Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster Planci Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara

ANALISIS PREDASI POLIP KARANG OLEH Acanthaster
planci TERHADAP TINGKAT KERUSAKAN TERUMBU
KARANG DI PANTAI PULAU HARI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

TEZZA FAUZAN H

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Predasi Polip Karang
Oleh Acanthaster planci Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai
Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Tezza Fauzan H
NIM C251110301

RINGKASAN
TEZZA FAUZAN H. Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster planci
Terhadap Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi
Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan
MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat
sensitif dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis
terumbu karang ditandai dengan perubahan–perubahan yang terjadi dalam
komunitas, serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota
penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotik lingkungan. Secara alami respon
terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha
untuk bertahan dan menunjukkan gejala pemulihan sampai terbentuknya

komunitas yang stabil kembali setelah mengalami kerusakan.
Acanthaster planci atau dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish
merupakan salah satu jenis bintang laut pemakan karang yang berukuran relatif
besar dan berduri banyak. Hewan ini tersebar di berbagai perairan yang ditumbuhi
oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu
karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Kerusakan
terumbu karang sebagai akibat dari aktivitas makan A. planci merupakan salah
satu masalah paling serius dalam upaya konservasi terumbu karang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat predasi polip
karang oleh Acanthaster planci terhadap tingkat kerusakan terumbu karang dalam
memberikan status kondisi terumbu karang di Pulau Hari Provinsi Sulawesi
Tenggara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para
pengambil kebijakan untuk lebih proaktif dalam pengelolaan sumberdaya terumbu
karang berkelanjutan di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara, serta
dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan sumberdaya terumbu
karang di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan data, menunjukkan bahwa persentase penutupan karang hidup
di perairan Pulau Hari lebih tinggi dibandingkan dengan persentasi penutupan
karang mati. Persentasi penutupan karang hidup berkisar antara 40,36% hingga
66,32% dengan nilai rata-rata persentasi penutupannya pada masing-masing

stasiun pengamatan adalah 57,79%.
Dapat diketahui bahwa kepadatan A. planci pada masing-masing Titik
pengamatan bervariasi, yaitu berkisar antara 0 - 13 ind/500m2, dengan nilai ratarata kepadatannya adalah 0,008 ind/m2. Kepadatan tertinggi A. planci ditemukan
pada titik sebelah barat dengan nilai rata-rata yaitu 13,667 ind/500m2, titik sebelah
selatan nilai rata-rata kepadatannya 3,333 ind/500m2, sedangkan nilai rata-rata
kepadatan terendah A. planci ditemukan pada titik sebelah utara yaitu 0,667
ind/m2
Indeks predasi karang merupakan sebuah indikator yang dapat digunakan
untuk melihat seberapa besar pengaruh predasi A. planci terhadap pertumbuhan
karang. Indeks predasi karang tersebut akan berbanding lurus dengan persen
predasi karang. Semakin tinggi persen predasi karang maka indeks predasinya

juga akan tinggi, begitu pula sebaliknya semakin rendah persen predasi karang,
maka indeks predasi karang juga akan rendah.
Titik sebelah selatan dan titik sebelah utara memiliki indeks predasi
kurang dari nol, yaitu masing-masing sebesar -0,06094 dan-0,03782. Hal ini
berarti bahwa tingkat predasi karang lebih rendah dibanding dengan tingkat
pertumbuhan karang, dimana hal tersebut dibuktikan dengan kelimpahan A. planci
pada masing-masing stasiun tersebut nilai rata-rata kepadatannya sebesar 0,005
ind/1000m2 dan 0,001 ind/1000m2. Endean (1987), mengatakan bahwa kehadiran

A. planci dalam batasan normal yaitu kurang dari 0,014 ind/m2. Berbeda halnya
dengan titik sebelah barat yang memiliki indeks predasi karang lebih dari nol,
yaitu sebesar 1,952054. Hal ini berarti bahwa tingkat predasi karang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat pertumbuhan karang, dimana hal tersebut dibuktikan
dengan kelimpahan rata-rata A. planci pada Titik sebelah Barat lebih dari 0,014
ind/m2, yaitu sebesar 0,020 ind/m2.
Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian
disebabkan karena populasi A. planci yang tidak terlalu tinggi, sehingga
pemangsaan karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi A. planci pada suatu
ekosistem dalam status alami, maka tidak akan memberikan ancaman yang berarti
terhadap ekosistem terumbu karang bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi
di dalam ekosistem.
Kata Kunci: Predasi, A. planci, terumbu karang, Pulau Hari

SUMMARY
TEZZA FAUZAN H. The Analysis Of The Effect Of Coral Polyp Predation By
Acanthaster planci Toward The Coral Reef Damage Level In The Waters Of Hari
Island, South-East Sulawesi. Supervised by FREDINAN YULIANDA and
MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
The objective of this study is to analyze the level of coral’s polyps

predation by Acanthaster planci on the level of coral reefs damage to providing
status of coral reefs in Hari island, Southeast Sulawesi. The results of this study
are expected to provide information for decision-makers to be more proactive in
sustainable of the coral reefs resources management in Hari island, Southeast
Sulawesi, so it can be used as a basis for consideration of the coral reef resources
management in Hari island, Southeast Sulawesi.
The coral reef is a very dynamic ecosystem but it is very sensitive and
prone to environmental changing. The dynamic condition of coral reef is shown
by the changes that happened in the community and the strong interactions
between the reef biota and the reef-dwelling biota and the abiotic environmental
conditions. If the environmental pressure persistently of coral reef while it
regeneration is slow, it absolutely will be died.
Acanthaster planci which is commonly known as the crown-of-thorns
starfish preys on coral and is relatively large in size and has numerous thorns. This
animal lives in various waters that are the habitat for corals. A high population of
A. planci in a coral reef will have a negative effect on the life of the reef. Coral
reef damage caused by predation by A. planci is one of the most serious problems
in the effort to conserve coral reefs. The A. planci is one of the potential problems
faced by coral reef management. Among the existing coral predators, the A. planci
is the most dangerous when there is overpopulation, preying on almost all live

