. Analisis Keberlanjutan Dan Pengembangan Co-Operative Entrepreneurship Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (Lkm-A) Kabupaten Lamongan.

ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN PENGEMBANGAN
CO-OPERATIVE ENTREPRENEURSHIP LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) KABUPATEN LAMONGAN

RATIH APRI UTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keberlanjutan
dan Pengembangan Co-operative Entrepreneurship Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKM-A) Kabupaten Lamongan, adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015
Ratih Apri Utami
NRP H351130111

RINGKASAN
RATIH APRI UTAMI. Analisis Keberlanjutan dan Pengembangan Co-operative
Entrepreneurship Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Kabupaten
Lamongan. Dibimbing oleh LUKMAN M BAGA dan SUHARNO.
Agribisnis perdesaan berkembang melalui partisipasi aktif petani dalam
sistem komunitas dan kelembagaan. Komunitas kelembagaan diberdayakan
melalui aktivitas kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani
(Gapoktan). Salah satu permasalahan yang dihadapi petani pada masyarakat
agribisnis perdesaan adalah kesulitan dalam mengakses pembiayaan melalui
perbankan. Pada tahun 2008, pemerintah melaksanakan program Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang disalurkan melalui Gapoktan sebesar
100 juta rupiah. Dana PUAP bertujuan sebagai pemberdayaan mandiri
pengelolaan keuangan di tingkat kelompok tani sekaligus sebagai stimulus agar
dapat ditumbuhkan menjadi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A)

untuk keberlanjutan pembiayaan untuk petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis proses penumbuhan LKM-A dan keberlanjutan LKM-A Gapoktan
Sejahtera Kabupaten Lamongan berdasarkan pendekatan kelembagaan, finansial
dan nasabah, serta implikasi pengembangan Co-operative Entrepreneurship
LKM-A Kabupaten Lamongan.
Penelitian ini dilakukan di LKM-A Gapoktan Sejahtera, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur karena pertimbangan: (1) Gapoktan Sejahtera
Kabupaten Lamongan telah menerima dana PUAP sejak Tahun 2011, (2)
Gapoktan Sejahtera Kabupaten Lamongan mempunyai tingkat kinerja keuangan
yang meningkat setiap tahunnya, (3) LKM-A Gapoktan Sejahtera Kabupaten
Lamongan mempunyai catatan administrasi yang baik yang direkomendasikan
dari pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Lamongan sebagai LKM-A
yang berprestasi tahun 2013, (4) Belum pernah diadakan penelitian serupa di
Kabupaten Lamongan terkait keberlanjutan dan pengembangan co-operative
entrepreneurship LKM-A. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan
Februari dan Maret 2015. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data
primer seperti kuesioner dan wawancara kepada pengurus, anggota LKM-A,
Penyuluh Mitra Tani, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan, Direktur
Pembiayaan Kementerian Pertanian dan Dosen akademisi Perguruan Tinggi
Pertanian. Metode yang digunakan adalah analisis pertumbuhan LKM-A dan

analisis keberlanjutan menggunakan tiga pendekatan yaitu lembaga, finansial dan
nasabah untuk selanjutnya dapat digunakan untuk menarik implementasi
pengembangan co-operative entrepreneurship.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penumbuhan LKMA pada Gapoktan
Sejahtera dikategorikan “baik” pada tahapan persiapan, namun “kurang baik”
pada tahapan pelaksanaan. LKM-A Gapoktan Sejahtera sudah memiliki
keberlanjutan kelembagaan melalui manajemen organisasi dan skema pembiayaan
selama satu musim tanam, keberlanjutan finansial didasarkan pada tingkat
bunga/unit pinjaman lebih besar dari beban pembiayaan dan keberlanjutan
nasabah melalui persepsi kepuasan nasabah mengenai penyaluran, pemanfaatan
dan pengembalian dana PUAP. Perkembangan LKM-A Gapoktan Sejahtera terus
terlihat dari peningkatan nominal peminjaman serta persentase pinjaman lancar

dari 2012 sampai 2014. Saat ini LKM-A Gapoktan Sejahtera sedang bersiap untuk
memperkuat dirinya dengan lembaga hukum berupa koperasi. Sehingga peneliti
mengajukan pola implikasi co-operative entrepreneurship sebagai penguatan
badan hukum koperasi yang telah dikuatkan melalui sistem kelembagaan yaitu
kelompok tani. Pengembangan LKM-A menuju Co-operative Entrepreneurship
melalui materi kurikulum kelompok kepada pelaku sentral yaitu Ketua Gapoktan,
ketua LKM-A, dan Ketua kelompok Tani untuk mengikuti sekolah lapang yang

terdiri dari pelatihan dan magang. Materi yang disusun disesuaikan potensi desa
dan Sistem Informasi Pertanian yang disusun melalui kerjasama kementerian
Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten dan Perguruan Tinggi Pertanian terkait.
Metode pengembangan co-operative entrepreneurship menggunakan dua
pendekatan yaitu pelaku dan proses. Pendekatan pertama berdasarkan pelaku
difokuskan pada pengembangan sumberdaya manusia yang ada dan potensial
untuk dibentuk menjadi seorang wirakoperasi yaitu melalui unit usaha otonom
LKM-A yang mempunyai prinsip koperasi. Pendekatan kedua dilihat dari sisi
proses dengan berdasarkan kedudukan LKM-A dalam gapoktan, yaitu sebagai
financial education untuk mendukung unit usaha gapoktan seperti saprodi,
produksi, pengolahan, dan pemasaran.

Kata

Kunci:

Gapoktan, PUAP,
Entrepreneurship

LKM-A,


Keberlanjutan,

Co-operative

SUMMARY
RATIH APRI UTAMI. Sustainability Analysis and Co-operative
Entrepreneurship Development of Micro Finance Institutional Agribussines
(LKM-A) in Lamongan District. Supervised by LUKMAN M BAGA and
SUHARNO.
Rural agribusiness developed through the active participation of farmers
community. Community empowered through Farmer’s Group (Poktan) and
farmers' groups combined (Gapoktan). One of the problems faced by farmers in
the rural areas is the lack of access to sources of bank financing. In the year 2008,
the government implement the program of Rural Agribusiness Development
(PUAP) which are routed through Gapoktan of 100 million dollars. PUAP fund
was intended to empower independent financial management at the farmer group
level and as a stimulus that can be grown into Agribussiness Micro Finance
Institutions (LKM-A) for the financial sustainability for farmers. The purpose of
this study was to analyze the growth and sustainability of LKM-A based on

