Penentuan Konsentrasi Bating Agent Dan Waktu Bating Dalam Proses Bating Kulit Ikan Tuna

PENENTUAN KONSENTRASI BATING AGENT
DAN WAKTU BATING DALAM PROSES BATING
KULIT IKAN TUNA

HAFIZAH KHAERINA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penentuan
Konsentrasi Bating Agent Dan Waktu Bating Dalam Proses Bating Kulit Ikan
Tuna” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Hafizah Khaerina
NIM F34100110

ABSTRAK
HAFIZAH KHAERINA. Penentuan Konsentrasi Bating agent Dan Waktu
Bating Dalam Proses Bating Kulit Ikan Tuna. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.
Bating merupakan salah satu proses yang sangat penting pada proses
prapenyamakan (beamhouse) dan berpengaruh pada mutu kulit samak. Bating
agent yang umum digunakan berasal dari ekstrak pankreas yang mengandung
protease dan lipase. Konsentrasi bating agent dan waktu bating diduga akan
mempengaruhi mutu kulit hasil bating. Penelitian ini dilakukan untuk
menentukan pengaruh konsentrasi bating agent dan waktu bating terhadap mutu
kulit hasil bating. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan
kondisi terbaik dari kedua faktor tersebut dalam menghasilkan respon sesuai
dengan yang diharapkan. Konsentrasi bating agent yang digunakan adalah 0,5%,
1%, dan 1,5%, sedangkan waktu bating adalah 0,5, 1,5, dan 2,5 jam. Respon
yang diamati mencakup penurunan ketebalan, kadar protein terlarut, kadar

lemak, dan uji organoleptik. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi bating
agent berpengaruh dalam menurunkan ketebalan, kadar lemak, dan
meningkatkan kadar protein terlarut secara signifikan. Waktu bating
berpengaruh dalam meningkatkan kadar protein terlarut dan menurunkan kadar
lemak secara signifikan. Namun interaksi di antara kedua faktor tersebut tidak
berpengaruh signifikan terhadap semua respon yang diamati. Perlakuan bating
terbaik dari penelitian ini adalah konsentrasi bating 1% dengan waktu bating 2,5
jam. Penurunan ketebalan pada kondisi terbaik sebesar 5,6%, kadar protein
terlarut 1502 ppm, penurunan kadar lemak sebesar 1,6%, serta memiliki
kelenturan dan ketahanan tekan yang baik
Kata kunci: bating, bating agent, konsentrasi, kulit samak, waktu bating.

ABSTRACT
HAFIZAH KHAERINA. Determination of Bating Agent Concentration And
Bating Time In The Bating Process of Tuna Fish Skin. Supervised by ONO
SUPARNO.
Bating is one of the most important processes in beamhouse operation and has
effects on leathers quality. Bating agent generally use pancreas enzyme
containing protease and lipase. Concentration of bating agent and duration
(time) of bating are factors which were predicted have effect on quality of bated

pelts. The objectives of this research were to determine the effects of bating
agent concentration and bating time on the the quality of bated pelts and to
choose the best combination of both factors. The concentrations were used for
this study were 0.5%, 1%, and 1.5%, and the bating times were 0.5, 1.5, and 2.5
hours. Responses measured were thickness reduction, dissolved protein, fat
content, and organoleptic properties of the pelts. Based on this research,
concentration of bating agent significantly affected the thickness, dissolved
protein, and fat content. Time of bating significantly affected dissolved protein,

and fat content. But interaction between two factors did not significantly affect
all observed respons. The best treatment in the research was bating agent
concentration of 1% and bating time of 2.5 hours. The best treatment gave
thickness reduction of 5.6%, dissolved protein of 1502 ppm, effectiveness of fat
removal of 1.6%, and good elasticity and pressure strength.
Keywords: bating, bating agent, concentration, leather, bating time.

PENENTUAN KONSENTRASI BATING AGENT
DAN WAKTU BATING DALAM PROSES BATING
KULIT IKAN TUNA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Penentuan Konsentrasi Bating Agent Dan Waktu Bating Dalam
Proses Bating Kulit Ikan Tuna
Nama
: Hafizah Khaerina
NIM
: F34100110

Disetujui oleh


Prof Dr Ono Suparno, STP, MT
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 5 September 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah
teknologi hilir, dengan judul “Penentuan Konsentrasi Bating agent Dan Waktu
Bating Dalam Proses Bating Kulit Ikan Tuna”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ono Suparno, STP,
MT selaku pembimbing, serta Ibu Rini dan Ibu Diah yang telah banyak memberi
saran, dan Bapak Nurhadi selaku manajer produksi PT Lautan Niaga Jaya yang

telah membantu dalam menyediakan bahan baku kulit ikan tuna. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Chilwan Pandji), ibu (Novie
Srinovani), seluruh keluarga (Chilfi Furqan, Nisa Zahra, dan Zainati Fakhrina),
serta para sahabat atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Hafizah Khaerina

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

x

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

BAHAN DAN METODE


2

Bahan

2

Alat

3

Metode Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Karakteristik Kulit Ikan Tuna


4

Penurunan Ketebalan

6

Kadar Protein

9

Kadar Lemak

11

Uji Organoleptik

14

Penentuan Kombinasi Perlakuan Terbaik


15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN


19

RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik kimiawi kulit ikan tuna
2 Hubungan konsentrasi bating agent dan waktu bating terhadap
kelenturan dan ketahanan tekan kulit hasil bating

5
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tuna sirip kuning
Hubungan konsentrasi bating agent dengan penurunan ketebalan
Proses pengikatan ion Ca2+ dalam kolagen kulit
Reaksi pengikatan ion kalsium oleh ion sulfat dan klorida
Hubungan konsentrasi bating agent terhadap kadar protein terlarut
Hubungan waktu bating terhadap kadar protein terlarut
Mekanisme hidrolisis protein oleh air
Hubungan konsentrasi bating agent dengan penurunan kadar lemak
Hubungan waktu bating dengan penurunan kadar lemak
Reaksi hidrolisis trigliserida (a) sangat cepat, (b) lambat, (c) sangat
lambat
11 Mekanisme hidrolisis trigliserida oleh air

5
7
8
8
9
9
10
12
12
13
13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Foto alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Diagram alir proses bating kulit ikan tuna
Prosedur analisis pengujian
Foto sampel kulit selama penelitian
Hasil analisis varian/ragam pengaruh konsentrasi bating agent dan
waktu bating terhadap penurunan ketebalan kulit
Hasil analisis uji lanjut (Duncan) konsentrasi bating agent terhadap
penurunan ketebalan kulit
Hasil analisis varian/ragam pengaruh konsentrasi bating agent dan
waktu bating terhadap kadar protein terlarut
Hasil analisis uji lanjut (Duncan) konsentrasi bating agent terhadap
kadar protein terlarut
Hasil analisis uji lanjut (Duncan) waktu bating terhadap kadar protein
terlarut
Hasil analisis varian/ragam pengaruh konsentrasi bating agent dan
waktu bating terhadap penurunan kadar lemak
Hasil analisis uji lanjut (Duncan) konsentrasi bating agent terhadap
kadar lemak
Hasil analisis uji lanjut (Duncan) waktu bating terhadap kadar lemak

