ANALISIS PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI KOTA SURAKARTA (STUDI KASUS KECAMATAN BANJARSARI)

ANALISIS PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI KOTA SURAKARTA

(STUDI KASUS KECAMATAN BANJARSARI)

SKRIPSI Dimaksudkan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai

Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas

Maret Surakarta

oleh : PHILIPHUS ADHI ATMA

F 0107074

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

ABSTRAK

ANALISIS PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI KOTA

SURAKARTA

(STUDI KASUS KECAMATAN BANJARSARI)

Philiphus Adhi Atma F 0107074

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh pendapatan, jumlah anggota dan juga jumlah waktu kerja terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner. Adapun data-data tersebut diperoleh dengan melakukan observasi terhadap 96 rumah tangga penerima PKMS (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta) yang menjadi sampel dalam penelitian ini.. Untuk membuktikan hipotesis penelitian digunakan model regresi linier berganda.

Hasil estimasi menemukan bahwa variabel bebas pendapatan dan jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan dan positif untuk kedua model (model pengeluaran konsumsi bahan makanan dan pengeluaran konsumsi bukan bahan makanan), hal ini ditunjukan dengan hasil dari estimasi model regresi yang meperlihatkan tingkat siginifikansi sebesar 0,000 dibawah toleransi 0,05 untuk kedua variabel tersebut. Untuk variabel jumlah waktu kerja menunjukkan hasil positif tetapi tidak signifikan. Variasi kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar 85,1 persen dan pengeluaran konsumsi bukan bahan makanan sebesar 53,1 persen. Spesifikasi model sudah sangat baik dengan terbebasnya mdel dari pelanggaran asumsi klasik autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diajukan beberapa saran antara lain: (1) Pemerintah kota melakukan identifikasi terhadap kemiskinan yang ada dan memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi pendidikan dan kemampuan dari keluarga miskin, meningkatkan budaya berwirausaha dengan pemberian modal kerja bagi sektor- sektor produktif. (2) Memeratakan program bantuan bagi masyarakat miskin utnuk menekan pengeluaran konsumsi. (3) Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal agar lebih tepat sasaran

Kata Kunci: Konsumsi, Sosial-Ekonomi, Rumah Tangga Miskin

MOTTO

“ Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan

kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia...” (Roma 8 : 28)

’’Saya tidak berusaha mencari papan lompat setinggi 7 kaki. Tapi saya mencari papan lompat

setinggi 1 kaki yang bisa saya lompati’’ (Warren Buffet) ’’Pengetahuan membuat orang bicara, kebijaksanaan membuat orang mendengarkan’’ (Jimmi Hendrix)

“CERDIK SEPERTI ULAR TULUS SEPERTI MERPATI “ (Penulis)

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada:

© Bapak dan Ibuku © Mas Aji © Adekku Alvira © Arinda Weddinia © Saudara-saudaraku dan Sahabat-sahabatku

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Segala puji bagi Yesus Kristus, yang dengan kasih-Nya, hal-hal yang baik dapat terlaksana, yang memberikan penyertaan kepada kita semua. Puji Tuhan dengan ijin dan pertolongan-Nya skripsi dengan judul “Analisis Pengeluaran Konsumsi pada Rumah Tangga Miskin di Kota Surakarta (Studi Kasus Kecamatan Banjarsari)” dapat penulis selesaikan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Wahyu Agung Setyo, M.Si , selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Wisnu Untoro, MS., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS.

3. Drs. Supriyono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan. 4. Dra. Izza Mafruhah, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh staff dan karyawan yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan pelayanan kepada penulis.

6. Keluarga yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis.

7. Arinda Weddinia yang sudah mendukung, mendoakan dan juga membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini. Mas Bandoro yang sudah membantu dalam proses olah data.

8. Teman-teman di Ekonomi Pembangunan (Andreas Tattuk Bramantya, Rurit Prasetianto, Fitriana, Benedictus Satrio, Fuadi Muslim, Rizky Saputra,).

