Pengeluaran Dan Konsumsi Bumbu Dalam Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor

PENGELUARAN DAN KONSUMSI BUMBU DALAM RUMAH
TANGGA MISKIN DI KECAMATAN CIAWI,
KABUPATEN BOGOR

FINABILLA CITRA AHMADYATI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengeluaran dan
Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Finabilla Citra Ahmadyati
NIM I14134018

ABSTRAK
FINABILLA CITRA AHMADYATI. Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam
Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
DODIK BRIAWAN.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengeluaran dan konsumsi
bumbu pada rumah tangga miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul “Validasi
Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi Rumah
Tangga Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013). Desain
penelitian ini adalah cross sectional study, pada 105 rumah tangga miskin.
Penelitian dilakukan di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Data

konsumsi bumbu diperoleh dengan cara penimbangan dan catatan belanja bumbu.
Pengeluaran bumbu rumah tangga terbesar adalah untuk membeli cabai yaitu
sebesar Rp 7 409/rumah tangga/ minggu. Rumah tangga contoh paling banyak
mengonsumsi gula, rata-rata sebesar 3.60 g/kapita/hari. Karakteristik rumah
tangga tidak berhubungan dengan total pengeluaran bumbu rumah tangga
(p>0.05). Total pengeluaran bumbu berhubungan dengan konsumsi cabai, bawang
putih, dan bawang merah. Pengeluaran kecap dengan konsumsi kecap memiliki
korelasi negatif (p = 0.047, r = -0.194), sedangkan korelasi yang positif antara
pengeluaran garam (p = 0.001, r = 0.067), bumbu penyedap (p = 0.009, r =
0.253), dan bawang putih (p = 0.000, r = 0.520) dengan konsumsi bumbu, artinya
semakin besar pengeluaran maka konsumsinya juga semakin besar.
Kata kunci : bumbu, konsumsi bumbu, pengeluaran bumbu, rumah tangga

ABSTRACT
FINABILLA CITRA AHMADYATI. The Expenditure and Consumption of
Spices in Poor Households, Ciawi, Bogor District. Supervised by DODIK
BRIAWAN.
The aim of this study is analyzing the spices expenditure and consumption
of poor households in Ciawi, Bogor District. Source of the data was secondary
data from research titled “Validation HDDS (Household Dietary Diversity Score)

as an Alternative Method to Identify Food Insecurity Household in Indonesia"
(Baliwati and Briawan 2013). Cross sectionally study was done 105 poor
households, in Citapen village, Ciawi, Bogor District, West Java. Spices
consumption had been collected with food weighing and spices expense record.
The largest portion of spices expenditure was chili which is Rp 7
409/household/week. However, the largest amount of spices consumption was
sugar (3.60 g/capita/day). The households characteristic are not correlated with
the households spices expenditure (p > 0.05). There is a significant correlation
among total amount of spices expenditure with the consumption of chili, garlic,
and shallot. Some spices expenditure correlates to spices consumption, such as

salt (p = 0.001, r = 0.067), flavorings (p = 0.009, r = 0.253), and garlic (p = 0.000,
r = 0.520) which mean the bigger expense tend to bigger consumption.
Key words : households, spices, spices consumption, spices expenditure

PENGELUARAN DAN KONSUMSI BUMBU DALAM RUMAH
TANGGA MISKIN DI KECAMATAN CIAWI,
KABUPATEN BOGOR

FINABILLA CITRA AHMADYATI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi : Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga
Miskin di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor
Nama
: Finabilla Citra Ahmadyati
NIM
: I14134018


Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang
dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 sampai Oktober 2015 ini, dengan judul
“Pengeluaran dan Konsumsi Bumbu dalam Rumah Tangga Miskin di Kecamatan
Ciawi, Kabupaten Bogor” dengan baik. Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian besar mengenai Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity
Score) untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia diketuai

oleh Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan,
MCN selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah
meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan dorongan sehingga
penyusunan karya ilmiah ini terselesaikan, serta kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Ikeu
Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan
koreksi dan masukannya demi perbaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih
juga penulis sampaikan untuk keluarga, Ahmad Mulyono,SH (Ayah), Kusmiyati
(Ibu), kedua adik saya Muh. Ferizqo dan Sheila Ramadani atas doa, motivasi,
dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Helmiyati, Galih
Rakasiwi, Sofya Maya, Gigih Arif, Nurul Hudachair atas motivasi dan bantuan
sarana yang telah diberikan. Kepada teman-teman seperjuangan Wahyu Laila dan
Vina Dwinata atas kebersamaan selama 2 tahun ini, serta teman-teman Alih Jenis
GM angkatan 7 atas dukungan dan bantuannya.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya.

Bogor, Januari 2016


Finabilla Citra Ahmayati

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

9

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan

3


Manfaat

3

KERANGKA PEMIKIRAN

4

METODE

6

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

6

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

6


Jenis dan Cara Pengumpulan Data

6

Pengolahan dan Analisis Data

7

Definisi Operasional

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Karakteristik Rumah Tangga

10


Pengeluaran Bumbu

12

Konsumsi Bumbu

16

Pengeluaran Bumbu menurut Karakteristik Rumah Tangga

20

Hubungan Pengeluaran Bumbu dengan Konsumsi Bumbu

26

SIMPULAN DAN SARAN

30


Simpulan

30

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Jenis variabel dan cara pengolahan data
Karakteristik rumah tangga
Rata-rata pengeluaran bumbu
Sebaran pengeluaran bumbu rumah tangga sebulan
Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga
Sebaran konsumsi bumbu perkapita sehari
Konsumsi gula rumah tangga (g/kapita/hari)
Konsumsi natrium rumah tangga (mg/kapita/hari)
Rata-rata total konsumsi natrium rumah tangga
Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut besar
rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)
Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut
pendidikan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)
Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut
pekerjaan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)
Rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga perbulan menurut
pendapatan kepala rumah tangga (Rp/rumah tangga/bulan)
Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga sebulan menurut total
pengeluaran bumbu (g/rumah tangga/bulan)
Hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu

8
11
14
16
17
18
19
19
20
20
21
23
25
26
29

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pemikiran tentang konsumsi bumbu rumah tangga
Distribusi belanja bumbu rumah tangga