19
20
21
25
26
26
26
26
27
27
27
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan tuna adalah salah satu hasil perikanan tangkap yang paling banyak
dikonsumsi masyarakat dunia, khususnya Jepang. Indonesia merupakan salah satu
negara pengekspor ikan tuna terbanyak ke Jepang dan menduduki peringkat
pertama kemudian diikuti oleh Srilanka, Australia, Thailand, dan Taiwan. Pada
tahun 2007, Indonesia telah pengekspor 25.798 ton dari berbagai spesies ikan tuna
ke Jepang (Satria et al. 2009).
Ikan tuna yang diekspor biasanya dalam bentuk fillet atau daging tanpa
tulang, kulit, dan kepala. Hasil samping fillet tuna tersebut sering menjadi masalah
karena dapat menjadi limbah yang mencemari lingkungan sekitar. Pada penelitian
yang dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi (BBP4BKP), hasil samping perikanan dapat dikembangkan dan
diolah berbasis lipida, selulosa, senyawa aktif dan nutraseutikal, dan kulit
tersamak (Peranginangin et al. 2011).
Teknologi penyamakan kulit untuk mengolah limbah ikan merupakan
teknologi yang masih terus dikembangkan oleh para peneliti. Meskipun tingkat
komersialnya belum sama dengan penyamakan kulit sapi, domba, dan hewan
mamalia lainnya, namun peluang usaha penyamakan kulit ikan tersebut dapat
dijadikan sebagai alternatif bisnis. Menurut Hastuti (2013), ketersediaan kulit ikan
yang mencapai 3,4% dari total produksi ikan tuna di sebuah industri dapat
dijadikan sebagai pilihan bahan baku karena kurangnya ketersediaan bahan baku
kulit mamalia khususnya sapi. Di Indonesia, ketersediaan bahan baku kulit
mentah konvensional tersebut sering menjadi kendala industri penyamakan kulit
karena industri tersebut tidak mampu memenuhi banyaknya permintaan akan
produk turunan kulit samak.
Berdasarkan data yang diperoleh Kementrian Perindustrian, jumlah industri
penyamakan kulit di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008
tercatat sebanyak 53 industri penyamakan kulit dan meningkat menjadi 58 industri
pada tahun 2010. Laju pertumbuhan industri tersebut juga meningkat sebesar
7,52% pada tahun 2011. Pada tahun 2007, produksi kulit samak untuk keperluan
ekspor terus meningkat hingga tahun 2010. Pada tahun 2011, total kulit samak
yang berhasil diekspor oleh industri tersebut mencapai 116.986.724 ton. Jenis
barang kulit yang paling banyak diekspor adalah sepatu olah raga kulit, sandal,
dan alas kaki lainnya.
Teknologi penyamakan kulit ikan memang tidak jauh berbeda dengan
penyamakan kulit mamalia lainnya. Tahapan penyamakan tersebut meliputi tahap
prapenyamakan, penyamakan, dan pascapenyamakan. Salah satu proses yang
dilalui pada tahap prapenyamakan adalah bating (pelumatan). Proses bating ini
bertujuan untuk menghilangkan sejumlah protein non kolagen dan lemak yang
tidak diperlukan pada proses penyamakan. Proses ini akan memudahkan
masuknya bahan penyamak untuk berdifusi ke dalam kulit dan akan berpengaruh
pada mutu hasil kulit samak (Saravanbhavan et al. 2006).
Penyamakan adalah proses memodifikasi protein dalam kulit sehingga
ketahanan terhadap panas, pendegradasian enzimatis, dan kekuatan

2
termomekanikalnya lebih stabil (Krishnaraj 2010). Bahan penyamak yang masuk
ke jaringan kulit akan meningkatkan daya tahan kulit terhadap lingkungan seperti
suhu dan pengaruh mikrobiologis. Kulit samak akan memiliki suhu kerut yang
lebih tinggi dibandingkan kulit mentah, tergantung dengan jenis bahan penyamak
yang diberikan pada kulit. Selain itu, kulit samak juga tahan terhadap serangan
mikroorganisme yang dapat merusak kulit mentah. Hal ini disebabkan karena
mikroorganisme tidak memiliki kemampuan untuk merusak ikatan crosslinking
antara kolagen kulit dengan bahan penyamak. Kedua hal ini akan meningkatkan
mutu fisik kulit samak.
Proses bating biasanya dilakukan secara enzimatik. Pada industri
penyamakan kulit, bating agent yang umumnya digunakan berasal dari ekstrak
pankreas yang mengandung enzim protease dan lipase. Proses bating yang baik
dipengaruhi beberapa faktor yaitu konsentrasi bating agent, waktu, pH, suhu, dan
adanya aktivator. Konsentrasi bating agent dan waktu bating akan mempengaruhi
banyaknya protein yang akan dipecah oleh enzim. Selain memecah protein, enzim
ini juga turut memecah sejumlah lemak yang terkandung pada kulit sehingga akan
berpengaruh pada ketebalan dan tekstur kulit hasil bating. Oleh karena itu,
penelitian mengenai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kulit hasil bating
penting dilakukan untuk meningkatkan mutu kulit hasil bating.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi bating agent, waktu bating (pelumatan), dan interaksinya terhadap
variabel penurunan ketebalan, kandungan protein terlarut, dan kadar lemak. Selain
itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dari konsentrasi
bating agent (0,5%, 1%, dan 1,5%), waktu bating (0,5, 1,5, dan 2,5 jam) terhadap
efektivitas pelumatan protein pada tahap bating, serta menentukan karakteristik
kulit pada kondisi tersebut.

BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan utama untuk penelitian ini adalah kulit ikan tuna spesies Thunnus
albacore. Bahan baku tersebut disimpan dalam kondisi beku yang diperoleh dari
PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta. Bahan-bahan yang diperlukan untuk
tahap prapenyamakan adalah akuades, natrium sulfida (Na2S), kapur tohor
(Ca(OH)2), non ammonia deliming agent (asam borat, natrium sitrat, dan asam
sitrat 2:1:1) 1,4%, degreasing agent 0,4%, dan bating agent berupa ekstrak
pankreas dengan berbagai konsentrasi.

