Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut.
PROFIL INDEKS KLINIS DAN KESEHATAN KUKU
BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK
PADA DOMBA GARUT
PURNAMA SINTA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Indeks Klinis
dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Purnama Sinta
NIM B04110030
ABSTRAK
PURNAMA SINTA. Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan
Kelompok Ternak Pada Domba Garut. Dibimbing oleh AGUS LELANA.
Tingkat produktivitas ternak domba berhubungan erat dengan kondisi
kesehatan. Kondisi kesehatan tubuh domba Garut diperoleh dari hasil
pemeriksaan klinis pada masing-masing kelompok ternak. Penelitian ini
membahas kesehatan kuku, body condition score (BCS) dan keterkaitan terhadap
suhu tubuh. Penelitian ini menggunakan sampel domba Garut yang dipilih secara
acak meliputi 10 ekor anakan jantan, 10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10
ekor anakan betina, 10 ekor dara, 10 ekor betina bunting, 10 ekor kering kandang,
dan 10 ekor laktasi. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa kesehatan kuku berpengaruh nyata terhadap
suhu tubuh ternak. Suhu tinggi ditemukan pada kelompok domba pejantan yang
memiliki kuku panjang dan retak. Hasil lainnya menunjukan bahwa skor BCS
berkorelasi terbalik terhadap suhu tubuh. Pada kelompok domba betina, ternak
dengan suhu tubuh rendah dari suhu kisaran normal ditemukan pada betina
bunting (BCS 3, 39.4 ºC), betina flushing (BCS 3, 38.1 ºC) dan diikuti betina
laktasi (BCS 2, 37.8 ºC). Pada kelompok domba jantan (BCS 2.5, 41.0 ºC),
anakan jantan (BCS 2.1, 39.8 ºC), dan anakan betina (BCS 1.5, 39.7 ºC).
Kata kunci: domba Garut, kesehatan kuku, BCS, suhu tubuh
ABSTRACT
PURNAMA SINTA. Clinical Index and Hoof Health Profile Based on
Physiological State of Garut Sheep. Supervised by AGUS LELANA.
The level of productivity of sheep is closely linked to the health condition.
In order to increased the health condition of Garut’s sheep we perform clinical
evaluation based on physiological state. This study was conducted to assess the
health of hoof, body condition scores (BCS) and its relation to body temperature
as a parameter Garut’s sheep body temperature. This study used redomizing stall
animals that consist of 10 male lambs, 10 male adolescents, 10 studs, 10 female
lambs, 10 nolly-para females, 10 gestations, 10 flushing animals, and 10 lactating
animals. Data analysis was performed using descriptive statistic. The result
showed that the health of hoof tend to be related to the body temperature. The
animal with high in normal ranging of temperature were found highly among
studs that characterized by crack and long hoof. Other result showed that the score
of BCS was tend to be related cenversely to the body temperature. In female
sheep, the animals with low in normal ranges of temperature were found more in
gestation animals (approcimately BCS 3, 39.4 ºC), and followed by flushing
animals (approcimately BCS 3, 38.1 ºC) and lactating animals (approcimately
BCS 2, 37.8 ºC). In male sheep animals (approcimately BCS 2.5, 41.0 ºC), and
followed by male lambs (approcimately BCS 2.1, 39.8 ºC) and female lambs
(approcimately BCS 1.5, 39.7 ºC).
Keywords: Garut’s sheep, hoof health, BCS, body temperature
PROFIL INDEKS KLINIS DAN KESEHATAN KUKU
BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK
PADA DOMBA GARUT
PURNAMA SINTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014
ini ialah kesehatan domba Garut, dengan judul Profil Indeks Klinis dan Kesehatan
Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Ali Dasril dan
Ibunda tercinta Tiasa serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh RP Agus
Lelana, SpMP MSi selaku pembimbing serta Ibu Dr Drh Umi Cahyaningsih, MSi
selaku dosen pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada pimpinan dan staf UPTD Balai Pengembangan Perbibitan
Ternak Domba Margawati, Garut yang telah membantu selama pengambilan
sampel dan pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Purnama Sinta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Domba Garut
2
Kesehatan Kuku
3
Body Condition Scores (BCS)
3
suhu Tubuh
4
METODE
5
Bahan
5
Alat
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Hasil
7
Pembahasan
8
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL
1 Suhu Tubuh Domba Garut Secara Individual
8
DAFTAR GAMBAR
1 Kuku Domba Garut Sebelum dan Sesudah Trimming
2 Teknik Menahan (Restrain) Domba Garut dan Perbedaan Kuku Panjang
dan Normal
3 Skematis Kaki dan Kuku Domba Garut
4 Teknik Penilaian Body Condition Scores (BCS)
5 Profil Kesehatan Kuku Ternak Domba Garut UPTD Margawati
6 Kaitan Suhu Tubuh – Kuku Domba Garut UPTD Margawati
7 Penilaian Subjektif BCS Domba Garut UPTD Margawati
8 Kaitan Suhu Tubuh – BCS Domba Garut UPTD Margawati
4
4
4
4
9
10
11
12
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal,
domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya.
Domba ini dapat beradaptasi dengan masukan (input) pakan dengan kualitas
rendah dan terjangkau, tetapi mampu menghasilkan (output) produksi lebih tinggi,
melalui pendekatan pemeliharaan dan kesehatan yang baik (Suherman 2009).
Bentuk anatomi dan tingkah laku yang unik menyebabkan domba Garut
berpotensi sebagai domba ketangkasan (20%) dan domba pedaging (80%).
Keunggulannya sebagai sumber protein hewani yang bergizi, terjangkau, mudah
berproduksi dan disebarluaskan menyebabkan domba Garut dapat mensubtitusi
kebutuhan daging sapi impor (Ditjenak 2010).
Mengingat potensinya dalam menunjang swasembada daging, pemerintah
melalui Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak
Domba Provinsi Jawa Barat mengembangkan manajemen produktivitas domba
Garut di Margawati, Kabupaten Garut. Dalam rangka meningkatkan produktivitas
ternak, diperlukan pengetahuan mengenai profil metabolisme dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Menurut Yani dan Purwanto (2006) faktor-faktor yang
mempengaruhi metabolisme ternak meliputi faktor keturunan, pakan, pengelolaan,
perkandangan, kesehatan, serta faktor lingkungan. Yani dan Purwanto (2006) juga
menjelaskan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor mikro yang dapat
mempengaruhi temperatur tubuh. Widodo et al. (2011) juga menekankan bahwa
iklim berpengaruh terhadap temperatur tubuh.
Selain faktor mikro, penampilan produksi juga dipengaruhi oleh faktor
makro yang didapat dari penilaian ukuran tubuh ternak (body condition score).
Dalam konteks metabolisme, besarnya penambahan panas yang berasal dari
radiasi matahari di daerah tropis dapat mencapai empat kali lebih besar dari
produksi panas hasil metabolisme. Besarnya penambahan panas ini tergantung
pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran tubuh ternak, maka semakin tinggi
suhu tubuh ternak (Saputra et al. 2013). Suhu tubuh normal domba berkisar 39.0 40.5 ºC (Widodo et al. 2011). Konsep kesehatan ternak dalam hal ini kesehatan
kuku sangat penting untuk mengoptimalkan produksi. Masalah kuku seringkali
muncul akibat kelalaian pemotongan kuku secara berkala di peternakan. Hal ini
berdampak pada kinerja dan produktivitas ternak menurun. Menurut Sudarmono
dan Sugeng (2011) pemotongan kuku panjang dilakukan rutin agar ternak
terhindar dari agen infeksi dan gangguan keseimbangan tubuh.
Pemeriksaan indeks klinis ternak dapat berupa pengukuran suhu tubuh dan
penilaian BCS (Pugh 2002). Pengukuran suhu tubuh merupakan salah satu cara
yang mudah dari indeks pemeriksaan klinis untuk mengetahui status kesehatan
ternak. Adapun dalam penilaian BCS, faktor utama yang diperlukan adalah
pengetahuan peternak penyedia daging tentang penggunaan BCS dalam
menentukan status gizi yang erat kaitannya dengan harga ternak tersebut.
Pemeriksaan indeks klinis kesehatan domba Garut dalam bentuk penilaian
BCS dan pengukuran suhu tubuh (rektal) dapat dilaukan pada masing-masing
kelompok ternak, yaitu anakan, remaja/dara, bunting, flushing/kering kandang,
2
dan pejantan. Hasil pemeriksaan ini dapat menunjang terwujudnya peningkatan
produksi dan produktivitas domba Garut di Unit Perbibitan Ternak Domba
(UPTD) Pengembangan Ternak Domba, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat,
Margawati.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan keterkaitan kesehatan kuku
dengan indeks klinis berupa body condition score (BCS), dan suhu tubuh pada
masing-masing kelompok ternak di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan
Ternak Domba Garut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan UPTD Balai
Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Garut dalam meningkatkan
produksi dan produktivitas ternak sebagai domba pedaging.