5
13

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya telah dijamin
oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen
dasar agar terwujud sumber daya manusia berkualitas. Pangan dianggap sebagai
kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pangan menurut Permenkes nomor
41 tahun 2014 yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman.
Ketahanan pangan mempunyai peran penting dalam pembangunan karena
pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas
sumberdaya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk
melaksanakan pembangunan. Pemerintah berperan penting dalam penentu
kebijakan terhadap masalah pangan, terlebih rata-rata pengeluaran rumah tangga
untuk pangan masih di atas 60%. Pengurangan bantuan terhadap petani di negara
berkembang menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik dan mengancam
ketahanan pangan (Ilham et al. 2006).
Harga pangan merupakan salah satu aspek dalam ekonomi pangan yang
selalu dimonitor oleh pemerintah secara berkala karena bila terjadi kenaikan harga
yang tajam berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Inflasi terjadi karena adanya
kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks seluruh kelompok
pengeluaran. Laju inflasi bulanan Jawa Barat pada bulan Januari, Februari, dan
Maret tahun 2013 secara berturut-turut adalah sebesar 1.05%, 0.79%, 0.79%.
Meskipun demikian, inflasi pada bulan Maret 2013 secara bulanan lebih tinggi
daripada inflasi pada bulan Maret selama 5 tahun terakhir. Tingginya tekanan
inflasi bulanan selama triwulan I – 2013 lebih disebabkan karena tekanan pada
kelompok bahan makanan. Beberapa bumbu menjadi penyumbang inflasi pada
triwulan I – 2013 di Jawa Barat yaitu cabai merah, bawang putih dan bawang
merah. Bumbu tersebut bahkan beberapa menjadi penyumbang inflasi tertinggi.
Cabai menempati urutan kedua penyumbang inflasi pada bulan Januari tahun
2013 dengan sumbangan 0.14%. Bawang putih menjadi penyumbang inflasi
tertinggi pada bulan Februari 2013 dengan sumbangan sebesar 0.13%. Bawang
merah menjadi penyumbang inflasi terbesar pada bulan Maret 2013, yaitu sebesar
0.65% (BI 2013).
Rata-rata pengeluaran untuk bumbu penduduk Indonesia pada bulan Maret
tahun 2013 yaitu sebesar Rp6 783/kapita/bulan atau 0.96% dari total pengeluaran
sebulan. Penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok bumbu-bumbuan lebih kecil
daripada penduduk yang tinggal di perkotaan. Rata-rata pengeluaran per kapita
sebulan penduduk perdesaan dan perkotaan yaitu sebesar Rp6 454 dan Rp7 114
(BPS 2013).
Bumbu merupakan bahan tambahan pangan yang kontribusinya sangat
berarti untuk menambah rasa dan aroma pada masakan (Ahuja et al. 2006).
Bumbu meskipun penggunaannya dalam jumlah kecil, namun telah mendapat

2

perhatian khusus pemerintah yang dituangkan dalam Pedoman Gizi Seimbang
mengenai pembatasan makanan manis, asin, dan berlemak (Kemenkes 2014).
Pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak untuk pangan olahan
dan siap saji juga telah diatur dalam Permenkes nomor 30 tahun 2013, dengan
menimbang masyarakat perlu untuk dilindungi dari risiko penyakit terutama
hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung (Kemenkes 2013). Bumbu
merupakan salah satu kelompok pangan yang digunakan dalam perhitungan skor
Pola Pangan Harapan (PPH) yang menggambarkan tingkat konsumsi pangan
maupun mutu keanekaragaman konsumsi pangan (BKP 2014).
Beberapa bumbu masih menjadi perhatian dan sering dikaitkan dengan
masalah gizi yang ditimbulkan akibat konsumsi yang berlebihan, seperti gula dan
garam. Menurut WHO (2003) dalam Hardinsyah (2011), dalam studi
epidemiologi terbukti terdapat hubungan yang positif antara konsumsi lemak,
gula, dan garam dengan kejadian penyakit jantung koroner, serta konsumsi lemak
jenuh dan garam dengan hipertensi. Selain itu, kecap dan bumbu penyedap juga
berkaitan dengan masalah gizi dan penyakit degeneratif karena merupakan produk
yang masih mengandung garam natrium. Bumbu-bumbu yang banyak digunakan
oleh masyarakat di Indonesia yaitu gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai,
bawang putih dan bawang merah (BPS 2013).
Terdapatnya permasalahan di atas membuat perlunya penelitian mengenai
pengeluaran dan konsumsi bumbu pada rumah tangga. Mengingat bumbu
mempunyai banyak peranan dalam menunjang kebutuhan konsumsi sehari-hari di
rumah tangga. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya,
tercatat perkembangan jenis makanan dengan citarasa yang beragam pula. Hal
tersebut dipengaruhi oleh adanya penambahan bumbu sehingga tercipta citarasa
dan kekhasan suatu makanan. Penelitian mengenai bumbu belum banyak
dilakukan, oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut
mengenai pengeluaran dan konsumsi bumbu di rumah tangga terutama pada
rumah tangga miskin.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan pokokpokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran karakteristik rumah tangga miskin di kecamatan Ciawi ?
2. Bagaimana gambaran pengeluaran bumbu pada rumah tangga miskin di
kecamatan Ciawi ?
3. Bagaimana gambaran konsumsi bumbu pada rumah tangga miskin di
kecamatan Ciawi ?
4. Apakah terdapat hubungan karakteristik rumah tangga miskin dengan
pengeluaran bumbu rumah tangga ?
5. Apakah terdapat hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu
rumah tangga ?

3

Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengeluaran dan
konsumsi bumbu pada rumah tangga miskin.
Tujuan Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin (besar rumah tangga,
usia ibu dan kepala rumah tangga, pendidikan ibu dan kepala rumah tangga,
pekerjaan ibu dan kepala rumah tangga, pendapatan kepala rumah tangga).
2. Menganalisis pengeluaran bumbu rumah tangga.
3. Menganalisis konsumsi bumbu rumah tangga.
4. Menganalisis hubungan karakteristik rumah tangga dengan pengeluaran
bumbu rumah tangga.
5. Menganalisis hubungan pengeluaran bumbu dengan konsumsi bumbu rumah
tangga.
Manfaat
Hasil penelitian ini harapannya dapat memberikan gambaran mengenai
pengeluaran dan konsumsi bumbu-bumbuan rumah tangga miskin. Juga dapat
melihat konsumsi gula dan garam di rumah tangga miskin untuk gambaran
pemerintah daerah dalam menyusun strategi kebijakan kaitannya dengan
pengendalian penyakit tidak menular.

