Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.

(1)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

PAHRURROZI

100302008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PAHRURROZI

100302008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PAHRURROZI

100302008

Skripsi Diajukan Sebagai Satu dari Beberapa Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.

Nama Mahasiswa : Pahrurrozi

NIM : 100302008

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut. M.Sc Ani Suryanti, S.Pi. M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Pahrurrozi

NIM : 100302008

menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Komunitas Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Januari 2015

Pahrurrozi NIM. 100302008


(6)

ABSTRAK

PAHRURROZI. Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan ANI SURYANTI.

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal. Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Keanekaragaman makrozoobentos dan pengukuran faktor fisika dan kimia merupakan salah satu parameter yang yang di ukur pada saat penelitian di Sungai Batang Gadis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014 di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dari hasil penelitian didapatan 5 kelas yaitu Gastropoda, Chaetopoda, Insect,Hirudinae dan Oligochaeta yang terdiri dari 13 genus makrozoobentos seperti Terebia, Sphaerium, Pila, Goniobasis, Pleurocera, Tryonia, Tubifex, Chironomus, Neophemera, Progompus, Macromia, Glossiponia dan Branchiura. Nilai kepadatan tetinggi didapatkan dari genus Tarebia sebesar 53,44 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun 3 dan terendah dari genus progompus dan glossiphonis masing-masing sebesar 0,22 ind/m2 yang ditemukan pada syasiun 1 dan 3. Nilai keanekaragaman (H) makrozoobentos tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,761.

Kata Kunci : Sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Keanekaragaman, Makrozoobentos.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Batu Loting, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 17 Januari 1992 dari Ayahanda Hamsyar dan Ibunda Bisma Nasution. Penulis merupakan anak ketiga dari enama bersaudara.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 147565 Batu Loting Mandailing Natal pada tahun 1998-2004, penulis meneruskan pendidikan menengah pertama dari tahun 2004-2007 di MTsN Negeri 1 Simpanggambir. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di MA Negeri 1 Simpanggambir dengan jurusan IPA pada tahun 2007-2010.

Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur (PMP) Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Kelas II Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara”, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayahanda Hamsyar dan Ibunda Bisma Nasution yang selalu memberi motivasi dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kakanda Syarifah Hannum dan Safrida Henni dan adinda Syahrur Rizki, Purnama Hairani dan Khoirur Rozak.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Pindi Patana, S.Hut. M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ani Suryanti, S.Pi. M. Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dan Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku sekretaris Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dan seluruh staf pengajar serta pegawai Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Terimakasih kepada Adzri Qori Nullah, Prasetia Ajitama, Achmad Taher Daulay, Adil Junaidi, Muhammad Irfan


(9)

Maulana, Hilman Zarkasih, Muhammad Fadli Lubis, Rizki Amalia Putri, Latifa Sari dan seluruh teman-teman seperjuangan di angkatan 2010 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang manajemen sumberdaya perairan.

Medan, Januari 2015


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT………... ii

RIWAYAT HIDUP………. iii

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR GAMBAR……… viii

DAFTAR TABEL……… . ix

DAFTAR LAMPIRAN……….... x

PENDAHULUAN Latar Belakang………. 1

Rumusan Permasalahan……… 2

Kerangka Penelitian ……… 4

Tujuan Penelitian……….. 4

Manfaat Penelitian……… 4

TINJAUAN PUTAKA Sungai……… 5

Makrozoobenthos……….. 6

Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos……... 8

Suhu…….………. 8

Disolved Oxygen (DO)……….. 9

Biochemical Oxygen Demand (BOD)……….. 9

Bahan Organik………...……… 10

pH………. 11

Substrat Dasar………... 11

Arus………... 12

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat……… 13

Alat dan Bahan………... .. 13

Prosedur Penelitian………... 14

Penentuan Stasiun………. 14

Stasiun I……… 14


(11)

Stasiun III………. 15

Metode Pengambilan Sampel……… 16

Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan……… 16

Metode Pengukuran……….. 17

Kepadatan Populasi (K)……… 17

Kepadatan Relatif (KR)……… 18

Frekuensi Kehadiran (FK)………. 18

Indeks Diversitas Shannon (H')……….… 19

Indeks Equitabilitas (E)……… 19

Analisis Data………... 20

HASIL DAN PEMBAHAN Hasil……….. 22

Klasifikasi Makrozoobentos………. 22

Ciri-ciri Makrozoobentos………. 23

Pengukuran Indikator Fisika dan Kimia Perairan……….. 39

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian……….. 30

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos……… 33

Pembahasan……… 34

Pengukuran Indikator Fisika dan Kimia Perairan……….. 34

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian……….. 49

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos……… 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 44

Saran………. 45 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian……… 4

2. Lokasi Penelitian………... 13

3. Tarebia………. 23

4. Sphaerium……… 24

5. Pila………... 24

6. Tubifex………. 25

7. Goniobasis……… 25

8. Pleurocera………. 26

9. Tryonia………. 26

10. Chironomus……… 26

11. Neophemera……… 27

12. Progomphus……… 27

13. Macromia………... 28

14. Glossiphonia……….. 28


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Metode Pengukuran Parameter Fisika, Kimia

Perairan……… 17

2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Batang Gadis Sumatera Utara. 22 3. Nilai Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan yang Diukur pada Setiap Lokasi Pengambilan Sampel……….. 29 4. Hasil Substrat yang Didapat pada Setiap Lokasi Pengambilan

Sampel……… 30

5. Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relative (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FR) Makrozoobentoz Pada Setiap

Stasiun Penelitian……… 31

6. Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobentos pada setiap stasiun


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bagan Kerja Pengukuran Kelarutan Oksigen (DO) ... 50

Lampiran 2. Bagan Kerja Pengukuran BOD5 ... 51

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuan Bahan Organik ... 52

Lampiran 4. Jenis Substrat Berdasarkan Segitiga Millar ... 53

Lampiran 5. Foto Kegiatan di Lapangan... 54

Lampiran 6. Foto Alat yang digunakan ... 56

Lampiran 7. Foto Bahan yang digunakan ... 59

Lampiran 8. Anggaran Biaya Penelitian ... 60

Lampiran 9. Jadwal Kegiatan ... 61


(15)

ABSTRAK

PAHRURROZI. Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan ANI SURYANTI.

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal. Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Keanekaragaman makrozoobentos dan pengukuran faktor fisika dan kimia merupakan salah satu parameter yang yang di ukur pada saat penelitian di Sungai Batang Gadis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014 di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dari hasil penelitian didapatan 5 kelas yaitu Gastropoda, Chaetopoda, Insect,Hirudinae dan Oligochaeta yang terdiri dari 13 genus makrozoobentos seperti Terebia, Sphaerium, Pila, Goniobasis, Pleurocera, Tryonia, Tubifex, Chironomus, Neophemera, Progompus, Macromia, Glossiponia dan Branchiura. Nilai kepadatan tetinggi didapatkan dari genus Tarebia sebesar 53,44 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun 3 dan terendah dari genus progompus dan glossiphonis masing-masing sebesar 0,22 ind/m2 yang ditemukan pada syasiun 1 dan 3. Nilai keanekaragaman (H) makrozoobentos tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,761.

