Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
pendidikan dapat mencapai tujuannya, maka pendidikan harus mencakup tiga aspek, yaitu pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan kompetensi
3
. Pendidikan nilai merupakan proses yang utama dalam pendidikan karena
nilai-nilai itulah yang mendasari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia itu dalam perbuatannya tidak bisa tidak mengejar dan melaksanakan nilai. Ada dua nilai
yang paling fundamental untuk manusia, yaitu nilai moral dan nilai keagamaan. Kedua nilai tersebut adalah nilai kesempurnaan, maka harus diperjuangkan.
Pendidikan karakter menurut Driyarkara dapat disamakan dengan budi pekerti. Orang yang disebut mempunyai budi pekerti berarti mempunyai kebiasaan
mengalahkan dorongan-dorongan yang tidak baik. Karena itu, pendidikan karakter tak dapat dilepaskan dari pendidikan nilai. Nilai-nilai yang ditanamkan harus
dipraktikkan terus-menerus sehingga membentuk karakter
4
. Pendidikan kompetensi merupakan pendidikan yang mampu memenuhi
tuntutan jaman. Tanpa generasi muda yang kompeten, pembangunan tidak akan berjalan lancar dan suatu bangsa akan mudah terjajah dalam berbagai dimensi,
baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Namun, pendidikan kompetensi harus disertai dengan pendidikan nilai dan karakter agar kepribadian seseorang
semakin baik. Selain harus merangkul tiga aspek pendidikan di atas, kerjasama dan peran aktif dari orang tua, negara pemerintah, dan masyarakat dalam
pendidikan sangat diperlukan supaya pribadi yang dididik dapat tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter.
3
Ibid, hal. 326.
4
Idem.
Driyarkara adalah salah satu filsuf dan pemikir terkemuka di Indonesia. Beliau memiliki berbagai macam gagasan yang luar biasa bagi permasalahan di
dunia pendidikan, terutama pada pandangan filsafatnya terhadap pendidikan dengan pembangunan karakteristik kepribadian bangsa. Keaktifan Driyarkara
menuangkan pemikirannya mengenai pendidikan dapat dikatakan dimulai ketika beliau berpidato sebagai dekan PTPG Sanata Dharma tahun 1955
5
. Salah satu pidatonya menyebutkan bahwa pembentukan sikap berbangsa melalui pendidikan
nasional adalah melalui pendidikan karakter yang diterapkan di suatu lingkungan pendidikan.
Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini pendidikan dianggap belum mampu mencapai titik idealnya, yaitu memanusiakan manusia seperti yang
diutarakan Driyarkara di atas, yang terjadi justru sebaliknya yakni menambah rendahnya derajat dan martabat manusia. Gagalnya pendidikan dalam
menanamkan nilai humanisme terlihat dengan berbagai macam problematika yang terjadi di negeri ini, salah satunya adalah tingginya praktik korupsi yang ternyata
dilakukan oleh pejabat yang notabene adalah orang-orang berpendidikan, banyaknya sekolah-sekolah khusus bagi para pemodal, maraknya budaya tawuran
antar pelajar, terjerat narkoba baik sebagai pengedar maupun pemakai, melakukan tindakan asusila, anarkis, bahkan membunuh dan berbagai bentuk permasalahan
lainnya yang cukup memprihatinkan. Hal lainnya yang cukup memprihatinkan adalah segala bentuk
kesombongan akademik, dimana kaum intelektual berpendapat bahwa lulusan dari
5
Ibid., hal. 368-369.
suatu universitas ternama dianggap mempunyai kesempatan yang berbeda dalam dunia kerja dengan lulusan dari universitas yang biasa-biasa saja. Padahal saat ini
dalam era persaingan yang ketat dan minimnya lapangan pekerjaan keahlian dan pengalaman adalah point utama yang menjadi
parameter dalam dunia kerja selain
nama almamater universitasnya. Hal ini semakin menutup nilai humanis dalam pendidikan dan meyakinkan kita bahwa ada yang salah dalam pendidikan.
Selain itu, bergesernya budaya timur dengan budaya barat di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, membuat manusia semakin
bersikap individualis. Mereka gandrung teknologi, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuanbarang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih,
sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Hal tersebut diperparah
lagi dengan budaya barat yang kurang selaras dengan budaya nasional apabila diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat menghambat untuk
perkembangan pendidikan di Indonesia
6
. Pendidikan karakter diharapkan menjadi solusi dalam membenahi moralitas
generasi muda. Berbagai alternatif guna mengatasi krisis karakter memang sudah dilakukan salah satunya adalah dengan penerapan hukum yang lebih kuat.
Altenatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi problematika di atas adalah dengan cara menerapkan pendidikan karakter di dunia pendidikan
khususnya di Indonesia. Menurut Kemendiknas, pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif. Itu karena pendidikan membangun generasi
6
Pedoman Sekolah, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2011, hal 1.
baru bangsa menjadi lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan mengembangkan kualitas generasi muda bangsa ini
dalam berbagai aspek, serta dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa
7
. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik dan bermaksud melakukan suatu penulisan makalah
dengan judul
“Peran Driyarkara Dalam Pendidikan di Indonesia”.