4

KERANGKA PEMIKIRAN
Penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi
pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan.
Pemerintah daerah sebagai perencana pangan, menurut UU Pangan nomor 18
tahun 2012 diharuskan memperhatikan beberapa aspek salah satunya kebutuhan
konsumsi pangan dan tingkat pendapatan petani. Bumbu merupakan pangan yang
selalu digunakan oleh rumah tangga untuk pengolahan makanan. Penggunaan
bumbu tersebut dipengaruhi oleh belanja rumah tangga. Keputusan untuk
membeli pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu yaitu karakteristik rumah
tangga dan juga faktor lain. Karakteristik rumah tangga meliputi, besar rumah
tangga, usia, pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan rumah tangga, sedangkan
faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran bumbu meliputi, rasa, tempat
pembelian, sumber informasi, promosi, dan harga.
Besar atau kecilnya jumlah anggota rumah tangga akan menentukan
seberapa banyaknya kebutuhan pangan yang harus dipenuhi oleh rumah tangga.
Pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan
yang diperoleh. Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa orang dengan
pendidikan yang rendah mempunyai pengetahuan yang rendah pula, karena
pengetahuan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal saja namun juga
melalui pendidikan nonformal. Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap
pendapatan yang didapatkan orang tersebut. Pendapatan akan berpengaruh
terhadap pola konsumsi makan sehari-hari. Rendahnya pendapatan keluarga akan
berdampak pada berkurangnya kesempatan untuk mendapatkan pangan dengan
kualitas baik. Tingginya pendapatan suatu rumah tangga berarti semakin besar
tingkat aksesibilitas dalam mendapatkan pangan yang baik. Pendapatan yang
rendah akan mengakibatkan buruknya kondisi pangan rumah tangga.
Karakteristik rumah tangga akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran
bumbu rumah tangga. Bumbu yang tersedia di dalam rumah tangga selanjutnya
dikonsumsi oleh anggota rumah tangga. Bumbu seperti gula dan garam
mempunyai batasan yaitu 50 gram per hari untuk gula dan 2000 mg natrium per
hari. Gula dan garam selain berasal dari konsumsi di rumah, juga dikonsumsi dari
makanan jajanan.

5

Karakteristik rumah tangga

Besar
rumah
tangga

Pendidikan
kepala rumah
tangga

Faktor lain :






Rasa
Tempat pembelian
Sumber informasi
Promosi
Harga

Pekerjaan
kepala rumah
tangga

Pendapatan
kepala rumah
tangga

Pengeluaran
Bumbu

Konsumsi
bumbu rumah
tangga

Konsumsi gula
dan natrium pada
makanan jajanan

Kontribusi Zat Gizi terhadap
pembatasan gula dan garam
Keterangan :
= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti
= hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran tentang penggunaan bumbu rumah tangga

6

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Desain studi penelitian ini adalah studi cross sectional. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dari penelitian yang berjudul “Validasi Metode
HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi Rumah Tangga
Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013). Penelitian ini
dilakukan pada Mei – Oktober 2013 di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan, analisis, dan interpretasi data akan
dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2015 di Institut Pertanian Bogor, Bogor,
Jawa Barat.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Penelitian ini menggunakan contoh yang digunakan dalam penelitian
“Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity Score) untuk Identifikasi
Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati dan Briawan 2013).
Jumlah rumah tangga yang diambil sebanyak 105 rumah tangga dari wilayah Desa
Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kriteria inklusi contoh
adalah termasuk ke dalam kelompok rumah tangga miskin. Berikut tahapan
pemilihan kecamatan, desa, dan rumah tangga yang menjadi unit penelitian:
1. Kecamatan Ciawi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dipilih dengan
pertimbangan bahwa wilayah tersebut mewakili wilayah agroekologi pertanian.
2. Dari Kecamatan tersebut dipilih satu desa sebagai lokasi penelitian berdasarkan
rekomendasi dari kecamatan terkait.
3. Dari desa terpilih kemudian dipilih satu RW yang dianggap mewakili
karakteristik kecamatan terkait. Penentuan RW dilakukan berdasarkan
rekomendasi dan arahan dari kantor desa.
4. Rumah tangga contoh ditentukan secara purposive berdasarkan data rumah
tangga yang memenuhi kriteria inklusi yang diperoleh dari Ketua RT dan RW
dengan pertimbangan bahwa Ketua RT/RW lebih mengerti kondisi
sesungguhnya.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data
diperoleh dari penelitian “Validasi Metode HDDS (Household Dietary Diversity
Score) untuk Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan di Indonesia” (Baliwati
dan Briawan 2013). Data sekunder mencakup data karakteristik rumah tangga
(besar rumah tangga, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan kepala
rumah tangga), pengeluaran bumbu, konsumsi bumbu, konsumsi makanan
jajanan. Data karakteristik rumah tangga berupa besar rumah tangga, tingkat

7

pendidikan kepala dan ibu rumah tangga, pekerjaan kepala dan ibu rumah tangga,
dan pendapatan kepala rumah tangga. Data karakteristik rumah tangga
dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.
Data pengeluaran bumbu (gula, garam, kecap, bumbu masak, cabai, bawang
putih, dan bawang merah) didapatkan dari wawancara langsung dengan kuesioner.
Data diperoleh dengan menanyakan kebiasaan belanja bumbu pada rumah tangga,
kemudian mengisi form kuesioner dengan besaran Rupiah. Petugas hanya mengisi
pada salah satu kolom kuesioner baik pada kolom harian, mingguan, maupun
bulanan.
Data konsumsi bumbu (gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai,
bawang putih, dan bawang merah) diperoleh dengan metode penimbangan
makanan dan catatan belanja bumbu. Pengukuran dilakukan selama seminggu (7
hari) dengan cara penimbangan dan catatan belanja bumbu. Pengumpulan data
dilakukan 3 kali dari 7 hari pengamatan yaitu pada hari pertama, keempat dan
ketujuh. Petugas pengumpul data dibekali informasi berdasarkan survei pasar
harga bumbu dan beratnya. Bumbu ditimbang menggunakan timbangan makanan
dengan hasil pengukuran dalam bentuk gram (g). Konsumsi makanan jajanan
rumah tangga diperoleh dengan food recall 1x24 jam.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program
komputer yaitu program Microsoft Excel 2010 dan SPSS 16.0 for Windows. Data
dianalisis dengan statistik deskriptif dan inferensia. Statistik deskriptif disajikan
dengan distribusi frekuensi, persentil dan nilai rata-rata. Data disajikan dalam
bentuk tabel dan dianalisis secara statistik deskriptif meliputi pengeluaran bumbu,
konsumsi bumbu, dan karakteristik rumah tangga (besar rumah tangga,
pendidikan kepala rumah tangga, pekerjaan kepala rumah tangga dan pendapatan
kepala rumah tangga).
Data pengeluaran bumbu ditulis dalam bentuk rupiah. Data pengeluaran
bumbu ditanyakan kepada responden tergantung dari pembelian bumbu, ditulis
dalam bentuk rupiah/hari, rupiah/minggu, atau rupiah/bulan. Data tersebut
digunakan untuk melihat pola pengeluaran pada masing-masing bumbu di rumah
tangga. Data tersebut kemudian dikonversi ke dalam rupiah/rumah tangga dan
rupiah/kapita sesuai dengan pola pengeluaran terbanyak, baik dalam bentuk bulan,
minggu, ataupun hari. Data pengeluaran bumbu (Rp/kapita/bulan) juga disajikan
dalam bentuk sebaran persentil yaitu P25, P50, dan P75.
Data konsumsi bumbu masing-masing rumah tangga dihitung dalam satuan
gram per rumah tangga contoh. Data ini dikonversi ke dalam bentuk gram/rumah
tangga, gram/kapita sesuai dengan pola pengeluaran terbanyak baik dalam bentuk
bulan, minggu, ataupun hari. Rata-rata konsumsi bumbu per kapita rumah tangga
contoh dihitung dari hasil pembagian antara berat bumbu yang digunakan rumah
tangga dengan jumlah anggota rumah tangga contoh. Data konsumsi gula, garam,
kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang merah, dan bawang putih (g/kapita/hari)
disajikan menurut sebaran persentil yaitu P25, P50, dan P75.
Data konsumsi makanan jajanan yang diperoleh kemudian diolah dengan
menggunakan software Nutri Survey for Windows untuk mendapatkan kandungan