institutional, financial and customers approachment, and to develop LKM-A
towards the Co-operative Entrepreneurship.
This research was conducted in the LKM-A of Gapoktan Sejahtera,
Lamongan District, for consideration: (1) Gapoktan Sejahtera had received
funding PUAP since the year 2011, (2) Gapoktan Sejahtera had the financial
performance increased every year, (3) Gapoktan Sejahtera had a record of good
administration recommended from the Department of Agriculture and Forestry
Lamongan District as LKM-A achievers in 2013, (4) Gapoktan Sejahtera was now
similar research in Lamongan District related to sustainability and development of
co-operative entrepreneurship LKM-A. Data research conducted from February
until March 2015. Primary and secondary data was used such as questionnaires
and interviews to the board, members of the LKM-A, PMT, Head of Agriculture
Lamongan, Director of the Finance Ministry of Agriculture and Lecturer College
of Agriculture. The method used is the analysis of the growth of LKM-A and
sustainability analysis using three approachment which are institutions, financial
and customer that can be used to attract the implementation of the development
co-operative entrepreneurship.
The results showed that the growth of LKM-A at Gapoktan Sejahtera was
categorized as "good" on preparation site, but "not good" on implementation and
development. LKM-A at Gapoktan Sejahtera has an institutional sustainability

through the organization management and financial schemes during one growing
season, financial sustainability was based on the interest rate/ loan unit is greater
than the financial burden and sustainability customers through customer
perception regarding the distribution, utilization and refund PUAP. Suistainability
LKM-A at Gapoktan Sejahtera can seen from the increase in nominal lending and
borrowing percentage since 2012 until 2014. LKMA at Gapoktan Sejahtera is
preparing to strengthen itself with the legal form of a co-operative institution. So
the researcher propose co-operative entrepreneurship implications as
strengthening co-operative legal entities that have been strengthened through an
institutional system that is the farmer groups. LKM-A is development toward the
co-operative entrepreneurship through curriculum materials group to the central

actors those are chairman of Gapoktan, chairman of the LKM-A, and the
Chairman of farmer groups to attend the field school which consists of training
and apprenticeship. The material arranged has adjusted potential to the village and
Agricultural Information System which was developed through a partnership of
the Ministry of Agriculture, Department of Agriculture Lamongan District and the
related College of Agriculture. Cooperative entrepreneurship development method
uses two approaches, i.e. actors and processes. The first approach, based on actors
focuses on developing existing and potential human resources to create a cooperativepreneur through an autonomous business unit, LKM-A whose principle

is cooperative. The second, in term of the processes, is basrd on the position of
LKM-A at gapoktan, i.e as the financial education to support business unit in
gapoktan such as inputs, production, processing, and marketing.

Keywords:

Gapoktan, PUAP,
Entrepreneurship

LKM-A,

Sustainability,

Co-operative

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KEBERLANJUTAN DAN PENGEMBANGAN
CO-OPERATIVE ENTREPRENEURSHIP LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO-AGRIBISNIS (LKM-A) KABUPATEN LAMONGAN

RATIH APRI UTAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Rachmina, MSi

Judul Tesis : Analisis Keberlanjutan dan Pengembangan Co-operative
Entrepreneurship Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A)
Kabupaten Lamongan
Nama
: Ratih Apri Utami
NIM
: H351130111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
Ketua

Dr Ir Suharno, MADev
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah Co-operative Entrepreneurship, dengan judul
Analisis Keberlanjutan dan Pengembangan Co-operative Entrepreneurship
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) di Kabupaten Lamongan.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu
terselesaikannya tesis saya:
1. Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc dan Bapak Dr Ir Suharno, MADev
selaku dosen pembimbing,
2. Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM sebagai
dosen penguji sidang.
3. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS sebagai Ketua Program Studi Magister
Sains Agribisnis (MSA)
4. Yuni Sulistyawati, Dewi Martiawaty Utami dan Bapak Yusuf yang
membantu proses administrasi tingkat program studi.
5. Ketua LKM-A, Ketua Gapoktan, Kepala Desa, PPL, PMT dan petani Desa
Puter, Kecamatan Kembangbahu dalam memfasilitasi pengumpulan data.
6. Divisi Pengembangan SDM dan Kelembagaan serta Kepala Dinas
Pertanian dan Kehutanan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi,
Pejabat PEMDA dan KESBANGPOL Kabupaten Lamongan atas bantuan
data serta izinnya melakukan penelitian.
7. Direktur Pembiayaan Kementerian Pertanian atas kesediaan wawancara
terkait PUAP dan LKM-A.
8. Orang tua dan saudara-saudara atas doa dan motivasinya.
9. Rekan-rekan organisasi Pascasarjana IPB di Forum WACANA (20132014) dan HIMMPAS (2014-2015), Sahabat-sahabat MSA 4 dan Tim
Pengajar Nurul Fikri Jakarta-Bogor atas segala dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015
Ratih Apri Utami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

xi
xii
xiii
1
1
5
8
8
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pasar Kredit Perdesaan
Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Kajian Lembaga Keuangan Mikro dengan pendekatan Co-operative
Entrepreneurship

9
9
10
11
13

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

15
15
31

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian

33
33
33
33
34
35
39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Gambaran Umum LKM-A Gapoktan Sejahtera
Karakteristik Petani Responden
Analisis Proses Penumbuhan LKM-A
Analisis Keberlanjutan LKM-A Gapoktan Sejahtera
Implikasi Pola Pengembangan Co-operative Entrepreneurship LKM-A

41
41
44
47
49
53
66

6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

74
74
74

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

80
94

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Luas panen (Hektar) tanaman padi, jagung, kedelai menurut provinsi di
Indonesia Tahun 2014
Jumlah gapoktan penerima dana PUAP di Kabupaten Lamongan,
Provinsi Jawa Timur, dan Nasional tahun 2008–2013
Jumlah LKM-A Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, dan
Nasional Tahun 2008–2013
Kategori pencapaian skor variabel proses penumbuhan LKM-A
Proses penumbuhan LKM-A
Keberlanjutan nasabah
Kategori pencapaian skor variabel kepuasan nasabah LKM-A
Sebaran nasabah LKM-A menurut jenis kelamin
Sebaran nasabah LKM-A menurut golongan usia
Sebaran nasabah LKM-A menurut tingkat pendidikan
Sebaran nasabah LKM-A menurut golongan pengalaman usahatani
Sebaran nasabah LKM-A menurut golongan luas lahan
Hasil penumbuhan LKM-A Gapoktan Sejahtera Kabupaten Lamongan
Pendapatan LKM-A Gapoktan Sejahtera menurut sumber pendapatan
tahun 2011-2014 (dalam Rupiah)
Perkembangan beban LKM-A Gapoktan Sejahtera menurut jenis beban
tahun 2011-2014 (dalam Rupiah)
Pendapatan, beban, dan Sisa Hasil Usaha (SHU) LKM-A Gapoktan
Sejahtera
Keberlanjutan finansial LKM-A Gapoktan Sejahtera
Rata-rata nilai parameter keberlanjutan nasabah LKM-A Gapoktan
Sejahtera

