yang lama. Menurut Rogers, menjadi individu yang berfungsi penuh itu merupakan sesuatu yang utopis dan tidak akan pernah dicapai individu dalam kehidupannya. Individu yang ideal ini hanya akan menjadi arah hidup bagi seseorang. Individu dikatakan lebih baik apabila ia berusaha berproses untuk menuju menjadi individu yang ideal dibandingkan dengan individu yang tidak berproses (dalam Cremers, 1987). Individu yang mengalami proses aktualisasi diri menuju keberfungsian penuh inilah yang merupakan individu yang sehat.

Menurut Rogers (1961), proses pergerakan menjadi individu yang berfungsi penuh melibatkan tiga karakteristik yaitu adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman, peningkatan hidup secara eksistensial, dan adanya peningkatan kepercayaan pada organismenya. Karakteristik pertama yaitu adanya peningkatan keterbukaan pada pengalaman. Individu yang memiliki keterbukaan pada pengalaman tidak akan menolak atau mengantisipasi pengalaman-pengalaman yang dianggap mengancam. Pengalaman yang mengancam ini


(59)

dipahami sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran dirinya atau lingkungan di luar dirinya. Keterbukaan pada pengalaman menjadikan individu dapat melihat secara akurat berbagai pengalaman, perasaan, dan berbagai reaksi yang tidak sesuai gambar diri yang dimilikinya. Apabila individu telah mencapai keterbukaan terhadap pengalaman maka ia akan secara penuh terbuka untuk menerima setiap stimulus baik stimulus internal maupun eksternal, tanpa terdistorsi oleh mekanisme pertahanan apapun. Individu akan menghidupi semua stimulus yang ada pada dirinya dan akan menerimanya secara lengkap dalam kesadarannya. Individu yang terbuka pada pengalaman juga akan merasa bebas menghidupi perasaan, sikap, pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.

Karakteristik kedua dari proses menjadi individu yang berfungsi penuh menurut Rogers yaitu adanya peningkatan hidup secara eksistensial. Individu yang terbuka pada pengalamannya akan cenderung hidup secara penuh di setiap momen hidupnya. Individu mampu menganggap setiap momen tersebut sebagai sesuatu yang baru. Individu yang hidup dalam momen berarti bahwa ia tidak kaku dan akan membentuk diri dan kepribadiannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami dan dihidupinya. Ia akan rela menjadi suatu proses secara terus menerus atau menjadi partisipan dalam proses tersebut. Individu yang hidup dalam momen juga akan cenderung menjadi seseorang yang adaptif secara maksimum, menjadi organisme yang mengalir dan sanggup berubah.

Karakteristik ketiga yaitu adanya peningkatan kepercayaan pada organismenya. Kemampuan individu untuk terbuka pada pengalaman dan hidup secara penuh di dalam dan dengan setiap perasaan maupun reaksi-reaksinya akan


(60)

membuatnya mengindera seakurat mungkin terhadap situasi eksistensial yang dihadapi. Hal ini mengarahkan individu untuk menggunakan semua informasi yang dimiliki kemudian menggunakannya dalam kesadarannya. Setelah itu, individu akan mampu memilih secara bebas atas berbagai kemungkinan perilaku yang dianggap paling memuaskan saat ini. Pada keberfungsian ini, individu mampu menaruh kepercayaan lebih pada organismenya karena ia dapat secara penuh terbuka pada konsekuensi-konsekuensi atas setiap perilaku yang dilakukannya apabila perilaku tersebut terbukti kurang memuaskan.

Rogers (1961) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki keterbukaan pada pengalaman menjadi lebih mampu mengalami seluruh pengalamannya. Ia menjadi tidak lagi begitu takut pada perasaan-perasaannya dan lebih terbuka pada berbagai sumber. Ia juga terlibat secara penuh dalam proses “mengada” dan menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, individu akan realistis dan penuh bersifat sosial, hidup lebih penuh dalam momen saat ini serta akan belajar memaknai momen hidup yang sedang dialaminya. Pada akhirnya, individu akan menjadi organisme yang berfungsi secara penuh dan karena kesadaran akan dirinya sendiri yang mengalir bebas melalui keterlibatan dalam pengalamannya maka ia akan menjadi orang yang lebih berfungsi secara penuh.