8

natrium pada makanan. Hasil kandungan natrium yang diperoleh dari makanan
jajanan tersebut kemudian dijumlahkan dengan natrium yang dikonsumsi rumah
tangga di rumah yang berasal dari konsumsi garam, kecap, dan bumbu penyedap.
Konsumsi gula diperoleh dengan menjumlahkan gula yang dikonsumsi di dalam
rumah dengan gula yang dikonsumsi dari makanan jajanan.
Tabel 1 Jenis variabel dan cara pengolahan data
No
1

Variabel
Besar rumah
tangga

Kategori
1. Kecil : ≤ 4 orang
2. Sedang : 5 - 7 orang
3. Besar : ≥ 8 orang

2

Usia

1.
2.
3.
4.

Remaja (< 20 tahun)
Hurlock
Dewasa muda (20 – 30 tahun) (1980)
Dewasa madya (31 – 50 tahun)
Dewasa lanjut (> 50 tahun)

3

Tingkat pendidikan

1.
2.
3.
4.
5.

Tidak sekolah
SD
SLTP
SLTA
PT

4

Pekerjaan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

5

Pendapatan

1.
2.
3.
4.
5.

Tidak bekerja
Petani
Buruh tani
Buruh non tani
Pedagang
Pengamen
PNS/ABRI/Polisi
Jasa
Ibu rumah tangga
Lainnya

< Rp300 000
Rp300 000 – Rp800 000
Rp801 000 – Rp1 300 000
Rp1 301 000 – Rp1 800 000
> Rp1 800 000

Keterangan
BKKBN
(1998)

Baliwati dan
Briawan
(2013)

Baliwati dan
Briawan
(2013)

Baliwati dan
Briawan
(2013)

Rataan pengeluaran masing-masing bumbu menurut karakteristik rumah
tangga disajikan dengan tabulasi silang. Data pengeluaran masing-masing bumbu
(Rp/rumah tangga/bulan) dan total pengeluaran bumbu (Rp/kapita/bulan)
dihubungkan dengan variabel karakteristik rumah tangga yang meliputi besar
rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga dan pendapatan kepala rumah
tangga. Hubungan antar variabel pengeluaran masing-masing bumbu, total