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Garut
Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal,
domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya.
Persilangan ini terjadi pada tahun 1864, ketika Pemerintah Hindia Belanda
mengimpor domba Merino dari Australia. Domba Merino dipelihara oleh
K.F.Holle di tanah pertaniannya didaerah Garut. Pada tahun 1886, K.F.Holle
menyebarluaskan beberapa ekor dombanya kepada peternak disekitarnya dan
kepada Bupati Limbangan Van Nispen, para tokoh pribumi di Garut dan
Tarogong, serta bangsa Eropa didaerah Sumedang dan Bandung (Soemirat dan
Merkens 1926). Domba Garut merupakan salah satu kekayaan sumber daya
genetik domba lokal Indonesia yang tersebar secara geografis di Provinsi Jawa
Barat. Budidaya domba Garut dilakukan secara turun-temurun dan telah
dilindungi oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No.
2914/Kpts/OT.140/6/2011 (Maurya et al. 2009). Menurut Herdis (2005),
klasifikasi:
Kingdom
: Animalia (hewan)
Phylum
: Chordata (hewan bertulang belakang)
Kelas
: Mamalia (hewan menyusui)
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Family
: Bovidae (memamah biak)
Genus
: Ovis (domba)
Spesies
: Ovies aries (domba yang didomestikasi)
3
Domba Garut (Ovis aries) mempunyai keunggulan dalam kemampuan
beradaptasi yang baik, berperan dalam pasokan daging untuk masyarakat, bersifat
prolifik (melahirkan anak lebih dari satu), dan tidak mengenal musim kawin
(Herdis 2005). Usaha ternak domba Garut memberi kontribusi nyata terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari rata-rata tingkat kepemilikan ideal
adalah 20-50 ekor per peternak (Setiawan B 2011). Ciri khas domba Garut jantan
adalah pangkal ekornya agak lebar denga ujung runcing dan pendek, dahi sedikit
lebar, kepala pendek, mata kecil, tanduk besar dan melingkar ke belakang.
Berbeda debga betina yang tidak memiliki tanduk, bentuk telinga bervariasi
(pendek sampai panjang). Domba betina yang memiliki telinga pendek dikenal
dengan domba rumpung, sedangkan betina telinga panjang dikenal domba
bongkor (Suherman 2009). Domba ini juga memiliki berat badan rata-rata di atas
domba lokal lainnya. Menurut Herdis (2005) menyebutkan bahwa domba Garut
dengan pakan baik akan mencapai bobot badan yang diinginkan, yaitu 60-80 kg
pada jantan dan 30-40 kg pada betina.
Kesehatan Kuku
Kuku merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan ternak. Kelainan pada kuku dapat dilihat secara inspeksi dan palpasi.
Selain itu, salah satu indikator kesehatan kuku adalah suhu tubuh. Ternak yang
mengalami gangguan kesehatan kuku akan menunjukkan peningkatan suhu tubuh
yang sering dikenal demam pada ternak (Blakely dan Bade 1991). Menurut
Maurya et al. (2009) pemotongan kuku domba dilakukan 4 bulan sekali.
Pemotongan kuku merupakan salah satu perawatan kesehatan ternak. Berhasil
tidaknya suatu peternakan tergantung dari faktor kesehatan, salah satunya
kesehatan kuku. Kuku panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak, karena
anak berjalan dengan tidak wajar sampai dewasa dan ini dapat menurunkan nilai
jual ternak (Setiawan B 2011). Pemotongan kuku domba dewasa merupakan
langkah langkah preventif terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit kuku
(pododermatitis), akibat agen penyakit yang terdapat disela kuku. Selain itu, kuku
panjnang pada domba jantan akan mengganggu proses perkawinan akibat tidak
bisa berdiri sempurna. Jika kuku patah maka akan menimbulkan luka dan infeksi
akan terjadi (Saputra et al. 2013). Menurut Setiawan B (2011) pemotongan kuku
pada anakan dimulai umur 6 bulan dan selanjutnya dilakukan seperti pada indukan
betina dan pejantan, yaitu 3-6 bulan sekali. Pola rotasi ternak sangat
mempengaruhi kejadian kuku yang abnormal. Ternak yang selalu dikandangkan
akan lebih cepat pertumbuhan kukunya dibandingkan ternak yang digembalakan.
Setiawan B (2011) memaparkan bahwa kuku yang panjang apabila tidak segera
dipotong dapat mengakibatkan gangguan pergerakan, domba jantan mengalami
kesulitan untuk kawin dan terbentuknya rongga di bawah kuku yang dipenuhi
dengan kotoran, sehingga dapat menurunkan produksi peternakan.
Kuku panjang dapat memicu kejadian infeksi pada ternak yang disebabkan
oleh mikroorganisme tanah maupun feses. Selain kejadian infeksi, kuku panjang
juga menyebabkan gangguan konformasi dan pergerakan ternak. Gangguan
pergerakan inilah yang sering terlihat pada ternak domba yang jarang dilakukan
trimming. Kuku panjang lama kelamaan akan retak dan melukai jaringan atau
4
kulit kaki. Luka tersebut akan memicu mikroorganisme masuk kedalam jaringan,
kuku menjadi rapuh dan bau, sehingga menimbulkan penyakit infeksi yang sering
dinamakan Foot Rot (Devendra dan Mcleroy 1982).
Gambar 1 Kuku domba sebelum dan sesudah dilakukan trimming
(Agromed 2009)
Gambar 2 Teknik menahan (restrain) domba dan perbedaan kuku panjang
dan kuku normal (Davendra dan Mcleroy 1982)
Gambar 3 Skematis kaki dan kuku domba (Davendra dan Mclorey 1982)
Body Condition Score (BCS) Domba
Body condition score (BCS) adalah perkiraan perkembangan otot dan lemak
pada hewan. BCS domba diberi skor 1 (kurus) ke 5 (obesitas) berdasarkan tingkat
otot dan penumpukan lemak sekitar pinggang. Tonjola tulang vertikal (prosessus
spinosus) dan horizontal (prosessus transversus) dari pinggang dirasakan dan
digunakan untuk menilai kondisi tubuh (Thompson dan Meyer 2006). BCS dapat
berguna dalam mencapai kondisi yang diinginkan dan kinerja selanjutnya selama
status fisiologis tertentu. Nilai BCS dapat bervariasi sesuai dengan genotip dan
status fisiologis domba, sehingga penting dilakukan studi dasar penentuan nilai
BCS ternak.
5
2
3
1
4
Gambar 4 [A] Merasakan tulang punggung domba tepat di costae terakhir
dan awal tulang pinggul; [B] Merasakan ujung prosessus transversus
dengan keterangan:
(1) prosessus spinosus;
(2) lemak;
(3) otot; dan
(4) prosessus transversus
Gambar 5 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot pinggang dangkal
(emaciacio/BCS 1)
Gambar 6 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot punggung
sedikit terdapat lemak (kurus/BCS 2)
Gambar 7 Penonjolan prosessus spinosus halus dan bulat (sedang/BCS 3)
Gambar 8 Prosessus spinosus sedikit teraba dan otot pinggang ditutupi
lemak (gemuk/BCS 4)
6
Gambar 9 Prosessus spinosus tidak teraba dan otot pinggang sangat
banyak ditutupi lemak (obesitas/BCS 5)
Suhu Tubuh
Suhu rektal digunakan sebagai ukuran suhu tubuh. Suhu rektal merupakan
suhu yang paling optimal menunjukan suhu internal tubuh (intertubuh), karena
suhu rektal terhubung langsung dengan rongga dalam tubuh dan mendapatkan
banyak vaskularisasi (Yilmaz et al. 2011). Shu rektal dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu suhu lingkungan, aktivitas ternak, pakan, minuman, dan pencernaan (Herdis
2005). Suhu tubuh normal adalah panas tubuh yang termonetral. Suhu rektal
domba berkisar antara 37.5- 40.5 ºC (Yilmaz et al. 2011), sedangkan menurut
Herdis (2015) menyatakan bahwa suhu rektal normal domba 38.0- 40.0 ºC. Suhu
normal domba dewasa 38.4- 40.5 ºC dan domba muda 39.5 ºC (Agromed 2009).
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan
Ternak Domba, Provinsi Jawa Barat Margawati, Kabupaten Garut. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Oktober sampai November 2014. Pengolahan data
dilaksanakan di FKH IPB pada bulan Desember 2014.
Bahan
Objek penelitian ini adalah 80 ekor yang dipilih secara acak dari 1.253 ekor
domba Garut berdasarkan kelompok ternak sebagai berikut: 10 ekor jantan anakan,
10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10 ekor betina anakan, 10 ekor dara, 10
ekor bunting, 10 ekor kering kandang, dan 10 ekor laktasi per kandang.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran, termometer
rektal, kertas bersih, alat tulis, jam, dan kamera.
Prosedur Penelitian
Menahan (restrain) dengan cara menjepit Os scapula menggunakan lutut.
