Pengaruh Pelapisan Kitosan terhadap Daya Simpan Buah Pisang Ambon

PENGARUH PELAPISAN KITOSAN TERHADAP DAYA
SIMPAN BUAH PISANG AMBON

FAIZ ZUHAD MUSHOFFI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pelapisan
Kitosan terhadap Daya Simpan Buah Pisang Ambon adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Faiz Zuhad Mushoffi
A24090026

ABSTRAK
FAIZ ZUHAD MUSHOFFI. Pengaruh Pelapisan Kitosan terhadap Daya Simpan Buah
Pisang Ambon. Dibimbing oleh DEWI SUKMA.
Buah pisang memerlukan penanganan pasca panen yang baik agar tidak
cepat busuk. Salah satu caranya adalah dengan pelapisan kitosan. Kitosan adalah
salah satu bahan yang bisa digunakan untuk melapisi buah, yang merupakan
polisakarida berasal dari limbah kulit udang dan kepiting. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari pengaruh pelapisan kitosan terhadap daya simpan buah pisang
ambon, dan mengetahui konsentrasi kitosan yang optimal sebagai bahan pelapis
alami. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Faktornya adalah pelapisan kitosan yang
terdiri atas tiga taraf perlakuan yaitu konsentrasi 0%, 1%, 2% b/v. Setiap
perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian menunjukan aplikasi
perlakuan kitosan tidak berpengaruh dalam menghambat susut bobot, tidak ada
pengaruh konsisten dari perlakuan kitosan terhadap asam tetritasi total, kandungan

vitamin C dan tidak berpengaruh nyata terhadap padatan terlarut total (PTT). Dari
uji organoleptik yang dilakukan, pada pengamatan 12 HSP responden masih
menyukai buah pisang pada perlakuan 2%.
Kata kunci : Asam total tertitrasi, masa simpan, pisang, padatan terlarut total,
susut bobot

ABSTRACT
FAIZ ZUHAD MUSHOFFI . Chitosan Coating Impact on Ambon Banana’s Save
Time. Supervised by DEWI SUKMA.
The banana needs post harvest treatment to be not decay quickly. One of
the way is by coating. Chitosan is a substance that can be used to coat the fruit,
which is a polysaccharide derived from shrimp and crab shell waste. The aims of
the research was to study the effect of chitosan coating on post harvest of bananas,
and find out the optimal concentration of chitosan as a natural coating materials.
This research used the completely randomized design (CRD) method with one
factor. The factor was the chitosan coating by three level treatments with different
concentrations. First concentration was 0%, second was 1%, and the last was 2%
w/v. Each treatment was repeated four times. The results showed that treatment
with concentration of chitosan couldn’t inhibit loss of. There is no consistent
effect of chitosan on acid titration, vitamine C content and no significant effect on

total soluable solute. From organoleptic test that was conducted in 12 day after
treatment indicated that respondent still like bananas on 2% concentration of
chitosan treatment.
Keywords : total titration acid, total soluable solute, self life, banana, weight loss

PENGARUH PELAPISAN KITOSAN TERHADAP DAYA
SIMPAN BUAH PISANG AMBON

FAIZ ZUHAD MUSHOFFI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Pengaruh Pelapisan Kitosan terhadap Daya Simpan Buah Pisang
Ambon
Nama
: Faiz Zuhad Mushoffi
NIM
: A24090026

Disetujui oleh

Dr Dewi Sukma SP MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan skripsi ini dengan judul Kriteria Kematangan Pascapanen Pisang Raja
Bulu dan Pisang Kepok.Skripsi ini merupakan bagian dari tugas akhir sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Institut
pertanian Bogor.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih antara lain, kepada Dr. Dewi Sukma,
SP MSi sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan,
masukan, dan pengarahan selama awal penelitian hingga penulisan skripsi ini
selesai, Dr. Ir. Asep Setiawan, MS dan Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS sebagai
dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi,
dan Dr. Ir. Eny Widajati, MS sebagai pembimbing akademik yang banyak
memberikan motivasi dan nasehat selama tiga tahun masa perkuliahan di
departemen Agronomi dan Hortikultura.
Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada Ibu Nanik Sumiyarsi,
Mbak Rina Puspita Fitri, Evi Heri Kustanti, Iffah Ratri Astuti, Adik Ulya Anindita
Rusydan dan keluarga besar atas semangat, kasih sayang, dan doa yang tiada

henti.
Ucapan terima kasih yang terakhir penulis sampaikan kepada para sahabat
diantaranya Risfandi Akhmad, Ahmad Aziz, Pro Adi Lukito, Furi Febriyani, Dewi
Citra Sari dan Indra Wirianto yang setia menemani, membantu, dan memberikan
semangat selama penelitian. Beserta Sahabat - sahabat dari FSLDK Indonesia,
FORCES IPB, Keluarga Socrates AGH 46, dan nama - nama lainnya yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu.

Bogor, April 2014
Faiz Zuhad Mushoffi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii


PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang

1

Tujuan

2

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
Botani Pisang

3

Perubahan-Perubahan pada Buah selama Pasca Panen

4

Pola Respirasi Buah Pisang


5

Daya Simpan

5

Pelapisan dalam Penanganan Pasca Panen

5

Kitosan

6

METODE PENELITIAN ........................................................................................ 8
Tempat dan Waktu

8


Bahan dan Alat

8

Metode

8

Pelaksanaan Percobaan

9

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 12
Susut Bobot

12

Kelunakan Buah

13


Padatan Terlarut Total (PTT)

14

Total Asam Tertitrasi (ATT)

15

Vitamin C

16

Uji Organoleptik

16

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 18
Simpulan


18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Pengaruh aplikasi kitosan terhadap susut bobot pisang pada 2 HSP
hingga 20 HSP
Pengaruh aplikasi kitosan terhadap kelunakan pisang pada 2 HSP
hingga 20 HSP
Pengaruh aplikasi kitosan terhadap PTT pisang pada 2 HSP hingga 20
HSP
Pengaruh aplikasi kitosan terhadap ATT pisang pada 2 HSP hingga
20 HSP
Pengaruh aplikasi kitosan terhadap vitamin C pisang pada 2 HSP
hingga 20 HSP
Persentase Responden dengan berbagai tingkat kesukaan pada buah
pisang hingga 20 HSP

