Seleksi Primer RAPD-PCR untuk Menampilkan Pola Pita DNA Meniran (Phyllanthus sp.) dan Kapulaga Lokal (Amomum cardamomum).

SELEKSI PRIMER RAPD-PCR UNTUK MENAMPILKAN
POLA PITA DNA MENIRAN (Phyllanthus sp.) DAN
KAPULAGA LOKAL (Amomum cardamomum)

AZRA ZAHRAH NADHIRAH IKHWANI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Seleksi Primer RAPDPCR untuk Menampilkan Pola Pita DNA Meniran (Phyllanthus sp.) dan Kapulaga
Lokal (Amomum cardamomum) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Azra Zahrah Nadhirah Ikhwani
NIM G84090082

ABSTRAK
AZRA ZAHRAH NADHIRAH IKHWANI. Seleksi Primer RAPD-PCR untuk
Menampilkan Pola Pita DNA Meniran (Phyllanthus sp.) dan Kapulaga Lokal
(Amomum
cardamomum).
Dibimbing
oleh
EDY
DJAUHARI
PURWAKUSUMAH dan LAKSMI AMBARSARI.
Meniran (Phyllanthus sp.) dan kapulaga lokal (Amomum cardamomum)
merupakan tanaman berkhasiat obat yang harus terus digali agar berpotensi
dibudidayakan di Indonesia. Informasi genetik kedua tanaman ini dapat
dikembangkan untuk mendapatkan bibit unggul sebagai obat. Tujuan penelitian
adalah memperoleh beberapa primer acak dengan teknik RAPD-PCR yang

mampu menghasilkan amplikon sehingga dapat menunjukkan pola pita pada
beberapa contoh meniran dan kapulaga lokal. Optimasi RAPD-PCR telah
dilakukan pada contoh kedua jenis meniran yang menunjukkan tidak adanya DNA
yang teramplifikasi menggunakan primer universal OPE-19 dan OPH-5,
sedangkan untuk contoh kapulaga lokal yang dioptimasi (kapulaga merah)
menunjukkan adanya DNA yang teramplifikasi. Primer RAPD yang digunakan
berjumlah 20 dari seri OPA-OPD 11-15. Hasil PCR yang dielektroforesis dengan
gel agarosa 1.5% pada kapulaga lokal berhasil mengamplifikasi DNA oleh 15
primer dengan pola pita berbeda pada setiap primer di antara dua contoh.
Kata kunci: kapulaga lokal, meniran, RAPD-PCR

ABSTRACT
AZRA ZAHRAH NADHIRAH IKHWANI. RAPD-PCR Primer Selection for
Displays Meniran (Phyllanthus sp.) and Local Cardamom (Amomum
cardamomum) Pattern of DNA Bands. Supervised by EDY DJAUHARI
PURWAKUSUMAH and LAKSMI AMBARSARI.
Phyllanthus sp. (meniran) and Amomum cardamomum (local cardamom) are
widely used as herbal medicinal plant in Indonesia. Exploration of genetic
information of these plants is needed for developing prime seeds for herbal
medicinal plant. The objective of this research was selecting some RAPD random

primers to generate amplicons that can show DNA bands pattern of some
meniran and local cardamom samples. Optimization of RAPD-PCR was
performed on samples of meniran indicating the absence of DNA amplified using
universal primers OPE-19 and OPH-5, while for the optimized sample cardamom
(cardamom red) showed the amplified DNA. RAPD primer used about 20 of
OPA-OPD series 11-15. Results showed that 15 primers were successful in
amplifying the local cardamom DNA detected by agarose gel 1.5%.
Keywords: local cardamom, Phyllanthus sp., RAPD-PCR

SELEKSI PRIMER RAPD-PCR UNTUK MENAMPILKAN
POLA PITA DNA MENIRAN (Phyllanthus sp.) DAN
KAPULAGA LOKAL (Amomum cardamomum)

AZRA ZAHRAH NADHIRAH IKHWANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia


DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1


METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

2
3
3
3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

5
5
10

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Saran

16
16
16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR GAMBAR
1 Elektroforegram DNA meniran dan kapulaga lokal

2 Elektroforegram hasil optimasi RAPD-PCR
3 Elektroforegram hasil RAPD-PCR kapulaga lokal

6
9
11

DAFTAR TABEL
1 Data uji kuantitatif DNA hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan Doyle
(1990)
2 Data uji kuantitatif DNA meniran hasil isolasi modifikasi metode Doyle
dan Doyle (1987)
3 Skoring kualitas DNA meniran dan kapulaga lokal
4 Hasil optimasi amplifikasi DNA
5 Seleksi primer
6 Data jumlah amplikon kapulaga lokal

7
8
8

9
10
10

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman hayati tertinggi kedua
dengan sekitar 30000 jenis tumbuh-tumbuhan yang 7500 diantaranya berkhasiat
obat (Depkes RI 2007). Bahan baku obat alami di Indonesia yang teregistrasi oleh
Badan POM (2006) jumlahnya ada 283 dan hanya 103 yang merupakan hasil
budidaya. Budidaya bahan baku obat alami menjadi penting dilakukan agar
pasokan dapat terpenuhi tanpa merusak ekosistem alam yang dapat berdampak
pada kelangkaan. Pembudidayaan tumbuhan berkhasiat obat dapat dioptimalkan
dengan menanam kualitas bibit unggul yang diperoleh dengan melakukan analisis
genetiknya. Hal ini mendorong mulai banyaknya penelitian genetik terhadap
tumbuhan yang diyakini berkhasiat obat, seperti meniran (Phyllanthus sp.) dan
kapulaga lokal (Amomum cardamomum).
Meniran (Phyllanthus sp.) tergolong dalam famili Euphorbiaceae.
Phyllanthus merupakan kelompok genus yang luas dengan sekitar 800 spesies
tersebar di daerah tropis dan subtropis (Govaerts et al. 2000). Penyebarannya di
seluruh Asia termasuk Indonesia dan dapat ditemukan di Benua Afrika, Amerika