Setelah ternak diam, dilakukan pengukuran suhu tubuh dengan termometer digital
pada daerah rektal. Penilaian BCS dilakukan dengan meraba otot dan tumpukan
7
lemak di atas dan disekitar vertebrae, yaitu prosessus spinosus dan prosessus
transversus. Penilaian tersebut dilakukan oleh empat orang untyk mengurangi
subjektifitas penilaian, kemudian hasil penilaian dirata-ratakan. Adapun untuk
penilaian kesehatan kuku dilakukan dengan meletakkan satu tangan di depan leher
ternak dan ditengadahkan, serta tangan satunya lagi diletakkan di belakang kepala
dengan posisi kaki menjepit punggung ternak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
kuku. Hasil pengukuran penilaian ternak dituliskan ke dalam buku pengamatan
yang telah disediakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi dinas
dibidang pengujian dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat.
UPTD ini berlokasi di Kelurahan Sukanegla Kecamatan Garut Kota Kabupaten
Garut dengan luas lahan ± 26 Ha. Secara topografi Kelurahan Sukanegla berada
pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut dan memiliki suhu berkisar
antara 16-26 ºC, dan curah hujan berkisar antara 1800-2500 mm/tahun serta
kelembaban udara 85-95%. Kondisi lokasi ini merupakan ekologi yang cocok
untuk pengembangan bibit domba Garut. Suhu optimal untuk lingkungan ternak
domba berkisar antara 13-18 ºC dan kritisnya pada suhu 32 ºC atau lebih,
sedangkan kelembaban optimal berkisar 60-70%. Faktor iklim yang terpenting
adalah suhu dan kelembaban udara, karena secara langsung mempengaruhi
kondisi dan produktivitas ternak (Martawidjaja et al. 1999).
Indeks Klinis: Suhu
Hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba di UPTD Margawati
berdasarkan jumlah ternak yang termasuk ke dalam kelompok suhu (hipotermi,
normotermi, dan hipertermi) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu kisaran normal
(39.6-40.0 ºC) lebih banyak ditemukan pada kelompok ternak jantan, yakni 19
ekor yang didominasi oleh jantan anakan dan pejantan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nugroho (2008) bahwa suhu rektal normal domba anakan baik jantan
maupun betina berkisar 39-40 ºC, sedangkan suhu normal domba dewasa berkisar
39.7-40.5 ºC (Umbara KB 2009). Suhu hipotermi atau di bawah kisaran normal
(38.5-39.5 ºC) ditemukan pada kelompok ternak betina yang didominasi oleh
betina laktasi dan flushing. Hipertemi atau di atas kisaran normal (˃40.0 ºC)
hanya ditemukan pada 2 ekor pejantan.
8
Tabel 1 Suhu tubuh domba Garut secara individual pada masing-masing fase
pertumbuhan
Kelompok Ternak Suhu Rektal (°C) berdasarkan jumlah ternak (ekor)
(n=80)
Hipotermi
Normotermi Hipertermi
Betina
- Anakan
4 ekor
6 ekor
- Dara
2 ekor
8 ekor
7 ekor
3 ekor
- Bunting
9 ekor
1 ekor
- Kering
Kandang
- Laktasi
10 ekor
Jantan
- Anakan
- Remaja
- Pejantan
2 ekor
7 ekor
-
8 ekor
3 ekor
8 ekor
-
2
ekor
Keterangan: Hipotermi (38.5-39.5 ºC), normotermi (39.6-40.0 ºC), dan hipertermi
(˃40.0 ºC)
Kesehatan Kuku
Profil Kesehatan Kuku
Kesehatan kuku domba di UPTD Margawati pada masing-masing kelompok
ternak (jantan, betina dan anakan) dilihat dari parameter panjang tidaknya kuku
dan jumlah ternak yang ditunjukan pada Tabel 1. Pada kelompok jantan terdiri
dari remaja dan pejantan terlihat jumlah ternak berkuku panjang sedikit lebih
rendah dari pada ternak kuku tidak panjang. Jumlah ternak yang memiliki kuku
panjang pada kelompok jantan sebanyak 9 ekor yang didominasi pejantan
sebanyak 7 ekor dan remaja 2 ekor. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan
petugas di UPTD Margawati yang menyatakan untuk ternak jantan terutama
remaja sering dilakukan pemotongan kuku panjang, sedangkan pejantan jarang
dilakukan trimming. Menurut Nugroho (2008) bahwa pertumbuhan kuku pada
ternak muda lebih cepat seiring dengan perkembangan metabolik tubuh. Dengan
ini petugas di UPTD lebih sering melakukan trimming pada kelompok ternak
tersebut. Pada kelompok betina terdiri dari dara, bunting, kering kandang dan
laktasi menunjukan jumlah yang sangat signifikan ternak berkuku panjang
dibandingkan ternak tidak berkuku panjang. Sebanyak 28 ekor domba betina
berkuku panjang yang didominasi betina bunting 9 ekor, kering kandang 7 ekor,
laktasi 6 ekor dan dara 6 ekor. Ternak bunting sangat sensitif terhadap cekaman
stress yang dapat berdampak pada penurunan produksi (Sudarmono dan Sugeng
2011). Pada kelompok ternak anakan (jantan dan betina) sebanyak 5 ekor berkuku
panjang dan 15 ekor berkuku normal (tidak panjang). Menurut Setiawan B (2011)
pemotongan kuku pada domba anakan dimulai umur 6 bulan dan pada domba
indukan 3-6 bula sekali.
9
Gambar 1 Profil kesehatan kuku ternak domba Garut di UPTD Margawati
Kelainan Kuku
Abnormalitas kuku terlihat pada beberapa ternak domba di UPTD
Margawati. Kelainan bentuk kuku yang ditemukan berupa kuku kaki depan
terpelintir, kuku kaki belakang yang miring. Bentuk abnormal kuku tersebut
akibat trimming yang tidak dilakukan secara berkala. Kelainan kuku di atas
ditemukan pada ternak domba pejantan (dewasa). Suhu pada domba pejantan yang
memiliki abnormal kuku kaki belakang retak melebihi suhu normal yaitu 40.45 ºC.
Adapun domba pejantan yang memiliki abnormal kuku plantar terpelintir dan
miring 36.5 ºC yang berada di bawah kisaran normal.
Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap Kesehatan Kuku
Kaitan suhu tubuh terhadap faktor kesehatan kuku dapat dilihat dari lesio
yang terbentuk. Pada kelompok jantan, semakin dewasa (fase pertumbuhannya)
akan cenderung mengalami masalah kesehatan kuku, misalnya peradangan yang
ditunjukan tinggi suhu tubuh. Hal ini terlihat pada Gambar 4, dimana dua ekor
domba pejantan berkuku panjang menunjukan kenaikan suhu tubuh sebesar 41.0
ºC dan 41.3 ºC. Domba pejantan tersebut mengalami lesio pada sela kuku yang
patah dan melukai jaringan sekitar. Menurut Saputra et al. (2013) bahwa kuku
patah akan menimbulkan luka dan memicu kejadian infeksi. Infeksi tersebut akan
mempengaruhi kondisi faal ternak, termasuk suhu internal tubuh. Satu ekor
anakan jantan menunjukan suhu normal (38.6 ºC) dengan kondisi kuku panjang.
Pada kelompok ternak domba betina, masalah kuku cenderung berkaitan dengan
masa kebuntingan yang dipengaruhi oleh proseses fisiologis kebuntingan dan
suhu tubuh dalam kisaran normal. Pada domba bunting dan kering kandang
memperlihatkan dominasi kuku panjang tanpa adanya kenaikan suhu tubuh.
10
Jantan
Betina
Gambar 4 Keterkaitan suhu tubuh terhadap kuku domba Garut di UPTD
Margawati. Keterangan:
1. Jantan anakan
5. Dara
2. Jantan remaja
6. Bunting
3. Pejantan
7. Kering kandang
4. Betina anakan
8. Laktasi
Indeks Klinis: Body Condition Score (BCS)
Profil BCS Ternak
Hasil pengumpulan data rata-rata BCS domba Garut UPTD Balai
Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati ditampilkan dalam
bentuk Gambar 2 (A dan B) dan perbandingan literatur pada Hambar 3C. Dimana
betina anakan memiliki BCS 2.1, dara BCS 2.5, bunting BCS 2.6, laktasi BCS 2.1,
kering kandang BCS 1.9, jantan anakan BCS 2.0, jantan remaja BCS 2.0, dan
pejantan BCS 3.0.