12
13
14
15
16
17

DAFTAR GAMBAR
1. Proses Persiapan
2. Pengamatan Buah Pisang pada 12 HSP

9
17

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan tumbuhan monokotil yang termasuk dalam famili
Musaceae yang berasal dari Asia Tenggara. Di Indonesia, pisang merupakan
buah yang paling banyak diproduksi dibandingkan dengan buah yang lain.
Menurut BPS (2013) produksi komoditas buah-buahan di Indonesia pada tahun
2010 yang menduduki 5 besar adalah pisang (33.28 %), jeruk (11.73 %), jeruk
siam (11.21 %), nanas (8.13 %) dan mangga (7.44 %). Indonesia termasuk
penghasil pisang terbesar di Asia, karena 50 % produksi pisang Asia dihasilkan
oleh Indonesia. Oleh karena itu pisang telah ditetapkan sebagai salah satu
komoditas buah unggulan nasional. Sebagai komoditas unggulan, pisang
merupakan buah yang mudah didapat, memiliki nilai ekonomi, budaya, serta nilai
gizi yang tinggi. Berdasarkan data statistik Departemen Pertanian pada tahun
2006 dalam Nuramanah (2012), produksi pisang di Indonesia mencapai 5.03 juta
ton dan volume ekspor mencapai 1.5 juta ton.
Buah pisang sangat prospektif sebagai bahan baku industri. Hal tersebut
karena kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, serta berbagai produk dapat
diolah dari buah pisang sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Pemanfaatan
alternatif dari buah pisang yaitu dapat diolah menjadi keripik, sale, manisan,
dodol dan tepung. Peluang pengembangan agribisnis pisang masih terbuka luas
(Cahyono 2009).
Hasil pertanian setelah dipanen harus ditangani dengan baik agar tidak
mengalami perubahan akibat pengaruh fisik, kimia atau mikrobiologi. Perubahanperubahan tersebut banyak yang merugikan meskipun ada yang menguntungkan.
Perubahan-perubahan yang merugikan dihambat, dicegah, dihindarkan atau
dihentikan sedangkan perubahan-perubahan yang menguntungkan harus diadakan,
digiatkan, dibantu, dipercepat atau diatur (Kusmiati 2012).
Buah pisang termasuk dalam kategori buah yang mudah rusak. Pisang
termasuk buah klimaterik yang ditandai dengan produksi CO2 yang tinggi dan
meningkat tajam pada akhir pertumbuhan dan perkembangan buah serta diikuti
dengan perubahan atas komposisi dan teksturnya (Satuhu dan Suryadi 2004).
Melihat masalah tersebut, maka diperlukan suatu cara untuk dapat
mempertahankan daya simpan dengan tetap mempertahankan kualitasnya.
Buah pisang setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme
menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya
cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah
dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan
mempercepat senesen (Kays 1991). Metode yang digunakan untuk menghambat
proses metabolisme pada buah dapat diatasi dengan penyimpanan atmosfer
terkendali, akan tetapi metode ini memerlukan biaya yang tinggi (Kader 2002).
Metode lain yang lebih praktis adalah lapisan atmosfer termodifikasi, yaitu
dengan penggunaan bahan pelapis (Krochta 1992). Edible Coating adalah suatu
metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat
keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses
pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan

pada permukaan buah ini tidak boleh berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama
buah. Kitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk melapisi buah,
yang merupakan polisakarida berasal dari limbah kulit udang dan kpeiting.
Kitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan,
misalnya tomat dan leci (Dong 2003). Sifat lain dari kitosan adalah menginduksi
enzim chitinase pada jaringan tanaman. Enzim ini dapat mendegradasi kitin yang
menjadi penyususn utama dinding sel cendawan, sehingga dapat digunakan
sebagai fungisida (Ghaouth 1992).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pelapisan kitosan
terhadap daya simpan buah pisang ambon, dan mengetahui konsentrasi kitosan
yang optimal sebagai bahan pelapis alami.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah adanya pengaruh pelapisan kitosan terhadap
daya simpan buah pisang ambon dan terdapat konsentrasi kitosan yang optimal
sebagai bahan pelapis.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pisang
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan tanaman buah yang dapat tumbuh
dengan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai 1300 m dari
permukaan laut. Tanaman pisang merupakan tanaman yang paling bergizi diantara
buah-buahan lainnya. Produksi pisang menduduki peringkat pertama di Indonesia
dibandingkan dengan buah-buahan lainnya. Mengingat kandungan karbohidratnya
yang tinggi, maka buah pisang diharapkan dapat digunakan sebagai subsitusi
beras atau penganekaragaman makanan berkarbohidrat (Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi 2007).
Tanaman pisang (Musa paradisiaca) termasuk dalam ordo Musales dan
famili Musaceae yang terdiri dari 60 spesies. Pohon pisang mempunyai akar
serabut. Daun tanaman pisang lebar dan panjang, tulang daun besar, dan tepi daun
tidak mempunyai ikatan yang kompak sehingga mudah robek jika terkena angin
kencang. Batang berbonggol banyak mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tunas
anakan. Tanaman pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang,
meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, hijau, ungu, atau bahkan
hampir hitam (Espino et al. 1992).
Pisang merupakan komoditas potensial di Indonesia. Indonesia memiliki
peranan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan pisang di dunia. Indonesia
telah menjadi salah satu negara tropika yang memasok pisang segar/kering ke
Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Arab, Australia, Negeri Belanda, Amerika
Serikat dan Perancis. Nilai ekspor tertinggi pada tahun 1997 adalah ke Cina
(Satuhu dan Suryadi 2004). Indonesia juga menjadi pemasok buah pisang terbesar
di Asia. Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang.
Hal ini karena iklim di Indonesia cocok untuk pertumbuhan buah pisang. Selain
iklim yang sesuai, budidaya yang dilakukan oleh masyarakat di daerah menjadi
penentu sentra tanaman pisang (Sunarjono 2002).
Soedjono (2001) menyatakan bahwa pisang termasuk buah-buahan yang
didominasi oleh vitamin C yaitu sebesar 10 mg/100 gram. Vitamin lainnya yang
terdapat dalam buah pisang adalah B6 sebesar 0.5 mg/100 gram dan kandungan
vitamin A-nya sebesar 0.003-1.0 mg/100 gram. Pisang juga mengandung kalium ,
mineral, kalsium, magnesium, zat besi dan asam-asam yaitu meliputi asam malat,
asam sitrat dan asam oksalat. Pisang juga kaya akan amin yaitu 50 mg100 g dan
norepinephrine 100 mg/100g. Secretonin dan norepinephrine merupakan dua jenis
amin yang aktif sebagai neurotransmitter yang berpengaruh dalam kelancaran
fungsi otak. Menurut Satuhu dan Suryadi (2004), kandungan gizi buah pisang
lebih tinggi dibandingkan apel yang hanya memiliki sekitar 54 kalori.
Samson (1986) menyatakan bahwa buah pisang secara umum dipanen
ketika umur 18 bulan setelah tanam atau 80-110 hari setelah tanaman. Panen buah
pisang secara umum dilakukan berdasar pada daerah tujuan pemasaran. Buah
dengan kematangan tiga perempat penuh (kematangan 75%), yaitu stadia
kematangan dimana buah pisang masih terdapat siku-siku yang jelas dan masih
terdapat warna hijau pada kulit buah secara umum dipasarkan untuk daerah yang
ditempuh dalam waktu lebih dari satu hari dari daerah produksi. Buah dengan
kematangan penuh, yaitu stadia kematangan dimana buah pisang sudah bulat