3
Alat
Alat yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah sejumlah
peralatan gelas seperti gelas ukur, gelas arloji, dan gelas piala. Selain itu,
digunakan pula neraca analitik, sudip, dan botol jar. Dalam menganalisis
pengaruh konsentrasi bating agent dan waktu bating digunakan alat pengukur
ketebalan thickness gauge (leather) merk CheckLine tipe J-40-L, tabung ulir,
sentrifuse merk Hermle tipe Z 383 K dan spektrofotometer Hach. Alat-alat yang
digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan beberapa tahap. Tahap pra
penyamakan (pre-tanning) atau biasa disebut juga dengan beam house operation
ini dilakukan dengan soaking (pencucian), liming (pengapuran), deliming
(penghilangan kapur), dan bating (pelumatan). Pada penelitian ini dilakukan tahap
persiapan berupa proses pencucian, pengapuran, penghilangan kapur, pelumatan,
dan analisis pengaruh perlakuan pada proses pelumatan (Lampiran 2). Sebelum
dilakukan proses prapenyamakan, kulit terlebih dahulu dianalisis proksimat agar
kandungan kimiawi kulit diketahui, seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak,
kadar serat kasar, kadar protein, dan kadar karbohidrat (by difference) (Lampiran
3).
Kulit ikan tuna segar dicuci di bawah air mengalir hingga bersih. Setelah
bersih, kulit dipotong dengan ukuran 6x6 cm2. Potongan kulit ikan tuna ditimbang
sebagai bobot basah sebagai acuan bobot untuk bahan kimia yang akan digunakan
pada proses liming. Potongan kulit ikan tuna direndam dalam larutan liming
(akuades 400%, Na2S 3%, Ca(OH)2 5%) dan diaduk dengan shaker bersuhu 30oC
selama 105 menit dengan kecepatan pengadukan 150 rpm. Penentuan komposisi
larutan liming ini berdasarkan persentase bahan dari bobot basah sampel kulit.
Kemudian sampel diangkat dan didiamkan selama 16 jam 15 menit. Sampel
selanjutnya ditimbang sebagai lime weight sample (Ya-nan et al. 2013). Bobot
bahan kimia yang digunakan dalam proses berikutnya (proses deliming dan proses
bating) ditimbang berdasarkan persentase lime weight sample.
Sampel kulit ikan tuna direndam dalam larutan non ammonia deliming
agent 1,4% (asam borat, asam sitrat, dan natrium sitrat 2:1:1), degreasing agent
0,4%, akuades 200%, di dalam shaker bersuhu 29-30oC selama 120 menit dengan
kecepatan pengadukan 150 rpm (Ya-nan et al. 2013, yang telah dimodifikasi).
Sampel kemudian dicuci dengan air mengalir. Sampel kemudian dipotong
separuhnya untuk diukur kadar lemaknya. Sampel sisa potongan tersebut
selanjutnya diukur ketebalannya di tiga titik yang berbeda sebagai data ketebalan
kulit sebelum perlakuan bating.
Perlakuan bating dilakukan dengan merendam sampel dalam larutan bating.
Larutan ini dibuat dalam dalam akuades 100% yang mengandung bating agent
sebanyak 0,5%, 1%, dan 1,5%. Sampel diaduk dengan shaker pada suhu 29-30oC
dengan kecepatan pengadukan 150 rpm dengan pH yang dicapai 7-8 selama waktu
yang dicoba yaitu 0,5, 1,5, 2,5 jam. Persentase kebutuhan bahan untuk bating
berdasarkan lime weight sample. Cairan hasil bating digunakan selanjutnya untuk

4
diukur kadar protein terlarut. Sampel kulit hasil bating digunakan untuk pengujian
ketebalan sebagai data ketebalan setelah perlakuan bating. Setelah diukur
ketebalannya, sampel kulit diuji kadar lemaknya.
Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah penurunan ketebalan,
kandungan protein terlarut, kadar lemak pada kulit, dan organoleptik. Kadar
protein terlarut dinyatakan dalam ppm (part per million), penurunan ketebalan dan
kadar lemak pada kulit dalam satuan persen (%), dan uji organoleptik yang
dilakukan adalah pengamatan tekstur kulit hasil bating (kelenturan dan ketahanan
tekan) dengan scoring dalam skala 1-10. Pengukuran protein terlarut pada cairan
bating dilakukan dengan menggunakan metode Lowry dan pengujian kadar lemak
sesuai standar AOAC tahun 2005 (Lampiran 2).
Aktivitas enzim yang terkandung pada bating agent turut diukur pada
penelitian ini. Pengukuran aktivitas enzim protease dilakukan dengan metode
Bergmeyer dan Grassl (1983), sedangkan aktivitas enzim lipase dengan metode
Quinn et al. (1982) dan Shirai et al. (1982).
Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil bating kulit
ikan tuna adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 3x3 dengan dua kali
ulangan. Faktor yang dicobakan adalah konsentrasi (A) dengan taraf 0,5%, 1%,
dan 1,5%, serta waktu bating (B) dengan taraf 0,5, 1, dan 1,5 jam. Model
matematikanya adalah sebagai berikut:
Yijk = + αi + βj + (αβ)ij + εk(ij)
Keterangan:
Yijk
: nilai pengamatan pada faktor konsentrasi bating agent taraf ke-i
faktor waktu bating taraf ke-j dan ulangan ke-k
: nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
αi
: pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor konsentrasi bating agent
βj
: pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor waktu bating
(αβ)ij : pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor konsentrasi bating agent dan
taraf ke-j dari faktor faktor waktu bating
εk(ij) : galat (error) dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij.
Variabel yang diperoleh dari penelitian ini diuji ragam (anova). Apabila ada
pengaruh signifikan dari setiap perlakuan, maka dilakukan uji lanjut (Duncan).
Analisis statistik ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.00.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kulit Ikan Tuna
Ikan tuna merupakan salah satu hewan yang hidup di lautan yang beberapa
spesiesnya dijadikan sebagai ikan tangkap bernilai tinggi. Ikan tuna termasuk
genus Scombrid fishes, famili Scombridae, subfamili Scombrinae, suku Thunini,
dan genus Thunnus (Sjarif et al. 2012). Thunnus albacares atau tuna sirip kuning
adalah salah satu spesies tuna yang dapat dibedakan dari spesies tuna lainnya.

5
Spesies ini dapat ditangkap sepanjang tahun dengan daerah penyebaran di
perairan tropis dan subtropis seperti Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik. Suhu
perairan yang tepat untuk menemukan spesies ini berada pada rentang 18-28oC.
Menurut Sjarif et al. (2012), spesies ini memiliki bobot 10-70 kg per ekor dan
bobot terbaik mutu ekspor adalah 30 kg. Penampakan tuna sirip kuning dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tuna sirip kuning (Habibi et al. 2011)
Tabel 1 Karakteristik kimiawi kulit ikan tuna
Komponen
Persen (b/b)
Persen (b/b)a
Kadar Air
46,52
56,40
Kadar Abu
0,33
2,68
Kadar Lemak
17,55
17,51
Kadar Protein
31,55
22,42
Kadar Serat Kasar
0,32
Kadar Karbohidrat
3,72
a

Sumber: Yudhatama (2013)

