Kontribusi Pemikiran Driyarkara Mengenai Pendidikan Di Indonesia
4. Suasana di IKIP Sanata Dharma mencerminkan keadilan dan memajukan
pemerataan pendidikan sehingga mahasiswa-mahasiswi menghayati cita-cita ini.
Jabatan yang rektor dan kemunculannya pada berbagai macam seminar dan juga simposium ini secara tidak langsung membuat Driyarkara menjadi salah
satu pemikir yang disegani di Indonesia, sehingga tidak lama setelah menjadi rektor yaitu pada tahun 1960 Driyarkara diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa
pada Universitas Indonesia dan Universitas Hassanuddin. Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu pada St. Louis University di kota St. Louis,
Missouri, Amerika Serikat dan bahkan akibat sering mengisi simposiun serta berbagai macam diskusi tentang Pancasila. Driyarkara juga diminta untuk
mengajar pada SESKOAD dan SESKOAL, lalu pada tahun 1966 ia diusulkan menjadi Guru Besar Tetap Universitas Indonesia.
Berbagi macam jabatan akademis serta prestasi telah ia raih namun tidak berhenti sampai disini. Kepeduliannya pada banyak hal seperti kondisi bangsa
membuatnya menjadi angota MPRS sejak tahun 1960. Tahun 1965 ia diangkat menjadi anggota DPA Dewan Pertimbangan Agung, tetapi lembaga ini sudah
tidak pernah mengadakan rapat kembali sejak bulan Januari 1965 dan bahkan ketika Presiden membentuk DPAS Driyarkara termasuk kedalam 18 orang yang
menolak secara resmi pengangkatannya, dengan alasan selama ia menjadi anggota DPA tidak pernah dimintakan nasehat. Hal yang memberatkan lainnya karena
pembentukan DPAS dirasa berjalan diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan tampilnya ia di ranah publik tentunya tidak mengherankan apabila sosok
ini mendapatkan berbagai macam pujian atas karya-karyanya. Perhatian penuh ia
curahkan kepada permasalahan pendidikan, hal itu dilakukan bukan semata-mata ia seorang pendidik melainkan muncul dari kegundahannya terhadap kondisi
bangsa. Berdasarkan hal tersebut Driyarkara di anugerahi dua buah penghargaan dari pemerintah Indonesia pada dua penguasa yang berbeda yaitu
16
: a.
Piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 17 Agustus
1969 sebagai pengabdi dan pendorong dalam bidang pendidikan. b.
Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama pada tanggal 13 Agustus 1999 sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap Negara dan
Bangsa Indonesia. Kontribusi pemikiran Driyarkara dalam menyoroti pendidikan merupakan
sikap kritisnya terhadap dunia pendidikan. Kontribusi pemikiran Driyarkara terbesar bagi proses pendidikan adalah menjadikan pendidikan formal dengan
mengedepankan hakikat kemanusiaan secara utuh dalam pendidikan. Artinya,
peserta didik mampu berkembang secara humanis yang bersifat manusiawi dan berperikemanusiaan, sehingga akan menciptakan keseimbangan antara hati dan
apa yang mereka lakukan, agar setiap peserta didik menjadi manusia yang semakin mengerti baik dan buruk serta mampu mengambil keputusan tepat dan
berguna. Keputusan tidak hanya untuk diri sendiri tetapi terkait dengan orang di sekitarnya. Karena humanisme sebagai filsafat pendidikan artinya suatu visi yang
melihat manusia sebagai yang bermartabat dan luhur.
16
Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 2006, hal. 389.
Humanisme adalah proses belajar untuk memanusiakan manusia yaitu dengan cara memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Ciri-ciri humanisme
menurut Driyarkara adalah 1 memiliki kepekaan budaya cultural sensibility yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme; 2
memperhatikan tantangan sejarah historically attentive yang terus berubah; 3 mampu memprakarsai berbagai terobosan dan inovasi serta menemukan makna
baru dalam berbagai dimensi kehidupan philosophically creative; 4 memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan
ketidakadilan academic excellence and sensitivity to justice and injustice
17
. Berdasarkan ciri humanisme pertama yaitu memiliki kepekaan budaya
cultural sensibility yang diwujudkan dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme, dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan negara yang
mempunyai masyarakat yang multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Selain itu, sebagai negara yang plural Indonesia memiliki banyak
sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama, dengan sifat plural yang dimiliki tersebut negara Indonesia rawan akan konflik karena lebih sulit
menjaganya ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai etnis di Indonesia sangat
diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.
Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam
17
Idem.
sekala luas yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Kalimantan Barat konflik etnis di Singkawang dan Sambas yang kerap terjadi dan dilakukan
dalam rentang yang hampir berdekatan. Peristiwa-peristiwa yang belum terselesaikan sampai sekarang disebabkan karena persoalan-persoalan etnis dan
persoalan agama, berbagai persoalan yang menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru berlanjut menjadi masalah yang
besar karena dikait-kaitkan dengan persoalan yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah SARA
18
. Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting,
khususnya dalam menghargai pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik. Di
Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan
dengan perkembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan
tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun
dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara
hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup.
18
Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, 2009, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, hal. 55.
Lahirnya kebudayaan merupakan peran dari pendidikan dan adanya pendidikan tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku. Pilihan-pilihan dalam mendidik tidak
lepas dari norma dan etika yang berlaku dari kebudayaan tertentu, sedangkan keberlangsungan budaya beserta perkembangannya juga merupakan campur
tangan dari proses mendidik. Intinya keduanya menjadi bagian penting dalam keberadaan manusia sehingga menjadi kebutuhan dasar bagi manusia
19
. Berdasarkan ciri humanis kedua yaitu memperhatikan tantangan sejarah
historically attentive yang terus berubah. Artinya Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan jaman, supaya dapat bertahan terhadap segala macam
perubahan karena arus globalisasi. Karena perubahan tersebut dapat mencabut kita dari akar-akar kebaikan yang telah diajarkan dalam pendidikan di Indonesia.
Maka dari itu, harus ada kolaborasi yang seimbang dari pendidikan dan kebudayaan untuk bisa memastikan bahwa keberadaan identitas nasional kita
tidak hilang. Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai
dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di
bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak terhadap ideologi, agama,
budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
19
Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, 1996, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 70.
bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa,
baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.
Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama
masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter
bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa
sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia. Ciri humanis ke tiga yaitu mampu memprakarsai berbagai terobosan dan
inovasi serta menemukan makna baru dalam berbagai dimensi kehidupan philosophically creative. Hal ini dimaksudkan supaya peserta didik mampu
meningkatkan karakter dirinya sehingga mampu dijadikan contoh sebagai representasi dari kepribadian nasional. Pendidikan dianggap mampu melahirkan
orang-orang yang memiliki intelektual tinggi. Jika kita ungkit kembali perkataan Driyarkara mengenai tujuan manusia sebagai proses memanusiakan manusia
maka perhatian dari pendidik adalah menjadikan anak didik ini sebagai manusia yang memiliki karakter bangsanya. Pendidikan berada pada semangat
menciptakan kebudayaan dan berakhir kepada lahirnya sosok manusia yang mampu mengkarakterkan dirinya sesuai dengan cita-cita bangsa.
Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama. Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu
sesungguhnya merefleksikan kekayaan budaya. Namun di sisi lain, keberagaman juga berpotensi besar untuk “tumbuh suburnya” konflik, terutama jika
keberagaman tersebut tidak mampu dikelola dengan baik. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus
globalisasi membawa pengaruh yang multidimensional. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada saat ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari
permasalahan kultur yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyarakat kita. Keragaman ini dapat dilihat dari segi positif ataupun
dari segi negatif, seperti: diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga kini dengan segala bentuknya, seperti kriminalitas, korupsi,
politik uang, kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengesampingkan hal-hal minoritas, mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal sebagai wujud nyata dari
globalisasi, kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari permasalahan kultural yang ada.
