Laju Dekomposisi Serasah Dalam Ekosistem Karst Di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH
DALAM EKOSISTEM KARST
DI GUNUNG CIBODAS, CIAMPEA BOGOR

SETHYO VIENI SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Laju Dekomposisi
Serasah dalam Ekosistem Karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Sethyo Vieni Sari
NIM G353130111

RINGKASAN
SETHYO VIENI SARI. Laju Dekomposisi Serasah Dalam Ekosistem Karst Di
Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan IWAN
HILWAN.
Ekosistem karst memiliki sumberdaya yang khas dan berpotensi tinggi
sehingga harus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masyarakat di sekitarnya.
Serasah merupakan komponen penting karena mampu menyediakan nutrisi untuk
tanah. Dekomposisi serasah merupakan lintasan utama dalam penyediaan bahan
organik dan anorganik tanah dalam proses daur ulang hara serta pengembalian
hara pada ekosistem. Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dipengaruhi
oleh jumlah produktivitas serasah dan laju dekomposisi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui produktivitas serasah dan laju dekomposisi yang terjadi dalam
ekosistem karst pada ekosistem karst di Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor.
Pengukuran produktivitas serasah menggunakan metode litter-trap.
Sebanyak 15 buah litter-trap berukuran 1m x 1m diletakkan dibawah pohon dan

50 cm diatas permukaan tanah di setiap ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300
mdpl). Pegukuran laju dekomposisi serasah menggunakan metode litter-bag.
Sebanyak 20 g serasah kering dimasukkan kedalam 27 buah litter-bag berukuran
30 cm x 20 cm dan diletakkan di setiap ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300
mdpl). Setiap minggu 3 buah litter-bag diambil dari setiap ketinggian untuk
analisis lebih lanjut. Analisis dekomposisi serasah menggunakan selisih
penurunan bobot serasah. Analisis kandungan C-organik dan N pada serasah dan
tanah juga dilakukan di setiap ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl.
Hasil pengukuran produktivitas serasah pada ekosistem karst di Gunung
Cibodas menunjukkan bahwa produktivitas serasah tertinggi yaitu pada bagian
daun di setiap ketinggian yaitu 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl. Produktivitas
serasah dari bagian daun mencapai 81.425 ton/ha/tahun, ranting 16.839
ton/ha/tahun, serta bunga dan buah 13.363 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah
total tertinggi terjadi pada minggu ke-6 di ketinggian 200 mdpl yaitu 90.452
ton/ha/tahun dan terendah terjadi pada minggu ke-3 di ketinggian 300 mdpl yaitu
25.440 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah pada ekosistem karst dipengaruhi oleh
curah hujan. Intesitas curah hujan tertinggi yaitu pada minggu ke-6 observasi dan
terendah yaitu minggu ke-3 observasi.
Laju dekomposisi serasah pada ekosistem karst di Gunung Cibodas
tergolong lambat. Laju dekomposisi serasah dan penurunan berat kering serasah

pada ketinggian 250 mdpl lebih cepat dibandingkan dengan ketinggian 200 mdpl
dan 300 mdpl. Berat kering serasah berkorelasi positif terhadap laju dekomposisi.
Semakin rendah berat kering serasah maka laju dekomposisi juga semakin lambat.
Berat kering serasah mengalami penurunan setiap minggunya hingga minggu ke-9
observasi. Pada ketinggian 250 mdpl terjadi penurunan berat serasah yang sangat
cepat diawal minggu pertama observasi. Rata-rata rasio C/N serasah setiap
ketinggian yaitu 28.716 (200 mdpl), 28.162 (250 mdpl), dan 28.024 (300 mdpl).
Rasio C/N serasah pada eksosistem karst di Gunung cibodas tergolong sedang
(>25) yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi.
Kata Kunci: Dekomposisi, Ekosistem karst, Gunung Cibodas, Rasio C/N, Serasah

SUMMARY
SETHYO VIENI SARI. Litter Decomposition Rate of Karst Ecosystems at
Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Supervised by IBNUL QAYIM and IWAN
HILWAN.
Karst ecosystem is a typical and high potential resources that should be
utilized in a sustainable manner for surrounding community. Litter are important
component because it’s provide nutrients to soil. Litter decomposition is the main
path to supply the organic and inorganic materials in the process of recycling the
soil nutrients and return nutrients to ecosystem. The role of litter in the enrichment

of soil productivity was influenced by the number of litter and litter
decomposition rate. This study aims to determine the productivity of litter and
litter decomposition rate in karst ecosystem at Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor.
Litter productivity measurement performed using litter-trap method. The
total of 15 litter-traps were placed on each altitude (200 masl, 250 masl and 300
masl) with a size of 1m x 1m under trees and 50 cm height above the ground. The
measurement of litter decomposition used litter-bag method. A total of 20 g dried
litter were put into 27 litter-bag with a size of 30 cm x 20 cm and placed on each
altitude (200 masl, 250 masl and 300 masl). Every week three litter-bags was
taken from every altitude for further analysis. Analysis of litter decomposition
used the differences in litter weight reduction. Analysis of organic carbon (C) and
nitrogen content in litter and soil was also conducted on three altitude of 200
meters, 250 meters and 300 meters above sea level.
Litter productivity measurement results on karst ecosystem in Gunung
Cibodas showed that the highest of litter productivity was leaves at every altitude
of 200 meters above sea level, 250 meters above sea level and 300 meters above
sea level. Productivity litter of leaves reached 81.425 ton/ha/year, twigs 16.839
ton/ha/year, as well as flowers and fruit 13.363 ton/ha/year. The highest total of
litter productivity was at 6th week of observation and on altitude of 200 meters
above sea level i.e. 90.452 tons/ha/year and the lowest was at 3rd week of