coral species.
Based on collected data, it has shown that the percentage of coverage for
live coral in the waters of Hari Island is higher than dead coral. Covering
percentage of live coral is between 40.36% - 66.32% with an average of 57.79%.
The presence of A. planci is an ecological control for fast-growing coral. it
can be seen that the density of A. planci in each observation point was different;
ranging between 0 to 13 individuals/500m2 with an average of 0.008
individual/1000m2. The highest A. planci density was found in the Western
Observation Point with an average of 13.667 individuals/500m2, followed by the
Southern Observation Point with an average of 3.333 individuals/500m2, while the
lowest density was found in the Northern Observation Point with an average of
0.667individuals/m2.
The Coral Predation Index is an indicator that could be used to measure
the effect of predation by A. planci on coral reef growth. The Coral Predation
Index will be linear to the percentage of coral predation. The higher and higher of
the percentage of coral predation, therefore predation index will be higher and in
reverse.
The Southern and Northern Observation Points had predation indexes of
less than zero, i.e. -0.06094 and -0.03782, respectively. This means that the coral


predation index was lower than the coral growth rate. This is further supported by
the population of A. planci in each observation point, 0.005 individuals/1000m2
and 0.001 individuals/1000m2, respectively. Endean (1987) stated that the
presence of A. planci within normal limits is less than 0.014 individuals/m2. In the
Western Observation Point showed a Coral Predation Index higher than zero, i.e.
1.952054. It means that the coral predation level was higher than the coral growth
rate. This is supported by the average population density of A. planci in the
Western Observation Point which was more than 0.014 individuals/m2; 0.020
individuals/m2 to be exact.
Significance correlation among covering percentage of live-coral,
predation percentage and population density of A. planci in the site of study is the
increasing of coverage percentage of live-coral caused by decreasing of
population density of A. planci. If the population of A. planci in a certain
population is within the natural status, it will not pose a threat to the coral reef
ecosystem, and can even maintain the ecological balance in the ecosystem.
Keywords: Predation, A. planci, coral reef, Hari Island

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PREDASI POLIP KARANG OLEH Acanthaster
planci TERHADAP TINGKAT KERUSAKAN TERUMBU
KARANG DI PANTAI PULAU HARI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

TEZZA FAUZAN H

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster planci Terhadap Tingkat Kerusakan
Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, M.Sc
dan Bapak Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing. Terima

kasih penulis ucapkan kepada bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku
penguji luar komisi, Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada ayah(almarhum), ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayang yang telah kalian berikan. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada seluruh teman-teman yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini selama dilapangan dan teman-teman SDP 2011 yang telah memberikan
semangat dan dukungannya hingga Tesis ini selesai.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Tezza Fauzan H

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL.................................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................


vi

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................

vi

1 PENDAHULUAN…………………………………………………….
Latar Belakang ..................................................................................
Rumusan Masalah .............................................................................
Tujuan Penelitian ..............................................................................
Manfaat Penelitian ............................................................................
2 TINJAUAN PUSTAKA
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi ..............................................................................
Metode dan Analisis Data ..................................................................
Prosedur Analisis Data .......................................................................

1
1
2
3
3
4
15
15
15
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kawasan Penelitian .............................................
Parameter Kualitas Air .....................................................................
Persentase Penutupan Karang ...........................................................
Acanthaster planci dan Penurunan Tutupan Karang Keras ..............
Indeks Predasi Karang ......................................................................
kelimpahan dan keanekaragaman ikan .............................................
Keterkaitan antara Persentasi Predasi Acanthaster planci
dengan Kepadatan Acanthaster planci……………………………

19
19
19
23
25
28
29

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................
Saran .................................................................................................

32
32
32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

37

30

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Nilai pengukuran parameter kualitas air ..................................................
Hubingan jumlah kehadiran individu A. planci dengan persen
tutupan karang hidup ...............................................................................
Persentase predasi A. planci terhadap persentase tutupan karang
selama enam minggu ...............................................................................
Status ekologi A. planci terhadap kondisi terumbu karang ....................

20
23
26
27

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Daur hidup A. planci ...............................................................................
Peta lokasi penelitian ...............................................................................
Ilustrasi teknik pengambilan data karang dengan menggunakan
transek garis .............................................................................................
Ilustrasi teknik pengambilan dataikan dan organisme lain dengan
menggunakan sensus transek sabuk ........................................................
Lokasi penelitian Pulau Hari Sulawesi Tenggara ....................................
Persentasi penutupan karang ...................................................................
Kepadatan A. planci pada masing-masing titik pengamatan ...................
Gambar indeks predasi karang pada masing-masing titik pengamatan ...
Grafik hubungan antara persen predasi dan kepadatan A. planci ............

6
15
16
16
19
24
25
28
31

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5

Kepadatan A. Planci ................................................................................
Persentase Tutupan Karang Hidup ..........................................................
Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang .....................................
Pengambilan data Karang ........................................................................
Predasi A. planci ......................................................................................

