Analisis Determinan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Masyarakat Miskin

(1)

ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI

RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN

DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

OLEH

KHAIRIL ANWAR

057018014/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI

RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN

DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

KHAIRIL ANWAR

057018014/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH TANGGA MASYARAKAT MISKIN DI

KABUPATEN ACEH UTARA Nama Mahasiswa : KHAIRIL ANWAR

Nomor Pokok : 057018014

Program Studi : EKONOMI PEMBANGUNAN

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(DR. Murni Daulay, M.Si) (Kasyful Mahalli, SE, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(DR. Murni Daulay, M.Si) (Prof. DR. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal...

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua Sidang : DR. Murni Daulay, M.Si Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. DR. Sya’ad Afifuddin, M.Ec 3. DR. Ramli, MS


(5)

PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan rahmat, kasih sayang, dan hidayahnya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tesis ini. Selawat serta salam kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam, yang telah membawa cahaya penerangan dan ilmu pengetahuan ke dunia ini.

Tesis ini mengangkat tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara di tinjau dari segi pengeluaran konsumsi, tema kemiskinan yang diangkat disebabkan adanya fenomena yang menarik terkandung di dalamnya berbagai permasalahan yang sangat komplek. Bahkan sampai saat ini belum ada satu metode yang mampu memecahkan masalah kemiskinan sampai kepada akar permasalahannya. Salah satu kelebihan yang terdapat dalam penelitian ini adalah dengan tergambarnya perbedaan konsumsi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan dengan konsumsi masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan. Perbedaan ini sekaligus dapat menunjukkan pola konsumsi dan kadar kemiskinan antara desa dengan kota di Kabupaten Aceh Utara.

Dalam proses penelitian tesis ini, penulis banyak mendapatkan arahan, bimbingan, bantuan, maupun kritikan kontruktif, oleh karenanya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua pembimbing; DR. Murni Daulay, M.Si selaku pembimbing pertama sekaligus ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan, Kasyful Mahalli, SE, M.Si selaku pembimbing kedua. Terima kasih juga turut penulis sampaikan kepada Tim Penguji; DR. Ramli, MS; DR. Sya’ad Afifuddin, M.Ec; dan DR.


(6)

Irsyad Lubis, M.Soc, Sc yang telah memberikan banyak masukan dan saran-saran dalam rangka penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih kepada Drs. A. Hadi Arifin, M.Si selaku Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) yang telah memberikan izin tugas belajar kepada penulis, juga kepada Faisal Matriadi, SE, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi Unimal yang telah memberikan bantuan moril dan spirit kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (SPs-USU).

Terima kasih kepada para sahabat, baik yang kuliah di Magister Ekonomi Pembangunan SPs-USU, maupun rekan-rekan kerja khususnya di Fakultas Ekonomi Unimal, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Kepada seluruh keluarga besar (Almarhum) Ayahanda Tgk. Umar bin Abubakar dan (Almarhumah) Ibunda Fatimah binti Muhammad. Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta Riza Izwarni dan ananda tersayang Muhammad Pavel Askari yang dengan sabar telah mendampingi penulis dalam suka maupun duka.

Penulis menyadari tesis ini masih mengandung banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun tata cara penulisannya, karena penulis mengharapkan kritik dan saran kontruktif demi kesempurnaan dimasa akan datang. Kiranya penulis mengharapkan penelitian tesis ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya.

Medan, Juni 2007


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

ABSTRAK... xi

ABSTRACT... xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis... 10

2.1.1 Teori Konsumsi... 10

2.1.2 Fungsi Konsumsi ... 12

2.1.3 Determinan Konsumsi ... 17

2.1.4 Pendapatan ... 21

2.1.5 Kemiskinan ... 25

2.1.6 Indikator Kemiskinan ... 28

2.2 Penelitian Terdahulu ... 34

2.3 Kerangka Konseptual... 40

2.4 Hipotesis ... 42

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 44

3.2 Jenis dan Sumber Data... 44

3.3 Metode Penetapan Sampel... 44

3.4 Model Analisis... 47

3.5 Definisi Operasional ... 49

3.6 Uji Kesesuaian (Goodness of Fit) ... 51

3.6.1 Uji Statisti t... 52

3.6.2 Uji Statistik F... 53


(8)

3.7.1 Uji Multikolinearitas... 54

4.7.2 Uji Heterokedastisitas ... 55

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Desa Objek... 57

4.1.1 Cluster Pesisir ... 57

4.1.2 Cluster Perkotaan ... 65

4.1.3 Cluster Pedalaman ... 73

4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi ... 81

4.2.1 Umur Responden ... 82

4.2.2 Jenis Kelamin dan Status Perkawinan ... 83

4.2.3 Pendidikan... 84

4.2.4 Pekerjaan... 85

4.2.5 Pendapatan ... 88

4.2.6 Rata-rata Waktu Kerja ... 89

4.2.7 Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga... 90

4.2.8 Kondisi Rumah Tempat Tinggal... 91

4.3 Pengeluaran Konsumsi... 95

4.3.1 Pengeluaran Konsumsi Bahan Makanan ... 95

4.3.2 Pengeluaran Untuk Bahan Bukan Makanan ... 96

4.4 Uji Asumsi Klasik... 98

4.4.1 Uji Multikolinearitas... 98

4.4.2 Uji Heterokedastisitas ... 100

4.5 Estimasi Determinan Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Miskin di Kabupaten Aceh Utara ... 104

4.5.1 Model Konsumsi Makanan ... 105

4.5.2 Model Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan... 107

4.6 Pembuktian Hipotesis ... 108

4.6.1 Uji Parsial... 110

4.6.2 Uji Simultan ... 113

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 115

5.2 Saran... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(9)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1.1 Komposisi Mata Pencaharian Utama dan Jumlah Penduduk

Nanggroe Aceh Darussalam Sebelum Tsunami ... 3 Tabel 1.2 Kecamatan, Desa dan Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Utara

Tahun 2005 ... 6 Tabel 3.1 Lokasi dan Jumlah Sampel Menurut Cluster ... 46 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Matang Lada

dan Teupin Kuyun Kecamatan Seunudon ... 58 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Matang Sijuk

Barat dan Paya Bateung Kecamatan Baktiya Barat ... 60 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Kuala Cangkoi

dan Matang Janeng Kecamatan Tanah Pasir ... 62 Tabel 4.4 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Tanoh Anoe dan

Pante Gurah Kecamatan Muara Batu ... 64 Tabel 4.5 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Panton Labu

dan Ceumpeudak Kecamatan Tanah Jambo Aye ... 66 Tabel 4.6 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Kelurahan Lhok

Sukon dan Desa Meunasah Dayah Kecamatan Lhok Sukon .... 68 Tabel 4.7 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Keude Geudong

dan Blang Peuria Kecamatan Samudera ... 70 Tabel 4.8 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Keude Krueng

Geukueh dan Tambon Tunong Kecamatan Dewantara ... 72 Tabel 4.9 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Meunasah

Blang dan Krueng Lingka Kecamatan Langkahan ... 74 Tabel 4.10 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Batu XII dan

Ulee Gampong Kecamatan Cot Girek ... 76 Tabel 4.11 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Tgk. Dibalee

dan Alue Pangkat Kecamatan Tanah Luas ... 78 Tabel 4.12 Jumlah Penduduk dan Keluarga Miskin di Desa Alue Papeun


(10)

Tabel 4.13 Jenis Kelamin dan Status Perkawinan Kepala Keluarga ... 83

Tabel 4.14 Pendidikan Kepala Keluarga dan Rata-rata Pendidikan Anggota Keluarga... 84

Tabel 4.15 Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan Kepala Keluarga .. 87

Tabel 4.16 Pendapatan dari Pekerjaan Sampingan Kepala Keluarga (Rupiah Per Bulan) ... 88

Tabel 4.17 Rata-rata Waktu Kerja Kepala Keluarga (Jam) ... 89

Tabel 4.18 Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga... 90

Tabel 4.19 Kondisi Rumah Tempat Tinggal Keluarga ... 92

Tabel 4.20 Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan Masyarakat Miskin Kabupaten Aceh Utara Menurut Jenis Barang ... 95

Tabel 4.21 Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan Masyarakat Miskin Kabupaten Aceh Utara Menurut Jenis Barang ... 97

Tabel 4.22 Uji Multokolinieritas Model Konsumsi Makanan dan Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan ... 99

Tabel 4.23 Hasil Uji Park Model Konsumsi Makanan ... 102

Tabel 4.24 Hasil Uji Park Model Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan. 104 Tabel 4.25 Hasil Estimasi Model Konsumsi Makanan... 105

Tabel 4.26 Hasil Estimasi Model Pengeluaran Bukan Makanan... 107

Tabel 4.27 Uji Goodness of Fit Model Konsumsi Makanan dan Model Konsumsi Bukan Makanan... 109


(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1: Preferensi Konsumen Selama Konsumsi Periode Pertama dan

Kedua ... 16 Gambar 2: Kerangka Konseptual Faktor-faktor yang mempengaruhi

Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Miskin... 42 Gambar 3: Peta Wilayah Sampel Menurut Cluster... 45 Gambar 4: Grafik Scatterplot Model Konsumsi Makanan ... 101


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1: Kuisioner Penelitian ... 126-129 Lampiran 2: Output SPSS: Descriptive ... 130-131 Lampiran 3: Output SPSS: Frequency... 132-141 Lampiran 4: Output SPSS: Regression model konsumsi makanan ... 142-149 Lampiran 5: Output SPSS: Regression model pengeluaran konsumsi

bukan makanan ... 150-157 Lampiran 6: Output SPSS: Uji multikolinieritas (uji R)... 158-161 Lampiran 7: Output SPSS: Uji heterokedastisitas (uji Park) ... 162-163 Lampiran 8: Data Penelitian ... 164-213


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinasi variabel pendapatan, aktivitas ekonomi, dan anggota rumah tangga, juga perbedaan lokasi tempat tinggal terhadap konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan model regresi linier berganda, dengan mensifikasi dalam metode Least Square Dummy Variabel (LSDV).