Data BCS UPTD ini dibandingkan dengan literatur yang menunjukan BCS
optimal masing-masing fase pertumbuhan. Pada domba anakan baik betina
maupun jantan, BCS yang diperoleh sesuai dengan BCS optimal yakni berkisar
2.0-2.5 dan dara memiliki BCS optimal berkisar 2.5-3.0 (Meyer dan Thompson
2006). Pada domba bunting BCS optimal 3.0 dan ini berbeda dengan BCS domba
bunting UPTD Margawati yakni 2.6. Kemungkinan pada domba bunting UPTD
Marhawati kekurangan asupan nutrisi, sehingga cadangan lemak yang tersimpan
ditubuh induk dimobilisasi menjadi energi dan nutrisi untuk fetus. Pada domba
11
laktasi BCS optimal 2.0-2.5 (ESGPIP 2001). Skor BCS laktasi UPTD masih
dalam kisaran normal yakni 2.1. pada domba kering kandang BCS optimal 2.0
(ESGPIP 2001). Pada domba kering kandang UPTD Margawati BCS 1.9 yang
tidak terlalu berbeda nyata dengan skor optimal literatur. Pada domba pejantan
BCS optimal 3.0-3.5 (Meyer dan Thompson 2006). Hal ini sesuai dengan BCS
domba pejantan UPTD Margawati yaitu 3.0.
Gambar 2A
Gambar 2B
Gambar 3C Literatur BCS optimal (ESGPIP
2001)
C
B
A
D
E
Gambar 11 Penilaian subjektif BCS domba Garut di UPTD Margawati dengan
skor 1.0-1.5 (A); skor 1.5-2.0 (B); skor 2.0-2.5 (C); skor 2.5-3.0
(D); dan skor 3.0-3.5 (E)
Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap BCS Ternak
Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh terak secara
ad libitum. Kesehatan ternak juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan.
Ternak yang sakit, walaupun gejala penyakitnya belum jelas, nafsu makannya
turun dan cenderung malas berjalan ketempat pakan maupun minum. Pada
12
keadaan suhu tubuh tinggi, nafsu makan menurun dan konsumsi air meningkat
(Arifin et al. 2009).
SUHU-BCS
SUHU TUBUH
Score 1
Score 1.5
Score 2
Score 2.5
Score 3
Score 3.5
41.6
41.5
41.4
41.3
41.2
41.1
41
40.9
40.8
40.7
40.6
40.5
40.4
40.3
40.2
40.1
40
39.9
39.8
39.7
39.6
39.5
39.4
39.3
39.2
39.1
39
38.9
38.8
38.7
38.6
38.5
38.4
38.3
38.2
38.1
38
37.9
37.8
37.7
37.6
37.5
37.4
37.3
37.2
37.1
37
36.9
36.8
36.7
36.6
36.5
36.4
36.3
36.2
0
1
2
Jantan
3
4
5
SKOR BCS
Kelompok Ternak
6
7
8
9
Betina
Gambar 5 Keterkaitan suhu tubuh terhadap BCS domba Garut di UPTD
Margawati. Keterangan:
1. Jantan anakan
5. Dara
2. Jantan remaja
6. Bunting
3. Pejantan
7. Kering kandang
4. Betina anakan
8. Laktasi
Kondisi suhu tubuh ternak yang tinggi, berdampak pada menurunnya bobot
badan dan berpengaruh terhadap nilai BCS ternak yang semakin kecil. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di UPTD Margawati pada Gambar
5, satu ekor anakan jantan yang memiliki suhu rendah (38.6 ºC) dengan BCS 3.0.
Selain pada kelompok anakan jantan, BCS 2.0 terlihat pada satu ekor domba
pejantan yang memiliki suhu tinggi (41.3 ºC). Pada kelompok domba kering
kandang ditemukan satu ekor yang memiliki suhu rendah (37.9 ºC) dengan BCS
3.0. Menurut Herdis (2005) korelasi suhu terhadap bobot badan berbanding
terbalik. Hal ini menunjukan jika suhu tinggi maka bobot badan ternak semakin
rendah, begitu juga dengan penilaian BCS. Jika ternak memiliki suhu rendah,
maka nilai BCS yang diperoleh secara subjektif pun tinggi. Ternak mengalami
stress akibat panas lingkungan dapat menaikkan suhu tubuh dn frekuensi
pernapasan. Apabila suhu lingkungan naik sampai 35 ºC akan terjadi gangguan
termoregulasi pada ternak, menyebabkan kenaikan suhu tubuh dan konsumsi air
minum. Sebaliknya, kondisi ini akan menurunkan konsumsi pakan yang berefek
pada penurununan produktivitas ternak (Subronto et al. 2004).
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.
Berdasarkan kelompok ternak, domba kering kandang memiliki suhu
tubuh cenderung rendah dibandingkan domba betina lainnya;
Peningkatan suhu tubuh pada domba pejantan berkorelasi dengan
gangguan kesehatan kuku; dan
Suhu tubuh cenderung berbanding terbalik dengan skor BCS, terutama
pada kelompok ternak domba betina dara, bunting dan pejantan.
Saran
1.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara suhu
lingkungan dan suhu tubuh domba Garut; dan
Temuan adanya suhu tubuh yang cenderung rendah dengan selang normal
pada betina kering kandang, perlu diteliti lebih lanjut keterkaitannya
dengan proses metabolisme.
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia. 2009. Petunjuk Praktis Menggemukkan Domba, Kambing, dan Sapi
Potong. Jakarta (ID): pt. Agromedia Pustaka.
Arifin M, Kusuma I, Sunarso. 2009. Konsentrasi VFA rumen pada domba ekor
tipis jantan yang mendapatkan suhu lingkungan dan aras pemberian pakan
yang berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang (ID): UNDIP Pr.
Blakely J, Bade HD. 1991. Ilmu Peternakan. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Devendra C, Mclorey GB. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics.
United Kingdom (US): Longman Froup Limited.
[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue Print Program
Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.
[ESGPIP] Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program. 2001.
Body Condition Scoring of Sheep and Goats. 8th Ed. www.pvamrfethiopia.
Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi
laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [disertasi]. Bogor (ID): IPB Pr.
Kamiya M, Iwama Y, Tanaka M. 2005. Effects of high ambient temperature and
restricted feed intake on nitrogen utilization for milk production. J. Anim Sci
[Internet]. [diunduh 17 Mei 2015].
Kurnia Umbara B. 2009. Kecernaan serat pakan pada domba betina yang
mendapat ransum dengan nilai nisbah kation anion dan kromium berbeda
[skripsi]. Bogor (ID): IPB Pr.
Martawidjaja M, Tiesnamurti B, Handiwirawan E, Inouni I. 1999. Studi fisiologis
domba lokal dan persilangannya dengan domba moulton charollais dan st.
Croix pada umur muda. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor
(ID): Balai Penelitian Ternak.
14
Maurya VP, Kumar S, Kumar D, Gulyani R, Joshi A, Naqvi S, Arora AL, Singh
VK. 2009. Effect of body condition score on reproductive perfomance of
Chokla ewes. Indian J. Anim Sci [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015].
Nugroho CP. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia Jilid 1. Jakarta (ID): Direktorat
Pembina Sekolah Menengah Kejuruan.
Pugh DG. 2002. Sheep and Goat Medicine. New York (US): Saunders.
Saputra Y, Sudewo A, Utami S. 2013. Hubungan antara lingkar dada, panjang
badan, tinggi badan dan lokasi dengan produksi susu kambing Sapera. Jurnal
Ilmu Peternakan. 1(3): 1173-1182.
Setiawan Budi. 2001. Beternak Domba dan Kambing. Jakarta (ID): PT.
Agromedia Pustaka.
Subronto, Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Sudarmono A, Sugeng YB. 2011. Beternak Domba. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Soemirat, Merkens. 1926. Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Domba
di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI.
Suherman M. 2009. Respon Fosiologis Domba Garut Betina yang Diberi Ransum
Komplit dengan Nilai Rasio Anion Kation dan Kromium yang Berbeda. Bogor
(ID): IPB Pr.
Thompson JM, Meyer H. 2006. Body Condition Scoring of Sheep. Proc. 52nd
Bien.
Spooner
Sheep
D.
Page:28.
Tersedia
pada:
http://oregonstate.edu/dept/animal.sciences/bes.htm.
Widodo et al. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Pr.
Yani A dan Purwanto B. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologis
ternak domba. Media Petern [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015]. Bogor
(ID): IPB Pr.
Yilmaz M, Altin T, Karaca O, Cemal I, Erbay H et al. 2011. Effect of body
condition scote at mating on the reproductive perfomance of Kirviricik sheep
under an extensive production system. Trop Anim Health. 43:15551560.doi:10.1007/s11250-011-9841-1.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Purnama Sinta. Penulis lahir di Panti pada tanggal
03 Agustus 1993. Penulis merupakan anak ke-4 dari pasangan Bapak Ali Dasril
dan Ibu Tiasa.
Penulis telah menamatkan pendidikan formal di SDN 10 Kemakmuran pada
tahun 2005, SMPN 01 Talamau tahun 2008, dan SMAN 01 Talamau tahun 2011.
Penulis meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor Melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
Institut Pertanian Bogor (SNMPTN). Penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Minat Profesi Ruminansia (2012-2014), tergabung dalam Lembaga Paguyuban
Bidikmisi IPB (2012-2013), serta menjadi pengurus Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB (2012-2014) selama perkuliahan.
BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK
PADA DOMBA GARUT
PURNAMA SINTA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Indeks Klinis
dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Purnama Sinta
NIM B04110030
ABSTRAK
PURNAMA SINTA. Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan
Kelompok Ternak Pada Domba Garut. Dibimbing oleh AGUS LELANA.
Tingkat produktivitas ternak domba berhubungan erat dengan kondisi
kesehatan. Kondisi kesehatan tubuh domba Garut diperoleh dari hasil
pemeriksaan klinis pada masing-masing kelompok ternak. Penelitian ini
membahas kesehatan kuku, body condition score (BCS) dan keterkaitan terhadap
suhu tubuh. Penelitian ini menggunakan sampel domba Garut yang dipilih secara
acak meliputi 10 ekor anakan jantan, 10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10
ekor anakan betina, 10 ekor dara, 10 ekor betina bunting, 10 ekor kering kandang,
dan 10 ekor laktasi. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa kesehatan kuku berpengaruh nyata terhadap
suhu tubuh ternak. Suhu tinggi ditemukan pada kelompok domba pejantan yang
memiliki kuku panjang dan retak. Hasil lainnya menunjukan bahwa skor BCS
berkorelasi terbalik terhadap suhu tubuh. Pada kelompok domba betina, ternak
dengan suhu tubuh rendah dari suhu kisaran normal ditemukan pada betina
bunting (BCS 3, 39.4 ºC), betina flushing (BCS 3, 38.1 ºC) dan diikuti betina
laktasi (BCS 2, 37.8 ºC). Pada kelompok domba jantan (BCS 2.5, 41.0 ºC),
anakan jantan (BCS 2.1, 39.8 ºC), dan anakan betina (BCS 1.5, 39.7 ºC).
Kata kunci: domba Garut, kesehatan kuku, BCS, suhu tubuh
ABSTRACT
PURNAMA SINTA. Clinical Index and Hoof Health Profile Based on
Physiological State of Garut Sheep. Supervised by AGUS LELANA.
The level of productivity of sheep is closely linked to the health condition.
In order to increased the health condition of Garut’s sheep we perform clinical
evaluation based on physiological state. This study was conducted to assess the
health of hoof, body condition scores (BCS) and its relation to body temperature
as a parameter Garut’s sheep body temperature. This study used redomizing stall
animals that consist of 10 male lambs, 10 male adolescents, 10 studs, 10 female
lambs, 10 nolly-para females, 10 gestations, 10 flushing animals, and 10 lactating
animals. Data analysis was performed using descriptive statistic. The result
showed that the health of hoof tend to be related to the body temperature. The
animal with high in normal ranging of temperature were found highly among
studs that characterized by crack and long hoof. Other result showed that the score
of BCS was tend to be related cenversely to the body temperature. In female
sheep, the animals with low in normal ranges of temperature were found more in
gestation animals (approcimately BCS 3, 39.4 ºC), and followed by flushing
animals (approcimately BCS 3, 38.1 ºC) and lactating animals (approcimately
BCS 2, 37.8 ºC). In male sheep animals (approcimately BCS 2.5, 41.0 ºC), and
followed by male lambs (approcimately BCS 2.1, 39.8 ºC) and female lambs
(approcimately BCS 1.5, 39.7 ºC).
Keywords: Garut’s sheep, hoof health, BCS, body temperature
PROFIL INDEKS KLINIS DAN KESEHATAN KUKU
BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK
PADA DOMBA GARUT
PURNAMA SINTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014
ini ialah kesehatan domba Garut, dengan judul Profil Indeks Klinis dan Kesehatan
Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Ali Dasril dan
Ibunda tercinta Tiasa serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh RP Agus
Lelana, SpMP MSi selaku pembimbing serta Ibu Dr Drh Umi Cahyaningsih, MSi
selaku dosen pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada pimpinan dan staf UPTD Balai Pengembangan Perbibitan
Ternak Domba Margawati, Garut yang telah membantu selama pengambilan
sampel dan pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Purnama Sinta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Domba Garut
2
Kesehatan Kuku
3
Body Condition Scores (BCS)
3
suhu Tubuh
4
METODE
5
Bahan
5
Alat
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Hasil
7
Pembahasan
8
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL
1 Suhu Tubuh Domba Garut Secara Individual
8
DAFTAR GAMBAR
1 Kuku Domba Garut Sebelum dan Sesudah Trimming
2 Teknik Menahan (Restrain) Domba Garut dan Perbedaan Kuku Panjang
dan Normal
3 Skematis Kaki dan Kuku Domba Garut
4 Teknik Penilaian Body Condition Scores (BCS)
5 Profil Kesehatan Kuku Ternak Domba Garut UPTD Margawati
6 Kaitan Suhu Tubuh – Kuku Domba Garut UPTD Margawati
7 Penilaian Subjektif BCS Domba Garut UPTD Margawati
8 Kaitan Suhu Tubuh – BCS Domba Garut UPTD Margawati
4
4
4
4
9
10
11
12
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal,
domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya.
Domba ini dapat beradaptasi dengan masukan (input) pakan dengan kualitas
rendah dan terjangkau, tetapi mampu menghasilkan (output) produksi lebih tinggi,
melalui pendekatan pemeliharaan dan kesehatan yang baik (Suherman 2009).
Bentuk anatomi dan tingkah laku yang unik menyebabkan domba Garut
berpotensi sebagai domba ketangkasan (20%) dan domba pedaging (80%).
Keunggulannya sebagai sumber protein hewani yang bergizi, terjangkau, mudah
berproduksi dan disebarluaskan menyebabkan domba Garut dapat mensubtitusi
kebutuhan daging sapi impor (Ditjenak 2010).
Mengingat potensinya dalam menunjang swasembada daging, pemerintah
melalui Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak
Domba Provinsi Jawa Barat mengembangkan manajemen produktivitas domba
Garut di Margawati, Kabupaten Garut. Dalam rangka meningkatkan produktivitas
ternak, diperlukan pengetahuan mengenai profil metabolisme dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Menurut Yani dan Purwanto (2006) faktor-faktor yang
mempengaruhi metabolisme ternak meliputi faktor keturunan, pakan, pengelolaan,
perkandangan, kesehatan, serta faktor lingkungan. Yani dan Purwanto (2006) juga
menjelaskan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor mikro yang dapat
mempengaruhi temperatur tubuh. Widodo et al. (2011) juga menekankan bahwa
iklim berpengaruh terhadap temperatur tubuh.
Selain faktor mikro, penampilan produksi juga dipengaruhi oleh faktor
makro yang didapat dari penilaian ukuran tubuh ternak (body condition score).
Dalam konteks metabolisme, besarnya penambahan panas yang berasal dari
radiasi matahari di daerah tropis dapat mencapai empat kali lebih besar dari
produksi panas hasil metabolisme. Besarnya penambahan panas ini tergantung
pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran tubuh ternak, maka semakin tinggi
suhu tubuh ternak (Saputra et al. 2013). Suhu tubuh normal domba berkisar 39.0 40.5 ºC (Widodo et al. 2011). Konsep kesehatan ternak dalam hal ini kesehatan
kuku sangat penting untuk mengoptimalkan produksi. Masalah kuku seringkali
muncul akibat kelalaian pemotongan kuku secara berkala di peternakan. Hal ini
berdampak pada kinerja dan produktivitas ternak menurun. Menurut Sudarmono
dan Sugeng (2011) pemotongan kuku panjang dilakukan rutin agar ternak
terhindar dari agen infeksi dan gangguan keseimbangan tubuh.
Pemeriksaan indeks klinis ternak dapat berupa pengukuran suhu tubuh dan
penilaian BCS (Pugh 2002). Pengukuran suhu tubuh merupakan salah satu cara
yang mudah dari indeks pemeriksaan klinis untuk mengetahui status kesehatan
ternak. Adapun dalam penilaian BCS, faktor utama yang diperlukan adalah
pengetahuan peternak penyedia daging tentang penggunaan BCS dalam
menentukan status gizi yang erat kaitannya dengan harga ternak tersebut.
Pemeriksaan indeks klinis kesehatan domba Garut dalam bentuk penilaian
BCS dan pengukuran suhu tubuh (rektal) dapat dilaukan pada masing-masing
kelompok ternak, yaitu anakan, remaja/dara, bunting, flushing/kering kandang,
2
dan pejantan. Hasil pemeriksaan ini dapat menunjang terwujudnya peningkatan
produksi dan produktivitas domba Garut di Unit Perbibitan Ternak Domba
(UPTD) Pengembangan Ternak Domba, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat,
Margawati.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan keterkaitan kesehatan kuku
dengan indeks klinis berupa body condition score (BCS), dan suhu tubuh pada
masing-masing kelompok ternak di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan
Ternak Domba Garut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan UPTD Balai
Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Garut dalam meningkatkan
produksi dan produktivitas ternak sebagai domba pedaging.
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Garut
Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal,
domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya.