9

pengeluaran bumbu dengan karakteristik rumah tangga dianalisis dengan uji
korelasi Spearman dengan taraf nyata p < 0.05 (derajat kepercayaan 95%).
Data total pengeluaran bumbu dan konsumsi bumbu disajikan dengan tabel
tabulasi silang. Pengeluaran bumbu dibagi menjadi 4 kategori menurut sebaran
kuartil yaitu: (1) Q3. Konsumsi bumbu
disajikan dalam bentuk rataan. Hubungan antara pengeluaran masing-masing
bumbu, total pengeluaran bumbu dengan konsumsi masing-masing bumbu
dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman dengan taraf nyata p < 0.05
(derajat kepercayaan 95%). Pengeluaran bumbu dalam bentuk Rp/rumah
tangga/bulan, sedangkan konsumsi bumbu dalam bentuk g/rumah tangga/bulan.
Definisi Operasional
Besar rumah tangga adalah total jumlah anggota rumah tangga.
Bumbu adalah bahan pangan tambahan yang digunakan dalam memasak di
rumah tangga tersebut berupa gula, garam, kecap, bumbu penyedap, cabai,
bawang putih, dan bawang merah.
Contoh adalah rumah tangga miskin yang dipilih di Desa Citapen, Kecamatan
Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Karakteristik rumah tangga adalah data kondisi demografi dan sosial ekonomi
keluarga yang meliputi besar rumah tangga, usia, tingkat pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan kepala rumah tangga.
Konsumsi bumbu adalah jumlah bumbu yang dikonsumsi rumah tangga untuk
mengolah makanan dan minuman di rumah dalam satuan gram.
Makanan jajanan adalah makanan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga,
yang dibeli atau didapatkan dari luar rumah.
Pekerjaan ibu dan kepala rumah tangga adalah aktivitas yang dilakukan oleh
ayah dan ibu baik terikat maupun tidak terikat oleh waktu untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Pendapatan kepala rumah tangga adalah pendapatan yang diterima per bulan
yang diperoleh kepala rumah tangga dalam satuan rupiah dengan kategori
(1)< Rp300 000, (2)Rp300 000 – Rp800 000, (3)Rp801 000 – Rp1 300
000, (4)Rp1 301 000 – Rp1 800 000, (5) > Rp1 800 000
Pengeluaran
bumbu
jumlah
nominal
bumbu
yang
dibeli
harian/mingguan/bulanan dalam satuan rupiah.
Pola belanja bumbu adalah kebiasaan rumah tangga dalam membeli bumbu di
rumah dalam bentuk harian, mingguan, ataupun bulanan
Rumah tangga adalah tempat dimana sekelompok orang yang tinggal di bawah
satu atap dan makan disatu dapur yang sama.
Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang ditempuh,
kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan.
Usia adalah bilangan dalam tahun yang dihitung dari tanggal kelahiran hingga
tanggal dilakukan penelitian.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan suatu kesatuan ekonomi, pusat untuk
berproduksi, untuk mendatangkan penghasilan dan untuk konsumsi anggotanya
serta untuk memberikan kasih sayang, semakin diakui fungsinya. Dalam kaitan
dengan kesejahteraan, bahwa unit sosial rumah tangga merupakan kesatuan sosial
budaya. Rumah tangga merupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan
yang direfleksikan melalui upacara pertukaran (komunikasi) cerita pengalaman
hidup (Suharma 2005).
Pada tahun 2010 penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Barat yang terbanyak
di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4.8 juta jiwa dan diikuti oleh Kabupaten
Bandung 3.2 juta jiwa. Jumlah rumah tangga di Bogor yaitu 1 037 408 rumah
tangga. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 4 852 520 jiwa. Adapun
penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446 040 jiwa atau
9.19% (BPS 2011).
Kondisi kemiskinan di perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor yang
berbeda, diantaranya adalah kesempatan kerja. Seseorang menjadi miskin karena
menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak bekerja tidak
penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan atau tahun. Apabila orang yang
bersangkutan memperoleh pekerjaan dengan upah atau gaji yang memadai, maka
orang tersebut akan terbebas dari kemiskinan (Suharma 2005).
Besar rumah tangga adalah banyaknya anggota rumah tangga yang terdiri
dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan
sumberdaya yang sama (Wardah 2014). Ukuran rumah tangga dikategorikan
menjadi tiga yaitu keluarga kecil yang beranggotakan < 4 orang, keluarga sedang
yang beranggotakan 5 - 7 orang dan keluarga besar ≥ 7 orang (BKKBN 1998).
Lebih dari separuh (55.23%) rumah tangga merupakan rumah tangga sedang
dengan jumlah antara 5 - 7 orang. Besarnya jumlah anggota rumah tangga
berpengaruh terhadap kebutuhan pangan rumah tangga. Semakin banyak
jumlahnya, maka kebutuhan juga akan semakin banyak (Amaliyah dan Handayani
2011). Sebaran besar rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.
Usia dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 yaitu remaja (< 20 tahun),
dewasa muda (20 - 30 tahun), dewasa madya (31 - 50 tahun), dewasa lanjut (> 50
tahun) (Hurlock 1980). Sebagian besar kepala rumah tangga berada pada
kelompok usia dewasa madya (31 - 50 tahun) yaitu sebanyak 74 (70.48%).
Sementara itu, sebanyak 54.29% ibu rumah tangga berada pada kelompok usia
dewasa muda (20 - 30 tahun). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardah
(2014), usia orangtua pada anak berumur 1 - 6 tahun paling banyak terdapat pada
kategori dewasa madya yaitu antara 31 - 50 tahun. Ibu yang berusia muda
terkadang lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan
anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian ini bahwa setiap rumah tangga memiliki anak
usia balita.

11

Tabel 2 Karakteristik rumah tangga
No

Karakteristik

1 Besar rumah tangga
Kecil (≤ 4 orang)
Sedang (5 - 7 orang)
Besar (≥ 8 orang)
2 Usia (tahun)
Remaja (< 20 tahun)
Dewasa muda (21 - 30 tahun)
Dewasa madya (31 - 50 tahun)
Dewasa lanjut (> 50 tahun)
3 Tingkat pendidikan
Tidak sekolah
SD
SLTP
SLTA
PT
4 Pekerjaan
Tidak bekerja
Petani
Buruh tani
Buruh nontani
Pedagang
Pengamen
PNS/ABRI/Polisi
Jasa
Ibu rumah tangga
Lainnya
5 Pendapatan
< Rp300 000
Rp300 000 - Rp800 000
Rp801 000 - Rp1 300 000
Rp1 301 000 - Rp1 800 000
> Rp1 800 000

Kepala rumah tangga
n
%

Ibu rumah tangga
n
%

32
58
15

30.47
55.23
14.30

0
27
74
4

0.00
25.71
70.48
3.81

1
57
47
0

0.95
54.29
44.76
0.00

0
69
24
12
0

0.00
65.71
22.86
11.43
0.00

2
79
18
5
1

1.91
75.24
17.14
4.76
0.95

2
8
71
11
2
0
1
5
0
5

1.91
7.62
67.62
10.47
1.91
0.00
0.95
4.76
0.00
4.76

7
0
2
1
0
0
0
3
92
0

6.67
0.00
1.91
0.95
0.00
0.00
0.00
2.85
87.62
0.00

4
64
30
3
4

3.81
60.96
28.57
2.85
3.81

n = jumlah rumah tangga contoh

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan

12

menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan
umum dan pendidikan kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)
(Budiman 2006). Sebagian besar kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga
masih mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Baik kepala rumah tangga
(65.71%) maupun ibu rumah tangga (75.24%) masih memiliki pendidikan
Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga
rawan pangan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Dalam kondisi
kemiskinan dengan terbatasnya pendapatan, mereka masih kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, sehingga pendidikan bukan prioritas
mereka (Ariningsih dan Rachman 2008).
Sebagian besar (67.62%) pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai
buruh tani, dan sebagian besar (87.62%) ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah
tangga. Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan
pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki
keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Suhardjo 1989). Jumlah buruh
tani yang masih banyak menunjukkan bahwa kepemilikan lahan sawah di Desa
Citapen tidak tersebar merata, dengan kata lain kepemilikan lahan hanya dimiliki
sebagian kecil penduduk (Novitasari 2014).
Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi
rumah tangga. Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kepala rumah
tangga berpenghasilan antara Rp300 000 - Rp800 000. Rumah tangga dapat
dikatakan termasuk dalam rumah tangga miskin dikarenakan berpenghasilan
rendah kurang dari garis kemiskinan Kabupaten Bogor yaitu Rp 271
970/kapita/bulan (BPS 2015). Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan,
tingkat pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor kunci bagi rumah
tangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan (Rachman et al. 2006). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2010), tingkat ketahanan
pangan rumah tangga di pedesaan lebih rendah daripada rumah tangga di
perkotaan. Rumah tangga di pedesaan sebagian besar rentan dan rawan pangan
dibandingkan rumah tangga di perkotaan yang sebagian besar kurang pangan dan
tahan pangan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendapatan yang diterima
oleh rumah tangga kurang pangan lebih tinggi daripada rumah tangga rentan
pangan. Wilayah penelitian disini merupakan wilayah perdesaan yang berarti
mempunyai pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan
penduduk yang tinggal di perkotaan.
Pengeluaran Bumbu
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan
oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun
tertentu (Sukirno 1994 dalam Trisnowati dan Budiwinarto 2013). Dalam
masyarakat, harga suatu barang dan pendapatan masyarakat merupakan faktor
yang dominan dalam mempengaruhi permintaan barang, dimana permintaan suatu
barang dapat dilihat dari pembelanjaan total (pengeluaran total) suatu masyarakat.
Sehingga, apabila ada perubahan harga suatu barang dan perubahan pendapatan
suatu rumah tangga (masyarakat), maka pengeluaran rumah tangga (masyarakat)