9. Teman-teman PRPA yang telah mendukung dalam doa dan juga teman-teman Komisi Pemuda GKJ Margoyudan Surakarta atas doa, dukungan dan juga pengertiannya.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini.

Demikian skripsi ini penulis susun dan tentunya masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Semoga karya ini dapat bermafaat bagi seluruh pihak yang membaca dan terkait dengan skripsi ini.

Surakarta, November 2011

Philiphus Adhi Atma

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas

Dasar Harga Konstan Kota Surakarta tahun 2010 (Jutaan Rupiah)..............5 1.2 Jumlah Keluarga Miskin per Kecamatan..................................................….7 2.1 Kriteria Rumah Tangga Miskin menurut BPS............................................29 4.1 Jumlah Rumah Tangga dan Luas Wilyah di tiap Kelurahan di Kecamatan

Banjarsari...................................................................................................53 4.2 Aktivitas Ekonomi Penduduk di Kecamatan Banjarsari ...........................54 4.3 Jumlah Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I

di Kecamatan Banjarsari.............................................................................55 4.4 Pendapatan Rumah Tangga (Rupiah Per Bulan)........................................61 4.5 Kondisi Rumah Tempat Tinggal Keluarga.................................................65 4.6 Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan Keluarga Miskin.............................68

4.7 Rata-rata Konsumsi Bukan Bahan Makanan Keluarga Miskin.................69 4.8 Hasil Estimasi Model Konsumsi Bahan Makanan.....................................70 4.9 Hasil Estimasi Model Konsumsi Bukan Bahan Makanan.........................71

4.10 Uji Goodness of Fit Model Konsumsi Makanan dan Bukan Bahan Makanan........................................................................................73

4.11 Hasil Uji Multikolinieritas Model Konsumsi Bahan

Makanan dan Model Konsumsi Bukan Bahan makanan..........................78 4.12 Hasil Uji Autokorelasi..............................................................................81

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman 2.1 Fungsi Konsumsi Masyarakat Duesenberry..................................................15 2.2 Fungsi Konsumsi Keynes…………………………………........…………..18 2.3 Kurva Indeferens……………………………….…………….....…...…......21 2.4 Kerangka Penelitian.......................................................................................38 3.1 Daerah Kritis Uji F ………………………………………...……................47 3.2 Daerah Kritis Uji t..........................................................................................48 4.1 Grafik Scatterplot model Pengeluaran Konsumsi Bahan Makanan...............79 4.2 Grafik Scatterplot model Pengeluaran Konsumsi Bukan Bahan Makanan....80

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK Halaman

4.1 Tingkat Pendidikan Responden......................................................................58 4.2 Profil Pekerjaan Utama Keluarga Miskin Kecamatan Banjarsari..................60

4.3 Jumlah Anak Usia Sekolah...........................................................................63 4.4 Jumlah Tanggungan Keluarga.......................................................................64

ANALISIS PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI KOTA SURAKARTA (STUDI KASUS KECAMATAN BANJARSARI)

Philiphus Adhi Atma

F 0107074

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh pendapatan, jumlah anggota dan juga jumlah waktu kerja terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner. Adapun data-data tersebut diperoleh dengan melakukan observasi terhadap 96 rumah tangga penerima PKMS (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta) yang menjadi sampel dalam penelitian ini.. Untuk membuktikan hipotesis penelitian digunakan model regresi linier berganda.