observation and on altitude of 300 meters above sea level i.e. 25.440 tons/ha/year.
The productivity of litter in karst ecosystem was influenced by rainfall. The
intensity of rainfall was high at 6th week of observation and low at 3rd week of
observation.
The rate of decomposition in karst ecosystem at Gunung Cibodas was slow.
The rate of decomposition and dry weight loss of litter on altitude of 250 meters
above sea level was faster than on altitude of 200 meters and 300 meters above
sea level. The dry weight was positively correlated to the rate of decomposition.
The lower of dry weight would affect the rate of decomposition become slower.
The dry weight of litter was decreased every weeks until 9th week of observation.
The decreased of litter at an altitude of 250 meters above sea level was very fast at
the first week of observation. The average of C/N ratio at every altitude were
28.716 (200 masl), 28.162 (250 masl), and 28.024 (300 masl). The C/N ratio of
litter were classified as moderate (>25) and indicated that the decomposition
process was slow.
Keywords: C/N ratio, Decomposition, Gunung Cibodas, Karst ecosystem, Litter

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH
DALAM EKOSISTEM KARST
DI GUNUNG CIBODAS, CIAMPEA BOGOR

SETHYO VIENI SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sulistijorini, MS

Judul Tesis : Laju Dekomposisi Serasah dalam Ekosistem Karst di Gunung
Cibodas, Ciampea Bogor
Nama
: Sethyo Vieni Sari
NIM
: G353130111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ibnul Qayim
Ketua

Dr Ir Iwan Hilwan, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Januari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih dalam penelitian ini adalah Laju Dekomposisi Serasah dalam Ekosistem
Karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan
Oktober 2014 hingga Februari 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ibnul Qayim dan
Dr Ir Iwan Hilwan, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan nasehat,
saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada
penguji luar komisi Dr Ir Sulistijorini, MSi dan Prof Alex Hartana, MSc selaku
moderator dalam ujian sidang, yang telah memberikan masukan pada saat ujian
sidang tesis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik. Kepada DIKTI
melalui Beasiswa Unggulan 2013/2014 terima kasih atas kepercayaannya untuk
memberikan beasiswa kuliah selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada staf laboratorium
Ekologi dan Fisiologi, yaitu Mbak wiwik dan Ibu Retno. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Mahyarudin, M.Si, Cut Syarifah Aqilah, Adenk,
Taufiq, Evan, Kak Nia, Siska, Haris, Rega, Bapak Taing dan Ibu Sumarsih atas
bantuan dan motivasinya selama penelitian. Kepada teman-teman Pascasarjana
Biologi Tumbuhan IPB 2013 terima kasih atas kebersamaan yang singkat dan
sangat indah. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan

kepada orang tua tercinta Bapak Suyitno, Ibu Kusmayati, dan kedua saudara
tersayang Kusno Purwanto, Kusworo windiarto, serta seluruh keluarga besar, atas
segala doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya selama ini. Semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, Maret 2016
Sethyo Vieni Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

4

Gunung Cibodas Ciampea

4

Ekosistem Karst

4

Dekomposisi

6

Serasah

6

Tanah

7

METODE

8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Bahan dan Alat

8

Pengambilan Data Vegetasi

8

Produktivitas Serasah

9

Dekomposisi Serasah

9

Pengambilan Sampel Tanah

10

Pengukuran Parameter Lingkungan

10

Analisis Data Vegetasi

10

Analisis Data Laju Dekomposisi

12

Analisis Data

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Hasil

14

Pembahasan

25

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL
1 Indeks nilai penting (INP) jenis dominan dan kodominan pada tingkat
pertumbuhan setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas,
Kecamatan Ciampea, Bogor
2 Indeks Dominansi Jenis (C), Kemerataan (E), dan Keanekaragaman (H’)
pada tiap tingkatan vegetasi setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung
Cibodas, Ciampea Bogor
3 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa
faktor pada ketinggian 200 mdpl
4 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa
faktor pada ketinggian 250 mdpl
5 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa
faktor pada ketinggian 300 mdpl
6 Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah setiap ketinggian
dalam ekosistem Karst
7 Rata-rata kandungan C, N, dan Rasio C/N pada serasah dan tanah dalam
ekosistem Karst
8 Hubugan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio
C/N pada serasah
9 Hubugan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio
C/N pada serasah
10 Kriteria sifat kimia tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst
Ciampea, Bogor
11 Kriteria sifat fisika tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst
Ciampea, Bogor
12 Hasil analisis fisika tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst
Ciampea, Bogor

