Nilai Guna Langsung Ekosistem Karst Gunung Cibodas Bogor, Jawa Barat

(1)

1.1 Latar Belakang

Sebaran batu gamping di Indonesia terdapat di seluruh pulau baik pulau besar maupun pulau kecil. Pulau besar tersebut diantaranya Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Madura, Bali, Halmahera, Lombok, Sumbawa, Flores dan pulau kecil seperti Sumba, Nusa Penida, Seram, dan Muna (Kurniawan 2010). Luas karst Indonesia hampir mencapai 20% dari luas seluruh wilayah Indonesia. Karst memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi baik hayati maupun non hayati (Adji et al. 1999). Menurut Suryantoro (2000) kawasan karst biasanya memiliki bentang alam eksotis, flora fauna langka, berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, kaya bahan tambang, serta kaya akan peninggalan pra sejarah. Keragaman hayati di dalam ekosistem karst biasanya memiliki tingkat endemisme yang tinggi. Hal ini disebabkan biota terutama yang hidup di dalam goa pada ekosistem karst hanya mampu bertahan pada ekosistem tersebut.

Potensi karst sebagai bahan non-tambang di Indonesia saat ini masih kurang disadari oleh masyarakat, umumnya hanya dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi bahan galian untuk bahan bangunan atau bahan baku semen. Padahal kawasan karst memiliki potensi ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1456 tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, kawasan karst memiliki tiga nilai strategis, yaitu: (1) nilai ekonomi, berkaitan dengan usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air, dan pariwisata; (2) nilai ilmiah, berkaitan dengan ilmu-ilmu kebumian, speleologi, biologi, arkeologi, dan paleontologi; serta (3) nilai kemanusiaan, berkaitan dengan keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual, dan agama atau kepercayaan.

Ekosistem Karst Gunung Cibodas merupakan bentang alam karst dengan bentuk bukit tunggal yang memanjang dari arah timur ke barat. Topografi di sekeliling ekosistem karst ini berupa dataran, sehingga merupakan satu-satunya karst berupa bukit yang terisolir. Kondisi ini membuat ekosistem karst tersebut menjadi rentan (fragile) dan terancam kepunahan baik hayati maupun non hayati. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan eksploitasi berupa penambangan batu


(2)

gamping yang berlangsung sejak tahun 1950-an. Pada saat ini, Gunung Cibodas mengalami degradasi yang disebabkan oleh kegiatan pengambilan batu gamping oleh masyarakat setempat yang menggantungkan kebutuhan ekonominya dari hasil penjualan batu gamping tersebut. Di sisi lain, ekosistem ini menyediakan barang dan jasa lingkungan berupa kayu bakar, sarang burung walet yang berasal dari goa-goa di dalam ekosistem karst, pemandangan yang indah untuk rekreasi, tebing dan goa untuk kegiatan olah raga minat khusus, sumber air yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga dan pertanian masyarakat, serta jasa lingkungan lainnya.

Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa (sumberdaya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat ataupun organisasi (Bahruni 1999). Menilai manfaat ekosistem Karst Gunung Cibodas perlu dilakukan sebagai bahan untuk memberikan informasi seberapa besar nilai yang terdapat dalam ekosistem tersebut yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pengelolaan. Konversi lahan yang mungkin terjadi seperti pembuatan pemukiman, lahan pertambangan, dan sebagainya bisa dipertimbangkan secara lebih hati-hati setelah mengetahui nilai ekonomi yang terdapat di dalam ekosistem Karst Gunung Cibodas. Penelitian ini penting untuk mengidentifikasi potensi unsur hayati dan non hayati serta mengungkap nilai ekonomi ekosistem Karst Gunung Cibodas.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi potensi biofisik ekosistem Karst Gunung Cibodas dan menduga nilai guna langsung ekosistem Karst Gunung Cibodas.

1.3 Manfaat

Manfaat penelitian adalah sebagai informasi dan bahan masukan untuk pengelolaan ekosistem Karst Gunung Cibodas.


(3)

2.1 Karst dan Pembentukannya

Karst adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang khas berupa bukit, lembah, dolina (cekungan), dan goa. Karst terbentuk dari proses alam yang disebut dengan proses karstifikasi. Kawasan karst adalah kawasan batuan karbonat (batu gamping CaCo3 dan dolomite Ca[MgCO3]2) yang

memperlihatkan morfologi karst (KESDM 2000). Karst dan kawasan karst dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan yang dipengaruhi oleh air. Proses pelarutan ini dipercepat oleh adanya CO2 yang terdapat pada atmosfer di bagian

atas permukaan tanah maupun yang berada di bawah permukaan tanah. Air hujan yang bereaksi dengan CO2 membentuk H2CO3 (asam karbonat) dan bersifat

reaktif terhadap kalsium sehingga terbentuk kalsium karbonat atau batu gamping (CaCO3).

Samodra (2001) menjelaskan bahwa secara sempit kawasan karst dapat diartikan sebagai suatu kawasan yang diwarnai oleh kegiatan pelarutan atau karstifikasi. Dalam konteks yang lebih luas, kawasan karst merupakan perpaduan antara unsur-unsur morfologi, kehidupan, energi, air, gas, tanah, dan batuan yang membentuk satu kesatuan sistem yang utuh. Gangguan terhadap salah satu unsur akan mempengaruhi seluruh sistem.

2.2 Manfaat dan Nilai Ekonomi Ekosistem Karst

Ekosistem karst memiliki berbagai manfaat, manfaat dari ekosistem karst antara lain (KLH 2009):

 Tempat penyimpanan air yang secara bertahap dapat disalurkan ke tempat lain.

 Habitat yang sesuai bagi fauna yang tinggal di goa-goa karst seperti kelelawar yang berfungsi sebagai penyerbuk, penyebar biji, dan pengendali hama serta penyakit yang berasal dari serangga.

 Habitat burung walet yang bersarang pada goa-goa karst dan menghasilkan sarang walet yang bernilai ekonomi, serta mengendalikan populasi serangga yang menjadi hama dan menyebarkan penyakit.


(4)

 Kawasan karst memiliki pemandangan yang indah sebagai lokasi tujuan wisata.

 Beberapa kawasan karst memiliki nilai tradisi troglodit (tradisi masyarakat yang masih menggunakan goa atau ceruk sebagai bagian dari tradisinya; seperti kuburan toraja, kandang ternak, dan sebagainya).

 Beberapa kawasan karst memiliki nilai pusaka budaya yang merupakan lokasi bersejarah.

 Kawasan karst kaya akan bahan galian tambang sehingga berpotensi sebagai kawasan pertambangan.

2.3 Potensi Kawasan Karst

Kawasan karst memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. Potensi ekosistem karst yang bisa dikembangkan diantaranya meliputi potensi biotik maupun potensi abiotik. Pengembangan dari potensi kawasan karst tersebut tentunya mampu menjadi bahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sumber pendapatan bagi negara.

Potensi biotik yang dapat dikembangkan dari ekosistem karst diantaranya goa sebagai habitat burung walet, kelelawar, dan satwa lainnya. Burung walet membuat sarang dari air liurnya, dan kelelawar menghasilkan kotoran yang disebut guano. Sarang burung walet bisa dijadikan bahan konsumsi dan guano merupakan bahan pupuk yang bagus. Kedua barang ini memiliki nilai ekonomi tinggi yang bisa dijadikan sumber pendapatan. Selain walet dan kelelawar, goa juga merupakan habitat bagi satwa lain baik vertebarata maupun invertebrata yang tentunya memiliki fungsi tersendiri dalam ekosistem karst. Potensi biotik lainnya adalah potensi flora atau tumbuhan yang hidup di dalam kawasan karst. Kondisi ini memberikan potensi untuk pengembangan bidang kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kondisi hutan yang baik membuat proses perusakan karst menjadi terhambat (Suryatmojo 2006).

Potensi abiotik yang dapat dikembangkan dalam kawasan karst yaitu potensi sumberdaya air di bawah permukaan berupa sungai bawah tanah yang mampu mengatasi kekurangan ketersediaan air permukaan. Potensi bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi namun harus dilakukan secara terkendali


(5)

pada zona yang ditetapkan sebagai zona pertambangan. Kawasan karst dengan lanskap dan batuan yang khas dan fisiografi yang unik dengan keberadaan tebing, goa dan sungai bawah tanah berpotensi sebagai objek wisata minat khusus yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Benda-benda bersejarah dan fosil purba yang ditemukan di dalam kawasan karst bisa dijadikan sebagai pusat studi arkeologi dan studi tentang karst. Kawasan lembah yang merupakan pengendapan hasil erosi di perbukitan karst memiliki potensi luasan yang ideal untuk dikembangkan sebagai areal produktif melalui pertanian dan perkebunan (Suryatmojo 2006).

2.4 Konsep Sistem Nilai

Nilai adalah hasil persepsi manusia, tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan), bagi orang (individu) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap sesuatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Bahruni 1999).

Pagiola, Ritter, dan Bishop (2004) menjelaskan nilai ekonomi total terdiri atas nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non use value). Nilai guna terdiri atas nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value), sedangkan nilai bukan guna berupa nilai keberadaan (existence value).

Nilai guna langsung adalah nilai diperoleh dari barang-barang yang dihasilkan, dikonsumsi, dan digunakan secara langsung. Pemanenan hasil hutan dan kegiatan wisata alam merupakan contoh dari nilai guna langsung. Nilai guna tidak langsung adalah nilai fungsi yang diperoleh dari jasa lingkungan. Nilai guna tidak langsung bisa berupa peran hutan sebagai pelindung tata air dan penghasil oksigen. Nilai pilihan adalah nilai yang diperoleh dari pemeliharaan atau pilihan dari perolehan keuntungan suatu nilai guna di masa yang akan datang. Kegunaan nilai pilihan bisa dirasakan dimasa datang, misalnya kegiatan melestarikan hutan. Berbeda dengan nilai guna, nilai bukan guna merupakan manfaat lingkungan yang


(6)

tidak ada kaitannya dengan dengan penggunaan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung. Contoh nilai keberadaan yang merupakan nilai bukan guna adalah keberadaan hutan yang berperan sebagai habitat satwa.

Sumber : Pagiola et al. (2004)

Gambar 1 Klasifikasi nilai ekonomi total.

2.5 Metode Penilaian Sumberdaya Alam

Menurut Bahruni (1999), metode penelitian nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan yang merupakan nilai fungsi dan atribut dari sumberdaya hutan ditentukan berdasarkan pada dapat tidaknya nilai hutan tersebut direfleksikan pada nilai-nilai manfaat yang mudah terukur.

Penelitian yang dilakukan Kurniawan (2010) mengenai nilai sebagian dari jasa lingkungan Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP) dilakukan dengan beberapa metode. Nilai guna langsung sebagai lokasi kunjungan wisata dinilai dengan metode biaya perjalanan dan nilai guna air berdasarkan jumlah produksi dan harga air baku PDAM serta keuntungan lahan pertanian dari sawah irigasi. Nilai guna tidak langsung KKMP yang dihitung adalah nilai kawasan sebagai pencegah bencana alam seperti banjir, longsor, dan kekeringan akibat kerusakan lingkungan. Nilai guna tidak langsung didekati dengan metode kontingensi. Selain itu juga dilakukan penilaian terhadap nilai bukan guna berupa nilai kelestarian keanekaragaman hayati dengan menggunakan metode kontingensi. Nilai ekonomi total dari sebagian nilai jasa lingkungan KKMP setiap tahunnya adalah sebesar Rp 2.072.501.086.700.