serta Australia (Taylor 2003). Tumbuhan ini hampir selalu dapat ditemukan di
tempat yang hangat (Schmelzer and Gurib-Fakim 2008). Keberadaan tumbuhan
ini di alam liar cukup melimpah, sehingga mudah didapatkan dan belum banyak
yang membudidayakannya.
Meniran diketahui mengandung beberapa senyawa aktif yang berkhasiat
obat, seperti alkaloid, flavonoid, dan lignan (filantin dan hipofilantin). Senyawa
aktif alkaloid dan lignan yang terkandung dalam meniran dilaporkan berkhasiat
sebagai antimikroba (Mangunwardoyo et al. 2009). Hasil penelitian farmakologi
menunjukkan bahwa meniran mempunyai aktivitas hepato-protektif dan
antioksidan (Manjrekar et al. 2008), imunomodulator (Ganju et al. 2003), serta
antikanker (Jose et al. 2001).
Kapulaga terbagi dalam dua genus besar, yaitu Elettaria sp. dan Amomum
sp. Jenis kapulaga dari kedua genus tersebut sedang dikembangkan di Indonesia,
yaitu kapulaga sabrang (Elettaria cardamomum) dan kapulaga lokal (Amomum
cardamomum). Kapulaga sabrang berasal dari India dan tersebar di Sri Lanka,
Malaysia serta Indonesia (Babu et al. 2012), sedangkan kapulaga lokal berasal
dari Indonesia (endemik di pegunungan Jawa bagian barat) dan tersebar di
Malaysia serta China bagian selatan (Lim 2013).
Kapulaga termasuk rempah-rempahan dari famili Zingiberaceae, sehingga
buah atau bijinya sering dijadikan bumbu masak oleh masyarakat. Buah atau biji

kapulaga juga dapat dimanfaatkan untuk obat. Masyarakat di Indonesia juga sudah
lama menggunakan kapulaga sebagai obat yang dijadikan jamu bersama rempahrempah lainnya, salah satunya adalah masyarakat di daerah Sumenep, Madura.
Masyarakat tersebut menggunakan buah kapulaga lokal dan beberapa rempah
lainnya sebagai jamu pakak, yaitu untuk memperkuat otot organ reproduksi
internal (Mangestuti et al. 2007).
Penelitian mengenai meniran dan kapulaga lokal asal Indonesia masih
berkisar pada kandungan metabolit sekunder dan aktivitasnya. Penelitian
mengenai informasi keragaman genetiknya belum banyak diteliti. Penelitian
keragaman genetik meniran yang sudah diteliti adalah dari jenis meniran hijau

2
(Phyllanthus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) asal
Kabupaten Bangkalan dan Gresik (Oktavidiati 2012), sedangkan penelitian
keragaman genetik meniran (Phyllanthus sp.) dari daerah lain di Indonesia belum
pernah diteliti. Adapun kapulaga lokal (Amomum cardamomum) asal Indonesia
belum pernah diteliti mengenai informasi genetiknya, penelitian genetik kapulaga
baru dilakukan pada kapulaga sabrang (Elettaria cardamomum) yang bukan
berasal dari Indonesia.
Identifikasi tanaman ekonomis dan tanaman obat berdasarkan teknik biologi
molekuler atau berbasis DNA mulai marak digunakan. Teknik ini berguna dan

akurat untuk mengetahui variasi genetik pada tanaman. Teknik molekuler yang
kini sering digunakan untuk menganalisis pola sidik jari tanaman untuk melihat
keragaman genetiknya dalam bentuk pohon filogenetik adalah marka molekuler.
Salah satu marka molekuler yang sering digunakan karena tekniknya relatif
sederhana adalah Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) (Prana dan
Hartati 2003).
RAPD merupakan salah satu marka DNA dengan menggunakan prinsip
kerja mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi
sekuen DNA tertentu secara in vitro. Teknik ini tergolong sederhana karena relatif
mudah dalam preparasi, primer yang digunakan acak tanpa perlu informasi DNA
gen atau genom awal, hasil didapat lebih cepat, dan karakter yang dihasilkan
relatif tidak terbatas. Hal tersebut sangat membantu untuk keperluan analisis
variabilitas genetik tanaman yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Prana
dan Hartati 2003). Namun, tidak semua primer RAPD dapat digunakan untuk
menganalisis polimorfisme yang menunjukkan pola pita berbeda antar beberapa
tanaman termasuk dalam satu spesies. Penentuan jenis primer RAPD-PCR ini
menjadi perlu diteliti sebelumnya untuk analisis selanjutnya.
Penelitian ini bertujuan menentukan primer RAPD-PCR yang dapat
digunakan untuk membedakan aksesi atau varietas meniran serta kapulaga lokal.
Pemilihan primer dilakukan untuk dapat menampilkan pola pita DNA di antara
contoh yang selanjutnya dapat diketahui informasi polimorfismenya. Primer
RAPD terseleksi pada contoh tumbuhan obat ini diharapkan dapat digunakan
secara rutin. Penggunaan rutin yang dimaksud adalah dalam teknik RAPD-PCR
untuk analisis genetik yang dibutuhkan mengenai meniran (Phyllanthus sp.) dan
kapulaga lokal (Amomum cardamomum), khususnya analisis keragaman genetik
antar beberapa meniran juga kapulaga lokal dari berbagai daerah di Indonesia.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan, yakni pada bulan April-Desember
2013. Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Penelitian Departemen Biokimia
FMIPA-IPB; Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi FMIPA-IPB;
Laboratorium Biologi Molekuler, Balai Besar Biogen; dan Laboratorium Biologi
Molekuler Tanaman 2, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian-IPB.