Tabel 1 menunjukkan karakteristik kimiawi kulit ikan tuna. Karakteristik
kimiawi ini diperoleh dari hasil analisis proksimat yang dilakukan terhadap
komponen yang dimiliki oleh kulit ikan tuna. Terdapat beberapa perbedaan antara
karakteristik kimiawi ikan tuna yang dihasilkan dengan karakteristik kimiawi pada
literatur.
Komponen kulit ikan tuna paling banyak mengandung air karena kulit ini
masih dalam keadaan segar yang ditandai dengan nilai kadar air yang paling
tinggi, di antara komponen-komponen lainnya. Kandungan air pada kulit ikan ini
adalah sebesar 46,52% dan nilai ini lebih rendah dari pada kandungan air yang
berasal dari literatur yakni sebesar 56,4%.
Kulit ikan tuna juga mengandung protein sebesar 31,5% dan hal ini
menunjukkan kandungan protein pada ikan lebih tinggi dari pada kandungan
protein yang berasal dari literatur, yakni sebesar 22,42%. Perbedaan kandungan
protein yang terdapat pada kulit ikan tuna disebabkan karena sampel yang diambil
untuk analisis proksimat berasal dari letak bagian kulit yang berbeda. Bagian kulit
yang berada di bagian perut mengandung protein lebih sedikit dibandingkan
beberapa bagian lainnya seperti ekor dan punggung karena kulit pada bagian perut
cenderung lebih banyak mengandung lemak.
Kadar abu pada kulit ikan tuna yang diperoleh adalah sebesar 0,33%. Kadar
abu ini lebih rendah jika dibandingkan dengan literatur, yakni 2,68%. Hal ini
dipengaruhi oleh adanya mineral seperti K, Na, Ca, Mg, P, Z, dan Fe (Yudhatama
2013).

6
Kulit ikan tuna mengandung lemak yang cukup tinggi, yaitu sekitar 17,5%.
Nilai ini tidak jauh berbeda dengan literatur yang menyebutkan bahwa kandungan
lemak pada kulit ikan tuna sebesar 17,51%. Hal ini dapat disebabkan karena
lokasi pengambilan sampel pada bagian tubuh tuna tertentu dan masih adanya
sisa-sisa daging yang masih menempel ketika pengulitan kulit ikan tuna.
Kandungan serat kasar pada kulit ikan tuna ini sebesar 0,32% dan kadar
karbohidrat sebesar 3,72% yang dihitung secara by difference.
Kulit ikan tuna merupakan salah satu bahan baku alternatif industri
penyamakan kulit. Secara mikroskopis, kulit pada umumnya terdiri atas tiga
lapisan, yaitu epidermis, kutis, dan subkutis (Judoamidjojo et al. 1979). Lapisan
epidermis adalah lapisan yang terluar dari kulit ikan yang memiliki struktur
ketebalan lebih tinggi dibandingkan bagian kulit yang lain. Epidermis ini
berfungsi untuk melindungi tubuh dari pengaruh eksternal, seperti lingkungan,
dan biasanya ditumbuhi sisik pada ikan. Lapisan kutis atau corium berada pada
lapisan antara epidermis dan subkutis. Lapisan kutis sebagian besar tersusun atas
serat-serat tenunan pengikat. Lapisan subkutis merupakan lapisan terdalam dari
lapisan-lapisan lainnya yang juga terdiri dari jaringan lemak.
Pada kulit, terdapat sejumlah protein. Ada dua jenis protein yang terdapat
pada kulit yaitu protein globular dan protein fibril (serat). Protein globular adalah
albumin dan globulin, sedangkan protein serat adalah keratin, elastin, dan kolagen.
Pada kulit samak, kolagen inilah yang dimanfaatkan sebagai protein yang
berikatan silang dengan bahan penyamak, sehingga sebagian besar proses
prapenyamakan bertujuan untuk mempersiapkan kulit mentah menjadi kulit yang
siap untuk diberi bahan penyamak.

Penurunan Ketebalan
Ketebalan kulit merupakan salah satu parameter mutu fisik pada hasil kulit
samak. Ketebalan kulit ini dipengaruhi adanya proses prapenyamakan yang terdiri
atas beberapa tahap, yaitu liming (pengapuran), deliming (penghilangan kapur),
bating (pelumatan), dan pickling (pengasaman). Proses bating dapat
mempengaruhi ketebalan kulit karena pada proses ini terjadi proses hidrolisis
protein non kolagen dan lemak secara enzimatik, serta terlarutnya sejumlah kapur
yang masih tersisa pada kulit hasil deliming.
Berdasarkan analisis ragam (anova) (Lampiran 5), konsentrasi bating agent
memiliki nilai signifikansi sebesar 0,00 (< 0,05) yang menandakan bahwa
konsentrasi bating agent berpengaruh pada variabel penurunan ketebalan kulit.
Pengaruh konsentrasi bating agent terhadap penurunan ketebalan dapat dilihat
pada Gambar 2. Waktu bating memiliki nilai signifikansi sebesar 0,06 (> 0,05)
yang menandakan bahwa konsetrasi bating agent tidak berpengaruh pada variabel
penurunan ketebalan kulit. Interaksi antara faktor konsentrasi bating agent dan
waktu bating tidak berpengaruh pada penurunan ketebalan kulit yang ditandai
dengan nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,07 (> 0,05).

7

Gambar 2 Hubungan konsentrasi bating agent dengan penurunan ketebalan
Gambar 2 menunjukkan pengaruh konsentrasi bating agent terhadap
penurunan ketebalan kulit. semakin tinggi pula penurunan ketebalan yang
dihasilkan kulit hasil bating. Menurut Covington (2011b), konsentrasi bating
agent akan berpengaruh terhadap mutu kulit hasil bating. Hal ini disebabkan oleh
enzim protease dan lipase yang dikandung bating agent mampu menghidrolisis
protein non kolagen dan lemak, serta mengakibatkan hilangnya sejumlah
substansi yang membuat ketebalan kulit menurun. Hal tersebut diduga dapat
berupa sisa kapur yang masih menempel pada kulit hasil deliming.
Nilai rataan penurunan ketebalan kulit akibat pengaruh konsentrasi bating
agent ditunjukkan dalam subset yang berbeda (Lampiran 6). Subset ini merupakan
hasil pengelompokan Duncan (Duncan grouping). Nilai rataan yang memiliki
subset yang berbeda menunjukkan bahwa ada pengaruh yang berbeda nyata akibat
pengaruh konsentrasi bating agent di setiap tarafnya. Konsentrasi bating agent
0% (kontrol) berpengaruh nyata terhadap penurunan ketebalan kulit yang
menggunakan bating agent 0,5%, 1%, dan 1,5%. Penggunaan bating agent 0,5%
berpengaruh terhadap penurunan ketebalan kulit yang diberi bating agent 1% dan
1,5% secara signifikan. Konsentrasi bating agent 1% dan 1,5% memiliki subset
yang sama, yang menandakan bahwa nilai penurunan ketebalan dengan kedua
konsentrasi tersebut tidak berbeda nyata. Perlakuan kontrol menghasilkan
penurunan ketebalan yang paling rendah diantara sampel dengan perlakuan
penambahan bating agent. Hal ini disebabkan karena tidak adanya katalisator
sebagaimana fungsi katalisator ini dimiliki oleh enzim (Winarno 2010).
Proses pada tahap prapenyamakan yang paling berpengaruh pada ketebalan
kulit adalah proses liming. Liming (pengapuran) dilakukan dengan menambah
kapur tohor (Ca(OH)2) dan natrium sulfida (Na2S). Proses ini bertujuan untuk
menghidrolisis protein kulit akibat penambahan Na2S, khususnya pada bagian
epidermis dan subkutis yang mengandung protein globular. Pada proses ini,
kolagen relatif lebih sulit mengalami kerusakan akibat perlakuan basa, namun
dapat meningkatkan pembuangan non-structural protein atau protein globular
pada kulit (Covington 2011b). Kulit hasil liming akan bersifat basa (pH ±12),
bertekstur kaku, dan mengalami pembengkakan atau swelling akibat penambahan
kapur itu sendiri. Menurut Madhan et al. (2010), protein seperti albumin dan
globulin memiliki kelarutan yang tinggi dalam kondisi basa pada proses liming.
Pada kulit yang bengkak, proses fleshing atau pembuangan sisa-sisa daging yang
masih melekat akan lebih mudah dilakukan karena lapisan subkutis ikut terbuang.
Sisa daging yang tersisa pada kulit akan mengakibatkan proses penyamakan

