Penentuan Konsentrasi Ca(OH)2 dan Suhu untuk Proses Pengapuran (Liming) Kulit Ikan Tuna

PENENTUAN KONSENTRASI Ca(OH)2 DAN SUHU UNTUK
PROSES PENGAPURAN (LIMING) KULIT IKAN TUNA

RINATA YUDHATAMA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Konsentrasi
Ca(OH)2 dan Suhu untuk Proses Pengapuran (Liming) Kulit Ikan Tuna adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Rinata Yudhatama
NIM F34080140

ABSTRAK
RINATA YUDHATAMA. Penentuan Konsentrasi Ca(OH)2 dan Suhu untuk Proses
Pengapuran (Liming) Kulit Ikan Tuna. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.

Liming merupakan salah satu proses yang paling penting pada beamhouse dan
memiliki banyak fungsi yang berkaitan dengan mutu kulit samak dan sifatnya.
Konsentrasi Ca(OH)2 dan suhu menjadi faktor yang diduga mempengaruhi proses
liming dan mutu kulit yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
karakteristik kulit ikan tuna, mengetahui pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan suhu
pada proses liming. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan perlakuan
terbaik dari konsentrasi Ca(OH)2 dan suhu terhadap mutu kulit hasil liming.
Terdapat empat respon yang diamati, yaitu kadar protein, kadar lemak, swelling,
dan pH. Berdasarkan hasil penelitian, kulit ikan tuna pada penelitian ini memiliki
kadar protein yang cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk diolah menjadi
kulit samak. Perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 tidak memberikan pengaruh signifikan

terhadap semua respon. Taraf perlakuan konsentrasi kapur 5% ditetapkan sebagai
taraf terbaik karena pada taraf tersebut terdapat tiga respon yang mencapai kondisi
terbaik. Perlakuan suhu menunjukkan pengaruh yang signifikan pada respon kadar
lemak dan swelling. Taraf perlakuan suhu 30 °C ditetapkan sebagai taraf suhu
terbaik karena pada taraf tersebut terdapat dua respon yang mencapai kondisi
terbaik.
Kata kunci : liming, Ca(OH)2, suhu, kulit ikan tuna
ABSTRACT
RINATA YUDHATAMA. Determination of Calcium Hydroxide Concentration
and Temperature for the Liming Process of Tuna Skin. Supervised by ONO
SUPARNO.
Liming is one of the most important processes in beamhouse and has many
functions relating to the nature and quality of leather. Concentration of calcium
hydroxide and temperature are thought to be a factor affecting the liming process
and the quality of leather produced. The objectives of this study were to determine
the characteristics of tuna skin, to determine the effect of the concentration of
calcium hydroxide and temperature on the liming, and to determine the best
treatment of the concentration of calcium hydroxide and temperature on the quality
of limed pelt. There were four responses observed, i.e. the protein content, fat
content, swelling, and pH. Based on this research, tuna skin had higher level of

protein that was high enough to be processed into leather. Treatment of calcium
hydroxide concentration did not significantly effect to all responses. Level of 5%
calcium hydroxide concentration was the best treatment, as it gave three responses
that achieve the best conditions. Temperature treatment showed a significant effect
on the responses of fat content and swelling. Specified temperature as the best level

was 30 °C, because there were two responses that achieve the best conditions at that
level.
Key words : liming, calcium hydroxide, temperature, tuna skin

PENENTUAN KONSENTRASI Ca(OH)2 DAN SUHU UNTUK
PROSES PENGAPURAN (LIMING) KULIT IKAN TUNA

RINATA YUDHATAMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Penentuan Konsentrasi Ca(OH)2 dan Suhu untuk Proses
Pengapuran (Liming) Kulit Ikan Tuna
Nama
: Rinata Yudhatama
NIM
: F34080140

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T.
Pembimbing

Diketahui oleh


Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: Agustus 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Bidang penelitian yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini
adalah teknologi proses dengan judul Penentuan Konsentrasi Ca(OH)2 dan Suhu
untuk Proses Pengapuran (Liming) Kulit Ikan Tuna. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
• Ibu, Bapak, Raka Yudhi Setiawan, dan Dian Selia Rani yang selalu
memberikan perhatian, didikan, doa, kasih sayang, dan semangat yang tak
terbatas.
• Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama masa studi penulis hingga
selesainya tugas akhir ini.
• Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng dan Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP, M.T. selaku

tim penguji yang telah memberikan banyak saran dan nasehat.
• PT. Kelola Mina Laut atas bantuannya dalam penyediaan kulit ikan tuna.
• Dosen-dosen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB, atas semua
pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Seluruh laboran Laboratorium Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB atas
informasi dan bantuannya dalam proses analisis.
• Keluarga besar Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB
khususnya rekan-rekan TIN 45.
• Dinar, Wawan, Syauqi, Vitor, Ida, Panji, Dody, Tori, Dhani, Teguh, Rosyid,
Anton, Doli, dan keluarga besar Mahameru sebagai sahabat-sahabat terbaik
yang selalu mendukung dan memberikan semangat.
• Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh mendekati sempurna sehingga
penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Terlepas dari semua itu,
penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak dan
kemajuan industri pertanian di Indonesia.