3
Bahan
Bahan atau contoh penelitian yang digunakan adalah tumbuhan meniran
hijau (Phyllantus niruri L.) dan meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) yang
tumbuh liar di daerah Darmaga dan Bantarjati, Bogor. Contoh lainnya adalah
tanaman kapulaga lokal merah dan kapulaga lokal putih (Amomum cardamomum)
yang berasal dari Desa Pamijahan dan ditanam kembali di Kebun Cikabayan
Biofarmaka IPB. Bahan yang digunakan untuk tahap isolasi DNA yaitu nitrogen
cair, CTAB, NaCl, EDTA, Tris-HCl, β-merkaptoetanol, kloroform,
isoamilalkohol, isopropanol, etanol 70%, etanol absolut, Molecular Water (MW),
akuades steril, dan akuabides. Bahan yang digunakan untuk elektroforesis adalah
agarosa, bufer TAE 0.5×, EtBr, loading dye 6×, marker 1 kb plus DNA ladder dan
marker 100 bp plus DNA ladder. Bahan untuk PCR adalah buffer complete 5×,
dNTPs 10 mM, Taq DNA polimerase, dan primer OPA-OPD 11-15.
Alat
Peralatan yang digunakan adalah autoklaf, pH meter, waterbath, neraca
analitik, hotplate, mikrosentrifus Mikro 200 R Hettich Zentrifugen,
spektrofotometer NanoDrop™ 2000/2000c, spektrofotometer UV-Vis,
seperangkat alat elektroforesis gel agarosa BioRad, PCR ESCO, dan dokumentasi
gel AlphaImager® Mini. Peralatan lainnya adalah mortar, tube Eppendorf 2 mL
dan 1.5 mL, tube dome PCR 0.2 mL, kertas saring, mikro pipet, tip mikro pipet,
peralatan gelas, pipet volumetrik, termos es, dan cooler box.
Prosedur Analisis Data
Isolasi DNA Meniran dan Kapulaga Lokal (Modifikasi Doyle dan Doyle
1990)
Sebanyak 200 mg contoh berupa daun digerus bersama nitrogen cair
hingga terbentuk serbuk yang kering. Serbuk dimasukkan ke dalam tube
Eppendorf 2 mL dan ditambahkan 0.75 mL bufer CTAB (4% b/v CTAB, 1.4 M
NaCl, 50 mM EDTA, 100 mM Tris-HCl pH 8.0, 1% v/v β-merkaptoetanol,
akuades steril). Tube yang telah berisi contoh dan bufer tersebut diinkubasi pada
suhu 60 oC selama 1 jam. Selanjutnya ke dalam tube ditambahkan 0.75 mL
kloroform isoamilalkohol (CIA) dengan perbandingan 24:1. Campuran tersebut
disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm, suhu 4 oC selama 20 menit. Supernatan
yang didapatkan ditambah dengan CIA sebanyak 0.75 mL dan disentrifus kembali
dengan kondisi sama. Supernatan dipindahkan ke dalam tube Eppendorf 1.5 mL,
kemudian ditambah dengan 0.75 mL isopropanol (tube dibolak-balik agar
tercampur baik) dan disentrifus pada kecepatan 10000 rpm, suhu 4 oC selama 10
menit. Pelet yang didapatkan dicuci dengan etanol 70%. Etanol 70% dibuang dan
pelet dikeringkan yang selanjutnya disuspensikan dengan bufer TE (10 mM TrisHCl pH 8.0 dan 0.1 mM EDTA). Contoh disimpan pada -20 oC sebagai stok
DNA.
Isolasi DNA Meniran (Modifikasi Doyle dan Doyle 1987)
Sebanyak 10 mg daun digerus bersama 50 mg PVP dan bufer ekstraksi
CTAB (2% b/v CTAB, 1.4 M NaCl, 0.02 M EDTA, 0.1 M Tris-HCl pH 8.0,

4
akuades steril) hingga terbentuk cairan merata. Hasil gerusan tersebut dimasukkan
ke dalam tube Eppendorf 2 mL dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 65 oC
selama 30 menit. Selanjutnya ke dalam tube ditambahkan 700 µL CIA (24:1).
Campuran tersebut disentrifus dengan kecepatan 11000 rpm, suhu 25 oC selama 5
menit. Supernatan yang didapatkan ditambah dengan CIA sebanyak 700 µL dan
disentrifus kembali dengan kondisi sama. Supernatan dipindahkan ke dalam tube
Eppendorf 1.5 mL, kemudian ditambah dengan 700 µL etanol absolut (tube
dibolak-balik agar tercampur baik) dan disentrifus pada kecepatan 9500 rpm, suhu
4 oC selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan yang selanjutnya
disuspensikan dengan 50 µL akuabides. Contoh disimpan pada -20 oC sebagai
stok DNA.
Uji Kualitatif Hasil Isolasi DNA
Gel agarosa 1.5% untuk elektroforesis dibuat dengan dilarutkannya
agarosa 0.3 g dalam 20 mL larutan bufer TAE 0.5× pH 8.0, kemudian
didihkankan hingga larut dan selanjutnya didinginkan pada suhu kamar. Larutan
agarosa tersebut dituang ke dalam cetakan gel elektroforesis yang telah dipasangi
sisir (cetakan sumur) hingga gel memadat. Gel yang sudah padat dipindahkan ke
dalam tangki elektroforesis yang berisi bufer TAE 0.5× pH 8.0. Contoh yang akan
dielektroforesis dicampur dengan loading dye dengan perbandingan 4:1 (10 µL
contoh DNA dan 2.5 µL loading dye). Setelah tercampur, contoh diinjeksi ke
dalam sumur gel agarosa. Marker yang digunakan adalah 1 kb plus DNA ladder
sebanyak 3 L yang dicampur dengan 1 L loading dye. Setelah semua contoh
selesai diinjeksi, alat elektroforesis dihubungkan pada power supply yang dialiri
tegangan listrik 100 volt selama 30 menit. Gel yang telah selesai dielektroforesis
direndam dalam EtBr. Hasil elektroforesis diamati dengan dokumentasi gel oleh
bantuan sinar UV dan bobot molekul dianalisis dengan program PhotoCaptMw.
Uji Kuantitatif DNA
Pengujian dilakukan dengan metode spektrofotometri dengan alat
nanodrop untuk hasil isolasi DNA metode Doyle dan Doyle (1990) dan
spektrofotometer UV untuk hasil isolasi DNA metode Doyle dan Doyle (1987).
Pembacaan blanko dilakukan terlebih dahulu sebelum contoh. Pengujian dengan
nanodrop dilakukan dengan 1 µL suspensi DNA hasil isolasi diinjeksi ke dalam
alat. Selanjutnya absorban pada panjang gelombang ( ) 260 nm, 280 nm, dan 230
nm akan dibaca langsung oleh nanodrop yang terhubung pada programnya di PC.
Pengujian dengan spektrofotometer UV dilakukan dengan mengencerkan suspensi
DNA hasil isolasi sebanyak 10 L menjadi 2000 L dengan ditambahkannya
akuabides. Selanjutnya dibaca absorban pada panjang gelombang ( ) 260 nm, 280
nm, dan 230 nm. Pengukuran pada panjang gelombang 280 nm dilakukan untuk
mengetahui adanya kontaminasi protein, sedangkan pada panjang gelombang 230
nm untuk mengetahui kontaminasi polisakarida dan fenol.
Optimasi RAPD-PCR DNA (Williams et al. 1990; Yu dan Paul 1994)
Pembuatan mix PCR dilakukan pada tube PCR 0.2 mL dengan komposisi 5
L reagent mix PCR (buffer complete 1×, 0.2 mM tiap dNTP, 0.5 unit Taq DNA
polimerase/25 L), 2.5 L contoh DNA, 1 L primer acak RAPD 10 M, dan 1.5
L akuabides sehingga volume total menjadi 10 L. Campuran tersebut kemudian
dihomogenisasi dengan dispin selama beberapa saat kemudian dimasukkan ke
dalam mesin PCR.