8
menjadi kurang sempurna karena sisa daging tersebut menghalangi bahan
penyamak untuk masuk dan membentuk crosslinking dengan serat kolagen.
Pada proses liming kulit mengalami pembengkakan atau swelling karena
struktur kulit mengikat ion Ca2+ dari Ca(OH)2. Mekanisme pembengkakan kulit
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses pengikatan ion Ca2+ dalam kolagen kulit (Hendryanto 2013)
Pembengkakan kulit akan menyusut ketika proses deliming atau
penghilangan kapur dengan deliming agent berupa garam amonium atau asam
lemah. Proses ini akan menurunkan pH kulit hasil liming yang sebelumnya
bersifat basa. Penggunaan garam amonium berdampak pada pencemaran
lingkungan yang dapat menyebabkan nitrifikasi pada badan air (Colac dan Kilic
2007). Asam borat yang tergolong asam lemah dapat digunakan sebagai nonamonium deliming agent karena memiliki kemampuan penetrasi dan dapat
mengurasi resiko terjadinya swelling pada kulit (Yunhang et al. 2011).
Pada industri penyamakan kulit, garam yang paling sering digunakan adalah
garam amonium klorida dan amonium sulfat. Dengan adanya ion sulfat dan ion
klorida, ion kalsium dapat terikat menjadi garam larut air. Mekanisme pengikatan
ion Ca2+ oleh ion sulfat dan ion klorida dapat dilihat pada Gambar 4.
Ca(OH)2 + SO42Ca(OH)2 + Cl-

CaSO4 + 2OHCaCl2 + 2OH-

Gambar 4 Reaksi pengikatan ion kalsium oleh ion sulfat dan klorida (Covington
2011a)
Sampel kulit yang diberi perlakuan bating akan memiliki nilai ketebalan
yang lebih kecil dibandingkan sampel kulit hasil deliming karena zat-zat yang
terbuang pada kulit akan semakin banyak. Zat-zat tersebut adalah protein, lemak,
dan sisa kapur. Menurut Ya-nan et al. (2013), kulit yang diberi perlakuan bating
akan kehilangan sejumlah protein dan lemak yang dapat larut pada cairan bating.
Kapur yang terkandung pada kulit hasil deliming tidak akan hilang seluruhnya dan
masih menyisakan 0,2-0,4% kapur (Ya-nan et al. 2013). Oleh karena itu, proses
bating juga berperan dalam penurunan ketebalan kulit.
Pada penelitian ini, konsentrasi bating agent terbaik adalah 1%, karena pada
konsentrasi tersebut nilai penurunan ketebalan yang dimiliki lebih tinggi
dibanding konsentrasi 0% dan 0,5%. Namun nilai tersebut tidak berbeda nyata
dengan nilai penurunan ketebalan yang dihasilkan oleh konsentrasi 1,5%. Dengan
pertimbangan efisiensi penggunaan bating agent juga maka konsentrasi 1%
dipilih sebagai konsentrasi terbaik dalam menurunkan ketebalan. Pemilihan
konsentrasi ini juga akan dipertimbangkan pada kedua respon lainnya, yaitu kadar
protein terlarut dan penurunan kadar lemak kulit. Waktu terbaik dalam proses
bating adalah 0,5 jam. Hal ini disebabkan berbagai taraf waktu tidak berpengaruh

9
signifikan dan dapat dikatakan bahwa baik 0,5, 1,5, dan 2,5 jam memiliki
pengaruh yang sama terhadap penurunan ketebalan kulit.

Kadar Protein
Bating (pelumatan) merupakan proses untuk menyempurnakan pembuangan
protein non kolagen. Protein adalah senyawa kompleks yang terdiri atas asamasam amino yang diikat satu sama lain dengan ikatan peptida (Winarno 2010).
Asam amino terdiri atas rantai karbon (radikal, R), atom hidrogen, dan gugus
karboksilat (COOH), dan terkadang gugus hidroksil (OH), belerang (S), serta
gugus amino (NH2). Proses bating melanjutkan pembuangan protein yang
dilakukan pada proses sebelumnya, yaitu liming. Pada proses liming, protein yang
terkandung pada lapisan epidermis dan subkutis dihidrolisis.
Berdasarkan analisis ragam (anova) (Lampiran 7) pada pengaruh
konsentrasi bating agent dan waktu bating, keduanya memiliki nilai signifikansi
sebesar 0,00 (< 0,05) yang menandakan bahwa konsentrasi bating agent dan watu
bating berpengaruh pada variabel kadar protein terlarut. Pengaruh konsentrasi
bating agent dan waktu bating dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Interaksi antara faktor konsentrasi bating agent dan waktu bating tidak
berpengaruh pada kadar protein terlarut yang ditandai dengan nilai signifikansi
yang dihasilkan sebesar 0,16 (> 0,05).