Hasil estimasi menemukan bahwa variabel bebas pendapatan dan jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan dan positif untuk kedua model (model pengeluaran konsumsi bahan makanan dan pengeluaran konsumsi bukan bahan makanan), hal ini ditunjukan dengan hasil dari estimasi model regresi yang meperlihatkan tingkat siginifikansi sebesar 0,000 dibawah toleransi 0,05 untuk kedua variabel tersebut. Untuk variabel jumlah waktu kerja menunjukkan hasil positif tetapi tidak signifikan. Variasi kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar 85,1 persen dan pengeluaran konsumsi bukan bahan makanan sebesar 53,1persen. Spesifikasi model sudah sangat baik dengan terbebasnya mdel dari pelanggaran asumsi klasik autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diajukan beberapa saran antara lain: (1) Pemerintah kota melakukan identifikasi terhadap kemiskinan yang ada dan memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi pendidikan dan kemampuan dari keluarga miskin, meningkatkan budaya berwirausaha dengan pemberian modal kerja bagi sektor-sektor produktif. (2) Memeratakan program bantuan bagi masyarakat miskin utnuk menekan pengeluaran konsumsi. (3) Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan melibatkan kelembagaan lokal agar lebih tepat sasaran Kata Kunci: Konsumsi, Sosial-Ekonomi, Rumah Tangga Miskin

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan bukan saja milik masyarakat pedesaan. Masyarakat yang tinggal

di wilayah perkotaan pun tidak luput dari masalah kemiskinan. Pertumbuhan yang cepat di daerah-daerah perkotaan dihadapkan pada sebuah tantangan baru, yaitu penyebaran dan peningkatan kemiskinan didaerah perkotaan (urban). Kota merupakan simbol kemajuan peradaban, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pusat kota telah menjadi sebuah ”magnet” yang menarik orang untuk menggabungkan beragam kreativitas, menciptakan bentuk-bentuk baru dalam interaksi sosial maupun perkumpulan kolektif (Beall, 2000). Kota telah menjadi begitu menarik, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun juga karena adanya arus urbanisasi yang semakin tinggi. Pertumbuhan hidup yang pesat dan persaingan utnuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat perkotaan semakin terlihat jelas dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat pedesaan (Maxwell et al. 2000).

Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah satu tema utama pembangunan.

tingkat kemiskinan (Suryahadi dan Sumarto, 2001).

Konsumsi keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang dikonsumsi itulah keluarga memiliki kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Makin besar pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut (Rahma, 2008).

Kebutuhan hidup manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, akan tetapi juga menyangkut kebutuhan yang lainnya seperti kebutuhan pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya sejalan dengan peningkatan pendapatan. Disatu pihak keluarga dengan pendapatan yang lebih dari cukup cenderung mengkonsumsi secara berlebihan, sedangkan dipihak yang lain masih banyak keluarga dengan pendapatan yang rendah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (Sumarwan,1993)

Sementara itu, tingkat dan struktur konsumsi rumah tangga juga mengalami perubahan dari waktu atau antar daerah satu dengan daerah lainnya, selera, pendapatan, dan lingkungan. Dan harus tersedia setiap saat dan bagaiman cara mendistribusikannya, agar tidak terguncang untuk memenuhi kebutuhan dibawah tingkat kesejahteraan. Pada dasarnya akses kebutuhan individu terhadap bahan pangan yang dibutuhkan tergantung dari daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, dan kelembagaan tingkat lokal maupun kondisi sosial lainnya.

pangan dan kebutuhan non pangan, dimana keduanya berbeda. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, lebih dahulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan. Sehingga dapat dilihat pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sebagian pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun demikian seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk makanan akan menurun dan meningkatnya proporsi untuk kebutuhan non makanan.

Kita juga mengetahui bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga selalu menduduki tingkat utama dalam pengeluaran Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sekitar 60 % dari PDB tiap tahunnya dan kita menganggap konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan siap pakai (dissposible income) namun sebetulnya konsumsi merupakan fungsi dari beberapa variabel yang lain (Suparmoko, 1991).

Konsep konsumsi yang merupakan konsep diIndonesiakan dari bahasa Inggris Consumption , berarti pembelanjaan yang dilakukan untuk rumah tangga keatas barang- barang akhir dan jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian dan barang-barang kebutuhan mereka yang lainnya digolongkan atas pembelanjaan atau pengeluaran konsumsi. Barang-barang yang diproduksi khusus digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Sukirno, 2000).