5
Program optimasi pertama yang digunakan pada PCR terdiri atas dua tahap
(Williams et al. 1990). Tahap pertama berlangsung selama satu kali siklus dengan
suhu 92 °C selama 2 menit untuk denaturasi awal, 92 °C selama 3 menit 30 detik
untuk penyempurnaan proses denaturasi DNA, 35 °C selama 1 menit untuk
penempelan primer, dan 72 oC selama 7 menit untuk tahapan perpanjangan rantai.
Program suhu yang digunakan pada tahap berikutnya adalah 92 °C selama 1 menit
untuk denaturasi DNA, 35 °C selama 1 menit untuk penempelan primer, 72 °C
selama 2 menit untuk tahapan perpanjangan rantai hingga sebanyak 44 kali siklus,
serta 72 °C selama 7 menit terakhir untuk memastikan DNA teramplifikasi
sempurna. Optimasi ini menyertakan kontrol positif berupa contoh tomat.
Program optimasi kedua yang digunakan yaitu berdasarkan metode Yu dan
Paul (1994). Program PCR ini diawali dengan denaturasi DNA pada suhu 94 oC
selama 5 menit. Berikutnya, program PCR dilakukan sebanyak 45 siklus dengan
denaturasi pada suhu yang masih sama selama 5 detik, kemudian penempelan
primer pada suhu 35 oC selama 30 detik, dan perpanjangan rantai pada suhu 72 oC
selama 60 detik.
Elektroforesis Hasil Amplifikasi
Elektroforesis hasil amplifikasi dilakukan menggunakan gel agarosa 1.5%
dalam bufer TAE 0.5×. Sebelum dilakukan elektroforesis, hasil amplifikasi
dicampurkan dengan loading dye terlebih dahulu dengan perbandingan 4:1 (2.5
µL loading dye). Contoh yang diinjeksi ke dalam sumur elektroforesis adalah 3
µL dari campuran tersebut. Marker yang digunakan adalah 100 bp plus DNA
ladder sebanyak 2.5 L. Elektroforesis dialiri tegangan listrik 90 volt selama 90
menit. Gel kemudian direndam dalam EtBr dan hasilnya diamati dengan alat
dokumentasi gel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kualitas DNA
DNA genom meniran dan kapulaga lokal hasil isolasi dilihat kualitasnya
dengan dua parameter, yaitu uji kualitatif DNA dengan menggunakan
elektroforesis gel agarosa dan uji kuantitatif DNA dengan metode
spektrofotometri. DNA yang terisolasi akan terlihat dari hasil elektroforesis gel
agarosa berupa pita, sedangkan konsentrasi DNA dan kemurniannya dapat
diketahui dengan pembacaan absorbansnya oleh spektrofotometer.
Isolasi DNA genom tanaman yang dilakukan menggunakan dua metode
berbeda untuk contoh meniran, yaitu metode Doyle dan Doyle (1990) dan Doyle
dan Doyle (1987) termodifikasi. Contoh meniran yang digunakan pada kedua
metode isolasi DNA adalah dari jenis meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) dan
merah (Phyllanthus urinaria L.) asal Darmaga (D) dan Bantarjati (Bt), Bogor.
Adapun contoh kapulaga lokal hanya menggunakan metode isolasi DNA Doyle
dan Doyle (1990) termodifikasi. Contoh kapulaga lokal yang digunakan adalah
kapulaga merah (KM) dan putih (KP) yang berasal dari Desa Pamijahan dan
ditanam kembali di Kebun Cikabayan Biofarmaka IPB.

6
Seluruh contoh meniran dan kapulaga lokal dari isolasi DNA yang
dilakukan menunjukkan adanya pita DNA pada gel agarosa. Ketiga contoh
meniran hijau hasil isolasi DNA modifikasi metode Doyle dan Doyle (1990)
terlihat memiliki intensitas pita yang lebih tinggi dibandingkan kedua contoh
meniran merah. Contoh meniran hijau yang menunjukkan pita dengan intensitas
tertinggi adalah contoh asal Darmaga ulangan 1 (DH1), sedangkan contoh meniran
merah dengan intensitas pita yang lebih baik adalah contoh asal Darmaga (DM).
Adapun pita DNA meniran merah hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan
Doyle (1987) terlihat memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan meniran hijau.
Contoh kapulaga lokal secara umum memiliki intensitas pita DNA yang lebih
tinggi dibandingkan contoh meniran. Kapulaga lokal putih dan merah yang
menunjukkan pita dengan intensitas tertinggi adalah contoh ulangan 2, yaitu KP2
dan KM2 (Gambar 1).
Pita DNA yang dihasilkan dari seluruh contoh juga masih terlihat adanya
smear yang menunjukkan keberadaan kontaminan. Smear pada contoh meniran
maupun kapulaga lokal tampak memiliki intensitas yang serupa bila dikaitkan
dengan intensitas pita DNA dari tiap-tiap contoh. Ukuran DNA meniran yang
dihasilkan dari kedua metode isolasi DNA yang digunakan berkisar antara 10154
base pair (bp) hingga 11000 bp, sedangkan ukuran DNA kapulaga lokal yang
dihasilkan berkisar antara 10200 bp hingga 10800 bp. Marker DNA yang
digunakan berasal dari Thermo Scientific berukuran 1 kb dengan 14 fragmen DNA.
Fragmen DNA marker berukuran 10000 bp, 8000 bp, 6000 bp, 5000 bp, 4000 bp,
3500 bp, 3000 bp, 2500 bp, 2000 bp, 1500 bp, 1000 bp, 750 bp, 500 bp dan 250
bp.