Data yang digunakan merupakan data cross-section yang dikumpulkan melalui kuisioner. Observasi dilakukan pada 180 kepala keluarga yang dibagi secara merata pada tiga clusters yaitu; pesisir, pedalaman, dan perkotaan. Penetapan sampel di lakukan secara two stage clusters, pada tingkat pertama ditetapkan 12 kecamatan dari 22 kecamatan yang ada. Pada tingkat kedua, ditetapkan 2 desa dari dari masing-masing 12 kecamatan, dan dari desa dalam satu kecamatan ditetapkan 15 Kepala keluarga yang ditetapkan secara judgement sampling.

Hasil estimasi menemukan semua variabel bebas bertanda positif dan signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi makanan, sebaliknya bertanda negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi bukan makanan. Hasil estimasi juga menemukan besarnya konsumsi berbagai jenis bahan makanan masyarakat perkotaan lebih kecil dari konsumsi makanan masyarakat pedalaman sebesar Rp.12.046,94. Namun lebih besar dari konsumsi bahan makanan masyarakat pesisir yaitu Rp.13.238,54. Sementara besarnya pengeluaran konsumsi berbagai jenis bukan makanan masyarakat perkotaan lebih besar dari konsumsi bukan makanan masyarakat pedalaman Rp.57.045,73. Dan juga lebih besar dari konsumsi bukan makanan masyarakat pesisir yaitu Rp.31.760,25. Variasi kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan konsumsi makanan sebesar 92,5 persen, dan pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar 87,4 persen. Spesifikasi model sudah sangat baik dengan terbebasnya model dari pelanggaran asumsi klasik multikolinieritas dan heterokedastisitas.

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan berarti kepada pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara dan pihak-pihak terkait dalam menyusun rencana, dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan, terutama dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin, dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara.


(14)

ABSTRACT

The aim of this research is to recognize the income variable, the economic activity, and the family size determination, also differences of society living against poor society’s consumption in North Aceh Regency. The Method that used to analyze the data is Multiple Linear Regression model, specified in Least Square Dummy Variable (LSDV) method.

The data which used in this research is cross-section data, collected from questioner. The observation attended on 180 families that divided equally in three clusters; coastal area, hinterland, and urban. The sample decision was notified in two stage clusters, on the first level was notified 12 districts from 22 districts, on the second level was notified 2 villages from each 12 district, and for a village in a district was notified 15 families which was determined by judgment sampling.

The estimation result found that all of independent variable positive significantly influenced the food consumption. Otherwise, the negative ones significantly influenced the non-food consumption outcome. The estimation result also found that the level of consumption for many kinds of urban food was fewer than hinterland society food consumption about Rp.12.046,94. However, the urban consumption more excessively than coastal area society about Rp.13.238,54. While the level of consumption outcome for many kinds of non-food urban consumption larger than non-food hinterland consumption about Rp.57.045,73. Also larger than non-food coastal society consumption about Rp.31.760,25. The variation of independent variable capability to explain the food consumption about 92,5% and non-food consumption outcome about 87,4%. The specification models were appropriated which the model free of multicollinierity and Heteroscedasticity classic assumption collision.

The result of this research was expected to be a good suggestion to the North Aceh Government and related department to arrange the planning and implementing the development policy, especially to improve the life level of poor society, and could be a guidance for poorness decreasing in North Aceh Regency.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kemiskinan telah menjadi masalah yang dibicarakan secara global, hal ini dapat dilihat dari berbagai tulisan seperti; Levinsohn et.al (1999), Suharyadi et.al (2000), Asra (2000) dan banyak peneliti lainnya yang menyoroti masalah kemiskinan. Berbagai isu yang menyangkut masalah kemiskinan disampaikan, mulai dari sebab-sebab kemiskinan, perangkap kemiskinan, kondisi sosial, pendidikan, kesehatan masyarakat miskin, sampai kepada strategi penganggulangan kemiskinan.

Sejak tahun 1994 berbagai usaha penanggulangan kemiskinan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diimplementasikan dengan berbagai program pembangunan, seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Pada saat krisis ekonomi telah diluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS), Program Pengembangan Ekonomi Rakyat (PER), Gema Assalam, dan berbagai program sosial lainnya.

Tujuannya adalah untuk merubah nasib masyarakat miskin ke arah yang lebih sejahtera dalam seluruh aspek kehidupannya. Dari laporan yang ada, semua program yang diluncurkan telah terimplementasi dengan baik. Kendati demikian, kenyataan di lapangan memperlihatkan efektivitas program-program belum optimal. Hal ini diperkirakan akibat masih adanya elemen-elemen penting yang belum lengkap pelibatannya dalam implementasi setiap program pembangunan.


(16)

Keberhasilan suatu program, termasuk program penangggulangan kemiskinan, paling tidak bergantung pada tiga elemen pokok, yaitu : (1) Pemahaman tentang seluk beluk kelompok sasaran dan wilayah sasaran yang hendak dituju oleh program; (2) Kesesuaian antara tujuan program dengan hakekat permasalahan yang dihadapi oleh kelompok miskin (kelompok sasaran); dan (3) Pemilihan instrumen atau paket program yang paling sesuai serta ketersediaan prasarana dan sarana penunjang. Meskipun demikian, ketiga elemen ini belum menjamin berhasilnya suatu program, melainkan baru merupakan syarat perlu (necessary condition). Untuk benar-benar menjamin keberhasilan program masih diperlukan berbagai persyaratan lain, yaitu kapabilitas sistem organisasi pelaksana, sistim informasi, dan latar belakang sosial, budaya serta politik yang melingkupinya.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mempunyai 17 Kabupaten, 4 kota, 228 kecamatan, 642 mukim, 112 kelurahan dan 5.947 desa. Selain itu Provinsi NAD yang mempunyai penduduk 4.218.486 jiwa (sebelum tsunami) terdiri dari 2.159.127 jiwa laki-laki dan 2.138.538 jiwa perempuan. Jumlah penduduk ini hanya mengalami pertumbuhan hanya 1,26 persen. Pertumbuhan yang relatif kecil ini cenderung diakibatkan karena daerah ini dalam sepuluh tahun terakhir terus dilanda konflik sehingga banyak penduduk Provinsi NAD yang migrasi ke provinsi-provinsi lain yang dianggap lebih aman, di lain pihak perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Provinsi NAD justru mengalami penurunan sehingga pertambahan penduduk hasil migrasi netto menurun drastis.


(17)

Tabel 1.1

Komposisi Mata Pencaharian Utama dan Jumlah Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam Sebelum Tsunami

Mata pencaharian utama)**

No Kabupaten/Kota Jumlah

penduduk)* Pertanian Jasa-jasa Lainnya

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Kota Banda Aceh Kab. Aceh Besar Kota Sabang Kab. Pidie Kab. Bireun

Kab. Aceh Utara

Kota Lhokseumawe Kab. Aceh Timur Kota Langsa Kab. Aceh Tamiang Kab. Aceh Jaya Kab. Aceh Barat Kab. Nagan Raya Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Selatan Kab. Simeulu Kab. Aceh Singkil Kab. Aceh Tengah Kab. Bener Meriah Kab. Aceh Tenggara Kab. Gayo Lues

260.478 302.405 26.303 517.898 361.528 493,599 167.362 331.636 122.865 225.011 98.796 195.000 143.985 115.358 192.947 77.761 124.758 160.453 112.000 150.776 86.448 2,2 91,3 72,2 93,7 88,5 91,5 44,8 82,1 37,3 81,3 98,7 95,9 95,9 82,9 89,9 85,2 80,0 93,3 98,5 89,0 98,5 58,4 3,2 16,7 0,2 2,6 0,1 6,0 1,0 31,4 7,2 0,6 1,0 0,5 2,3 3,6 0,0 3,8 1,8 0,0 0,0 0,0 39,4 5,5 11,1 6,1 8,9 8,4 49,2 16,9 31,3 11,4 0,7 3,1 3,6 14,8 6,5 14,8 16,2 4,9 1,5 11,0 1,5

TOTAL 4.297.485

Sumber : )*Satkorlak PBP (diolah) 2005 )**Kompas, 28 Desember 2004

Konflik berkepanjangan, krisis ekonomi ditambah lagi dengan bencana alam gempa dan tsunami membuat masyarakat Aceh tenggelam dalam penderitaan berkepanjangan. Bencana alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh telah meluluhlantakkan berbagai sektor perekonomian Aceh. Pasca tsunami, banyak lahan-lahan pertanian di pantai barat Aceh yang telah menjadi laut, padahal selama sebelum tsunami produksi lahan-lahan pertanian tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Pemerintah telah merencanakan untuk memperbaiki sekitar 17.400 hektar lahan pertanian yang rusak berat akibat endapan


(18)

lumpur bergaram yang dibawa gelombang tsunami, hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi dibeberapa daerah ada sekitar 2.900 lahan pertanian hilang sama sekali ditelan laut.

Lumpuhnya perekonomian Aceh yang ditimbulkan bencana gempa dan tsunami, ternyata telah menyebabkan jumlah penduduk miskin diperkirakan bertambah satu juta jiwa. Bila pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di NAD sebanyak 1,1 juta jiwa, realitasnya pada saat sekarang ini telah melampaui 2 juta jiwa. Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi angka kemiskinan. Hal ini disebabkan tingkat pengagguran yang tetap tinggi yaitu 9,8%, sedangkan tingkat kemiskinan bisa mencapai 16,6%. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 yang diperkirakan hanya 5,3% dan tingkat inflasi 7,5% (Kompas, 26 Januari 2005).

Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan dapat didekati dari dua sisi. Pertama, meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas. Sisi ini memberi peluang dan perlindungan kepada masyarakat miskin yang berkemampuan dalam pengelolaan potensi yang ada untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan politik; Kedua, mengurangi pengeluaran melalui minimalisasi beban kebutuhan dasar yang kurang perlu seperti tembakau (rokok), dan lainnya dan mempermudah akses untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin.