Persilangan ini terjadi pada tahun 1864, ketika Pemerintah Hindia Belanda
mengimpor domba Merino dari Australia. Domba Merino dipelihara oleh
K.F.Holle di tanah pertaniannya didaerah Garut. Pada tahun 1886, K.F.Holle
menyebarluaskan beberapa ekor dombanya kepada peternak disekitarnya dan
kepada Bupati Limbangan Van Nispen, para tokoh pribumi di Garut dan
Tarogong, serta bangsa Eropa didaerah Sumedang dan Bandung (Soemirat dan
Merkens 1926). Domba Garut merupakan salah satu kekayaan sumber daya
genetik domba lokal Indonesia yang tersebar secara geografis di Provinsi Jawa
Barat. Budidaya domba Garut dilakukan secara turun-temurun dan telah
dilindungi oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No.
2914/Kpts/OT.140/6/2011 (Maurya et al. 2009). Menurut Herdis (2005),
klasifikasi:
Kingdom
: Animalia (hewan)
Phylum
: Chordata (hewan bertulang belakang)
Kelas
: Mamalia (hewan menyusui)
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Family
: Bovidae (memamah biak)
Genus
: Ovis (domba)
Spesies
: Ovies aries (domba yang didomestikasi)
3
Domba Garut (Ovis aries) mempunyai keunggulan dalam kemampuan
beradaptasi yang baik, berperan dalam pasokan daging untuk masyarakat, bersifat
prolifik (melahirkan anak lebih dari satu), dan tidak mengenal musim kawin
(Herdis 2005). Usaha ternak domba Garut memberi kontribusi nyata terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari rata-rata tingkat kepemilikan ideal
adalah 20-50 ekor per peternak (Setiawan B 2011). Ciri khas domba Garut jantan
adalah pangkal ekornya agak lebar denga ujung runcing dan pendek, dahi sedikit
lebar, kepala pendek, mata kecil, tanduk besar dan melingkar ke belakang.
Berbeda debga betina yang tidak memiliki tanduk, bentuk telinga bervariasi
(pendek sampai panjang). Domba betina yang memiliki telinga pendek dikenal
dengan domba rumpung, sedangkan betina telinga panjang dikenal domba
bongkor (Suherman 2009). Domba ini juga memiliki berat badan rata-rata di atas
domba lokal lainnya. Menurut Herdis (2005) menyebutkan bahwa domba Garut
dengan pakan baik akan mencapai bobot badan yang diinginkan, yaitu 60-80 kg
pada jantan dan 30-40 kg pada betina.
Kesehatan Kuku
Kuku merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan ternak. Kelainan pada kuku dapat dilihat secara inspeksi dan palpasi.
Selain itu, salah satu indikator kesehatan kuku adalah suhu tubuh. Ternak yang
mengalami gangguan kesehatan kuku akan menunjukkan peningkatan suhu tubuh
yang sering dikenal demam pada ternak (Blakely dan Bade 1991). Menurut
Maurya et al. (2009) pemotongan kuku domba dilakukan 4 bulan sekali.
Pemotongan kuku merupakan salah satu perawatan kesehatan ternak. Berhasil
tidaknya suatu peternakan tergantung dari faktor kesehatan, salah satunya
kesehatan kuku. Kuku panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak, karena
anak berjalan dengan tidak wajar sampai dewasa dan ini dapat menurunkan nilai
jual ternak (Setiawan B 2011). Pemotongan kuku domba dewasa merupakan
langkah langkah preventif terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit kuku
(pododermatitis), akibat agen penyakit yang terdapat disela kuku. Selain itu, kuku
panjnang pada domba jantan akan mengganggu proses perkawinan akibat tidak
bisa berdiri sempurna. Jika kuku patah maka akan menimbulkan luka dan infeksi
akan terjadi (Saputra et al. 2013). Menurut Setiawan B (2011) pemotongan kuku
pada anakan dimulai umur 6 bulan dan selanjutnya dilakukan seperti pada indukan
betina dan pejantan, yaitu 3-6 bulan sekali. Pola rotasi ternak sangat
mempengaruhi kejadian kuku yang abnormal. Ternak yang selalu dikandangkan
akan lebih cepat pertumbuhan kukunya dibandingkan ternak yang digembalakan.
Setiawan B (2011) memaparkan bahwa kuku yang panjang apabila tidak segera
dipotong dapat mengakibatkan gangguan pergerakan, domba jantan mengalami
kesulitan untuk kawin dan terbentuknya rongga di bawah kuku yang dipenuhi
dengan kotoran, sehingga dapat menurunkan produksi peternakan.
Kuku panjang dapat memicu kejadian infeksi pada ternak yang disebabkan
oleh mikroorganisme tanah maupun feses. Selain kejadian infeksi, kuku panjang
juga menyebabkan gangguan konformasi dan pergerakan ternak. Gangguan
pergerakan inilah yang sering terlihat pada ternak domba yang jarang dilakukan
trimming. Kuku panjang lama kelamaan akan retak dan melukai jaringan atau
4
kulit kaki. Luka tersebut akan memicu mikroorganisme masuk kedalam jaringan,
kuku menjadi rapuh dan bau, sehingga menimbulkan penyakit infeksi yang sering
dinamakan Foot Rot (Devendra dan Mcleroy 1982).
Gambar 1 Kuku domba sebelum dan sesudah dilakukan trimming
(Agromed 2009)
Gambar 2 Teknik menahan (restrain) domba dan perbedaan kuku panjang
dan kuku normal (Davendra dan Mcleroy 1982)
Gambar 3 Skematis kaki dan kuku domba (Davendra dan Mclorey 1982)
Body Condition Score (BCS) Domba
Body condition score (BCS) adalah perkiraan perkembangan otot dan lemak
pada hewan. BCS domba diberi skor 1 (kurus) ke 5 (obesitas) berdasarkan tingkat
otot dan penumpukan lemak sekitar pinggang. Tonjola tulang vertikal (prosessus
spinosus) dan horizontal (prosessus transversus) dari pinggang dirasakan dan
digunakan untuk menilai kondisi tubuh (Thompson dan Meyer 2006). BCS dapat
berguna dalam mencapai kondisi yang diinginkan dan kinerja selanjutnya selama
status fisiologis tertentu. Nilai BCS dapat bervariasi sesuai dengan genotip dan
status fisiologis domba, sehingga penting dilakukan studi dasar penentuan nilai
BCS ternak.
5
2
3
1
4
Gambar 4 [A] Merasakan tulang punggung domba tepat di costae terakhir
dan awal tulang pinggul; [B] Merasakan ujung prosessus transversus
dengan keterangan:
(1) prosessus spinosus;
(2) lemak;
(3) otot; dan
(4) prosessus transversus
Gambar 5 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot pinggang dangkal
(emaciacio/BCS 1)
Gambar 6 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot punggung
sedikit terdapat lemak (kurus/BCS 2)
Gambar 7 Penonjolan prosessus spinosus halus dan bulat (sedang/BCS 3)
Gambar 8 Prosessus spinosus sedikit teraba dan otot pinggang ditutupi
lemak (gemuk/BCS 4)
6
Gambar 9 Prosessus spinosus tidak teraba dan otot pinggang sangat
banyak ditutupi lemak (obesitas/BCS 5)
Suhu Tubuh
Suhu rektal digunakan sebagai ukuran suhu tubuh. Suhu rektal merupakan
suhu yang paling optimal menunjukan suhu internal tubuh (intertubuh), karena
suhu rektal terhubung langsung dengan rongga dalam tubuh dan mendapatkan
banyak vaskularisasi (Yilmaz et al. 2011). Shu rektal dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu suhu lingkungan, aktivitas ternak, pakan, minuman, dan pencernaan (Herdis
2005). Suhu tubuh normal adalah panas tubuh yang termonetral. Suhu rektal
domba berkisar antara 37.5- 40.5 ºC (Yilmaz et al. 2011), sedangkan menurut
Herdis (2015) menyatakan bahwa suhu rektal normal domba 38.0- 40.0 ºC. Suhu
normal domba dewasa 38.4- 40.5 ºC dan domba muda 39.5 ºC (Agromed 2009).
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan
Ternak Domba, Provinsi Jawa Barat Margawati, Kabupaten Garut. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Oktober sampai November 2014. Pengolahan data
dilaksanakan di FKH IPB pada bulan Desember 2014.
Bahan
Objek penelitian ini adalah 80 ekor yang dipilih secara acak dari 1.253 ekor
domba Garut berdasarkan kelompok ternak sebagai berikut: 10 ekor jantan anakan,
10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10 ekor betina anakan, 10 ekor dara, 10
ekor bunting, 10 ekor kering kandang, dan 10 ekor laktasi per kandang.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran, termometer
rektal, kertas bersih, alat tulis, jam, dan kamera.
Prosedur Penelitian
Menahan (restrain) dengan cara menjepit Os scapula menggunakan lutut.