15

16
18
18
19
20
21
22
22
23
24
24

DAFTAR GAMBAR
1

2

3
4
5

6
7

Bentuk petak contoh pengukuran vegetasi: A = Petak contoh 10 m x 10 m
(tiang: 10 cm < diameter batang < 20 cm dan pohon: ≥ 20 cm); B =
Petak contoh 5 m x 5 m (anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter
batang < 10 cm); C = Petak contoh 2 m x 2 m (anakan dengan tinggi <
1.5 m dan tumbuhan bawah/ semak/herba)
Produktivitas setiap bagian serasah (daun, ranting, bunga dan buah) pada
setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars
menunjukkan ±SD (standar deviasi)
Rerata produktivitas pada bagian serasah di setiap ketinggian 200, 250,
dan 300 mdpl. Error bar menunjukkan ±SD (standar deviasi)
Produktivitas serasah total pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl
selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi)
Kurva eksponensial bobot kering serasah (%) pada setiap ketinggian
200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD
(standar deviasi)
Laju dekomposisi pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama
9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi)
Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah melalui bobot kering
pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error
bars menunjukkan ±SD (standar deviasi)

9

16
17
17

19
20

21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata produktivitas bagian serasah per minggu (ton/ha/tahun)
2 Korelasi produktivitas serasah total terhadap kerapatn total tingkat
vegetasi dalam ekosistem Karst
3 Korelasi bobot kering serasah terhadap dekomposisi serasah dalam
ekosistem Karst
4 Faktor abiotik dalam ekosistem Karst Gunung Cibodas, Ciampea Bogor
5 Nilai produktivitas serasah
6 Bobot kering serasah (g)
7 Laju dekomposisi serasah
8 Kandungan C, N, dan Rasio C/N
9 Bobot kering serasah (g) setelah waktu pengamatan (Wt)
10 Indeks Nilai Penting (INP) dan Kerapatan Relatif (KR)
11 Gambar Litter trap dan Litter bag

39
40
41
42
43
44
44
45
47
48
52

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem karst merupakan ekosistem yang terdiri atas batuan kapur yang
mengandung kalsium karbonat/kalsit yang mudah larut oleh air hujan. Keadaan ini
menyebabkan ekosistem karst memiliki morfologi yang khas yaitu terbentuknya
retakan dan terowongan yang menyerupai relief. Ekosistem karst memiliki
sumberdaya yang berpotensi tinggi dan unik yang harus dimanfaatkan secara
berkelanjutan untuk masyarakat di sekitarnya, salah satunya adalah hutan.
Hutan pada tanah kapur di Indonesia memiliki luas sekitar 7.9 juta hektar.
Hutan di ekosistem karst sangat perlu mendapat perlindungan karena merupakan
sumberdaya yang tinggi dan ekosistem karst memiliki potensi dari segi nilai
budaya, ekologi, dan ekonomi. Kawasan karst dengan batuan khas, keberadaan
tebing, goa, dan sungai bawah tanah berpotensi sebagai objek wisata yang dapat
memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Benda-benda bersejarah dan fosil
yang ditemukan di kawasan karst bisa dijadikan sebagai pusat studi arkeologi dan
karst.
Vegetasi di ekosistem karst memiliki ciri-ciri yaitu kerapatan pohon dan
ketinggian pohon relatif rendah, diameter pohon berukuran kecil (10−20 cm), dan
luas bidang dasar yang relatif kecil (Anwar et al. 1984). Ukuran suatu kerapatan
tumbuhan sangat perlu diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran
yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan
air tanah dan hara. Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman
secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya satu atau beberapa unsur hara
secara berlebihan dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan
tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan
seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan
unsur hara dapat diindikasikan dengan laju dekomposisi serasah.
Serasah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Serasah
memindahkan unsur hara, nutrisi, dan energi dari vegetasi ke dalam tanah, hal ini
merupakan proses utama dalam siklus biogeokimia (Liu et al. 2004). Dekomposisi
serasah merupakan lintasan utama dalam penyediaan bahan organik dan anorganik
tanah dalam proses daur ulang hara serta pengembalian hara pada ekosistem
(Temel 2003). Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dipengaruhi oleh
produktivitas serasah dan laju dekomposisi.
Tipe ekosistem, kuantitas, dan kualitas serasah akan memengaruhi proses
dekomposisi serasah (Haettenschwiler et al. 2011). Kualitas serasah yang
memengaruhi dekomposisi adalah ukuran, rasio C/N, dan komposisi kimianya.
Pada penelitian Aprianis (2011) mengenai laju dekomposisi serasah
Acacia crassicarpa didapatkan hasil bahwa nisbah C/N dapat digunakan sebagai
indikator berjalannya proses dekomposisi serasah, karena perombakan bahan
organik akan menurunkan C/N serasah tersebut. Semakin lama waktu
dekomposisi yang dilakukan, maka nilai C/N semakin rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan C−organik pada serasah semakin rendah karena
digunakan oleh mikroorganisme sebagai bahan makanan, sedangkan kandungan N
dalam bahan akan meningkat yang berarti proses mineralisasi berjalan terus.
Dekomposisi penting dalam ekosistem hutan, karena mampu mengurangi