(a)
(b)
Gambar 1 Elektroforegram DNA meniran dan kapulaga lokal
(a) Contoh meniran hasil isolasi DNA metode modifikasi Doyle dan
Doyle (1987): Lajur 1 = DH; L2 = BtM1; L3 = BtM2
(b) Contoh meniran dan kapulaga lokal hasil isolasi DNA metode
modifikasi Doyle dan Doyle (1990): L4 = BtH; L5 = DH2; L6 =
DH1; L7 = BtM; L8 = DM; L9 = KP3; L10 = KP2; L11= KP1;
L12 = KM3; L13 = KM2; L14 = KM1; M = Marker 1 kb plus
DNA ladder

7
Parameter berikutnya dalam melihat kualitas DNA yang telah diisolasi
yaitu uji kuantitatif DNA dengan spektrofotometri. Informasi mengenai
konsentrasi dan kemurnian DNA akan didapat dari uji ini. Konsentrasi DNA
diketahui dari absorban DNA pada panjang gelombang 260 nm. Nilai absorban
1.0 pada panjang gelombang 260 nm ini setara dengan 50 ng µL-1 utas ganda
DNA. Nilai kemurnian DNA terhadap kontaminasi protein termasuk RNA
diketahui dari rasio A260 dengan A280, sedangkan nilai kemurnian DNA
terhadap kontaminasi polisakarida dan fenol diketahui dari rasio A260 dengan
A230. Nilai rasio yang baik untuk kemurnian DNA terhadap protein adalah 1.82.0 (Kundu et al. 2011), sedangkan nilai rasio yang baik untuk kemurnian DNA
terhadap polisakarida dan fenol adalah 1.5-2.1 (Kheyrodin and Ghazyinian 2012).
Contoh meniran dari isolasi DNA metode Doyle dan Doyle (1990)
menunjukkan nilai konsentrasi yang berkisar antara 33.3 ng µL-1 hingga 284.3 ng
µL-1. Konsentrasi DNA tertinggi tersebut adalah contoh meniran hijau asal
Darmaga ulangan 1 (DH1) dan yang terendah adalah contoh meniran merah asal
Bantarjati (BtM). Kemurnian DNA terhadap protein dari contoh meniran ini
berkisar antara 1.28 hingga 1.62, sedangkan kemurnian DNA terhadap
polisakarida dan fenol berkisar antara -9.84 hingga 2.88. Nilai kemurnian terhadap
protein dan polisakarida juga fenol ini semuanya masih di luar rentang yang baik.
Kemurnian meniran hijau dan meniran merah yang cukup baik di antara contoh
lainnya pada metode ini adalah contoh asal Darmaga, yaitu DH2 dan DM (Tabel 1).
Contoh kapulaga lokal dari isolasi DNA metode Doyle dan Doyle (1990)
menunjukkan nilai konsentrasi yang berkisar antara 59.4 ng µL-1 hingga 131.6 ng
µL-1. Konsentrasi DNA kapulaga putih tertinggi terdapat pada contoh KP2, yaitu
131.6 ng µL-1. Konsentrasi DNA kapulaga merah tertinggi terdapat pada contoh
KM2, yaitu 107.3 ng µL-1. Kemurnian DNA terhadap protein dari contoh kapulaga
ini berkisar antara 2.08 hingga 2.30, sedangkan kemurnian DNA terhadap
polisakarida dan fenol berkisar antara 1.43 hingga 2.75. Nilai kemurnian terhadap
protein ini semuanya masih di atas rentang yang baik, tetapi tidak terlalu jauh.
Nilai kemurnian terhadap polisakarida dan fenol hampir semuanya masuk dalam
rentang yang baik, hanya KP1 dan KM3 yang sedikit di luar rentang (Tabel 1).
Tabel 1 Data uji kuantitatif DNA hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan
Doyle (1990)
Contoh
DH1
DH2
BtH
DM
BtM
KP 1
KP 2
KP 3
KM 1
KM 2
KM 3

Konsentrasi DNA
(ng µL-1)
284.3
219.3
215.7
78.1
33.3
65.8
131.6
69.3
59.4
107.3
60.9

A260
5.685
4.386
4.313
1.561
0.667
1.316
2.631
1.386
1.188
2.147
1.218

A280
3.836
2.868
3.361
0.964
0.436
0.595
1.264
0.650
0.546
1.011
0.530

A(260/280)

A(260/230)

1.48
1.53
1.28
1.62
1.53
2.21
2.08
2.13
2.18
2.12
2.30

1.11
1.45
0.87
2.88
-9.84
2.75
2.11
1.93
1.80
1.80
1.43

8
Contoh meniran hasil isolasi DNA metode Doyle dan Doyle (1987)
menunjukkan nilai konsentrasi 210 ng µL-1-470 ng µL-1. Kemurnian DNA
terhadap protein dari contoh meniran ini berkisar antara 1.00 hingga 1.62,
sedangkan kemurnian DNA terhadap polisakarida dan fenol berkisar antara 0.47
hingga 1.15. Nilai kemurnian ini masih di bawah rentang yang baik (Tabel 2).
Hasil kualitatif dan kuantitatif DNA meniran dan kapulaga yang dilakukan
dapat dilakukan skoring atau penilaian terhadap kualitasnya (Tabel 3). Kualitas
DNA diukur dari intensitas pita yang muncul pada hasil kualitatif DNA,
sedangkan pada hasil kuantitatif DNA diukur dari kombinasi nilai konsentrasi dan
kemurnian DNA. Skoring tersebut menunjukkan secara umum bahwa kualitas
DNA contoh kapulaga lebih baik dibandingkan contoh meniran. Adapun contoh
DNA meniran yang diisolasi dengan metode Doyle dan Doyle (1990) lebih baik
dibandingkan isolasi metode Doyle dan Doyle (1987).
Tabel 2 Data uji kuantitatif DNA meniran hasil isolasi modifikasi metode Doyle
dan Doyle (1987)
Konsentrasi DNA
(ng µL-1)
210.0
470.0
230.0

Contoh
DH
BtM1
BtM2

A 260
0.021
0.047
0.023

A 280 A 230
0.013
0.036
0.023

A260/280

0.045
0.058
0.020

A260/230

1.62
1.31
1.00

0.47
0.81
1.15

Tabel 3 Skoring kualitas DNA meniran dan kapulaga lokal
Skoring
Contoh

Modifikasi Metode
Isolasi DNA Doyle
dan Doyle (Tahun)

DH
BtM1
BtM2
DH1
DH2
BtH
DM
BtM
KP1
KP2
KP3
KM1
KM2
KM3
Keterangan:

Kualitatif
DNA

1987
1987
1987
1990
1990
1990
1990
1990
1990
1990
1990
1990
1990
1990
a
Skoring kualitatif DNA

b

Skoring kuantitatif DNA

Kuantitatif
DNA

3
3
3
6
5
4
4
2
1
7
4
4
5
5
6-7
4-5
3
1-2
10-12
7-9
4-6
1-3

Total

Total/
jenis
contoh
dan
metode

7
10
8
11
31
7
10
8
14
9
14
6
10
55
7
11
4
6
7
8
9
16
9
13
79
9
13
10
15
9
14
= intensitas pita tinggi
= intensitas pita cukup tinggi
= intensitas pita kurang tinggi
= intensitas pita rendah
= kualitas DNA baik
= kualitas DNA cukup baik
= kualitas DNA kurang baik
= kualitas DNA tidak baik