Ciri humanis keempat yaitu memiliki keunggulan akademik dan sekaligus memiliki kepedulian kepada keadilan dan ketidakadilan academic excellence and
sensitivity to justice and injustice. Pada cirri humanis keempat ini peserta didik diharapkan tidak hanya pandai dalam akademik saja akan tetapi peserta didik
diharapkan memiliki sikap-sikap welas asih yang mampu peduli pada lingkungannya; membedakan yang benar dan salah; dapat bersikap arif serta
bijaksana; menjunjung
tinggi moralitas;
memiliki kejujuran
dalam
berperilaku sehari-hari; menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan agar mampu menghadapi setiap kondisi dan permasalahan yang
terjadi di lingkungan masyarakat, negara, dan dunia. Memperhatikan pentingnya pendidikan di atas, maka dapat diartikan bahwa
pendidikan humanis merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik secara positif dan dinamis serta mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, serta
menjadi peserta didik yang mampu mengembangkan potensi diri sehingga menghasilkan insan yang tidak hanya cerdas dan mampu bersaing dalam
intelektualnya namun juga dalam kemanusiaannya. Sebab, insan yang cerdas bukan saja memiliki kemampuan intelektual dan atau pengetahuan yang baik dan
lebih namun juga cerdas secara spiritual dan atau emosional serta baik dalam hubungan sosial dengan kepribadian atau berkarakter baik sehingga akan
melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan karakter memungkinkan terjadinya transformasi atau peralihan nilai-nilai yang baik dan logis untuk dilaksanakan secara nyata. Dalam proses
pendidikan yang cerdas dan humanis mestinya menggunakan pendekatan yang humanis atau manusiawi dan tidak saja dilakukan melalui pemahaman konsep-
konsep nilai tapi butuh keteladanan. Pendidikan cerdas dan humanis akan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan melalui jalur pendidikan, baik jalur pendidikan
formal, non formal maupun informal keluarga dan lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka pada jalur pendidikan formal maupun non formal harus
didasarkan pada tujuan yang jelas, materi yang digunakan, strategi dan metode,
media atau alat yang digunakan, evaluasi serta perkembangan mental dan spiritual peserta didik.
Sehubungan dengan itu, maka komponen-komponen pendidikan cerdas dan humanis tersebut harus dikelola dengan baik oleh pendidik yang memiliki
kompetensi pengelolaan pembelajaran yang baik, memiliki kompetensi kepribadian yang baik, memiliki kompetensi sosial yang baik dan professional
sebagai pendidik. Pendidikan cerdas dan humanis bertujuan menghasilkan manusia yang berkualitascerdas secara intelektual, spiritual emosional dan sosial,
berakhlak mulia, berbudi luhur, berkarakter bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Input pendidikan berkualitas apabila siap berproses dengan baik, mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
dalam menggunakan pendekatan yang cerdas dan humanis
20
. Dengan demikian maka output atau hasil belajar dalam kategori baik dan keluaran berkualitas
apabila berguna bagi bangsa dan Negara. Berdasarkan uraian di atas, maka pada prinsipnya hakekat dan tujuan pendidikan cerdas dan humanis adalah membentuk
kepribadian peserta didik yang cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan social yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi
kepentingan banyak orang dan lingkungan alam sekitarnya terutama dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan Tuhan penciptanya.
20
Dharma Kusuma dkk, “Pendidikan Karakter Kajian Teori Dan Praktik Di Sekolah”, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2011, hal. 27.
2 Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-
nilai etika yang baik. Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabatkomunikatif, cinta damai, gemar membaca, dan tanggungjawab
21
. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara
komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan
pendidikan formal, informal, dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggungjawab secara
parsial. Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan di Indonesia. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek,
menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.
Pendidikan di Indonesia selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan
nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada
yang mengontrolnya. Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi
21
Driyarkara, Driyarkara Tentang Pendidikan, 1980, Yogyakarta: Yayasan Kanisius. hal. 55
pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Di sekolah misalnya, sering kali ditemukan anak-anak yang
menyontek ketika ujian karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi. Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang
mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya. Pendidikan merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter
bangsa. Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi,
pendidikan karakter juga dipengaruhi faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial. Negara mempunyai peranan penting dalam
sebuah pendidikan. Perkembangan sebuah negara tidak lepas dari pendidikan dan pengajaran yang baik.
Hak dan kewajiban dalam belajar menurut Driyarkara merupakan fundamental asasi, yang mempunyai kesamaan dengan hak
–hak kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyarkara menyatakan bahwa
“setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan dengan Pancasila tentu bukan merupakan
pelaksanaan hak dan kewajiban asas”
22
. Pendidikan harus mendahuli sebuah pengajaran. Di dalam dunia yang mengarah ke arah modern ini, pendidikan
terhadap anak didik tidak cukup hanya sebatas hanya membangun kepribadian yang sempurna dan susila, tetapi bagaimana seorang pendidik dapat
22
Subanar G. B, editor, Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Masa Kini, 2013, Yogyakarta: Penerbit USD, Hal. 60.
mengembangkan kecakapan peserta didik yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepada negara.
Negara mengembangkan dan menyelengarakan pengajaran mengunakan dua sistem, yang pertama negara langsung mengadakan pengajaran sendiri Sekolah
Negeri dan yang kedua negara mengunakan pihak swasta sekolah milik yayasan swasta untuk turut serta membantu dan mengembangkan pengajaran tersebut.