2
akumulasi serasah di permukaan tanah serta menjaga kesuburan tanah yang terus
berkurang akibat penyerapan unsur hara oleh tanaman.
Beberapa penelitian mengenai penentuan hubungan antara tanah dan
vegetasi di suatu ekosistem telah banyak dilakukan, seperti pengomposan bahan
organik. Penelitian yang dilakukan di ekosistem karst Gunung Cibodas
Kecamatan Ciampea Bogor masih sebatas vegetasi ekologi dan etnobotani oleh
Marwiyati (2012), komposisi jenis dan struktur vegetasi oleh Peniwidiyanti
(2014), keanekaragaman jenis flora oleh Sartika (2007), dan dinamika kandungan
klorofil dan LAI tumbuhan Prunus avium oleh Hafiz (2014). Pentingnya
penelitian mengenai dekomposisi serasah di ekosistem karst yaitu serasah
merupakan penyumbang terbesar kesuburan suatu ekosistem dan sebagai penyedia
hara bagi biota, akan tetapi penelitian ini belum pernah dilaporkan. Oleh karena
itu, penelitian mengenai laju dekomposisi serasah di ekosistem karst Gunung
Cibodas, Ciampea, Bogor sangat diperlukan.

Permasalahan
Karakteristik wilayah di ekosistem karst sangat spesifik. Hal ini
menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan terutama menyangkut fungsi dan
daya dukung ekosistem karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada di
dalamnya. Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menuntut tersedianya
sumberdaya alam yang mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, sehingga
keanekaragaman hayati yang ada di ekosistem karst dapat terancam akibat
kegiatan manusia.
Ekosistem karst di Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor ini merupakan salah satu ekosistem karst yang terancam keberadaannya
akibat adanya dampak negatif dari berbagai aktivitas manusia seperti
penambangan batu gamping atau kapur, perubahan tata guna lahan, pengunduhan
sarang burung walet, dan pembabatan hutan.
Ekosistem karst yang berbukit-bukit dengan kelerengan yang cukup curam
memberikan potensi terhadap terjadinya erosi dan longsor yang cukup besar.
Proses erosi dan longsor yang tak terkendali akan mengurangi solum tanah
(kedalaman lapisan tanah dari permukaan hingga bahan induk tanah), sehingga
akan menurunkan produktivitas dan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditinjau
dari interaksi status hara yang dilepaskan oleh tumbuhan melalui dekomposisi
serasah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas serasah dan laju
dekomposisi serasah dalam ekosistem karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor.

3
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi
dalam mempelajari laju dekomposisi serasah dan perpindahan energi antara
tumbuhan dan tanah yang ada di ekosistem karst. Serta dapat dijadikan sebagai
data pembanding untuk penelitian lanjutan. Selain itu juga, diharapkan dapat
bermanfaat dalam tata guna lahan yang akan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

4
TINJAUAN PUSTAKA
Gunung Cibodas Ciampea
Ekosistem karst atau yang biasa dikenal dengan ekosistem kapur di
Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor memiliki topografi
yang berbukit sampai bergunung dengan ketinggian ±350 mdpl dan kelerengan
25−50%. Tanah penyusunnya berupa tipe kompleks rensina dan litosol, yang
mempunyai tekstur halus dengan drainase cepat. Bahan induk tanah berupa batu
kapur. Menurut pembagian administrasi pengelolaan hutan, ekosistem Gunung
Cibodas ini berada dalam wilayah RPH Gobang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor,
Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten. Menurut administrasi pemerintahan,
ekosistem ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
(Bakosurtanal 1990).
Menurut Whitten et al. (1996) Gunung Cibodas merupakan salah satu
bentang alam karst daerah tropika basah yang terdapat di Pulau Jawa. Di Gunung
Cibodas juga memiliki beberapa gua vertikal. Gua di Gunung Cibodas diketahui
sebagai penghasil sarang burung walet dan sebagai habitat monyet ekor panjang
serta kelelawar. Ekosistem karst atau kapur di Gunung Cibodas Ciampea ini
membentang dari arah Timur-Barat dan menjulang tinggi di antara ekosistem
sekitarnya.
Secara keseluruhan luas ekosistem karst ini ±109 km2. Lokasi penelitian
terletak antara 106o41’−106o45’BT dan 6o33’−6o35’LS. Berdasarkan Peta Rupa
Bumi bagian Leuwiliang tahun 1990 yang dibuat oleh Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional (1990), batas-batas wilayah Gunung Cibodas Ciampea
adalah:
1. Sebelah Utara: berbatasan dengan Desa Ciareuteun Hilir dan Desa Ciampea
2. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Gedong dan Desa Kertasari
3. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Desa Bojongrangkas dan Desa Leuweung
kolot
4. Sebelah Timur: berbatasan dengan sungai Ciaruteun, Desa Leuwikancana,
dan Desa Cijujung.