38
38
38
39
39

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat
sensitif dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis terumbu
karang ditandai dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam komunitas, serta
adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya
serta kondisi abiotik lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari
berbagai aktivitas manusia maupun oleh kejadian-kejadian alam telah memberikan
dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami respon
terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk
bertahan dan menunjukkan gejala pemulihan sampai terbentuknya komunitas yang
stabil kembali setelah mengalami kerusakan (Obura dan Grimsditch 2009). Apabila
tekanan lingkungan terjadi terus menerus, sedangkan daya pulihnya lambat, maka
terumbu karang akan mengalami kematian.
Acanthaster planci atau biasa dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish
merupakan salah satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak
sekali dan merupakan hewan pemakan karang. Hewan ini tersebar di berbagai
perairan yang ditumbuhi oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi bintang laut
ini di daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan
karang. Kerusakan terumbu karang sebagai akibat dari aktivitas makan bintang laut
ini merupakan salah satu masalah paling serius dalam upaya konservasi terumbu
karang. Hal ini dikarenakan bintang laut ini dalam jumlah populasi yang besar dapat
menyebabkan kematian karang keras dalam skala yang sangat luas.
Bintang laut ini merupakan salah satu masalah besar yang potensial dihadapi
di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa karang yang ada, hewan
ini adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi
(outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh hewan ini. Menurut
Moran (1990), setiap individu bintang laut ini dapat memangsa karang seluas 5–6
2
m /tahun. Jadi dapat dibayangkan seberapa luas kerusakan yang dapat ditimbulkan
jika ribuan atau bahkan jutaan dari biota ini berada dalam ekosistem terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang akibat bintang laut ini telah dilaporkan di seluruh
dunia, misalnya Jepang, Australia, Palau, Guam, Vanuatu, Papua, Vietnam dan
Indonesia. Walaupun peledakan populasi hewan ini di Indonesia telah banyak
dilaporkan secara lisan, publikasi tentang masalah ini masih sangat sedikit. Publikasi
tentang organisme yang tersedia banyak berasal dari Jepang dan Australia. Di Great
Barrier Reefs, Australia, berdasarkan sisa-sisa duri dan kerangka di dalam sedimen
diperkirakan bintang laut ini telah muncul di terumbu sekitar 3350 tahun yang lalu,
walaupun tidak ada bukti kuat bahwa telah terjadi peledakan populasi yang
menghabisi karang di terumbu sebelum tahun 1960-an (Moran et al. 1986).
Peledakan populasi bintang laut ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 di Green
Island, Great Barrier Reefs. Peledakan populasi di Jepang pertama kali dilaporkan
pada tahun 1969. Bintang laut ini diperkirakan mulai memasuki perairan Jepang pada

2

tahun 1957-58 dan melakukan pemangsaan karang yang serius sejak awal tahun
1970-an.
Di Indonesia, kehadiran bintang laut ini telah dilaporkan sejak tahun 1970-an
oleh para peneliti LIPI, misalnya di sekitar Ambon dan Kepulauan Seribu (Lane
1996). Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya bintang laut ini dalam jumlah
kecil atau dalam kondisi masih kecil. Peneliti LIPI lainnya, Darsono dan Sukarno,
telah mengamati adanya populasi bintang laut ini di Kepulauan Seribu dari tahun
1991-1993 dan dilaporkan tidak ada peledakan populasi (Tomascik et al. 1997).
Peledakan populasi baru suatu bintang laut ini terjadi pada tahun 1995, yang
dilaporkan di dalam seminar, tetapi tidak dalam suatu publikasi. Publikasi ilmiah
tentang kerusakan terumbu karang Indonesia akibat hewan ini baru dilakukan pada
saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai (Lane 1996). Pada tahun 1996
juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh bintang laut ini yang menghabiskan
hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat, dan Pantai
Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar 2006). Pada tahun 2005 peledakan
populasi (outbreak) bintang laut ini dilaporkan terjadi di Pulau Kapoposang, Sulawesi
Selatan (Yusuf 2008).
Kondisi terumbu karang Pulau Hari secara umum memiliki kondisi yang baik
setelah berkurangnya aktivitas pemboman yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
Pulau Hari, namun dari hasil pengamatan beberapa tahun terakhir terjadi pemutihan
karang yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas predasi oleh bintang laut ini.
Pada musim-musim tertentu, keberadaan hewan ini di perairan pulau tersebut sangat
melimpah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jalur predasi pada koloni karang di
perairan pulau tersebut.
Kehadiran dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum di
ekosistem terumbu karang. Jika kepadatan populasi lebih dari 14 individu/1000 m2,
maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang (Endean 1987). Sebagai
bentuk upaya pelestarian terumbu karang di Pulau Hari, maka diperlukan suatu kajian
ilmiah mengenai status populasi bintang laut ini dan tingkat predasinya. Tingkat
predasi bintang laut ini diamati untuk memberikan gambaran kecepatan pulih
terumbu karang dibanding kerusakannya. Informasi populasi dan tingkat predasi yang
diperoleh digunakan sebagai dasar pengelolaan terumbu karang di Pulau Hari.
Rumusan Masalah
Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang akan memberikan
dampak negatif bagi kehidupan karang. Pada kondisi alami, pemangsaan bintang laut
ini dapat diimbangi oleh kemampuan pulih diri terumbu karang. Tingkat predasi
organisme ini yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang sebelum
mampu untuk pulih diri.
Fenomena munculnya pemutihan terumbu karang di Pulau Hari telah ada
sejak 5 tahun yang lalu (2008). Kondisi ini semakin meningkat hingga sekarang.
Faktor utama penyebabnya adalah meningkatnya populasi bintang laut ini. Secara
alamiah, hewan ini merupakan organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang.
Namun bila dalam keadaan yang tidak terkontrol, hewan ini dapat menjadi ancaman