Negara mempunyai perananan, hak dan kewajiban di dalam pengajaran. Peranan tersebut adalah mengembangkan tenaga-tenaga yang cakap di dalam kehidupanya.
Dasar hak dan kewajiban negara di dalam dunia pendidikan adalah menentukan macam kualitas dan taraf pelajaran di sekolah negeri maupun sekolah milik
yayasan swasta. Pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang
sangat kompleks. Salah satunya ditunjukkan dari perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat
berpengaruh pada aspek ekonomi perdagangan global yang mengakibatkan berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Pada
aspek sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus akan
berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong,
melemahnya toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap
sesama, dan itu semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan
strategi pendidikan sebagai modal utama diharapkan dapat menghalangi virus- virus penghancur tersebut, dan masa depan bangsa ini dapat diselamatkan.
Pelaksanaan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dapat dibentuk melalui jenjang pendidikan formal, informal, dan pendidikan non formal
23
. Ketiga jenis pendidikan itu memiliki masing-masing fungsi, tetapi fungsi yang berbeda
tersebut saling melengkapi, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membetuk karakter dari individu-individu yang mengalami pendidikan. Karakter
yang dibentuk melalui jenjang pendidikan tersebut meliputi tiga hal yaitu intelektual, emosional dan spiritualnya.
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah- sekolah pada umumnya
24
. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan
tinggi. Termasuk juga ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional, yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pada pendidikan formal, pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk
pengajaran yang sesuai serta memperhatikan kondisi sosial pada setiap lokasi pembelajaran. Artinya, pembelajaran ilmu pengetahuan tidaklah bisa disamakan
23
Doni Kusuma, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Jakarta: Grasindo, 2007. hal. 84-88.
24
Ibid, hal. 55.
antara satu tempat atau negara dan negara lain karena jelas mempunyai karakteristik pola tradisi dan budaya yang berbeda.
Begitu pula dengan kondisi di negara kita, Indonesia, bahwa pendidikan karakter menjadi relevan diterapkan untuk mengatasi berbagai fakta-fakta
empiris yang menyiratkan adanya sinyal ketidakberesan di lingkungan pendidikan. Misalnya, kasus korupsi, suap, kriminalitas tawuran
antarpelajarmahasiswa, dan perilaku amoral termasuk kasus video mesum yang juga sering kali terjadi di kalangan siswa, yang bila kita telusuri, oknum
pelakunya merupakan kaum terpelajar dari lembaga pendidikan nasional yang kita miliki.
Dalam wujud praktis, pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan
pendidikan karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ intelligence quotient, EQ emotional quotient, SQ spiritual quotient.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek
moyang kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak
melakukan perbuatan-perbuatan tercela amoral yang itu jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
Metode pembelajaran itu umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pancasila dan
kewarganegaraan PPKn dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya
terasa masih tampak kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang
tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta
didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat.
Berbagai isu sosial yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari peranan pendidikan. Isu mengenai radikalisme masyarakat sudah begitu merebak hingga
memunculkan pemakluman. Masyarakat sudah terlalu sering disuguhi tontonan kekerasan di media massa. Tentu kekerasan bukan hanya kekerasan fisik, tetapi
juga kekerasan verbal yang disuguhkan dalam berbagai talkshow sehingga masyarakat semakin bingung mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan
seharusnya mampu menghasilkan manusia yang berbudaya. Pendidikan seharusnya mampu merangsang seseorang berpikir kritis dan mampu memilih
alasan yang tepat dalam setiap aktivitasnya. Pendidikan harus mampu membentuk karakter setiap pribadi siswa. Karakter sangat erat dengan sikap dan pilihan cara
bertindak. Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin kepada setiap orang.
Pembentukan pendidikan karakter melalui pendidikan formal dapat mulai sejak usia dini. Mengucapkan terima kasih atau menyapa adalah bagian latihan
dalam pendidikan karakter. Kelihatan sederhana memang, tetapi sekarang pun kita jarang menemukan orang yang rela berucap terima kasih atau sekadar menyapa
dengan senyum. Pendidikan karakter tidak perlu harus dinilai secara kognitif.
Desain pendidikan karakter seharusnya jauh dilepaskan dari unsur penilaian kognitif. Salah satu kegagalan pembentukan karakter saat ini karena terlalu
mengkognitifkan nilai-nilai living values dalam pembentukan karakter. Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu
menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah.