Setelah ternak diam, dilakukan pengukuran suhu tubuh dengan termometer digital
pada daerah rektal. Penilaian BCS dilakukan dengan meraba otot dan tumpukan
7
lemak di atas dan disekitar vertebrae, yaitu prosessus spinosus dan prosessus
transversus. Penilaian tersebut dilakukan oleh empat orang untyk mengurangi
subjektifitas penilaian, kemudian hasil penilaian dirata-ratakan. Adapun untuk
penilaian kesehatan kuku dilakukan dengan meletakkan satu tangan di depan leher
ternak dan ditengadahkan, serta tangan satunya lagi diletakkan di belakang kepala
dengan posisi kaki menjepit punggung ternak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
kuku. Hasil pengukuran penilaian ternak dituliskan ke dalam buku pengamatan
yang telah disediakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi dinas
dibidang pengujian dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat.
UPTD ini berlokasi di Kelurahan Sukanegla Kecamatan Garut Kota Kabupaten
Garut dengan luas lahan ± 26 Ha. Secara topografi Kelurahan Sukanegla berada
pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut dan memiliki suhu berkisar
antara 16-26 ºC, dan curah hujan berkisar antara 1800-2500 mm/tahun serta
kelembaban udara 85-95%. Kondisi lokasi ini merupakan ekologi yang cocok
untuk pengembangan bibit domba Garut. Suhu optimal untuk lingkungan ternak
domba berkisar antara 13-18 ºC dan kritisnya pada suhu 32 ºC atau lebih,
sedangkan kelembaban optimal berkisar 60-70%. Faktor iklim yang terpenting
adalah suhu dan kelembaban udara, karena secara langsung mempengaruhi
kondisi dan produktivitas ternak (Martawidjaja et al. 1999).
Indeks Klinis: Suhu
Hasil penelitian yang dilakukan pada ternak domba di UPTD Margawati
berdasarkan jumlah ternak yang termasuk ke dalam kelompok suhu (hipotermi,
normotermi, dan hipertermi) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu kisaran normal
(39.6-40.0 ºC) lebih banyak ditemukan pada kelompok ternak jantan, yakni 19
ekor yang didominasi oleh jantan anakan dan pejantan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nugroho (2008) bahwa suhu rektal normal domba anakan baik jantan
maupun betina berkisar 39-40 ºC, sedangkan suhu normal domba dewasa berkisar
39.7-40.5 ºC (Umbara KB 2009). Suhu hipotermi atau di bawah kisaran normal
(38.5-39.5 ºC) ditemukan pada kelompok ternak betina yang didominasi oleh
betina laktasi dan flushing. Hipertemi atau di atas kisaran normal (˃40.0 ºC)
hanya ditemukan pada 2 ekor pejantan.
8
Tabel 1 Suhu tubuh domba Garut secara individual pada masing-masing fase
pertumbuhan
Kelompok Ternak Suhu Rektal (°C) berdasarkan jumlah ternak (ekor)
(n=80)
Hipotermi
Normotermi Hipertermi
Betina
- Anakan
4 ekor
6 ekor
- Dara
2 ekor
8 ekor
7 ekor
3 ekor
- Bunting
9 ekor
1 ekor
- Kering
Kandang
- Laktasi
10 ekor
Jantan
- Anakan
- Remaja
- Pejantan
2 ekor
7 ekor
-
8 ekor
3 ekor
8 ekor
-
2
ekor
Keterangan: Hipotermi (38.5-39.5 ºC), normotermi (39.6-40.0 ºC), dan hipertermi
(˃40.0 ºC)
Kesehatan Kuku
Profil Kesehatan Kuku
Kesehatan kuku domba di UPTD Margawati pada masing-masing kelompok
ternak (jantan, betina dan anakan) dilihat dari parameter panjang tidaknya kuku
dan jumlah ternak yang ditunjukan pada Tabel 1. Pada kelompok jantan terdiri
dari remaja dan pejantan terlihat jumlah ternak berkuku panjang sedikit lebih
rendah dari pada ternak kuku tidak panjang. Jumlah ternak yang memiliki kuku
panjang pada kelompok jantan sebanyak 9 ekor yang didominasi pejantan
sebanyak 7 ekor dan remaja 2 ekor. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan
petugas di UPTD Margawati yang menyatakan untuk ternak jantan terutama
remaja sering dilakukan pemotongan kuku panjang, sedangkan pejantan jarang
dilakukan trimming. Menurut Nugroho (2008) bahwa pertumbuhan kuku pada
ternak muda lebih cepat seiring dengan perkembangan metabolik tubuh. Dengan
ini petugas di UPTD lebih sering melakukan trimming pada kelompok ternak
tersebut. Pada kelompok betina terdiri dari dara, bunting, kering kandang dan
laktasi menunjukan jumlah yang sangat signifikan ternak berkuku panjang
dibandingkan ternak tidak berkuku panjang. Sebanyak 28 ekor domba betina
berkuku panjang yang didominasi betina bunting 9 ekor, kering kandang 7 ekor,
laktasi 6 ekor dan dara 6 ekor. Ternak bunting sangat sensitif terhadap cekaman
stress yang dapat berdampak pada penurunan produksi (Sudarmono dan Sugeng
2011). Pada kelompok ternak anakan (jantan dan betina) sebanyak 5 ekor berkuku
panjang dan 15 ekor berkuku normal (tidak panjang). Menurut Setiawan B (2011)
pemotongan kuku pada domba anakan dimulai umur 6 bulan dan pada domba
indukan 3-6 bula sekali.
9
Gambar 1 Profil kesehatan kuku ternak domba Garut di UPTD Margawati
Kelainan Kuku
Abnormalitas kuku terlihat pada beberapa ternak domba di UPTD
Margawati. Kelainan bentuk kuku yang ditemukan berupa kuku kaki depan
terpelintir, kuku kaki belakang yang miring. Bentuk abnormal kuku tersebut
akibat trimming yang tidak dilakukan secara berkala. Kelainan kuku di atas
ditemukan pada ternak domba pejantan (dewasa). Suhu pada domba pejantan yang
memiliki abnormal kuku kaki belakang retak melebihi suhu normal yaitu 40.45 ºC.
Adapun domba pejantan yang memiliki abnormal kuku plantar terpelintir dan
miring 36.5 ºC yang berada di bawah kisaran normal.
Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap Kesehatan Kuku
Kaitan suhu tubuh terhadap faktor kesehatan kuku dapat dilihat dari lesio
yang terbentuk. Pada kelompok jantan, semakin dewasa (fase pertumbuhannya)
akan cenderung mengalami masalah kesehatan kuku, misalnya peradangan yang
ditunjukan tinggi suhu tubuh. Hal ini terlihat pada Gambar 4, dimana dua ekor
domba pejantan berkuku panjang menunjukan kenaikan suhu tubuh sebesar 41.0
ºC dan 41.3 ºC. Domba pejantan tersebut mengalami lesio pada sela kuku yang
patah dan melukai jaringan sekitar. Menurut Saputra et al. (2013) bahwa kuku
patah akan menimbulkan luka dan memicu kejadian infeksi. Infeksi tersebut akan
mempengaruhi kondisi faal ternak, termasuk suhu internal tubuh. Satu ekor
anakan jantan menunjukan suhu normal (38.6 ºC) dengan kondisi kuku panjang.
Pada kelompok ternak domba betina, masalah kuku cenderung berkaitan dengan
masa kebuntingan yang dipengaruhi oleh proseses fisiologis kebuntingan dan
suhu tubuh dalam kisaran normal. Pada domba bunting dan kering kandang
memperlihatkan dominasi kuku panjang tanpa adanya kenaikan suhu tubuh.
10
Jantan
Betina
Gambar 4 Keterkaitan suhu tubuh terhadap kuku domba Garut di UPTD
Margawati. Keterangan:
1. Jantan anakan
5. Dara
2. Jantan remaja
6. Bunting
3. Pejantan
7. Kering kandang
4. Betina anakan
8. Laktasi
Indeks Klinis: Body Condition Score (BCS)
Profil BCS Ternak
Hasil pengumpulan data rata-rata BCS domba Garut UPTD Balai
Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati ditampilkan dalam
bentuk Gambar 2 (A dan B) dan perbandingan literatur pada Hambar 3C. Dimana
betina anakan memiliki BCS 2.1, dara BCS 2.5, bunting BCS 2.6, laktasi BCS 2.1,
kering kandang BCS 1.9, jantan anakan BCS 2.0, jantan remaja BCS 2.0, dan
pejantan BCS 3.0.