Ratarata

10.3

11.0

13.2

9
Kondisi Optimum RAPD-PCR
Contoh meniran dari kedua isolasi DNA yang digunakan tidak dilanjutkan
untuk dilakukan PCR. Hal tersebut dikarenakan dari hasil optimasi kedua program
PCR yang dilakukan tidak ada DNA meniran yang teramplifikasi. Contoh
kapulaga dapat dilanjutkan untuk PCR karena dari optimasi program pertama
berhasil teramplifikasi (Tabel 4). Adapun kondisi optimum program PCR untuk
seleksi primer adalah program kedua, hal ini dilihat dari pita-pita DNA yang
terpisah lebih baik dibandingkan program PCR pertama (Gambar 2).
Tabel 4 Hasil optimasi amplifikasi DNA
Contoh

Primer

Amplifikasi DNA
Program 1

OPD-3
OPD-5
OPD-7
OPE-19
Tomat
OPE-19

Kapulaga merah
OPD-11

OPE-19

Meniran hijau
OPE-19
OPH-5
Meniran merah 1
OPE-19
OPH-5
Meniran merah 2
OPE-19
OPH-5
Anggrek putih 1
OPH-5
Anggrek putih 2
OPH-5
Keterangan : √ = DNA teramplifikasi; - = DNA tidak teramplifikasi

Program 2

Meniran hijau




(a)
(b)
Gambar 2 Elektroforegram hasil optimasi RAPD-PCR
(a) Optimasi pertama: L1 = DH1, primer OPD-3; L2 = DH1, primer
OPD-7; L3 = DH1, primer OPD-5; L4 = DH1, primer OPE-19; K+ =
Kontrol positif (tomat); L5 = KM2, primer OPD-11; L6 = KM2,
primer OPE-19; M1 = Marker 1 kb
(b) Optimasi kedua: L1 = Anggrek 1, primer OPH-5; L2 = Anggrek
2, primer OPH-5; M2 = Marker 100 bp; L3 = DH, primer OPE-19;
L4 = DH, primer OPH-5; L5 = BtM1, primer OPE-19; L6 = BtM1,
primer OPH-5; L7 = BtM2, primer OPE-19; L8 = BtM2, primer
OPH-5; M2 = Marker 100 bp

10
Primer RAPD-PCR
Contoh DNA meniran tidak dilanjutkan untuk diamplifikasi dengan RAPDPCR, hanya contoh kapulaga lokal yang diamplifikasi. Kapulaga lokal yang
diamplifikasi adalah contoh KM2 dan KP2. Program PCR yang digunakan dalam
teknik RAPD ini berdasarkan metode Yu dan Paul (1994). Primer RAPD yang
diseleksi pada kedua contoh adalah OPA-OPD 11-15 dari Operon Technologies.
Jumlah primer yang dapat mengamplifikasi DNA di antara kedua contoh ini
adalah 15 dari 20. Kelimabelas primer yang berhasil mengamplifikasi DNA ini
juga menunjukkan adanya polimorfisme di antara kedua contoh (Tabel 5). Jumlah
pita DNA yang muncul pada keseluruhan contoh adalah 182 dengan jumlah lokus
polimorfik adalah 164 dan jumlah lokus monomorfik adalah 18. Jumlah pita yang
muncul pada KM2 adalah 105, sedangkan pada KP2 adalah 95 (Tabel 6). Pita-pita
DNA yang muncul ini menunjukkan pola pita berbeda pada tiap primer di antara
kedua contoh (Gambar 3).
Tabel 5 Seleksi primer RAPD-PCR

Seleksi primer
Primer yang digunakan
Primer yang mengamplifikasi

Meniran
×

Primer yang menunjukkan
polimorfisme

Contoh
Kapulaga

OPA-OPD 11-15
OPA 11-15; OPB 12, 14, 15;
OPC 11-15; OPD 11,13
OPA 11-15; OPB 12, 14, 15;
OPC 11-15; OPD 11,13

Tabel 6 Data jumlah amplikon kapulaga lokal
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Total

Primer
OPA-11
OPA-12
OPA-13
OPA-14
OPA-15
OPB-11*
OPB-12
OPB-13*
OPB-14
OPB-15
OPC-11
OPC-12
OPC-13
OPC-14
OPC-15
OPD-11
OPD-12*
OPD-13
OPD-14*
OPD-15*

Urutan basa
nukleotida (5'-3')
CAATCGCCGT
TCGGCGATAG
CAGCACCCAC
TCTGTGCTGG
TTCCGAACCC
GTAGACCCGT
CCTTGACGCA
TTCCCCCGCT
TCCGCTCTGG
GGAGGGTGTT
AAAGCTGCGG
TGTCATCCCC
AAGCCTCGTC
TGCGTGCTTG
GACGGATCAG
AGCGCCATTG
CACCGTATCC
GGGGTGACGA
CTTCCCCAAG
CATCCGTGCT

Jumlah lokus yang muncul

KM2
7
8
6
6
5
0
5
0
9
7
13
5
9
0
8
7
0
10
0
0
105

Keterangan: *Primer yang tidak dapat mengamplifikasi kedua sampel

KP2
10
7
9
5
3
0
9
0
8
7
6
8
3
5
11
4
0
0
0
0
95

11

3000 bp
2000 bp
1500 bp
1200 bp
1100 bp
1000 bp
500 bp
100 bp
Gambar 3

Elektroforegram hasil RAPD-PCR kapulaga lokal
a)
Lajur 1, 3, 5, 7, 9, 11= contoh KM2; Lajur 2, 4, 6, 8, 10, 12=
contoh KP2
b)
L1-2 = primer OPB-15; L3-4 = OPA-11; L5-6 = OPA-12; L7-8 =
OPA-13; L9-10 = OPA-14; L11-12 = OPA-15; M = Marker 100 bp
Pembahasan