Kata Kunci : Sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Keanekaragaman, Makrozoobentos.


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai merupakan suatu aliran air yang melintasi permukaan bumi dan membentuk alur aliran atau morfologi aliran air. Morfologi sungai menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik, hidrologi, sedimen) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Faktor yang berpengaruh pada morfologi sungai tidak hanya faktor biotik dan abiotik saja, namun juga campur tangan manusia dalam kehidupannya. Pengaruh campur tangan manusia ini dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang lebih cepat dari sebelumnya (Asdak, 2004).

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal. Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Aliran sungai ini melewati kawasan pemukiman, peternakan, persawahan, tambang pasir, taman wisata dan bendungan. Bendungan sungai selain digunakan untuk menahan arus juga dimanfaatkan untuk keperluan irigasi/pengairan, keberadaan bendungan ini diperkirakan akan merubah arus dan substrat perairan, sehingga akan mempengaruhi organisme yang hidup di substrat.

Makrozoobentos adalah organisme yang hidup dan tinggal di endapan dasar perairan, baik yang ada di atas maupun yang ada di bawah sedimen, hidup sesil, merayap, atau menggali lubang. Makozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat, ukurannya besar sehingga mudah untuk


(17)

diidentifikasi dan habitatnya di dalam dan di dasar perairan, sehingga sifat yang demikian akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos (Odum, 1994).

Kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos sangat dipengaruhi oleh toleransi, aktivitas dan sensitivitas tehadap perubahan lingkungan. Kisaran toleransi makrozoobenthos terhadap lingkungan adalah berbeda-beda (Marsaulina, 1994 diacu oleh Yeanny, 2007).

Penelitian tentang keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang Gadis masih sangat sedikit, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang “Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara”.

Rumusan Permasalahan

Sungai Batang Gadis merupakan pertemuan antara dua sungai besar yaitu Sungai Ulu Pungkut dan Sungai Lahantan. Berbagai aktivitas masyarakat dilakukan di sepanjang aliran sungai Batang Gadis seperti mandi, cuci dan kakus (MCK), kegiatan peternakan dan pertanian. Terdapat bendungan pada aliran sungai Batang Gadis tepatnya di Desa Aek Godang Kecamatan Panyabungan Barat, keberadaan bendungan ini diperkirakan akan merubah substrat dasar dan arus sungai. Aktivitas masyarakat dan keberadaan bendungan pada aliran sungai Batang Gadis dapat mempengaruhi faktor fisika dan kimia perairan sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi komunitas makrozoobenthos pada lokasi tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana komunitas makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara?


(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunitas makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai komunitas makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Mandailing Natal.

2. Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya maupun instansi yang membutuhkan.

Kerangka Pemikiran

Sungai merupakan perairan lotik yang sangat berperan penting dalam kehidupan makhluk hidup baik manusia maupun organisme yang hidup di dalamnya termasuk makroozoobenthos. Makrozoobenthos merupakan salah satu organisme akuatik yang menetap di dasar perairan yang memiliki pergerakan relatif lambat. Aliran sungai Batang Gadis terdapat bendungan yang digunakan untuk meningkatkan muka air. Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk (PP No. 37 Tahun 2010).

Adanya bendungan di Sungai Batang Gadis akan mempengaruhi substrat dasar serta arus sungai. Aliran sungai yang berada sebelum bendungan memiliki jenis substrat pasir berbatu, aliran sungai yang tepat pada bendungan bersubstrat lumpur dan aliran sungai yang berada setelah bendungan bersubstrat pasir berbatu.


(19)

Perubahan substrat dan arus diduga akan mempengaruhi komunitas makrozoobenthos. Kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sungai

Bendungan

Substrat

Lumpur Batu Berpasir

Komunitas Makrozoobenthos

Arus


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Sungai

Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehinggga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan. Perairan sungai mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Junaidi dkk.,2010).

Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktivitas dan perilaku penghuninya (Wiwoho, 2005).

Sungai berperan sebagai jalur transportasi terhadap aliran permukaan yang mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat. Sungai merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme akuatik yang memberikan gambaran kualitas dan kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat didalamnya termasuk terhadap perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (Barus, 2004). Makrozoobenthos

Makrozoobenthos adalah salah satu organisme akuatik menetap di dasar perairan yang memiliki pergerakan relatif lambat (Zulkifli dan Setiawan, 2011).


(21)

Makrozoobenthos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran makrozoobenthos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan tertentu (Petrus dan Andi, 2006 diacu oleh Purnami dkk., 2010). Menurut Barnes (1980) diacu oleh Ruswahyuni (2010) Hewan makrozoobenthos mendapatkan makanan dari dua bagian yaitu mikroalga benthik dan guguran dasar atau detritus yang suatu saat juga dapat tersuspensi oleh adanya pergerakan air.

Makrozoobentos merupakan zoobenthos berukuran lebih dari 1 mm. makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm saat pertumbuhannya maksimum. organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Moluska, Nematoda dan Annelida (Suartini dkk., 2006).

Habitat makrozoobenthos dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu infauna dan epifauna. Infauna adalah makrozoobenthos yang hidupnya barada di dalam substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut hidup sesil. Sedangkan epifauna adalah makrozoobenthos yang hidup di permukaan dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan sedimen yang lunak atau menempel pada substrat yang keras (Nybakken, 1992).

Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai biota kunci dalam jaring makanan, dan berfungsi sebagai degradator bahan organik . Kondisi tersebut menjadikan biota makrozoobentos memiliki fungsi sebagai penyeimbang


(22)

kondisi nutrisi lingkungan dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi lingkungan diwilayah perairan (Andri dkk., 2012).

Makrozoobenthos memiliki sifat istimewa di mana kondisi makroskopisnya memungkinkan untuk digunakan sebagai biomonitor. Beberapa jenis dari makrozoobentos salah satunya berasal dari kelas gastropoda diketahui memiliki peran sebagai bioremidiator lingkungan dengan salah satunya ditunjukkan dengan kemelimpahan jumlah/kerapatan untuk sepesies tertentu pada perairan tercemar Selain itu makrozoobenthos juga efektif sebagai bioindikator dikarenakan memiliki respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Indrowati dkk., 2012).

Makrozoobenthos umumnya sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makrozoobenthos ini sering dijadikan sebagai indikator biologis di suatu perairan karena cara hidupnya, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi diantara spesies di dalam lingkungan perairan. Kelebihan penggunaan makrozoobenthos sebagai indikator pencemaran adalah karena :

1. Mudah ditemukan di habitat perairan.

2. Jumlahnya sangat banyak pada lingkungan yang berbeda jenis benthos yang hidup berbeda pula.

3. Perpindahan atau mobilitasnya sangat terbatas (immobil), sehingga mudah diawasi.

4. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan dan diidentifikasi. 5. Pengamatan dapat dilakukan lebih cepat dengan peralatan sederhana.