Ekosistem Karst
Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa
Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini di negara asalnya
sebenarnya tidak berkaitan dengan batu gamping dan proses pelarutan, namun saat
ini istilah kras telah diadopsi untuk istilah bentuk lahan hasil proses perlarutan.
Ford dan Williams (1992) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi
hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai
porositas sekunder yang berkembang baik. Karst dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Terdapat cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan
bentuk,
2. Langka atau tidak terdapatnya drainase atau sungai permukaan,
3. Terdapat gua dari sistem drainase bawah tanah.

5
Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga
di batuan lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan
sesar intensif), seperti batuan gipsum dan batu garam. Batuan karbonat
mempunyai sebaran yang paling luas sehingga karst yang banyak dijumpai adalah
karst yang berkembang di batuan karbonat.
Proses permbentukan lahan karst didominasi oleh proses pelarutan. Proses
pelaturan batu gamping diawali oleh larutnya CO2 di dalam air membentuk
H2CO3. Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H- dan HCO32-. Ion H- inilah
yang selanjutnya menguraikan CaCO3 menjadi Ca2+ dan HCO32-. Secara ringkas
proses pelarutan dirumuskan dengan reaksi sebagai berikut:
CaCO3 + H2O + CO2  Ca2+ + 2 HCO3Karstifikasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor
pendorong. Faktor pengontrol menentukan dapat tidaknya proses karstifikasi
berlangsung, sedangkan faktor pendorong menentukan kecepatan dan
kesempurnaan proses karstifikasi. Faktor pengontrol seperti batuan mudah larut,
kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan, curah hujan yang cukup (>250
mm/tahun), batuan terekspos di ketinggian yang memungkinkan perkembangan
sirkulasi air/drainase secara vertikal. Faktor pendorong yaitu temperatur dan
penutupan hutan
Batuan yang mengandung CaCO3 tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi
kandungan CaCO3, semakin berkembang bentuk lahan karst. Kekompakan batuan
menentukan kestabilan morfologi karst setelah mengalami pelarutan. Apabila
batuan lunak, maka setiap kenampakan karst yang terbentuk seperti bukit akan
cepat hilang karena proses pelarutan itu sendiri maupun proses erosi dan gerak
masa batuan, sehingga kenampakan karst tidak dapat berkembang baik. Ketebalan
menentukan terbentuknya sikulasi air secara vertikal. Tanpa adanya lapisan yang
tebal, sirkulasi air secara vertikal yang merupakan syarat karstifikasi dapat
berlangsung. Begitu juga jika tanpa adanya sirkulasi vertikal, proses yang terjadi
adalah aliran lateral seperti pada sungai-sungai permukaan dan cekungancekungan tertutup tidak dapat terbentuk. Rekahan batuan merupakan jalan
masuknya air membentuk drainase vertikal dan berkembangnya sungai bawah
tanah serta pelarutan yang terkonsentrasi.
Vegetasi ekosistem karst tropika merupakan daya tarik bagi ahli botani
dan kehutanan sejak tahun 1880 (Ko 2003). Indonesia memiliki ekosistem karst
yang lebih luas dibandingkan dengan Malaysia serta jauh lebih bervariasi dari segi
topografi, keadaan tanah, fisiognami, letak geografis dan perbedaan iklim.
Vegetasi yang hidup di ekosistem karst sangat khas, baik dilihat dari segi bentuk
dan komposisi jenisnya. Pepohonan yang hidup di ekosistem karst biasanya kecil
dan bertajuk jarang, berkelok-kelok, serta menempel pada tebing-tebing. Jenisjenis pohon yang terdapat di tegakan hutan ekosistem karst menurut Vermeulen
dan Whitten (1999) terdiri dari famili Euphorbiaceae, Leguminosae, Moraceae,
Meliaceae, Sapindaceae, Ebenaceae, Rubiaceae dan Anacardiaceae. Namun jenisjenis tersebut bervariasi antar tempat tumbuh dan wilayah geografis.

6
Dekomposisi
Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara
kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah yang disebut mineralisasi
(Mulyani et al. 1991). Istilah dekomposisi sering digunakan untuk menerangkan
sejumlah besar proses yang dialami oleh bahan-bahan organik, yaitu proses sejak
dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel-partikel kecil
sehingga menjadi unsur-unsur hara yang tersedia dan dapat diserap oleh tanaman
kembali (Waring dan Schlesingan 1985).
Proses dekomposisi serasah dimulai dari proses penghancuran yang
dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati
menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi
yang dilakukan oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu oleh enzim
yang dapat menguraikan bahan organik seperti protein, karbohidrat, dan lain-lain
(Sunarto 2003). Proses dekomposisi dipengaruhi oleh kandungan bahan organik
tanaman, organisme dekomposer, dan faktor lingkungan. Produk dari dekomposisi
berupa hara serta unsur mineral lainnya.
Beberapa faktor yang memengaruhi dekomposisi diantaranya adalah:
1. Kelembaban
Mikroba dapat hidup berkembangbiak apabila keadaan lingkungannya
cukup lembab. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40−60%. Semakin
besar populasi mikroba berarti proses dekomposisi menjadi semakin cepat.
2. Suhu
Suhu dapat menentukan aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi
bahan organik. Pada saat mikroba aktif, suhu berkisar antara 40−55oC.
3. pH
Kisaran pH yang ideal untuk proses pengomposan adalah 6-8. Bila pH
terlalu tinggi, maka unsur N akan berubah menjadi NH3 yang akan
menimbulkan bau, sedangkan pH < 5 menyebabkan sebagian mikroba akan
mati sehingga memperlambat proses dekomposisi.
4. Rasio C/N
Proses dekomposisi akan mencapai optimum apabila rasio C/N dari
bahan organik berkisar antara 20:1 dan 40:1. Pada rasio C/N yang terlalu
tinggi akan menyebabkan proses dekomposisi berjalan lama, sedangkan rasio
C/N rendah menyebabkan proses pembusukan awal akan cepat, namun akan
terus menurun karena kekurangan unsur C sebagai sumber energi bagi
mikroba.
Serasah
Serasah adalah bahan-bahan yang telah mati, terletak di atas permukaan
tanah dan mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Komponen-komponen yang
termasuk serasah adalah daun, ranting, cabang kecil, kulit batang, bunga, dan
buah (Mindawati dan Pratiwi 2008). Serasah yang jatuh akan mengalami
dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi.
Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika terdapat penambahan mikroorganisme
tersebut.
Limbah serasah dari pepohonan dan tanaman, seperti dedaunan dan
ranting, memiliki komposisi selulosa sebesar 45% dari bobot kering bahan.