3

yang serius bagi kelangsungan kesehatan terumbu karang. Setelah ditelusuri lebih
dalam factor munculnya fenomena tersebut, disebabkan oleh menurunnya predator
alamiah dari bintang laut ini yaitu Ikan Napoleon dan Keong Raksasa (Giant Triton)
di pulau tersebut. Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh aktivitas makan
hewan ini merupakan salah satu masalah yang paling serius dalam upaya pengelolaan
terumbu karang. Berdasarkan pada keadaan tersebut, maka penelitian ini berupaya
untuk mengetahui tingkat predasi polip karang dan kerusakan karang yang
disebabkan oleh bintang laut ini di Pulau Hari, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat predasi polip karang
oleh Acanthaster planci terhadap tingkat kerusakan terumbu karang dalam
memberikan status kondisi terumbu karang di Pulau Hari Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para pengambil
kebijakan untuk lebih proaktif dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang
berkelanjutan di perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara, serta dapat
dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di
perairan Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Acanthaster planci
Sistematika Acanthaster planci
Acanthaster memiliki tiga jenis dan dua anak jenis (subspesies) dari genus
Acanthaster, yaitu: A. planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo Pasifik,
A. ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar di kawasan
Pasifik Timur, dan A.brevispinus, yang memiliki duri lebih pendek yang ditemukan di
Filipina (Birkeland dan Lucas 1990). Sedangkan dua subspesies lainnya yaitu pada
tahun 1962 Caso menemukan satu subspesies dari A. ellsii pseudoplanci dan pada
tahun 1984 Jangoux dan Aziz memperkenalkan satu subspesies yang diberi nama A.
brevispinus seychellesentis (Aziz 1995).
Klasifikasi dari Acanthaster planci menurut Berkeland dan Lucas (1990):
Kingdom : Animalia
Phylum : Echinodermata
Class : Asteroidea
Ordo : Spinolisida
Sub Ordo : Leptognathina
Family : Acanthasteridae
Genus : Acanthaster
Spesies : Acanthaster planci
Morfologi Achantaster planci
Acanthaster planci memiliki bentuk tubuh yang unik. Tubuhnya berbentuk
cakram dengan perut yang besar dan rata (Birkeland dan Lucas 1990). Spesies ini
memiliki lengan dengan jumlah yang bervariasi antara 8 - 21 buah yang sangat lentur
sehingga dapat membelit/melingkar segala bentuk koloni karang. Bintang laut ini
mempunyai kemampuan untuk memutuskan lengannya bila diperlukan, hal ini diduga
erat kaitannya dengan predasi terhadap bintang laut ini. Hampir sebesar 60%
individu bintang laut ini dalam satu populasi dapat kehilangan salah satu atau lebih
dari lengannya (Moran 1990).
Acanthaster planci memiliki warna yang berbeda-beda tergantung pada lokasi
dimana mereka berada. Misalnya, bintang laut ini ditemukan di Thailand memiliki
warna merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great Barrier
Reef (Australia). Sedangkan di Hawaii, bintang laut ini berwarna hijau dan merah. Di
Indonesia, bintang laut ini pada umumnya berwarna abu-abu, ungu, hijau dan biru
(Moran, 1990).
Ukuran bintang laut ini pada koloni karang tidak menentu, ukuran
maksimal bintang laut ini yang ditemukan di Great Barrief Reef yakni 75 cm,
namun ukuran normal dari populasi bintang laut ini yang paling sering ditumukan
yakni 40 cm (Moran 1990).

5

Reproduksi dan Tahapan Daur Hidup Acanthaster planci
Reproduksi
Acanthaster planci memiliki 2 jenis kelamin yang terpisah yaitu jantan dan
betina. Periode dan waktu pemijahan
bintang laut ini dipengaruhi oleh
suhu/temperatur, salinitas dan ketersediaan makanan dan berlangsung selama musim
panas (Lucas 1987). Waktu pemijahan bintang laut ini tergantung pada letak
geografi dimana A. planci hidup, di belahan utara, musim memijah terjadi pada bulan
Mei - Juli, sedangkan di belahan bumi selatan, pemijahan terjadiantara bulan
November - Januari (Suharsono 1998).
Pemijahan A. planci berlangsung di luar tubuh atau disebut dengan fertilisasi
eksternal dimana sel telur dan sel sperma dilepaskan ke dalam air. A. planci betina
mampu menghasilkan sekitar 60 juta telur dalam 1 kali fase pemijahan. Pada saat
pemijahan terjadi bintang laut ini akan mengeluarkan hormon pheromone yang
berfungsi dalam merangsang bintang laut ini lainnya untuk mendekat dan melakukan
pembuahan (Suharsono 1998).
Acanthaster planci dapat melepaskan berjuta-juta telur dalam waktu seminggu
pada musim panas di Great Barrier Reef Australia dan telur yang dilepaskan
berbentuk larva planktonik. Setelah 21 minggu A. planci mulai memakan hewanhewan planktonik, coralline algae, dan epifit. Dalam waktu 4 sampai 5 bulan,
bintang laut ini akan mengalami pertumbuhan dengan pertambahan jumlah lengan
dan mulai memangsa polip karang (Endean 1969; Lucas 1973 dalam Dubinsky
1990).
Tahapan Daur Hidup Acanthaster planci
Jumlah terbesar dari spermatozoa dan oozit yang terdapat di Great Barrier
Reef menunjukkan bahwa telah matang pada bulan November. Fase gametogenesis
yang terjadi pada bulan November hingga Desember mengalami kemunduran
kematangan gonad. Testis yang telah matang dan dilapisi berjuta-juta dinding sel
yang merupakan tempat untuk memproduksi sperma sedangkan dalam ovarium hanya
terdapat 1 sel telur yang matang (Birkeland dan Lucas 1990).
Fase metamorfosa dimulai setelah brachiolaria berkembang menjadi juvenil
sekitar 2 minggu. Juvenile bintang laut ini akan menempel di terumbu karang
setelah mencapai diameter 10 - 20 mm. Juvenil bintang laut ini akan hidup di antara
puing-puing karang dan nyaris tak terlihat sampai dengan umur 6 bulan (Suharsono
1998).
Acanthaster planci memiliki daur hidup yang sama dengan asteroid lainnya.
Larva bintang laut ini hidup bebas sebagai plankton yang disebut sebagai fase
planktonik. Pada fase ini larva–larva bipinaria berkembang menjadi larva-larva
brachiolaria kemudian akan mengalami metamorfosa atau fase perubahan bentuk
selanjutnya akan hidup sebagai hewan dewasa.
Acanthaster planci muda yang baru terbentuk pada awalnya hanya memilki 5
lengan dan dua pasang kaki tabung pada tiap-tiap lengan serta tidak memliki mulut
(Birkeland dan Lucas 1990). Setelah 7 bulan bintang laut ini mulai mengalami
pertambahan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa. Bintang laut ini