Dalam penelitian Yana (2010), analisis nilai ekonomi hutan sebagai pengendali erosi dilakukan dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan barang pengganti atau nilai banding dengan barang lain yang memiliki harga

NILAI EKONOMI TOTAL

NILAI BUKAN GUNA NILAI GUNA

Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Guna

Langsung

Nilai Pilihan Nilai


(7)

pasar dan diidentifikasi dengan pendekatan produktivitas. Anggaraspati (2002) melakukan analisis terhadap nilai keberadaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan metode kontingensi, yaitu nilai kesediaan membayar (WTP). Hal ini serupa dengan Ridha (2008), yang melakukan analisis nilai ekonomi wisata kawasan Situ Lengkong Panjalu menggunakan metode kontingensi yaitu kesediaan membayar (WTP) dan kesediaan menerima (WTA), sedangkan Rofiko (2003), menganalisis nilai ekonomi total kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dengan metode harga pasar dan metode kontingensi.


(8)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai Mei 2011 di Gunung Cibodas Kabupaten Bogor Jawa Barat.

3.2 Alat dan Objek

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Binokuler, digunakan untuk mengamati burung dan mamalia.

2. Fieldguide satwa (burung, mamalia, herpetofauna) digunakan untuk mengidentifikasi jenis satwa.

3. Alat penerangan (senter/headlamp), digunakan untuk mengamati herpetofauna pada malam hari.

4. Alat tulis, digunakan untuk mencatat data.

5. Kompas, digunakan untuk menentukan arah jalur.

6. GPS (Gobal Positioning System), digunakan untuk mengambil koordinat pengamatan dan lokasi potensi biofisik.

7. Kamera digital, digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan. 8. Stopwatch, digunakan untuk mengukur waktu pengamatan.

9. Panduan wawancara/kuisioner, digunakan dalam kegiatan wawancara dengan narasumber.

10.Peta RBI Leuwiliang tahun 2005 skala 1 : 25.000

Objek penelitian adalah komponen biofisik ekosistem karst yang terdiri dari tumbuhan, satwa, mata air, goa, tebing, dan batu gamping.

3.3 Batasan Penelitian

Batasan dari penelitian yang dilakukan di ekosistem Karst Gunung Cibodas adalah sebagai berikut :

 Wilayah penelitian adalah ekosistem Karst Gunung Cibodas dan kampung disekitarnya (Kampung Tegal, Kampung Mekarjaya, Kampung Bubulak).


(9)

 Potensi biofisik yang diidentifikasi meliputi unsur biologi (tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna) dan unsur fisik berupa mata air, goa, tebing, dan batu gamping.

 Nilai ekonomi yang diduga adalah nilai guna dari pemanfaatan tumbuhan untuk kayu bakar, pemanfaatan satwa, penggunaan air, goa dan tebing sebagai sarana wisata, dan batu gamping untuk bahan tambang.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Potensi biofisik

a. Potensi unsur biologi

1. Tumbuhan

Data potensi tumbuhan dikumpulkan dengan cara studi pustaka berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Tumbuhan yang diidentifikasi adalah tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga.

2. Burung

Data jumlah jenis burung dikumpulkan dengan melakukan survey pada pagi dan sore hari. Pencatatan dilakukan pada daftar jenis MacKinnon yang terdiri dari 10 jenis untuk setiap daftar. Jalur pengamatan burung dibuat berdasarkan morfologi Gunung Cibodas yang memanjang dari barat ke timur. Jalur dibuat memanjang mengikuti morfologi Gunung Cibodas, sehingga jalur berbentuk garis yang mengikuti arah Gunung Cibodas. Jalur dibagi menjadi dua bagian, yaitu jalur utara dan jalur selatan yang merupakan dua sisi Gunung Cibodas.

3. Mamalia

Data potensi mamalia dikumpulkan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) untuk mengetahui jumlah jenis mamalia. Pendugaan populasi dilakukan pada monyet ekor panjang dengan metode group density count yaitu menghitung jumlah kelompok yang ditemukan dan jumlah individu setiap kelompok dari setiap lokasi yang ditentukan.

4. Herpetofauna

Data potensi herpetofauna dikumpulkan dengan menggunakan metode time search. Survey dilakukan di kolam air dan sepanjang aliran air yang terdapat


(10)

di Gunung Cibodas. Pengambilan data dilakukan pada siang hari (pukul 07.00 – 11.00 WIB) dan malam hari (pukul 19.00-21.00 WIB).

b. Potensi unsur fisik

Unsur fisik yang diidentifikasi adalah goa, tebing, air, dan batu gamping dari ekosistem Karst Gunung Cibodas. Data potensi fisik dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan narasumber yang mengetahui informasi unsur fisik tersebut.

3.4.2 Pendugaan nilai ekonomi a. Nilai tumbuhan

Penilaian tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode kontingensi. Pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Tumbuhan

Indikator : Digunakan sebagai kayu bakar

Data : Jenis tumbuhan dan jumlah kayu bakar yang diambil perhari untuk setiap rumah tangga

Cara mengukur : Pengukuran dilakukan melalui kegiatan wawancara untuk mengetahui harga kontingensi kayu bakar

b. Nilai satwa

Satwa dinilai dengan menggunakan metode harga pasar. Adapun pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Satwa

Indikator : Dijual atau dikonsumsi

Data : Jenis dan jumlah satwa yang diambil untuk setiap pemburu

Cara mengukur : Wawancara untuk mengetahui harga satwa yang diambil c. Nilai air

Metode yang digunakan untuk penilaian air adalah metode kontingensi. Pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Mata air dari Gunung Cibodas

Indikator : Dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga Data : Jumlah pemanfaatan air dan jumlah rumah tangga


(11)

Cara mengukur : Wawancara untuk mengetahui jumlah pemanfatan dan harga kontingensi air untuk setiap pemanfaatan

d. Nilai goa

Penilaian goa dilakukan dengan menggunakan metode biaya perjalanan. Pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Goa di dalam ekosistem karst Gunung Cibodas Indikator : Digunakan untuk kegiatan olahraga penelusuran goa

(caving)

Data : Jumlah goa, jumlah pengunjung, intensitas kunjungan, dan biaya perjalanan setiap pengunjung

Cara mengukur : Wawancara untuk mengetahui total biaya perjalanan pengunjung

e. Nilai tebing

Tebing dinilai dengan menggunakan metode biaya perjalanan. Pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Tebing di dalam ekosistem karst Gunung Cibodas Indikator : Digunakan untuk kegiatan olahraga panjat tebing

(climbing)

Data : Jumlah pengunjung, intensitas kunjungan, dan biaya perjalanan setiap pengunjung.

Cara mengukur : Wawancara untuk mengetahui total biaya perjalanan pengunjung

f. Nilai batu gamping

Batu gamping dinilai dengan metode nilai sisa turunan. Adapun pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Sumber : Batu gamping dari ekosistem karst Gunung Cibodas Indikator : Diambil sebagai bahan tambang

Data : Jumlah pengambilan batu gamping (kubik), jumlah pengusaha batu gamping, dan harga perkubik

Cara mengukur : Wawancara untuk mengetahui harga pasar batu gamping


(12)

3.4.3 Nilai ekonomi total

Untuk mengihitung nilai ekonomi sumberdaya alam, digunakan persamaan yang diformulasikan sebagai berikut :

Keterangan :

TEV : total economic value (nilai ekonomi total) DUV : direct use value (nilai guna langsung)

IUV : indirect use value (nilai guna tidak langsung) OV : option value (nilai pilihan)

EV : existance value (nilai keberadaan) Sumber : Ninan (2008)

Nilai ekonomi yang diduga adalah nilai guna dari potensi ekosistem yang diidentifikasi. Nilai tersebut merupakan nilai guna langsung (direct use value) dari eksistem karst Gunung Cibodas yang berupa nilai unsur biologi dan nilai unsur fisik. Nilai biologi terdiri dari nilai tumbuhan (kayu bakar) dan nilai satwa, sedang nilai fisik terdiri dari nilai goa, nilai tebing, nilai air, dan nilai batu gamping. Berdasarkan komponen biologi dan fisik tersebut, maka persamaan untuk menghitung nilai tersebut adalah sebagai berikut :

Keterangan :

NGL : nilai guna langsung NGG : nilai guna goa NGTm : nilai guna tumbuhan NGTb : nilai guna tebing

NGS : nilai guna satwa NGBG : nilai guna batu gamping NGA : nilai guna air

3.4.4 Penentuan responden

Penentuan responden dilakukan secara purposive dan metode snow ball. Responden atau narasumber dipilih berdasarkan keterkaitan dan interaksinya dengan ekosistem karst Gunung Cibodas, kemudian mencari responden selanjutnya berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Responden yang dipilih adalah masyarakat disekitar kawasan yang memiliki interaksi berupa pengambilan batu kapur, pemanfaatan air, pengambilan satwa, dan pengumpulan kayu bakar, sedangkan responden untuk kegiatan olah raga panjat tebing dan

TEV = DUV + IUV + OV + EV


(13)

penelusuran goa adalah responden yang merupakan kelompok pecinta alam yang melakukan kegiatan tersebut. Kelompok pecinta alam biasanya berasal dari luar atau tinggal jauh dari kawasan Gunung Cibodas. Adapun klasifikasi responden ditentukan seperti tabel berikut ini (Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi responden penerima manfaat Gunung Cibodas

No Jenis Data Responden Lokasi Keterangan

1 Pemanfaatan air Masyarakat sekitar aliran air Kp. Mekarjaya

2 Pemanfaatan batu kapur Pengusaha batu kapur Kp. Mekarjaya

3 Pemanfaatan kayu bakar Masyarakat sekitar kawasan Kp. Bubulak

4 Pemanfaatan satwa Masyarakat sekitar kawasan Kp. Tegal

5 Pemanfaatan tebing Kelompok pecinta alam Pengunjung

6 Pemanfaatan goa Kelompok pecinta alam Pengunjung

Data pemanfaatan air diperoleh dari masyarakat yang tinggal di Kampung Mekarjaya. Pemilihan ini dilakukan karena mata air dari Gunung Cibodas mengalir melalui kampung ini. Pengambilan data pemanfaatan batu kapur juga dilakukan di Kampung Mekarjaya. Data pemanfaatan kayu bakar dicari melalui wawancara dengan masyarakat Kampung Bubulak yang sebagian besar menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga. Data pemanfaatan satwa diperoleh dari masyarakat Kampung Tegal yang melakukan pengambilan satwa dari Gunung Cibodas. Data pemanfaatan goa dan tebing diperoleh dari kelompok pecinta alam atau pengunjung yang melakukan kegiatan panjat tebing dan penelusuran goa di Gunung Cibodas.


(14)

4.1 Letak, Luas, dan Batas

Kawasan Gunung Cibodas terletak pada 1060 32’ 0” BT – 1060 35’ 46” BT - 60 36’ 0” LS - 60 55’ 46” LS. Gunung Cibodas berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Ciampea dan Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan luas 125,10 hektar. Berdasarkan gambaran Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1209-134 Leuwiliang, Gunung Cibodas memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Jalur alternatif Ciampea – Galuga (Jalan Leuwikancra), Desa Ciampea dan Desa Ciaruteun Hilir

Sebelah Selatan : Jalur Jalan Darmaga – Jasinga, Desa Leuweung Kolot dan Desa Cibadak

Sebelah Barat : Sungai Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang

Sebelah Timur : Jalur Jalan Ciampea – Bantar Kambing, Desa Ciampea dan Desa Warung Borong

Sumber : Bakosurtanal (2008)

Gambar 2 Lokasi Gunung Cibodas Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Menurut pengelolaannya, Gunung Cibodas berada dalam wilayah Resor Pemangku Hutan (RPH) Gobang, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Leuwiliang, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bogor, Perum Perhutani Unit III

U

Tanpa Skala


(15)

Jawa Barat dan Banten seluas 99,10 hektar dan lahan pertambangan PT. Karang Purnama Jati seluas 26 hektar.