Gambar 5 Hubungan konsentrasi bating agent terhadap kadar protein terlarut

Gambar 6 Hubungan waktu bating terhadap kadar protein terlarut
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan pengaruh konsentrasi bating agent
dan waktu bating terhadap kadar protein terlarut. Gambar 5 menunjukkan semakin
tinggi konsentrasi bating agent yang digunakan, semakin banyak pula kadar

10
protein yang terlarut dalam cairan hasil bating (Covington 2011b). Begitu pula
dengan waktu (Gambar 6), semakin lama waktu bating akan meningkatkan laju
reaksi hidrolisis protein yang ada pada kulit.
Nilai rataan kadar protein terlarut akibat pengaruh konsentrasi bating agent
(Lampiran 8) dan waktu bating (Lampiran 9) memiliki subset yang berbeda.
Subset ini merupakan hasil pengelompokan Duncan (Duncan grouping). Nilai
rataan yang memiliki subset yang berbeda menunjukkan bahwa ada pengaruh
yang berbeda nyata akibat pengaruh konsentrasi bating agent dan waktu bating di
setiap tarafnya. Konsentrasi bating agent 0% (kontrol) berpengaruh pada kadar
protein terlarut yang menggunakan bating agent 0,5%, 1%, dan 1,5% secara
signifikan. Konsentrasi bating agent 0,5%, 1%, dan 1,5% memiliki subset yang
sama, yang menandakan bahwa ketiga konsentrasi tersebut tidak memberikan
berpengaruh dalam peningkatan kadar protein terlarut secara signifikan. Masingmasing perlakuan waktu bating (0,5, 1,5, 2,5 jam) memberikan nilai peningkatan
kadar protein terlarut yang berbeda nyata. Hal ini ditandai dengan pengelompokan
Duncan (Duncan grouping) yang didapatkan memiliki subset yang berbeda.
Bating agent yang umum digunakan oleh industri penyamakan kulit adalah
enzim yang berasal dari ekstrak pankreas dengan berbagai macam merk dagang.
Enzim protease merupakan salah satu enzim yang terkandung pada pankreas. Hal
ini dibuktikan dengan adanya aktivitas enzim protease sebesar 1,13 U/g.menit
pada bating agent yang digunakan. Kinerja bating agent pada proses pelumatan
ditandai dengan banyaknya kandungan protein pada kulit yang menurun. Analisis
kadar protein terlarut ini juga dapat dideteksi melalui larutan hasil bating dengan
metode Lowry (Ya-nan et al. 2013; Madhan et al. 2010). Pengujian kadar protein
ini bertujuan untuk mengukur protein dari kulit yang terlarut di dalam cairan hasil
bating.
Dipeptida
Air
H

H

H


H



H

N–C–C

H2 O

O

R


R

+



N–C–C
H

O

O
H

H



H

O

H

N–C–C

Asam amino (1)

O

H



R

O

N–C–C

+



H

H




H

R

O

Asam amino (2)

Gambar 7 Mekanisme hidrolisis protein oleh air (Sumardjo 2006)

11
Mekanisme kerja enzim protease yang terkandung dalam bating agent
adalah dengan memutus ikatan peptida pada protein non kolagen, sehingga pada
saat pengukuran kadar protein terlarut, asam-asam amino sebagai residu pada
proses hidrolisis protein tersebut dinyatakan sebagai protein yang terhidrolisis
yang larut di dalam cairan bating (Gambar 7). Enzim protease akan mempercepat
proses hidrolisis protein yang terjadi. Hidrolisis protein adalah proses pemecahan
kompleks protein dengan melibatkan air. Air yang tersedia dalam larutan bating
akan memecah ikatan peptida. Ion H+ akan berikatan dengan gugus amina pada
suatu asam amino dan ion OH - akan berikatan dengan gugus karboksil yang ada
pada asam amino lainnya.
Enzim memiliki keistimewaan berupa daya katalitik dan spesifisitas yang
sangat tinggi (Winarno 2010). Protein kolagen tidak ikut terhidrolisis pada proses
bating tersebut karena kolagen relatif lebih stabil terhadap adanya enzim protease
yang mengandung tripsin dan kimotripsin. Namun kolagen dapat terdenaturasi
oleh panas dan dalam keadaan tersebut, kolagen dapat dengan mudah terhidrolisis
oleh enzim protease. Enzim yang dapat menghidrolisis kolagen dalam keadaan
belum terdenaturasi adalah enzim kolagenase yang mempunyai spesifitas yang
tinggi terhadap substrat yang memiliki asam amino prolin, hidroksiprolin, dan
glisin (Winarno 2010).
Asam amino yang terlarut di dalam cairan bating agent berupa triptofan dan
tirosin. Hal ini berdasarkan prinsip pengukuran kadar protein terlarut metode
Lowry yaitu untuk mengetahui kandungan protein yang terlarut dalam suatu
larutan. Reaksi antara Cu2+ dan ikatan peptida dengan mereduksi asam fosfolibdat
dan asam fosfotungstat oleh tirosin dan triptofan yang merupakan residu protein
dan menghasilkan warna biru (Lowry et al. 1951). Kepekatan warna biru yang
dihasilkan menandakan banyaknya residu protein yang terkandung pada cairan
hasil bating. Kepekatan warna tersebut diukur dengan spektrofotometri untuk
diukur nilai absorbansinya, sehingga konsentrasi protein terlarut (ppm) dapat
diukur juga dari rumus persamaan garis yang diperoleh ketika membuat kurva
standar.
Konsentrasi terbaik dalam proses bating belum dapat ditentukan pada
respon kadar protein terlarut dengan berbagai taraf konsentrasi (0,5%, 1%, dan
1,5%) karena tidak berpengaruh pada respon tersebut secara signifikan. Namun
konsentrasi terbaik sudah dapat ditentukan dari respon penurunan ketebalan yaitu
pada konsentrasi 1%. Respon lain yang turut dipertimbangkan lebih lanjut dan
dapat memperkuat alasan pemilihan konsentrasi tersebut adalah penurunan kadar
lemak kulit. Waktu terbaik dalam proses bating adalah 2,5 jam karena pada waktu
tersebut memiliki nilai kadar protein terlarut yang paling tinggi di antara kedua
waktu lainnya (0,5 jam dan 1,5 jam). Nilai tersebut juga berbeda nyata dengan
nilai-nilai kadar protein terlarut dengan berbagai waktu lainnya. Nilai kadar
protein terlarut kondisi terbaik ini yaitu sebesar 1502 ppm.

Kadar Lemak
Proses bating memegang peranan penting dalam menentukan mutu kulit
samak. Substansi pada kulit selain protein non kolagen akan dihilangkan melalui
proses ini adalah lemak. Lemak dipecah oleh enzim lipase yang dikandung

12
ekstrak pankreas yang digunakan sebagai bating agent. Lemak merupakan
cadangan energi terbesar pada tubuh makhluk hidup. Lemak atau trigliserida
terdiri atas gliserol dan asam lemak. Lipase yang dikandung pankreas merupakan
enzim yang diproduksi dalam sel asiner pankreas dan dialirkan ke duodenum.
Berdasarkan analisis ragam (anova) (Lampiran 7) pada pengaruh
konsentrasi bating agent dan waktu bating masing-masing memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,00 dan 0,04 (< 0,05) yang menandakan bahwa baik
konsentrasi bating agent maupun waktu bating berpengaruh pada variabel
penurunan kadar lemak. Pengaruh konsentrasi bating agent dan waktu bating
dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Interaksi antara faktor konsentrasi
bating agent dan waktu bating tidak berpengaruh pada penurunan kadar lemak
yang ditandai dengan nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,88 (> 0,05).