Data BCS UPTD ini dibandingkan dengan literatur yang menunjukan BCS
optimal masing-masing fase pertumbuhan. Pada domba anakan baik betina
maupun jantan, BCS yang diperoleh sesuai dengan BCS optimal yakni berkisar
2.0-2.5 dan dara memiliki BCS optimal berkisar 2.5-3.0 (Meyer dan Thompson
2006). Pada domba bunting BCS optimal 3.0 dan ini berbeda dengan BCS domba
bunting UPTD Margawati yakni 2.6. Kemungkinan pada domba bunting UPTD
Marhawati kekurangan asupan nutrisi, sehingga cadangan lemak yang tersimpan
ditubuh induk dimobilisasi menjadi energi dan nutrisi untuk fetus. Pada domba
11
laktasi BCS optimal 2.0-2.5 (ESGPIP 2001). Skor BCS laktasi UPTD masih
dalam kisaran normal yakni 2.1. pada domba kering kandang BCS optimal 2.0
(ESGPIP 2001). Pada domba kering kandang UPTD Margawati BCS 1.9 yang
tidak terlalu berbeda nyata dengan skor optimal literatur. Pada domba pejantan
BCS optimal 3.0-3.5 (Meyer dan Thompson 2006). Hal ini sesuai dengan BCS
domba pejantan UPTD Margawati yaitu 3.0.
Gambar 2A
Gambar 2B
Gambar 3C Literatur BCS optimal (ESGPIP
2001)
C
B
A
D
E
Gambar 11 Penilaian subjektif BCS domba Garut di UPTD Margawati dengan
skor 1.0-1.5 (A); skor 1.5-2.0 (B); skor 2.0-2.5 (C); skor 2.5-3.0
(D); dan skor 3.0-3.5 (E)
Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap BCS Ternak
Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh terak secara
ad libitum. Kesehatan ternak juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan.
Ternak yang sakit, walaupun gejala penyakitnya belum jelas, nafsu makannya
turun dan cenderung malas berjalan ketempat pakan maupun minum. Pada
12
keadaan suhu tubuh tinggi, nafsu makan menurun dan konsumsi air meningkat
(Arifin et al. 2009).
SUHU-BCS
SUHU TUBUH
Score 1
Score 1.5
Score 2
Score 2.5
Score 3
Score 3.5
41.6
41.5
41.4
41.3
41.2
41.1
41
40.9
40.8
40.7
40.6
40.5
40.4
40.3
40.2
40.1
40
39.9
39.8
39.7
39.6
39.5
39.4
39.3
39.2
39.1
39
38.9
38.8
38.7
38.6
38.5
38.4
38.3
38.2
38.1
38
37.9
37.8
37.7
37.6
37.5
37.4
37.3
37.2
37.1
37
36.9
36.8
36.7
36.6
36.5
36.4
36.3
36.2
0
1
2
Jantan
3
4
5
SKOR BCS
Kelompok Ternak
6
7
8
9
Betina
Gambar 5 Keterkaitan suhu tubuh terhadap BCS domba Garut di UPTD
Margawati. Keterangan:
1. Jantan anakan
5. Dara
2. Jantan remaja
6. Bunting
3. Pejantan
7. Kering kandang
4. Betina anakan
8. Laktasi
Kondisi suhu tubuh ternak yang tinggi, berdampak pada menurunnya bobot
badan dan berpengaruh terhadap nilai BCS ternak yang semakin kecil. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di UPTD Margawati pada Gambar
5, satu ekor anakan jantan yang memiliki suhu rendah (38.6 ºC) dengan BCS 3.0.
Selain pada kelompok anakan jantan, BCS 2.0 terlihat pada satu ekor domba
pejantan yang memiliki suhu tinggi (41.3 ºC). Pada kelompok domba kering
kandang ditemukan satu ekor yang memiliki suhu rendah (37.9 ºC) dengan BCS
3.0. Menurut Herdis (2005) korelasi suhu terhadap bobot badan berbanding
terbalik. Hal ini menunjukan jika suhu tinggi maka bobot badan ternak semakin
rendah, begitu juga dengan penilaian BCS. Jika ternak memiliki suhu rendah,
maka nilai BCS yang diperoleh secara subjektif pun tinggi. Ternak mengalami
stress akibat panas lingkungan dapat menaikkan suhu tubuh dn frekuensi
pernapasan. Apabila suhu lingkungan naik sampai 35 ºC akan terjadi gangguan
termoregulasi pada ternak, menyebabkan kenaikan suhu tubuh dan konsumsi air
minum. Sebaliknya, kondisi ini akan menurunkan konsumsi pakan yang berefek
pada penurununan produktivitas ternak (Subronto et al. 2004).
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.
Berdasarkan kelompok ternak, domba kering kandang memiliki suhu
tubuh cenderung rendah dibandingkan domba betina lainnya;
Peningkatan suhu tubuh pada domba pejantan berkorelasi dengan
gangguan kesehatan kuku; dan
Suhu tubuh cenderung berbanding terbalik dengan skor BCS, terutama
pada kelompok ternak domba betina dara, bunting dan pejantan.
Saran
1.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara suhu
lingkungan dan suhu tubuh domba Garut; dan
Temuan adanya suhu tubuh yang cenderung rendah dengan selang normal
pada betina kering kandang, perlu diteliti lebih lanjut keterkaitannya
dengan proses metabolisme.
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia. 2009. Petunjuk Praktis Menggemukkan Domba, Kambing, dan Sapi
Potong. Jakarta (ID): pt. Agromedia Pustaka.
Arifin M, Kusuma I, Sunarso. 2009. Konsentrasi VFA rumen pada domba ekor
tipis jantan yang mendapatkan suhu lingkungan dan aras pemberian pakan
yang berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang (ID): UNDIP Pr.
Blakely J, Bade HD. 1991. Ilmu Peternakan. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Devendra C, Mclorey GB. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics.
United Kingdom (US): Longman Froup Limited.
[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue Print Program
Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.
[ESGPIP] Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program. 2001.
Body Condition Scoring of Sheep and Goats. 8th Ed. www.pvamrfethiopia.
Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi
laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [disertasi]. Bogor (ID): IPB Pr.
Kamiya M, Iwama Y, Tanaka M. 2005. Effects of high ambient temperature and
restricted feed intake on nitrogen utilization for milk production. J. Anim Sci
[Internet]. [diunduh 17 Mei 2015].
Kurnia Umbara B. 2009. Kecernaan serat pakan pada domba betina yang
mendapat ransum dengan nilai nisbah kation anion dan kromium berbeda
[skripsi]. Bogor (ID): IPB Pr.
Martawidjaja M, Tiesnamurti B, Handiwirawan E, Inouni I. 1999. Studi fisiologis
domba lokal dan persilangannya dengan domba moulton charollais dan st.
Croix pada umur muda. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor
(ID): Balai Penelitian Ternak.
14
Maurya VP, Kumar S, Kumar D, Gulyani R, Joshi A, Naqvi S, Arora AL, Singh
VK. 2009. Effect of body condition score on reproductive perfomance of
Chokla ewes. Indian J. Anim Sci [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015].
Nugroho CP. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia Jilid 1. Jakarta (ID): Direktorat
Pembina Sekolah Menengah Kejuruan.
Pugh DG. 2002. Sheep and Goat Medicine. New York (US): Saunders.
Saputra Y, Sudewo A, Utami S. 2013. Hubungan antara lingkar dada, panjang
badan, tinggi badan dan lokasi dengan produksi susu kambing Sapera. Jurnal
Ilmu Peternakan. 1(3): 1173-1182.
Setiawan Budi. 2001. Beternak Domba dan Kambing. Jakarta (ID): PT.
Agromedia Pustaka.
Subronto, Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Sudarmono A, Sugeng YB. 2011. Beternak Domba. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Soemirat, Merkens. 1926. Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Domba
di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI.
Suherman M. 2009. Respon Fosiologis Domba Garut Betina yang Diberi Ransum
Komplit dengan Nilai Rasio Anion Kation dan Kromium yang Berbeda. Bogor
(ID): IPB Pr.
Thompson JM, Meyer H. 2006. Body Condition Scoring of Sheep. Proc. 52nd
Bien.
Spooner
Sheep
D.
Page:28.
Tersedia
pada:
http://oregonstate.edu/dept/animal.sciences/bes.htm.
Widodo et al. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Pr.
Yani A dan Purwanto B. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologis
ternak domba. Media Petern [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015]. Bogor
(ID): IPB Pr.
Yilmaz M, Altin T, Karaca O, Cemal I, Erbay H et al. 2011. Effect of body
condition scote at mating on the reproductive perfomance of Kirviricik sheep
under an extensive production system. Trop Anim Health. 43:15551560.doi:10.1007/s11250-011-9841-1.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Purnama Sinta. Penulis lahir di Panti pada tanggal
03 Agustus 1993. Penulis merupakan anak ke-4 dari pasangan Bapak Ali Dasril
dan Ibu Tiasa.
Penulis telah menamatkan pendidikan formal di SDN 10 Kemakmuran pada
tahun 2005, SMPN 01 Talamau tahun 2008, dan SMAN 01 Talamau tahun 2011.
Penulis meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor Melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
Institut Pertanian Bogor (SNMPTN). Penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Minat Profesi Ruminansia (2012-2014), tergabung dalam Lembaga Paguyuban
Bidikmisi IPB (2012-2013), serta menjadi pengurus Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB (2012-2014) selama perkuliahan.