7
Hemiselulosa berkisar 20%−30% dan sisanya adalah lignin. Selulosa merupakan
polimer glukosa dengan ikatan β−1,4 glukosida dalam rantai lurus (Perez et al.
2002).
Komponen-komponen yang penting dari serasah adalah daun, ranting
dengan ukuran diameter < 1 cm dan cabang kecil dengan ukuran diameter ≤ 2 cm,
alat-alat reproduksi (bunga dan buah) dan kulit pohon (Proctor 1983). Menurut
Desmukh (1993), komponen yang membentuk lapisan serasah tumbuhan tidak
homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan seperti daun 72%,
kayu 16%, serta bunga dan buah 2%. Kehilangan tahunan dari daun, ranting,
bunga, buah, dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari jatuhan
serasah pada ekosistem hutan. Sekitar 70% dari total serasah di permukaan tanah
berupa serasah daun. Serasah yang jatuh ke permukaan tanah merupakan bagian
dari tumbuhan yang telah mati, yang tidak mengalami proses pertumbuhan lagi
dan akhirnya mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi (Soerianegara dan
Indrawan 1998).
Tanah
Tanah adalah suatu benda alam yang terdapat dipermukaan kulit bumi,
yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukan batuan, dan
bahan-bahan organik sebagai hasil pelapukan sisa-sisa tumbuhan dan hewan.
Tanah merupakan medium atau tempat tumbuhnya tanaman dengan sifat-sifat
tertentu, yang terjadi akibat dari pengaruh kombinasi faktor-faktor iklim, bahan
induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan lamanya waktu pembentukan (Yuliprianto
2010).
Struktur tanah merupakan suatu sifat fisik yang penting karena dapat
memengaruhi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung. Hal ini dapat berupa
perbaikan peredaran air, udara dan panas, aktivitas jasad hidup tanah, tersedianya
unsur hara bagi tanaman, perombakan bahan organik, dan mudah tidaknya akar
dapat menembus tanah lebih dalam. Tanah yang berstruktur baik akan membantu
berfungsinya faktor-faktor pertumbuhan tanaman secara optimal, sedangkan tanah
yang berstruktur jelek akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Struktur tanah dapat dikatakan baik apabila di dalamnya terdapat penyebaran
ruang pori-pori yang baik, yaitu terdapat ruang pori di dalam dan di antara agregat
yang dapat diisi air dan udara dan sekaligus mantap keadaannya. Agregat tanah
sebaiknya mantap agar tidak mudah hancur oleh adanya gaya dari luar, seperti
pukulan butiran air hujan. Agregat tanah yang mantap akan tahan erosi sehingga
pori-pori tanah tidak gampang tertutup oleh partikel-partikel tanah halus, dan
infiltrasi tertahan, serta limpasan permukaan (run off) menjadi besar. Kegiatan
yang berupa pengolahan tanah, pembajakan, pemupukan termasuk pengapuran
dan pupuk organik, lebih berhubungan dengan aspek struktur daripada aspek
tekstur tanah (Yulipriyanto 2010).

8
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan Oktober 2014
sampai dengan Februari 2015. Pangambilan sampel serasah dan tanah dilakukan
di Ekosistem Karst, Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
Analisis kandungan karbon (C) dan nitrogen (N) pada sampel serasah dan tanah
dilakukan di Balai Penelitian Tanah Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah sampel serasah dan tanah pada ekosistem
karst, Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor. Alat yang digunakan adalah alat tulis,
kertas label, perlengkapan pembuatan herbarium, buku-buku identifikasi, sebuah
tipe komunitas tumbuhan sebagai objek, litter-trap (penampung serasah), litterbag (kantung serasah) yang terbuat dari nylon memiliki mata jala 1 mm, tali
plastik (raffia), potongan bambu, oven, timbangan, dan kantung plastik ukuran 1
kg, pisau, ember, GPS-60 Garmin, digital instrument 4 in 1 Lutron, Soil tester
Demetra, kompas Engineer, dan meteran.