Kabupaten Aceh Utara, dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 493.599 jiwa yang tersebar di 850 desa yang berada dalam 22 kecamatanmerupakan kawasan yang sejak tahun 1984 telah dicanangkan sebagai kawasan investasi


(19)

terutama sektor industri (zona industri). Pencanangan kabupaten ini sebagai zona industri merupakan upaya pengembangan sektor industri yang tidak terlepas dengan sektor pertanian, artinya pengembangan sektor industri tetap berbasis pada sektor pertanian. Namun pemanfaatan sumberdaya daerah yang dimiliki tersebut masih mengalami banyak kendala. Selain disebabkan oleh masih minimnya informasi tentang potensi daerah yang dapat dikembangkan, juga belum terciptanya iklim investasi yang memadai, terutama dalam penyediaan infrastruktur, disamping kestabilan politik dan keamanan yang rentan oleh berbagai gangguan.

Secara geografis Kabupaten Aceh Utara terletak pada posisi 4º 54' – 5º 18' Lintang Utara (LU) dan 96º 20' – 97 º 21' Bujur Timur (BT), dengan luas wilayah 3.477,13 Km² atau 347.713 Ha. Kabupaten ini memiliki batasan wilayah sebagai berikut; sebelah utara dengan Kabupaten Bireuen, sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Timur, sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Tengah, sebelah timur dengan Selat Malaka.

Keadaan topografinya sangat bervariasi, dari dataran rendah sampai berbukit dan sedikit pergunungan. Rata-rata ketinggian daerah ini adalah 125 m di atas permukaan laut. Dataran rendah pada umumnya terdapat di sepanjang kawasan pantai dan jalan negara yang memanjang dari arah Barat ke Timur, sedangkan dataran tinggi/perbukitan dan pergunungan terdapat di sepanjang daerah pedalaman di bagian selatan. Sekitar 43,6 % dari luas wilayah ini berada pada ketinggian 25-500 m di atas permukaan laut, sementara tingkat kelerengannya sangat bervariasi, mulai datar sampai curam.


(20)

Tabel 1.2

Kecamatan, Desa dan Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Utara Tahun 2005

PENDUDUK)** NO KECAMATAN DESA)*

LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Sawang Nisam Kuta Makmur Simpang Keramat Syamtalira Bayu Meurah Mulia Matangkuli Paya Bakong Cot Girek

Tanah Jambo Aye Langkahan Seunudon Baktiya Baktiya Barat Lhok Sukon Tanah Luas Nibong Samudera Syamtalira Aron Tanah Pasir Muara Batu Dewantara 39 44 40 15 49 50 72 38 24 47 23 33 59 24 75 56 20 40 34 29 24 15 14.696 16.577 9.209 3.156 10.853 7.906 10.636 5.302 8.742 18.813 8.933 10.768 14.972 7.828 20.736 10.037 4.416 10.468 7.522 7.554 11.318 21.445 16.169 17.890 10.030 3.328 10.943 8.515 11.303 5.635 8.562 19.223 8.955 10.689 15.572 8.152 21.236 10.353 4.671 10.998 7.922 7.981 11.868 21.717 30.865 34.467 19.239 6.484 21.796 16.421 21.939 10.937 17.304 38.036 17.888 21.457 30.544 15.980 41.972 20.390 9.087 21.466 15.444 15.535 23.186 43.162

TOTAL 850 241.887 251.712 493.599

Sumber: )* Aceh Mapframe, 2005

)** Badan Pusat Statistik (BPS), 2005

Laju pertumbuhan ekonomi Aceh Utara pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 7,97 persen. Hal ini sebagai dampak dari penurunan pertumbuhan di sektor industri pengolahan. Demikian juga halnya dengan pendapatan regional per kapita juga mengalami penurunan sebesar 2,25 persen (BPS, 2006). Dengan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat, dapat dipastikan akan berdampak terhadap sektor riel dan juga perubahan dalam pola konsumsi masyarakat di daerah ini.


(21)

Suatu hal yang sangat sulit dalam menentukan kriteria miskin bagi masyarakat Indonesia pada umumnya sebagaimana juga yang terjadi di Aceh Utara. Dalam hal-hal tertentu masyarakat akan merasa terusik bila dimasukkan dalam katagori miskin, sementara disaat yang lain justru banyak masyarakat yang berada dalam katagori sejahtera yang mendaftarkan diri dalam katagori miskin. Oleh karenanya, diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif untuk menentukan kelompok masyarakat miskin melalui pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga masyarakat di Kabupaten Aceh Utara, agar kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan tepat sasaran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka masalah-masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Berapa besar pengaruh pendapatan rumah tangga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara?

b. Berapa besar pengaruh aktivitas ekonomi kepala rumah tangga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara?

c. Berapa besar pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara?

d. Berapa besar pengaruh perbedaan lokasi tempat tinggal terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara?


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis pengaruh pendapatan rumah tangga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.

b. Untuk menganalisis pengaruh aktivitas ekonomi kepala rumah tangga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.

c. Untuk menganalisis pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.

d. Untuk menganalisis pengaruh perbedaan lokasi tempat tinggal terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua stackholder, terutama kepada pemerintah daerah, masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.

a. Hasil penelitan dapat berguna sebagai gambaran umum pola pengeluaran konsumsi masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara pasca tsunami dan variabel-variabel sosial ekonomi yang mempengaruhinya.

b. Penelitian ini berguna kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, terutama untuk dijadikan bahan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.

c. Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi.


(23)

d. Sebagai referensi bagi pihak-pihak lain yang memiliki minat untuk melakukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan pengeluaran konsumsi maupun kemiskinan dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Teori Konsumsi

Dalam ilmu ekonomi, pengertian konsumsi lebih luas dari pada pengertian konsumsi dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari-hari konsumsi hanya dimaksudkan sebagai hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Dalam ilmu ekonomi, semua barang dan jasa yang digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya disebut pengeluaran konsumsi. Dikonsumsi artinya digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan.

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas, baik dalam jumlah maupun jenisnya. Untuk memperoleh berbagai kebutuhan tersebut seseorang memerlukan pengeluaran untuk konsumsi. Dari semua pengeluaran yang dilakukan tersebut sekurang-kurangnya dapat memenuhi tingkat kebutuhan minimum yang diperlukan.

Samuelson (1999:101) menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk menjelaskan dasar-dasar prilaku konsumen. Pendalaman tentang hukum permintaan dan mengetahui bahwa orang cenderung membeli lebih banyak barang, apabila harga barang itu rendah, begitu sebaliknya. Dasar pemikirannya tentang prilaku konsumen bahwa orang cenderung memilih barang dan jasa yang nilai kegunaannya paling tinggi.

Konsumen akan memilih barang kebutuhan pokok untuk dikonsumsikan, dengan mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut. Keterbatasan anggaran


(25)

pendapatan yang diterima oleh masyarakat menyebabkan masyarakat harus menunda untuk mengkonsumsi barang-barang yang mempunyai nilai guna tinggi.

Nurhadi (2000:22) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin tinggi pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan sebaliknya semakin rendah mutu kualitas dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin rendah pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan. Masih menurut Nurhadi (2000:23) tujuan konsumsi adalah untuk mencapai kepuasan maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan.

Salvatore (1994:67) berpendapat bahwa individu meminta suatu komoditi tertentu karena kepuasan yang diterima dari mengkonsumsi suatu barang. Sampai pada titik tertentu, semakin banyak unit komoditi yang dikonsumsi individu tersebut per unit waktu, akan semakin besar utiliti total yang akan diterima. Dari sisi lain Samuelson (1999:107) menyebutkan bahwa apabila harga meningkat dan pendapatan nominal tetap, maka pendapatan riil akan menurun, maka konsumen akan mengurangi pembelian hampir semua jenis barang.

Menurut Rosydi (1996:148), konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Selanjutnya Sukirno (2000:337) mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.


(26)

Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak untuk ditabung (Mankiw, 2003:51).

2.1.2 Fungsi Konsumsi

Putong (2003:184) membuat suatu hipotesa pendapatan absolut yang menyatakan bahwa bila pendapatan nasional naik dari sebelumnya, maka konsumsi juga akan ikut naik, tetapi besarnya kenaikan konsumsi tidak sebesar kenaikan pendapatan, sehingga umumnya besarnya tingkat tabungan akan semakin bertambah.

Dornbusch dan Fisher (1994:235) terdapat hubungan yang erat dalam praktek antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan disposibel. Lebih lanjut Dornbusch melihat bahwa individu merencanakan konsumsi dan tabungan mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin selama hidup mereka. Lebih lanjut Dumairy (1996) menyebutkan konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan.

Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi model fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat lazim ditemukan dalam buku-buku makro ekonomi tentulah fungsi konsumsi Keynesian:

) (Y f

C = (2.1)

Atau,

C = C (Y – T) (2.2)

Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut consumption


(27)

function (Mankiw, 2003:52). Secara lebih spesifik Keynes memasukkan komponen marginal propensity to comsume (MPC) ke dalam persamaan konsumsinya sehingga menjadi:

Y c c

C= 0 + 1 , c0 > 0, 0 < c < 1 (2.3)

John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. James S. Duesenberry mengusulkan model lain. Berkaitan dengan hipotesisnya tentang pendapatan relatif, ia berpendapat bahwa tingkat pendapatan yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat bukan tingkat pendapatan efektif, maksudnya pendapatan rutin yang efektif diterima, tapi oleh tingkat pendapatan relatif (Dumairy, 1996).