(23)

6. Benthos adalah konsumsi sebagaian besar ikan, sehingga perubahan pada komunitas benthos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di perairan (Nugroho, 2006).

Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos

Menurut Nybakken (1992) faktor fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi, oleh karena itu selain malakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobenthos, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor fisik-kimia perairan karena antara faktor saling berinteraksi. Faktor fisika dan kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos di antaranya adalah sebagai berikut.

Suhu

Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis dan fisiologis di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat (Sastrawijaya, 2000).

Organisme air mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap nilai suhu air. Organisme mempunyai kisaran toleransi yang luas (euryterm) dan ada jenis yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit (stenoterm). Suhu juga sangat mempengaruhi laju pertumbuhan dari organisme air. Laju pertumbuhan pada benthos umumnya akan berlangsung selama 3 minggu pada suhu 15°C, sedangkan pada suhu 24°C berlangsung hanya dalam waktu 1 minggu saja.


(24)

Kenaikan suhu air yang demikian akan berakibat pada percepatan masa perkembangan hewan sampai 3 kali lipat (Barus, 2004).

Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting dalam ekosistem perairan terutama untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organnisme air (Barus, 2004).

Oksigen terlarut didalam air dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan air dan udara yang masuk melalui proses difusi yang secara lambat menembus permukaan air. Kelarutan oksigen di dalam air bergantung pada keadaan suhu, pegolakan di permukaan air, luasnya permukan air yang terbuka bagi atmosfer dan persentase oksigen di udara sekelilingnya (Sinaga, 2009).

Menurt Sastrawijaya (1991) kehidupan oganisme dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal sebanyak 5 mg/l seta selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemaran, temperatur dan sebaliknya.

Biochemical Oxigen Demand (BOD)

Nilai BOD (Biochemichal Oxgen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisma aerobi dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20°C. Untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisma membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran, beberapa hasil penelitian diketahui bahwa pengukuran 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah


(25)

mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah setelah 5 hari (BOD5). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme anaerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut dan tersedianya jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian (Barus, 2004).

Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai

5 ml/l O2 maka perairan tersebut tergolong baik apabila konsumsi O2 berkisar 10

ml/l-20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang

tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower dkk., 1990).

Bahan Organik

Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari dekomposisi organisme yang masuk ke sungai. Substrat yang kaya bahan organik dapat melimpahkan hewan bentos yang didominasi oleh deposit feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut. Substrat dasar perairan berupa batuan-batuan didominasi oleh makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Substrat dasar perairan yang lunak dan selalu berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk berlindung. Substrat berpasir biasanya kandungan oksigennya lebih tinggi dibandingkan dengan substrat yang lebih halus, hal ini disebabkan pada substrat yang ukuran partikelnya lebih besar akan memungkinkan terjadinya pertukaran air


(26)

yang lebih intensif, pertukaran air ini akan mengakibatkan terjadinya distribusi oksigen kandungan oksigen terlarut lebih tinggi (Setiawan, 2008).

pH

Derajat keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang hidup di suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam beberapa faktor yaitu : kondisi gas-gas dalam air seperti CO2, konsentrasi

garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan (Sutika, 1989).

Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

Substrat Dasar

Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka


(27)

pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Koesoebiono, 1979).

Substrat batu menyediakan tempat bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang bergerak sebagai tempat perlindungan dari predator. Substrat dasar yang halus seperti lumpur, pasir dan tanah liat menjadi tempat makanan dan perlindungan bagi organisme yang hidup di dasar perairan (Lailli dan Parsons, 1993 diacu oleh Sinaga, 2009). Dasar perairan yang berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos (Koesoebiono, 1979). Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos sehingga bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar (Odum, 1994).

Arus

Arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran yang deras, kecepatan arus mempengaruhi keadaan substrat dasar yang merupakan faktor yang sangat

menentukan komposisi hewan benthik. Substrat berbatu dapat menyediakan

permukaan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos (Simamora, 2009). Kecepatan arus air dari suau badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut, penyebaran organisme paling ditentukan oleh aliran air. Tingkah laku hewan air juga ikut ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap terhadap kelarutan udara dan garam-garam dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air (Suin, 2002).


(28)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan juni 2014 dengan tiga kali pengambilan sampel dan interval waktu pengambilan 2 minggu. Identifikasi jenis makrozoobenthos akan dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengukuran Bahan Organik dan Substrat akan dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 2. Lokasi Tempat Penelitian

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah : keping sechii, Eckman Grabb, surber net, Termometer, pH meter, GPS (Global Positioning


(29)

System), Kantong plastik, pinset, baki, pipet tetes, botol sampel, ember plastik, plastik bening, saringan bertingkat, ketas label, kamera digital, buku identifikasi, alat tulis, meteran rol, botol BOD, bola pelampung, stop watch, tali penduga, peralatan titrasi, tali meteran, books pendingin. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel makrozoobenthos, aquades, es batu untuk mengawetkan substrat formalin 10%, alkohol 70%, air, tissue dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air adalah bahan kimia untuk titrasi adalah MnSO4 KOH-KI H2SO4

Na2S2O3 dan lain-lain.

Prosedur Penelitian Penentuan Stasiun

Stasiun pengambilan sampel ditentukan dengan metode Purposive Random Sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun. Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 3 stasiun dan masing-masing stasiun dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Lokasi stasiun sebelum bendungan pada bendungan dan sesudah bendungan. Jarak antara stasiun satu ke stasiun dua 2 km dan dari stasiun dua ke stasiun tiga 3 km.

a. Stasiun 1

Stasiun ini terletak di Desa Sipapaga, Kecamatan Panyabungan Barat, Kota Panyabungan. Stasiun ini berada sebelum bendungan yang secara geografis terletak pada 0004736,66’’ LU 990 3459,82’’ LS. Lokasi ini memiliki substrat berupa pasir berbatu. Aktivitas yang ada pada stasiun 1 adalah pemukiman dan perkebunan, lokasi stasiun 1 dapat dilihat pada Gambar 3.