Isolasi DNA genom telah dilakukan terhadap contoh meniran dengan
menggunakan metode Doyle dan Doyle (1990) dan Doyle dan Doyle (1987)
termodifikasi, sedangkan DNA contoh kapulaga lokal hanya diisolasi dengan
menggunakan metode Doyle dan Doyle (1990) termodifikasi. Isolasi DNA
menggunakan metode Doyle dan Doyle (1990) ini diacu pada penelitian Rout dan
Aparajita (2010) terhadap beberapa contoh Phyllanthus sp. asal India. Modifikasi
yang dilakukan pada penelitian ini adalah dalam bentuk preparasi yang kecil
(miniprep) dan jumlah contoh yang digunakan menjadi 10× lipatnya. Adapun
metode isolasi DNA meniran dengan metode Doyle dan Doyle (1987) yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Porebski et al. (1997)
terhadap stroberi. Modifikasi yang dilakukan terhadap metode ini adalah tidak
digunakannya β-merkaptoetanol dalam bufer ekstraksinya dan jumlah contoh
yang lebih sedikit.
Keberhasilan isolasi DNA yang dilakukan dilihat melalui dua parameter,
yaitu uji kualitatif DNA dan uji kuantitatif DNA. Uji kualitatif DNA
menggunakan elektroforesis gel agarosa 1.5%, sedangkan uji kuantitatif DNA
menggunakan metode spektrofotometri. DNA genom contoh yang berhasil
diisolasi selanjutnya akan diamplifikasi menggunakan teknik RAPD-PCR. Hasil
PCR dilihat menggunakan elektroforesis gel agarosa 1.5%. DNA yang berhasil
teramplifikasi akan memunculkan pita pada gel agarosa yang telah mengandung
EtBr dengan adanya visualisasi dari sinar UV.
Kualitas DNA Genom Meniran dan Kapulaga Lokal
Kualitas DNA genom meniran dan kapulaga lokal hasil isolasi dilihat
dengan dua parameter, yaitu uji kualitatif menggunakan gel elektroforesis dan uji

12
kuantitatif dengan metode spektrofotometri. Kualitas DNA yang terlihat dari dua
parameter uji tersebut tentu berkaitan erat dengan proses isolasi DNA yang
dilakukan. Pita DNA yang terlihat pada gel agarosa menunjukkan intensitas yang
berbeda tiap contohnya dan konsentrasi DNA yang diperoleh juga berbeda-beda.
Umumnya, konsentrasi DNA genom yang tinggi akan menghasilkan intensitas
pita yang tinggi. Hal yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya konsentrasi DNA
ini yaitu kandungan senyawa yang terdapat pada contoh, prosedur ekstraksi, dan
metode pengendapan atau presipitasi DNA (Chen et al. 2010).
DNA genom meniran hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan Doyle
(1990) umumnya menunjukkan pita pada gel elektroforesis lebih baik
dibandingkan metode modifikasi Doyle dan Doyle (1987). Hal ini dapat
disebabkan oleh jumlah contoh yang digunakan pada modifikasi metode Doyle
dan Doyle (1990) lebih banyak dibandingkan modifikasi metode Doyle dan Doyle
(1987). Namun, kapulaga lokal terlihat masih lebih baik intensitas pitanya
dibandingkan contoh meniran (Gambar 1; Tabel 3). Hal ini dapat disebabkan
contoh meniran yang diambil langsung di alamnya sudah memasuki fase generatif
(tumbuhan dewasa), sehingga tinggi kandungan metabolit sekunder seperti
polifenol yang mencakup lignan dan flavonoid. Polifenol ini terutama berasal dari
filantin dan hipofilantin yang termasuk senyawa lignan (Oktavidiati 2012).
Pita DNA seluruh contoh yang dihasilkan masih memiliki smear pada
bagian bawah. Bentuk pita DNA yang dihasilkan berupa “fire type”. Hal ini
menunjukkan adanya kontaminan polisakarida serta fenolik yang terbawa saat
isolasi (Pharmawati 2009). Namun, pita yang dihasilkan berjumlah 1 buah. Hal ini
menandakan DNA yang dihasilkan cukup baik.
Kualitas DNA meniran hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan Doyle
(1990) dilihat dari nilai konsentrasi dan kemurniannya menunjukkan nilai yang
lebih baik dibandingkan hasil isolasi modifikasi metode Doyle dan Doyle (1987).
Namun, kualitas DNA meniran dari kedua metode tersebut tidak berbeda jauh.
Nilai konsentrasi DNA pada kedua metode ini menunjukkan angka yang termasuk
tinggi, tetapi kemurniannya masih di luar rentang yang baik. Namun untuk
analisis molekuler selanjutnya dengan RAPD, kemurnian DNA yang tinggi tidak
begitu mempengaruhi. Hal ini disebabkan RAPD toleran terhadap tingkat
kemurnian DNA (Prana dan Hartati 2003). Oleh karena itu, DNA meniran yang
berhasil diisolasi tersebut diharapkan dapat teramplifikasi pada teknik RAPD.
Konsentrasi DNA kapulaga putih memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan kapulaga merah. Kemurnian DNA kedua jenis kapulaga lokal ini
terhadap protein masih di atas rentang yang baik, tetapi tidak jauh. Kemurniannya
terhadap polisakarida dan fenol sebagian besar masuk dalam rentang yang baik
(Tabel 1). Kualitas DNA kapulaga lokal ini lebih lebih baik dibandingkan meniran
secara umum (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas DNA hasil isolasi
dipengaruhi oleh jenis tanaman dan kandungan senyawa dalam tanaman tersebut
(Pharmawati 2009).
Isolasi DNA meniran dan kapulaga lokal dengan modifikasi metode Doyle
dan Doyle (1990 dan 1987) menggunakan bufer ekstraksi CTAB. Proses isolasi
DNA diawali dengan penggerusan daun (contoh) dengan nitrogen cair pada
modifikasi metode Doyle dan Doyle (1990) yang selanjutnya ditambahkan bufer
ekstraksi, sedangkan penggerusan pada isolasi DNA meniran dengan modifikasi
metode Doyle dan Doyle (1987) menggunakan PVP sekaligus bufer ekstraksi.