Gambar 8 Hubungan konsentrasi bating agent dengan penurunan kadar lemak

Gambar 9 Hubungan waktu bating dengan penurunan kadar lemak
Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan pengaruh konsentrasi bating agent
dan waktu bating terhadap penurunan kadar lemak. Gambar 8 menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi bating agent akan meningkatkan penurunan
kadar lemak pada kulit. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi bating
agent akan mempercepat laju reaksi hirolisis lemak yang terjadi (William 2013).
Begitu juga dengan waktu bating yang semakin lama (Gambar 9). Hal ini akan
berdampak pada penurunan kadar lemak yang semakin banyak jumlahnya. Waktu
bating yang tepat tentu akan membuat proses pemecahan lemak terjadi secara
sempurna. Namun jika waktu bating yang digunakan terlalu sebentar, proses
hidrolisis lemak ini belum terjadi secara sempurna yang ditandai dengan
rendahnya penurunan kadar lemak yang terjadi.
Nilai rataan penurunan kadar lemak akibat pengaruh konsentrasi bating
agent (Lampiran 8) dan waktu bating (Lampiran 9) memiliki subset yang berbeda.
Subset ini merupakan hasil pengelompokan Duncan (Duncan grouping). Nilai

13
rataan yang memiliki subset yang berbeda menunjukkan bahwa ada pengaruh
yang berbeda nyata akibat pengaruh konsentrasi bating agent dan waktu bating di
setiap tarafnya. Konsentrasi bating agent 0% (kontrol) berpengaruh pada
penurunan kadar lemak yang menggunakan bating agent 0,5%, 1%, dan 1,5%
secara signifikan. Konsentrasi bating agent 0,5% dan 1,5% memiliki subset yang
sama, yang menandakan bahwa kedua konsentrasi tersebut tidak memberikan
perubahan yang nyata terhadap penurunan kadar lemak. Namun penggunaan
bating agent 1% berpengaruh pada penurunan kadar lemak kulit yang diberi
bating agent 1,5%. Waktu bating 0,5 jam memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata terhadap kadar lemak kulit yang diberi perlakuan waktu selama 1,5 jam.
Namun waktu bating 0,5 jam memberi nilai kadar lemak yang berbeda nyata
dengan pengaruh waktu 2,5 jam. Hal ini ditandai dengan pengelompokan Duncan
bahwa nilai-nilai ini memiliki subset yang berbeda.
Hidrolisis lemak yang terjadi pada proses bating dipengaruhi adanya enzim
lipase yang dikandung pada bating agent berupa ekstrak pankreas. Aktivitas
enzim lipase yang terdapat pada bating agent ini sebesar 0,051 U/g.menit. Enzim
lipase berfungsi mengkatalisis penguraian trigliserida (lemak) menjadi digliserida
dan asam lemak. Selain itu, lipase juga dapat menghidrolisis digliserida lebih
lanjut menjadi monogliserida dan bahkan yang heterogen. Menurut Winarno
(2010), hal ini berarti lipase sangat lambat kerjanya pada larutan lemak dalam air
dan menjadi sangat cepat dalam keadaan emulsi.

1,2-Digliserida
(b) 2-Monogliserida
+ asam lemak

Trigliserida (a)

(c)

Gliserol
+ asam
lemak

2,3-Digliserida
+ asam lemak
Gambar 10 Reaksi hidrolisis trigliserida (a) sangat cepat, (b) lambat, (c) sangat
lambat (Winarno 2010)
Kerja lipase juga memiliki spesifitas terhadap lokasi atau posisi ester.
Skema hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 10. Pada gambar tersebut,
ester yang letaknya pada bagian luar molekul yaitu alkohol primer akan lebih dulu
dipecah, kemudian diikuti oleh pemecahan alkohol sekunder yaitu posisi tengah.
O
CH2 – O – C – R‟

CH2 – OH




O
CH – O – C – R”

+ 3 H2O





O
CH2 – O – C – R‟”
trigliserida

CH – OH

3 mol air

CH2 – OH
gliserol

O
HO – C – R‟
O
+ HO – C – R”
O
HO – C – R‟”
3 mol asam lemak

Gambar 11 Mekanisme hidrolisis trigliserida oleh air (Ketaren 1986)

14
Mekanisme hidrolisis lemak terjadi karena adanya keterlibatan air (Gambar
11). Air akan memutus ikatan karboksilat yang terdapat pada trigliserida. Ion H +
akan membentuk asam lemak sedangkan ion OH - akan membentuk gliserol dari
hasil pemecahan trigliserida. Lemak yang hilang dari permukaan kulit akan
membantu kulit untuk mempermudah penyerapan dan pembentukan crosslinking
antara bahan penyamak dan kolagen (Judoamidjojo 1979).
Konsentrasi bating agent terbaik yaitu pada konsentrasi 1%, karena pada
konsentrasi tersebut nilai penurunan kadar lemak yang dimiliki lebih tinggi
dibanding konsentrasi 0% dan 0,5%. Namun nilai tersebut tidak berbeda nyata
dengan nilai kadar lemak yang dihasilkan pada konsentrasi 1,5%. Dengan
pertimbangan efisiensi penggunaan bating agent juga maka konsentrasi 1%
dipilih sebagai konsentrasi terbaik dalam penurunan kadar lemak. Waktu terbaik
dalam proses bating adalah 2,5 jam karena pada waktu tersebut memiliki nilai
penurunan kadar lemak yang paling tinggi di antara kedua waktu lainnya (0,5 jam
dan 1,5 jam). Penurunan kadar lemak pada kondisi terbaik ini yaitu sebesar 1,6%.

Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik atau sensori adalah pengujian untuk menilai mutu
suatu benda menggunakan indra yang dimiliki manusia (Setyaningsih et al. 2010).
Mutu organoleptik kulit hasil bating dilakukan pada tekstur kulit melalui perabaan.
Tekstur dijadikan sebagai salah satu parameter untuk menentukan mutu fisik kulit
yang telah diproses, baik itu pada proses bating, maupun proses penyamakan.
Parameter tekstur yang diamati adalah ketenturan dan ketahanan tekan kulit
terhadap beban yang diberikan.

Tabel 2 Hubungan konsentrasi bating agent dan waktu bating terhadap
kelenturan dan ketahanan tekan kulit hasil bating
Konsentrasi
Bating Agent (%)
0,5

1

1,5
Keterangan =
1-3
4-7
8-10

Waktu Bating
(jam)
0,5
1,5
2,5
0,5
1,5
2,5
0,5
1,5
2,5

Sifat Organoleptik
Kelenturan
Ketahanan Tekan
2
2
2
3
3
3
5
4
7
6
7
7
8
7
8
7
9
8

: agak lentur/tidak berbekas
: lentur/berbekas
: sangat lentur/sangat berbekas

Tabel 2 menunjukkan hubungan antara konsentrasi bating agent dan waktu
bating terhadap mutu organoleptik tekstur. Data tersebut menunjukkan bahwa