4
penuh atau tidak terdapat siku-siku secara umum dipasarkan di daerah yang dapat
dicapai dalam waktu kurang dari satu hari dari daerah produksi.
Perubahan-Perubahan pada Buah selama Pasca Panen
Buah yang sudah dipanen masih melakukan aktivitas reaksi kimia maupun
enzimatis yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat fisiologis. Selain itu
juga terjadi perubahan sifat biologis antara lain terjadinya perubahan warna kulit
buah, kenaikan kandungan gula dan penurunan kandungan pati, penurunan
konsentrasi asam dan tanin dan terbentuknya komponen gas volatil. Perubahan
sifat biologis ini terjadi karena adanya perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti
kondisi suhu, atmosfer, sinar serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas
kehidupan normalnya (Winarno 2002).
Perubahan buah pasca panen juga disebabkan oleh proses transpirasi,
respirasi, dan produksi etilen. Transpirasi akan menyebabkan terjadinya
pengkerutan, merusak flavor, menurunkan kualitas, dan menyebabkan susut bobot
buah. Laju transpirasi buah tergantung dari jenis dan derajat kematangan, hal ini
ada hubungannya dengan ketebalan, struktur dari kulit, sel epidermis dan lapisan
lilin (Pantastico et al. 1989). Perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan
penduga umur simpan dan mutu buah (Santoso dan Purwoko 1995).
Respirasi merupakan proses pemecahan karbohidrat, protein, dan lemak
menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan menghasilkan CO2,
air, dan energi. Dengan tersedianya air dan energi bebas ini, maka akan digunakan
oleh mikroba untuk tumbuh serta menyebabkan terjadinya disorganisasi pada
jaringan (sel dinding rusak) atau kerusakan komoditas (Kartasapoetra 1994).
Brecht (1995) mengatakan bahwa perubahan fisiologis menyebabkan
terjadinya hal-hal berikut ini: 1) induksi sintesis etilen, jaringan yang terluka akan
menstimulasi biognenesis etilen. Peningkatan produksi etilen akan menyebabkan
perubahan fisiologis seperti peningkatan aktivitas enzim, peningkatan
permeabilitas sel, peningkatan laju respirasi dan hilangnya komponen tertentu
dalam sel. 2) degradasi membran lipid, membran yang rusak menyebabkan
peningkatan degradasi enzimatik. Etilen berperan dalam mendegradasi membran
lipid. Akibat dari terdegradasinya membran lipid adalah adanya reaksi enzimatis
yang berupa katalisasi asil hidrolase dan fosfolipase yang menghasilkan lemak.
Asam lemak ini bersifat toksik dan bisa menyebabkan lisis pada organel. 3)
pencoklatan oksidatif, pencoklatan terjadi karena hilangnya kulit buah yang
mengakibatkan adanya kontak antara gugus fenol dengan oksigen dan enzim
polyfenoloksidase. 4) penyembuhan luka, penyembuhan luka berhubungan
dengan produksi suberin dan lignin dan terjadinya deposisi dinding sel yang luka.
5) pembentukan metabolit sekunder, jaringan yang luka akan memproduksi
metabolit sekunder sebagai upaya perlindungan diri buah. Produksi metabolit
sekunder dapat mempengaruhi kenampakan, aroma, flavor, dan nilai nutrisi. 6)
kehilangan air, buah yang tidak mengalami luka sebagian besar air berada pada
bagian interseluler, sedangkan buah yang terluka air interseluler akan keluar dan
menguap.

5
Pola Respirasi Buah Pisang
Pola respirasi buah digolongkan menjadi dua yaitu buah klimakterik dan
bauh non klimakterik. Buah klimakterik adalah buah yang pemasakannya ditandai
dengan peningkatan respirasi kemudian terus menurun. Beberapa buah klimaterik
antara lain : pepaya, mangga, pisang, markisa, avokad dan apel. Santoso dan
Purwoko (1995) mengatakan bahwa buah klimakterik menunjukkan peningkatan
yang besar dalam laju produksi CO2 dan etilen (C2H4) bersamaan dengan proses
pematangan. Respirasi ini menyebabkan kehilangan air pada buah. Kehilangan air
ini menyebabkan penurunan secara kuantitas , kualitas nutrisi dan penampakan
buah (Kader 2002).
Pisang termasuk buah klimaterik karena menunjukkan adanya peningkatan
CO2 yang mendadak selama pematangan buah. Kecepatan pemasakan pisang
terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula
(Kusumo 1990). Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut ditandai
dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau
terjadinya pemasakan buah. Indikator pisang telah matang adalah hilangnya
warna hijau pada kulit pisang. Kandungan klorofil buah yang sedang masak
lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik klorofilase bertanggung jawab atas
terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase tersebut memecah
klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang masih utuh. Bagian profirin
pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna
akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin
yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana
yang memberi rasa manis (Pantastico et al. 1989).
Daya Simpan
Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), daya simpan
merupakan rentang diamana produk makanan berada dalam kondisi yang
memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan,rasa, aroma, tekstur, dan nilai
gizi. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa daya simpan
merupakan waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi
penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu.
Kuntarsih (2012) menyatakan bahwa pada prinsipnya penyimpanan pada
suhu dingin untuk menekan terjadinya respirasi dan transpirasi sehingga proses
ini berjalan lambat. Suhu dan kelembaban penyimpanan dari berbagai macam
buah tidak sama. Penyimpanan pisang pada suhu rendah antara 15-20°C
menyebabkan daya simpan pisang cukup lama. Penyimpanan dengan suhu 10°C
dan kelembaban 85-90% serta buah yang disimpan masih berwarna hijau akan
bertahan selama 3 minggu dan buah yang sudah masak mempunyai daya
simpan 11 hari. Sementara Verheij dan Coronel (1991) menyatakan bahwa daya
simpan pisang mentah berkisar antara 21-30 hari pada suhu 13-15° C.
Pelapisan dalam Penanganan Pasca Panen
Coater adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan organik yang bisa
dimakan yang berfungsi sebagai penghambat perpindahan massa seperti