Konsumsi adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran Konsumsi merupakan

utama perlu dipusatkan pada analisis faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi. Khusus untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga ada beberapa faktor yang menentukan, diantara faktor-faktor tersebut yang paling penting adalah tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan suatu rumah tangga atau masyarakat keseluruhan maka semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Hubungan antara konsumsi dengan pendapatan ini disebut hasrat konsumsi atau Propensity to Consume.Sedangkan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli semua kebutuhannya berupa barang, baik barang habis pakai maupun barang tahan lama dan jasa disebut pengeluaran konsumsi (Sayuti, 1989).

LAPANGAN USAHA

INDUSTRI PENGOLAHAN

1,200,606.83

1,235,952.77 1.277.210,09

LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH

PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN

1,211,208.49

1,288,066.95 1.367.808,36

PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI

449,973.94

484,827.89 514.407,73

KEUANGAN, PERSEWAAN & JS PERUSAHAAN

449,992.44

481,987.12 518.980,77

JASA-JASA / SERVICES

546,699.38

585,264.16 629.616,47

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

4,549,342.95

4,817,877.63 5.103.886,24

Sumber : Surakarta dalam Angka 2010

Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Sejalan dengan kondisi ekonomi nasional, kinerja ekonomi Kota Surakarta padatahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebesar

5.90 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2008 sebesar 5.69 persen. Pertumbuhan ekonomi Surakarta pada tahun 2009 secara agregat cukup dinamis. Sejak terjadinya krisis pada tahun 1997 dan tahun 1998, pertumbuhan ekonomi saat itu menurun drastis sekitar minus 13.93 persen. Namun demikian pada periode 2001 sampai 2009, perekonomian Surakarta menunjukan adanya perbaikan yaitu tumbuh berkisar 4 - 6 persen. Berdasarkan PDRB Kota Surakarta pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku sebesar 8.880.691,24 juta rupiah dan atas dasar harga konstan sebesar 4.817.877,63 juta rupiah, sehingga pada tahun 2008 besaran PDRB Surakarta atas dasar harga berlaku

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas

Dasar Harga Konstan Kota Surakarta tahun 2010 (Jutaan Rupiah)

menjadi 1,61 kali. Pendapatan perkapita dapat dijadikan salah satu indikator guna melihat keberhasilan pembangunan perekonomian disuatu wilayah. Perkembangan pendapatan perkapita di Kota Surakarta atas dasar harga berlaku,menunjukan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 pendapatan perkapita masih mencapai angka sebesar 5.336.870,05 rupiah, tahun 2009 sudah menjadi 14.665.886,47 rupiah atau naik sebesar 10,93 persen dari tahun 2008. Dengan adanya peningkatan dalam pendapatan per kapita masyarakat tentunya pasti akan berdampak pada sektor riel dan mempengaruhi juga perubahan dalam pola konsumsi masyarakat lokal daerah tersebut.

Selain tingkat pendapatan atau gaji/upah rata-rata yang diterima rumah tangga ada variabel lain yang juga berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi, salah satu variabel tersebut adalah jumlah anggota rumah tangga dalam satu rumah.. Semakin besar jumlah anggota rumah tangga tanpa diikuti dengan peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi per kapita akan semakin kecil sehingga peluang miskin menjadi semakin besar. Jumlah anggota rumah tangga yang besar pada rumah tangga miskin disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi. Angka kematian bayi di kalangan rumah tangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumah tangga (Rodriguez Garcia, 2002).