4.2 Aksesibilitas

Gunung Cibodas dapat dicapai melalui beberapa jalur. Arah timur dapat ditempuh dari Kota Bogor melalui Jalan Raya Darmaga-Ciampea dengan waktu tempuh sekitar satu jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Arah barat dapat ditempuh melalui Jalan Raya Jasinga-Darmaga dengan waktu tempuh sekitar dua jam dari arah Jasinga, sedangkan dari arah utara dapat ditempuh dengan waktu sekitar lima menit dari pasar Ciampea menggunakan jalan raya Ciampea-Bantar Kambing. Kondisi jalan raya relatif baik sehingga dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Walapun demikian, untuk memasuki Gunung Cibodas harus berjalan kaki melewati jalan setapak yang berbatu.

4.3 Iklim

Data iklim Gunung Cibodas diambil dari data iklim Ciampea berdasarkan hasil pengamatan BMG Balai Besar Wilayah II stasiun klimatologi kelas I Darmaga. Data iklim berada pada elevasi 190-360 mdpl, dengan letak astronomis antara 6033’ LS dan 1060 BT. Pengambilan data iklim dilakukan pada kisaran tahun 1998-2008. Suhu lokasi ini berada pada kisaran 240C-320C dengan suhu rata-rata 260C dan hampir merata sepanjang tahun. Kisaran curah hujan tahunan adalah 12-291 mm/tahun dengan rata-rata 129,5 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Kelembaban udara Gunung Cibodas Ciampea berkisar antara 66% - 83% dengan rata-rata kelembaban 74,75% pertahun. Kecepatan angin rata-rata adalah 2,5 km/jam dengan kecepatan tertinggi pada bulan Februari sebesar 3,2 km/jam dan terendah pada bulan Juni sebesar 2 km/jam. Angin bergerak dari arah timur laut. (BMG Bogor 2009 diacu dalam Noviana 2010).

4.4 Geologi dan Tanah

Berdasarkan Peta Geologi lembar Bogor tahun 1998, Gunung Cibodas termasuk kedalam anggota batu gamping formasi Bojongmanik yang banyak


(16)

mengandung moluska. Formasi batuan Gunung Cibodas didominasi oleh batuan gamping kuarter, dan batuan sedimen plio-plistoten. Jenis tanah Gunung Cibodas adalah rendzina, aluvial coklat kelabu, dan latosol kemerahan yang ditunjukkan oleh peta tanah semi detail tahun 1979. Kawasan ini merupakan tipe kompleks rendzina dan litosol dengan bahan induk berupa batu kapur bertuf andesit. (Noviana 2010).

4.5 Topografi dan Kemiringan Lahan

Topografi Gunung Cibodas relatif curam dengan titik tertinggi berada pada ketinggian 354 m dpl. Kemiringan yang dijumpai pada Gunung Cibodas bervariasi antara 3-65 % . Daerah datar hampir tidak ditemukan dan didominasi oleh kemiringan antara 3-8%. Secara visual, Gunung Cibodas memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki topografi yang berbukit dan perbedaan ketinggian pada Gunung Cibodas memberikan kesan pandangan yang luas ke daerah yang lebih rendah di sekitarnya.

4.6 Hidrologi

Kawasan Gunung Cibodas berdampingan dengan Sungai Ciaruteun di bagian barat dan dikelilingi oleh sungai kecil yang berujung pada Sungai Cisadane. Sungai Ciaruteun memiliki kedalaman bervariasi dari 0,5 - 3 m, bahkan ada pula yang mencapai lebih dari 3 m. Debit air sungai ini mencapai 72 l/dtk dengan kecepatan aliran air sekitar 0,03 m/dtk (Noviana 2010).


(17)

5.1 Potensi Karst Gunung Cibodas 5.1.1 Potensi unsur biologi

a. Tumbuhan

Menurut Whitten et al. (1996) diacu dalam Sartika (2007), sekitar tahun 1940-an Gunung Cibodas belum terjamah oleh kegiatan manusia. Dalam ekosistem ini masih banyak jenis pohon yang ditemukan seperti keruing (Dipterocarpus hasseltii), burahol (Stelechocarpus burahol), dan eboni (Diospyros sp.). Tidak ada jenis yang dominan dari tiga jenis tumbuhan tersebut. Menurut Soemarno et al. (2006), pada saat ini ekosistem Karst Gunung Cibodas didominasi oleh kelompok vegetasi berupa semak dan jenis pionir seperti makaranga (Macaranga tanarius) dan ayam-ayaman (Penissetum purpureum). Kondisi ini diduga karena terjadinya pembukaan lahan yang difungsikan sebagai areal perkebunan karet dan kemudian berubah menjadi tambang batu gamping yang dimulai sekitar tahun 1950-an.

Data keanekaragaman jenis tumbuhan di Gunung Cibodas diperoleh dari studi literatur. Hasil survey tumbuhan yang dilakukan oleh Soemarno et al. (2006) di Gunung Cibodas mencatat sebanyak 254 jenis tumbuhan dari 207 genus dan 84 famili. Hasil ini diperoleh dengan menganalisis tumbuhan berdasarkan petak cuplikan yang ditempatkan pada daerah punggung bukit yang bersolum tanah cukup tebal, daerah lereng bukit yang bersolum tanah tipis sampai cukup tebal, daerah lereng yang bersolum tanah tebal, daerah puncak bukit karang, dan daerah bekas galian batu gamping. Jenis pohon utama yang ditemukan sebanyak 17 jenis dari 64 jenis dengan penyebaran yang hampir merata di seluruh wilayah. Beberapa jenis pohon utama yang ditemukan adalah Bridelia tomentosa, Buchanania arborescens, Cecropia umbellata, dan Macaranga tanarius. Tumbuhan bawah (herba, paku, liana, perdu, palem, semak, pandan) yang mendominasi ditemukan 18 jenis dari 190 jenis, beberapa jenis yang tersebar cukup luas diantaranya Nephrolepis exaltata, Selaginella plana, dan Cyrtococcum patens. Beberapa jenis anakan pohon yang mengawali proses pemulihan di area penambangan batu gamping adalah Abroma angusta, Clibadium surinamense,


(18)

Macaranga tanarius, Macarangan calabura, Bridelia glauca, dan Piper aduncum, sedangkan jenis tumbuhan bawah terdiri dari Phragmites karka, Pennisetum purpureum, dan Mikania cordata. Suku utama untuk tingkat pohon terdiri dari anacardiaceae, euphorbiaceae, moraceae, dan urtaceae yang tersebar hampir di semua daerah, serta tiliaceae hanya dijumpai pada area bekas galian batu gamping. Suku utama tumbuhan bawah diantaranya anacardiaceae, asteraceae, euphorbiaceae, poaceae, polypodiaceae, dan verbenaceae.

Gambar 3 Makarang (Macaranga tanarius), salah satu jenis pohon yang mendominsi ekosistem Karst Gunung Cibodas.

Tumbuhan yang terdapat di Gunung Cibodas memiliki nilai ekonomi berupa nilai guna dan nilai bukan guna. Tumbuhan memiliki fungsi ekologis berupa penghasil oksigen dan pengatur tata air, selain itu dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bakar rumah tangga, pakan ternak, dan sayuran. Sartika (2007) menemukan 34 jenis tumbuhan di Gunung Cibodas yang berpotensi sebagai tumbuhan obat yang memiliki khasiat untuk mengatasi penyakit gula, obat batuk, antidiare, obat sakit perut, obat demam dan lainnya. Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan di Gunung Cibodas tercantum dalam lampiran 5.

Pemanfaatan tumbuhan yang rutin dilakukan masyarakat di sekitar Gunung Cibodas adalah pengambilan kayu untuk bahan bakar yang dilakukan hampir setiap hari. Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi rumah tangga dan kebiasaan memasak yang menggunakan kayu bakar. Masyarakat Kampung Bubulak masih memiliki kekhawatiran terjadi ledakan jika menggunakan gas elpiji. Pengambilan kayu bakar biasanya dilakukan oleh ibu-ibu yang datang hampir setiap pagi ke Gunung


(19)

Cibodas (Gambar 4). Hasil yang diperoleh adalah satu ikat besar atau satu pikulan dengan berat mencapai 15 kg. Kegiatan pengambilan kayu bakar biasanya dimulai pada pagi hari dan berakhir sekitar jam delapan sampai dengan jam sepuluh. Pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan adalah pengambilan ranting-ranting kering, namun saat ini para pengambil kayu bakar juga menebang tumbuhan yang berdiameter 3cm sampai dengan 15cm. Jenis tumbuhan yang sering diambil adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia umbellata). Jenis ini diambil dengan menyisakan tunggak sekitar 30cm di atas permukaan tanah. Menurut Soemarno et al. (2006) pengambilan kayu Calliandra calothyrsus di Gunung Cibodas yang menyisakan tunggak memacu pertumbuhan trubus dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah individu semula sehingga dimungkinkan memiliki kepadatan tinggi. Masyarakat Kampung Bubulak meyakini kayu yang diambil tidak akan pernah habis karena tunggak yang ditebang akan kembali bertunas dan tumbuh serta bisa dimanfaatkan kembali untuk kayu bakar. Kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia umbellata) banyak ditemukan di sisi selatan Gunung Cibodas bagian barat di daerah lereng bukit yang bersolum tanah tebal (Soemarno et al. 2006). Lokasi ini menjadi tempat pengambilan kayu bakar bagi masyarakat Kampung Bubulak yang berada di sebelah selatan Gunung Cibodas .


(20)

b. Satwa

1. Burung

Pengamatan burung yang dilakukan mencatat 37 jenis burung dari 21 famili. Jumlah tersebut terdiri dari 30 jenis teridentifikasi pada daftar jenis burung dan 7 jenis melalui perjumpaan seketika (opportunistic encountering) pada saat melakukan pengamatan mamalia dan herpetofauna. Pengamatan dilakukan di dua jalur yaitu jalur utara dan selatan Gunung Cibodas. Pengamatan di selatan dimulai dari ujung barat sampai timur, sedangkan pengamatan di utara hanya dilakukan di ujung barat dan ujung timur saja. Hal ini dilakukan karena pada bagian utara Gunung Cibodas terdapat kegiatan penambangan batu gamping yang beresiko tinggi terhadap pengamatan. Jenis burung yang ditemukan di kawasan Gunung Cibodas dan sekitarnya disajikan pada tabel berikut (Tabel 2).