3
4
6
35
36
38
39
47
47
48
48
49
52
60
61
61
62
64

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Tahapan proses pembinaan kelembagaan PUAP
Kedudukan LKM-A dalam Gapoktan
The Critical Triangle in Achieving Economic Sustainability of
Microfinance
Co-operative business model
Kerangka pemikiran operasional
Peta Kabupaten Lamongan
Skema pembiayaan LKM-A Gapoktan Sejahtera
Pertemuan pengurus dan anggota LKM-A Gapoktan Sejahtera
Buku rekening BRI LKM-A Gapoktan Sejahtera
Tahap screening anggota LKM-A Gapoktan Sejahtera
Surat pernyataan peminjaman dan pengembalian dana PUAP LKM-A
Berita acara nasabah yang tidak mengembalikan dana PUAP tepat
waktu
Implikasi pengembangan co-operative entrepreneurship LKM-A
Gapoktan Sejahtera

18
21
23
30
32
42
54
55
56
57
58
59
74

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Rekapitulasi Jumlah Desa/Gapoktan PUAP Tahun 2008 s/d 2014
Tabulasi Data Penilaian Responden Terhadap Penumbuhan LKMA
Tabulasi Data Penilaian Responden Terhadap Penumbuhan LKMA
Tabulasi Data Persepsi Nasabah Terhadap Penyaluran dana PUAP
Tabulasi Data Persepsi Nasabah Terhadap Pemanfaatan dana PUAP
Tabulasi Data Persepsi Nasabah Terhadap Pengembalian PUAP
Pendapatan LKM-A Gapoktan Sejahtera Tahun 2012
Pendapatan LKM-A Gapoktan Sejahtera Tahun 2013
Pendapatan LKM-A Gapoktan Sejahtera Tahun 2014
Dokumentasi Kegiatan

80
81
82
83
86
87
89
90
91
92

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian dan agribisnis di perdesaan merupakan sumber
pertumbuhan perekonomian nasional. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan
sektor pertanian dan agribisnis yang tumbuh positif dibandingkan dengan sektor
lainnya (Thohari 2003). Agribisnis perdesaan berkembang melalui partisipasi aktif
petani melalui sitem komunitas dan kelembagaan. Komunitas di perdesaan
mengatur kegiatan ekonomi petani dengan mengadakan koordinasi dalam
pemakaian sumber-sumber yang ada melalui adat dan kelembagaan.
Pembangunan perdesaan berbasis agribisnis salah satunya dilakukan melalui
pengembangan kelembagaan kelompok petani yang dibutuhkan dalam rangka
pemberdayaan petani untuk dapat tumbuh berkembang secara dinamis dan
mandiri.
Petani di perdesaan umumnya berskala usaha kecil-kecil tapi jumlahnya
banyak. Karena kecil-kecil sering tidak mampu menangkap skala usaha ekonomis
di bidang produksi, distribusi, dan mendapatkan layanan jasa. Karena itu petanipetani kecil tidak akan mampu untuk memperbaiki dirinya dari segi efisiensi,
efektivitas, dan persaingan dengan kelompok lain di luar petani. Inilah yang
menjadi alasan ekonomis pentingnya suatu organisasi ekonomi petani (Saragih
2015). Kebijakan pengembangan kelembagaan tani berbasis satu Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) dalam satu desa, merupakan upaya Kementerian
Pertanian untuk membangun organisasi atau kelembagaan tani yang kuat, mandiri
sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja
ekonomi petani di perdesaan.
Kelembagaan di tingkat petani salah satunya dilakukan melalui kelompok
tani. Kelompok tani merupakan sarana untuk menggali potensi sumberdaya
manusia di bidang usahatani. Sedikitnya ada tiga alasan mengapa diperlukan
kelompok tani dalam pembangunan pertanian di perdesaan Indonesia. Pertama,
rendahnya rasio jumlah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dibandingkan
dengan jumlah petani sehingga diperlukan wadah yang dapat mempermudah kerja
PPL dalam melaksanakan tugas penyuluhan mereka. Kedua, terbatasnya
sumberdaya yang dimiliki petani secara individual sehingga dengan bekerjasama
dalam kelompok akan mendorong petani untuk menggabungkan sumberdaya
mereka menjadi lebih ekonomis. Ketiga, perilaku berkelompok sudah merupakan
budaya Indonesia, terutama di perdesaan. Sebagian besar aktivitas masyarakat
perdesaan sangat dipengaruhi oleh keputusan kelompok (Martaamidjaja 1993).
Untuk mengakses kelembagaan dalam jangkauan yang lebih luas,
kelompok tani berhimpun dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Inovasi
kelembagaan melalui kelompok tani memerlukan fasilitas permodalan yang bisa
diakses oleh petani dengan mudah. Di sisi lain untuk mendapatkan modal dengan
mengandalkan lembaga keuangan formal yang ada, terkendala persyaratan
administrasi yang tidak dapat terpenuhi. Petani untuk mendapatkan modal atau
kredit dari lembaga keuangan formal (perbankan) dihadapkan pada persyaratan
formal administrasi. Persyaratan formal administrasi ini antara lain adanya
persyaratan jaminan atau agunan. Persyaratan yang seperti itu pada umumnya