Selain itu, Rogers (1961) mengatakan bahwa individu yang terbuka terhadap pengalaman akan memiliki kepercayaan pada kemampuannya dalam membentuk hubungan baru dengan lingkungannya. Hal ini akan membuat individu mampu menjadi individu yang hidup kreatif dan konstruktif dalam tiap momen hidupnya secara harmonis. Individu tersebut juga paling mungkin untuk


(61)

dapat beradaptasi dan survive (bertahan) dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Ia akan mampu membuat penyesuaian yang benar pada kondisi-kondisi yang baru maupun yang lama.

B. Aktivis Gerakan Mahasiswa

1. Pengertian Aktivis

Aktivis adalah orang-orang yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan atau perjuangan secara aktif atau agresif. Aktivis juga dapat diartikan sebagai penggerak (Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991). Mahasiswa adalah manusia yang sedang berkembang, yang mana pada masa ini memiliki energi yang lebih. Mahasiswa dapat melakukan banyak hal yang berkaitan dengan pengembangan potensi diri sampai pada aktivitas kekerasan. Mereka memiliki gaya yang selalu dinamis dan peran dalam setiap perubahan (Budyawan, 2003).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini aktivis diartikan sebagai mahasiswa yang melibatkan diri dalam kegiatan secara aktif untuk melakukan pengembangan potensi diri, bersifat dinamis, dan berperan dalam perubahan.

2. Gerakan Mahasiswa (GM)

a. Pengertian Gerakan Mahasiswa

Gerakan atau pergerakan adalah usaha atau kegiatan yang bergerak di lapangan sosial, politik, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996). Hal ini sejalan dengan pernyataan Hussain Muhammad (1986) yang


(62)

mengemukakan bahwa Gerakan Mahasiswa merupakan gerakan yang dapat digolongkan dalam gerakan sosial. Jeffrey Haynes (dalam Touraine, 1985) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan pelaku yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial atau politik. Gerakan sosial merupakan gerakan yang dibangun oleh mahasiswa yang mana memiliki bentuk tingkah laku dan budayanya sendiri. Gerakan Mahasiswa juga digerakkan oleh spirit atau semangat kepemudaan yang menyala-nyala dan sarat dengan ideologi tertentu (dalam Hasan, 2006).

Arbi Sanit (1999) mengemukakan bahwa Gerakan Mahasiswa mempunyai peranan yang sangat besar bagi masyarakat. Mahasiswa sebagai pelopor dalam setiap perubahan. Hal ini sangat didukung oleh sifat yang melekat pada diri mahasiswa yaitu kekritisan pemikirannya. Kekritisan mahasiswa, baik dalam pemikiran maupun tindakannya dapat menyadarkan hati nurani masyarakat. Meskipun demikian, terkadang apa yang dilakukan oleh mahasiswa tidak selamanya benar (dalam Hasan, 2006). Musa (2006) mengungkapkan bahwa Gerakan Mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan masyarakat. Gerakan Mahasiswa dibangun untuk meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Persoalan tersebut meliputi konteks lokal, nasional, maupun internasional.

Berdasarkan uraian di atas, Gerakan Mahasiswa dalam penelitian ini adalah kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang sosial, yang dilandasi semangat kepemudaan, ideologi, dan daya kritis untuk menyikapi berbagai


(63)

persoalan yang sedang dihadapi masyarakat (baik dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional). Gerakan ini bergerak untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat), memiliki cara tersendiri dalam perjuangannya, dan memiliki kepeloporan dalam setiap perubahan.

b. Tujuan Gerakan Mahasiswa

Jeffrey Haynes (dalam Touraine, 1985) mengatakan bahwa gerakan sosial atau Gerakan Mahasiswa bertujuan untuk menyerukan dan memadukan tuntutan mengenai perubahan tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa gerakan sosial berusaha menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan menafsirkan kembali norma dan memperbaiki lembaga-lembaga yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Selain itu, gerakan sosial juga berusaha menggerakkan kelompok-kelompok masyarakat yang dinilai tertindas atau tereksploitasi. Gerakan Mahasiswa sebagai gerakan sosial juga berusaha untuk mewujudkan kesadaran politik setiap individu dalam masyarakat demi menentang segala penindasan yang dilakukan oleh negara (dalam Hasan, 2006).