(30)

Gambar 3. Stasiun 1 b. Stasiun 2

Stasiun ini terletak di Desa Aek Godang, Kecamatan Panyabugan Barat, Kota Panyabungan. Stasiun ini berada pada bendungan yang secara geografis terletak pada 00°48'21,96'' LU 99°3414,16'' LS. Lokasi ini mempunyai substrat lumpur. Aktivitas yang ada pada stasiun 2 adalah bendungan, wisata dan pemukiman.Lokasi stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gamabar 4. Stasiun 2 c. Stasiun 3

Stasiun ini terletak di Desa Aek Godang, Kecamatan Panyabugan Kota, Kota Panyabungan. Stasiun ini berada sesudah bendungan yang secara geografis terletak pada 00°5225,2'' LU 99°3110,02'' LS. Lokasi ini mempunyai substrat


(31)

batu berpasir (kerikil). Aktivitas yang ada pada stasiun 3 adalah pemukiman, perkebunan, dan galundung. Lokasi stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Stasuin 3

Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan Eckman grabb dan surber net. Pengambilan sampel dengan Eckman grabb digunakan pada lokasi yang dengan substrat lumpur dan pasir, sedangkan pengambilan sampel dengan menggunakan surber net dilakukan pada lokasi dengan substrat berbatu. Pengambilan sampel dengan Eckman grabb dilakukan dengan cara menurunkannya hingga ke dasar sungai dengan kondisi terbuka, pada saat mencapai dasar sungai tali ditarik sehingga Eckman grabb menutup bersama dengan masuknya substrat, sedangkan pengambilan sampel dengan menggunakan surber net dilakukan dengan meletakkan surber net di dasar sungai, kemudian substrat dikeruk sehingga makrozoobenthos masuk ke dalam jaring.

Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan metode hand sorting dengan bantuan ayakan/saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dibersihkan dengan air dan direndam dengan formalin 10% selama 1 hari, kemudian dicuci dan dikeringkan, selanjutnya sampel dimasukkan kedalam botol sampel yang


(32)

telah diisi alkohol 70% sebagai pengawet, lalu diberi label sebagai tanda. Sampel dibawa ke laboratorium Terpadu Fakultas Petanian Sumatera Utara untuk diidentifikasi.

Metode Pengukuran Kepadatan Populasi (K)

Kepadatan populasi merupakan jumlah individu dari suatu spesies yang terdapat dalam satu satuan luas atau volume. Penghitungan kepadatan populasi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Brower dkk. (1990) sebagai berikut:

K = Jumlah individu suatu jenis Luas Area

Kepadatan Relatif (KR)

Perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan seluruh individu yang tertangkap dalam suatu komunitas, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Brower dkk. (1990) sebagai berikut:

KR = Ni

Σ N

x 100%

Keterangan :

KR : Kelimpahan Relatif

Ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah individu seluruh spesies Frekuensi Kehadiran (FK)

Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies dalam sampling plot yang ditentukan, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut :

FK =

Jumlah titik yang ditempati suatu jenis


(33)

Keterangan nilai FK : 0-25% = Sangat Jarang 25-50% = Jarang

50-75% = Sering

>75% = Sangat Sering Indeks Keanekaragaman (H')

Indeks keanekaragaman menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis agar mempermudah menganalisis informasi jumlah individu masing-masing jenis pada suatu komunitas. Untuk itu dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut :

H’ =− ∑�=1 ������ Keterangan :

H' = Indeks Diversitas

pi = Jumlah individu masing-masing jenis (i=1,2,3,..)

s = Jumlah jenis Ln = Logaritma nature

Pi = ∑ ��/� (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

Keterangan nilai H' :

0 < H' < 2,302 = Keanekaragaman rendah 2,302 < H' < 6,907 = Keanekaragaman sedang H' > 6,907 = Keanekaragaman tinggi Indeks Keseragaman (E)

Untuk mengetahui keseimbangan komunitas digunakan indeks keseragaman, yaitu kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu


(34)

komunitas. Semakin mirip / sama besar jumlah individu antar spesies (semakin merata penyebarannya) maka semakin besar derajat keseimbangan komunitas, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut:

E = H′

H′maks Keterangan :

E = Indeks Keseragaman

H = Indeks diversitas Shannon-Wienner H' max = Keanekaragaman spesies maximum Keterangan nilai E:

0–1 atau mendekati 1 = penyebaran merata dan keseragaman rendah >1 = penyebaran tidak merata dan keseragaman tinggi Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Alat dan metode pengukuran parameter fisika kimia perairan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Metode Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Satuan Metode Keterangan

Fisika

Suhu O C Pemuaian in situ

Arus m/s Bola Penduga in situ

Kedalaman m Tongkat Penduga in situ

Kecerahan m Secchi Disk in situ

Subtrat - Segitiga Millar **** ex situ

Kimia

pH - pH meter in situ

DO mg/l Metode Winkler * ex situ

BOD5 mg/l Metode Winkler ** ex situ

Bahan Organik mg/l Metode Analisis Abu *** Laboratorium Keterangan:

* : Lampiran 1 ** : Lampiran 2 *** : Lampiran 3 **** : Lampiran 4


(35)

Analisis Data Deskriptif

Data lapangan yang didapatkan meliputi faktor fisika dan kimia perairan, data makrozoobenthos yang diperoleh dari hasil penghitungan data kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas shennon, dan indeks equitabilitas dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang berfungsi untuk mendeskriptifkan atau memberi gambaran terhadap objek yang di teliti melalui data atau sample yang telah terkumpul sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiono, 2009).


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Klasifikasi Makrozoobentos

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh klasifikasi makrozoobentos yang didapatkan pada lokasi penelitian terdiri dari 13 genus dalam 4 kelas yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Batang Gadis Sumatera Utara

Kelas Ordo Famili Genus

Chaetopoda Oligochaeta Tubificidae Branchiura

Tubifex Gastropoda Archacegastropoda Helicidae Pila

Heterodonta Sphaeriidae Sphaerium

Thiaridae Tarebia

Mesogastropoda Pleuroceridae Goniobasis Pleurocera Neotaenioglossa Hydrobiidae Tryonia Hirudinae Rhynchodelida Glossiponiidae Glossiponia

Insekta Diptera Chironomidae Chironomus

Ephenoptera Neophemeridae Neophemera

Odonata Gamphidae Progomphus

Macromidae Macromia

Ciri Morfologi

Berdasarkan hasil identifikasi makrozoobentos dengan menggunakan buku acuan Pennak (1978), Mc Caperty (1983) dan Edmondson (1963) didapatkan ciri morfologi makrozoobentos yang didapatkan pada lokasi penelitian sebagai berikut:

a. Tarebia

Genus ini memiliki ukuran tubuh berkisar 5 – 25 mm dengan memiliki dua bentuk warna yaitu satu memiliki cokelat pucat pada lingkaran cangkangnya serta


(37)

berwarna gelap dipuncak cangkangnya dan pada cangkang sepenuhnya berwarna coklat tua sampai hampir hitam, sampel Tarebia dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tarebia b. Sphaerium

Genus ini kebanyakan hidup di laut dan beberapa hidup di air tawar, memiliki ukuran tubuh berkisar antara 1 – 2,5 cm, memiliki cangkang yang terdiri dari 2 keping atau 2 valve, cangkang pipih, simetri, bilateral, berwarna kuning dengan bercak-bercak hitam, sampel Sphaerium dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sphaerium c. Pila

Genus ini memiliki ukuran tubuh berkisar antara 3 – 10 cm, bagian atas cangkangnya pendek sedangkan bagian bawahnya membengkak serta warna tubuh kuning kecoklatan, cangkang besar, memiliki 4 garis bertautan, celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul, sampel Pila dapat dilihat pada Gambar 8.