6

akan menjadi individu dewasa setelah mencapai diameter tubuh sekitar 200 mm
dengan jumlah lengan sekitar 17 buah (Lucas, 1987).

Gambar 1. Tahapan daur hidup A. planci (Birkeland dan Lucas 1990).
Ekologi Acanthaster planci
Habitat
A. planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup terlindung, yaitu
daerah dimana bintang laut ini tidak dapat dengan mudah dihempaskan oleh ombak
yang kuat atau terlempar keluar dari karang akibat arus yang kuat. Alasan inilah yang
menyebabkan bintang laut ini cenderung untuk menghindari daerah perairan terbuka
atau perairan yang dangkal, sehingga terumbu karang pada daerah tersebut seringkali
luput dari pemangsaannya (Moran 1987).
Bintang laut ini pada umumnya menyukai daerah terumbu karang dengan
persentase tutupan karang yang tinggi, sedangkan anakan bintang laut ini lebih
menyukai tempat yang terlindung dengan cara bersembunyi di bawah bongkahbongkah karang atau pecahan karang (Moran 1990). Bintang laut ini tersebar pada
daerah terumbu karang di sepanjang kawasan Indo-Pasifik (Birkeland dan Lucas
1990).
Perilaku Makan
Bintang laut dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari,
sedangkan anakan bintang laut ini hanya makan pada waktu malam hari untuk
menghindari predator (Suharsono 1998).
Cara makan bintang laut ini cukup unik, yaitu dengan mengeluarkan isi
perutnya melalui mulut dan kemudian ususnya akan menutupi permukaan koloni
karang sehingga pencernaan terjadi di luar tubuh. Pada proses mencernaan makanan,
bintang laut ini mengeluarkan suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi sebagai

7

pemecah lemak. Proses ini membutuhkan waktu antara 4 – 6 jam (Suharsono 1998).
Satu individu dewasa bintang laut ini dapat memangsa rata-rata 5 - 6 m2 koloni
karang/tahun (Moran 1990). Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan di
lapangan menunjukkan bahwa bintang laut ini cenderung tertarik pada koloni karang
yang sebelumnya telah dimangsa oleh bintang laut ini yang lain (Birkeland dan Lucas
1990). Moran (1990) mengatakan bahwa bintang laut ini dapat bertahan tanpa
makanan selama 6 - 9 bulan.
Makanan utama bintang laut ini adalah karang keras namun A.planci juga
dapat memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung dari faktor
ketersediaan makanan (Moran 1986 dalam Birkeland 1998). Suharsono (1998),
menambahkan bahwa makanan bintang laut ini berbeda-beda, tergantung tingkat
kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota tersebut. Pada fase larva makanan bintang
laut ini adalah fitoplankton (diatom dan dinoflagellata), sedangkan pada fase dewasa
makanan utamanya adalah karang keras (Moran 1990).
Aktivitas makan individu dewasa bintang laut ini menunjukkan adanya
preferensi makanan terhadap jenis karang keras tertentu. Adanya preferensi makanan
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu kondisi bintang laut ini,
morfologi karang, dan ketersediaan makanan (Moran 1990). De’ath dan Moran
(1998) mengatakan bahwa bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi
preferensi makanan dari bintang laut ini, bentuk pertumbuhan yang paling disukai
pada semua genera karang adalah tabular dan yang kurang disukai adalah bentuk
pertumbuhan masif. Lebih lanjut De’ath dan Moran (1998) mengemukakan bahwa
dari hasil penelitian yang mereka lakukan di Great Barrier Reef, Australia, genera
karang keras yang paling disukai untuk dimangsa oleh A. planci adalah dari genera
Acropora dan yang paling tidak disukai adalah genera porites.
Predator Acanthaster planci
Seluruh permukaan tubuh bintang laut ini dilindungi duri-duri beracun yang
jika diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun, sejak berbentuk
telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari incaran predator (Suharsono
1998). Justru duri-duri beracun bintang laut ini dewasa akan berkurang. Oleh karena
itu, bintang laut ini tergolong organisme yang mudah dimangsa oleh organisme yang
dapat melokalisir mereka dan terlindung terhadap pertahanan mereka. Kepiting
karang dan beberapa jenis ikan diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa
jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati
memakan A. planci dewasa. Ikan-ikan ini menghindari duri tubuh yang beracun
dengan cara membalikan A.planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan
mudah dimangsa(Fraser et al. 2003).
Biologi Zooxanthellae dan Karang
Menurut Nybakken (1988), koloni karang adalah kumpulan dari berjuta-juta
polip penghasil bahan kapur (CaCO3) yang memiliki kerangka luar yang disebut
koralit. Pada koralit terdapat septum-septum yang berbentuk sekat-sekat yang
dijadikan acuan dalam penentuan jenis karang.