Milton Friedman mengajukan model lain lagi, terkenal dengan hipotesis pendapatan permanen. Menurut Friedman tingkat pendapatan yang menentukan besar kecilnya konsumsi adalah tingkat pendapatan permanen. Tentu saja, selain tingkat pendapatan sebagai variabel pengaruh utama, terdapat kemungkinan beberapa variabel lain turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Untuk menghitung besarnya pendapatan permanen dari pendapatan ”rutin-faktual” berdasarkan data pendapatan yang ada, diasumsikan bahwa pendapatan permanen sekarang (YPt) berhubungan dengan pendapatan sekarang (Yt) dan pendapatan satu periode yang lalu (Yt-1)dalam bentuk:

1 0

) ( 1

1+ − < <

= t− δ t t− δ

t Y Y Y

YP (2.4)

1 ) 1

( −

+

= t t

t Y Y


(28)

Menurut model Evans (1969) jika fungsi konsumsi ditambahkan laju inflasi sebagai variabel lain yang diduga turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat, sehingga model lengkapnya:

) , (YP P f

C = (2.6)

Dimana, C merupakan konsumsi, YP sebagai variabel pendapatan permanen dan P sebagai variabel inflasi. Secara linear model konsumsi ini dapat dikongkritkan sebagai:

P c YP c c

C = 0 + 1 + 2 (2.7)

Sukirno (2001) membedakan dua pengertian tentang kecondongan mengkonsumsi marjinal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata:

− Kecondongan mengkonsumsi marjinal dinyatakan sebagai MPC (Marginal Propensity to Consume) dapat didefinisikan sebagai perbandingan diantara tambahan konsumsi dibagi dengan pertambahan pendapatan disposibel yang diperoleh;

Yd C MPC

ΔΔ

= (2.8)

− Kecondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan sebagai APC (Average Propensity to Consume) didefinisikan sebagai perbandingan diantara tingkat pengeluaran konsumsi dengan tingkat pendapatan disposibel, nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula:

Yd C

APC = (2.9)

Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok (Dumairy, 1996; Sukirno, 2001).


(29)

Konsumsi adakalanya tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu; pada periode pertama tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:

S = Y1 – C1 (2.10)

Dimana S adalah tabungan. Dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk bunga tabungan) ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:

C2 = (1 + r) S + Y2 (2.11)

Dimana r adalah tingkat bunga riel. variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumen pada periode pertama kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama, konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran konsumen, maka kombinasi persamaan (2.10) dan persamaan (2.11) menghasilkan:

C2 = (1 + r) (Y1 – C1) + Y2 (2.12)

Persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan dalam dua periode. Preferensi konsumen yang terkait dengan konsumsi dalam dua periode bisa ditampilkan oleh kurva indeferens. Kurva ini menunjukkan kombinasi konsumsi periode pertama dan periode kedua yang membuat konsumen tetap merasa senang.


(30)

Gambar 1: Preferensi Konsumen Selama Konsumsi Periode Pertama dan Kedua

Gambar 2.1 di atas menunjukkan dua dari banyak kurva indeferen. Kurva indeferen yang lebih tinggi seperti IC2 lebih disukai daripada kurva indeferen yang

lebih rendah IC1. Konsumen tetap merasa senang mengkonsumsi pada titik W, X dan

Y, tetapi lebih menyukai titik Z (Mankiw, 2003:431).

Selanjutnya masih dalam Mankiw (2003:439) Franco Modigliani dalam analisis hipotesis daur hidupnya membuat persamaan yang memasukkan periode waktu dan kekayaan. Seorang konsumen yang berharap hidup selama T tahun, memiliki kekayaan W dan mengharapkan menghasilkan pendapatan Y sampai ia pensiun selama R dari sekarang, maka persamaannya dapat ditulis:

C = (W + RY)/T (2.13)

Sehingga fungsi konsumsi seseorang dapat ditulis;

C = (1/T) W + (R/T)Y (2.14) Konsumsi

Periode kedua C2

Y

X Z

IC2

W

IC1

C1

Konsumsi


(31)

Jika setiap orang dalam perekonomian merencanakan konsumsi seperti ini, maka konsumsi agregat serupa dengan fungsi konsumsi individual. Bisanya, konsumsi agregat tergantung pada kekayaan dan pendapatan. Oleh karena itu fungsi konsumsi perekonomian adalah:

C = gW + Y (2.15)

Dimana parameter g adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari kekayaan dan parameter adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari pendapatan.

2.1.3 Determinan Konsumsi

Banyak faktor yang menentukan permintaan konsumsi atau pengeluaran individu atas barang-barang dan jasa-jasa dalam suatu perekonomian. Menurut Spencer (1977:165) faktor tersebut diantaranya adalah pendapatan disposibel yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga, usia dari anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan dimasa yang akan datang.

Dalam buku Survei Biaya Hidup di sebutkan bahwa pengeluaran masyarakat khususnya pengeluaran konsumsi pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Faktor yang bersifat kualitatif antara lain; tingkat pendidikan dan selera. Sedangkan yang bersifat kuantitatif adalah jumlah pendapatan dan anggota keluarga (BPS Daerah Istimewa Aceh, 1999).

Menurut Samuelson (1999:169) bahwa faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah


(32)

pendapatan disposibel sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor penentu lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi dimasa yang akan datang. Dornbusch (1994:238) mengutip hipotesis daur hidup yang dikembangkan oleh Modigliani melihat bahwa merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan masyarakat untuk jangka panjang dengan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin diperoleh selama hidup mereka.

Dalam serangkaian makalah yang ditulis pada tahun 1950-an Franco Modigliani dan kolaboratornya Albert Ando dan Richard Brumberg menggunakan model perilaku konsumen Fisher untuk mempelajari fungsi konsumsi. Salah satu tujuan mereka adalah memecahkan teka teki konsumsi. Menurut model Fisher, konsumsi tergantung pada pendapatan seumur hidup seseorang, Modigliani menekankan bahwa pendapatan bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat seseorang dapat menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah (Mankiw, 2003:439).

Selanjutnya Sukirno (2000:101) menyebutkan bahwa disamping faktor pendapatan rumah tangga, kekayaan dan pajak pemerintah, konsumsi rumah tangga juga ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Ekspektasi, mengenai keadaan dimasa yang akan datang sangat mempengaruhi konsumsi rumah tangga pada masa kini, keyakinan bahwa pada masa mendatang akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi akan mendorong rumah tangga untuk meningkatkan konsumsinya dimasa sekarang.


(33)

2. Jumlah penduduk, dalam analisis mengenai pembelanjaan agregat yang diperhatikan adalah konsumsi penduduk Negara. Oleh sebab itu tingkat konsumsi bukan saja tergantung pada tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang tetapi juga yang diterima penduduk secara keseluruhan.

3. Tingkat harga, dalam analisis Keynesian sederhana dimisalkan bahwa tingkat harga adalah tetap, maka setiap kenaikan pendapatan berarti terjadi kenaikan pendapatan riel. Dalam keadaan yang demikian, apabila pendapatan meningkat 100 persen dan MPC sebesar 0,80 (80%) dari kenaikan pendapatan itu akan dikonsumsikan, hal ini menunjukkan terjadi kenaikan konsumsi yang sebenarnya.

Parkin (1993:672) sependapat dengan teori-teori ahli lainnya bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua, yaitu; pendapatan disposibel (disposable income) dan pengharapan terhadap pendapatan dimasa akan datang (expected future income).

Penny (1994:28) menyatakan besarnya konsumsi yang dapat dinikmati seseorang sangat tergantung pada besarnya pendapatan. Dalam hal ini konsumsi tersebut meliputi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder maupun kebutuhan tertier. Golongan yang berpenghasilan rendah cenderung berkonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Apabila pendapatan meningkat, porsi pendapatan yang akan digunakan untuk pangan akan menurun.

Nicholson (1991:77) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan


(34)

dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan Hukum Engel (Engel’s Law).

Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposibel yang berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan. Dengan demikian, naiknya pendapatan, maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan rekreasi semakin bertambah (Ackley, 1992:281).

Kadariah (1996:21) menambahkan bahwa pada umumnya golongan yang berpendapatan rendah mengeluarkan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan hidup yang mutlak seperti; pangan, perumahan dan sandang. Makin tinggi pendapatan seseorang, makin kecil pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan pokok.

Delorme dan Ekulend (1993:244) menyatakan bahwa kelompok berpenghasilan tinggi mempunyai kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume) yang lebih kecil daripada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pitomo (1992:2) menambahkan bahwa rumah tangga miskin pada umumnya mengeluarkan pendapatannya lebih besar untuk kebutuhan dasar, baik yang terdiri dari kebutuhan maupun konsumsi individu (makanan, pakaian, perumahan) maupun keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan pendidikan).


(35)

2.1.4 Pendapatan

Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan oleh Negara-negara yang sedang berkembang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan riel per kapita, pendapatan ini pada umumnya masih rendah. Gejala umum yang sering terjadi dalam proses pembangunan di Negara-negara berkembang adalah hasrat konsumsi dari masyarakat yang tinggi sebagai akibat dari kenaikan pendapatan.

Menurut Sukirno (2006:47) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan ataupun tahunan. Beberapa klasifikasi pendapatan antara lain: 1) Pendapatan pribadi, yaitu; semua jenis pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan suatu kegiatan apapun yang diterima penduduk suatu Negara. 2) Pendapatan disposibel, yaitu; pendapatan pribadi dikurangi pajak yang harus dibayarkan oleh para penerima pendapatan, sisa pendapatan yang siap dibelanjakan inilah yang dinamakan pendapatan disposibel. 3) Pendapatan nasional, yaitu; nilai seluruh barang-barang jadi dan jasa-jasa yang diproduksikan oleh suatu Negara dalam satu tahun.

Menurut Sobri (1987:50) pendapatan disposibel adalah suatu jenis penghasilan yang diperoleh seseorang yang siap untuk dibelanjakan atau dikonsumsikan. Besarnya pendapatan disposibel yaitu pendapatan yang diterima dikurangi dengan pajak langsung (pajak perseorangan) seperti pajak penghasilan.