Bogor, Agustus 2013
Rinata Yudhatama


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

METODE PENELITIAN

3


Bahan Penelitian

3

Peralatan Penelitian

3

Tahapan Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Karakteristik Bahan Baku

4


Pengaruh Konsentrasi Ca(OH)2 pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna

5

Pengaruh Suhu pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna

8

SIMPULAN DAN SARAN

10

Simpulan

10

Saran

10


DAFTAR PUSTAKA

10

LAMPIRAN

12

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Data impor kulit ke Indonesia
2 Data produksi ikan tuna Indonesia
3 Kandungan kulit ikan tuna

1
1

4

DAFTAR GAMBAR
1 Kadar protein dan lemak, swelling, dan pH pada beberapa
konsentrasi kapur dalam proses liming kulit ikan tuna
2 Kadar protein dan lemak, swelling, dan pH pada beberapa suhu
dalam proses liming kulit ikan tuna

6
8

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Dokumentasi penelitian
Prosedur analisis
Tahapan proses liming
Hasil analisis ragam respon

12
14
17
18

PENDAHULUAN

Industri penyamakan kulit di Indonesia sudah berkembang dengan cukup
baik, terutama penyamakan yang menggunakan kulit dari hewan darat. Pada tahun
1996 ekspor kulit dan produk kulit dapat memberikan kontribusi ekspor sebesar 2,4
miliar dolar AS yang menduduki urutan ketiga di bawah tekstil dan kayu sebagai
komoditi ekspor utama non migas. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor
produk kulit Indonesia antara tahun 2000-2004 mengalami peningkatan dari 1,2
miliar dolar AS pada tahun 2000 menjadi 3,1 miliar dolar AS pada tahun 2004
(Anonim 2006). Menurut Yuliawati (2008), pesatnya perkembangan industri
penyamakan sayangnya tidak ditopang dengan pemenuhan jumlah bahan baku kulit
yang mencukupi. Berdasarkan data statistik dari tahun 2007-2011, jumlah impor
Indonesia untuk kulit justru cenderung mengalami peningkatan. Data impor kulit
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Data impor kulit ke Indonesia
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

Volume (ton)
9.332
42.319
40.275
55.862
56.995

Nilai (Dolar AS)
75 juta
305,52 juta
200,4 juta
327,19 juta
438,35 juta

Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)

Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan bahan baku kulit, yang
selama ini menggunakan kulit hewan darat, adalah dengan memanfaatkan kulit
ikan. Salah satu komoditi perikanan yang diproduksi secara besar adalah ikan tuna.
Di Indonesia, ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan laut yang cukup banyak
terdapat di perairan laut dan menjadi jenis ikan ekonomis penting. Menurut Statistik
Kelautan dan Perikanan (2012), produksi ikan tuna di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Data produksi ikan tuna di Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Data produksi ikan tuna Indonesia
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

Volume (ton)
191.558
194.173
203.269
213.796
241.364

Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan (2012)

Secara umum tahapan proses pembuatan kulit samak terdiri atas beamhouse,
tanning, post tanning, dan finishing. Tahap beamhouse (rumah basah) merupakan
tahapan awal sebagai proses persiapan sebelum kulit memasuki proses

2
penyamakan. Menurut Adzed (2010), tahap beamhouse terdiri atas soaking
(perendaman/pembasahan), liming (pengapuran), unhairing dan fleshing
(pembuangan bulu dan daging), deliming (pembuangan kapur), bating (pelumatan),
dan pickling (pemikelan). Pada beamhouse, kulit diproses dengan menggunakan
kapur/sodium hidroksida dan natrium sulfida dengan tujuan untuk menghilangkan
rambut/sisik dan epidermis serta untuk membuka ikatan kolagen (Haiming et al.
2010). Perubahan yang tampaknya kecil di salah satu bagian dari proses beamhouse
dapat menyebabkan perubahan tambahan dalam tahap selanjutnya. Pemahaman
tentang mekanisme penyamakan bergantung pada pengetahuan tentang efek pada
substansi proses beamhouse yang mendahului langkah penyamakan (Brown et al.
2012).
Sebagai salah satu proses yang paling penting pada beamhouse, liming
memiliki banyak fungsi yang unik berkaitan dengan mutu kulit dan sifat-sifatnya
(Fu et al. 2009). Liming bertujuan untuk menghilangkan protein non kolagen dan
melonggarkan matriks kolagen. Pelonggaran ini memudahkan masuknya bahan
penyamak untuk berdifusi ke dalam kulit (Saravanbhavan et al. 2006). Pada proses
liming, target utama adalah penghilangan protein non struktural pada kulit. Protein
non struktural tersebut tidak memiliki tingkat hirarki struktur yang sama seperti
struktur molekular dan makro pada kolagen, sehingga lebih rentan terhadap
kerusakan. Proses pelarutan protein non struktural ini terjadi ketika amida yang
menghubungkan antar protein non struktural rusak (Covington 2011). Ketika
protein non struktural berkurang, kulit samak menjadi lebih lembut, lebih
merenggang, dan lebih fleksibel (Aldema-Ramos et al. 2010).
Prosedur umum liming kulit hewan darat secara konvensional biasanya
menggunakan Ca(OH)2 berkisar 5-10% dari bobot basah kulit (Judoamidjojo 1982),
sedangkan untuk kulit ikan masih belum ada prosedur secara spesifik yang
menjelaskan berapa kisaran persentase yang tepat untuk liming. Kelebihan
persentase Ca(OH)2 tentunya akan mempengaruhi efisiensi biaya dan
memungkinkan terjadinya over liming yang justru merusak kulit, sedangkan jika
persentasenya kurang akan berpengaruh pada mutu kulit samak yang dihasilkan
karena pembuangan komponen inter fibrial yang tidak optimal. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui berapa kisaran persentase Ca(OH)2
yang tepat untuk liming kulit ikan tuna. Proses liming secara konvensional
berlangsung pada suhu ruangan berkisar 26-34 °C. Menurut Covington (2011),
suhu liming mempengaruhi kelarutan Ca(OH)2 dan kinetika ion hidroksil. Setiap
peningkatan suhu akan memepercepat laju reaksi. Dengan dilakukan modifikasi
suhu memungkinkan proses liming berlangsung lebih optimal karena ion hidroksil
merupakan katalis yang sangat efektif.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik kulit ikan tuna dan mengetahui pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 serta
pengaruh suhu pada proses liming kulit ikan tuna. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dari konsentrasi Ca(OH)2 (1, 5, 9,
dan 13%) dan suhu (26, 28, 30, 32, 34, 36 °C) terhadap mutu kulit ikan tuna hasil
liming.