8

Menurut Johan (2003), suatu koralit karang baru dapat terbentuk dari proses
budding (percabangan) dari karang. Selain bentuk koralit yang berbeda-beda, ukuran
koralit juga berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan ukuran tersebut memberi dugaan
tentang habitat serta cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan, namun faktor
dominan yang menyebabkan perbedaan koralit adalah karena jenis hewan karang
(polip) yang berbeda-beda.
Rangka luar terdiri dari kristal CaCO3 yang dihasilkan oleh epidermis pada
setengah batang tubuh ke bawah dan telapak kaki. Proses sekresi CaCO3
menghasilkan rangka kapur berbentuk seperti mangkuk; polip tertanam di atasnya,
dan tidak dapat berpindah tempat. Bagian dalam dari mangkuk karang terdapat sekatsekat kapur yang memijar, disebut skleroseptum.Masing-masing spesies mempunyai
bentuk dan susunan sklerosepta yang khas, sehingga dapat dipakai untuk identifikasi.
Pola karang batu ditentukan antara lain dengan pola pertumbuhan koloni itu sendiri
dan oleh susunan polip dalam koloni (Suwignyo et al. 2005).
Reproduksi Karang
Proses reproduksi karang secara seksual dimulai saat spermatogenium dan
oogenium berkembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang sudah masak dilepas
di dalam air, terjadi pembuahan internal atau eksternal menjadi zigot. Zigot
berkembang menjadi blastula, kemudian menjadi gastrula dan setelah itu menjadi
planula. Planula yang diselubungi oleh silium akan berenang bebas. Apabila
menemukan tempat yang cocok, planula akan menempel dan menetap dengan posisi
bagian mulut berada di sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya mengeluarkan zat
untuk memperkuat penempelannya, setelah karang melekat pada substrat maka ia
akan mengalami perubahan struktur dan histologi.
Klasifikasi Karang
Karang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki
penyengat. Secara umum terdapat dua kelompok Cnidaria, yaitu Hydrozoa dan
Anthozoa. Hydrozoa terdiri dari Millepora dan Stylasterina. Stylasterina biasanya
kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan
karang pembentuk terumbu. Anthozoa yang umum dikenal adalah: Stolonifera,
contohnya Tubipora musica; Coenothecalia, contohnya Heliopora coeruela.
Sclerectinia atau lebih dikenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis karang
pembentuk karang utama.
Menurut Veron (2000),karang diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Sclerectinia (Madreporaria)
Famili : Astrocoiniidae
Ekologi Karang
Faktor-faktor lingkungan mempunyai peranan terhadap zooxanthellae dan
inangnya, yaitu binatang karang dalam hal pembatasan distribusi dan diversitasnya.
Menurut (Borneman 1998), zooxanthellae ini merupakan sejenis mikroalga dari kelas

9

dinoflagellata yang bersimbiosis dengan hewan karang, yaitu hidup menempel pada
polip karang. Untuk itu, pembahasan mengenai faktor lingkungan ini dipersamakan
karena keduanya bersifat sinergis yang artinya pembatasan dan triger keduanya baik
untuk pertumbuhan, makan dan sintasannya adalah sama. Ini berarti bahwa distribusi
karang yang saat ini terinformasikan berdasarkan telaah dari berbagai aspek yang
dikemukakan oleh Veron (1995) semakin menguatkan teori akan sifat sinergisme
antar kedua biota tersebut. Atas dasar hal tersebut, saat ini para ilmuwan
mempercayai bahwa eksistensi zooxanthellae dapat menerangkan diversitas genetik
dari distribusi karang. Smith dan Buddemeier (1993), melaporkan ulasan terbarunya
tentang efek perubahan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang. Berikut
adalah beberapa telaah variabel fisik kimia perairan yang mempunyai peranan
penting dalam mempengaruhi distribusi karang beserta endosimbionnya.
Suhu
Suhu adalah peubah yang berperan dalam mengendalikan distribusi horizontal
dari terumbu karang (Veron 1995). Sejak diawali penelitian oleh Dana (1843);
Vaughan (1918 dan 1919); Davis (1928); Yonge (1940) kemudian berturut-turut
Vaughan dan Wells (1943); Wells (1954a dan 1957); Stoddart (1969) yang
kesemuanya itu dirangkum dalam Veron (1995); Rosen (1984), mengemukakan
bahwa temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu
diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu
masih dapat bertahan hidup normal. Korelasi ini baru-baru ini diuji ulang dalam
rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan
ditemukan benar.
Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam
sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni
karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil
peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak
terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang Teluk
(Arab dan Parsia) (Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai temperatur
minimum.
Semua karang akan mati jika terbuka sampai dengan tidak normal oleh
pengaruh temperatur rendah yang abnormal, juga organisme lainnya. Sangat sedikit
zooxanthellae karang diketahui dapat mentolerir temperatur di bawah 11oC pada
kondisi alamiah. Oulastrea crispata di Semenanjung Noto Laut Jepang dapat
mentolerir temperatur pada kira-kira 0oC (tidak diketahui dalam periode waktunya)
dan nampaknya zooxanthellae tetap tinggal (Veron dan Minchin 1992). Siderastrea
radians diketahui tercatat hidup dan toleran pada temperatur 4,5oC (Veron 1995).
Sebagian besar informasi dari studi tentang toleransi pada temperatur rendah
dilakukan di Selat Tanabe dan dekat Kushimoto Jepang Selatan; dimana species
Acropora, Porites, Echinophyllia, Hydnophora dan Leptastrea mengalami tekanan
secara fisiologis pada temperatur 9,4oC (Fukuda 1974 dalam Veron dan Minchin
1992). Studi ini ketika dikombinasikan dengan peneliti lain (Veron 1992) tentang
distribusi regional, memperlihatkan bahwa terdapat kawasan-kawasan tertentu yang
mempunyai perbedaan toleransi species karang terhadap temperatur minimum dan