2
tidak atau belum dimiliki oleh petani kecil. Pada umumnya aset yang mereka
miliki terutama aset fisik seperti tanah, rumah dan lain-lain belum memiliki
sertifikat. Hal lain yang memberatkan adalah mekanisme perbankan yang menurut
penduduk perdesaan menyulitkan, sangat birokratis dan transaksi yang mahal
(Setyarini 2008).
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya mengatasi kesulitan
akses permodalan petani dengan menggulirkan program bantuan modal untuk
petani melalui bantuan langsung atau subsidi. Namun belajar dari pengalaman
kredit program/bantuan modal dari pemerintah, ternyata sebagian besar program
tidak dapat berkelanjutan pelaksanaannya di tingkat lapang. Setelah program
selesai, petani tidak lantas menjadi mandiri dan sejahtera. Salah satu penyebabnya
adalah karena dana bantuan program pemerintah tidak dapat dikelola dengan baik
oleh petani. Sehingga pemerintah mulai mengadakan program dengan tujuan
mendekatkan akses permodalan petani. Maka pada tahun 2008, Kementerian
Pertanian melaksanakan Program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan) sebagai program prioritas yang dilaksanakan secara terintegrasi
dengan kegiatan Kementerian/Lembaga lain di bawah payung Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PUAP dirancang secara partisipatif
dengan petani, kelompok tani, dan gabungan kelompok tani (gapoktan) sebagai
pelaku utama yang difasilitasi oleh pemerintah dari tingkat Kementerian Pertanian
sampai ke desa/kelurahan. Tujuan Program PUAP adalah mengurangi kemiskinan
dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha
agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah dengan sasaran untuk
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani.
Kelembagaan tani pelaksana program PUAP yang berfungsi sebagai
pengelola bantuan modal usaha bagi petani anggota adalah Gapoktan (Gabungan
Kelompok Tani). Pengelolaan bantuan program PUAP melalui Gapoktan dengan
harapan dana tersebut dapat tumbuh dan berkembang, sehingga kebutuhan modal
bagi usahatani dapat terpenuhi secara berkesinambungan. Gapoktan penerima
dana PUAP diharapkan dapat mengelola dana tersebut melalui unit usaha otonom
simpan pinjam atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Untuk mencapai hasil
yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh Penyuluh
Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Di dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 08/Permentan/OT.140/1/2013 tentang Pedoman PUAP
disebutkan bahwa pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan
penyaluran dana PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif
petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu; (1)
Swasembada berkelanjutan; (2) Diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai
tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Untuk
pencapaian tujuan tersebut, komponen utama dari pola dasar pengembangan
PUAP adalah; (1) Keberadaan Gapoktan; (2) Keberadaan Penyuluh Pendamping
dan Penyelia Mitra Tani sebagai pendamping; (3) Pelatihan bagi petani, pengurus
Gapoktan, dan lain-lain; dan (4) Penyaluran dana PUAP kepada petani (pemilik
dan atau penggarap), buruh tani, dan rumah tangga tani (Kementerian Pertanian
2013).
Program PUAP yang telah dicanangkan oleh pemerintah, ditujukan untuk
pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). LKM-A
merupakan lembaga intermediasi keuangan bagi para anggota kelompok tani dan

3
warga yang terpilih dari lingkungan ikatan pemersatunya (tingkat desa) yang
bersepakat untuk bekerjasama saling menolong dengan menabung secara teratur
dan terus-menerus, sehingga terbentuk modal bersama yang terus berkembang,
guna dipinjamkan kepada para anggota untuk tujuan produktif dan kesejahteraan
dengan tingkat bagi hasil/jasa tabungan maupun pembiayaan yang layak dan
bersaing (Burhansyah, 2010).
LKM-A dikelola secara tersendiri (otonom) oleh anggota Kelompok
Tani/Gabungan Kelompok Tani yang dianggap berprestasi. Pola LKM-A ini
sejalan dengan kebijakan revitalisasi pertanian dan rencana strategis
pembangunan pertanian yang mengarahkan upaya pengelolaan keuangan seiring
dengan peningkatan kapasitas kelompok tani. Dengan demikian di masa
mendatang kelompok tani fungsinya dikembangkan untuk menjadi lembaga
keuangan mikro pertanian. LKM-A tersebut diharapkan mampu mengelola
sumberdaya finansial untuk melayani kebutuhan petani di lingkungannya dalam
upaya mengembangkan usaha ekonomi produktif di bidang pertanian. Keberadaan
LKM-A menjadi salah satu solusi dalam pembiayaan sektor pertanian di
perdesaan karena mempunyai peran strategis sebagai penghubung dalam aktifitas
perekonomian masyarakat tani. LKM-A juga berperan menguatkan kelembagaan
petani dalam pengembangan agribisnis yang tidak lepas dari lemahnya akses
petani terhadap berbagai sumber daya produktif, yaitu: modal, teknologi, dan
informasi pasar (Hanafie 2010).
Berdasarkan data Kementerian Pertanian terlihat bahwa penyaluran dana
BLM PUAP (Bantuan Langsung Mandiri – Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan) sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 didistribusikan kepada 49 186
Gapoktan di 33 Provinsi di Indonesia. Provinsi penerima BLM-PUAP terbesar
yaitu Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah Gapoktan sebanyak 6 631 Gapoktan
kemudian Provinsi Jawa Timur yang menduduki peringkat kedua dengan jumlah
Gapoktan 5 694 Gapoktan dan Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ketiga
dengan jumlah 3 739 Gapoktan. Data Rekapitulasi Penerima Dana BLM-PUAP
Tahun 2008-2014 dapat dilihat pada lampiran 1.
Pendistribusian dana PUAP Kementerian Pertanian didasarkan pada
jumlah desa pertanian yang menunjang swasembada pajale (padi, jagung,
kedelai). Padi, jagung, kedelai merupakan komoditas unggulan dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(2014), provinsi dengan luas panen terbesar tanaman pangan padi, jagung, kedelai
disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Luas panen (Hektar) tanaman padi, jagung, kedelai menurut provinsi di
Indonesia Tahun 2014
No.
1
2
3
4
5

Provinsi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Lampung

Padi
2 072 822
1 800 908
1 979 799
1 042 192
648 451

Sumber : Badan Pusat Statistik (2014)

Luas panen (Ha)
Jagung
1 202 300
538 102
142 964
291 111
338 886

Kedelai
214 880
72 235
70 719
36 326
11 355

4
Berdasarkan Tabel 1, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan
luas panen terbesar untuk tanaman padi, jagung, kedelai yang menjadikan alasan
Kementerian Pertanian mengalokasikan pendistribusian BLM PUAP. Salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Timur yang mendapatkan program PUAP terbanyak
sejak awal program berjalan tahun 2008 adalah Kabupaten Lamongan. Kebijakan
dari Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Lamongan memberlakukan setiap Gapoktan PUAP di Kabupaten Lamongan yang
menerima dana BLM PUAP diharapkan membentuk unit usaha keuangan mikro
lengkap dengan pengurusnya setelah mencairkan dan menggunakan dana stimulus
PUAP tersebut. Jumlah Gapoktan penerima dana PUAP di Kabupaten Lamongan,
Provinsi Jawa Timur, dan Nasional disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah gapoktan penerima dana PUAP di Kabupaten Lamongan,
Provinsi Jawa Timur, dan Nasional tahun 2008–2013
Tingkat
Nasional
Provinsi Jawa Timur
Kabupaten
Lamongan

2008
10 542
1 083
35

Jumlah Gapoktan Penerima PUAP
2009
2010
2011
2012
9 884
8 587
9 110
6 050
925
906
1 243
954
17
92
83
45

2013
3 300
426
42

Sumber: Kementerian Pertanian (2014)