Masalah pendapatan tidak hanya dilihat dari jumlahnya saja, tetapi bagaimana distribusi pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi arah gejala distribusi pendapatan dan pengeluaran di


(36)

Indonesia; pertama, perolehan faktor produksi, dalam hal ini faktor yang terpenting adalah tanah. Kedua, perolehan pekerjaan, yaitu perolehan pekerjaan bagi mereka yang tidak mempunyai tanah yang cukup untuk memperoleh kesempatan kerja penuh. Ketiga, laju produksi pedesaan, dalam hal ini yang terpenting adalah produksi pertanian dan arah gejala harga yang diberikan kepada produk tersebut.

Pendapatan per kapita dapat diartikan pula sebagai penerimaan yang diperoleh rumah tangga yang dapat mereka belanjakan untuk konsumsi yaitu yang dikeluarkan untuk pembelian barang konsumtif dan jasa-jasa, yang dibutuhkan rumah tangga bagi pemenuhan kebutuhan mereka (Sumardi, 1982:83) Dalam hal ini pendapatan per kapita determinan potensi ekonomi yang penting selain luas Negara serta penduduk suatu Negara (Todaro, 1998:25).

Rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita disuatu Negara berarti juga mencerminkan rendahnya pertumbuhan GNP dan ini terjadi pada Negara-negara yang sedang berkembang. Usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, yaitu dengan cara menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, menggalakkan program kerja berencana dan yang terakhir transfer pemerintah kepada golongan-golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. Dengan menggunakan pajak yang efektif untuk membiayai transfer tersebut sekaligus untuk mengurangi perbedaan kemakmuran antar anggota masyarakat.

Pass dan Lowes (1994:444) menyebutkan pendapatan nasional adalah nilai netto dari semua barang dan jasa (produk nasional) yang diproduksi setiap tahunnya dalam suatu Negara. Pendapatan nasional dapat ditentukan dengan tiga cara (Sukirno, 2006: 37), yaitu:


(37)

1. Cara produksi neto, output/produk dalam negari dari barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dalam suatu Negara. Total output ini tidak mencakup nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diimpor. Untuk mendapatkan produk nasional bruto, produk domestik bruto harus ditambah dengan pendapatan bersih yang diterima dari luar negeri.

2. Cara pendapatan, total pendapatan yang diterima penduduk suatu Negara sebagai balas jasa dari produksi barang dan jasa yang sedang berlangsung. Pendapatan ini disebut pendapatan faktor, sebab ditambahkan pada faktor-faktor produksi, dan pembayaran transfer (transfer payment) tidak dimasukkan dalam perhitungan, seperti tunjangan sakit, tunjangan pengangguran dimana tidak ada barang atau jasa yang diterima sebagai imbalannya.

3. Cara Pengeluaran, total pengeluaran domestik oleh penduduk suatu Negara pada konsumen dan investasi barang-barang. Hal ini mencakup pengeluran pada barang dan jasa jadi (tidak termasuk barang atau jasa setengah jadi) dan termasuk barang-barang yang tidak terjual dan yang ditambahkan pada persediaan (investasi persediaan).

Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumah tangga di pedesaan tidak hanya dari satu sumber, melainkan dari beberapa sumber atau dapat dikatakan rumah tangga melakukan diversifikasi pekerjaan atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan (Susilowati dkk, 2002).

Bagi rumah tangga pedesaan yang hanya menguasai faktor produksi tenaga kerja, pendapatan mereka ditentukan oleh besarnya kesempatan kerja yang dapat


(38)

dimanfaatkan dan tingkat upah yang diterima. Kedua faktor ini merupakan fenomena dari pasar tenaga kerja pedesaan. Kesempatan kerja pedesaan ditentukan oleh pola produksi pertanian, produksi barang dan jasa non-pertanian di pedesaan, pertumbuhan angkatan kerja dan mobilitas tenaga kerja pedesaan. Di sektor pertanian, besarnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh luas lahan pertanian, produktivitas lahan, intensitas dan pola tanam, serta teknologi yang diterapkan. Disektor non-pertanian kesempatan kerja ditentukan oleh volume produksi, teknologi dan tingkat harga komoditi (Kasryno, 2000).

Pendapatan rumah tangga pertanian ditentukan oleh tingkat upah sebagai penerimaan faktor produksi tenaga kerja. Nilai sewa tanah sebagai penerimaan dari penguasaan asset produktif lahan pertanian. Dengan demikian tingkat pendapatan rumah tangga pedesaan sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan faktor produksi.

Menurut Malian dan Siregar (2000) pendapatan rumah petani pinggiran perkotaan juga bersumber dari tiga kegiatan utama, yaitu kegiatan dalam usaha tani sendiri (on-farm), kegiatan pertanian di luar usaha tani sendiri (off-farm) dan kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm). Untuk petani yang berada di pedesaan, pendapatan yang bersumber dari kegiatan on-farm dan off-farm umumnya mencapai lebih dari 90 persen.

2.1.5 Kemiskinan

Miskin adalah suatu keadaan seseorang yang mengalami kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat hidup yang paling rendah serta tidak mampu mencapai tingkat minimal dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tersebut


(39)

dapat berupa konsumsi, kebebasan, hak mendapatkan sesuatu, menikmati hidup dan lain-lain (Husen, 1993).

Menurut De Vos kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu mencapai salah satu tujuannya atau lebih, tujuan-tujuan yang dimaksud di sini tentunya dapat diinterpretasikan sesuai persepsi seseorang. Dengan demikian, kemiskinan dapat diartikan berdasarkan kondisi seseorang dalam mencapai tujuan--tujuan yang diinginkan (Suparta, 2003).

Di lain pihak Friedmann (1979), mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial meliputi modal yang produktif atau asset (misalnya, tanah, perumahan, peralatan, kesehatan dan lain-lain); sumber-sumber keuangan (income dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi dan lain-lain); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-lain; pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan anda.

De Vos (1991) juga memberikan pengertian kemiskinan berdasarkan be-berapa pendekatan, yaitu batasan secara absolut dan batasan relatif. Kemiskinan secara absolut memberikan pengertian keadaan seseorang dalam pemenuhan kebutuhan minimum untuk hidup tanpa melihat kondisi lingkungan masyarakat. Sedangkan pengertian kemiskinan relatif memberikan pengertian keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi masyarakatnya sering berpindah-pindah lapangan pekerjaan dan sebahagian besar pendapatannya.


(40)

Dari segi sosial, kemiskinan penduduk dapat juga disebutkan sebagai suatu kondisi sosial yang sangat rendah, seperti penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi dan penerangan yang minim (Sumardi dan Dieter, 1985). Kondisi sosial lain dari penduduk miskin biasanya dicirikan oleh keadaan rumah tangga dimana jumlah anggota keluarga banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga rendah, dan umumnya rumah tersebut berada di pedesaan (BPS, 2002).

Dari segi ekonomi, rumah tangga miskin dicirikan oleh jenis mata pencaharian pada sektor informal di pedesaan maupun di perkotaan, sering berpindah-pindah mata pencaharian dari produktivitas yang rendah sehingga menyebabkan pendapatan yang rendah. Karakteristik lain dari rumah tangga miskin adalah kecenderungan untuk menyediakan sebagian besar dari anggaran rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Alokasi pendapatan yang cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan cerminan adanya kemiskinan rumah tangga (Hasbullah, 1983).

Sekurang-kurangnya ada dua pendekatan untuk memberikan pengertian tentang kemiskinan. Pertama adalah pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik minimum, tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang atau keluarga agar dapat melangsungkan hidupnya pada taraf yang layak. Pendekatan kedua adalah pendekatan relatif dimana kemiskinan ditentukan berdasarkan taraf hidupnya relatif dalam masyarakat (Suparlan, 1984).

Secara konsepsional, kemiskinan dirumuskan sebagai suatu kondisi hidup yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara


(41)

operasional kriteria kemiskinan itu ditetapkan dengan tolok ukur garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah golongan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan target pembangunan biasanya dirumuskan sebagai upaya mengentaskan golongan masyarakat miskin agar mereka bisa berada di atas garis kemiskinan tersebut.

Mubyarto (1990) mengungkapkan bahwa kemiskinan adalah manifestasi dari keadaan keterbelakangan masyarakat, dimana melalui upaya-upaya pendidikan dan modernisasi, kemiskinan dan keterbelakangan akan berkurang. Selanjutnya menurut Esmara (1979), yang dimaksud dengan tingkat kemelaratan absolut lebih banyak ditujukan terhadap tingkat kehidupan penduduk secara absolut, baik yang diukur dengan pemakaian kalori, tingkat gizi, sandang, sanitasi, pendidikan, dan sebagainya.

Esmara menyimpulkan, bahwa dalam menentukan garis kemelaratan perlu ditentukan suatu kebutuhan minimum yang memungkinkan orang hidup dengan layak. Menurutnya, memang sukar menentukan batas kelayakan jumlah pendapatan, pengeluaran konsumsi, kebutuhan kalori, dan sebagainya yang dapat digunakan sebagai titik tolak perhitungan. Esmara menyebutkan batas kebutuhan minimum tersebut sebagai "garis kemiskinan". Batas tersebut juga biasa disebut dengan "garis kemiskinan” (Mubyarto,1990).

2.1.6 Indikator Kemiskinan

Ada dua pendekatan seseorang tergolong sebagai orang miskin. Pertama, pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia. Tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan keluarga, dengan memperhatikan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh suatu keluarga agar dapat


(42)

melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Termasuk didalamnya kebutuhan akan pangan, perumahan, sandang, pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak. Menurut pendekatan ini kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar kebutuhan yang sudah ditetapkan (Suparlan, 1993).