6
kelembapan, oksigen, lipid dan zat terlarut (Krochta 1992). Coater biasa
digunakan untuk membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot, untuk
memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air, serta
memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadios dan Weller
1990).
Penggunaan coater pada buah digunakan untuk memperlambat penurunan
kualitas, karena metode tersebut dapat digunakan sebagai penahan difusi gas
oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu
menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang
dikemas. Manfaat penggunaan coater untuk pelapis buah adalah untuk
memperpanjang umur simpan produk yang bersifat tidak mencemari lingkungan,
karena coater ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya (Brody 1997).
Pelapis yang dapat dimakan dalam aplikasinya berfungsi sebagai barrier
terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2, sebagai carrier zat aditif seperti
zat antimikrobial dan antioksidan untuk meningkatkan daya simpan suatu bahan
pangan (Kaster dan Fennema 1988) dan mencegah terjadinya kerusakan akibat
penanganan mekanik (Mellantin et al. 1982), membantu mencegah hilangnya
senyawa-senyawa volatile (Nisperos Carriedo et al. 1990).
Bahan pelapis yang dapat digunakan terdiri dari tiga kategori yaitu
hidrokoloid, lipid, dan komposit. Hidrokoloid tersusun atas protein, turunan
selulosa, pektin, tepung dan polisakaridan, sedangkan lipida terdiri atas senyawa
lilin, asam lemak dan asilgliserol (Danhowe dan Fennema1994). Hidrokoloid
berdasarkan komposisinya terbagi atas karbohidrat dan protein. Pelapis edibel
secara umum terbuat dari polisakarida dan memiliki sifat menghambat gas yang
baik (Baldwin et al. 1995). Protein yang digunakan untuk membuat pelapis edibel
seperti gelatin, protein kedelai, whey protein, kasein, dan zein (Donhowe dan
Fennema 1994). Protein dan polisakarida tersebut secara umum bersifat hidrofilik
dan tidak dapat digunakan untuk barrier kelembapan. Kelemahan ini bisa ditutupi
dengan menggunakan bahan komposit yang merupakan gabungan antara lipid dan
hidrokolid. Krochta et al (1990) menyatakan bahwa pelapis komposit gabungan
kasein dan asetil monogliserida dapat mereduksi penguapan air bahan sebesar
50%. Pelapis komposit yang memiliki sifat barrier terhadap uap air pada RH 43.823.6 % adalah komposit gum acasia dan gliseromonostearat ( Martin-Polo dan
Voiley 1990). Menurut Wong et al. (1994) pelapis edibel yang berasal dari
polisakarida dengan lipid dapat mereduksi kehilangan air pada potongan buah
apel sebesar 92%, menekan produksi etilen sebesar 90% pada suhu 230 C dan RH
505 da menekan laju respirasi sebesar 70%.
Grant dan Burns (1994) menyatakan bahwa aplikasi pelapis edibel dapat
dilakukan dengan cara : 1) metode pencelupan, metode ini dilakukan dengan cara
mencelupkan bahan pada larutan pelapis. Bahan yang akan dilapisi dibersihkan
terlebih dahulu. Pelapis edibel banyak digunakan pada produk pangan seperti
buah-buahan yaitu apel (Wong et al. 1994), strawberry (Ghaouth et al. 1991) dan
mangga (Yuniarti et al 1995).
Kitosan
Kitosan merupakan suatu polimer multifungsi yang mengandung tiga jenis
gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder yang

7
memiliki reaktivitas kimia yang tinggi. Kitosan merupakan hasil dari kitin melalui
proses deasetilasi (Rismana 2001).
Kitosan bersifat tidak larut dalam air dan H2SO4, sedikit larut dalam HCl
dan HNO3 dan termasuk basa kuat. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi dan bersifat digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan
industri kesehatan (Hirano 1989). Kitosan juga berguna untuk mencegah
pembusukan oleh mikroba, mengurangi deteriorasi, meningkatkan penampakan
fisik buah, mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan etilen) dan mengontrol
perubahan fisiologi, mikrobiologi dan fisikokimia pada produk makanan (Kittur et
al. 1997). Menurut Bastaman (1989), kitosan tidak larut dalam air, alkali, alkohol,
dan aseton, akan tetapi dapat larut dalam pelarut asam seperti asam format dan
asam asetat. Asam-asam anorganik dapat juga melarutkan kitosan pada pH
tertentu, tetapi harus didahului dengan proses pengadukan dan pemanasan.
Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin. Bentuknya mirip
dengan selulosa, hanya beda pada gugus hidroksi C-2 kitin yang digantikan
dengan gugus amino (NH2). Keunikan bahan ini hingga berfungsi sebagai
pengawet karena mempunyai gugus amino yang bermuatan positif yang dapat
mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Ini berbeda dengan polisakarida lain
yang bermuatan netral (Roberts et al. 1992).
Kitosan bermanfaat untuk membentuk film yang berfungsi sebagai
pengawet makanan, caranya yaitu dengan menghambat patogen psikotrofik.
oating kitosan (2% kitosan dalam 5% asam asetat) mampu menghambat
penurunan kandungan antosianin dan peningkatan aktivitas polyphenol oksidase
pada penyimpanan leci. Ghaouth et al (1992) juga menunjukkan bahwa coating
kitosan (1% dan 2 % dalam 0.25 N HCl) mengurangi kecepatan respirasi dan
produksi etilen pada tomat. Pembuatan larutan kitosan dilakukan dengan
menimbang kitosan dalam bentuk serbuk sebanyak 1,5 g kemudian dilarutkan
dengan asam asetat 1% sampai tebentuk larutan tersuspensi. Kemudian
ditambahkan akuades ke dalam larutan tersuspensi tersebut hingga volumenya
mencapai 100 ml (Suseno et al. 2006).
Kitosan dapat berfungsi sebagai anti mikrobial, pelapis (coating), pengikat
protein dan lemak. Pelapis dari polisakarida merupakan penghalang (barrier)
yang baik, sebab pelapis jenis ini bisa membentuk matrik yang kuat dan kompak
yang bersifat permiabel terhadap CO2 dan O2. Sebagai pelapis kitosan mampu
melindungi dan melapisi bahan makanan, sehingga tetap dapat mempertahankan
rasa asli dan menjadi penghalang masuknya mikroba (Suseno 2006 ; Hardjito
2006). Kitosan juga bersifat ramah lingkungan dan mudah terdegradasi di alam
yang tidak membahayakan kesehatan manusia (Kittur et al. 1997). Kitosan
diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan serat, karena
berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer (Hirano
1989).