Tabel 2 Daftar jenis burung yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya

No. Nama Lokal Nama Latin Famili

1 Kowak-malam kelabu Nycticorax nycticorax Ardeidae

2 Elang hitam Ictinaetus malayensis Accipitridae

3 Gemak loreng Turnix suscitator Turnicidae

4 Ayam-hutan hijau Gallus varius Phasianidae

5 Kareo padi Amaurornis phoenicurus Rallidae

6 Uncal Macropygia sp. Columbidae

7 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae

8 Wiwik kelabu Cacomantis merulinus Cuculidae

9 Kedasi hitam Surniculus lugubris Cuculidae

10 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae

11 Serak jawa Tyto alba Tytonidae

12 Celepuk reban Otus lempiji Strigidae

13 Walet sarang-putih Aerodramus fuciphagus Apodidae

14 Walet linchi Collocalia linchi Apodidae

15 Kapinis rumah Appus affinis Apodidae

16 Raja-udang meninting Alcedo meninting Alcedinidae

17 Cekakak jawa Halcyon cyanoventris Alcedinidae

18 Cekakak sungai Todirhamphus chloris Alcedinidae

19 Layang-layang loreng Hirundo striolata Hirundinidae

20 Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae

21 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae

22 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae

23 Gelatik-batu kelabu Parus major Paridae

24 Pelanduk topi-hitam Pellorneum capistratum Timaliidae


(21)

No. Nama Lokal Nama Latin Famili

26 Rametuk laut Gerygone sulphurea Silviidae

27 Cinenen pisang Orthotomus sutorius Silviidae

28 Cinenen jawa Orthotomus sepium Silviidae

29 Perenjak padi Prinia inornata Silviidae

30 Perenjak jawa Prinia familiaris Silviidae

31 Bentet kelabu Lanius schach Laniidae

32 Burung-madu sriganti Cyniris jugularis Nectariniidae

33 Cabai jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae

34 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae

35 Bondol jawa Lonchura leucogastroides Ploceidae

36 Bondol peking Lonchura punctulata Ploceidae

37 Burung-gereja erasia Passer montanus Ploceidae

Jumlah daftar jenis MacKinnon yang digunakan sebanyak 24 daftar dengan masing-masing terdiri dari 10 daftar jenis burung. Famili silviidae merupakan kelompok terbanyak yang terdiri dari 5 jenis burung, kemudian famili cuculidae, apodidae, alcedinidae, dan plocidae yang masing-masing terdiri dari 3 jenis burung. Jenis burung yang paling sering teramati dan ditemukan di seluruh area pengamatan adalah merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Merbah cerukcuk (Gambar 5a) teramati di semua jalur mulai dari kaki sampai dengan puncak Gunung Cibodas. Jenis yang diamati secara sepintas memiliki kelimpahan tinggi adalah bondol peking (Lonchura punctulata), bondol jawa (Lonchura lecogastroides), dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Beberapa jenis lain diduga hanya menempati habitat tertentu. Padang alang-alang biasanya ditempati oleh bubut alang-alang (Centropus bengalensis), bondol peking (Lonchura punctulata), dan bondol jawa (Lonchura lecogastroides). Cekakak sungai (Todirhampus chloris) teramati di area Gunung Cibodas yang berdekatan dengan Sungai Ciaruteun. Jenis yang ditemukan pada semak-semak adalah gemak loreng (Turnix suscitator), pelanduk topi-hitam (Pellorneum capistratum), pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), cinenen pisang (Orthotomus sutorius), dan cinenen jawa (Orthotomus sepium). Jenis burung famili apodidae yang bersarang di dalam goa adalah walet sarang-putih (Aerodramus fuciphagus) dan walet linchi (Collocalia linchi), sedangkan kapinis rumah (Apus affinis) diduga bersarang di celah-celah tebing batu gamping.


(22)

0 5 10 15 20 25 30 35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Jumlah Daftar Jenis Burung

Ju

m

la

h

Je

n

is

B

u

ru

n

g

(a) (b)

Foto oleh: Nanang Khaerulhadi

Gambar 5 Beberapa jenis burung yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Merbah Cerukcuk; (b) Perenjak Jawa.

Hasil survey keragaman jenis burung menunjukan peningkatan jumlah jenis burung dari beberapa kali pengamatan dengan pengulangan dan tempat yang berbeda. Pertambahan jumlah jenis burung bisa dilihat pada grafik berikut (Gambar 6).

Gambar 6 Grafik pertambahan jenis burung.

Grafik pertambahan jenis mulai naik dan cenderung tetap sampai dengan daftar jenis ke-7 dengan jumlah 15 jenis burung, namun grafik cenderung naik dari daftar jenis ke-8 sampai dengan daftar ke-15 dengan jumlah 12 jenis sehingga pada daftar ke-15 tercatat sebanyak 27 jenis burung. Hal ini terjadi karena pada daftar ke-8 sampai ke-15 pengamatan dilakukan di jalur yang berbeda. Daftar jenis ke-16 sampai dengan daftar jenis ke-24 merupakan pengulangan pengamatan di kedua jalur tersebut dan menghasilkan pertambahan sebanyak tiga jenis yaitu 2


(23)

jenis pada daftar ke-19 dan satu jenis pada daftar ke-21. Pada daftar ke-21 sampai dengan daftar ke-24 tidak ditemukan pertambahan jenis. Hal ini diduga karena jenis burung lainnya berada pada area yang tidak teramati, sehingga peluang untuk menemukan jenis burung lain masih sangat besar terutama di daerah yang tidak terjangkau pada saat penelitian dilaksanakan. Jenis burung lain yang ditemukan adalah dua jenis burung nocturnal yaitu celepuk reban (Otus lempiji) dan serak jawa (Tyto alba) serta lima jenis lain yaitu elang hitam (Ictinaetus malayensis), kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax), ayam-hutan hijau (Gallus varius), raja-udang meninting (Alcedo meninting), dan kareo padi (Amaurornis phoenicurus). Beberapa jenis tersebut ditemukan saat mengamati herpetofauna.

2. Mamalia

Pengamatan mamalia dilakukan dengan metode observasi secara langsung. Pengamatan dilakukan di empat jalur yang berbeda. Jalur tersebut dipilih berdasarkan kemudahan untuk menjangkau dan hasil survey sebelumnya ditemukan mamalia. Jalur pengamatan ditentukan berdasarkan hasil survey yang diduga merupakan jalur lintasan atau areal jelajah dimana terdapat tanda-tanda keberadaan mamalia. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, jenis mamalia yang ditemukan adalah 5 jenis. Pengamaatan yang dilakukan mengalami keterbatasan peralatan dan kendala berupa topografi Gunung Cibodas yang relatif sulit dijangkau, sehingga masih memungkinkan untuk menemukan jenis mamalia lainnya. Jenis mamalia yang ditemukan disajikan pada tabel berikut (Tabel 3).

Tabel 3 Jenis mamalia yang teramati di Gunung Cibodas

No. Nama Jenis Nama Latin Famili

1 Garangan Herpestes javanicus Herpestidae

2 Musang Paradoxurus hermaphrodites Viverridae

3 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae

4 Kelelawar Cynopterus sp. Pteropodidae

5 Bajing Callosciurus sp. Sciuridae

Jenis mamalia yang paling sering di jumpai adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tercatat di semua jalur pengamatan. Musang (Paradoxurus hermaphroditus) ditemukan secara langsung di atas pohon dibagian tengah Gunung Cibodas. Musang juga teramati secara tidak langsung dari kotoran


(24)

pada jalan setapak di bagian barat Gunung Cibodas. Garangan (Herpestes javanicus) ditemukan secara langsung di bagian timur dan barat Gunung Cibodas. Garangan terlihat berjalan melewati jalan setapak masuk ke semak-semak. Jenis mamalia yang diduga memiliki kelimpahan tinggi adalah kelelawar. Kelelawar yang teridentifikasi adalah kelelawar pemakan buah (Cynopterus sp.), dan diduga terdapat lebih dari satu jenis kelelawar di Gunung Cibodas. Spesimen yang diperoleh hanya mampu diidentifikasi sampai dengan genus. Jenis mamalia lain yang ditemukan adalah bajing (Callosciurus sp.). Bajing ditemukan di sisi selatan gunung bagian barat saat berjalan melewati dahan pohon. Bajing dikenali melalui bentuk ekor yang terlihat menyerupai sikat.

(a) (b)

Gambar 7 Mamalia yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Kelelawar; (b) Monyet ekor panjang.

3. Herpetofauna

Pengamatan herpetofauna dilakukan di empat lokasi yang dipilih berdasarkan kemungkinan ditemukan satwa tersebut. Lokasi pengamatan berupa celah bebatuan dan kolam kecil dari bebatuan yang menampung air hujan, mata air dan aliran sungai kecil yang tenang, lahan basah, serta lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Celah-celah bebatuan yang diamati berada di area tebing yang dimanfaatkan untuk kegiatan panjat tebing. Kolam-kolam kecil yang diamati adalah kubangan yang terbentuk akibat penggalian tanah di area penambangan batu gamping. Air pada kolam tersebut akan bertambah jika hujan turun. Mata air Cipanas merupakan sumber air yang mengalir menuju Sungai Cikarang dan berujung pada muara Sungai Cisadane. Areal pertanian terdapat di lereng Gunung Cibodas, sedangkan lahan basah adalah lokasi yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk menggembala dan berkubang hewan ternak.


(25)

Jenis herpetofauna yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya adalah 20 jenis dari 12 famili. Total waktu pengamatan sekitar 19 jam yang dilakukan pada waktu malam, pagi, dan siang hari. Adapun jenis-jenis herpetofauna yang ditemukan disajikan pada tabel berikut (Tabel 4).

Tabel 4 Daftar jenis herpetofauna yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya

No. Nama Indonesia Nama Jenis Famili

1 Bangkong sungai Bufo asper Bufonidae

2 Bangkong kolong Bufo melanostictus Bufonidae

3 Bangkong hutan Bufo biporcatus Bufonidae

4 Percil jawa Microhyla achatina Microhylidae

5 Kongkang kolam Rana chalconota Ranidae

6 Kongkang jangkrik Rana nicobariensis Ranidae

7 Katak sawah Fejervarya cancrivora Ranidae

8 Katak tegalan Fejervarya limnocharis Ranidae

9 Bancet rawa sumatera Occidozyga sumatrana Dicroglosidae

10 Katak pohon bergaris Polypedates leucomystax Rhacophoridae

11 Cecak batu Cyrtodactylus cf. fumosus Gekkonidae

12 Cecak kayu Hemidactylus frenatus Gekkonidae

13 Tokek rumah Gekko gecko Gekkonidae

14 Kadal kebun Mabuya multifasciata Scincidae

15 Cicak terbang Draco vollans Agamidae

16 Bunglon Bronchocela jubata Agamidae

17 Ular hijau ekor merah Trimeresurus albolabris Viperidae

18 Ular tanah Calloselasma rhodostoma Viperidae

19 Ular pucuk Ahaetulla prasina Colubridae

20 Ular lidah api Dendrelaphis pictus Colubridae

Jenis herpetofauna yang sering dijumpai adalah katak tegalan (Fejervarya limnocharis) dan hampir dijumpai diseluruh lokasi pengamatan. Katak ini dijumpai pada areal yang berair, tegalan, jalan setapak dan lahan terbuka. Katak sawah (Fejervarya cancrivora) hanya ditemukan di areal yang berair. Bancet rawa sumatera (Occidozyga sumatrana) hanya ditemukan di genangan air, sedangkan kongkang kolam (Rana chalconota) dan katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) ditemukan disekitar aliran sungai dan genangan air hujan yang tertampung pada cekukan batu. Kongkang kolam dijumpai di sekitar genangan air dan ada pula yang di dasar genangan air. Katak pohon bergaris menempel pada


(26)

bebatuan di atas genangan, bertengger di ranting tumbuhan rimbun di sekitar kolam air, dan dijumpai pula di daratan dekat sumber air. Dua spesies lainnya yaitu kongkang jangkrik (Rana nicobariensis) dan percil jawa (Microhyla achatina ) ditemukan diantara rerumputan. Kongkang jangkrik berada di daratan yang tersembunyi di sekitar genangan air, sedangkan percil jawa tersembunyi diantara rerumputan dan serasah di tepi kolam dan aliran air.