Tujuan Gerakan Mahasiswa yang lain adalah untuk mencerdaskan masyarakat, dalam arti agar masyarakat menyadari adanya kesalahan dalam sistem yang ada di negara kita. Pemerintah cenderung dinilai tidak berpihak pada masyarakat. Di samping itu, tujuan Gerakan Mahasiswa adalah menciptakan pemahaman agar mahasiswa (pemuda) menyadari bahwa kelas terdidik merupakan kelas menengah yang memiliki dua kemungkinan yaitu menjadi anggota negara atau lembaga negara atau kembali ke masyarakat (turun ke rakyat). Mahasiswa diharapkan menjadi intelektual organik yaitu menjadi


(64)

intelektual yang berpihak pada masyarakat. Intelektual organik merupakan intelektual yang mampu beradaptasi dengan realita kemasyarakatan yang dihadapi (Budyawan, 2003).

c. Aktivitas Gerakan Mahasiswa

Aktivitas Gerakan Mahasiswa sering terkait dengan kepentingan publik (memperjuangkan kepentingan publik atau rakyat) sehingga mendapat perhatian khusus dari publik dan media massa. Gerakan Mahasiswa memiliki aktivitas seperti berdiskusi, membuat petisi, demonstrasi, mogok, maupun terlibat dalam ruang ‘eksperimentasi’ sebagai media menyalurkan potensi dan kapasitas yang dimilikinya (http:/www.bigs.or.id/bujet/5-3/artikel4.htm). Aktivitas lain yang dilakukan oleh aktivis Gerakan Mahasiswa adalah melakukan advokasi atau pendampingan terhadap masyarakat seperti petani, buruh (misalnya buruh pabrik), dan Pedagang Kaki Lima (PKL) di daerah-daerah kasus. Mereka juga melakukan diskusi-diskusi atas suatu permasalahan sosial dan melakukan demonstrasi ketika terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan secara dialogis.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa aktivis Gerakan Mahasiswa (GM) adalah mahasiswa yang melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan yang bergerak di bidang sosial yaitu memperjuangkan kepentingan publik (rakyat), untuk melakukan pengembangan potensi diri, bersifat kritis, dinamis, dan berperan sebagai pelopor dalam perubahan menurut cara perjuangannya sendiri. Aktivitas aktivis tersebut seperti berdiskusi, membuat petisi, demonstrasi, mogok, dialog, maupun melakukan pendampingan


(1)

agamanya (memilih aliran keyakinan agama sendiri) 3. Mengambil keputusan sendiri

menjadi koordinator KOMIK, meskipun didukung oleh teman-temannya (keputusan menjadi koordinator Gerakan Mahasiswa di tangan sendiri)

meskipun tetap menerima masukan orang lain

(keputusan di tangan sendiri jika menghadapi masalah, masukan teman sebagai bahan pertimbangan)

1. Yakin pada penilaiannya atas esensi kuliah yang mana juga harus berbuat sesuatu (esensi pendidikan yang juga harus berbuat sesuatu)

1.Yakin pada penilaiannya bahwa di Indonesia banyak orang menuntut hak tanpa diikuti kewajiban sehingga ia mengkritisinya (penilaian atas keseimbangan hak dan

kewajiban Warga Negara Indonesia) situasi yang dihadapi (independent & tidak menggantungkan pilihan hidup pada suatu peran atau pihak lain))

2. Yakin pada penilaian dan keputusannya atas suatu hal, baik terkait dirinya ataupun realitas sosial, ekonomi, agama, politik.