8

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan Oktober 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : kitosan, buah
pisang ambon dengan umur 96 HSA, aquades, cuka, larutan iod, kain saring. Alat
yang digunakan adalah : blender, buret, labu erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala,
pipet volumetrik, pipet tetes, timbangan analitik, cosmotector, penetrometer,
refraktometer, spatula, dan alat-alat penunjang penelitian lainnya
Metode
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan satu faktor. Pelapisan kitosan yang terdiri atas tiga taraf perlakuan yaitu
konsentrasi 0%, 1%, 2% b/v dan perlakuan diulang sebanyak empat kali dan
diamati 2 hari sekali selama 20 hari sehingga jumlah satuan percobaan adalah 4 x
3x 10 = 120 satuan percobaan, untuk pengamatan visual terdiri atas 12 buah
pisang (masing-masing konsentrasi 4 buah pisang) sehingga jumlah buah pisang
yang dibutuhkan untuk seluruh pengamatan adalah 132 buah. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA), kemudian jika
didapatkan pengaruh nyata dari perlakuan, dilakukan uji lanjut dengan
menggunakan uji Tukey pada α 5%.
Model RAL yang digunakan adalah :
Yijk : µ +αi + εij
Keterangan :
Yij
: nilai pengamatan faktor pelapisan kitosan ke-I, dan ulangan ke-k
µ
: rataan umum
αi
: pengaruh utama faktor pelapisan kitosan ke-i
εij
: galat percobaan

9
Pelaksanaan Percobaan
Pembelian Buah Pisang dan Sortasi
Buah pisang ambon dipanen dari pemilik tanaman pisang di petani
Cihideung Ilir. Buah selanjutnya ditransportasikan ke laboratorium pasca panen
Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Pisang disortasi terlebih dahulu kemudian sisir paling atas dan bawah
dipisahkan, kemudian dipilih buah yang tidak terdapat kerusakan akibat
mikroorganisme dan buah yang tidak atau hanya terdapat kerusakan fisik yang
seminimal mungkin.

Gambar 1 Proses persiapan buah; kiri: pisang ambon yang siap disortasi,
kanan: larutan kitosan 2%
Pelapisan
Buah hasil sortasi perlakuan perlapisan kitosan dengan cara mencelupkan
ke dalam konsentrasi 1% dan 2% b/v selama lima menit, sedangkan kontrol (0%
kitosan) tidak melalui pencelupan.
Penyimpanan
Pisang kemudian dikemas dalam kardus ukuran 15 cm x 15 cm x 10 cm
dengan 2 lubang lingkaran dan disimpan dalam suhu ruang.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap 6 peubah, yaitu: (1) susut bobot, (2)
kelunakan buah, (3) Padatan Terlarut Total (PTT), (4) Asam Tertitrasi Total
(ATT), dan (5) kandungan vitamin C, (6) Uji Organoleptik
Susut Bobot
Perubahan susut bobot buah diukur dengan menimbang buah pisang yang
sama setiap hari pengamatan. Menurut Mulyana (2011), pengukuran susut bobot
dapat digunakan dengan menggunakan timbangan analitik.
Rumus yang
digunakan :

Keterangan :
Ba : bobot awal buah
Bb : bobot buah setelah penyimpanan

10
Kelunakan Kulit Buah
Kelunakan buah diukur dengan menggunakan penetrometer berdasarkan
tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk penetrometer. Pengukuran
dilakukan pada buah pisang yang belum dikupas kulitnya. Buah diletakkan
sedemikian rupa sehingga stabil. Jarum penetrometer ditusukkan pada tiga tempat,
yaitu: ujung, tengah, dan pangkal buah. Ketiga data yang diperoleh kemudian
diambil rata-ratanya (Mulyana 2011).
Kandungan Padatan Terlarut Total (PTT)
Padatan terlarut total ditentukan dengan menggunakan refraktormeter.
Daging buah dihancurkan dengan blender dan disentrifungsi kemudian sari buah
diteteteskan pada permukaan prisma refraktomer dan diamati angka yang tertera.
Kadar PTT dapat dilihat pada alat dalam satuan oBrix (Mulyana 2011).
Kandungan Asam Tertitrasi Total (ATT)
Asam Tertitrasi Total (ATT) diukur dengan cara buah dimasukkan ke
dalam blender dan diambil pastanya sebanyak 50 gram. Pasta disaring dan
dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml kemudian ditambahkan air sampai tanda
tera. Filtrat diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam gelas ukur. Setelah
itu pH meter dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi filtrat, kemudian
dilakukan pencatatan terhadap pH awal buah. Selanjutnya filtrat dititrasi dengan
larutan NaOH 0.1 N sampai angka di pH meter menunjukkan pH netral (pH : 7).
Metode ini dipakai karena dalam penentuan penetralan larutan asam secara umum,
peubah yang dipakai adalah pada saat larutan tepat berwarna merah muda,
sedangkan penentuan warna merah muda pada buah pisang relatif sulit dilakukan
karena warna awal sebelum titrasi adalah merah muda. Perhitungan ATT menurut
Sadler dan Murphy (2003) menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
ATT
Ml NaOH
N NaOH
fp

: Asam Tertitasi total (%)
: Jumlah ml NaOH yang terpakai saat titrasi
: Normalitas NaOH (mEq/ml)
: faktor pengenceran, yaitu jumlah keseluruhan filtrat dibagi
dengan aliquot yang diambil
BE
: Bobot ekuivalen asam sitrat
W
: bobot pasta buah (gram)
Menurut Mulyana (2011), Asam Tertitrasi Total (ATT) digunakan sebagai
parameter dalam mengukur kandungan asam yang terdapat di dalam buah.
Kandungan Vitamin C
Kandungan vitamin C diukur dengan cara titrasi dengan larutan iod
(Sudarmadji. 1989). Pasta buah sebanyak 50 g disaring kemudian dimasukkan ke
dalam labu takar 250 ml dan ditambahkan aquades sampai tanda tera. Filtrat
sebanyak 50 ml diambil kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur dan diberi 2
ml indikator larutan amilum kemudian dititrasi dengan larutan Iod 0.01 N sampai

11
filtrat berubah warna menjadi biru stabil. Perhitungan kandungan vitamin C
sebagai berikut :

Keterangan :
Vit C
ml iod
1 ml iod
fp
W

: kandungan vitamin C (mg/100 gram)
: jumlah iod yang digunakan untuk titrasi
: 0.88 mg vitamin C
: faktor pengenceran
: bobot pasta (gram)

Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan melalui uji hedonik dengan 20 panelis yang
masing-masing menguji tiga sampel buah. Panelis dalam penelitian ini merupakan
orang yang sama setiap hari pengamatan. Kriteria penilaian kemudian
dikonversikan dalam angka yaitu 5 : sangat suka, 4 : suka, 3 : biasa, 2 : tidak suka
dan 1 : sangat tidak suka. Uji ini untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap
rasa, aroma, dan penampakan buah pisang.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Buah pisang dalam penelitian ini memiliki bobot awal sebesar 144.8 g/buah,
kelunakan buah rata-rata sebesar 1.3 (mm/5 detik), PTT sebesar 30brix, rata-rata
ATT sebesar 11% dan kandungan rata-rata vitamin C sebesar 35.2 mg/100 g.
Pelapisan buah pisang dengan kitosan tidak membuat kulit buah menjadi kotor
melainkan membuat permukaan kulit buah terlihat menjadi mengkilap sehingga
penampakan buah menjadi lebih menarik. Perlakuan kitosan menyebabkan
permukaan kulit buah menjadi lebih menarik dan agak menguning. Hal tersebut
diduga karena kitosan berwarna kuning transparan, namun warna dari pelapis
kitosan tersebut tidak mempengaruhi perubahan warna kulit buah pada hari-hari
selanjutnya, karena warna kuning pada pelapis kitosan akan terdegradasi. Suhu
udara yang tidak stabil menyebabkan buah menjadi lebih peka terhadap kerusakan
fisik sehingga daya simpan buah tidak bertahan secara optimal. Penyimpanan
buah pisang tidak pada suhu yang optimal (7.5-12°C) (Paull 1997) menyebabkan
proses transpirasi dan respirasi buah berlangsung lebih cepat.
Kerusakan buah pisang selama penelitian diamati secara visual. Kerusakan
buah pisang yaitu pembusukan pada daging buah di daerah pangkal yang akhirnya
menyebar ke seluruh buah. Hal ini disebabkan oleh serangan cendawan pembusuk
yang masuk melalui daerah pangkal buah. Gejala pembusukan pada hati buah
pisang ini diduga merupakan gejala Black Rot yang disebabkan oleh cendawan
Chalara paradoxa (Paull 1997). Pada 8 dan 10 HSP buah mengalami internal
browning atau pencoklatan daging buah yang mengindikasikan buah sudah tidak
layak lagi untuk dikonsumsi. Selain itu pada buah yang disimpan dalam suhu
ruang juga terserang hama mealy bugs atau kutu putih pada bagian permukaan
kulit buah. Hama tersebut diduga terbawa sejak di lapang.
Susut Bobot
Tabel 1. Pengaruh aplikasi kitosan terhadap susut bobot pisang pada 2 HSP
hingga 20 HSP
Susut Bobot (%)
Pengamatan (HSP)
Konsentrasi Perlakuan Kitosan
0%
2
0.033a
4
0.035a
6
0.045
8
0.068
10
0.093a
12
0.093
14
0.130
16
0.218
18
0.153
20
0.335
Keterangan: angka yang diikuti huruf sama
nyata pada Uji Tukey taraf 5%.

1%
2%
0.023b
0.018b
0.033a
0.018b
0.045
0.043
0.058
0.048
0.070b
0.073b
0.108
0.085
0.125
0.098
0.135
0.183
0.156
0.153
0.365
0.283
pada baris yang sama tidak berbeda

13
Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pemasakan
terjadi perubahan fisikokimia. Semakin lama waktu penyimpanan suatu
komoditas hortikultura maka akan semakin menambah kehilangan bobot akibat
proses metabolisme yang terus berlangsung walaupun buah telah dipanen
(Pantastico et al. 1989).
Faktor pelapisan buah berpengaruh nyata terhadap susut bobot pada 2, 4,
dan 10 HSP. Pada 2 HSP dan 10 HSP perlakuan kontrol memiliki susut bobot
tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan kitosan. Perbedaan perlakuan
kitosan 1% dan 2% mulai terlihat pada 4 HSP. Perlakuan kitosan konsentrasi 1%
memiliki susut bobot nyata lebih tinggi daripada perlakuan kitosan 2% namun
tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 1). Kitosan merupakan pelapis edibel
yang memiliki daya barrier yang baik terhadap susut bobot sehingga pelapisan
kitosan 2% memiliki susut bobot buah yang lebih rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum susut bobot pada semua
taraf konsentrasi nilainya selalu naik. Hal ini disebabkan adanya proses transpirasi
(Lizada et al. 1990).
Kelunakan Buah
Selama proses pematangan buah, zat pektin akan terhidrolisa menjadi
komponen-komponen yang larut air sehingga total zat pektin akan menurun
kadarnya dan komponen yang larut air akan meningkat jumlahnya yang
mengakibatkan buah menjadi lunak ( Muchtadi dan Sugiyono 1992). Penelitian
ini mengukur tingkat kelunakan buah pisang dengan menggunakan alat
penetrometer. Menurut Pantastico et al. (1989) angka-angka yang diperoleh
dengan penetrometer bergantung pada tebalnya kulit luar dan kandungan total zat
padat. Nilai kelunakan buah yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat kekerasan
buah rendah (lembek).
Tabel 2. Pengaruh aplikasi kitosan terhadap kelunakan pisang pada 2 HSP hingga
20 HSP
Kelunakan (mm/5 detik)
Pengamatan (HSP)
Konsentrasi Perlakuan Kitosan
0%
1%
2%
2
1.4
1.4
1.3
4
1.7
1.5
1.4
6
1.9
1.7
1.5
8
2.1
1.9
1.7
10
2.5
2.2
1.9
12
3.1
2.8
2.3
14
6.4
5.9
4.8
16
10.2a
6.7b
5.4b
18
13.8
12.7
12.6
16.2
20
15.7
15.5
Keterangan: angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji Tukey taraf 5%.

14

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pelapisan 2%
berturut-turut memiliki tingkat kelunakan tidak berbeda nyata dibanding semua
kombinasi lainnya setelah kombinasi perlakuan kitosan 1% (Tabel 2). Faktor
pelapisan buah berpengaruh terhadap tingkat kelunakan buah pisang pada
pengamatan 16 HSP. Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat kelunakan
lebih baik dari kontrol 0%.
Kelunakan buah akan meningkat seiring dengan proses pematangan
(Pantastico et al. 1989). Nilai kelunakan pada semua taraf konsentrai pada 2 HSP
sampai 20 HSP secara umum nilainya selalu naik. Hal ini disebabkan adanya
proses respirasi.
Padatan Terlarut Total (PTT)
Winarno dan Wiratakusumah (1981) mengatakan bahwa padatan terlarut
total menunjukkan kandungan gula dan perbandingan kadar gula dan asam
(sugar acid ratio) dapat digunakan sebagai indeks mutu. Semakin tinggi nilai
perbandingan kadar gula dan asam maka mutu buah semakin baik pula (Singleton
dan Gortner 1965 dalam Lodh dan Pantastico 1989). Selama proses pematangan
terjadi pemecahan polimer karbohidrat seperti pati menjadi gula (Santoso dan
Purwoko 1995). Peningkatan nilai PTT terjadi akibat kandungan glukosa dan
fruktosa dengan bantuan enzim-enzim yang terdapat di dalam buah pisang
meningkat (Winarno dan Wiratakusumah 1981). Menurut Paull dan Chen (2003)
kualitas buah ditentukan oleh kandungan kadar gula sebagai padatan terlarut total
yang diukur dengan alat refraktometer (brix).
Tabel 3. Pengaruh aplikasi kitosan terhadap PTT pisang pada 2 HSP hingga 20
HSP
PTT (0brix)
Pengamatan (HSP)
Konsentrasi Perlakuan Kitosan
0%
1%
2%
2
3.0
3.0
3.0
4
5.0
5.0
5.0
6
11.5a
9.7b
9.0b
8
11.3a
11.0a
9.5b
10
23.5
23.0
20.5
12
24.3
23.3
24.6
14
21.0
21.2
23.0
16
20.5
20.7
21.5
18
18.2
18.0
17.5
12.5
20
12.7
12.5
Keterangan: angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji Tukey taraf 5%.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi kitosan tidak
berpengaruh secara konsisten terhadap padatan terlarut total. Buah yang tidak
dilapisi (kontrol) memiliki padatan terlarut yang paling tinggi dibandingkan