Kelompok Bufonidae yang ditemukan adalah bangkong sungai (Bufo asper), bangkong kolong (Bufo melanostictus), dan bangkong hutan (Bufo biporcatus). Tiga jenis ini lebih sering dijumpai di daerah kering atau di sekitar genangan air yang relatif dangkal. Bangkong sungai hanya ditemukan satu individu di sekitar genangan air pada lahan pertanian. Bangkong kolong ditemukan di tegalan yang kering dan sekitar area pertanian masyarakat, sedangkan bangkong hutan ditemukan di areal yang becek di sekitar lahan pertanian.

(a) (b)

Gambar 8 Beberapa jenis katak yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Rana chalconota (b) Fejervarya limnocharis.

Jumlah reptil yang ditemui selama pengamatan adalah sebanyak 10 jenis. Famili geckonidae yang ditemukan adalah cicak kayu (Hemidactylus frenatus), cicak batu (Cyrtodactylus cf. fumosus), dan tokek rumah (Gekko gecko). Cicak kayu teramati berjalan pada batang tumbuhan dan sering terdengar suaranya. Suara lain yang sering terdengar adalah suara tokek rumah yang terdengar dari punggungan Gunung Cibodas. Berdasarkan informasi yang diperoleh, tokek rumah bersarang dicelah batu pada dinding goa dan tebing karst, sementara cicak batu ditemukan menempel pada dinding bebatuan.


(27)

Herpetofauna lain yang teramati adalah bunglon (Bronchocela jubata), kadal kebun (Mabuya multifasciata), dan cicak terbang (Draco vollans). Bunglon teramati ketika berburu serangga di ranting tumbuhan dan cicak terbang teramati sedang berjalan naik pada batang pohon. Kadal kebun ditemukan sebanyak 11 individu di dua lokasi berbeda. Lokasi ditemukannya kadal kebun adalah areal sekitar pertambangan dan di sekitar tebing di bagian barat Gunung Cibodas.

(a) (b)

Foto oleh: Wibowo A. Djatmiko

Gambar 9 Tokek rumah dan kelompok telur pada celah tebing batu gamping (a) Tokek (Gekko gecko); (b) Kelompok telur.

Kelompok reptil lain yang ditemukan adalah ular. Jumlah jenis ular yang ditemukan adalah sebanyak 4 jenis. Keempat jenis ular ditemukan di areal yang dipenuhi oleh semak belukar. Ular hijau (Trimeresurus albolabris)ditemukan dua kali di dua lokasi berbeda. Ular pertama teramati ketika sedang beristirahat pada ranting tumbuhan di sekitar mulut goa pada pagi hari. sedangkan individu lainnya teramati ketika sedang berburu katak diatas kolam kecil. Hal ini serupa dengan ular tanah (Calloselasma rhodostoma) yang ditemukan di semak-semak sekitar areal pertambangan batu gamping. Ular ini terlihat samar diantara dedaunan dan ranting tumbuhan kering. Ular lain yang ditemukan di sekitar areal penambangan adalah ular lidah api (Dendrelapis pictus) yang teramati pada cabang bambu, sementara ular pucuk (Ahaetulla prasina) teramati sedang bergerak dari ranting tumbuhan melewati jalan setapak. Ular pucuk ditemukan sebanyak dua kali pada waktu yang berbeda. Ular ini terkadang sulit dibedakan dengan ranting tumbuhan dan memiliki warna hijau yang tersamarkan ketika berada pada semak belukar yang lebat.


(28)

(a) (b) (c)

Gambar 10 Ular yang ditemukan di kawasan Gunung Cibodas (a) T. Albolabris; (b) D. Pictus; (c) C. Rhodostoma.

5.1.2 Potensi unsur fisik

a. Goa

Goa adalah suatu ruang bawah tanah yang bisa dimasuki oleh manusia dan terbentuk secara alami (Internationale Union de Speleologie, IUS 1965 diacu dalam Haryono 2008). Goa dapat ditemukan mulai dari gunung sampai ke tepi laut. Saat ini pengelolaan goa di Gunung Cibodas sudah tidak dilakukan karena hasil panenan sarang burung walet mengalami penurunan. Penurunan jumlah panenan sarang burung walet di Gunung Cibodas terjadi akibat pola pemanenan yang tidak memperhitungkan siklus regenerasi burung tersebut. Habitat walet terganggu oleh kegiatan pengambilan batu gamping di lokasi yang berdekatan dengan goa-goa di Gunung Cibodas (Noerjito 2006). Hasil survey lapangan yang dilakukan menemukan 15 goa yang merupakan habitat dari kelelawar dan burung walet serta biota goa lainnya. Goa-goa yang ditemukan di Gunung Cibodas merupakan goa dengan lorong vertikal (Gambar 11). Kondisi ini dimungkinkan karena ekosistem karst Gunung Cibodas yang berupa bukit. Kedalaman goa yang ditelusuri berkisar antara 7 meter hingga 200 meter. Keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas saat ini hanya diketahui oleh masyarakat setempat dan beberapa kelompok pecinta alam saja, oleh karena itu hanya sedikit pecinta alam yang memanfaatkan goa untuk kegiatan oleh raga minat khusus penelusuran goa (caving). Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengambilan batu gamping yang menggunakan bahan peledak mengakibatkan para penelusur goa yang terdahulu memilih lokasi lain untuk melakukan penelusuran goa karena khawatir goa akan runtuh, sehingga para pecinta alam saat ini banyak yang tidak mengetahui


(29)

keberadaan goa-goa yang ada di Gunung Cibodas. Goa-goa yang ditemukan pada saat penelitian disajikan pada tabel berikut (Tabel 5).

Tabel 5 Daftar goa yang ditemukan di Gunung Cibodas

No. Nama goa Koordinat Keterangan

1 Sipeso* E 106

041’16,908”

S 06033”7,704”

Lorong vertikal 45m, penghasil sarang burung walet

2 Simangir E 106

041’15,144:

S 06033’8,820”

Goa vertikal yang dimanfaatkan kelelawarnya

3 Simusola* E 106

041’14,604”

S 06033’8,748”

Lorong miring 7m, tetesan air dipakai untuk bersuci

4 Sigajah E 106

041’14,316”

S 06033’8,352”

Goa penghasil kelelawar, memiliki ruangan (chamber) yang besar, dan angin keluar di mulut goa

5 Sihejo E 106

041’13,308”

S 06033’9,540”

Dinding lorong goa berwarna hijau, lorong vertikal

6 Sinawing* E 106

041’12,840”

S 06033’9,324”

Lorong vertikal 40m dengan ruangan (chamber) yang besar dan memiliki banyak pintu masuk

7 Sipanjang* E 106

041’12,156”

S 06033’10,044”

Mulut goa memanjang dan lorong horizontal 70m, penghasil sarang burung walet dan pupuk

8 Siwulung* E 106

041’6,972

S 06033’8,784”

Lorong vertikal terdalam hingga 200m, penghasil sarang burung walet.

9 Sigodawang* E 106

041’3,264”

S 06033’8,280”

Goa fosil (mati) yang dihuni oleh kelompok kelelawar

10 Sidempet* E 106

041’2,256”

S 06033’7,426”

Lorong vertikal berupa celah sempit sepanjang 31m, penghasil sarang burung walet

11 Sibeusi 1* E 106

041’1,860”

S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet

12 Sibeusi 2 E 106

041’0,708”

S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet

13 Siwandra* E 106

040’55,488”

S 06033’8,712”

Lorong vertikal lebih dari 100m, salah satu goa penghasil sarang burung walet terbesar

14 Sigadog E 106

040’58,620”

S 06033’8,676” Goa penghasil sarang walet terbesar

15 Sibetot

E 106040’25,704”

S 06033’2,134” Goa vertikal penghasil sarang burung

walet Keterangan : * Goa yang ditelusuri


(30)

Beberapa goa yang telah ditelusuri adalah goa Sipeso, Simusola, Sinawing, Sipanjang, Siwulung, Sigodawang, Sidempet, Sibeusi 1, dan Siwandra. Goa ini merupakan goa yang memiliki lorong vertikal kecuali goa Sipanjang yang didominasi lorong horizontal. Goa-goa yang ditemukan berada pada lokasi di sekitar punggungan atau bagian tengah Gunung Cibodas sehingga goa-goa tersebut relatif sulit dijangkau karena harus mendaki terlebih dahulu.

(a) (b)

Foto oleh: Lawalata IPB

Gambar 11 Goa dengan lorong vertikal (a) Goa Sinawing; (b) Goa Sigodawang.

Kegiatan penelusuran goa yang dilakukan oleh para pecinta alam umumnya adalah kegiatan petualangan atau olah raga minat khusus, namun ada pula kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan penelitian goa maupun lingkungan goa atau dikenal dengan kegiatan speleologi. Speleologi merupakan ilmu yang mempelajari lingkungan goa, baik yang mencakup aspek fisik maupun biologis (Moore 1928 diacu dalam Haryono 2008).

(a) (b)

Foto oleh: Lawalata IPB

Gambar 12 Kegiatan penelusuran goa (a) Penelusuran goa vertikal; (b) Menelusuri lorong sempit.


(31)

Pecinta alam yang sering berkunjung ke Gunung Cibodas untuk melakukan kegiatan penelusuran goa adalah Lawalata IPB. Penelusuran goa biasanya dilakukan pada akhir pekan ataupun pada hari libur kuliah. Kelompok pecinta alam lain yang berkunjung ke Gunung Cibodas dengan tujuan penelusuran goa adalah pecinta alam yang berasal dari Jakarta. Salah satu anggota Lawalata IPB menuturkan bahwa Gunung Cibodas memiliki potensi yang besar untuk pengembangan olah raga minat khusus ataupun wisata berupa penelusuran goa, panjat tebing, dan treking. Pada saat ini, keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas terancam akibat adanya kegiatan pertambangan yang menggunakan bahan peledak.

b. Tebing

Gunung Cibodas memiliki tebing yang berpotensi untuk digunakan sebagai sarana olahraga panjat tebing. Tebing-tebing di Gunung Cibodas terdapat di sisi selatan dan sisi utara. Tebing yang terbentang di sisi utara adalah tebing yang terbentuk akibat kegiatan pengambilan batu gamping. Tebing di sisi selatan hanya ditemukan di ujung barat dan timur saja. Tebing yang sampai saat ini digunakan untuk kegiatan olahraga panjat tebing adalah tebing di sisi selatan bagian barat Gunung Cibodas. Berdasarkan penuturan salah seorang aktifis panjat tebing, Candra Kirana (26 tahun), pada tebing tersebut sudah dibuat jalur panjat sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini pada tebing tersebut terdapat 12 jalur yang juga telah dipasang titik dimana bisa dipasang pengaman (bolt hanger) untuk kegiatan panjat tebing. Jalur tebing diberi nama sesuai dengan karakteristik tertentu oleh para pemanjat dari sejak tebing mulai digunakan. Nama jalur yang telah dibuat adalah Jalur Tangga, Jalur Tebing Putih, Jalur Kambing, Jalur Tiga Bor, Jalur West Bang, Jalur Intifada, Jalur Bicycle, Jalur Taliban, Jalur Tokek, Jalur Tiram, Jalur Stroberi, dan Jalur One Moment of Time. Jalur Tangga dan Jalur Tebing Putih biasanya digunakan oleh pemanjat yang masih pemula karena dua jalur ini relatif mudah untuk dilalui. Nama Jalur Tangga diberikan karena jalur tersebut mirip seperti tangga dan nama Jalur Tebing Putih berasal dari warna tebing yang berwarna putih. Jalur lain yang dianggap mudah adalah Jalur Tokek yang merupakan celah (rekahan) vertikal yang relatif mudah dilalui. Jalur ini diberi nama Jalur Tokek karena sering ditemukan tokek rumah (Gecko gekko)


(32)

yang bersarang pada celah-celah jalur tersebut. Jalur Kambing merupakan jalur yang biasa dipanjat dengan tujuan melatih ketahanan dan kekuatan pemanjat (endurance) setelah melakukan pemanasan di jalur tangga atau jalur putih. Pada saat sebuah jalur dibuat, seorang pemanjat berjanji akan menyembelih kambing untuk perayaan keberhasilannya. Peristiwa ini membuat jalur tersebut diberi nama Jalur Kambing. Jalur yang dianggap tersulit untuk dilalui adalah Jalur Intifada dan Jalur One Moment of Time.