3

METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian
Kulit yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan tuna (Tunnus sp.)
yang diperoleh dari hasil samping industri fillet ikan tuna di PT. Kelola Mina Laut,
Gresik. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, Ca(OH)2 (kapur), Na2S, dan
bahan kimia untuk analisis kadar protein dan kadar lemak.

Peralatan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk liming
dalam skala laboratorium dan analisis kimia di laboratorium. Alat-alat yang
digunakan selama proses liming adalah shaker waterbath dan botol. Botol
digunakan sebagai reaktor untuk menempatkan kulit dan larutan kapur pada proses
liming yang kemudian dimasukkan ke shaker waterbath dengan suhu tertentu. Alatalat yang digunakan untuk analisis adalah thickness gauge, peralatan gelas, dan pH
meter. Dokumentasi penelitian untuk bahan dan alat yang digunakan dapat dilihat
pada Lampiran 1.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu (1) analisis karakteristik
bahan baku, (2) analisis pengaruh konsentrasi kapur pada proses liming kulit ikan
tuna, (3) analisis pengaruh suhu pada proses liming kulit ikan tuna.
Analisis Karakteristik Bahan Baku
Tujuan penelitian tahap ini adalah untuk mengetahui karakteristik bahan baku
kulit ikan tuna. Analisis karakteristik bahan baku berupa pengukuran kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Masing-masing dianalisis dengan 3 kali
ulangan. Prosedur analisis secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 2.
Analisis Pengaruh Konsentrasi Kapur pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna
Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari taraf
faktor konsentrasi kapur terhadap respon yang diamati pada kulit hasil pengapuran.
Respon yang diamati adalah kadar protein, kadar lemak, swelling, dan nilai pH.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
klasifikasi satu faktor, yaitu faktor konsentrasi kapur dengan taraf 1, 5, 9, dan 13%.
Dari setiap taraf tersebut dilakukan ulangan sebnyak 2 kali. Kriteria yang
diinginkan adalah taraf yang dapat menghasilkan kulit yang memiliki kadar protein
yang rendah, kadar lemak yang rendah, swelling yang tinggi, dan pH yang tinggi.
Metode liming yang digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari
metode Tambunan (1993) dan Setyanto (1997). Tahapan keseluruhan proses liming
dapat dilihat pada Lampiran 3. Perhitungan statistik dilakukan dengan
menggunakan analisis varian (sidik ragam) melalui software SAS (Statistical

4
Analysis System) dengan taraf kepercayaan 95%. Model matematika yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Yij = μ + Ai + ij
Keterangan:
Y
: Response
μ
: Rata-rata umum atau sebenarnya
Ai
: Pengaruh perlakuan konsentrasi kapur ke-i
 ij
: Galat (error)
Analisis Pengaruh Suhu pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna
Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari taraf
faktor suhu terhadap respon yang diamati pada kulit hasil pengapuran. Respon yang
diamati adalah kadar protein, kadar lemak, swelling, dan nilai pH. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) klasifikasi satu
faktor, yaitu faktor suhu dengan taraf 26, 28, 30, 32, 34, dan 36 ± 2 °C. Dari setiap
taraf tersebut dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Kriteria yang diinginkan adalah
taraf yang dapat menghasilkan kulit yang memiliki kadar protein yang rendah,
kadar lemak yang rendah, swelling yang tinggi, dan pH yang tinggi. Perhitungan
statistik dilakukan dengan menggunakan analisis varian (sidik ragam) melalui
software SAS (Statistical Analysis System) dengan taraf kepercayaan 95%. Model
matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yij = μ + Bi + ij
Keterangan:
Y
: Response
μ
: Rata-rata umum atau sebenarnya
Bi
: Pengaruh perlakuan suhu ke-i
 ij
: Galat (error)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku
Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui kondisi awal kulit tuna
yang menjadi bahan baku penelitian. Kondisi awal bahan baku kulit berperan besar
terhadap mutu kulit samak yang dihasilkan. Hasil analisis kulit ikan tuna yang
digunakan dalam penelitian ini dan hasil analisis yang dilakukan oleh Anonim
(2011) ditampilkan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan kulit ikan tuna
Komponen
Kadar air
Kadar protein
Kadar lemak
Kadar abu
a