15
dengan perlakuan pelapisan kitosan. Perbedaan perlakuan kitosan terlihat di
pengamatan 8 HSP. Nilai padatan terlarut total pada kontrol secara umum bernilai
lebih besar daripada nilai padatan terlarut total pada taraf 1% (Tabel 3). Hal
tersebut diduga karena buah pada kontrol menglami pemasakan lebih cepat
dibandingkan dengan buah yang dilapisi kitosan. Nilai padatan terlarut total pada
12 HSP sampai 20 HSP pada semua taraf konsentrasi secara umum menurun.
Winarno dan Wiratakusumah (1981) menyatakan bahwa penurunan nilai padatan
terlarut total selama penyimpanan disebabkan karena gula-gula sederhana
mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid, dan asam.
Nilai padatan terlarut pada semua taraf konsentrasi pada 2 HSP sampai 12
HSP secara umum nilainya selalu naik kemudian pada 14 HSP sampai 20 HSP
nilainya menurun. Hal ini terjadi karena selama proses pematangan terjadi
pemecahan polimer karbohidrat seperti pati menjadi gula dengan bantuan enzim
yang ada di dalam buah pisang (Winarno dan Wiratakusumah 1981).
Total Asam Tertitrasi (ATT)
Asam-asam yang banyak terkandung pada buah seperti asam sitrat, asam
malat,dan asam suksinat. Asam sitrat dan asam malat merupakan asam utama
pada buah-buahan berdaging, misalnya asam sitrat bisa berkurang pertama-tama
adalah asam malat, kemudian asam sitrat. Kadar asam organik buah mula-mula
bertambah dan mencapai maksimum dan berkurang perlahan pada waktu
pematangan ( Hasbi et al. 1995).
Tabel 4. Pengaruh aplikasi kitosan terhadap ATT pisang pada 2 HSP hingga 20
HSP
ATT
Pengamatan (HSP)
Konsentrasi Perlakuan Kitosan
0%
1%
2%
2
13.00b
15.25a
12.25b
4
23.25
28.00
19.00
6
31.75b
41.75a
33.25b
8
31.50b
44.75a
42.00a
10
52.00
52.75
51.75
12
58.75a
54.00b
57.00a
14
47.25
52.75
51.25
16
39.25b
39.00b
49.75a
18
49.00a
35.75b
34.00b
34.75
20
35.00
34.50
Keterangan: angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji Tukey taraf 5%.
Asam tertitrasi total pada awal pengamatan cenderung meningkat (0-12
HSP) kemudian menurun. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi
kitosan tidak berpengaruh secara konsisten terhadap asam tertitrasi total. Buah
yang tidak dilapisi (kontrol) secara umum memiliki nilai asam tertitrasi total yang
rendah. Buah pisang pada 12 HSP sampai 20 HSP secara umum cenderung

16
menurun nilai asam tertitrasinya. Hal ini terjadi karena adanya peristiwa
metabolisme yaitu respirasi (Nasution et al. 2012).
Perlakuan kitosan 1% memiliki nilai asam tertitrasi total yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan kitosan 2% dan kontrol. Asam tertitrasi total perlakuan
kitosan mulai menurun pada 12 HSP. Pada 20 HSP perlakuan kontrol dan kitosan
tidak berbeda nyata (Tabel 4) Perubahan dalam keasaman selama penyimpanan
dapat berbeda-beda sesuai tingkat kemasakan (Pantastico et al. 1989).
Vitamin C
Pisang juga merupakan sumber vitamin C; kandungan vitamin C pada
pisang meja adalah sekitar 10 mg/100 gram sedangkan pisang olahan sekitar 2025 mg/100 g (Soedjono 2001). Faktor pelapisan tidak berpengaruh terhadap
vitamin C yang terkandung dalam buah pisang pada seluruh minggu pengamatan.
Tabel 5. Pengaruh aplikasi kitosan terhadap vitamin C pisang pada 2 HSP hingga
20 HSP
Vitamin C (mg/100 g)
Pengamatan (HSP)
Konsentrasi Perlakuan Kitosan
0%
1%
2%
2
15
16.4
17.2
4
5.0
5.0
5.0
6
15.6
15.9
13.4
8
10.2
10.3
11.2
10
12.8
11.1
10.8
12
14.6
12.8
12.0
14
17.3a
14.4b
14.2b
16
21.8a
17.8b
16.4b
18
33.6
31.2
29.6
20
42.3
37.2
33.6
Keterangan: angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji Tukey taraf 5%.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada 4 HSP sampai 8 HSP
kandungan vitamin C untuk kontrol konsentrasi kitosan 1% dan 2% mengalami
penurunan sedangkan peningkatan kandungan vitamin C terjadi pada pengamatan
14 HSP sampai 20 HSP. Pada konsentrasi 1% kandungan vitamin C tertinggi
terjadi pada 20 HSP dan terendah pada pengamatan ke 8 HSP (Tabel 5). Hal
tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan 1% dan 2% tidak mempengaruhi
kandungan vitamin C yang berada dalam buah pisang. Menurut Purwoko dan
Juniarti (1998), kandungan vitamin C pada buah yang memasuki tahapan
pascapanen selalu berfluktuasi.
Uji Organoleptik
Evaluasi kualitas buah melibatkan indra perasa terhadap senyawa yang
mempengaruhi aroma, rasa dan kerenyahan buah. Penentuan kualitas (evaluasi

17
obyektif) terhadap komponen kritikal yang harus digabungkan dengan evaluasi
subjektif oleh suatu panel agar bisa memberikan informasi yang berarti tentang
kualitas buah (Santoso dan Purwoko 1995). Cahyono (2009) menyatakan bahwa
buah pisang yang dipetik pada saat umur 80 hari sejak tanaman berbunga maka
akan memiliki daya simpan lebih lama yaitu sekitar 3 sampai 4 minggu .