Gambar 13 Kegiatan panjat tebing di Gunung Cibodas.

Para pemanjat tebing yang datang ke tebing Gunung Cibodas kebanyakan adalah pecinta alam yang berasal dari Jabodetabek. Mereka biasanya datang pada akhir pekan atau saat hari libur. Tebing Gunung Cibodas banyak dikunjungi karena lokasinya yang relatif dekat serta mudah dijangkau, selain itu di beberapa lokasi lain tidak ditemukan tebing alam seperti di Jakarta, Depok, Tangerang, maupun Bekasi. Tebing ini juga digunakan oleh TNI pada saat pendidikan dan latihan. Pemanjat tebing yang hampir setiap minggu datang adalah mereka yang berasal dari organisasi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Dalam satu akhir pekan setidaknya ada satu kelompok yang datang untuk melakukan kegiatan panjat tebing. Areal pemanjatan akan semakin ramai pada hari libur kuliah atau ketika organisasi pecinta alam melakukan kegiatan pendidikan dan latihan penerimaan anggota baru untuk divisi panjat tebing (rock climbing).

c. Air

Karakteristik batu gamping adalah mudah larut oleh air karena memiliki celah-celah yang menjadi jalan masuk air. Pelarutan yang terus menerus


(33)

mengakibatkan batu gamping memiliki terowongan panjang yang bisa dilalui air sehingga membentuk aliran bawah tanah atau sungai bawah tanah. Sungai yang akhirnya menembus batu gamping dan keluar dari batuan karst membuatnya menjadi mata air karst (KLH 2009). Mata air karst dari Gunung Cibodas ditemukan di sisi utara bagian barat , tepatnya pada titik koordinat S 06033’05,2” dan E 106041’24,4”. Mata air tersebut dikenal oleh penduduk setempat dengan nama mata air Cipanas. Mata air Cipanas merupakan aliran sungai bawah tanah yang keluar dari celah-celah batu karst di sekitar areal penambangan batu gamping. Air yang keluar mengalir melewati parit kecil dan terhubung dengan Sungai Cikarang menuju Sungai Cisadane. Para penambang batu gamping sering menggunakan air untuk membersihkan badan dan peralatan yang digunakan untuk menggali batu gamping.

Menurut penuturan warga setempat, mata air ini tidak pernah kering sekalipun pada saat musim kemarau. Mata air Cipanas memiliki peranan yang penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kampung Mekarjaya yang tinggal berdekatan dengan mata air tersebut. Mata air ini dimanfaatkan untuk kegiatan mandi, mencuci, dan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat tidak menggunakan air tersebut untuk minum karena air yang keluar mengandung zat kapur. Hasil kajian tim Lawalata IPB menunjukkan mata air Cipanas memiliki kandungan alkalinitas sebesar 500 mg/l dan kesadahan sebesar 200 mg/l. Kondisi air ini mengakibatkan mata air Cipanas tidak layak dikonsumsi.

Gambar 14 Pemanfaatan air oleh masyarakat.

Pada saat ini, masyarakat sudah membuat penampungan air Cipanas di sekitar areal pemukiman untuk memudahkan dalam memperoleh air. Air dialirkan


(34)

melalui pipa dan ditampung pada sebuah bak besar di Kampung Mekarjaya. Bak air berukuran 3x3 meter dan tinggi 1 meter. Bak memiliki tempat untuk mandi dan mencuci yang ditutupi oleh tembok setinggi 1,5 meter. Salah satu sudut bak dilubangi agar air bisa keluar ketika bak sudah terpenuhi air. Ada juga lubang yang dihubungkan dengan pipa menuju mushola dan beberapa rumah warga. Warga setempat pada umumnya lebih memilih langsung menggunakan air dari bak tersebut karena harus mengeluarkan biaya jika memasang pipa menuju rumah. Setiap pagi dan sore, masyarakat datang bergantian untuk mandi, mencuci pakaian, dan mencuci peralatan rumah tangga.

Gambar 15 Bak penampungan air Cipanas.

d. Batu gamping

Menurut Samodra (2006), keberadaan batu gamping di wilayah Kabupaten Bogor terdapat di bagian timur dan barat. Singkapan batu gamping di bagian timur terdapat di daerah Cibinong, sedangkan singkapan bagian barat menyebar tidak merata di beberapa tempat dengan luasan yang relatif kecil. Singkapan batu gamping bagian barat dijumpai di daerah Jasinga, Cigudeg, Leuwiliang, Parung, dan Ciampea. Gunung Cibodas merupakan singkapan batu gamping di daerah Ciampea pada wilayah Bogor bagian barat. Singkapan batu gamping di wilayah Bogor bagian barat dikenal dengan nama formasi batu gamping Bojongmanik. Bentuk singkapan batu gamping Gunung Cibodas membujur dari arah barat ke timur. Batu gamping menyebar semakin menipis ke arah barat. Lebar singkapan batu gamping bagian timur Gunung Cibodas mencapai 1000 meter dan di bagian barat berkisar antara 100-200 meter.


(35)

Kawasan karst sangat potensial dengan kandungan batu gamping (kapur) yang bisa diolah menjadi bahan tambang seperti marmer, bahan baku semen, dan lainnya. Berdasarkan penuturan penambang batu gamping, kegiatan pertambangan batu gamping di Gunung Cibodas sudah dimulai sejak tahun 1950-an, saat itu masyarakat menggunakan alat sederhana untuk melakukan penambangan. Penggunaan alat berat dan bahan peledak dilakukan ketika adanya perusahaan asing yang melakukan pengambilan batu gamping dengan skala yang lebih besar. Saat ini perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi, namun penggunaan bahan peledak masih terus berlangsung. Teknik penggalian dengan menggunakan bahan peledak ditiru oleh para penambang lokal yang dahulu hanya menggunakan alat sederhana seperti palu ukuran besar, “pencos” (pasak), dan linggis.

(a) (b)

Gambar 16 Pemanfaatan batu gamping sebagai bahan tambang (a) Pengangkutan batu gamping; (b) Pembakaran batu gamping.

Pemanfaatan batu gamping Gunung Cibodas dilakukan sampai pengolahan berupa pembakaran batu gamping. Batu gamping dibeli pembakar dari penggali dan diangkut menggunakan pick up dengan kapasitas muat 3 kubik. Proses pembakaran batu gamping akan menghasilkan kapur serbuk yang disebut kapur sirih. Pembakaran batu gamping memakan waktu tiga sampai dengan empat hari. Pembakaran dilakukan pada “tobong” (tungku pembakaran batu gamping) berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 4 meter. Batu gamping yang telah matang akan dibiarkan selama 3-4 jam kemudian dikeluarkan dari tungku pembakaran dan disiram dengan air agar bongkahan batu gamping berubah menjadi kapur serbuk. Menurut pemilik tobong, kapur serbuk yang dihasilkan adalah kapur sirih dan kapur tembok. Untuk menjadi kapur tembok, batu gamping yang sudah matang dicairkan dengan disiram air. Kapur


(36)

tembok digunakan untuk membuat batako, sedangkan kapur sirih digunakan untuk mengecat dinding. Kapur olahan ini dijual kepada para pelanggan yang sudah biasa membeli ataupun pembeli lain yang datang setelah memesan sebelumnya.

5.2 Nilai Guna Ekosistem Karst Gunung Cibodas 5.2.1 Nilai unsur biologi

a. Tumbuhan

Pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan masyarakat terdiri dari pemanfaatan sayuran, pakan ternak dan kayu bakar. Penilaian tumbuhan yang dilakukan terdiri dari penilaian kayu bakar dan pakan ternak. Pemanfaatan sayuran belum bisa dinilai karena keterbatasan informasi yang diperoleh.

Gunung Cibodas ditumbuhi dengan tumbuhan yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. Dalam penelitian tidak diamati jenis yang dimanfaatkan untuk pakan ternak, namun masyarakat menuturkan bahwa jenis yang sering diambil untuk pakan ternak adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan macam-macam jenis rumput. Contoh jenis yang dimanfaatkan untuk pakan ternak di Kecamatan Nglipar Gunung Kidul adalah rumput gajah, daun mahoni muda, daun turi, kolonjo, dan rumput liar (Nurfatriani 2005). Menurut penuturan masyarakat, jumlah pakan ternak di Gunung Cibodas bisa dikumpulkan sebanyak dua karung dalam satu kali pengambilan. Waktu rata-rata yang dihabiskan untuk kegiatan tersebut sekitar dua jam, sehingga pengumpul pakan ternak membutuhkan satu jam untuk satu karung pakan ternak. Intensitas pengambilan pakan ternak dalam satu minggu mencapai tiga kali pengambilan. Jumlah pemilik ternak di Kampung Bubulak adalah empat orang. Apabila diasumsikan pengambilan dilakukan dengan intensitas yang tetap, maka dalam satu tahun jumlah pakan ternak yang bisa dikumpulkan adalah 1.248 karung yang dikumpulkan selama 1.248 jam. Nilai pakan ternak diduga dengan metode nilai substitusi tidak langsung berupa nilai upah buruh. Upah buruh di Kampung Bubulak adalah sebesar Rp 25.000 dengan waktu kerja efektif sekitar enam jam. Nilai upah buruh berarti setara dengan Rp 4.200 per jam. Berdasarkan pendekatan ini, nilai pakan ternak dari Gunung Cibodas adalah Rp 5.241.600 per tahun.

Pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat adalah pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Jenis yang diambil untuk kayu


(37)

bakar adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia umbellata). Penilaian kayu bakar yang dilakukan di Kampung Bubulak karena berdasarkan informasi yang diperoleh, masyarakat yang tinggal di sebelah selatan Gunung Cibodas banyak yang melakukan pengambilan kayu kayu bakar. Pemanfaat kayu bakar di kampung tersebut berasal dari RT 01 dan RT 02 yang lokasinya paling dekat dengan Gunung Cibodas dibanding tiga RT lainnya. Jumlah rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar adalah sebanyak 41 KK. Jumlah rumah tangga pengguna kayu bakar terdiri dari 10 KK dari RT 01, 15 KK dari RT 02, 9 KK dari RT 03, dan 7 KK dari RT 04. Hal ini berbeda dengan warga RT 05 yang seluruhnya menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar rumah tangga. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan kayu bakar dari Gunung Cibodas adalah 34 rumah tangga, sedangkan 7 rumah tangga lainnya memanfaatkan kayu bakar dari kebun milik sendiri atau membeli dari warga RT 01 dan RT 02 yang mengambil kayu bakar dari Gunung Cibodas. Pemanfaatan kayu bakar juga dilakukan masyarakat yang berasal dari kampung lainnya, yaitu Kampung Jatake, Kampung Mekarjaya, dan kampung lainnya di sekitar Gunung Cibodas. Pemilihan Kampung Bubulak sebagai objek penilaian kayu bakar didasarkan pada informasi bahwa jumlah pengambil kayu bakar dari kampung ini lebih banyak dari pada kampung lainnya.

Penilaian kayu bakar dilakukan dengan metode kontingensi yaitu kesediaan menerima (willingness to accept). Metode ini dipilih karena pengambil kayu bakar terkadang menjual kayu bakar kepada tetangga yang membutuhkan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, satu ikat atau satu pikulan kayu bakar yang diambil berkisar dari harga Rp 2.000 sampai dengan Rp 15.000 tergantung dari ukuran kayu perikat, namun warga biasa menjual dengan harga Rp 10.000 kepada tetangga yang kehabisan cadangan kayu bakar. Harga kontingensi rata-rata yang diperoleh dari kayu bakar sebesar Rp 9.700 per ikat. Jumlah kayu bakar yang bisa dikumpulkan dalam satu tahun rata-rata adalah 248 ikat untuk setiap rumah tangga. Jumlah pemanfaat kayu bakar di Kampung Bubulak adalah 34 rumah tangga, sehingga diperoleh nilai guna langsung kayu bakar Gunung Cibodas untuk Kampung Bubulak adalah Rp 80.880.000 per tahun.


(38)

Nilai guna tumbuhan diperoleh dari pemanfaatan kayu bakar dan pakan ternak. Nilai pemanfaatan dari sayuran tidak bisa dijumlahkan karena kesulitan untuk menduga nilai tersebut. Nilai tumbuhan yang dimanfaatkan adalah Rp 86.121.600 per tahun yang berasal dari pemanfaatan kayu bakar dan pakan ternak.

b. Satwa

Pemanfaatan satwa yang dilakukan masyarakat disekitar Gunung Cibodas masih terbatas. Menurut penuturan masyarakat setempat, satwa yang biasa dimanfaatkan adalah burung. Jenis burung yang diambil adalah ayam-hutan hijau (Gallus varius) dan poksai (Garrulax rufrifrons). Saat ini pengambilan burung sudah tidak dilakukan, masyarakat menganggap populasi burung sudah menurun dan jenis yang ditangkap sudah jarang ditemukan di Gunung Cibodas. Kelangkaan beberapa jenis burung bisa terjadi karena tingginya intensitas pengambilan ataupun terganggunya habitat dari satwa tersebut. Pengambilan satwa yang saat ini dilakukan masyarakat adalah pengambilan kelelawar.

Pengambilan kelelawar dilakukan pada sore hari hingga malam hari yang berasal dari goa-goa di Gunung Cibodas. Goa yang sering diambil kelelawarnya adalah Goa Simanggir dan Goa Sigajah. Berdasarkan pemaparan pemburu kelelawar, jumlah kelelawar yang tertangkap bisa mencapai 200 ekor dalam satu kali perburuan. Alat yang digunakan berupa jaring yang diikat pada dua batang bambu kecil dan dipasangkan di mulut goa. Perburuan kelelawar dimulai sekitar pukul 17.00 WIB dan berakhir pada pukul 20.00 WIB.


(39)

Kegiatan pengambilan kelelawar di Gunung Cibodas hanya dilakukan oleh satu kelompok pemburu yang berasal dari Kampung Tegalwaru. Pemburu hanya melakukan pengambilan ketika ada pesanan atau permintaan dari pedagang di pasar, namun pengambilan kelelawar biasanya dilakukan satu kali dalam dua bulan. Salah satu pemburu kelelawar menyebutkan bahwa jumlah kelelawar yang tertangkap dalam satu kali pengambilan rata-rata sekitar 70 ekor. Kelelawar dijual dengan harga Rp 3.000 per ekor. Jumlah kelelawar yang tertangkap bisa mencapai 200 ekor, dan jika kurang beruntung hanya sekitar 30 ekor yang tertangkap. Apabila kelelawar yang tertangkap tidak terjual, maka kelelawar akan dikonsumsi. Jika diasumsikan pengambilan kelelawar dilakukan dengan intensitas dan jumlah tangkapan yang tetap, maka hasil yang bisa diperoleh adalah Rp 1.260.000 per tahun. Nilai ini merupakan perkiraan dari nilai kelelawar yang ditangkap di goa-goa di Gunung Cibodas. Intensitas pengambilan kelelawar bisa bertambah ataupun berkurang, sehingga kelelawar memiliki nilai potensial yang lebih tinggi atau rendah dari nilai pemanfaatan saat penelitian berlangsung.

5.2.2 Nilai unsur fisik

a. Goa

Penialaian goa hanya dilakukan pada pemanfaatan sebagai sarana olahraga penelusuran goa dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost methode). Biaya perjalanan yang dihitung meliputi biaya transportasi, biaya konsumsi, dan kebutuhan lain yang digunakan selama kegiatan penelusuran goa serta kesediaan penelusur goa untuk mengeluarkan sumbangan atas jasa lingkungan yang diperoleh dari goa tersebut. Jumlah penelusur goa yang ditemui adalah sebanyak 21 orang. Penelusur goa adalah anggota pecinta alam Lawalata IPB sebanyak 15 orang dan 6 orang pecinta alam yang berasal dari Jakarta.

Biaya transportasi yang dikeluarkan berupa ongkos angkutan umum dan ada pula yang membawa kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi yang digunakan adalah sepeda motor. Para penelusur goa terkadang menyewa mobil angkutan umum dengan kapasitas 10 orang jika berangkat berkelompok. Jumlah kunjungan tahunan rata-rata adalah 4 kali kunjungan per orang. Biaya transportasi yang dikeluarkan setiap penelusur goa berkisar antara Rp 4.000 sampai Rp 50.000 dan biaya konsumsi berkisar antara Rp 15.000 sampai Rp 50.000. Biaya lain yang


(40)

dikeluarkan penelusur goa untuk melakukan kegiatan penelusuran rata-rata adalah Rp 17.500 dari biaya pembelian baterai. Biaya perjalanan penelusur goa adalah Rp 31.000 hingga Rp. 100.000 tergantung dari jarak tempat tinggal dari Gunung Cibodas. Berdasarkan hasil perhitungan dari 21 orang narasumber, nilai goa di Gunung Cibodas adalah Rp 4.426.000 per tahun. Intensitas kunjungan yang berbeda dalam satu tahun akan menyebabkan nilai yang berbeda pula untuk setiap pengunjung. Hal yang mempengaruhi intensitas kunjungan mahasiswa pecinta alam untuk melakukan penelusuran goa adalah waktu libur kuliah. Semakin banyak libur maka bisa diasumsikan akan semakin banyak pula kunjungan mahasiswa yang melakukan kegiatan penelusuran goa di Gunung Cibodas.

b. Tebing

Gunung Cibodas memiliki tebing baik yang sudah dimanfaatkan maupun tebing yang potensial untuk sarana olahraga panjat tebing. Tebing yang dinilai adalah tebing yang saat ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan olahraga panjat tebing. Penilaian tebing dilakukan menggunakan metode biaya perjalanan. Informasi biaya diperoleh dari wawancara dengan pengunjung yang merupakan pemanjat tebing di Gunung Cibodas. Berdasarkan informasi yang diperoleh, jumlah pengunjung tebing berkisar antara empat sampai lima puluh orang per minggu. Dalam satu bulan, jumlah pemanjat tebing yang datang berkisar antara 30-100 orang. Pada bulan-bulan tertentu jumlah pengunjung yang datang bisa mencapai 150 orang per bulan. Peningkatan jumlah tersebut biasanya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, karena merupakan waktu libur panjang masa kuliah dan waktu para pecinta alam melakukan latihan untuk anggota baru. Berdasarkan pendekatan tersebut, jumlah pengunjung tebing berkisar antara 720-1.350 orang per tahun. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh perbedaan intensitas kunjungan.

Penilaian tebing dilakukan melalui wawanca dengan para pemanjat tebing. Pengambilan data dilakukan setiap akhir pekan pada bulan Januari sampai Februari 2011 sehingga pengunjung yang menjadi narasumber merupakan sampel dari seluruh pengunjung dalam satu tahun. Jumlah pengunjung tebing yang dijumpai di lokasi tebing Gunung Cibodas adalah 133 orang, dan wawancara dilakukan dengan 27 narasumber yang merupakan perwakilan dari tiap rombongan pemanjat tebing. Penilaian tebing dilakukan dengan mengasumsikan


(41)

jumlah pengunjung tetap untuk setiap kunjungan dalam satu tahun. Biaya perjalanan satu kali kunjungan yaitu Rp 20.000 sampai Rp 170.000 tergantung dari biaya transportasi dan biaya lain yang dikeluarkan. Hal ini terkait dengan waktu dan jarak yang ditempuh dari tempat masing-masing. Intensitas kunjungan pemanjat tebing adalah 1 sampai 36 kali kunjungan per tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung yang ditemui, nilai guna tebing sebagai sarana olahraga minat khusus sebesar Rp 30.317.000 per tahun. Nilai ini hanya berlaku bagi pemanjat tebing yang dijumpai pada saat penelitian. Jumlah pemanjat tebing yang datang bisa saja mengalami perubahan baik jumlah tim maupun intensitas kunjungannya. Hal yang mempengaruhi intensitas kunjungan yaitu intensitas libur perkuliahan. Banyaknya waktu libur kuliah memungkinkan intensitas kunjungan semakin tinggi, dan apabila waktu liburan semakin panjang maka waktu kunjungan kemungkinan semakin lama yang mengakibatkan biaya kunjungan semakin tinggi.

c. Air

Air memiliki manfaat yang luas, mulai dari hulu hingga ke bagian hilir. Masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air biasanya mendapatkan manfaat dari keberadaan air tesebut. Penilaian air hanya dilakukan di Kampung Mekarjaya yang berada dekat dengan mata air Cipanas, sehingga nilai air yang diperoleh hanya berdasarkan pemanfaatan di kampung tersebut. Nilai air diduga dengan menggunakan metode kontingensi yaitu kesediaan membayar dari masyarakat Kampung Mekarjaya yang memanfaatkan air. Teknik yang digunakan adalah melalui wawancara dengan pengguna air tersebut. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan air dari mata air Cipanas saat melakukan penelitian adalah sebanyak 18 kepala keluarga. Jumlah pengguna air Cipanas akan bertambah jika terjadi kemarau karena saat kemarau sumur-sumur yang ada dibeberapa rumah mengalami kekeringan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengguna air, jumlah pengguna yang bersedia membayar air yang digunakan adalah tiga narasumber. Kesediaan membayar air adalah Rp 1.000 sampai Rp 5.000 per bulan dan diperoleh nilai rata-rata sebesar Rp 3.700 per bulan. Menurut Rused (2009), jumlah konsumsi air masyarakat Kampung Bengkok Megamendung rata-rata adalah 440 kubik per