Para siswa ini disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Namun, sekolah tentu bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi
berkarakter, tempat lain yang utama adalah keluarga dan masyarakat. Pembentukan pendidikan karakter melalui pendidikan formal seharusnya
dimulai dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Siswa bukan barang mati yang
dapat diperdaya dengan berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku daripada ilustrasi angka
yang mereduksi hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui
tes. Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap pelajaran atau
diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku
yang tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir. Guru tidak lagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau
menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus
mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan,
siswa mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa
harus memaksa atau dipaksa untuk memahami orang lain. Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Sejarah, pada pelajaran ini guru dapat melakukan diskusi kelas
dengan mengangkat kasus atau peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dilingkungan sekolah atau di negara ini. Disini, guru memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan pola pikir dan mengkritisi peristiwa yang sedang terjadi tersebut. Hal ini apabila dapat diterapkan, secara
tidak langsung dapat melatih siswa untuk berpikir kritis, belajar menghargai pendapat oran lain, mengambil kesimpulan dari suatu peristiwa tidak hanya dari
satu sumber saja, tetapi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, bersikap arif dan bijaksana, dan memiliki mental yang cerdas serta pemberani dalam
menyampaikan pendapat dimuka umum. Jika latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk dengan sendirinya tanpa disadari oleh
siswa itu sendiri. Karakter dapat diolah melalui berbagai aktivitas yang didasari dengan sikap
moral yang benar. Hal pertama yang terkandung dalam contoh diatas adalah
memberikan ruang ekspresi yang cukup pada peserta didik. Siswa harus diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini penting
untuk penyaluran emosional. Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa menjadi lemah kreasi. Kebiasaan nongkrong di luar sekolah
terjadi karena tidak ada ruang ekspresi bagi siswa di sekolah. Hal kedua adalah empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap
empati. Sikap inilah yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan
kepada setiap individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan terwujud, karena pendidikan karakter bukan pelajaran yang harus
dites dan dinilai dengan angka atau huruf mutu, tapi lebih ditekankan pada latihan di setiap aktivitas sekolah.
Jenjang pendidikan kedua adalah pendidikan non formal. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang
25
. Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, Taman Pendidikan Al Quran, Sekolah Minggu, berbagai kursus, bimbingan
belajar, program-program
pemberantasan buta
aksara, pendidikan
Kesetaraan Paket A, B, dan C; Pendidikan Anak Usia Dini PAUD, dan sebagainya.
Pendidikan karakter dapat dilakukan pada jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus keterampilan, kursus
kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan singkat, baik yang
25
Ibid, hal. 84-88.
diselenggarakan pemerintah maupun organisasi massa. Demikian pula pendidikan karakter dapat dilakukan pada kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang
taruna, keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan penanggulangan bencana alam.
Pendidikan nonformal yang dilaksanakan pada lingkup dunia usaha dalam bentuk pendidikan dan pelatihan calon pegawai, pelatihan kewirausahaan,
pelatihan kepemimpinan, dan pelatihan keterampilan profesi. Pada lingkup masyarakat politik dilakukan bentuk pelatihan dan kaderisasi partai, pelatihan
kepemimpinan, pelatihan etika politik dan pembudayaan politik. Sedangkan pada lingkup media masa, pendidikan nonformal berupa pelatihan dasar
komunikasi, pelatihan kode etik jurnalistik, dan pemahaman profesi jurnalis dan pelatihan transaksi elektronik.
Pendidikan karakter pada kegiatan pendidikan dan latihan nonformal serta kegiatan kemasyarakatan tersebut dapat diarahkan untuk menanamkan kepedulian
sosial, jiwa patriotik, kejujuran, dan kerukunan berkehidupan dalam masyarakat serta untuk mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa yang
memiliki watak, kepribadian, dan akhlak mulia. Jenjang pendidikan ketiga adalah pendidikan informal. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan di lingkungan keluarga yang berupa ajaran tata- krama, sikap dan tingkah laku yang diajarkan pada keluarga semenjak peserta
didik lahir. Pendidikan informal dapat juga disebut pendidikan yang ada di masyarakat, atau pendidikan yang dialami oleh seseorang oleh lingkungannya
26
.
26
Ibid, hal. 84-88.
Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga
jika keluarga
yang merupakan pondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan
seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Driyarkara
menyatakan bahwa: “Bisa saja orang hanya memburu kecakapan kerja dan bukan perkembangan
manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah, misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai perbuatan mendidik karena
dirongrong oleh ko
nsep yang salah”
27
. Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarkara ingin menunjukkan
lemahnya institusi suatu keluarga. Dalam pernyataan tersebut tersirat bahwa orang tua memasukkan anak ke sekolah bukan untuk membuat anaknya menjadi pandai,
dan cakap dalam segala hal. Akan tetapi, pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa anak sekolah supaya mudah mencari pekerjaan dan mendapatkan uang,
tanpa diimbangi dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak itu sendiri. Sehingga, wajar apabila pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil
dalam membentuk generasi muda yang berkarakter, cerdas, dan humanis sesuai dengan pemikiran Driyarkara
28
. Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi sebagai sarana
27
Danuwinanta, F., SJ. editor, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 2006, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 363.
28
Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, 2006, Jakarta: Gramedia, hal. 368-369.
mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan
baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga,
maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan- kegagalannya. Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama
bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar
keluarga termasuk sekolah untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang
tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di
rumah. Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Terdapat tiga kebutuhan dasar anak yang
harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding kelekatan psikologis dengan ibunya merupakan
dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain trust pada anak.
Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Dasar kepercayaan yang
ditumbuhkan melalui hubungan ibu anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika
ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia
awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman.
Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh
yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak.
Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam
pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar
pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara
kepada anaknya terhadap anaknya yang berusia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias
mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif. Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan karakter
pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak
dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan, minum dan lain-lain dan kebutuhan psikologis seperti rasa aman, kasih sayang,
dan lain-lain, serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar
anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan
karakter anak. Terdapat beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga
berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu
29
: 1.
Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan
berkata-kata kasar. 4.
Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character“kepada anak. Dampak yang ditimbulkan
dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi
rendah.
7. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima
persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak
dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak
disenangi oleh orang lain.
8. Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak
mampu memberikan cinta kepada orang lain. 9.
Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
10. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga, dan berguna.
11. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak
aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
12.
Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat
diprediksi oleh orang lain.
13. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak
negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
14. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak,
akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuanya
29
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda, 2005, Bandung: Mizan Pustaka, hal. 25
sebagai ”role model”, anak akan lebih percaya kepada ”peer group”nya
sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif. Keluarga merupakan tempat utama anak-anak dapat menumbuhkan dan
mengembangkan karakter positif. Pembentukan karakter positif dapat dikembangkan melalui pembiasaan nilai-nilai, baik nilai sosial maupun agama
yang diinternalisasikan melalui interaksi sosial. Karakter yang telah terbentuk diharapkan kelak dapat mengakar kuat dan menjadi prinsip hidup dalam
kehidupan anak. Dalam konteks ini, orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam proses pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya dapat menjadi
contoh “teladan” yang baik pada anak karena sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam keluarga. Teladan dan pembiasaan yang baik menjadi langkah
fundamental dalam pendidikan karakter. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat mulai sering terjadi. Hal-hal yang
dulunya dianggap tabu, saat ini menjadi hal biasa. Kasus korupsi, fenomena penampilan para remaja dengan pakaian ketat dan mininya, gaya pacaran yang
berlebihan, sampai tragedi hamil di luar nikah. Di sekolah pun terjadi aksi contek massal dimana hasil yang ditonjolkan dan proses diabaikan. Pada saat ini terjadi
split of personality kepribadian yang terpecah dimana individu belum mampu menyatukan antara perkataan dengan perbuatan. Budaya malu tampaknya sudah
mulai terkikis. Oleh karena itu, pola asuh orang tua yang tepat diharapkan dapat membentuk karakter anak sehingga anak memiliki karakter mental yang kokoh,
yang senantiasa menjadikan nilai-nilai sebagai pegangan dan prinsip hidup, tidak hanya sekedar tahu tapi juga mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Yaitu pola asuh yang demokratis, bukan pola asuh permisif yang serba membolehkan ataupun pola asuh yang terlalu otoriter yang membatasi anak.
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan karakter pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada
anaknya. Pola asuh orang tua menjadi tolak ukur dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak dalam keluarga, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan
menurut Driyarkara adalah fenomena yang fundamental atau azazi dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia
30
. Selain itu, salah satu tujuan pendidikan adalah pembentukan sikap berbangsa melalui pendidikan karakter yang diterapkan di
suatu lingkungan pendidikan. Akan tetapi lingkungan pendidikan bukan satu- satunya linkunan yang dapat membentuk pendidikan karakter suatu bangsa.
Berbagai aspek, baik pihak keluarga, sekolah, masyarakat dan bangsa pemerintah perlu bersinergi dalam upaya mensukseskan pendidikan karakter.