13

untuk barang tersebut juga akan berubah. Salah satu pengeluaran rumah tangga
adalah pengeluaran untuk makanan (Trisnowati dan Budiwinarto 2013).
Dalam ilmu ekonomi semua pengeluaran selain yang digunakan untuk
tabungan dinamakan konsumsi. Konsumsi merupakan hal yang mutlak diperlukan
setiap orang untuk bertahan hidup. Pengeluaran masyarakat miskin lebih banyak
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bentuk pangan, pada saat
yang sama sangat sedikit pengeluaran konsumsi untuk jenis non pangan (Anwar
2010).
90

83.81
80.00

77.14

80

76.19

73.33

Jumlah rumah tangga (%)

70

64.76

60
51.43
50
39.05

40

28.57

30
16.19

20 18.10

18.10

17.14

13.33
10

7.62
2.86
0.95

6.67
0

0

Garam

Kecap

9.52
0

1.90
0.95

6.67

5.71

0

0

Bawang
putih

Bawang
merah

0
Gula

Bumbu
penyedap

Cabai

Jenis bumbu
Harian

Mingguan

Bulanan

Tidak membeli

Gambar 2 Distribusi belanja bumbu rumah tangga

Pola belanja bumbu rumah tangga contoh sebagian besar dalam bentuk
harian dan mingguan. Pengeluaran gula, garam, kecap, dan bumbu penyedap
sebagian besar rumah tangga secara mingguan. Pengeluaran cabai, bawang putih
dan bawang merah sebagian besar rumah tangga secara harian. Pola tersebut
kemungkinan berkaitan dengan daya simpan dari masing-masing bumbu. Gula,
garam, kecap, dan bumbu penyedap merupakan bumbu yang mempunyai daya
simpan lebih lama jika dibandingkan dengan cabai, bawang putih, dan bawang
merah.

14

Tabel 3 Rata-rata pengeluaran bumbu
Pengeluaran bumbu (Rp)
Rumah tangga
Kapita
Minggu
Hari
Minggu
Hari
Gula
5 803 ± 6 275
774 ± 837
1 171 ± 1 429
156 ± 191
Garam
784 ± 722
105 ± 96
149 ± 140
20 ± 19
Kecap
2 695 ± 2 765
359 ± 369
515 ± 557
69 ± 74
Bumbu penyedap 2 347 ± 1 860
313 ± 248
451 ± 403
60 ± 54
Cabai
7 409 ± 3 050
988 ± 407
1 447 ± 774
193 ± 103
Bawang putih
5 347 ± 3 061
713 ± 408
1 058 ± 705
141 ± 94
Bawang merah
7 378 ± 3 268
984 ± 436
1 438 ± 754
192 ± 101
Total
31 763 ± 12 144 4 235 ± 1 619 6 228 ± 3 156
830 ± 421
Jenis bumbu

Tabel 3 menunjukkan rata-rata pengeluaran bumbu rumah tangga contoh.
Pengeluaran terbesar adalah untuk membeli cabai yaitu sebesar Rp7 409/rumah
tangga/minggu. Pengeluaran yang besarnya tidak jauh berbeda dengan cabai yaitu
pengeluaran bawang merah yaitu sebesar Rp7 378/rumah tangga/minggu.
Pengeluaran terkecil rumah tangga digunakan untuk membeli garam yaitu dengan
pengeluaran sebesar Rp784/rumah tangga/minggu. Pada rata-rata pengeluaran
perkapita, cabai masih berada pada pengeluaran terbesar yaitu Rp1
447/kapita/minggu. Pengeluaran per kapita terkecil digunakan untuk membeli
garam yaitu sebesar Rp149/kapita/minggu.
Pengeluaran bumbu rumah tangga lebih besar jika dibandingkan dengan
rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa di Indonesia. Menurut data Susenas
tahun 2013, rata-rata pengeluaran bumbu penduduk desa untuk gula, garam,
kecap, bumbu penyedap, cabai, bawang putih, dan bawang merah berjumlah Rp5
269/kapita/minggu (BPS 2013). Terdapat selisih sebesar Rp959 antara
pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan pengeluaran penduduk
Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan harga pada tiap daerah
dan perbedaan budaya dengan keberagaman jenis masakan tiap daerah membuat
preferensi makanan pun berbeda di tiap daerah, sehingga terjadi selisih harga
antara pengeluaran bumbu rumah tangga contoh dengan penduduk Indonesia.
Cabai menempati urutan pertama dalam rata-rata pengeluaran bumbu rumah
tangga. Rata-rata pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membeli
garam. Pengeluaran tersebut sedikit berbeda dengan data rata-rata pengeluaran
penduduk desa di Indonesia yang terdapat pada Susenas tahun 2013. Data yang
diperoleh dari Susenas 2013, menunjukkan gula yang menjadi pengeluaran
terbesar penduduk baik di desa maupun kota yaitu sebesar Rp1 770/kapita/minggu
dan Rp1 533/kapita/minggu. Sementara garam paling sedikit dalam pengeluaran
perkapita seminggu, baik di desa dan kota yaitu sebesar Rp161 dan Rp119.
Menurut data Susenas tahun 2013, rata-rata pengeluaran bumbu-bumbuan
penduduk Indonesia pada bulan Maret tahun 2013 yaitu sebesar Rp6 783 per
kapita sebulan. Bumbu-bumbuan yang dimaksud dalam data Susenas tersebut
meliputi garam, kemiri, ketumbar/jinten, merica, asam, biji pala, cengkeh,
terasi/petis, kecap, penyedap masakan/vetsin, sambal jadi/saus tomat, bumbu
masak jadi/kemasan, serta bumbu dapur lainnya (BPS 2013). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga miskin di
Kelurahan Sidomulyo Kecamatan Medan Tungtungan adalah pendapatan kepala