(38)

Gambar 8. Pila d. Tubifex

Cacing air ini memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, memanjang dengan panjang tubuh berkisar antara 1 – 3 cm yang terdiri dari 76 – 85 segmen atau cincin dengan diameter tubuh berkisar antara 1 – 2 mm, pada segmen tubuh terdapat setae bersifat hermaprodit, reproduksi secara seksual. Cacing ini hidup di dasar perairan dengan membuat tabung, sampel Tubifex dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Tubifex e. Goniobasis

Ukuran tubuh berkisar antara 2 – 3 cm, tipe cangkang memanjang, berwarna coklat dengan garis-garis coklat, cangkal kecil, bagian permukaan cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan, celah mulut sempit tipe apeks tumpul, sampel Goniobasis dapat dilihat pada Gambar 10.


(39)

Gambar 10. Goniobasis f. Pleurocera

Ukuran tubuh berkisar antara 3 – 3,5 cm, tipe cangkang memanjang, memiliki 8 garis bertautan, cangkangnya berwarna hitam, tebal dan pada bagian permukaan bergelombang, bagian apeks meruncing, celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul, sampel Pleurocera dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pleurocera g. Tryonia

Ukuran tubuh berkisar antara 5,75 – 6,50 mm dengan tinggi 3,45 – 4,80 mm, lebar 1,56 – 1,90 mm, tinggi lingkaran tubuh 1,83 – 2,29 mm, lebar lingkaran tubuh 1,46 – 1,82 mm, tinggi lubang 1,06 – 1,29 mm, lebar lubang 0,86 – 1,06 mm dan rata-rata jumlah ulir 5 – 7 Hershler, dkk (2011), sampel Tryonia dapat dilihat pada Gambar 12.


(40)

Gambar 12. Tryonia

h. Chironomus

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 5 cm, bagian kepala terdiri dari tiga segmen dan perut. Seluruh luasan kepala mengeras terdiri dari kapsul. Bagain tubuh yang termasuk struktur kepala adalah antena, rahang, dan mulut. Bagian kaki tidak sejati dan terdapat dua pasang tubulus pada again anal. Tubuh lunak, memanjang bagian permukaan tubuh licin, sampel Chironomus dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Chironomus i. Neophemera

Genus ini memiliki panjang tubuh 2 – 3 cm, jumlah kaki ada 3 pasang, sepasang antenna, sepasang circus, terdapat bintik hitam pada seluruh tubuh,


(41)

warna tubuh coklat, metamorphosis tidak sempurna dan nimfa ini di akuatik, sampel Neophemera dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Neophemera j. Progomphus

Genus ini memiliki panjang tubuh 2 – 4 cm, jumlah kaki ada dua pasang, memiliki mata majemuk, terdapat garis pada tubuhnya. Tubuhnya berwarna coklat, tipe mulutnya menguyah, terdapat ekor yang disebut cerci, sampel Progomphus dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Progomphus k. Macromia

Ciri morfologi genus ini diantaranya kepala dengan luas di seluruh mata 7,3 mm dengan warna hijau tua, labium dengan warna coklat kekuningan, mentum dan squame dengan warna dasar kuning, rahang yang menyatu dengan asal berwarna kuning coklat mengkilap. Dada berwarna hijau gelap dengan garis


(42)

kuning sampai bagian posterior. Kaki berbentuk panjang dan ramping dengan warna hitam atau coklat kehitaman, ujung again kaki berwarna coklat pucat, lateral dengan permukaan otot coklat gelap dan kuning, sampel Macromia dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Macromia l. Glossiphonia

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 7 cm, tubuh lunak, licin, memanjang dan berukuran sedang, sampel Glossiphonia dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Glossiphonia m. Branchiura

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 9 cm, bentuk tubuh memanjang, permukaan tubuh berlendir, tubuh memiliki segmen, mulut yang kecil, sampel Branchiura dapat dilihat pada Gambar 18.


(43)

Gambar 18. Branchiura

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) makrozoobentos pada setiap stasiun penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) makrozoobentos pada setiap stasiun penelitian

Jenis

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

K KR (%) FK (%) K KR (%) FK (%) K KR (%) FK (%)

Makromia 0,33 2,20 22,22 0,18 0,67 11,11 0,44 0,63 22,22

Tarebia 6,0 39,70 66,66 - - - 53,44 76,47 88,88

Goniobasis 3,77 25 55,55 2,21 8,05 22,22 7,44 10,65 100

Tubifex - - - 11,80 42,95 66,66 - - -

Pleurocera 3,33 22,05 66,66 1,29 4,69 22,22 7,77 11,12 55,55

Pila - - - 1,66 6,04 22,22 - - -

Tryonia - - - 2,95 10,73 33,33 - - -

Banchiura - - - 2,21 8,05 33,33 - - -

Glossiphonia 0,22 1,47 22,22 0,18 0,67 11,11 - - -

Chironomus - - - 4,79 17,44 33,33 - - -

Neophemera 1,44 9,55 22,22 - - - 0,55 0,79 11,11

Sphaerium - - - 0,18 0,67 11,11 - - -

Progompus - - - 0,22 0,31 11,11

Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobentos pada setiap stasiun penelitian disajikan pada Tabel 4.


(44)

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Indeks Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Keanekaragaman Shannon-Wiener (H)

1,35 1,709 0,767

Keseragaman (E) 0,753 0,742 0,428

Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata parameter fisika kimia perairan yang disajikan pada Tabel 5 dan hasil analisis jenis substrat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan yang Diukur pada Setiap Lokasi Pengambilan Sampel

Tabel 6. Analisis Jenis Substrat

Substrat Parameter Tekstur Hydrometer

Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tekstur

Stasiun I Tepi Kanan Tepi Kiri Tengah 91,12 91,12 9,12 0,56 0,56 0,56 8,32 8,32 8,32 P P P Stasiun II Tepi Kanan Tepi Kiri Tengah 9,12 72,12 89,12 0,56 18,56 2,56 0,32 9,32 8,32 P LP PL Stasiun III Tepi Kanan Tepi Kiri Tengah 9,12 90,12 91,12 0,56 1,56 0,56 8,32 8,32 8,32 P P P Keterangan :

Lempung berpasir : LP

Pasir : P

Pasir berlempung : PL

Parameter

Stasiun

I II III

U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 Suhu (oC) 23 24 24 28 25 23 24 25 25 Arus (m/s) 0,5 0,55 1 0,083 0,16 0,22 0,13 0,26 0,71 Kedalaman (m) 1-1,5 1-1,5 1,2 1-2 1 1-2 1,5 2 2-3 Kecerahan(cm) 40-60 10-30 30-50 20-60 10-30 10-20 60 30 60-80 pH 6,4 6,7 6,7 8,4 7,1 7,8 5-6 6-7 6-7 DO (mg/l) 4,4 5,8 4,8 4 4,2 4 4,6 4,2 4,2 BOD5 (mg/)l 1,2 0,8 0,6 1,6 0,4 1,4 1,4 1,2 1,8 Bahan Organik (%) 0,37 0,17 0,49 0,45 0,44 0,21 0,35 0,08 0,18