Artinya, pembentukan karakter merupakan tugas bersama, tidak dapat dibebankan pada salah satu pihak maupun salah satu jenjang pendidikan baik itu formal, non
formal, maupun informal saja.
3 Tujuan Pendidikan Menurut Driyarkara
Tujuan sejati dari pendidikan menurut Driyarkara adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi
dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan
30
Ibid
,
hal. 368-369.
konflik dalam kehidupan sehari-hari
31
. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta
mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai income generating skills. Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-
positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa baik dalam bidang intelektual, emosiperasaan EQ, afeksi maupun keterampilan yang berguna
untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia.
Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi, berguna dan berpengaruh di
dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang
akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap
humanis. Menurut Driyarkara supaya pendidikan dapat mencapai tujuannya, maka pendidikan harus mencakup tiga aspek, yaitu pendidikan nilai, pendidikan
karakter, dan pendidikan kompetensi
32
. Aspek pertama dalam mencapai tujuan pendidikan adalah melalui
pendidikan nilai. Pendidikan nilai merupakan proses yang utama dalam pendidikan karena nilai-nilai itulah yang mendasari perbuatan-perbuatan manusia.
Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik
31
Driyarkara, Driyarkara Tentang Pendidikan, 1980, Yogyakarta: Yayasan Kanisius. hal. 84-88.
32
Idem, hal 84-88
pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan pesatnya laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni IPTEKS, serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan
pendidikan nasional secara utuh. Namun, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka
mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi sekarang ini seolah-
olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum,
penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban
kemanusiaan. Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai
yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan,
ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin
hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik kerusuhan, dan merasa tidak aman. Pergeseran moral juga tercermin dalam sikap
dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, egois, dan bersifat individualisme. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia HAM
sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain.
Aspek kedua dalam mencapai tujuan pendidikan adalah melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak-
anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang
positif kepada lingkunganya. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja
bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata
lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mandiri, kreatif, dan inovatif.
Driyarkara sendiri menyadari bahwa pemikirannya tentang pendidikan lebih bersifat teoritis dari pada praktis, walaupun ada sedikit pemikiran praktisnya soal
pendidikan menengah. “Munculnya pandangan teoritis tentang pendidikan itu
adalah suatu yang niscaya, artinya sesuatu yang tidak bisa tidak terjadi [...]” kata Driyarkara
33
. Semua karya Driyarkara tentang pendidikan dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik teoritis”, bukan praktis, yaitu pemikiran yang bersifat kritis,
metodis, dan sistematis tentang realitas atau fenomena yang disebut pendidikan. Dia berusaha merumuskan teorisasi dan universalisasi perihal pendidikan, bukan
semata ilmu praktis. Tulisan-tulisan Drijarkara perihal pendidikan adalah sebuah usaha untuk merumuskan sebuah pemikiran ilmiah tentang pendidikan. Pemikiran
33
Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara Esay-Esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, 2006, Jakarta: Gramedia, hal. 349-352.
tentang pendidikan mendidik dan dididik baru bersifat ilmiah jika pemikiran itu bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Kritis di sini berarti orang tidak hanya
menerima begitu saja apa yang diterimanya atau yang muncul dalam benaknya; semua pernyataan dan afirmasi harus memiliki dasar yang cukup. Metodis berarti
bahwa dalam proses berpikir dan menyelidiki, orang menggunakan suatu cara tertentu yang logis dan tidak serampangan. Sistematis berarti bahwa segala yang
dirumuskannya itu merupakan suatu koherensi dan satu kesatuan utuh, menyeluruh, dan berhubungan satu dengan yang lain.
Aspek ketiga dalam mencapai tujuan pendidikan adalah melalui pendidikan kompetensi. Pendidikan kompetensi merupakan pendidikan yang mampu
memenuhi tuntutan jaman. Seseorang dikatakan memiliki kompetensi apabila
orang tersebut memiliki pengalaman, keahlian, keterampilan, kecakapan, berpikir inovatif, dan kreatif. Dengan kata lain, kompetensi adalah penguasaan terhadap
seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sikap peserta didik yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan profesinya.