10

bahwa kesuburan atau kekayaan species di kawasan marginal setidak-tidaknya
mendapat setengah tekanan toleransi fungsionalnya dari temperatur yang
menerpanya.
Pada kisaran temperatur serupa juga ditemukan di Florida dan selatan Victoria
Australia bahwa karang dengan jenis Plesiastrea versipora dan dua jenis Coscinarea
dapat hidup dengan baik (Davis 1982; dan Burn 1985). Catatan tentang toleransi pada
temperatur rendah, pada akhirnya bahwa karang dapat menyebar lebar baik dari segi
taksonomi maupun secara geografis. Karang selalu mengalami kematian partial dan
secara sekuensial akan mengalami pemulihan. Observasi yang relevan diperoleh
bahwa sebagian besar penulis mengemukakan bahwa kematian terbesar terjadi di
perairan dangkal, dimana udara dingin terjadi. Hubungan yang sama tepat antara ratarata temperatur minimum air laut permukaan dan mortalitas dapat dilihat di
Kushimoto, dimana temperatur minimum rata-rata bulanan sekitar 15,3oC. Acropora
hyacinthus sebagai species karang dominan di kawasan tersebut menderita meskipun
tidak mengalami kematian saat temperatur menurun mencapai 13,7oC pada tahun
1980. Beberapa diantaranya mengalami pemutihan dan sebagian mati pada
temperatur 13,4oC, kemudian kematian secara luas terjadi pada tahun 1984 saat
temperatur mencapai 13,2oC (Misaki 1980 dalam Veron dan Minchin 1992). Dalam
studi tersebut, temperatur kritis untuk bertahan hidup adalah 2oC di bawah rataan
temperatur minimum bulanan. Kematian serupa akan dijumpai oleh species lain, dan
studi juga memperlihatkan bahwa variasi kematian yang luas akan terjadi saat
lamanya perubahan itu berlangsung.
Kematian juga tidak hanya berkaitan dengan temperatur sebagai faktor
pembatas distribusi karang. Kompetisi dengan makroalga (Crossland 1984), variasi
aktivitas metabolik (khususnya kalsifikasi) (Crossland 1984), reproduksi; adalah juga
akibat temperatur yang secara potensial berperan sebagai pembatas. Dari hal tersebut,
kompetisi dengan makroalga nampaknya menyebabkan karang mengalami invasi
terutama di lokasi lintang tinggi di Indo Pasifik dan mungkin juga terjadi pada lokasi
lainnya. Kesimpulan yang dapat diutarakan dari catatan data di Jepang bahwa :
a. 22,5% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum
10,4oC.
b. 27% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum
13,2oC.
c. 40% dari total diversitas species karang dapat mentolerir temperatur minimum
14,1oC.
Data statistik ini mengabaikan penjelasan tentang frequensi dan lama waktu
ditemuinya karang pada variasi temperatur, sehingga mereka secara konservative
menunjukkan bahwa setengah dari semua karang mentolerir temperatur 14oC, juga
bahwa setengah dari species sisanya mentolerir temperatur 4oC kurang dari
temperatur minimum yang tercatat di lingkungan terumbu karang di Jepang. Ini
adalah fakta yang kuat yang menunjukkan bahwa pembangunan terumbu tidak
dibatasi oleh toleransi karang pada temperatur rendah.
Pada saat hampir mati, sebagian besar pengaruh temperatur rendah pada
karang adalah terhadap morfologinya.Beberapa species Acropora pada lintang
ekstrim di Jepang berbentuk deretan bertingkat yang melebur tidak teratur dengan