(45)

Pembahasan

Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil pada Tabel 3 didapatkan bahwa pada stasiun 1 diperoleh nilai kepadatan populasi tertinggi sebesar 6,0 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi terdapat pada genus Tarebia sebesar 39,70% dan nilai fekuensi kehadiran tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tarebia dan Pleurocera. Hasil analisis substrat pada Tabel 6 menampilkan stasiun 1 memiliki substrat pasir. Kondisi lapangan pada stasiun 1 menunjukkan tipe substrat stasiun 1 merupakan daerah bebatuan kerikil dan sedikit berlumpur. Tarebia merupakan genus yang masuk ke dalam kelas Gastropoda yang menyukai substrat bebatuan, kerikil dan sedikit berlumpur. Hal ini sesuai dengan Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi organisme ini cenderung menyukai subsrat dasar pasir dan sedikit berlumpur. Kondisi ini yang menyebabkan Tarebia dapat berkembangbiak secara baik dan melimpah pada stasiun 1 karena substrat pada lokasi terseut sesuai dengan kebutuhan hidup Tarebia.

Nilai kepadatan populasi terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Glossiphonia, nilai kepadatan relatif terendah terdapat pada genus Glossiphonia dengan nilai sebesar 1,47% dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 22,22% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Neophemera. Keberadaan Glossiphonia yang termasuk lintah di stasiun ini sangat sedikit dikarenakan kecepatan arus pada lokasi ini paling cepat dibandingkan stasiun lainnya. Menurut


(46)

Siahaan (2012) Glossiphonia yang termasuk lintah merupakan makrozoobenthos yang hidup pada kondisi arus yang tenang dan lambat serta perairan yang dangkal.

Nilai kepadatan populasi tertinggi pada stasiun 2 terdapat pada genus Tubifex dengan nilai sebesar 11,80 ind/m2, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 42,95% terdapat pada genus Tubifex dan nilai frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tubifex. Hasil analisis substrat pada Tabel 6 menunjukkan tipe substrat pada stasiun 2 beragam yaitu pasir, lempung berpasir dan pasir berlempung. Kepadatan populasi Tubifex tertinggi pada lokasi ini dikarenakan substrat pada stasiun 2 merupakan lumpur yang sesuai dengan habitat hidup jenis makrozoobentos ini. Kondisi lingkungan perairan stasiun 2, yaitu perairan keruh, kandungan bahan organik tertinggi dibandingkan stasiun lain dan kandungan DO yang rendah. Menurut Siahaan (2012) Tubifex hidup pada perairan sungai dengan bahan organik tinggi, keruh, berlumpur dan kandungan oksigen terlarut yang rendah.

Kepadatan populasi terendah pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 0,18 ind/m2 terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,67% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium, dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 11,11% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium. Menurut Hamalainen (1985) Makromia hidup pada perairan bebatuan berpasir dengan cara hidup membenamkan diri pada substrat. Hal ini yang menyebabkan genus Makromia memiliki kepadatan populasi yang rendah. Menurut Siregar (2009) genus Sphaerium hidup baik pada pH < 6, sedangkan stasiun 3 memiliki nilai pH 5 – 8 sehingga kepadatan populasi Sphaerium rendah.


(47)

Nilai kepadatan tertinggi pada stasiun 3 sebesar 53,44 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 76,47% terdapat pada genus Tarebia, dan nilai frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 100% terdapat pada genus Goniobasis. Stasiun 3 memiliki kondisi perairan yang hampir sama dengan stasiun 1 yaitu perairan berarus sedang, jernih dan substrat kerikil berpasir. Menurut Fisesa, dkk. (2014) genus Goniobasis melimpah pada perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir. Kondisi substrat yang sesuai menjadikan Goniobasis memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada stasiun 3.

Nilai kepadatan terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Progomphus, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,32 % terdapat pada genus Progomphus dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 11.11% terdapat pada Genus Progomphus dan Neophemera. Rendahnya kepadatan populasi Progomphus dan Neophemera pada stasiun 3 dikarenakan rendahnya kandungan bahan organik yang rendah dengan kisaran 0,08 – 0,35 %. Menurut Siregar (2009) Progomphus dan Neophemera hidup pada perairan yang memiliki perairan jernih, kandungan organik tinggi dan oksigen terlarut yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan genus Progomphus dan Neophemera ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasiun 3.

Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Hasil pada Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H) makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berkisar 0,767 – 1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767. Berdasarkan literatur Krebs (1989) yang mengklasifikasikan nilai indeks


(48)

keanekaragaman (H) dengan nilai 0 < H < 2,302 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman rendah, nilai 2,302 < H < 6,907 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman sedang dan nilai H > 6,907 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobentos pada sungai Batang Gadis tergolong rendah. Menurut Odum (1994) keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam setiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.

Selain itu, menurut Brower et al (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah yang relatif merata pada setiap spesies. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan komunitas makrozoobentos di sungai Batang Gadis hanya terdiri dari 13 genus dengan jumlah yang tidak merata sehingga keanekaragaman makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong rendah.

Hasil indeks keseragaman (E) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,753 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,428. Menurut Fachrul (2007) yang mengklasifikasikan nilai indeks keseragaman dengan E = 0 yang menunjukkan kemerataan antara spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda dan nilai E = 1 menunjukkan bahwa kemeratan antar spesies relatif


(49)

merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun penelitian memiliki jumlah yang tidak merata sehingga nilai indeks keseragaman antar stasiun tergolong rendah dan terdapat dominansi spesies tertentu.

Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan Suhu

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan nilai kisaran suhu air pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 23 – 28 °C. Suhu air tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 28 oC dan terendah pada stasiun 1 sebesar 23 oC. Menurut Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas toleransi hewan terhadap suhu tergantung kepada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30 ºC dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos. Hal ini menunjukkan bahwa suhu secara keseluruhan pada stasiun penelitian masih mendukung kehidupan bentos.

Kecepatan Arus

Nilai kecepatan arus pada ketiga stasiun penelitian berbeda-beda berkisar antara 0,083 – 1 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 1 m/s dan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,083 m/s. Menurut Odum (1994) yang menyatakan bahwa kecepatan arus air di sungai tergantung pada kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman dan lebar sungai. Hal ini sesuai dengan kondisi lapangan yang menunjukkan stasiun 1 merupakan daerah hulu sehingga memiliki kemiringan yang berbeda dibandingkan stasiun lainnya yang memungkinkan arus air mengalir lebih cepat. Menurut Welch (1980) diacu Anzani (2012) kecepatan arus perairan mengalir dapat diklasifikasikan


(50)

sebagai berikut < 10 cm/detik tergolong berarus sangat lambat, 10 – 25 cm/detik berarus lambat, 25 – 50 cm/detik berarus sedang, 50 – 100 cm/detik berarus cepat, > 100 cm/detik berarus sangat cepat. Hal ini memperlihatkan bahwa kecepatan arus di sungai Batang Gadis bervariasi dari berarus sangat lambat sampai sangat cepat.