Kedua adalah pendekatan relatif yang mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan seseorang di dalam masyarakat. Tolok ukur yang dipakai adalah tingkat pendapatan kepala keluarga per bulan atau per tahun. Berdasarkan tolok ukur ini seseorang yang tergolong miskin ditentukan berdasarkan kedudukan relatifnya dalam masyarakat dengan memperhatikan sejauhmana mutu kehidupannya berbeda dibandingkan dengan rata-rata mutu kehidupan yang berlaku secara keseluruhan. Menurut pendekatan relatif, kemiskinan sekelompok orang dalam masyarakat yang hidup dalam keadaan melarat, terhina, dan tidak layak disebabkan tidak meratanya pembagian pendapatan di dalam masyarakat.

Kemiskinan dapat juga ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih berada dalam keadaan miskin bila


(43)

dibandingkan dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai kemiskinan relatif (Esmara, 1986).

Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk pemahaman tentang kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan pertama adalah perspektif yang melihat kemiskinan secara absolut yaitu berdasarkan garis absolut yang biasanya disebut dengan garis kemiskinan (Syahrir, 1992). Pendekatan yang kedua adalah pendekatan relatif, yaitu melihat kemiskinan itu berdasarkan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat.

Pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi adalah pendekatan dari segi garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan diartikan sebagai batas kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau rumah tangga untuk dapat hidup dengan layak. Akan tetapi, diantara para ekonom terdapat perbedaan dalam menetapkan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan tersebut.

Para pakar kemiskinan dan lembaga pemerintah mencoba menetapkan garis kemiskinan tersebut berdasarkan alasan yang logis, yaitu berdasarkan kebutuhan pokok (basic needs). Kebutuhan pokok (basic needs) merupakan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia baik yang berupa konsumsi individu seperti perumahan, pakaian, ataupun keperluan pelayanan sosial seperti kebutuhan air minum, transportasi, kesehatan, dan pendidikan (Sumardi dan Dieter, 1985).

Manullang (1971) membedakan kebutuhan pokok (basic needs) menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan skunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling utama, untuk mempertahankan hidup seperti makanan, pakaian, dan


(44)

perumahan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer seperti alat-alat dan perabotan.

Sinaga dan White (1980) menyatakan bahwa kemiskinan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka jumlahnya atau karena perkembangan teknologi yang rendah. Kondisi ini dapat diatasi dengan pembangunan infrastruktur fisik, pemasukan modal serta pengembangan teknologi baru. Kemiskinan buatan (tidak jauh bedanya dengan kemiskinan struktural). Menurut mereka, bahwa kemiskinan lebih erat hubungannya dengan perubahan-perubahan struktur ekonomi, teknologi dan pembangunan itu sendiri. Karena kelembagaan yang ada membuat masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Kemisknan buatan ini dapat diatasi, misalnya dengan mencari strategi perombakan struktural kelembagaan serta hubungan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Untuk menghasilkan program yang benar-benar mengenai sasaran penduduk miskin tersebut perlu dibuat pengelompokan penduduk miskin berdasarkan kriteria yang jelas, yaitu melalui penetapan suatu batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di daerah itu sendiri. Penetapan batas kemiskinan tersebut haruslah berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di suatu lokasi dengan kondisi dan waktu tertentu. Garis kemiskinan dapat pula digunakan untuk melihat berapa luas kemiskinan di suatu daerah, yaitu dengan melihat persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tersebut. Dengan demikian, garis kemiskinan


(45)

dapat juga digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di suatu daerah (Todaro, 1994).

Menurut BPS (2007), keluarga yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan dengan ciri-ciri atau kriteria sebagai berikut :

(i) Pembelanjaan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari Rp.175.324 untuk masyarakat perkotaan, dan Rp.131.256 untuk masyarakat pedesaan per orang per bulan di luar kebutuhan non pangan;

(ii) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah dan tidak ada keterampilan;

(iii) Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK;

(iv) Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya;

(v) Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan; dan

(vi) Akses informasi (koran, radio, televisi, dan internet) terbatas.

Menurut Sajogyo (1977), garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara dengan nilai beras dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah. Pendapat Sajogyo ini pada masa berikutnya mendapat kritikan dari Both dan Sundrum, karena dalam kenyataannya beras tidak merupakan bahan kebutuhan pokok penduduk pedesaan yang miskin terutama di Pulau Jawa.


(46)

Selain itu, taksiran Sajogyo masih mengundang kritik karena digunakannya data konsumsi rumah tangga dan mengalihkannya menjadi data dalam arti per kapita, yaitu dengan membaginya dengan ukuran rumah tangga rata-rata di setiap daerah. Di sini dianggap ukuran rumah tangga dalam setiap kelompok pengeluaran masyarakat adalah sama sedangkan pada kenyataannya tidak demikian (Suparta, 1997).

Dalam literatur studi kemiskinan didokumentasikan bahwa ukuran garis kemiskinan berdasarkan kemampuan pengeluaran per kapita untuk memenuhi suatu tingkat minimum kebutuhan kalori mula-mula dikemukakan oleh Den Daker dan Rath pada tahun 1971 dalam studi mereka di India. Ukuran garis kemiskinan ini kemudian diterapkan di Indonesia oleh BPS (Arief, 1993).

Di Indonesia untuk pertama kali BPS (tahun 1984) menetapkan garis kemiskinan berdasarkan nilai makanan dalam rupiah setara dengan 2.100 kalori per orang setiap hari ditambah dengan kebutuhan non pangan yang utama seperti sandang, pangan, transportasi, dan pendidikan.

Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan nisbi atau sering pula dikenal sebagai


(47)

kemiskinan struktural. Di dalam konsep kemiskinan nisbi dinyatakan bahwa garis kemiskinan berubah-ubah menurut kondisi perekonomian yang bersangkutan.

Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan mutlak. Dalam kemiskinan mutlak, suatu perekonomian mempunyai patokan garis kemiskinan yang tetap sepanjang waktu. Misalkan garis kemiskinan suatu perekonomian dinyatakan konsumsi kalori, yaitu 2.100 kalori per hari. Jika nilai tersebut dianggap konstan sepanjang waktu, maka kemiskinan yang terjadi di perekonomian tersebut adalah kemiskinan mutlak.

Tolok ukur kemiskinan dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dikategorikan ke dalam kelompok Pra KS 1 (Pra Keluarga Sejahtera Tahap Pertama) disebut miskin, bila lima indikator di bawah ini tidak dipenuhi oleh keluarga tersebut, yakni :

(i) Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama;

(ii) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;

(iii) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, belanja/sekolah, dan bepergian;

(iv) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; dan

(v) Anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan.

Departemen Sosial menetapkan bahwa seseorang individu berada di bawah Garis Fakir Miskin (GFM) apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimal, yaitu sejumlah rupiah untuk membayar makanan setara 2.100 kkal sehari ditambah nilai sewa rumah dan nilai satu stel pakaian. Batas miskin untuk makanan ditambah


(48)

pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut Garis Kemiskinan.

2.2 Penelitian Terdahulu

De Vos (1991) dengan mengunakan konsep Expended Linier Expenditure System dimana jumlah anak dianggap sebagai faktor pembeda (differentiating factor) terhadap pengeluaran subsisten. Hasil estimasi i semuanya bernilai positif dan konsisten dengan konsep pengeluaran subsisten. Total pengeluaran subsisten (Γi) dari berbagai jenis pengeluaran (makanan, pakaian, perumahan, pengeluaran lain yang bersifat tetap, pembangunan & rekreasi). Dengan bertambahnya jumlah anak. Total pengeluaran subsisten (Γi) atau garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga, yaitu kelompok dengan 1 hingga 6 anggota keluarga (AK) ternyata cukup bervariasi yaitu masing-masing 12.355, 16.489, 24.355, 28.476, 32.184, dan 33.912. Demikian pula koefisien dari masing-masing pengeluaran semuanya bertanda positif (sejalan dengan teori konsumsi Keynes) dan t hitung lebih besar dari t tabel.

Darlina (1994) mengemukakan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh dosen yang mengajar saja dan dosen yang berpendapatan selain mengajar digunakan sebagian besar untuk konsumsi bukan makanan. Secara keseluruhan konsumsi yang dilakukan dosen yang berpenghasilan hanya dari mengajar lebih besar daripada konsumsi yang dilakukan dosen yang berpendapatan selain mengajar. Hasil penelitiannya ditunjukkan dengan elastisitas antara kedua kelompok objek. Dosen yang hanya berpenghasilan dari mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5628


(49)

sedangkan dosen yang berpendapatan selain mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5383.

Keban (1995) mencoba menggambarkan profil kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dengan menganalisis rumah tangga berdasarkan data Susenas 1983. Di dalam analisisnya dinyatakan bahwa suatu keluarga tergolong miskin kalau ratio pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran melebihi 75 persen. Keban juga mengatakan bahwa criteria ini sifatnya multivariate yang disebut “Logit Regression” atau Logit. Temuannya tentang penyebab kemiskinan adalah perbedaan letak kabupaten, letak di kota dan didesa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota keluarga.

Sementara Masbar (1996) mengukur garis kemiskinan di Kodya Banda Aceh dengan menggunakan konsep Extended Linier Expenditure System dimana jumlah anak dianggap sebagai faktor pembeda terhadap pengeluaran subsisten. Total pengeluaran subsisten (Γi) atau garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok

anggota keluarga dengan 1 hingga 6 orang anak ternyata cukup bervariasi. Garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga itu adalah Rp. 102.977,78, Rp. 101.112,13, Rp. 166.950,68, Rp.164.803,69, Rp. 158.271,11 dan Rp. 210.239,39. Dengan demikian semakin banyak anggota keluarga itu semakin besar pula garis kemiskinannya. Namun demikian tingkat kemiskinan per kapita menjadi lebih rendah karena pendapatan relatif kecil itu dibagi dengan anggota yang lebih banyak.