Kecamatan

Jumlah Total Rumah Tangga

Pra KS Ekonomi &

non ekonomi

KS I Ekonomi & non ekonomi

Jumlah Rumah

Tangga Miskin

Pasar Kliwon

11.073 Sumber : Surakarta dalam Angka 2010

Dalam tabel diatas dapat dilihat bahwa dari lima kecamatan yang ada di Kota Surakarta yang paling banyak mempunyai jumlah keluarga miskin adalah di Kecamatan Banjarasari. Jumlah keluarga miskin suatu daerah dapat dilihat dari data jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I, seperti tampak pada tabel 1.2 jumlah keluarga miskin di kecamatan ini sebanyak 11.073 (3.477 Pra-KS + 7626 KS1).

Suatu hal yang sulit dalam menentukan kriteria miskin pada masyarakat Indonesia pada umumnya sebagaimana juga terjadi di Kota Surakarta. Dalam hal- hal tertentu masyarakat akan terusik jika bila dimasukkan dalam kategori miskin, sementara disaat yang lain justru banyak masyarakat yang masuk dalam kategori Suatu hal yang sulit dalam menentukan kriteria miskin pada masyarakat Indonesia pada umumnya sebagaimana juga terjadi di Kota Surakarta. Dalam hal- hal tertentu masyarakat akan terusik jika bila dimasukkan dalam kategori miskin, sementara disaat yang lain justru banyak masyarakat yang masuk dalam kategori

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menganalisa pengaruh pendapatan, jumlah anggota rumah tangga dan juga jumlah waktu kerja terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin, Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Kota Surakarta sebagai tempat penelitian dan Kecamatan Banjarsari sebagai studi kasus dalam penelitian dengan dasar bahwa daerah tersebut paling banyak terdapat jumlah keluarga miskin, oleh karena itu penulis mengambil judul: “ANALISIS PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA

MISKIN DI KOTA SURAKARTA (STUDI KASUS KECAMATAN BANJARSARI)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari?

2. Bagaimana pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari? 2. Bagaimana pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

tingkat kemiskinan pada rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari.

2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah waktu kerja terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Banjarsari

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait khususnya pemerintah dalam menentukan langkah-langkah dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam penanggulangan kemiskinan di Kota Surakarta.

menambah informasi dan wawasan bagi para pembaca yang tertarik dengan permasalahan kemiskinan.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan referensi atau bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1 . Teori Konsumsi

Samuelson (1991) menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk menjelaskan dasar-dasar perilaku konsumen. Pendalaman tentang hukum permintaan dan kecenderungan orang untuk membeli banyak barang saat harga barang tersebut rendah dan begitu juga sebaliknya. Dasar pemikirannya tentang perilaku konsumen bahwa orang cenderung untuk memilih barang dan jasa yang nilai kegunaannya paling tinggi.

Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).

Nurhadi (2002:22) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan tingkat kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah Nurhadi (2002:22) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan tingkat kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah

Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual. Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi marginal atau MPC (marginal propensity to consume ) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau APC (average propensity to consume) , turun ketika pendapatan naik. Keynes percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan merupakan Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual. Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi marginal atau MPC (marginal propensity to consume ) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau APC (average propensity to consume) , turun ketika pendapatan naik. Keynes percaya bahwa tabungan adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan merupakan

Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu variabel makro ekonomi. Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pengeluaran- pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan. Menurut Rahardja (2001), pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi masyarakat atau rumah tangga (household consumption).

James Duesenberry dalam bukunya Income, Saving and The Theory of Consumer Behavior mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan bertambah, tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dicapai, tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi, James Duesenberry dalam bukunya Income, Saving and The Theory of Consumer Behavior mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan bertambah, tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dicapai, tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi,

a). Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang sekitarnya.

b). Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan (Guritno, 1998).