11

plates-nya (tempat lekatan yang mati).Pembatasan pertumbuhan ini nampaknya
merupakan bagian dari kematian partial dan pemulihannya. Veron dan Minchin
(1992) mencatat bahwa pemulihan jenis tersebut dapat cepat melebihi pemulihan
akibat bahaya Acanthaster. Di Tateyama (lokasi karang paling utara dunia) karang
juga ditemukan; semua jenis kecuali Alveopora japonica yang tumbuh luar biasa,
pertumbuhannya merata dalam bentuk encrusting dan beberapa (seperti Blastomosa
wellsi) mempunyai perbedaan struktur corralite. Hal yang mirip terjadi pada karang
yang hidup pada lintang tinggi di Australia juga mempunyai perbedaan morfologi
serta struktur corralitenya, tetapi secara fisiologis tidak mengalami halangan atau
tekanan dari faktor lingkungannya. Jika riset dilakukan tanpa rujukan bentuk koloni
di kawasan lintang rendah, maka morfologi yang dijumpai menunjukkan keberadaan
species karang di lintang tinggi dan jika mirip morfologinya di amphitropikal
diyakini sebagai perpindahan tempat dari distribusi karang tropis. Bagaimanapun,
morfologi ini memperlihatkan eksistensi dari subspecies secara geografik, walau satu
jenis adalah secara primer ditentukan oleh lingkungan dari pada perbedaan genetik.
Sedikit data yang tersedia tentang laju pertumbuhan karang pada temperatur
rendah yang ekstrim. Rata-rata pertumbuhan dari jenis Acropora, diukur di
Kushimoto dan subtropis Kuroshima masing-masing adalah 19 dan 99 mm/th (Veron
dan Minchin 1992). Crossland (1984) menyimpulkan bahwa temperatur rendah
merupakan determinan (penentu) primer, sedangkan cahaya merupakan determinan
sekunder dari pertumbuhan dan kelangsungan hidup Acropora Formosa di Pulaupulau Houtman Abrolhos barat.Secara nyata karang-karang di pulau-pulau ini
nampaknya tumbuh dengan melimpah dan merupakan tingkat produksi karbonat yang
relatif tinggi seperti di terumbu karang tropis (Smith 1981).
Tekanan temperatur panas tidak seperti tekanan yang dialami oleh karang
pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi
karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil,
pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang
dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari
jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah (coral bleaching)
pemutihan karang.
Meskipun tekanan temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang
lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles 1990; di Bermuda Cook et al.
1990), namun hal itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator
dan secara umum ini berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada
skala biogeografi, tekanan temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca
harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya
yang sangat penting (Guzman dan Cortes, 1992).
Cahaya
Kemampuan karang untuk membangun terumbu adalah dengan cara
memanfaatkan energi dari cahaya matahari. Hal ini menjadi kunci bagi eksistensi
pandangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua
terumbu karang dalam skala geologi. Cahaya, bukan temperatur jelas sekali secara
ekologis merupakan pembatas dari pada semua parameter fisika lingkungan, oleh

12

sebab itu nampaknya menunjukkan bahwa cahaya dapat menyebabkan pembatasan
secara fisik terhadap biogeografi secara horizon. Kepentingan cahaya, dari kajian
biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dari proses simbiosis karang
dengan alga simbionnya yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang
melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peran
cahaya, hal ini sinergis dengan adanya sedimentasi lingkungan, dimana pengaruhnya
akan dapat menyebabkan hilang/tenggelamnya diversitas secara ekologis.
Secara faktual dapat dinyatakan bahwa cahaya dapat berubah dengan lintang
dari variasi musiman terhadap panjang hari dan kisaran efek dari sudut jatuhnya
cahaya terhadap karang dan simbionnya (Campbell dan Aarup 1989) sebagaimana
ketergantungannya dengan kedalaman. Kemungkinan pengaruh keberadaan cahaya
terhadap distribusi karang pada berbagai kedalaman dan lintang mempunyai
perbedaan kecil pada kecerahan perairan, temperatur, pertumbuhan musiman
makroalga, kebutuhan cahaya yang specifik dari zooxanthellae dan mekanisme
fotoadaptasi (adaptasi terhadap cahaya). Di Izu Jepang (35o LU) dan Pulau Lord
Howe (31,5o LS) serta Pulau-pulau Houtman Abrolhos (28,5o LS) karang secara
reguler ditemukan pada perairan jernih kedalaman 30 m dan kadang juga ditemukan
di kedalaman 40 m dimana suatu substrat horizontal yang sesuai tersedia.
Ketersediaan cahaya nampaknya tidak membatasi karang pada kedalaman tersebut.
Pada kenyataannya efek dari keberadaan dari zooxanthellae oleh Veron (1995)
diinformasikan bahwa zooxanthellae berubah dengan kedalaman secara signifikan
pada Montastrea annularis. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa kedalaman dan lintang
membatasi distribusi zooxanthellae.
Di tempat dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu
karang. Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya sehingga menyebabkan
laju fotosintesis akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk
membentuk kerangka juga akan berkurang.
Kecepatan arus
Pergerakan air juga sangat penting untuk transportasi unsur hara, larva dan
bahan sedimen. Arus penting untuk pengelontaran untuk pencucian limbah dan untuk
mempertahankan pola penggerusan dan penimbunan (Tomascik 1991). Penggerusan
air dapat memberikan oksigen yang cukup, oleh sebab itu pertumbuhan karang lebih
baik pada daerah yang mengalami gelombang yang besar daripada daerah yang
tenang dan terlindung (Sukarno et al. 1983).
Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam berat,
bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan
faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik 1991).
Peningkatan konsentrasi unsur hara akan memacu produktivitas plankton dan alga
bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan chlorophyll-a dan kekeruhan, pada
akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan
populasi fitoplankton dan kekeruhan, komposisi alga bentik serta toksisitas fosfat
secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connell dan Hawker 1992).

13

Salinitas
Salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan
osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar
antara 30-330/00, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara
sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam yang tinggi.
Salinitas diketahui merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas
air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 34-360/00 (Kinsman 2004). Namun
pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung
pada kondisi perairan laut setempat dan atau pengaruh alam, seperti run-off, badai,
hujan, hingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,50/00 (Vaughan 1999; Wells
1994). Bahkan sering salinitas dibawah minium dan diatas maksimum tersebut
karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Bandengan, Jepara Jawa Tengah
salinitas nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima
limpasan air sungai (Supriharyono 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British
Honduras yang salinitas mencapai 700/00 (Smith 1993).
Kerusakan Karang
Terjadinya degradasi terumbu karang seperti pemutihan karang (bleaching)
sudah disugesti sebagai respon fisiologi karang untuk menduga tekanan lingkungan
(Brown 1988 in Jones 1997). Karang mendapat keuntungan dari zooxa