Sumber: Anonim (2011)

Persen (b/b)
56,40 ±1,99
22,42 ±1,60
17,51 ±4,96
2,68 ±0,03

Persen (b/b)a
60,19
22,15
0,33
7,49

5

Jika hasil analisis kulit yang digunakan untuk penelitian ini dibandingkan
dengan hasil analisis kulit yang digunakan oleh Anonim (2011) maka terlihat
beberapa perbedaan. Kadar air pada kulit yang digunakan pada penelitian ini lebih
rendah. Hal ini dimungkinkan karena kulit yang digunakan pada penelitian ini telah
diawetkan dengan dilumuri garam pada permukaannya, sehingga air yang
tersimpan dalam kulit terserap oleh garam yang diakibatkan oleh perbedaan tekanan
osmotik di dalam dan di permukaan kulit.
Kadar protein pada kulit yang digunakan pada penelitian ini tidak terlalu jauh
berbeda jika dibandingkan dengan kulit yang digunakan oleh Anonim (2011).
Tingginya kadar protein mengindikasikan kulit tersebut memungkinkan untuk
disamak karena protein pada kulit sebagian besar tersusun oleh kolagen yang
merupakan materi inti penyusun kulit samak. Menurut Madhan et al. (2010a),
matriks kulit selain mengandung kolagen juga mengandung protein fribrillar dan
protein non fibrial. Protein yang termasuk protein non fibrillar seperti albumin dan
globulin diharapkan dapat dihilangkan selama proses liming dengan menggunakan
air dan larutan alkali. Protein-protein tersebut sangat larut dalam kondisi alkali
(basa) dan karenanya pelepasan protein dalam jumlah yang tinggi terjadi pada
liming.
Perbedaan yang cukup besar terlihat pada kadar lemak. Hal ini karena kulit
yang digunakan pada penelitian ini belum pernah dibersihkan dari sisa-sisa daging
yang menempel sehingga kadar lemaknya menjadi lebih tinggi. Menurut Covington
(2009), lemak, baik kulit dan sub kulit, kemungkinan ada di kulit pada awal
pengapuran, terutama jika kulit belum pernah dibersihkan dari sisa-sisa daging yang
menempel. Lemak dihidrolisis tersabunkan, yaitu diubah menjadi sabun dan
gliserol, selama pengapuran. Perbedaan pada kadar abu dapat diakibatkan karena
perbedaan jumlah kandungan mineral yang terdapat pada kulit. Mineral yang
biasanya terdapat pada kulit adalah K, Na, Ca, Mg, P, Zn, dan Fe.

Pengaruh Konsentrasi Ca(OH)2 pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna
Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari taraf
faktor konsentrasi Ca(OH)2 terhadap respon yang diamati pada kulit hasil liming.
Parameter yang dinilai pada tahap ini adalah kandungan protein dan lemak yang
rendah, swelling dan pH yang tinggi. Pada penelitian ini konsentrasi kapur
ditetapkan sebesar 1, 5, 9, dan 13% dengan suhu ruangan tetap. Hasil pengamatan
untuk pengaruh konsentrasi kapur dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis
ragam respon dapat dilihat pada Lampiran 4.
Berdasarkan analisis statistik pada taraf 1, 5, 9, dan 13% tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap semua respon yang diamati. Hal ini
menunjukkan bahawa pada taraf perlakuan konsentrasi kapur tersebut tidak
mempengaruhi kondisi liming kulit ikan tuna. Hal ini dapat dikarenakan range taraf
yang digunakan pada penelitian ini terlalu dekat sehingga tidak terlihat perbedaan
yang signifikan pada respon yang diamati. Range konsentrasi kapur yang digunakan
mengacu pada metode liming kulit hewan darat yakni berkisar antara 5-10%
(Judoamidjojo 1982). Pada batas bawah dan atasnya sudah diperlebar menjadi 1%
dan 13% untuk mengantisipasi adanya range konsentrasi kapur yang lebih baik

6
daripada metode liming yang biasa digunakan untuk kulit hewan darat, mengingat
komposisi kimia maupun struktur fisik kulit ikan berbeda dengan kulit hewan darat.
Pada kulit hewan darat, semakin tebal bahan baku dan semakin lembut/fleksibel
sifat fisik yang ingin diperoleh maka konsentrasi kapur akan semakin ditingkatkan.
Peningkatan konsentrasi kapur akan meningkatkan pH sehingga menciptakan
kondisi alkali (basa). Protein non fibrillar seperti albumin dan globulin sangat larut
dalam kondisi basa dan karenanya pelepasan protein dalam jumlah yang tinggi
terjadi pada liming. Alasan dari tingginya jumlah protein non kolagen yang
dilepaskan selama liming karena meterial inter fibrillar pecah (kekuatan osmotik)
selama liming dan secara fisik mengikuti matrik keluar menuju larutan kapur
(Madhan et al. 2010a).