2. Yakin pada penilaiannya terkait wajarnya kenaikan UMP bahwa gaji dosen/ guru tidak seimbang dengan jasanya membangun peradapan

(ketidakseimbangan penghargaan terhadap jasa profesi di dunia pendidikan)

2. Yakin pada penilaiannya bahwa agama itu bagian pembentuk identitas bukan sesuatu yang mutlak dan hanya akan mengkotak-kotakan sehingga ia

mengosongkan kolom agama KTP (identitas diri

seharusnya bukan

berdasarkan agama namun pendidikan seseorang)


(2)

3. Yakin pada penilaiannya bahwa wanita bisa menjadi pemimpin, tergantung kemampuan bukan aturan agama, sehingga bersedia jika dipimpin wanita (kesediaan dipimpin oleh pemimpin tanpa mempermasalahkan jenis kelamin/ gender, namun kapasitas seseorang)

3. Yakin pada penilaiannya dengan merasa mantap memilih berpergerakan dan fokus ke tugas organisasi karena itu merupakan pilihan hidupnya saat sebelum semester 8 (yakin memilih berpergerakan daripada relasi interpersonal dengan lawan jenis)

4. Yakin pada penilaiannya bahwa bapaknya adalah orang hebat, meskipun ada cemoohan tetangga sehingga ia tidak mengambil pusing (penilaian terhadap orang tuanya secara positif sehingga tidak

mempedulikan penilaian negatif dari orang lain)

4. Yakin pada penilaiannya bahwa masyarakat punya pemikiran sendiri untuk bertindak dalam suatu situasi sehingga ia membiarkan saja, namun tetap memberi

inspirasi agar masyarakat kritis (memberikan penyadaran pd masy atas situasi yang dihadapi dengan melakukan suatu hal ketika bencana alam).

(-) 1.Takut penilaian dan reaksi negatif orang lain.

1. Takut pada reaksi negatif: atas stigma komunis dari orang lain (takut mendapat stigma

komunis dari teman lain)

1. Takut penilaian negatif: ketakutan dinilai bodoh oleh orang lain jika

memperlihatkan kegagalan ke publik (takut dinilai bodoh oleh orang lain)


(3)

2. Takut penilaian negatif masyarakat atas status

sosialnya nanti (takut penilaian akan status sosial dari

masyarakat)

2. Takut reaksi negatif: ketakutan ditertawakan/ diejek teman sehingga mengalahkan relasi dengan lawan jenis (takut ejekan dari teman Gerakan Mahasiswa) 3. Takut reaksi negatif: mendapat

kecaman dari publik sehingga memilih menjadi dosen agar bebas bicara (takut reaksi verbal publik terkait profesi masa depannya)

3. Takut penilaian dan reaksi negatif orang lain: merasa malu nantinya sehingga tidak

menceritakan momen titik balik yang dinilai paling berkesan (takut dinilai negatif dari teman lain)


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA AKTUALISASI DIRI DENGAN KECANDUAN INTERNET PADA MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Hubungan Antara Aktualisasi Diri Dengan Kecanduan Internet Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 5 15

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Hubungan Antara Harga Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Mahasiswa Aktivis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 3 15

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Mahasiswa Aktivis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 1 17

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Mahasiswa Aktivis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

2 11 15

PENURUNAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA AKTIVIS MAHASISWA MELALUI Penurunan Prokrastinasi Akademik Pada Aktivis Mahasiswa Melalui Pelatihan Efikasi Diri.

0 1 18

PENURUNAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA AKTIVIS MAHASISWA MELALUI PELATIHAN EFIKASI DIRI Penurunan Prokrastinasi Akademik Pada Aktivis Mahasiswa Melalui Pelatihan Efikasi Diri.

0 1 11

PERILAKU DAMAI PADA MAHASISWA AKTIVIS Perilaku Damai Pada Mahasiswa Aktivis.

0 1 17

PERILAKU DAMAI PADA MAHASISWA AKTIVIS Perilaku Damai Pada Mahasiswa Aktivis.

0 0 19

Kata kunci: (prokrastinasi akademik, aktualisasi diri, mahasiswa)

0 2 10

Aktualisasi diri pada aktivis gerakan mahasiswa berdasarkan teori Carl Rogers - USD Repository

0 0 249