Bentuk fungsi konsumsi masyarakat menurut Duesenberry adalah sebagai berikut:

C / Yt = f [ Y / Y* ] ……………………………………..............(2.1)

Di mana:

Yt = pendapatan pada tahun t

Y* = pendapatan tertinggi yang pernah dicapai pada masa lalu

Bentuk fungsi konsumsi masyarakat menurut Duesenberry tersebut dapat dijelaskan dengan kurva seperti pada Gambar 2.1

CL menunjukkan besarnya pengeluaran konsumsi jangka panjang. Apabila pendapatan sebesar OYo, maka besarnya pengeluaran konsumsi yang terjadi adalah BYo, apabila pendapatan mengalami penurunan dari OY0 menjadi OY1, maka pengeluaran konsumsi tidak langsung turun ke titik E pada kurva pengeluaran jangka panjang (C) namun ke titik A pada kurva pengeluaran konsumsi jangka pendek C1. Dalam hal ini pada saat terjadinya penurunan pendapatan, pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak turun drastis melainkan bergerak turun secara perlahan.

Dari pengamatan yang dilakukan Duesenberry mengenai pendapatan relatif secara memungkinkan terjadi suatu kondisi yang demikian, apabila seseorang pendapatannya mengalami kenaikan maka dalam jangka pendek tidak akan langsung menaikkan pengeluaran konsumsi secara proporsional dengan kenaikan pendapatan, akan tetapi kenaikan pengeluaran konsumsinya lambat karena seseorang lebih memilih untuk menambah

Gambar 2.1 Fungsi Konsumsi Masyarakat Duesenberry

consumption ).

Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak yang ditabung (Mankiw, 2003:51).

2. Fungsi Konsumsi

Dornbusch dan Fisher (1994:235) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang erat dalam praktek antara pengeluaran konsumsi dengan pendapatan disposibel. Lebih lanjut Dornbusch melihat bahwa individu merencanakan konsumsi dan tabungan mereka untuk jangka panjang dengan tujuan untuk mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin selama hidup mereka. Lebih lanjut Dumairy (1996) menyebutkan jika konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan.

Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi model konsumsi. Fungsi ekonomi yang paling dikenal dan sangat lazim ditemukan adalah fungsi ekonomi Keynesian :

C = ƒ (Y)......................................................................(2.2)

atau

C = C (Y - T)...............................................................(2.3) C = C (Y - T)...............................................................(2.3)

C= c 0 + c 1 Y,

c 0 >0,0< c < 1.......................(2.4)

John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. Secara lebih spesifik, Keynes memasukkan komponen MPC ke dalam persamaan konsumsinya yang secara matematis ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):

C = a + bY, a > 0, 0 < b < 1 .......................................(2.5)

Keterangan:

C = Pengeluaran untuk konsumsi

a = Besarnya konsumsi pada tingkat pendapatan nol

b = Besarnya tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan atau MPC

Y = Pendapatan untuk rumah tangga individu

Pada Gambar fungsi konsumsi Keynes tidak melalui titik 0 tetapi melalui titik C 0 . Konsekuensinya adalah apabila pendapatan nasional meningkat akan memberikan dampak penurunan terhadap APC. Jika hal ini terjadi maka dalam fungsi konsumsi Keynes akan terlihat pertama, peningkatan pendapatan masih diikuti oleh peningkatan konsumsi, kedua,

pada saat garis konsumsi C memotong garis 0 Y maka peningkatan pendapatan akan diiringi penurunan APC.

Milton Friedman dengan teori pendapatan permanennya mengemukakan bahwa orang menyesuaikan perilaku konsumsi mereka dengan kesempatan konsumsi permanen atau jangka panjang, dan bukan dengan tingkat pendapatan mereka yang sekarang (Dornbusch and Fisher, 2004). Dalam bentuk yang paling sederhana, hipotesis pendapatan

Gambar 2.2 Fungsi Konsumsi Keynes

proporsional terhadap pendapatan permanen, yaitu:

C = cYP .............................................................................(2.6)

di mana YP merupakan pendapatan permanen. Dari persamaan (2.6), konsumsi bervariasi menurut proporsi yang sama dengan pendapatan permanen. Kenaikan 5% dalam pendapatan permanen akan menaikkan konsumsi sebesar 5%. Lebih jauh hipotesis Friedman menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini tidak tergantung pada pendapatan saat ini tetapi pada expected normal income (rata-rata pendapatan normal). Bentuk lain fungsi konsumsinya adalah:

C = f (YP,i)........................................................................(2.7)

di mana YP adalah permanent income dan i adalah real interest rate.