Pengambilan Data Vegetasi
Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan analisis vegetasi
menggunakan petak contoh. Petak contoh yang digunakan adalah kombinasi antar
jalur dengan cara garis berpetak, dimana untuk tingkat pohon dan tiang dilakukan
cara jalur sedangkan untuk tingkat semai dan pancang digunakan cara garis
berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998). Prosedur pengambilan contoh dan
pengukuran di lapangan sebagai berikut:
a) Unit contoh vegetasi berbentuk jalur sebanyak 3 jalur pada ketinggian 200,
250, dan 300 mdpl. Jalur berukuran panjang 100 m dan lebar 10 m. Untuk
memudahkan kegiatan pengukuran di lapangan maka masing-masing jalur
dibagi kedalam beberapa petak contoh dengan ukuran 10 m x 10 m
(Gambar 1).
b) Petak contoh dibuat pada jalur-jalur pengamatan secara petak bertingkat
(nested sampling) yaitu ukuran petak 10 m x 10 m untuk pohon dan tingkat
tiang, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai
dan tumbuhan bawah.
c) Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang meliputi nama jenis,
jumlah individu, diameter batang, dan tinggi total. Untuk pancang dan semai
data yang dikumpulkan meliputi nama jenis dan jumlah tiap jenis.

9
10 m

B
10 m

C
A

100 m
Gambar 1 Bentuk petak contoh pengukuran vegetasi: A = Petak contoh 10 m x 10
m (tiang: 10 cm < diameter batang < 20 cm dan pohon: ≥ 20 cm); B =
Petak contoh 5 m x 5 m (anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter
batang < 10 cm); C = Petak contoh 2 m x 2 m (anakan dengan tinggi <
1.5 m dan tumbuhan bawah/semak/herba)
Produktivitas Serasah
Pengukuran produktivitas serasah menggunakan litter trap (penampung
serasah) (Brown 1984) dalam petak pengamatan dengan ukuran 10 m x 100 m di
setiap ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl. Setiap petak diletakkan 15
buah litter trap berukuran 1 m x 1 m di bawah tegakan dengan tinggi trap 50 cm
di atas permukaan tanah. Serasah yang terkumpul pada litter trap diambil setiap 7
hari sekali selama 9 minggu. Komponen-komponen serasah dipisahkan bagiannya
seperti daun, ranting, bunga dan buah. Serasah di bawa ke laboratorium fisologi
tumbuhan Dept. Biologi FMIPA IPB, dikeringkan di dalam oven suhu 700C
sampai bobotnya konstan. Serasah kering ditimbang dengan satuan g/m2/minggu
yang kemudian dikonversikan menjadi ton/ha/tahun (ketelitian 0.1 g).

Dekomposisi Serasah
Pengukuran laju dekomposisi serasah menggunakan litter-bag (kantong
serasah) (Ribeiro et al. 2002). Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan
serasah dimasukkan ke dalam kantong serasah yang ditempatkan pada lantai
hutan, hal ini dimaksudkan agar terjadi proses dekomposisi sealami mungkin
(Moore et al. 1984). Pengamatan dari kantong serasah (litter-bag) dilakukan pada
interval tertentu untuk memperkirakan kecepatan/laju dekomposisi serasah
(Haraguchi et al. 2002).
Sampel serasah yang akan digunakan dikumpulkan menggunakan littertrap method (metode alat penampung serasah) (Brown 1984) supaya diketahui
umur serasah. Sampel serasah yang akan didekomposisi dikumpulkan
menggunakan litter-trap selama 4 minggu.
Serasah yang didekomposisi terdiri dari helaian daun (lamina) dan tangkai
daun (petiol). Serasah yang tertampung kemudian dioven pada suhu 70oC selama
±48 jam, setelah itu dikeringkan sampai bobot konstan (Ashton et al. 1999).
Serasah yang sudah kering ditimbang dan dimasukkan ke dalam kantong serasah
(litter-bag) sebanyak 20 g dengan ukuran 30 cm x 20 cm. Jumlah kantong serasah
(litter-bag) di setiap ketinggian sebanyak 27 buah, sehingga jumlah dari 3

10
ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl) sebanyak 81 buah kantong
serasah (litter-bag) yang ditempatkan di lantai hutan. Setiap minggunya sebanyak
3 kantong serasah (litter-bag) diambil dari setiap ketinggian dan dibawa ke
laboratorium, setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC. Serasah yang
telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur penurunan bobot keringnya setelah
itu dimasukkan dalam kantong plastik untuk dianalisis kandungan karbon (C) dan
nitrogen (N) di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian.

Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah yang diambil merupakan sampel tanah komposit, yang
berasal dari tanah tempat kantong serasah (litter-bag) diletakkan di lantai hutan.
Sampel tanah yang diambil berasal dari campuran tanah dalam satu ketinggian.
Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, dan sisa-sisa tanaman. Tanah
dicangkul sedalam lapisan olah (0−20 cm), kemudian pada sisi bekas cangkulan
diambil setebal 1.5 cm dengan menggunakan skop. Sampel tanah yang diambil
sebanyak 500 g dari setiap bekas cangkulan, kemudian dicampur dan diaduk
dalam hamparan plastik, kemudian dibersihkan dari sisa akar tanaman.
Selanjutnya diambil kira-kira 1 kg, dimasukkan ke dalam kantong plastik
(Balittanah 2000). Pengambilan sampel tanah dilakukan bersamaan pengambilan
kantong serasah (litter-bag) setiap seminggu sekali selama 9 kali. Analisis tanah
dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian yang
terdiri atas pengukuran C-organik dan N.

Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan meliputi kecepatan angin, intensitas
cahaya matahari, kelembaban udara, temperatur udara menggunakan alat digital
instrument 4 in 1. Kelembaban tanah dan pH tanah menggunakan Soil tester,
sedangkan temperatur tanah menggunakan termometer air raksa. Penentuan lokasi
dan ketinggian tempat menggunakan alat Garmin Global Positioning System
(GPS)-60. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap pengambilan
sampel serasah dan tanah.
Analisis Data Vegetasi
Analisis data vegetasi untuk mengetahui gambaran tentang
keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi vegetasi maka dilakukan
perhitungan terhadap parameter yang meliputi indeks penting, indeks dominansi,
indeks kemerataan, indeks keanekaragaman jenis sebagai berikut:
a. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) diperoleh dari:
INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon dan tiang),
INP = KR + FR (untuk tingkat pancang dan semai serta tumbuhan
bawah)

11
Jumlah individu per jenis
Kerapatan mutlak jenis i (KMi) =

(ind/ha)
Luas plot contoh
Kerapatan mutlak jenis

Kerapatan relatif jenis i (KRi) =

x 100%
Jumlah kerapatan jenis

Jumlah plot yang diduduki jenis i
Frekuensi mutlak jenis i (FMi) =
Jumlah plot seluruhnya
Frekuensi mutlak jenis i
Frekuensi relatif jenis i (FRi) =

x 100%
Total frekuensi seluruh jenis
Luas bidang dasar jenis
(m2/ha)

Dominasi mutlak jenis i (DMi) =
Luas plot contoh
Dominasi mutlak jenis i
Dominasi relatif jenis i (DRi) =

x 100%
Total DM seluruh jenis

b. Indeks Dominansi Jenis
Indeks Dominansi Jenis digunakan untuk mengetahui pemusatan dan
penyebaran jenis dominan. Untuk mengetahui indeks dominansi jenis
digunakan rumus sebagai berikut (Odum 1993):
2

Keterangan:
C = indeks dominansi jenis
ni = INP jenis ke-i
N = total INP
Kisaran nilai Indeks Dominansi Jenis adalah 0 ≤ C ≤ 1. Nilai C
mendekati 1 menunjukkan bahwa pada suatu tegakan hanya dikuasai oleh
satu jenis atau terjadi pemusatan pada satu jenis tumbuhan saja. Jika nilai C
mendekati 0 maka tidak ada pemusatan pada satu jenis tumbuhan.
c. Indeks Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus
Shannon-Wiener Index of General Diversity (Maguran 1988):

12

Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon
pi = i/p
i
= jumlah jenis ke- i
p = total seluruh jenis
d. Indeks Kemerataan Jenis
Kemerataan jenis ditentukan dengan menggunakan rumus indeks
kemerataan jenis Evenness (E) sebagai berikut (Krebs 1989):

Keterangan:
E = indeks Kemerataan Jenis
H’ = indeks keanekaragaman jenis
S = jumlah seluruh jenis
Jika nilai E mendekati 1 maka kemerataan jenis semakin tinggi.

Analisis Data Laju Dekomposisi
Rata-rata produktivitas serasah per plot diperoleh dari setiap pengamatan
dengan rumus:
ƩXi
Xj =
n
Keterangan:
Xj
= rata-rata produksi serasah per plot setiap minggu (ton/ha/tahun)
Xi
= produksi serasah per plot setiap periode
n
= jumlah trap

Penurunan bobot didapat dengan rumus:

W=

Wo – Wt
x 100%
Wo

Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan rumus:
Wo – Wt
R=
T

13
Keterangan:
R
= laju dekomposisi (g/minggu)
T = waktu pengamatan (minggu)
Wo
= bobot kering awal serasah
Wt
= bobot kering akhir serasah (gram) per periode waktu t
W
= penurunan bobot

Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah diperoleh dengan
menggunakan rumus (Ashton et al. 1999):
Wt = Wo.e-kt
ln(Wt/ Wo) = -kt
Keterangan:
Wt
= bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke -t (g)
Wo
= bobot kering serasah awal (g)
e
= bilangan logaritma natural (2.72)
k
= konstanta laju dekomposisi serasah
t = waktu pengamatan (minggu)

Analisis Data
Data produktivitas serasah dan laju dekomposisi dianalisis menggunakan
SPSS 16.0 sofware dan bantuan Microsoft Excel 2007. Untuk menentukan
korelasi antara masing-masing parameter digunakan korelasi Pearson’s. Uji lanjut
dilakukan dengan p