Kecerahan

Nilai kecerahan pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 10 – 80 cm. Kecerahan yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 60 – 80 cm dan kecerahan yang paling rendah tedapat pada stasiun 2 sebesar 10 – 20 cm. Sastrawijaya (1991), menyatakan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu, menurut Mahadi (1993) kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera.

Kedalaman

Nilai kedalam pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 1 – 3 m. Kedalaman yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2 – 3 m dan kedalaman yang paling rendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1 m. Kedalaman maksimum adalah 2 – 3 m yang disebabkan tingginya permukaan air akibat turunnya hujan pada saat pengamatan sehingga sedimen menumpuk ditengah sungai yang mengakibatkan terhalangnya aliran air sehingga meningkatkan permukaan air. Sedangkan kedalaman minimum adalah 1 m yang disebabkan


(51)

adanya bendungan yang berpengaruh pada dangkalnya perairan akibat menumpuknya sedimen pada stasiun 2. Kedalaman perairan yang dalam juga sebagai faktor rendahnya keanekaragaman makrozoobentos karena sebagian besar bentos hidup pada perairan yang dangkal.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH pada ketiga stasiun penelitian berkisar 5 – 8,4. Nilai pH pada ketiga stasiun pengamatan bebeda-beda, tergantung kondisi perairan pada masing-masing stasiun penelitian. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 8,4 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 5 – 6. Secara keseluruhan, nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan perkembangan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan Barus (2004) yang menyatakan bahwa kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan mempunyai kisaran pH 7 – 8,4. Selanjutnya menurut Anzani (2012) makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda-beda. Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH > 7 sedangkan kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5 – 8,5.

DO (Dissolved Oxygen)

Nilai oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 4 – 5,8 mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 5,8 mg/l dan terendah pada stasiun 2 sebesar 4 mg/l. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat ditolerir makrozoobentos. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas


(52)

respirasi dari organisme akuatik. Menurut Barus (2004) menyatakan bahwa kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Selanjtunya menurut Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa 2ehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,4 – 1,8 mg/l.

dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesarr 1,8 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,4 mg/l. Perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian

disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat. Menurut Brower, dkk. (1990) menyatakan bahwa nilai

konsentrasi BOD menunjukkan suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi oksigen selama peroide lima hari bekisar sampai 5 mg/l oksigen. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai BOD5 pada sungai Batang Gadis masih mendukung

kehidupan makrozoobentos. Bahan Organik

Nilai bahan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,08 – 0,49%. Kandungan bahan organik tertinggi didapatkan pada stasiun 1 sebesar 0,49%, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,08%. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian di Sungai Batang Gadis tergolong


(53)

sangat rendah. Menurut pusat penelitian tanah (1983) diacu Djaenuddin, dkk. (1994), yang mengatakan bahwa kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut.

<1% = sangat rendah

1%-2% = rendah

2,01%-3% = sedang 3%-5% = tinggi

>5,01% = sangat tinggi Tekstur Substrat

Berdasarkan hasil substrat yang dapat dilihat pada Tabel 6 terdapat perbedaan tekstur substrat pada setiap stasiun penelitian. Pada stasiun 1 dan 3 memiliki tekstur substrat yang sama yaitu pasir, sementara pada stasiun 2 memiliki tekstur substrat yaitu pasir dan lempung berpasir. Perbedaan tekstur substrat tersebut karena pada Sungai Batang Gadis terdapat bendungan sehingga sedimen yang masuk ke perairan menumpuk pada satu wilayah.

Tekstur substrat yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berupa pasir dan lempung berpasir. Tekstur substrat tersebut merupakan lingkungan hidup yang kurang baik bagi makrozoobentos sehingga menghasilkan kepadatan dan keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Koesbiono (1979) yang menyatakan bahwa dasar perairan yang berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos.


(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Keanekaragaman makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong rendah dengan nilai berkisar 0,767 – 1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman makrozoobentos pada kondisi musim yang berbeda di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anzani, Y. M. 2012. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Astirin, Setyawan dan Harini. 2002. Keragaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Sungai di Kota Surakarta. Jurnal Biodiversitas. 3 (2) : 236 – 241.

Barnes, K. S. K dan K. H. Mann. 1987. Fundamental Of Aquatic Ecology.Blackw ell Scientific Publications Oxford.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press. Medan.

Brower, J. E. H. Z., Jerrold Car. I. N., Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methoda for General Ecology. Thad Edition. USA, Wm.C. Brown Publisher. New York.

Cole, G.A. 1983. Buku Teks Limnologi. Dewan Pustaka dan Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta. Kansius.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.

Fisesa, E. D., I. Setyobudiandi, M. Krisanti. 2014. Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik. 3 (1): 1 – 9.

Hamalainen, M. 1985. Macromia chaiyaphumensis (Odonata, Corduliidae) from Northeast Thailand. Annales Entomologici Fennici. 51: 105 – 107.

Hughes, M. E., O. M. Fincke. 2012. Reciprocal Effects between Burying Behavior of a Larval Dragonfly (Odonata: Macromia illioiensis) and Zebra Mussel Colonization. Department of Biology, Wesleyen University. USA.

Hynes, H. B. N. 1976. The Ecology With Of Running Water. Livverpool University. Press. England.

Indrowati, M., Tjahjadi, P., Estu, R., Raras, I.Y., Siti, N. Dwito, P., Pandu, H. W. 2012. Identifikasi Jenis, Kerapatan dan Diversitas Plankton Bentos Sebagai Bioindikator Perairan Sungai Pepe Surakarta. Jurnal Bioedukasi. 5 (2): 81 – 91. Junaidi, E., Effendi, P., Joko. 2010. Kelimpahan Populasi dan Pola Distribusi

Remis (Corbicula Sp) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin. Jurnal penelitian sains. 13 (3): 50 – 54.

Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (ekologi Perairan). Sekolah Pasca Sarjana Program studi Lingkungan . IPB. Bogor.


(56)

Krebs, C. J. 1989. Experimentalanalysis Of Distribution And Abundand. Third Edition. Harper & Prow Publisher. New York.

Mahadi, U. N. 1993. Pencemaran Air Dan Pemanfaatan Limbah Industry. Edisi IV. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Mc Caferty, W. P. 1983. Aquatic Entomology. Publishers. Inc Boston: Jones and Bartlett .

Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakata.

Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pennak, R. 1978. Fresh Water Invertebrates Of The United States Protozoa To Mollusca. Colorado. University Of Colorado. Boulder.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2010. Tentang Bendungan.

Purnami, A. T., Sunarto, P. Setyono. 2010. Study of Benthos Community Based on Diversity and Similarity Index in Cengklik Dam Boyolali. Jurnal Ekosains. 2 (2): 50 – 65.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta.