BPS Daerah Istimewa Aceh (1999), Peta Konsumsi Pangan di Indonesia” menyatakan, secara Nasional diakui bahwa penduduk Aceh menduduki rangking teratas dalam mengkonsumsi karbohidrat dan protein hewani dan sebaliknya untuk


(50)

konsumsi protein nabati masih rendah. Disini berarti belum adanya penganekaragaman konsumsi pangan, hal ini sudah terpola sejak dahulu.

Susanti (2000) mengemukakan bahwa perkembangan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga di Provinsi Aceh periode 1986-1998 sebesar 5,2 persen per tahun. Pertumbuhan PDRB membawa pengaruh yang positif terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga masyarakat di Provinsi Aceh. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil regresi yang didapat C = 409,160 +0,61897PDRB. Sehingga membuktikan bahwa setiap perubahan dari pendapatan memberi efek pada konsumsi.

Anwar (2001) yang meneliti tentang dampak krisis moneter terhadap konsumsi masyarakat Provinsi Aceh menyimpulkan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan inflasi sebesar 98,5%. Namun koefisien inflasi secara parsial berhubungan dengan inflasi dengan koefisien -0,00256%. Untuk memperlihatkan dampak krisis digunakan variabel dummy, karena penelitiannya dimasukkan variabel inflasi, maka data yang digunakan merupakan data atas harga berlaku.

Isnawati (2001) yang meneliti tentang dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi dan tabungan masyarakat Provinsi Aceh menyimpulkan bahwa dampak dari krisis ekonomi terhadap konsumsi sebesar 78,05%. Sedangkan dampak krisis terhadap tabungan mencapai 97,6%.

Suparta (2003) penelitiannya juga menggunakan konsep Extended Linear Expenditure System di desa IDT pada Kabupaten Aceh Besar dengan jumlah tanggungan keluarga sebagai faktor pembeda. Hasil penelitian ini juga disebutkan bahwa keluarga dengan tanggungan lebih sedikit adalah lebih sejahtera dari pada keluarga dengan tanggungan lebih besar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa


(51)

variabel pendapatan, tanggungan keluarga, pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap pengeluaran jenis makanan masyarakat miskin.

Darma (2003) Hasil estimasi pada masing-masing kelompok pengeluaran yang mengikut sertakan variabel sosial dan ekonomi rumah tangga, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari variabel aktivitas ekonomi kepala rumah tangga, jenis mata pencaharian kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan tempat tinggal rumah tangga terhadap nilai garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan berdasarkan aktivitas ekonomi rendah (J1) Rp. 70986,635 dan aktifitas ekonomi tinggi (J3) Rp. 103531,874. Nilai garis kemiskinan berdasarkan jenis mata pencaharian petani (M1) Rp. 138309,885, jenis mata pencaharian buruh tani (M2) Rp. 167377,727, jenis mata pencaharian pedagang kaki lima (M3) Rp. 211600,798, jenis mata pencaharian nelayann tradisional (M4) Rp. 162701,942. Nilai garis kemiskinan berdasarkan tingkat pendidikan tinggi (S3) Rp. 89164,591. Nilai garis kemiskinan berdasarkan jumlah anggota keluarga 3 (A3) Rp. 255304, berdasarkan jumlah anggota 4 (A4) Rp.451203,108, berdasarkan jumlah anggota keluarga 5 (A5) Rp. 384799,917 dan berdasarkan jumlah anggota keluarga 6 (A6) Rp. 387410,846. Nilai garis kemiskinan berdasarkan tempat tinggal dikota Kabupaten (T1) Rp.95548,486 dan berdasarkan tempat tinggal didesa (T3) Rp. 50132,737.

Insya (2003) menyebutkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan mencapai Rp. 1.674.737 atau 79,26 persen sisanya 438.249,- atau 20,74 persen untuk kebutuhan non pangan. Sementara pola pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk keperluan makanan sebesar Rp. 1.674.754,- atau mencapai 79,26 persen dari total pengeluaran pertahun. Sedangkan untuk pengeluaran non


(52)

pangan terkonsentrasi pada kelompok perumahan, bahan bakar penerangan dan air sebesar 6,29 persen. Kemudian disusul untuk sandang sebesar 5,29 persen serta aneka barang dan jasa 4,5 persen. Pengeluaran untuk keperluan lainnya sebesar 3,05 persen. Sementara pengeluaran rumah tangga rata-rata perkapita perbulan mencapai Rp. 32.248,- terdiri dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan sebesar 79,25 persen dan sisanya untuk non pangan. Ini berarti pendapatan rata-rata rumah tangga berada di atas garis kemiskinan.

Arifin (2005) menyimpulkan bahwa dampak tsunami terhadap perekonomian Nanggroe Aceh Darussalam sangat besar tidak hanya pada sektor riel tetapi juga pada sektor moneter. Akibat dari tsunami diperkirakan jumlah pengangguran akan meningkat drastis karena rusaknya lahan pertanian serta industri kecil dan rumah tangga. Di sektor pertanian diperkirakan sekitar 300.000 orang akan kehilangan pekerjaan akibat rusak dan hilangnya lahan, di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) diperkirakan 170.000 orang kehilangan pekerjaan, ditambah lagi sektor perikanan sekitar 130.000 orang. Akibat dari meningkatnya jumlah pengangguran maka jumlah penduduk miskin akan bertambah mencapai ± 2 juta orang.

BRR NAD & Nias (2005) bencana gempa dan tsunami selain merenggut korban jiwa dalam jumlah yang sangat besar, juga menyebabkan kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Dalam aspek sosial dan kemasyarakatan kerusakan terjadi pada bidang pendidikan dimana diperkirakan 1.168 rumah sekolah rusak atau setara dengan 16,1% dari populasi sekolah yang ada di NAD, total keseluruhan kerugian di bidang pendidikan ditaksir mencapai satu trilyun rupiah. Dalam bidang perekonomian, bencana gempa dan tsunami menyebabkan kerusakan pada bidang


(53)

perindustrian dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan.

Ilhamuddin (2006) pada tahun 2004 pengeluaran per kapita penduduk Provinsi NAD Rp. 182.465, dimana sebagian besar digunakan untuk keperluan makanan (64,89 persen) dan sekitar sepertiganya(35,11 persen) untuk pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran penduduk kota relatif lebih besar (Rp. 257.569) daripada penduduk desa (Rp. 154.832). Sementara pengeluaran penduduk pedesaan untuk kebutuhan makanan 10 persen lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Hasil estimasi model regresi logistik menyimpulkan bahwa jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, sektor pekerjaan, status perkawinan, usia, jumlah jam kerja, dan jenis kelamin mempengaruhi kecenderungan tingkat pendapatan per kapita.

2.3 Kerangka Konseptual

Konsep variabel pengaruh pendapatan terhadap konsumsi paling banyak dijumpai dalam buku-buku makro ekonomi dan juga dalam model-model penelitian antara lain Anwar (2003), Isnawati (2000), Tokunaga (1997), Pindick R.S dan D.L Rubinfeld (1991), hampir semuanya mengadopsi teori konsumsi aliran Keynesian, yaitu: C = f(Y) dimana C adalah pengeluaran konsumsi dan Y adalah pendapatan. Secara linear fungsi ini dijabarkan dalam bentuk C =c0 +c1Y.

Fungsi konsumsi ini didasarkan pada tiga alasan yang dikemukakan oleh Keynes yaitu; Pertama, Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah antara nol dan satu. Kedua, Keynes menyatakan bahwa kecenderungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. Ketiga,


(54)

Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting (Mankiw, 2003:423).

Menurut model Evans (1969) jika fungsi konsumsi ditambahkan laju inflasi sebagai variabel lain yang diduga turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat, sehingga model lengkapnya menjadi C= f(YP,P). Dimana, C merupakan konsumsi, YP sebagai variabel pendapatan permanen dan P sebagai variabel inflasi. Secara linear model konsumsi ini dapat dikongkritkan menjadi

P c YP c c

C = 0 + 1 + 2 .

Sementara itu Malian (2003) mencoba memasukkan variabel tingkat bunga pinjaman dalam model konsumsi yang dikembangkan, yaitu

t ct dt

t D

M i

Y

C111 −β12131 dimana YD adalah pendapatan yang siap dibelanjakan, id adalah tingkat bunga simpanan dan Mc adalah impor barang konsumsi.

Pendekatan model pengeluaran rumah tangga juga banyak dijumpai dalam penelitian yang berhubungan dengan kemiskinan. De Vos (1991) yang memasukkan variabel jumlah anak sebagai faktor pembeda (differentiating factor). Sementara variabel pengeluaran subsistem terdiri dari; makanan, pakaian, perumahan, pengeluaran lain yang bersifat tetap, serta pengeluaran untuk pembangunan dan rekreasi. Variabel yang sama juga pernah digunakan oleh Masbar (1996) yang mengukur garis kemiskinan di Kota Banda Aceh dengan menggunakan konsep Extended Linier Expenditure System. Salah satu kesimpulan Masbar menyebutkan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin besar pula garis kemiskinan karena pendapatan relatif dibagi dengan anggota keluarga.


(55)

Keban (1995) menganalisis variabel perbedaan letak kabupaten, letak di kota dan di desa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota keluarga sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi garis kemiskinan berdasarkan pendekatan pengeluaran.

Sementara itu, Suparta (2003) dalam mengestimasi kelompok pengeluaran rumah tangga miskin, determinasinya adalah; pendapatan kepala keluarga yang siap pakai (Y) jumlah anak 1-6 orang (D1i-D6i), tingkat pendidikan kepala keluarga (ED7i

-ED9i), umur kepala keluarga (AG10i-AG12i), umur anak (CH13i-CH15i), aktivitas

ekonomi kepala keluarga (AE16i), dan jenis pekerjaan kepala keluarga (JOB17i).

Darma (2003) Dengan menggunakan model yang sama seperti Suparta, jenis pengeluaran rumah tangga yang dianalisis adalah; pengeluaran makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, perumahan dan fasilitas rumah tangga, aneka barang dan jasa dan jenis pengeluaran lainnya.