Gambar 2 Pengamatan Buah Pisang pada 12 HSP
Kode pada gambar dibaca sebagai berikut, P menyatakan perlakuan, digit
kesatu menyatakan konsentrasi kitosan, dan digit selanjutnya menyatakan nomor
pisang. Aroma buah merupakan salah satu faktor yang menentukan perkembangan
kualitas yang optimal bagi kebanyakan buah. Pada beberapa buah aroma yang
khas disebabkan oleh terdapatnya satu atau dua senyawa organik (volatil).
Senyawa-senyawa tersebut terutama ester, alkohol, asam dan karbonil (aldehid
dan keton) (Santoso dan Purwoko 1995).
Tabel 6. Jumlah responden dengan berbagai tingkat kesukaan pada buah pisang
hingga 20 HSP
Pengamatan
(HSP)
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20

Sangat
suka

Suka

Biasa

0

1

2

0

1

0
0
0
3
3
0
0
0
0
0

0
0
0
3
3
0
0
0
0
0

0
0
0
2
3
3
0
0
0
0

0
0
0
4
4
4
0
0
0
0

0
1
2
2
2
0
0
0
0
0

Konsentrasi Kitosan (%)
2
0
1
2
0
3
2
3
7
5
4
0
0
0
0

4
4
3
6
6
13
12
5
0
0

Sangat Tidak
Suka

Tidak Suka

10
7
10
9
10
9
9
5
0
0

9
8
13
9
11
13
18
6
0
0

10
16
10
7
7
3
8
12
15
16

1

2

0

1 2

3
9
8
6
5
11
11
11
13
14

8
3
4
2
1
0
2
10
13
11

0
0
0
0
0
0
0
3
5
4

0
0
0
0
0
0
0
4
7
6

0
0
0
0
0
0
0
4
7
9

18

Rasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas
buah pisang. Untuk konsumsi segar buah pisang perbandingan kandungan gula
yang tinggi dengan asam yang rendah akan menghasilkan kualitas rasa yang baik
sesuai dengan keinginan konsumen. Uji organoleptik dilakukan pada 20
responden untuk mendapatkan data pengujian organoleptik, berikut hasil uji
organoleptik.
Pada hasil uji organoleptik didapatkan bahwa pada 2 HSP, 4 HSP dan 6
HSP rata-rata responden masih berpendapat biasa dan tidak suka, hal ini
dikarenakan warna dari buah pisang masih berwarna hijau sehingga responden
cenderung untuk memilih tidak suka sedangkan yang berpendapat biasa
dikarenakan warna pisang masih hijau kekuning-kuningan maka responden
berpendapat masih biasa. Uji organoleptik pada 8 HSP, 10 HSP dan 12 HSP, ratarata jawaban responden berpendapat sangat suka, suka, dan biasa hal ini
dikarenakan pada pengamatan tersebut pisang sudah menguning sempurna. Pada
16 HSP, 18 HSP, dan 20 HSP responden menyatakan tidak suka karena pada
pengamatan tersebut warna pisang sudah coklat dan ditumbuhi oleh jamur. Pada
perlakuan 0% responden cenderung lebih cepat tidak menyukai buah pisang
menyukai pisang pada 16 HSP.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Aplikasi perlakuan kitosan tidak berpengaruh dalam menghambat susut
bobot, tidak ada pengaruh konsisten dari perlakuan kitosan terhadap asam
tertitrasi total, kandungan vitamin C dan tidak berpengaruh nyata terhadap PTT.
Dari uji organoleptik yang dilakukan, pada pengamatan 12 HSP responden masih
menyukai buah pisang pada perlakuan 2%.
Saran
Untuk penyimpanan buah pisang disarankan menggunakan jenis pelapis
kitosan dengan konsentrasi 2%. Suatu penelitian yang melibatkan subjektivitas
skoring disarankan untuk tidak melibatkan skor nilai tengah atau skor penilaian
biasa.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi buah-buahan menurut Provinsi.
[Internet].[diunduh 2014 Mar 10]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_
sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=3.
Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, and Baker RA. 1995. Edible coatings for
lightly processed fruits and vegetables. Postharvest Biol. 4: 319-329.
Bastaman S. 1989. Mempelajari Proses Degradasi Dan Ekstraksi Chitin Dan
Chitosan dari Kulit Udang (Nephropsvior vegicus). The Institute for
Research on Chemistry and Multi Various Industry. 6 (2): .1-8.

19
[BPPS] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . 2007. Pisang Raja Bulu.
[Internet]. [diunduh 2013 Mar 18] . Tersedia pada: www. iptek.net.id.
Brecht JK. 1995. Physiology of lightly processed fruits and vegetables. Hort
Science. 30: 18-21.
Brody AL. 1997. Aseptic Packaging of Foods. Food Technology. Aug. 7074.Departemen Perindustrian. 2009. Impor Non Migas Utama Menurut
Komoditi (SITC 2 digit). [Internet]. [diunduh 2013 Mar 13] . Tersedia pada:
http://www.depperin.go.id/Ind/Statistik/exim/in_sitc2.asp.
Cahyono B. 2009. Pisang Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Danhowe IG and Fennema OR. 1994. Edible Film and Coating: Characteristics,
Formation and Definition and Testing Methods. Di dalam Krochta JM,
Baldwin EA, and Nisperos-Carriedo. Edible Coating and Film to Improve
Food Quality. Lancaster (USA) : Technomic Publi.
Dong BS and Sin Y. 2003. Chitosan coated silica bead as immobilized metes
affinity support for protein absorption. Biochem Eng J 3 (16) : 284-289.
Espino RRC, Jamaludin SH, Silayoi B, and Nasution RE. 1992. Plant Resources
of South-East Asia 2: Edible Fruits and Nuts (Musa L. (edible cultivars)).
Verheij EWM, Coronel RE, editor. Bogor (ID): PROSEA Foundation.
Floros JD and Gnanasekharan V. 1993. Shelf life prediction of packaged foods:
chemichal, biological, physical, and nutritional aspects. Di dalam
Chlaralambous G. London (Ed): Elsevier Publ.
Nuramanah E. 2012. Kajian Aktivitas Antioksidan Kulit Pisang Raja Bulu (Musa
Paradisiaca L. Var Sapinetum) Dan Produk Olahannya. [Skripsi]. Jakarta
(ID): Universitas Indonesia.
Grant LA and Burns J. 1994. Application of Coating. Di dalam Krochta JM.
Baldwin EA. And Nisperos Carriedo MO. Edible Coating and Film to
Improve Food Quality. Lancaster (USA) : Technomic Publi.
Gennadios A dan CL Weller. 1990. Edible Films and Coatings from Wheat and
Corn Proteins. Food Technol. 44(10) : 63.
Ghaouth AE, Arul J, Ponnampalan R, and Boulet M. 1991. Chitosan Coating
effect on storability and qualit