15

rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lama berumah tangga, dan jumlah
subsidi beras miskin (Yuliana et al. 2013).
Pengeluaran tertinggi adalah untuk membelanjakan cabai dengan rata-rata
pengeluaran dalam sebulan Rp29 635/rumah tangga. Pengeluaran maksimum
untuk cabai adalah senilai Rp60 000/bulan. Cabai (Capsium sp) merupakan
komoditas sayuran yang memiliki peranan penting bagi pertanian di Indonesia.
Ada beberapa jenis cabai yang dibudidayakan di Jawa. Cabai dapat dibedakan
menurut bentuk buahnya, yaitu bentuk buah besar, keriting dan bentuk buah kecil.
Masyarakat Indonesia kebanyakan menggemari masakan yang berbumbu pedas.
Rumah tangga di Indonesia, dominan mengonsumsi tiga cabai yaitu cabai merah,
cabai rawit, dan cabai hijau. Cabai merah biasa digunakan dalam bentuk segar
maupun olahan. Cabai dalam bentuk segar dapat digunakan sebagai bumbu
masakan, sambal, maupun sebagai garnish atau penghias makanan. Cabai merah
banyak diminati pasar karena rasa pedasnya yang khas (Muharlis 2007).
Pengeluaran terendah rumah tangga adalah untuk membelanjakan garam.
Nilai uang yang dikeluarkan untuk membeli garam Rp784/rumah tangga/minggu
atau dalam sebulan rata-rata Rp3 137/rumah tangga/bulan. Hal ini dikarenakan
sebagai bumbu garam hanya ditambahkan sedikit ke dalam masakan. Selain itu,
harga garam terbilang relatif murah persatuan beratnya. Harga garam menurut
data BKP pada bulan Desember 2013 rata-rata senilai Rp4 613/kg dengan nilai
maksimum Rp10 000/kg dan minimum Rp1 650/kg. Rata-rata harga garam per
bulan periode Desember 2011 hingga Desember 2013, bulan September 2013
mencapai harga tertinggi dengan rata-rata harga Rp4 648/kg. Harga tertinggi
garam halus ada di Jayapura dengan harga Rp10 000/kg. Harga terendah ada di
Banten dengan harga Rp1 650/kg (Rusliana 2013). Penambahan garam pada
bumbu akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme tertentu,
karena garam dapat mempengaruhi besarnya aktivitas air dalam bahan pangan.
Kadar garam bumbu pada umumnya cukup rendah yaitu antara 1.00 - 2.60%.
diduga penambahan garam dalam bumbu tidak dimaksudkan untuk mengawetkan
bumbu dan mencegah kerusakan akibat mikroba, tetapi hanya sebagai
penambahan rasa pada bumbu (Rahayu 2000). Penelitian Anwar (2010), jenis
konsumsi makanan yang relatif kecil adalah pada kelompok konsumsi garam.
Sebagai barang inferior rata-rata keluarga miskin di Aceh Utara mengkonsumsi
garam Rp3 986.11 per keluarga per bulan.
Distribusi pengeluaran bumbu sebulan dalam rumah tangga dapat dilihat
pada Tabel 4. Pengeluaran bumbu rumah tangga tidak semuanya memiliki variasi
nilai yang beragam. Nilai yang dikeluarkan untuk membeli cabai dan bawang
merah lebih tinggi daripada bumbu lainnya. Sebesar 75% dari semua pengeluaran
cabai dan bawang merah, pengeluarannya akan kurang dari Rp12 000. Preferensi
akan bumbu cabai dan bawang merah pada masakan rumah tangga serta harga
yang lebih tinggi dibandingkan bumbu lainnya bisa menjadi penyebab
pengeluaran kedua bumbu tersebut lebih tinggi.

16

Tabel 4 Sebaran pengeluaran bumbu per kapita sebulan
Jenis bumbu
Gula

Garam

Kecap

Bumbu penyedap

Cabai

Bawang putih

Bawang merah

Persentil

Kategori bumbu (Rp/kapita/bulan)

P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75

2 800
4 376
7 875
444
700
967
1 000
2 000
4 150
1 000
2 000
3 750
5 000
8 571
12 000
2 715
6 000
10 000
5 000
7 500
12 000

Konsumsi Bumbu
Bumbu merupakan kompleks yang membangun rasa yang diaplikasikan ke
dalam makanan, berguna untuk merangsang nafsu makan, menambah rasa, dan
tekstur makanan serta menciptakan daya tarik secara visual pada makanan
(Raghavan 2006). Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan
herbal tidak berpengaruh apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap
makanan atau minuman. Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan
sebagai penyedap proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara
keseluruhan sangat kecil. Nilai nutrisi rempah dan herbal akan memberikan
sumbangan yang nyata apabila bahan tersebut dipersiapkan untuk produk selain
makanan, seperti jamu-jamuan dan produk ekstrak lainnya yang langsung
dikonsumsi (Carlsen et al. 2011).
Konsumsi pangan rumah tangga merupakan makanan dan minuman yang
tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, kelompok keluarga atau institusi.
Definisinya adalah total jumlah pangan tersedia di rumah tangga, umumnya tidak
termasuk yang dimakan di luar rumah kecuali yang dibawa dari rumah.
Pengukuran konsumsi rumah tangga tidak memperhatikan individu secara
spesifik. Perhitungan konsumsi per kapita dihitung dengan mengabaikan umur
dan jenis kelamin di rumah tangga (Gibson 2005).
Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula dibanding bumbu
lainnya yaitu rata-rata sebesar 129.54 g/rumah tangga/minggu. Seperti kita
ketahui, gula selain sebagai bumbu juga dapat digunakan dalam mengolah

17

makanan maupun minuman di dalam rumah tangga. Gula merupakan bumbu yang
paling banyak digunakan oleh rumah tangga selama seminggu, baik di pedesaan
maupun kota. Jumlah gula yang dikonsumsi penduduk pedesaan dan perkotaan
per kapita selama seminggu berturut-turut adalah 1.384 ons dan 1.166 ons (BPS
2013). Sementara itu, rumah tangga contoh paling sedikit menggunakan bumbu
penyedap yaitu sebesar 31.44 g/rumah tangga/minggu.
Tabel 5 Rata-rata konsumsi bumbu rumah tangga
Jenis bumbu
Gula
Garam
Kecap
Bumbu penyedap
Cabai
Bawang putih
Bawang merah