Konsumsi adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu: pada periode pertama, tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:

S=Y 1 –C 1 ..................................................................... (2.8)

dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk

di mana r adalah tingkat bunga riil, variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumsi pada periode pertama kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama, konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran konsumen, maka kombinasi persamaan (2.8) dan persamaan (2.9) menghasilkan persamaan:

C 2 = (1 + r) (Y 1 –C 1 )+Y 2 .................................................(2.10)

persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan dalam dua periode. Prefensi konsumen yang terkait dengan konsumsi dalam dua periode dapat ditampilkan dalam kurva indiferens. Kurva ini menunjukan kombinasi dari konsumsi periode pertama dan kedua yang membuat konsumen tetap senang.

Gambar tersebut menunjukkan dua dari banyak kurva indeferen. Kurva indeferen yang lebih tinggi seperti IC 2 lebih disukai daripada kurva indeferen yang lebih rendah IC 1 . Konsumen tetap senang mengkonsumsi pada titik Y, X, dan W tetapi lebih menyukai titik Z (Mankiw 2003:431).

Berbagai teori modern tentang

konsumsi lebih jauh mengkombinasikan pembentukan ekspektasi melalui pendekatan pendapatan permanen dan pendekatan daur hidup yang menggunakan variabel kekayaan dan demografis (Dornbusch and Fisher, 2004). Suatu

Gambar 2.3 Kurva Indeferens

Konsumsi Periode Pertama

C 1 Konsumsi Periode

Pertama

IC 1

IC 2

di mana WR adalah kekayaan riil, YD adalah pendapatan disposable tahun ini, YD- 1 adalah pendapatan disposable tahun lalu. Persamaan (2.9) memperlihatkan peranan kekayaan yang mempunyai pengaruh penting terhadap pengeluaran konsumsi.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Begitu pentingnya bahasan tentang konsumsi sehingga banyak ahli lainnya yang turut membahas tentang determinan konsumsi. Misalnya, Spencer (1977), menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah pendapatan disposable yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga, usia anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan di masa yang akan datang.

Menurut Samuelson (1999) bahwa faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposable sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor permanen lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi di masa yang akan datang.

Parkin (1993) sependapat dengan teori ahli-ahli lainnya bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua, yaitu: pendapatan disposable dan Parkin (1993) sependapat dengan teori ahli-ahli lainnya bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua, yaitu: pendapatan disposable dan

Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan Hukum Engel (Engel’s Law).

Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposable yang berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan, dengan naiknya tingkat pendapatan maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan rekreasi semakin bertambah.

Kadariah (1996:21) menambahkan bahwa pada umunya golongan yang berpendapatan rendah mengeluarkan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan hidup yang mutlak seperti; pangan, perumahan, dan sandang. Makin tinggi pendapatan seseorang, makin kecil pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan pokok.

a. Konsep dan Pengertian

Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial yang lain (Soetomo:1995:117).

Bank dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standart of living of part of society the poor in equality refers to relative living standarts across the whole society . Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa kemiskinan adalah terkait dengan batas absolut standart hidup sebagian masyarakat miskin. Dengan demikian pengertiannya, maka apabila berbicara tentang kemiskinan akan menyangkut standart hidup relatif dari masyarakat. Jika demikian halnya, kemiskinan dapat diukur melalui perbandingan antara tingkat pendapatan Bank dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standart of living of part of society the poor in equality refers to relative living standarts across the whole society . Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa kemiskinan adalah terkait dengan batas absolut standart hidup sebagian masyarakat miskin. Dengan demikian pengertiannya, maka apabila berbicara tentang kemiskinan akan menyangkut standart hidup relatif dari masyarakat. Jika demikian halnya, kemiskinan dapat diukur melalui perbandingan antara tingkat pendapatan