Dana penguatan modal usaha PUAP secara terstruktur digulirkan
Gapoktan kepada para anggota kelompok tani sebagai peminjaman sehingga pada
Tahun ke-2 Gapoktan sudah dapat mengembangkan Unit Usaha Simpan Pinjam
(U-S/P). Gapoktan penerima bantuan BLM-PUAP diharapkan dapat menjaga
perguliran dana sampai pada fase pertumbuhan Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKM-A) pada Tahun ke-3. LKM-A yang berhasil ditumbuhkan oleh
Gapoktan diharapkan dapat meningkatkan akumulasi modal melalui dana
keswadayaan yang dikumpulkan oleh anggota melalui tabungan maupun melalui
saham anggota.
Salah satu LKM-A yang berada di Kabupaten Lamongan adalah LKM-A
Sejahtera. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Lamongan, menyebutkan bahwa LKM-A Sejahtera
menjadi LKM-A terbaik se-Kabupaten Lamongan pada tahun 2013. Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Sejahtera merupakan unit bisnis yang
didirikan dibawah pengawasan Gapoktan Sejahtera. LKM-A ini memiliki fungsi
untuk mengelola dana PUAP yang diterima oleh Gapoktan Sejahtera pada tahun
2011 sebesar 100 juta rupiah. Keberadaan LKM-A Sejahtera penerima dana
PUAP di Kabupaten Lamongan dari tahun 2011 hingga saat ini adalah salah satu
upaya untuk mewujudkan alternatif solusi permodalan bagi para petani dalam
mengembangkan usaha agribisnis perdesaan.

5
Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan yang mendasar dihadapi petani di perdesaan adalah
lemahnya akses kepada sumber pembiayaan perbankan karena tidak feasible dan
bankable. Hal ini memperkuat alasan bahwa pembiayaan petani skala usaha mikro
di perdesaan seyogyanya dilakukan oleh lembaga keuangan khusus yang bukan
berbentuk bank. Apabila hanya mengandalkan perbankan, maka sulit bagi petani
untuk mendapatkan akses pembiayaan. Selain itu, permasalahan lain adalah terkait
jangkauan nasabah, pengelolaan dan keberlanjutan kelembagaan pembiayaannya.
Berbeda halnya dengan pasar barang dan jasa, pasar kredit secara inheren
adalah bersifat tidak sempurna, artinya terdapat ketidaktentuan tentang selesainya
sebuah transaksi kredit. Sebuah transaksi kredit akan melibatkan hubungan antara
pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) dalam periode waktu
tertentu dalam konteks ketidaktentuan (uncertainty). Sebuah kredit akan dikatakan
selesai sempurna manakala peminjam telah membayar semua jumlah yang
dipinjam. Dalam hal selesainya pinjaman inilah terdapat unsur ketidaktentuan
dalam hal pembayaran atau pengembalian jumlah yang dipinjam (Syukur 2002).
Pada tahun 2008 pemerintah melaksanakan program Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang bertujuan untuk mengatasi permodalan petani
menjalankan agribisnis, petani difasilitasi dengan cara Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) sebesar 100 juta rupiah melalui Gapoktan. Program dana
hibah dari pemerintah ini mempunyai jangka waktu, artinya terdapat batasan
untuk melaksanakan program PUAP ini, sehingga petani tidak dapat terus
bergantung pada dana PUAP, karena dana PUAP hanya bertujuan sebagai
stimulus agar petani mampu membangun suatu lembaga keuangan. Gapoktan
penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP diarahkan untuk dapat
dibina dan ditumbuhkan menjadi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A)
sebagai salah satu unit usaha dalam Gapoktan demi keberlanjutan pembiayaan
untuk petani.
Salah satu lokasi Gapoktan penerima dana BLM PUAP adalah di Kabupaten
Lamongan, Jawa Timur. Berdasarkan rekomendasi Dinas Pertanian dan
Kehutanan Lamongan, salah satu Gapoktan penerima PUAP yang telah mampu
membentuk LKM-A dan dianggap berprestasi yaitu Gapoktan Sejahtera.
Gapoktan Sejahtera berada di Desa Puter, Kecamatan Kembangbahu, Kabupaten
Lamongan merupakan penerima dana PUAP pada tahun 2011. LKM-A yang
sudah otonom seperti LKM-A Sejahtera tampaknya dapat dijadikan model bagi
gapoktan-gapoktan lain yang belum membentuk LKM-A. Pemanfaatan dana
PUAP dialokasikan untuk pembelian sarana produksi kegiatan pertanian yang
dibutuhkan oleh petani anggota. Pemanfaatan dana PUAP lainnya adalah melalui
perguliran dan penambahan dana keswadayaan, sehingga dapat berfungsi sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A).
Tujuan pembentukan LKM-A tersebut sesuai dengan mekanisme
pelaksanaan program PUAP, yaitu pada tahun ke-I, dana PUAP dimanfaatkan
oleh Gapoktan untuk membiayai usaha produktif sesuai dengan usulan anggota
secara berjenjang melalui Rencana Usaha Anggota (RUA), Rencana Usaha
Kelompok (RUK) dan Rencana Usaha Bersama (RUB). Dana penguatan modal
usaha PUAP digulirkan Gapoktan kepada para anggota kelompok tani sebagai
pinjaman sehingga pada tahun ke-2 Gapoktan sudah dapat mengembangkan

6
Usaha Simpan Pinjam (U-S/P). Gapoktan penerima dana BLM-PUAP diharapkan
dapat menjaga perguliran/perputaran dana sampai pada fase pembentukan
Lembaga Keuangan Mikro Agribinis (LKM-A) pada tahun ke-3. LKM-A yang
berhasil ditumbuh kembangkan oleh Gapoktan diharapkan dapat meningkatkan
akumulasi modal melalui dana keswadayaan yang dikumpulkan oleh anggota
melalui tabungan maupun melalui saham anggota (Kementerian Pertanian 2014).
Pertumbuhan LKM-A di Kabupaten Lamongan masih rendah. Hal tersebut
ditunjukkan melalui persentase pertumbuhan LKM-A terhadap jumlah gapoktan
penerima PUAP. Sehingga diperlukan analisis proses penumbuhan LKM-A yang
dapat memberikan informasi bagi gapoktan penerima PUAP lainnya dalam
menumbuhkan LKM-A. Perkembangan Gapoktan penerima dana PUAP
Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur dan Nasional yang telah membentuk
LKM-A tahun 2008 sampai 2013 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3

Jumlah LKM-A Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, dan
Nasional Tahun 2008–2013
Tingkat