Konsumsi bumbu (g)
Rumah tangga
Kapita
Minggu
Hari
Minggu
Hari
129.54 ± 146.11 18.51 ± 20.87 25.23 ± 31.72 3.60 ± 4.53
109.93 ± 118.97 15.70 ± 16.99 21.03 ± 26.34 3.00 ± 3.76
82.42 ± 158.23
11.77 ± 22.60 16.87 ± 38.90 2.41 ± 5.55
31.44 ± 20.84
4.49 ± 2.97
6.21 ± 4.97
0.88 ± 0.71
115.33 ± 69.30
16.48 ± 9.90
22.21 ± 15.06 3.17 ± 2.15
82.09 ± 71.47
11.73 ± 10.21 16.21 ± 15.32 2.31 ± 2.18
98.09 ± 65.84
14.01 ± 9.41
19.57 ± 15.17 2.79 ± 2.17

Rumah tangga contoh paling banyak mengonsumsi gula dalam
kesehariannya yaitu sebesar 18.51 g/rumah tangga/hari atau dalam seminggu
rumah tangga rata-rata mengonsumsi gula sebesar 129.54 g. Gula selain untuk
bumbu masakan biasanya juga digunakan dalam pembuatan minuman seperti teh
atau kopi. Hal tersebut yang membuat konsumsi gula menjadi besar. Sementara
itu, rumah tangga paling sedikit mengonsumsi bumbu penyedap yaitu 4.49
g/rumah tangga/hari atau 31.44 g/rumah tangga/minggu. Rata-rata konsumsi
bumbu rumah tangga contoh dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam laporan Badan Ketahanan Pangan kenaikan harga tertinggi pangan
pokok terdapat pada komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan
bawang putih. Sementara harga komoditas yang mengalami penurunan adalah
gula (BKP 2013). Kenaikan harga tersebut kemungkinan yang menyebabkan
besar kecilnya konsumsi. Namun, tidak menutup kemungkinan preferensi dari
rumah tangga dalam membuat makanan di rumah yang mempengaruhi besar
kecilnya konsumsi bumbu.
Sama halnya dengan konsumsi rumah tangga, konsumsi gula adalah yang
tertinggi digunakan per kapita. Rata-rata konsumsi gula perkapita adalah sebesar
3.60 g/kapita/hari atau 25.23 g/kapita/minggu. Sementara konsumsi terkecil
adalah pada kelompok bumbu penyedap yaitu 0.88 g/kapita/hari atau 6.21
g/kapita/minggu.
Konsumsi gula dalam rumah tangga menempati urutan tertinggi dengan
rata-rata konsumsi 3.60 g/kap/hari. WHO (2015), merekomendasikan mengurangi
asupan gula sederhana selama hidup. Baik orang dewasa maupun anak-anak,
direkomendasikan asupan gula sederhana kurang dari 10% dari total asupan
energi. Dalam keadaan tertentu asupan gula sederhana perlu dikurangi di bawah
5% dari total asupan energi. Konsumsi tersebut setara dengan 50 g gula per orang
perhari.
Konsumsi bumbu penyedap atau vetsin paling sedikit digunakan oleh rumah
tangga. Konsumsi bumbu penyedap rata-rata adalah sebesar 0.88 g/kapita/hari.

18

Sabri et al. (2006), menyebutkan vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan
berwarna putih dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum)
dan gula molasses (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam
glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat.
Menurut Nofiawaty (2012), bahwa mayoritas pengguna produk vetsin
adalah wanita (74.20%), berusia 36 - 40 tahun (25.80%), pendidikan terakhir
Perguruan Tinggi (59.20%), profesi utama adalah ibu rumah tangga (31.70%),
status menikah (76.70%), merk bumbu penyedap yang digunakan Masako
(45.80%), produk lain yang digunakan Sasa (65.00%), alasan utama
menggunakan karena seringnya mengkonsumsi (41.70%) dan kualitasnya baik
(44.20%).
Tabel 6 Sebaran konsumsi bumbu per kapita sehari
Jenis bumbu
Gula

Garam

Kecap

Bumbu penyedap

Cabai

Bawang putih

Bawang merah

Persentil
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75
P25
P50
P75

Satuan
g/kap/hari
mg/kap/hari
mg/kap/hari
mg/kap/hari
g/kap/hari
g/kap/hari
g/kap/hari

Jumlah
0.81
2.17
5.27
1 450.00
2 310.00
3 530.00
700.00
1 610.00
2 620.00
370.00
710.00
1 210.00
1.68
2.84
4.07
0.65
1.62
3.08
1.15
2.31
3.46

Batas
Maksimal
50 g

2000 mg
(natrium)

-

-

-

Tabel 6 menunjukkan sebaran konsumsi bumbu rumah tangga contoh.
Terlihat bahwa konsumsi bumbu rumah tangga memiliki variasi. Pola konsumsi
`pangan penduduk Indonesia mengalami perubahan tiap tahunnya. Perubahan pola
konsumsi pangan penduduk dapat terjadi salah satunya karena peran dari
kelompok bumbu-bumbuan. Masakan khas di setiap daerah di Indonesia
membutuhkan berbagai jenis bumbu-bumbuan, sehingga konsumsi bumbubumbuan penduduk menjadi tinggi. Dapat dikatakan penduduk Indonesia tidak
lepas dari ketergantungan terhadap bumbu-bumbuan (Primarta 2014).
Menurut Permenkes Nomor 30 tahun 2013, gula adalah jumlah seluruh
monosakarida dan disakarida (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa) yang terdapat
pada pangan. Informasi produk pangan olahan yang mengandung gula, garam,

19

dan/atau lemak untuk diperdagangkan wajib memuat informasi kandungan gula,
garam, dan lemak, serta pesan kesehatan pada label pangan. Pesan kesehatan yang
dimaksud yaitu “Konsumsi gula lebih dari 50 g, natrium lebih dari 2 000 mg, atau
lemak total lebih dari 67 g per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes,
dan serangan jantung.”
Tabel 7 Konsumsi gula rumah tangga (g/kapita/hari)
Gula (dalam rumah) Makanan jajanan Total konsumsi gula
Rata-rata±SD
Min
Maks
Persentil 25
Persentil 50
Persentil 75

3.60±4.53
0.00
29.10
0.81
2.17
5.27

0.57±1.77
0.00
14.66
0.00
0.00
0.28

4.18±4.96
0.00
29.10
0.94
2.65
5.83

Konsumsi gula rumah tangga masih dalam batas anjuran yaitu kurang dari
50 g/kapita/hari. Pada tabel 7 terlihat bahwa konsumsi gula lebih besar
disumbangkan oleh konsumsi gula dalam rumah dibandingkan gula dari makanan
jajanan. Konsumsi gula rumah tangga contoh lebih rendah dibandingkan dengan
konsumsi gula penduduk Indonesia di desa pada tahun 2009 yaitu sebesar 22.8
g/kapita/hari (Hardinsyah 2011). Menurut Hidayati (2015), s