Gambar 1 Kadar protein dan lemak, swelling, dan pH pada beberapa
konsentrasi kapur dalam proses liming kulit ikan tuna
Jika dilihat dari Gambar 1, seiring bertambahnya konsentrasi kapur maka
nilai pH cenderung mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Aldema-Ramos dan Liu (2010), jika suatu hidroksida dari basa kuat (misalnya
kapur) ditambahkan pada larutan, maka larutan akan semakin bersifat alkali (basa)
yang ditandai dengan meningkatnya pH. Semakin meningkatnya pH maka akan
terjadi opening up atau osmotic swelling karena terjadi ketidakseimbangan ionik
pada matrik kolagen dan menyebabkan terlepasnya rambut/sisik serta beberapa
protein pada kulit. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 jumlah protein cenderung
mengalami penurunan meskipun perbedaannya tidak signifikan pada masingmasing taraf. Pada grafik terlihat nilai swelling dari konsentrasi kapur 1% ketika
ditambah konsentrasinya menjadi 5%, nilai swelling mengalami peningkatan

7
meskipun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan terjadinya opening up yang
ditandai dengan peningkatan swelling. Pada konsentrasi 9 dan 13% nilai swelling
justru mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi karena kulit telah kehilangan
material non kolagen dan pelonggaran matrik kolagen secara maksimal telah terjadi
sehingga air masuk ke dalam kulit dan menggantikan posisi manterial non kolagen
(Haiming et al. 2010). Ketika dilakukan pengukuran swelling menggunakan alat
thickness gauge, yang bekerja dengan prinsip tekanan, maka kulit tersebut akan
kembali menyusut karena air yang ada di dalamnya tidak mampu menahan tekanan
dari alat. Pada gambar juga dapat dilihat kadar lemak cenderung mengalami
penurunan, meskipun besarnya tidak signifikan. Lemak terhidrolisis dan
tersabunkan menjadi sabun dan gliserol selama proses liming (Covington 2009).
Proses penyabunan ini sangat ideal terjadi pada kondisi basa (pH tinggi).
Salah satu tujuan liming adalah penghilangan komponen protein non kolagen.
Menurut Covington (2009), tindakan hidrolitik pada liming ditujukan terutama pada
non struktural protein, albumin dan globulin dalam struktur serat. Efek degradasi
dari langkah pengapuran pada protein non kolagen sangat efektif sehingga
mendominasi proses pembukaan. Banyaknya protein non kolagen yang hilang
dapat dihitung dari selisih antara total protein pada kulit awal dan protein setelah
perlakuan penelitian. Menurut Sirvaitye et al. (2008), total protein pada kulit dapat
ditentukan dengan metode Kjeldahl.
Pada penelitian ini meskipun pengaruh masing-masing taraf konsentrasi
kapur terhadap semua respon tidak signifikan, namun secara keseluruhan pada
penelitian tahap ini menunjukkan bahwa konsentrasi kapur terbaik adalah 5%
karena pada konsentrasi tersebut kadar protein dan lemak mencapai kadar yang
terendah, dan swelling mencapai nilai tertinggi. Pada konsentrasi tersebut pH tidak
mencapai nilai tertinggi, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada
konsentrasi kapur 5% telah memenuhi kriteria sebagai konsentrasi terbaik karena
terdapat tiga respon yang mencapai kondisi terbaik.
Jika dilihat dari sisi efisiensi maka konsentrasi 5% lebih efisien jika
dibandingkan dengan konsentrasi kapur 9 dan 13%. Semakin kecil konsentrasi
kapur yang digunakan tentunya akan memperkecil biaya produksi dan memperkecil
jumlah limbah yang terbuang ke lingkungan sehingga lebih ramah terhadap
lingkungan. Menurut Brown et al. (2013), konversi kulit hewan menjadi kulit
samak telah melalui tahapan yang secara kontinyu berkembang dan berubah untuk
menjawab tantangan ekonomis dan ramah lingkungan. Para pelaku penyamakan
mengevaluasi perubahahan itu terutama dalam hal yang berdampak pada biaya dan
mutu kulit samak. Pemahaman dari pembuangan materi inter fibrial secara tepat
diharapkan dapat mengembangkan langkah-langkah untuk mengontrol proses
secara objektif sehingga lebih optimal dan ramah lingkungan. Meskipun liming
merupakan proses pra penyamakan yang penting, namun proses ini menimbulkan
dampak ekologi dan menyumbang sekitar 60-70% dari total polusi dari proses
pembuatan kulit samak (Madhan et al. 2010b).