Menurut Sajogyo dalam Prayitno (1998) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkatan kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimal yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasar atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sementara itu, menurut Emil Salim dalam Cahyono (1993) kemiskinan merupakan keadaan penduduk yang meliputi hal-hal yang tidak memiliki mutu tenaga kerja tinggi, jumlah modal yang memadai, luas tanah dan sumber alam yang cukup, keaslian dan ketrampilan yang tinggi, kondisi fisik dan rohaniah yang baik, dan rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan.

Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah untuk mengukurnya. Secara umum ada dua macam ukuran kemiskinan yang biasa digunakan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Arsyad, 1997):

1). Kemiskinan Absolut. Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Bila pendapatan tidak mencapai kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan 1). Kemiskinan Absolut. Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Bila pendapatan tidak mencapai kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan

2). Kemiskinan Relatif. Seseorang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, walaupun pendapatannya sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal sebagai ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin besar ketimpangan antara golongan atas dan golongan bawah, maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dikategorikan miskin. Konsep kemiskinan ini relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada.

Dalam beberapa literatur lain, beberapa ahli menjelaskan beberapa penyebab kemiskinan. Menurut Kartasasmita (1999) kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu: Dalam beberapa literatur lain, beberapa ahli menjelaskan beberapa penyebab kemiskinan. Menurut Kartasasmita (1999) kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu:

2). Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa.

3). Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan tersebut.

4). Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.

Selain definisi dan penyebab kemiskinan, menurut Sumodiningrat (1999) terdapat beberapa pola kemiskinan antara lain yaitu:

1). Presistent Poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun- temurun. Daerah yang mengalami kemiskinan ini pada umumnya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi.

2). Cyclical Poverty, yaitu pola kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan.

dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan.

4). Accidental Poverty, yaitu kemiskinan karena terjadi bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

5. Rumah Tangga Miskin

a. Pengertian

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan standar yang dikeluarkan oleh para pakar dan lembaga mengenai batas garis kemiskinan.

Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria dalam Nawawi (1997), adalah berdasarkan konsumsi sembilan bahan pokok yang dihitung berdasarkan harga setempat. Standar kebutuhan minimum perorang per bulan : 100 kg beras, 60 liter minyak tanah, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 4 meter tekstil kasar, 6 kg minyak goreng, 2 meter batik kasar dan 4 kg garam.

Sumber : Badan Pusat Statistik 2010

BKKBN mengambil keluarga batih sebagai unit pengertian, namun tidak menggunakan konsep kemiskinan, melainkan konsep kesejahteraan. Konsep kesejahteraan di sini jelas terkait dengan taraf hidup

No. Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m² per orang

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal Tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

4. Fasilitas tempat buang air besar Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah

Bukan listrik

6. Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari Kayu bakar/arang/minyak tanah

8. Konsumsi daging / susu/ ayam per minggu

Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali perminggu

9. Pembelian pakaian baru untuk setiap ART dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10. Makanan dalam sehari untuk tiap ART Hanya satu kali makan/dua kali makan

dalam sehari

11. Kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat

12. Lapangan Pekerjaan utama kepala rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan Rp 600,000 per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD

14. Pemilikan asset/tabungan Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500,000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

BKKBN, klasifikasi keluarga terdiri dari :

1). Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin). Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi:

a). Indikator Ekonomi; Makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.

b). Indikator Non-Ekonomi; Melaksanakan ibadah, bila anak sakit

dibawa ke sarana kesehatan. 2). Keluarga Sejahtera I (Miskin) Adalah keluarga yang karena alasan

ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi:

a). Indikator Ekonomi; Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.

b). Indikator Non-Ekonomi; Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang.

memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi; Memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah.

4). Keluarga Sejahtera III