Berdasarkan beberapa konsep yang dikembangkan tersebut, maka kerangka pikir dari penelitian ini adalah sebagaimana terlihat pada gambar 2.2 di bawah ini:

P enge lua ra n K ons um si Rum ah T angga ( K )

Pendapatan rumah tangga (PDPT)

Aktivitas Ekonomi KK (AKE)

Jumlah anggota keluarga (ART)

Tempat tinggal di pesisir (D1)

-P enge lua ra n m aka na n ( KMKN ) -P enge lua ra n buka n m aka na n ( KB MK N )


(1)

4. Salah satu langkah (program) yang dilaksanakan oleh BRR dan juga beberapa NGO yang meluncurkan program Aceh Microfinance (AMF) sudah cukup tepat, hanya saja dalam implementasi dari program harus ada pendampingan kepada masyarakat sasaran, dan kontrol sosial dari semua elemen. Walaupun kesannya terlambat bagi BRR dalam program ini, kita patut mengacungkan jempol kepada beberapa NGO seperti Dompet Duafa, MercyCorps Aceh, Alianz Life yang bekerjasama dengan GTZ, juga masih banyak NGO lain yang intens dalam hal Aceh microfinance, bahkan sebenarnya BRR sendiri juga telah melakukan launching program ini. Namun demikian, bahwa microfinance ini bukanlah masalah kecil dan jangka pendek, melainkan program yang besar yang relevan dan diharapkan akan terus ada dalam jangka panjang

5. Strategi pengentasan yang dikemukakan oleh Sofyan Syahnur (Serambi Indonesia, 24/3/2007) yaitu indentifikasi, pembangunan sarana publik, dan implementasi kebijakan dan penegakan hukum. Menurut penulis sifat komprehensif dan akuntabel dalam pengelolaan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sangat diperlukan. Keberpihan pembangunan kepada masyarakat kecil yang berada di tiga cluster; pesisir, pedalaman, mapun perkotaan mutlak diperlukan. Selain itu juga komitmen kuat dari elemen-elemen yang terlibat (seperti pemerintah daerah, ulama, akademisi, maupun masyarakat), efisiensi pengelolaan keuangan, pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan, dan penegakan hukum.

6. Salah satu contoh keberhasilan pembangunan ekonomi yang mengakar pada masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dari Banglades dengan mengandalkan Grameen Bank telah berhasil membangun


(2)

ekonomi masyarakat Banglades dari tingkat yang paling rendah. Keberhasilan yang mereka capai sepatutnya dijadikan rujukan dalam pembangunan dan pemberantasan kemiskinan di Aceh Utara.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Acklay, Gardener (1992) Teori Ekonomi Makro, Terjemahan Paul Sitohang, Erlangga, Jakarta.

Anwar, Khairil (2001) Dampak Krisis Moneter Terhadap Konsumsi Masyarakat Provinsi Aceh, (Skripsi, tidak dipublikasi) Unsyiah Banda Aceh.

Arifin, Abdul Hadi, (2005) Transformasi Tsunami: Mengubah Tragedi Menjadi Kesempatan Untuk Pembangunan Berkelanjutan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, University of Malikussaleh Press, Lhokseumawe.

Asra, Abuzar (2000) Poverty And Inequality In Indonesia: Estimates, Decomposition, And Key Issues, Journal of the Asia Pacific Economy, pp. 1-21.

Badan Pusat Statistik (1999), Peta Konsumsi Pangan di Indonesia, BPS Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.

______ (1999) Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.

______ (2006) Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara, BPS Aceh Utara.

______ (2006) Penduduk Kabupaten Aceh Utara Tahun 2005, Jakarta.

______ (2007) Potret dan Prospek Ekonomi Indonesia Memanfaatkan Hasil Sensus Ekonomi, Makalah Sosialisasi Hasil Sensus Tahun 2006, Tanggal 14 Mei 2007, Lhokseumawe-NAD.

BRR NAD & Nias (2005) Rancangan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Buku Utama BRR Republik Indonesia, Bab II, Hal. 3.

Darlina (1994) Pengaruh Pendapatan Terhadap Tingkat Konsumsi: Studi Kasus Dosen Unsyiah, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 1 Nomor 1 hal. 1-13.

Darma, Adi (2003) Kajian Garis Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Di Kabupaten Aceh Timur, Journal of Economic, Management & Bussines, volume 1 No. 2, April 2003 hal. 1 - 15


(4)

Domowitz dan Elbadawi (1987) An Error Approach to Money Demand (The Case of Sudan), Journal of Development Economics, Vol. 26 pp. 257-275.

Dornbusch, R dan Fisher, S (1994) Macroekonomi, Edisi Keempat, Alih Bahasa Mulyadi, JA, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Dumairy (1996) Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Esmara, Hendra (1979) Kemiskinan dan Pembangunan di Indonesia, Kongres III HIPIS, Malang.

Ghozali, Imam (2005) Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, BP-Undip, Semarang.

Gujarati, Damodar (1978) Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa, Sumarno Zain, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hermawan, Asep (2006) Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, Penerbit Grasindo, Jakarta.

Husen, Zulkifli (1993) Pembangunan dan Masalah Kemiskinan, Unsyiah, Banda Aceh.

Ilhamuddin, Tasdik (2006) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga di Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004, Tesis (tidak dipublikasi), Unsyiah, Banda Aceh.

Insya, Suryadi (2003) Pola dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Rumah Tangga Pedesaan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Journal of Economic, Management & Bussines, volume 1 No. 1, Januari 2003 hal. 1–17. Isnawati, Cut (2001) Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi dan Tabungan

Masyarakat Provinsi Aceh, (Thesis, tidak dipublikasi) Unsyiah Banda Aceh. Kadariah (1996) Pengantar Teori Ekonomi Makro, Bina Aksara, Jakarta.

Kasryno, Faisal (2000) Sumberdaya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Pedesaan Indonesia, Jurnal FAE, Volume 18 No. 1 dan 2, Desember 2000, hal. 25-51.

Keban, Yeremias (1995) Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Majalah Prisma, No. 10 Tahun XXIV, Oktober 1995.

Koutsoyiannis (1977) Theory of Econometrics, Second Edition, The Macnillan Press Ltd, London.

Kuncoro, Mudrajad (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Penerbit AMP-YKPN, Yogyakarta.


(5)

Lains, Alfian (2006) Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Jilid II, LP3ES, Jakarta. Levinsohn, James et.al (1999) Impacts of The Indonesian Economics Crisis: Price

Changes and The Poor, NBER Working Paper, No. 7194

Malian, A. Husni (2003) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Produk Pertanian dan Produk Industri Pertanian Indonesia : Pendekatan Macroeconometric Models dengan Path Analysis, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 21 No. 2 Oktober 2003 hal. 97 – 121.

Malian, A. H dan Masdjidin Siregar (2000) Peran Pertanian Pinggiran Perkotaan Dalam Penyediaan Kesempatan Kerja dan Pendapatan Keluarga, Jurnal FAE, Volume 18 No. 1 dan 2, Desember 2000, hal. 65 -76.

Mankiw, N. Gregory (2003) Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta. Masbar, Raja (1996) Model Mikroekonomi Terhadap Garis Kemiskinan,

FE-Unsyiah, Banda Aceh.

Mubyarto dan Sardono Kartodiredjo (1990) Pembangunan Pedesaan di Indonesia, UGM, Jogyakarta.

Nachrowi, N. D dan Hardius Usman (2002) Penggunaan Teknik Ekonometri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nazir, Mohd. (1988) Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nicholson, Walter (1991) Teori Ekonomi Mikro I, Terjemahan Deliarnov, Rajawali, Jakarta.

Parkin, Michael (1993) Economics, Adison Wesley Publishing Company, New York. Pass dan Lowes (1994) Kamus Lengkap Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Penny, D.H. (1994) Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar, UI-Press, Jakarta.

Pindyck R.S. and D.L. Rubinfeld. (1991). Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, Inc., Singapore

Pitomo, S. (1992) Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta.

Putong, Iskandar (2003), Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rosydi, Suherman (1996), Pengantar Teori Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(6)

Samuelson, Paul dan Nordhaus, (1999), Mikro Ekonomi, Ed. XIV, Erlangga, Jakarta. Sobri (1987) Ekonomi Makro, BPFE-UGM, Yogjakarta.

Spencer, H. Milton (1977) Contemporary Macroeconomics, Worth Publisher Inc, New York

Suharyadi, Asep et.al (2000) The Evolution of Property During The Crisis in Indonesia 1996-1999, Policy Research Working Paper, No. 2435

Sukirno, Sadono (2000), Pengantar Teori Makroekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

______ (2006) Makroekonomi: Teori Pengantar, Edisi Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sumardi, Muldjanto (1982) Sumber Pendapatan Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, CV Rajawali, Jakarta.

Sumardi, M dan Dieters H.E (1985) Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, CV. Rajawali, Jakarta.

Suparlan, Parsudi (1984) Kemiskinan di Perkotaan, Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Suparta, I Wayan, (2003) Model Mikroekonometrika Dalam Menganalisis Garis Kemiskinan Rumah Tangga Penduduk Desa Tertinggal di Kabupaten Aceh Besar, Journal of Economic, Management & Bussines, volume 1 No. 1, Januari 2003 hal. 18 - 42

Susanti, C. Yuniar (2000) Analisis Pengaruh PDRB Terhadap Jumlah Konsumsi Masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 6 Nomor 3 hal. 332-345.

Susilowati, S. Hery dkk (2002) Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat, Jurnal FAE, Volume 20 No. 1, Mei 2002, hal. 85 -109.

Suyanto Nurhadi (2000), Ekonomi, Erlangga, Jakarta.

Todaro, M.P (1998) Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Tokunaga, S. (1997) A Quarterly Macro Econometric Model for Indonesian Economy. Paper presented on Seminar of Macroeconomic Modelling in Developing Countries, September 1997. FE-UI, Depok, Indonesia