8
Pengaruh Suhu pada Proses Liming Kulit Ikan Tuna
Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari taraf
faktor suhu terhadap respon yang diamati pada kulit hasil liming. Parameter yang
dinilai pada tahap ini adalah kandungan protein dan lemak yang rendah, swelling
dan pH yang tinggi. Pada penelitian tahap ini suhu ditetapkan sebesar 26 , 28 , 30,
32, 34, dan 36 ± 2 °C, dengan konsentrasi kapur ditetapkan sebesar 5% sesuai
dengan hasil terbaik pada penelitian sebelumnya. Penetapan batas suhu atas dan
bawah berdasarkan trial and eror di awal penelitian. Pada suhu di atas 36 °C kulit
sudah hancur, sehingga ditetapkan batas suhu atas untuk penelitian ini adalah 36 °C.
Suhu terendah yang dapat dicapai pada alat adalah 26 °C. Hasil penelitian dapat
dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis ragam respon dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 2 Kadar protein dan lemak, swelling, dan pH pada beberapa suhu dalam
proses liming kulit ikan tuna
Analisis statistik menunjukkan taraf perlakuan suhu tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH dan kadar protein. Taraf perlakuan suhu
memberikan pengaruh yang signifikan pada kadar lemak dan swelling. Dari grafik
pH pada Gambar 2 terlihat bahawa nilai pH cenderung meningkat seiring dengan
peningkatan suhu, meskipun peningkatannya tidak signifikan yang mungkin
disebabkan karena range taraf suhu yang digunakan terlalu kecil. Selain itu, standar
deviasi alat, yang digunakan untuk menentukan suhu air, sebesar ± 2 °C juga
memungkinkan mengakibatkan tidak terlihat pengaruh yang signifikan, mengingat
masing-masing taraf perlakuan suhu pada penelitian ini hanya berbeda 2 °C.
Menurut Covington (2009), peningkatan suhu pengapuran secara otomatis akan

9
meningkatkan nilai pH. Hal ini karena kelarutan kapur semakin meningkat sehingga
memperbanyak jumlah ion hidroksil (OH-). Semakin banyak jumlah ion hidroksil
pada suatu larutan maka larutan tersebut akan semakin bersifat alkali (basa) yang
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya nilai pH.
Dari Gambar 2 terlihat nilai swelling mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya suhu. Hasil analisis statistik menunjukkan terjadi penurunan nilai
swelling yang signifikan. Penurunan ini mungkin terjadi karena suhu yang semakin
meningkat memungkinkan terjadinya denaturasi protein. Pada suhu tinggi bukan
hanya protein non kolagen saja yang rusak, protein kolagen juga akan rusak
sehingga kulit semakin tipis. Selain itu, menurut Covington (2009), semakin
meningkatnya jumlah ion hidroksil yang diakibatkan suhu yang tinggi akan
meningkatkan resiko kerusakan. Ion hidroksil merupakan katalis yang sangat
efektif, setiap percepatan laju akan meningkatkan sensitivitas proses yang
menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, penting untuk mengontrol suhu proses
agar kurang dari suhu denaturasi.
Peningkatan swelling merupakan salah satu indikator berhasilnya liming
karena swelling menandakan terbukanya ikatan-ikatan pada kulit untuk
memudahkan zat penyamak masuk. Menurut Saravanabhavan et al. (2006), liming
berfungsi untuk menghilangkan protein non kolagen dan melonggarkan matriks
kolagen pada kulit. Indikasi pelonggaran matriks kolagen pada kulit salah satunya
dapat dilihat dari besarnya swelling. Pelonggaran ini memudahkan masuknya bahan
penyamak untuk berdifusi ke dalam kulit. Swelling terjadi karena hilangnya daya
kohesi pada kulit yang bukan disebabkan oleh hidrolisis rantai peptida utama,
melainkan oleh hidrolisis pada pemecahan ikatan antarmolekul sehingga air bisa
masuk ke dalam kulit (Haiming et al. 2010). Ketika kapur ditambahkan pada proses
liming, pH meningkat berkisar 12-13 dan terjadi opening up atau osmotic swelling.
Ini merupakan indikasi terjadi ketidakseimbangan ionik pada matriks kolagen dan
menyebabkan terlepasnya rambut/sisik serta beberapa protein pada kulit (AldemaRamos dan Liu 2010).
Pada Gambar 2 terlihat kadar lemak pada kulit cenderung menurun jika suhu
dinaikkan. Dari hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh taraf suhu terhadap
kadar lemak adalah signifikan. Penurunan kadar lemak ini mengindikasikan proses
penyabunan dan pelarutan lemak dapat berjalan dengan baik pada suhu tinggi.
Penurunan kadar lemak merupakan salah satu indikator berhasilnya liming. Sebagai
salah satu proses yang paling penting pada beamhouse, liming memiliki banyak
fungsi yang unik berkaitan dengan mutu kulit dan sifat-sifatnya (Fu et al. 2009).
Salah satu fungsinya adalah untuk menghilangkan lemak yang ada pada kulit.
Menurut Covington (2009), lemak, baik pada kulit dan sub-kulit, kemungkinan ada
di kulit pada awal pengapuran, terutama jika kulit belum pernah dibersihkan dari
sisa-sisa daging yang menempel. Lemak dihidrolisis dan tersabunkan, yaitu diubah
menjadi sabun dan gliserol, selama pengapuran. Lemak yang terdapat pada kulit
jika tidak dihilangkan akan menghalangi proses difusi bahan penyamak ke dalam
kulit, sehingga proses penyamakan tidak berjalan dengan optimal.
Pada penelitian ini meskipun pengaruh masing-masing taraf suhu terhadap
respon hanya berpengaruh signifikan pada respon kadar lemak dan swelling, namun
secara keseluruhan pada penelitian tahap ini menunjukkan bahwa suhu liming
terbaik adalah suhu 30 °C karena pada suhu tersebut kadar protein dan kadar lemak
mencapai kadar terendah. Meskipun pada suhu tersebut sweelling dan pH tidak