15
semakin tinggi konsentrasi bating agent yang digunakan membuat kulit semakin
lentur dan berbekas apabila ditekan dengan beban. Kelenturan menandakan bahwa
kulit kehilangan kandungan protein non kolagen seperti elastin, keratin, sistin, dan
lain sebagainya akibat proses bating. Elastin akan memberikan elastisitas yang
baik pada kulit. Keratin merupakan protein yang terkandung pada kulit bagian
epidermis yang memberikan tekstur kulit relatif lebih tebal dan keras dari pada
bagian kulit lainnya. Begitu juga dengan sistin. Protein ini mengandung atom S
(sulfur) yang berikatan dengan asam amino pembentuknya. Ketahanan tekan kulit
yang rendah juga diakibatkan kehilangan protein dan juga lemak sehingga kulit
nampak „kosong‟ dan cenderung sulit untuk kembali ke bentuk semula jika
ditekan dengan suatu beban.
Pada industri penyamakan kulit, proses bating dapat dikatakan cukup
apabila tekstur kulit hasil bating memiliki ketahanan tekan yang rendah
(Judoamidjojo et al. 1979). Ini berarti bahwa apabila kulit ditekan dengan jari,
kulit tidak mudah kembali ke bentuk semula dan meninggalkan bekas tekan.
Namun, apabila kulit hasil bating masih agak keras dan tidak meninggalkan bekas
tekan, biasanya industri melanjutkan bating dengan penambahan waktu. Terkait
parameter tekstur, waktu bating perlu diperpanjang atau tidak, tergantung pada
mutu kulit yang diinginkan.

Penentuan Kombinasi Perlakuan Terbaik
Penentuan kombinasi perlakuan terbaik pada penelitian ini dilakukan
berdasarkan pada sifat fisik, kimiawi, dan mutu organoleptik yang dihasilkan.
Proses bating dapat dikatakan cukup baik apabila kulit bating yang dihasilkan
memiliki tekstur yang lentur dan apabila ditekan meninggalkan bekas tekan yang
tidak mudah kembali ke bentuk semula kulit. Hal ini menandakan bahwa
kandungan kimiawi kulit seperti protein dan lemak telah hilang atau dihidrolisis
oleh bating agent. Selain itu pula, adanya sisa kapur yang terlarut pada kulit juga
turut mempengaruhi tekstur kulit hasil bating. Kehilangan kandungan kimiawi ini
akan berdampak pada sifat fisik seperti penurunan ketebalan.
Pada penelitian ini, kombinasi perlakuan terbaik yang dipilih adalah bating
agent dengan konsentrasi 1% dan waktu 2,5 jam. Konsentrasi 1% merupakan
konsentrasi terbaik karena pada beberapa parameter yang diuji secara umum
menurut uji statistik (uji ragam dan uji lanjut) berpengaruh pada semua respon
kulit hasil bating yang diberi konsentrasi 0,5%. Namun konsentrasi 1% tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kulit hasil bating yang diberi
konsentrasi 1,5%. Waktu 2,5 jam merupakan waktu terbaik karena bating agent
memiliki kemampuan menghidrolisis yang lebih baik jika dibandingkan dengan
waktu 0,5 dan 1,5 jam. Waktu bating yang lebih lama akan membuat waktu
kontak antara kulit dengan bating agent juga semakin lama dan proses hidrolisis
yang terjadi menjadi lebih sempurna. Kombinasi tersebut menghasilkan
penurunan ketebalan sebesar 5,6%, kadar protein terlarut 1502 ppm, penurunan
kadar lemak sebesar 1,6%, serta kelenturan yang lentur dan berbekas apabila diuji
ketahanan tekan.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi bating agent berpengaruh dalam menurunkan ketebalan, kadar
lemak, dan meningkatkan kadar protein terlarut. Waktu bating berpengaruh dalam
meningkatkan kadar protein terlarut dan menurunkan kadar lemak. Namun,
interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap semua variabel yang
diamati. Konsentrasi bating agent 1% dan waktu bating 2,5 jam merupakan
kombinasi perlakuan terbaik dari penelitian ini. Penurunan ketebalan pada kondisi
tersebut sebesar 5,6%, kadar protein terlarut 1502 ppm, dan penurunan kadar
lemak sebesar 1,6%. Pada kondisi tersebut, mutu organoleptik kulit yang
dihasilkan memiliki tekstur yang lentur dan berbekas apabila diuji ketahanan
tekan.

Saran
Faktor konsentrasi bating agent dan waktu bating merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi kulit hasil bating. Dalam melakukan penelitian ini,
diperlukan suhu dan pH yang sesuai agar bating agent dapat bekerja secara
sempurna. Kondisi yang sesuai untuk melakukan bating dengan menggunakan
ekstrak pankreas yaitu suhu 30-40oC dan pH 7,5-8,5.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Tuna [internet]. [diacu 2014 20 Juli]. Tersedia dari
http://pengetahuanumum.net/tuna/.
Colac SM, Kilic E. 2007. Deliming with Leak Acids: Effect on Leather Quality
and Effluent. Journal of The Society of Leather Technologists and Chemists.
92 (3): 120-123.
Covington AD. 2011a. Tanning Chemistry The Science of Leather. Northampton
(UK): The Royal Society of Chemistry.
Covington AD. 2011b. Prediction in Leather Processing: A Dark Art or a Clear
Possibility? Procter Memorial Lecture. Journal of The Society of Leather
Technologists and Chemists. 95 (6): 231-242.
Habibi A, Dwi A, Sugiyanta. 2011. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil.
Perikanan Tuna – Panduan Penangkapan dan Penanganan. Jakarta (ID):
WWF-Indonesia.
Hastuti TU. 2013. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus Sp) dengan Kombinasi
Penyamak Krom dan Nabati. Bogor (ID): IPB.
Hendryanto D. 2013. Penentuan Jenis Deliming Agent dan Kecepatan Pengadukan
dalam Proses Penghilangan Kapur (Deliming) Kulit Liming Ikan Tuna.
Bogor (ID): IPB.

17
Judoamidjojo RM, Fahidin, Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Bogor
(ID): Departemen Teknologi Hasil Pertanian.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID):
UI Press.
Krishnaraj K, Thanikaivelan, Chandrasekaran B. 2010. Effect of Chromium and
Tanning Method on The Drape of Goat Suede Apparel Leathers. The
Journal of The American Leather Chemists Association. 105: 71 – 77.
Lowry OH, Nira JR, A Lewis F, Rose JR. 1951. Protein Measurement with The
Folin Phenol Reagent. The Journal of Biological Chemistry. 193: 265-275.
Madhan B, J Rao, B Nair. 2010. Studies on The Removal of Interfibrillary
Materials Part I: Removal of Protein, Proteoglycans, Glycosoaminoglycans
from Conventional Beamhouse Process. The Journal of The American
Leather Chemists Association. 105 (5): 145-149.
Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung (ID): Alfabeta.
Peranginangin R, Agusman, dan Achmad P. 2011. Penelitian dan Pengembangan
Hasil Samping Industri Perikanan. Jurnal. Analisis Kebijakan
Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan. ISBN
978-602-9619: 78-98.
Saravanbhavan S, Rao JR, Nair BU. 2006. A New Leather Making Process for
Meeting Eco-Label Standards: Processing Goat