Nasional
Provinsi Jawa Timur
Kabupaten
Lamongan

Jumlah
Gapoktan
Penerima PUAP
14 395
1 220
314

Jumlah Gapoktan
yang Telah
Membentuk LKM-A
3 354
207
29

Persentase
(%)
23.30
16.97
9.24

Sumber: Kementerian Pertanian (2014)

Pertumbuhan dan perkembangan LKM-A di perdesaan diharapkan menjadi
solusi terhadap permasalahan alternatif akses permodalan yang berkelanjutan
untuk petani. Penyaluran dana PUAP melalui LKM-A diiringi oleh sistem
kepengurusan dan penyusunan program yang baik akan mempengaruhi
keberlanjutan LKM-A tersebut sebagai alternatif permodalan agribisnis
perdesaan. LKM-A diharapkan dapat memberikan pelayanan keuangan mikro
sesuai dengan yang dibutuhkan petani miskin dan pengusaha mikro pertanian di
perdesaan secara berkelanjutan.
Pengukuran kinerja pengelolaan LKM-A
dilakukan karena sering terjadi permasalahan pada Lembaga Keuangan Mikro di
Indonesia. Masalah yang sering terjadi pada LKM di Indonesia adalah
kebanyakan LKM seperti LKM milik pemerintah, LKM proyek, maupun LKMLSM menghadapi persoalan mengenai keberlanjutannya. Ketidakmampuan
menjaga keberlanjutan tersebut dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor
utama seperti (1) ketergantungan terhadap dukungan, baik dari pemerintah
ataupun donor; (2) hanya merupakan proyek yang didesain untuk sementara
waktu; (3) ketiadaan sistem keuangan mikro yang memadai, dan (4)
ketidakmampuan beradaptasi dengan situasi pasar keuangan mikro yang ada
(Ismawan 2003).
Parameter keberhasilan kinerja LKM-A diukur dari kemampuan lembaga
tersebut dalam menyalurkan dan mengelola dana PUAP secara efektif dan
mengembangkannya sehingga terjadi akumulasi dana PUAP dari dari waktu ke
waktu. Efektivitas pengelolaan dan penyaluran dana PUAP salah satunya

7
ditentukan oleh kemampuan LKM-A menjangkau sebanyak mungkin petani yang
benar-benar memerlukan bantuan penguatan modal untuk kegiatan usahanya.
Mengingat berkembang penjangkauan model LKM, perhatian sekarang ini
berpusat pada keberlanjutan program. Keberlanjutan dan penjangkauan adalah
masalah yang banyak dibahas dalam bidang keuangan mikro yaitu dalam
hubungan jangkauan peserta dan keberlanjutan lembaga (Morduch 2000).
Keberadaan LKM-A Gapoktan Sejahtera Kabupaten Lamongan, harus
menjadi solusi bagi petani anggota Gapoktan penerima dana PUAP dalam
memperoleh permodalan untuk menjalankan usahataninya. Lembaga keuangan
yang dikembangkan oleh Gapoktan mempunyai beberapa ciri khas yang sesuai
dengan karakteristik daerah dan kelompoknya masing-masing, yang menyangkut
aspek sasaran kelompok (agribisnis), syarat peminjaman dan pengajuan, cara
pengembalian, dan sistem insentif dan sanksi. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh
lembaga keuangan level gapoktan mengikuti aturan yang sudah disepakati oleh
forum musyawarah yang dibentuk oleh Gapoktan. Berdasarkan pedoman
pengembangan LKM-A Gapoktan PUAP (2014), terdapat kinerja Gapoktan yang
dijadikan bahan pertimbangan adalah: (a) Dana keswadayaan; (b) sarana dan
prasarana kantor/tempat usaha; (c) kemampuan gapoktan dalam mengoptimalkan
dana masyarakat; (d) kemampuan dalam menghasilkan laba. Untuk menjalankan
fungsi-fungsi tersebut gapoktan harus memiliki kelembagaan dan organisasi yang
kuat dan berkelanjutan. Kinerja LKM-A Sejahtera bagi masyarakat agribisnis
perdesaan kabupaten Lamongan perlu ditingkatkan secara terus menerus dan
dipertahankan keberlanjutannya.
Keberlanjutan LKM-A memerlukan adanya badan hukum yang sesuai
dengan prinsip pengelolaannya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyatakan Badan
Usaha Milik Petani (BUMP) dibentuk oleh, dari dan untuk petani melalui
Gapoktan. BUMP dapat berbentuk koperasi atau badan usaha lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dengan demikian Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) maupun unit otonom simpan pinjam yang
dimiliki Gapoktan PUAP sebagai salah satu model BUMP harus memiliki badan
hukum. Pemilihan badan hukum LKM-A disesuaikan hasil kesepakatan anggota
Gapoktan. Sesuai karakteristik dari BUMP yang dibentuk oleh, dari dan untuk
petani melalui Gapoktan maka bentuk badan hukum yang sarankan untuk LKM-A
adalah Koperasi. Pemberdayaan dan pembinaan kepada Gapoktan penerima dana
PUAP untuk mengembangkan LKM-A sebagai salah satu unit usahanya
dimaksudkan agar aset dana PUAP dan dana keswadayaan yang dikumpulkan
oleh Gapoktan dapat dikelola dengan baik dan profesional. Kelembagaan di
tingkat petani melalui Gapoktan mempunyai potensi untuk dikembangkan prinsip
koperasi melalui pendekatan kewirausahaan. Pengelolaan dan hasil usaha LKM-A
dilakukan langsung oleh Kelompok Tani bersama-sama dengan anggotanya,
sehingga muncullah peran kewirausahaan bersama yang mengarah pada prinsip
koperasi (Co-operative Entrepreneurship). Kewirausahaan Koperasi adalah suatu
sikap mental positif dalam berusaha secara koperatif, dengan mengambil prakarsa
inovatif serta keberanian mengambil risiko dan berpegang teguh pada prinsip
identitas koperasi, dalam mewujudkan terpenuhinya kebutuhan nyata serta
peningkatan kesejahteraan bersama.

8
Berdasarkan perumusan masalah di atas, beberapa pertanyaan penelitian
mengenai
analisis
keberlanjutan
dan
pengembangan
co-operative
entrepreneurship LKM-A Sejahtera Kabupaten Lamongan adalah:
1. Bagaimana proses penumbuhan LKM-A Sejahtera Kabupaten Lamongan?
2. Bagaimana analisis keberlanjutan LKM-A Sejahtera Kabupaten Lamongan
berdasarkan pendekatan kelembagaan, finansial dan nasabah?
3. Pendekatan apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan Co-operative
Entrepreneurship LKM-A?