10
mencapai nilai tertinggi, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada
suhu 30 °C telah memenuhi kriteria sebagai suhu terbaik karena terdapat dua respon
yang mencapai kondisi terbaik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bahan baku kulit ikan tuna pada penelitian ini memiliki kadar protein yang
cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk diolah menjadi kulit samak. Analisis
ragam dari hasil penelitian dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 menunjukkan
pada taraf 1, 5, 9, dan 13% tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
respon kadar protein, kadar lemak, swelling, dan pH. Taraf perlakuan konsentrasi
kapur 5% ditetapkan sebagai taraf terbaik karena pada taraf tersebut terdapat tiga
respon yang mencapai kondisi terbaik, yaitu kadar protein dan lemak mencapai
kadar yang terendah, dan swelling mencapai nilai tertinggi. Analisis ragam dari
hasil penelitian dengan perlakuan suhu menunjukkan pada taraf 26, 28, 30, 32, 34,
dan 36 °C tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada respon kadar protein
dan pH, sedangkan pada respon kadar lemak dan swelling menunjukkan pengaruh
yang signifikan. Taraf perlakuan suhu 30 °C ditetapkan sebagai taraf suhu terbaik
karena pada taraf tersebut terdapat dua respon yang mencapai kondisi terbaik yaitu
kadar protein dan kadar lemak mencapai kadar terendah.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang
berpengaruh secara signifikan terhadap proses liming kulit ikan tuna. Faktor yang
mungkin berpengaruh adalah lama waktu liming.

DAFTAR PUSTAKA
Adzed JM. 2010. Transformation of Lime Split Trimmings into Different Collagen
Materials. The Journal of The American Leather Chemists Association. 105:
254-271.
Aldema-Ramos ML. and Liu CK. 2010. A Novel System of Removing Decorin, A
Minor Proteoglycan of Bovine Hides, to Improve the Quality of Leather. The
Journal of The American Leather Chemists Association. 105: 222-228.
Anonim. 2006. Pasar Kulit di Dalam Negeri Terbuka Lebar.
[http://www.merdeka.com/ekonomi/nasional/pasar-kulit-di-dalam-negeriterbuka-lebar-jkl1zdv.html]. (30 Agustus 2006 [19 Maret 2013]).
Anonim.
2011.
Teknik
Penyamakan
Kulit
Ikan
Tuna.
[http://www.scribd.com/doc/94916260/5Samak-Tuna]. [27 Desember 2011].
Badan Pusat Statistik. 2013. Data Impor Kulit Indonesia. [http://www.bps.go.id/].
[17 Juli 2013]

11
Brown EM, Latona RJ, Taylor MM, Garcia RA. 2012. Effects of Pretanning
Processes on Bovine Hide Collagen Structure. The Journal of The American
Leather Chemists Association. 107: 1-7.
Brown EM, Latona RJ, Taylor MM, Garcia RA. 2013. Effects of Pretanning
Processes on Collagen Structure and Reactivity. The Journal of The American
Leather Chemists Association. 108: 23-28.
Covington, A.D. 2009. Tanning Chemistry The Science of Leather. RSC
Publishing.
Covington, A.D. 2011. Prediction in Leather Processing: A Dark Art or a Clear
Possibility? Procter Memorial Lecture. Journal of The Society of Leather
Technologists and Chemists. 95: 231-241.
Fu L, Chai S, Cheng J. 2009. The Inducement and Modulation of Collagen Fiber
on Crystal Morphology of Calcium Carbonate. The Journal of The American
Leather Chemists Association. 104: 204-209.
Haiming C, Min C, Zhiqiang L. 2010. Properties of Collagen Fibre in Alkali and
Neutral Salt Solutions. Journal of The Society of Leather Technologists and
Chemists. 94:65-70.
Judoamidjojo, R.M. 1982. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Fakultas Teknologi
Hasil Pertanian. Institut Pertania Bogor. Bogor.
Madhan B, Rao JR, Nair BU. 2010. Studies on the Removal of Inter-fibrillary
Materials Part 1: Removal of Protein, Proteoglycan, Glycosoaminaglycans
from conventional Beamhouse Process. The Journal of The American Leather
Chemists Association. 105: 145-149.
Madhan B, Dineshkumar M, Rao JR, Nair BU. 2010. Studies on the Removal of
Inter-fibrillary Materials Part II: Removal of Protein, Proteoglycan,
Glycosoaminaglycans from Biobased Pre-Tanning Process. The Journal of The
American Leather Chemists Association. 105:181-188.
Saravanabhavan S, Rao JR, Nair BU. 2006. A New Leather-Making Process for
Meeting Eco-Label Standards: Processing of Goatskins. The Journal of The
American Leather Chemists Association. 101: 192-206.
Setyanto. 1997. Pengaruh Jenis Dan Konsentrasi Alkali Terhadap Mutu Kulit
Kakap Merah (Lutjanus sp) yang Disamak dengan Khrom.
Sirvaitye J, Valeika V, Beleska K, and Valeikiene V. 2008. Action of Peracetic
Acid on Calcium in Limed Pelt. Journal of The Society of Leather
Technologists and Chemists. 92: 123-127.
Statistik Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Perikanan Marine and Fisheries
Statistics 2011.
Tambunan, P.R. 1993. Penyamakan Kulit Kakap dan Ikan-Ikan Sejenisnya dalam
Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Puslitbangkan.
Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian.
Widiyanti. 2007. RI Masih Berpeluang Tembus Pasar Kulit Dunia.
[www.detikfinance.com]. [19 Maret 2013].
Yuliawati.
2008.
Kenaikan
Pungutan
Ekspor
Kulit
Dikaji.
[http://www.tempo.co/read/news/2008/04/15/056121326/KenaikanPungutan-Ekpor-Kulit-Dikaji]. (15 April 2008 [19 Maret 2013]).