(42)

tahun. Air tersebut dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, dan kakus. Jumlah konsumsi air tersebut diasumsikan sama dengan konsumsi air di Kampung Mekarjaya, asumsi ini digunakan karena hasil wawancara yang dilakukan tidak bisa memperoleh data jumlah air yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Narasumber tidak bisa memberikan informasi jumlah air yang dipakai dalam satuan pemakaian tertentu, misalnya jumlah air dalam satuan kubik atau liter. Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh nilai air di Kampung Mekarjaya adalah Rp 100 per kubik. Jumlah pemanfaat air oleh 18 rumah tangga pada saat penelitian dilaksanakan adalah 7.920 kubik per tahun. Nilai air di Kampung Mekarjaya diperoleh dengan mengalikan jumlah pemanfaatan air dengan harga air per kubik, sehingga diperoleh nilai air sebesar Rp 792.000 per tahun. Nilai ini tentunya bukan merupakan nilai yang sesungguhnya karena pengguna air pada musim kemarau belum termasuk narasumber.

d. Batu gamping

Gunung Cibodas merupakan salah satu penyusun formasi karst di Indonesia, luas singkapan batu gamping Indonesia mencapai 154.000 km2. Ketebalan rata-rata batu gamping di Indonesia adalah 100 m dan berat jenis 2,5 ton/m3. Berdasarkan nilai ini, Indonesia memiliki cadangan batu gamping sebanyak 39 trilyun ton (Surono et al. 1999 diacu dalam Samodra 2001). Gunung Cibodas memiliki luas singkapan 125,1 ha atau sekitar 1,251 km2.Cadangan batu gamping Gunung Cibodas belum bisa diketahui karena keterbatasan informasi mengenai ketebalan rata-rata batu gamping di gunung tersebut.

Penilaian batu gamping dilakukan dengan menggunakan metode biaya sisa turunan. Para pemilik tobong biasanya membeli batu gamping per mobil dengan kapasitas muat sebanyak tiga kubik. Harga batu gamping adalah Rp 180.000 per mobil yang terdiri dari Rp 15.000 upah angkut, Rp 40.000 upah bongkar muat, Rp 50.000 upah penggalian, dan Rp 75.000 untuk tiga kubik batu gamping, sehingga nilai batu gamping adalah Rp 25.000 per kubik. Jumlah batu gamping yang diambil oleh penambang diduga dari banyaknya batu gamping yang masuk dalam tobong. Pembakaran batu gamping biasanya dilakukan apabila kapasitas tobong terpenuhi. Jumlah tobong yang terdapat di Kampung Mekarjaya adalah sebanyak


(43)

22 tobong, namun hanya 20 yang beroperasi. Berdasarkan penuturan para pemilik tobong, kapasitas tobong bervariasi mulai dari 24 kubik (8 pick up) sampai dengan 51 kubik (17 pick up). Ukuran tobong rata adalah 36 kubik dan rata-rata intensitas pembakaran batu gamping yang dilakukan pemilik tobong adalah 5 kali per bulan. Jumlah batu gamping rata-rata yang diambil dari Gunung Cibodas adalah 3.252 kubik per bulan. Apabila kondisi ini diasumsikan tetap, jumlah batu gamping yang diambil adalah sebanyak 39.024 kubik per tahun. Berdasarkan jumlah tersebut, nilai pemanfaatan batu gamping adalah Rp 975.600.000 per tahun. Jumlah batu gamping yang dibakar terkadang kurang bahkan dari kapasitas tungku pembakaran karena lambatnya pasokan batu gamping yang diambil para penambang.

5.2.3 Nilai total ekosistem Karst Gunung Cibodas

Nilai guna merupakan salah satu komponen nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya alam. Nilai guna yang dihitung dari ekosistem Karst Gunung Cibodas adalah nilai guna langsung yang diperoleh dari pemanfaatan unsur biofisik yang diidentifikasi. Hasil pendugaan nilai guna langsung ekosistem Karst Gunung Cibodas dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 6).

Tabel 6 Nilai pemanfaatan unsur biofisik ekosistem Karst Gunung Cibodas

No. Unsur biofisik Pemanfaatan Nilai per tahun (Rp)

1 Tumbuhan Kayu bakar dan pakan ternak 86.121.600

2 Satwa Kelelawar 1.260.000

3 Goa Wisata penelusuran goa 4.426.000

4 Tebing Wisata panjat tebing 30.317.000

5 Mata air Sumber air rumah tangga 792.000

6 Batu gamping Bahan pertambangan 975.600.000

Total 1.098.516.600

Berdasarkan penilaian yang dilakukan, batu gamping memiliki nilai paling tinggi namun manfaat ini bersifat terbatas dan akan mengakibatkan hilangnya manfaat lain dari Gunung Cibodas. Nilai non-tambang berlaku untuk jangka panjang yang berarti dikalikan dengan waktu tak terhingga sehingga nilai pemanfaatan ini adalah tak terhingga bila dimanfaatkan secara lestari meskipun saat ini memiliki nilai yang lebih kecil dibanding nilai tambang, sedangkan nilai


(1)

Lampiran 5 Daftar jenis tumbuhan di Gunung Cibodas a. Pohon

No. Nama Ilmiah Nama Lokal Famili

1 Alstonia scholaris Pulai Apocynaceae

2 Antidesma montana Kiseueur badak Euphorbiaceae

3 Macaranga tanarius waru jantan Euphorbiaceae

4 Mallotus moritzianus Euphorbiaceae

5 Securinega virosa Kimerah Euphorbiaceae

6 Buchanania arborescens Pohpohan Anacardiaceae 7 Calophyllum soulattri Bintangur Clusiaceae

8 Cecropia umbellata Kibolong Moracea

9 Ficus septic Kiciyat Moracea

10 Ficus variegata Kondang Moracea

11 Diospyros frutescens Kigentel Ebenaceae

12 Grewia paniculata Gerowak Tiliaceae

13 Leucaena glauca Pete cina Fabaceae

14 Morinda citrifolia Mengkudu Rubiaceae

15 Wendlandia glabrata Rubiaceae

16 Pterospermum javanicum Bayur Sterculiacea

17 Syzygium lineatum Myrtaceae

18 Syzygium polyanthum Salam Myrtaceae

19 Syzygium racemosum Resep Myrtaceae

Sumber : Sartika 2007 b. Tumbuhan Bawah

No. Nama Ilmiah Nama Lokal Famili

1 Chromolaena odorata Kirinyuh Asteraceae

2 Clibadium surinamense Kibodas Asteraceae

3 Porophyllum ruderale --- Asteraceae

4 Wedelia triloba Seruni Asteraceae

5 Erycibe rheendii Nyamplung-nyamplungan Convolvulaceae

6 Kalanchoe pinnata Sosor bebek Crassulaceae

7 Cyperus kyllingia Srengseng Cyperaceae

8 Scleria purpurasecens --- Cyperaceae

9 Alchornea rugosa Kironyok Euphorbiaceae

10 Breynia cernua Kakatuaan Euphorbiaceae

11 Phyllanthus niruri Meniran Euphorbiaceae

12 Centrosema pubescens Kacang-kacangan Fabaceae

13 Mimosa invisa Riutan Fabaceae

14 Phanera sp. Kilaban Fabaceae

15 Gleichenia linearis Paku areuy Gleicheniaceae

16 Salvia riparia Pulus Laminaceae

17 Abutilon sp. Pulung ayam Malvaceae


(2)

No. Nama Ilmiah Nama Lokal Famili

19 Clidemia hirta Harendong Melastomataceae

20 Melastoma malabathricum Harendong Melastomataceae

21 Ficus obscura Buah ara Moracea

22 Jasminum bifarium Gambir hutan Oleaceae

23 Piper aduncum Seuseureuhan Piperaceae

24 Axonopus compressus Papahitan Poaceae

25 Cyrtococum accrescens Kretekan/Kasup Poaceae

26 Cyrtococum axyphyllum Kretekan Poaceae

27 Penissetum polystachyon Ayam-ayaman Poaceae

28 Pogonatherum paniceum Rumput Poaceae

29 Saccharum spontaneum Kaso Poaceae

30 Themeda arguens Kakasangan Poaceae

31 Asplenium macrophyllum Pakis Polypodiaceae

32 Asplenium nidus Paku sarang burung Polypodiaceae

33 Nephrolepis bisrrata Pakis Polypodiaceae

34 Nephrolepis exaltata Paku harupat Polypodiaceae

35 Rubus moluccanus Murbei hutan Rosaceae

36 Borreria laevis --- Rubiaceae

37 Allophyllus cobbe Cukilah/Asa asa Sapindaceae

38 Lygodium flexuosum Kikeris Schizaeaceae

39 Selaginella wildenowii Paku rane Selaginellaceae

40 Physalis minima Cecenet Solanaceae

41 Clerodendrum macrostegium Waru-waruan Verbenacea

42 Clerodendrum serratum Singugum Verbenacea

43 Lantana camara Sente Verbenacea

44 Stachytarpheta indica Babadotan Verbenacea Sumber : Sartika 2007


(3)

Lampiran 6 Peta sebaran potensi fisik Gunung Cibodas


(4)

Lampiran 7 Dokumentasi kegiatan penelitian nilai guna langsung ekosistem Karst Gunung Cibodas tahun 2011

Halcyon cyanoventris Hirundo striolata Orthotomus sutorius

Lonchura leucogastroides Lonchura puntulata Parrus major

Pycnonotus aurigaster Streptopelia chinensis Dicaeum trochileum

```


(5)

Cecropia umbellata Ibu-ibu pengambil kayu bakar

Penelitian biota goa Pemetaan goa

(Foto: Lawalata IPB) (Foto: Lawalata IPB)


(6)

Miftah Ayatussurur. E 34062207. Direct Use Value of Karst Ecosystem of Cibodas Mountain Bogor, West Java. Under Supervision of Haryanto R. Putro and Bahruni.

This research was conducted in order to identify biophysic’s potential and estimate direct use value of Karst Ecosystem of Cibodas Mountain. The research would provide information which served as consideration in the management of the area. The observation was held in December 2010 to May 2011 at Cibodas Mountain, Bogor, West Java. The data was collected through interview, field survey, and literature study. Market price method, indirect substitution value, travel cost method, contingency valuation method, and residual drived method was used to count the potential value of the ecosystem.

Biological element of Cibodas Mountain was comprised of plants and animals. There were 254 plants species of 84 family (Soemarno et al. 2006), 37 bird species from 21 family, 5 mammals species from 5 family, and 20 species of herpetofauna from 12 family. Plants were used for firewood, fodder, and vegetables, while the animal was used for sale. Plant species used were Calliandra calothyrsus and Cecropia umbellata for firewood, Leucaena glauca for vegetable, and the grass for fodder. The species of animal used for sale was Cynopterus sp. Physical element included caves, cliffs, water source, and limestone. There were 15 caves found during the research and these caves were used for caving exploration (sport), bird nest source, and guano source. Cibodas Mountain had two location of cliffs, one at the west side and the other at the east side of the mountain. However only the west side was used for sport (climbing) area with 12 climbing routes. Water resource was found at the north side of Cibodas Mountain and it was flowing in to Cisadane river. Water was used for daily needs such as bathing, washing, etc. Cibodas Mountain was a karst ecosystem rich with limestone, and it was being used by the people as a mining location.

The direct use value of Karst Ecosystem of Cibodas Mountain was about Rp 1,098,516,600 per year, which consist of the value of firewood, fodder, bat,