Tujuan Penelitian
1. Menganalisis proses penumbuhan LKM-A Sejahtera Kabupaten
Lamongan.
2. Menganalisis keberlanjutan LKM-A Sejahtera Kabupaten Lamongan
berdasarkan pendekatan kelembagaan, finansial dan nasabah.
3. Merumuskan implikasi pengembangan Co-operative Entrepreneurship
LKM-A

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) di Kabupaten
Lamongan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa
pihak diantaranya :
1. Bagi LKM-A lain, sebagai bahan masukan perbaikan dan contoh
perkembangan LKM-A;
2. Bagi Gapoktan untuk mendukung peningkatan kinerja LKM-A;
3. Bagi Dinas Pertanian dan Kehutanan diharapkan dapat memberi masukan,
evaluasi dan penilaian terhadap kinerja LKM-A;
4. Bagi peneliti diharapkan dapat mempertajam kemampuan menganalisis
permasalahan yang ada di kehidupan nyata sesuai dengan materi yang
telah didapatkan diperkuliahan;
5. Bagi pembaca sebagai sumber literatur dan perbandingan dalam penelitian
yang akan dilakukan selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian yang diambil sebagai objek penelitian adalah LKM-A
Sejahtera yang berada di Kabupaten Lamongan. LKM-A Sejahtera telah
mengelola dana PUAP 100 juta rupiah melalui Gapoktan. Penelitian ini
memfokuskan pada proses penumbuhan LKM-A, analisis keberlanjutan LKM-A
menggunakan pendekatan kelembagaan, finansial dan peserta, serta implikasi
pengembangan Co-operative Entrepreneurship LKM-A.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pasar Kredit Perdesaan
Kredit berperan penting dalam pembiayaan pembangunan, dalam konteks
yang lebih luas juga dikemukakan bahwa dengan akses kredit, maka seseorang
akan dapat mengoptimalkan usahanya untuk mencapai tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Salah satu permasalahan klasik yang dihadapi sektor pertanian di
pedesaan adalah masalah akses kredit permodalan. Anwar (1995) menyatakan di
dalam pasar kredit pedesaan dalam kenyataannya terjadi segmentasi pasar.
Terjadinya segmentasi pasar ini, khususnya pasar kredit bagi masyarakat
golongan ekonomi lemah terlihat jelas. Hal ini terjadi karena ada penghalang
kelembagaan (institutional barrier) bagi rumah tangga miskin dan golongan
ekonomi lemah untuk akses pada lembaga keuangan formal.
Zeller dan Sharma (2000) menyelidiki faktor-faktor penentu akses kredit
formal dan informal. Mereka memperkenalkan konsep batas kredit untuk
mengukur akses terhadap pinjaman dan berpendapat bahwa peminjam potensial,
terlepas dari kekayaan dan karakteristik lain, dapat memperoleh sejumlah terbatas
dari pemberi pinjaman. Seseorang dikatakan memiliki akses ke kredit jika ia
mampu meminjam sejumlah tertentu dari pasar kredit informal atau formal. Akses
ke kredit, diukur dengan batas kredit dan jumlah yang sebenarnya dipinjam.
Penelitian dieksplorasi melalui data dari 350 rumah tangga pedesaan di
Bangladesh. Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok program kredit
berhasil menjangkau orang-orang miskin yang memiliki kurang dari setengah
hektar tanah.
Nguyen et al. (2000) memberikan bukti empiris dari Burkina Faso yang
menunjukkan potensi keuangan mikro pedesaan yang melampaui pinjaman dan
melayani permintaan yang lebih luas untuk tabungan dan asuransi jasa. Kaum
miskin pedesaan di negara yang terkena pola pendapatan musiman dan
ketidakpastian permintaan besar hasil panen serta kondisi pasar, menyebabkan
permintaan jasa bagi petani sebagai nasabah tidak hanya kredit tetapi juga
tabungan dan layanan asuransi untuk kelancaran pendapatan dan konsumsi.
Sebagian besar LKM, yang hanya menyediakan pinjaman ternyata tidak
sepenuhnya memenuhi permintaan jasa keuangan.
Akses terhadap LKM berkaitan dengan jangkauan LKM terhadap
nasabahnya. Kajian penelitian LKM terhadap ekonomi rumah tangga peserta atau
nasabah telah dilakukan oleh Khandker et al. (1995) terhadap operasi Grameen
Bank (GB). Dari kajian tersebut dikemukakan bahwa GB secara finansial telah
dapat mencapai self suffiency. GB telah mampu meyakinkan membantu golongan
miskin keluar dari kemiskinannya. Tingkat anggota yang keluar dari GB adalah 5
persen dan tingkat pengembaliannya secara konsisten tetap tinggi mencapai lebih
dari 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat program GB cukup baik bagi
anggotanya untuk berpartisipasi. Khandker mencoba menggabungkan kajian
tentang lembaga keuangan (GB) dan anggotanya secara terintegrasi.
Hubungan yang harmonis antara bank dan peminjam dengan memadukan
strategi LKM yang memasukkan unsur struktur dan budaya setempat, menjadi
faktor keberhasilan LKM. Berdasarkan penelitian Boysen dan Sahlberg (2008),

10
salah satu contoh LKM yang berhasil mengentaskan kemiskinan adalah Grammen
Bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Kunci keberhasilan
Grammen Bank terletak pada strategi yang mumpuni dalam membangun
hubungan yang harmonis antara bank dan peminjam (The bank-borrower
relationship). Struktur organisasi dibuat sangat efisien dan efektif, sehingga
semua kebijakan yang diarahkan oleh manajemen Grammen Bank dapat
diaplikasikan secara baik di tingkat lokal. Salah satu upaya pengamanan dalam
pembiayaan, pihak Grammen Bank menerapkan salah satu instrumen, yaitu aturan
tanggung renteng di dalam kelompok.
Di Indonesia, keberhasilan LKM yang membantu permodalan kredit
perdesaan bermunculan seiring dengan meningkatnya kebutuhan usahatani.
Berenbach dalam Churchill (1997) mengemukakan keberhasilan LKM Indonesia
karena dalam hal skala, jenis, jumlah, penetrasi pasar, dan profitabilitas, LKM di
Indonesia adalah yang paling maju di dunia. Pada waktu itu, Indonesia merupakan
salah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki jaringan LKM meluas
hingga ketingkat desa. Lebih dari 15 ribu bank unit desa menyediakan tabungan
dan kredit kepada hampir 17 juta nasabah.

Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Di dalam pengelolaannya, LKM dihadapkan pada faktor kritis, yakni yang
berkaitan dengan kelembagaan dan pemanfaat/nasabah. Dari sisi kelembagaan,
permasalahan LKM terkait dengan aspek sustainabilitas/keberlanjutan.
Keberlanjutan LKM dipengaruhi oleh: (a) kapabilitas sumberdaya manusia
(SDM) pengelola LKM dan (b) dukungan modal awal (seed capital). Dari sisi
nasabah/pemanfaat, aspek yang menjadi faktor kritis terkait dengan karakteristik
individu, jenis usaha dan kelayakan usahanya. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa usaha di sektor pertanian kurang dilirik oleh LKM dengan alasan berisiko
tinggi, perputaran cash flow lambat, dan lain-lain (Hendayana dan Bustaman
2008).
Pengalaman menunjukkan bahwa dana bantuan selama ini sulit digulirkan
dan bahkan cenderung tidak produktif, karena tidak adanya lembaga yang
mengelola keuangannya. Kebutuhan pembiayaan bagi petani sangat penting bagi
kegiatan usaha taninya. Saat ini di negara-negara dimana pembiayaan mikro
sedang dikembangkan secara besar-besaran, mungkin hanya 5 persen pembiayaan
mikro yang dapat dipenuhi. Bahkan di sebagian besar negara, kurang dari 1 persen
permintaan potensial pembiayaan mikro yang dapat dipenuhi (Christen et al.
1994).
Pengelolaan dana LKM melalui kelembagaan petani masih terdapat
kelemahan. Dalam penelitian Akbar (2011), yang menemukan kelemahan dalam
pengelolaan dana terhadap Gapoktan penerima dana PUAP di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat. Kelemahan tersebut terutama terkait dengan pengelolaan
dana PUAP yang kurang profesional, tidak adanya sanksi tegas terhadap
penyelewengan dana PUAP, dan rendahnya kinerja unit usaha simpan pinjam
yang dikelola Gapoktan. Langkah solusi yang harus dilakukan adalah dengan
meningkatkan profesionalisme anggota Gapoktan, pemberian sanksi bagi

11
pengurus Gapoktan yang menyelewengkan dana PUAP, dan meningkatkan kerja
unit usaha simpan pinjam untuk meningkatkan kesejahteraan anggota Gapoktan.
Keberhasilan LKM jika tidak diiringi dengan tingkat pengelolaan lembaga
yang efektif maka akan terjadi kegagalan lembaga keuangan tersebut dalam hal
keberlanjutannya. Marulanda, et al. (2010), membuat laporan kerja tentang
kegagalan implementasi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Amerika Latin. Di
antara faktor- faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksanaan LKM
adalah: (1) Kelemahan metodologis, karena tidak digunakannya metode secara
tepat, hingga pelaksanaan metode yang parsial dan penggunaan metodologi
tertentu tanpa mempertimbangkan jenis kelompok sasaran. (2) Penipuan
dilakukan secara sistematis, yang pada dasarnya terjadi pada dua tingkatan dan
dengan cara yang berbeda, yaitu kecurangan yang dilakukan pada tingkat
manajemen, dan penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga di lapangan, biasanya
petugas kredit. (3) Pertumbuhan yang tidak terkendali, pengelola/pengurus LKM
memaksakan diri untuk mencari nasabah sebanyak banyaknya tanpa
memperhitungkan kemampuan keuangan LKM. (4) Kehilangan fokus, ketika
mencoba untuk merambah berbagai jenis usaha mikro lainnya, atau
memperbanyak jenis layanan usaha tanpa terlebih dahulu memperkuat layanan
utama dari LKM tersebut. (5) Kesalahan desain, dengan mencontoh bentuk
layanan kredit yang telah berhasil, namun ternyata bentuk layanan tersebut tidak
cocok dengan potensi pasar yang ada di sekitar LKM tersebut. (6) Intervensi
pemerintah yang berlebihan dalam bentuk kebijakan untuk mengatur dan
mengembangkan kredit mikro. Intervensi tersebut termasuk upaya pemerintah
menciptakan bank perkreditan untuk pertanian dan peternakan, akan tetapi pada
akhirnya bank tersebut tidak lagi fokus pada pelayanan pembiayaan usaha
pertanian dan peternakan, melainkan beralih kepada pelayanan pembiayaan di
sektor lain.

Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Penelitian LKM di India ditunjukkan oleh Kaur (2014), yang mengkaji
lembaga keuangan mikro dianggap sebagai alat yang efektif untuk mencapai
tujuan akses pada lembaga keuangan. Untuk mencapai tujuan ini LKM diharuskan
berkelanjutan dengan tetap mencapai jangkauan masyarakat miskin. Setelah krisis
keuangan mikro Andhra Pradesh tahun 2010, keberlanjutan dan jangkauan LKM
di India diragukan dan dipertanyakan. Krisis keuangan mikro telah menunjukkan
operasional keberlanjutan LKM India sangat buruk, namun LKM di India
tampaknya tetap menjadi pemain terbaik di Asia Selatan
Penelitian Setyarini et al. (2008) memaparkan bahwa kebanyakan LKM
yang ada di masyarakat adalah LKM proyek maupun LKM atau LSM yang
menghadapi persoalan terhadap keberlanjutan usahanya. Ketidakmampuan untuk
menjaga keberlanjutan tersebut dikarenakan berbagai macam faktor utama seperti
kebergantungan terhadap pemerintah maupun donor, hanya merupakan proyek
yang didesain untuk sementara waktu, ketiadaan sistem mikro yang memadai,
serta ketidakmampuan beradaptasi dengan situasi pasar keuangan mikro yang
sudah ada. Untuk menghindari ketidakberlanjutan lembaga keuangan mikro, maka
sangat dibutuhkan adanya penguatan dari sisi manajemen untuk meningkatkan

12
kinerja serta evaluasi kinerja secara periodik. Hasil evaluasi tersebut diharapkan
dapat memberikan informasi yang bisa membantu LKM untuk mencapai
tujuannya. Selain itu, LKM juga memiliki peranan strategis di lingkungan
masyarakat terutama bagi masyarakat menengah kebawah yang bekerja di sektor
pertanian.
Untuk mengukur kinerja keberlanjutan LKM, Bhinadi (2008) menawarkan
dua pendekatan, yaitu indikator keuangan (financial) dan jangkauan (outreach).
Indikator keuangan mencakup kualitas portofolio, leverage, capital adequacy
ratio, produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan kuangan (financial
viability). Indikator jangkauan mencakup capaian klien dan staf, pinjaman dan
tabungan/deposito. Sedangkan Indikator kinerja LKM diukur dari enam area,
yaitu: (1) kualitas portfolio (portfolio quality), (2) produktivitas dan efisiensi
(productivity and efficiency), (3) kelayakan keuangan (financial viability), (4)
profitabilitas (profitability), (5) leverage dan kecukupan modal (leverage and
capital adquacy), dan (6) skal