12

LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi penelitian

(a) Kulit ikan tuna setelah dipotong 5x5 cm2 dan dicuci

(b) Bahan kimia yang digunakan untuk proses liming

13

(c) Botol sebagai reaktor

(d) Shaker waterbath

(e) Rangkaian botol dalam shaker waterbath

14

(f) Thickness gauge untuk mengukur ketebalan kulit

Lampiran 2 Prosedur analisis
A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984)
Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15
menit pada suhu 100 °C. Cawan porselen kemudian didinginkan dalam desikator
selama 20 menit. Sampel sebanyak 2 g dimasukan ke dalam cawan porselen yang
sebelumnya telah ditimbang beratnya. Cawan beserta isinya dimasukan dalam oven
lalu dikeringkan pada suhu 100-105oC hingga beratnya konstan selama 6 jam.
Cawan dan isinya dimasukan terlebih dahulu ke dalam deskikator sebelum
ditimbang kembali. Kadar air dapat diketahui dengan :
A-B
Kadar air =
× 100%
C
Keterangan : A = berat cawan dan sampel awal (g)
B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g)
C = berat sampel (g)
B. Kadar Abu (AOAC 1984)
Sampel sebanyak 2 g ditempatkan pada cawan porselen yang telah diketahui
beratnya, kemudian angkat dan dipijarkan pada suhu 600 °C selama 5 jam hingga
berat tetap lalu dinginkan dan timbang cawan. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar abu =

Berat abu (g)

× 100%
Berat sampel (g)

C. Kadar Protein (AOAC 1984)
Sebanyak 0,1 g sampel dimasukan ke dalam labu Kjeldahl kemudian
ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat dan 1 g katalis CuSO4 NaSO4. Larutan tersebut
kemudian didestruksi hingga jernih. Hasil destruksi dilarutkan dengan akuades α

Perlakuan

3

17.67

5.89

5.11

0.07

Galat

4

4.61

1.15

Total

7

22.28

Respon Kadar Lemak
Sumber

DF

SS

MS

F Value

Pr>α

Perlakuan

3

4.41

1.47

0.38

0.77

Galat

4

15.54

3.89

Total

7

19.95

DF

SS

MS

F Value

Pr>α

Perlakuan

3

128.43

42.81

2.56

0.19

Galat

4

66.82

16.71

Total

7

195.25

DF

SS

MS

F Value

Pr>α

Perlakuan

3

0.13

0.04

5.24

0.07

Galat

4

0.03

0.01

Total

7

0.16

Respon Swelling
Sumber

Respon pH
Sumber

19
Perlakuan Suhu
Respon Kadar Protein
Sumber

DF

SS

MS

F Value

Pr>α

Perlakuan

5

47.68

9.54

0.62

0.69

Galat

6

92.34

15.39

Total

11

140.03

DF

SS

MS

F Value

Pr>α

Perlakuan

5

40.10

8.02

46.68

α

Perlakuan

5

2304.62

460.92

111.33

α

Perlakuan

5

0.90

0.18

2.33

0.17

Galat

6

0.46

0.08

Total

11

1.36

20

RIWAYAT HIDUP
Rinata Yudhatama lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada
tanggal 21 Desember 1989 dari ibu bernama Sumiyanah
dan ayah bernama Madiyono. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara, dengan adik bernama Raka
Yudhi Setiawan. Penulis menyelesaikan sekolah menengah
atas di SMA Negeri 1 Genteng, Banyuwangi pada tahun
2008. Selama masa sekolah penulis aktif sebagai pengurus
ta’mir masjid di SMA Negeri 1 Genteng. Penulis
melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2008 melalui jalur ujian tulis Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dengan Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian. Semasa kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi, antara
lain di Organisasi Mahasiwa Daerah Lare Blambangan, Ikatan Mahasiswa Jawa
Timur, UKM Karate, UKM Sulap, UKM Perkusi, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Teknologi Pertanian (BEM F), dan Mahasiswa TIN Pecinta Alam
(MATIPALA). Pada bulan September 2011 penulis melakukan kegiatan Praktik
Lapang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik dengan judul “Mempelajari Proses
Produksi (Good Manufacturing Practices) di PT. Kelola Mina Laut.”