Sehingga dengan kompetensi yang dimiliki peserta didik diharapkan dapat mengikuti perubahan dan perkembangan jaman, dan tidak menjadi manusia yang
tertinggal. Pada dasarnya Driyarkara tidak menolak kemajuan ilmu teknologi dan
pengetahuan lainnya. Namun demikian, sebuah keniscayaan bahwa proses pendidikan tidak hanya mengunggulkan kualitas akademis semata, akan tetapi
harus menyeimbangkan antara fisik, akademis, dan naluri kemanusiaan yang utuh. Proses pendidikan dewasa ini dengan berbagai kemajuan teknologi perlahan-lahan
telah menjauhkan tujuan inti pendidikan dari akarnya. Pengajaran nilai dan karakter serta nilai-nilai patriotisme mulai luntur. Lemahnya kebijakan dan
birokrasi pemerintah di bidang pendidikan juga berpengaruh terhadap proses pengajaran. Ada banyak dimensi yang mesti dibenahi dalam sistem pendidikan
nasional kita, diantaranya adalah mengenai kebijakan, metode, dan strategi pembelajaran.
Dimensi pertama yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan nasional kita adalah kebijakan. Kebijakan merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang
menjadi arah dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan dalam
mengambil keputusan atas perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama
34
. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi. Kebijakan dan kurikulum pendidikan harus diselaraskan
dengan situasi konkrit masyarakat tanpa meninggalkan kemajemukan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah saat ini menganggap berhasil tidaknya
suatu pendidikan di Indonesia didasarkan pada Ujian Nasionalnya. Menurut pemikiran Driyarkara diatas, apabila indikator mutu pendidikan didasarkan pada
berhasil tidaknya Ujian Nasional UNAS maka kebijakan ini merupakan langkah yang kurang bijaksana dalam proses pendidikan di Indonesia
35
. Dengan sistem kebijakan tersebut, maka proses pendidikan dianggap meninggalkan nilai atau
aspek-aspek lain yang terkandung dalam proses pendidikan.
34
Arif Rohman, Politik Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009, hal. 88.
35
Ibid, hal. 368-369.
Pemikiran filsafat Driyarkara memberikan pemahaman dan sumbangan yang amat besar dalam proses pendidikan di Indonesia
36
. Gagasan pendidikan yang dirancang sebenarnya menjadi sebuah gagasan yang kritis terhadap
fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan. Proses pendidikan tidak boleh hanya menekankan nilai intelektual dan akademis semata. Pendidikan tidak
sekedar mengarahkan bahwa manusia harus berprestasi secara akademis formal, tetapi lebih jauh dari itu proses pendidikan haruslah sampai menyentuh kepada
kemanusiaan peserta didik secara utuh dan menyeluruh. Namun proses pendidikan harus menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses transformasi atau perubahan
ke arah yang lebih baik. Dimensi kedua yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan nasional kita
adalah metode. Metode pembelajaran di sini dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran
37
. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk
mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya yaitu metode ceramah, metode diskusi, metode demonstrasi, metode ceramah plus, metode
eksperimental, metode study tour karya wisata, metode latihan keterampilan, dll. Apabila metode pembelajaran tepat digunakan dalam proses belajar mengajar,
maka dapat dimungkinkan tujuan dari pembelajaran akan mudah tercapai. Cepat lambatnya peserta didik dalam belajar sangat erat kaitannya dengan metode yang
36
Ibid, hal. 368-369.
37
Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 39.
diterapkan. Suatu metode mempunyai cara-cara yang berbeda dengan metode yang lain sehingga dalam menerapkannya harus disesuaikan dengan keadaan
lingkungannya, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakatnya.
Dimensi ketiga yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan nasional kita adalah strategi pembelajaran. Sedangkan, strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah strategi atau cara mengajar pendidik yang monoton dan tidak mau mengikuti perkembangan serta perubahan jaman. Selain itu, pendidik
masih menggunakan cara-cara lama dalam menyampaikan materi pembelajaran. Sebagai contoh, pendidik belum bersedia menggunakan sistem mengajar dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi saat ini seperti internet, dsb. Hal ini dilakukan supaya peserta didik tidak mudah bosan dan materi dapat mudah diterima oleh
peserta didik sehingga tujuan dari pembelajaran dapat tercapai seperti yang diharapkan.
Berdasarkan dimensi pertama tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa basis dari pendidikan adalah manusia itu sendiri. Selaku pihak yang menjalankan serta
mendapatkan pendidikan, ia diharuskan mampu mengerti terlebih dahulu kehendak dari hidupnya. Manusia yang mengetahui akan keberadaannya
seharusnya mampu memberikan makna dari berbagai macam tanda alam dengan begitu mampu memberikan manfaat bagi manusia lainnya.
49