Setiawan, H. 2008. Struktur Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi. [Tesis]. Program Pasca Sajana. IPB.

Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [Skripsi]. Departemen Biologi. USU. Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas

Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. [Tesis]. Program Pasca Sarjana. USU.

Siregar, T. R. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Suartini, Sudatri, Pharmawati, Raka, D. 2006. Identifikasi Makrozoobenthos di Tukad Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung, Bali. Jurnal Ecotrophic. 5 (1): 41 – 44.

Sugiono, 2009. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Suin, N. M. 2002.Metode Ekologi.Universitas Andalas. Padang. Sutika, N. 1989. Ilmu Air. Penerbit Universitas Padjadjaran. Bandung.

Tobing, I. 2009. Kondisi Perairan Pantai Sekitar Merak, Banten Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Benthos. Jurnal Vis Vitalis. 2 (2) : 31 – 40.


(57)

Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator Di Sungai Percut. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. USU. Medan.

Wiwoho. 2005. Model Identifikasi Daya Tampung Beban Cemaran Sungai Dengan Qual2e (Study Kasus Sungai Babon). [Tesis]. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.

Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatera. 2 (2): 37 – 41.

Zulkifli, H. Setiawan, D. 2011. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto Sebagai Instrumen Biomonitoring. Jurnal Natur Indonesia. 14 (1): 95 – 99.


(58)

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

1 ml MnSO

4

1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan

1 ml H

2SO 4

Dikocok Didiamkan

Diambil sebanyak 100 ml Dititrasi Na

2S2O3 0,0125 N

Ditambahkan 5 tetes amilum

Dititrasi dengan Na

2S2O3 0,0125 N

Dihitung volume Na

2S2O3 0,0125 N

yang terpakai (= nilai DO akhir)

Sampel Air

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

Larutan Sampel Berwarna Coklat

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Sampel Berwarna

Sampel Bening


(59)

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

Diinkubasi selama 5 hari Dihitung nilai

pada temperatur 20°C DO awal

Dihitung nilai DO akhir

DO akhir DO awal

Keterangan :

• Cara kerja penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan nilai DO metode Winkler


(60)

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Di homogenkan

Dikeringkan dalam oven 45o C

Dihaluskan/digerus dengan lumping

Dikeringkan dalam oven 45o C selama 1 jam Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar di dalam tungku pembakaran pada suhu 600o C selama 3 jam

Substrat dasar pada titik pengamatan

100 gram substrat dasar

Berat konstan tanah

5 gram tanah

Abu


(61)

Lampiran 4. Bagan Kerja Pengukuran Substrat

Gambar Segitiga Millar (USDA, 2009)

Keterangan:

• Tekstur substrat sangat dipengaruhi oleh komposisi dari butiran liat, debu dan pasir. Misalkan hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa persentase liat (Y) 42%, debu (Z) 26% dan pasir (X) 32%.

• Tarik garis dari persentase garis liat (Y) 42% sejajar dengan persentase garis debu.

• Tarik garis dari persentase garis debu (Z) 26% sejajar dengan persentase garis pasir.

• Tarik garis dari persentase garis pasir (X) 32% sejajar dengan persentase garis liat.

• Untuk melihat analisis tersebut dilihat dari perpotongan antara garis persentase liat, debu dan pasir.

• Berdasarkan diagram segitiga millar, maka tanah tersebut masuk kedalam golongan tanah bertekstur Liat (clay).


(62)

Lampiran 5. Foto Kegiatan Lapangan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.


(63)

Keterangan:

a. Pengambilan sampel dengan menggunakan Eckman grab. b. Pengambilan sampel dengan menggunakan Surber net. c. Sampel disortir menggunakan saringan.

d. Sampel disortir menggunakan saringan bertingkat.

e. Sampel yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel. f. Sampel yang dimasukkan ke dalam botol sampel.

g. Pengukuran suhu perairan dengan termometer air raksa. h. Pengukuran kecerahan perairan dengan Secchi disk. i. Pengukuran kecepatan arus perairan dengan bola duga. j. Pengukuran tingkat keasaman perairan dengan pH indikator.


(64)

Lampiran 6. Alat dan Bahan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.


(65)

Lampiran 6. Lanjutan

Keterangan: a. Surber net. b. Eckman grab. c. Saringan besar. d. Saringan kecil. e. Termometer. f. pH meter. g. Secchi disk.

h. Kertas label dan selotip. i. Tali plastik.

j. Plastik.

k. Formalin 10%. l. Es batu.

m. Zat metode winkler: MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, Amilum.

n. Alkohol 70%.

k. l.


(1)

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Di homogenkan

Dikeringkan dalam oven 45o C

Dihaluskan/digerus dengan lumping

Dikeringkan dalam oven 45o C selama 1 jam Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar di dalam tungku pembakaran pada suhu 600o C selama 3 jam

Substrat dasar pada titik pengamatan

100 gram substrat dasar

Berat konstan tanah

5 gram tanah

Abu


(2)

Lampiran 4. Bagan Kerja Pengukuran Substrat

Gambar Segitiga Millar (USDA, 2009)

Keterangan:

• Tekstur substrat sangat dipengaruhi oleh komposisi dari butiran liat, debu dan pasir. Misalkan hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa persentase liat (Y) 42%, debu (Z) 26% dan pasir (X) 32%.

• Tarik garis dari persentase garis liat (Y) 42% sejajar dengan persentase garis debu.

• Tarik garis dari persentase garis debu (Z) 26% sejajar dengan persentase garis pasir.

• Tarik garis dari persentase garis pasir (X) 32% sejajar dengan persentase garis liat.

• Untuk melihat analisis tersebut dilihat dari perpotongan antara garis persentase liat, debu dan pasir.


(3)

Lampiran 5. Foto Kegiatan Lapangan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.


(4)

Keterangan:

a. Pengambilan sampel dengan menggunakan Eckman grab. b. Pengambilan sampel dengan menggunakan Surber net. c. Sampel disortir menggunakan saringan.

d. Sampel disortir menggunakan saringan bertingkat.

e. Sampel yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel. f. Sampel yang dimasukkan ke dalam botol sampel.

g. Pengukuran suhu perairan dengan termometer air raksa. h. Pengukuran kecerahan perairan dengan Secchi disk. i. Pengukuran kecepatan arus perairan dengan bola duga. j. Pengukuran tingkat keasaman perairan dengan pH indikator.


(5)

Lampiran 6. Alat dan Bahan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.


(6)

Lampiran 6. Lanjutan

Keterangan: a. Surber net. b. Eckman grab. c. Saringan besar. d. Saringan kecil. e. Termometer. f. pH meter. g. Secchi disk.

h. Kertas label dan selotip. i. Tali plastik.

j. Plastik.

k. Formalin 10%. l. Es batu.

m. Zat metode winkler: MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, Amilum.

n. Alkohol 70%.

k. l.