13
Penggerusan dengan nitrogen cair dimaksudkan untuk memudahkan lisis sel
dan menghasilkan gerusan yang halus, sehingga diharapkan akan diperoleh
konsentrasi DNA yang lebih tinggi. Nitrogen cair yang bersuhu sekitar -196 oC ini
juga berfungsi mengurangi kerusakan DNA dengan menginaktifkan enzim seluler
dan bahan kimia berbahaya (Arif et al. 2010). Nitrogen cair yang diganti dengan
PVP pada modifikasi metode Doyle dan Doyle (1987) berdasarkan penelitian
Porebski et al. (1997) ini berfungsi untuk mencegah kerusakan DNA akibat
oksidasi dan menarik senyawa fenolik pada daun (Padmalatha dan Prasad 2006).
Penggunaan PVP diharapkan dapat memperoleh DNA yang lebih tinggi
pada contoh meniran yang diketahui mengandung senyawa fenolik tinggi. Namun,
konsentrasi dan kemurnian DNA pada metode ini tidak memiliki perbedaan
berarti dengan metode penggerusan menggunakan nitrogen cair. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya β-merkaptoetanol dalam bufer ekstraksi metode Doyle
dan Doyle (1990) yang fungsinya selaras dengan PVP (Prana dan Hartati 2003).
Presipitasi DNA dilakukan dengan menambahkan isopropanol atau etanol
absolut. Presipitasi dengan isopropanol dilakukan pada metode isolasi DNA
Doyle dan Doyle (1990) dan etanol absolut dilakukan pada isolasi DNA meniran
dengan metode Doyle dan Doyle (1987). Isopropanol lebih sulit menguap
dibanding etanol absolut, sehingga lebih sulit juga untuk dihilangkan.
Pencuciannya dengan etanol 70% menjadi penting untuk dilakukan. Adapun
etanol absolut dibutuhkan dalam volume yang lebih banyak untuk presipitasi
DNA dibandingkan dengan isopropanol (Green and Sambrook 2012). Presipitasi
DNA dengan kedua larutan ini menghasilkan konsentrasi dan kemurnian DNA
yang tidak berarti perbedaannya, sehingga keduanya baik digunakan. Hal yang
harus diperhatikan hanya jumlah yang ditambahkan dan pencuciannya dengan
etanol 70%.
Pelet DNA dari isolasi metode Doyle dan Doyle (1990) yang diperoleh
kemudian langsung dilarutkan dengan bufer TE pH 8.0, sedangkan pelet DNA
dari isolasi metode Doyle dan Doyle (1987) dilarutkan dengan akuabides.
Resuspensi dengan bufer TE tersebut diharapkan dapat menjaga kualitas DNA
tetap baik karena kondisi pH yang terjaga konstan. Namun, resuspensi dengan
bufer TE dapat menyebabkan masalah saat proses PCR karena EDTA yang
terkandung dapat mengkelat MgCl2 yang merupakan kofaktor Taq DNA
polimerase untuk memulai perpanjangan rantai. Hal tersebut bisa dihindari dengan
konsentrasi EDTA yang kecil pada bufer (dalam penelitian ini adalah 0.1 mM).
Contoh DNA teresuspensi tersebut kemudian disimpan pada -20 oC sebagai stok
DNA. Kedua metode isolasi DNA ini menunjukkan hasil kualitas DNA yang tidak
berbeda jauh dilihat dari elektroforesis gel agarosa dan konsentrasi serta
kemurnian DNA-nya (Tabel 3), sehingga keduanya baik digunakan untuk analisis
menggunakan RAPD-PCR.
Kondisi Optimum RAPD-PCR
Konsentrasi DNA keseluruhan contoh yang telah diketahui selanjutnya
dapat diamplifikasi dengan teknik RAPD-PCR. Konsentrasi DNA meniran dari
metode isolasi Doyle dan Doyle (1990) dan Doyle dan Doyle (1987) yang
memiliki rentang 78.1-284.3 ng µL-1 dan 210-470 ng µL-1 sudah cukup untuk
dilakukan proses amplifikasi. Konsentrasi DNA contoh kapulaga lokal dalam
rentang 59.4-131.6 ng µL-1 juga sudah dapat dilakukan amplifikasi. Hal tersebut
seperti yang direkomendasikan oleh Kumar dan Gurusubramanian dalam

14
penelitiannya (2011) bahwa konsentrasi DNA 50 ng L-1 sudah dapat dilakukan
untuk analisis dalam RAPD-PCR.
Kelebihan teknik RAPD salah satunya adalah tingkat kemurnian DNA
yang dibutuhkan tidak perlu terlalu tinggi atau dengan kata lain teknik RAPD
toleran terhadap tingkat kemurnian DNA (Prana dan Hartati 2003). Kemurnian
DNA (A260/A280) hasil isolasi metode Doyle dan Doyle (1990) contoh meniran
dan kapulaga lokal yang berada pada rentang nilai 1.28-1.62 dan 2.30-2.08 sudah
cukup untuk proses amplifikasi. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa
kemurnian DNA meniran (A260/A280) hasil isolasi metode Doyle dan Doyle
(1987) yang berada pada rentang 1.00-1.62 sudah cukup untuk dilakukan
amplifikasi. DNA yang digunakan dalam penelitian ini untuk tiap jenis contohnya
diambil satu untuk proses amplifikasi yang mengacu pada beberapa hal tersebut,
yaitu DH1 dan DM serta KP2 dan KM2 (Doyle dan Doyle 1990). Namun, contoh
meniran yang digunakan dalam tahap optimasi RAPD-PCR hanya DH1 (Gambar
2). Adapun untuk contoh meniran hasil isolasi DNA metode Doyle dan Doyle
(1987) yang berjumlah tiga semuanya diamplifikasi dalam tahap optimasi RAPDPCR dengan primer universal (Gambar 2).
Teknik RAPD-PCR menggunakan primer acak dari Operon Technologies
yang terdiri atas 10 nukleotida dengan urutan basa (sekuens) tertentu (Tabel 6).
Primer yang menempel pada lokus berbeda akan mengamplifikasi sekuens secara
acak dari cetakan DNA yang komplementer atau dapat terjadi dengan jumlah
ketidaksesuaian yang kecil. DNA genom (contoh) akan menjadi cetakan DNA
untuk penempelan primer. Primer secara acak akan menempel pada sekuen DNA
genom yang komplementer sehingga akan diperpanjang oleh Taq polimerase dan
teramplifikasi membentuk suatu pola (Xu 2010).
Produk RAPD salah satunya dipengaruhi oleh kondisi siklus termal yang
digunakan. Perbedaan optimasi pertama (Williams et al. 1990) dan kedua (Yu dan
Paul 1994) terletak pada suhu denaturasi DNA, waktu tiap proses PCR (denaturasi,
penempelan primer, perpanjangan rantai), dan jumlah siklus termal. Optimasi
pertama menggunakan suhu denaturasi DNA sebesar 92 oC, sedangkan optimasi
kedua menggunakan suhu 94 oC. Kedua suhu denaturasi tersebut umum dipakai
pada PCR untuk mendapatkan pita-pita DNA yang terpisah baik (Bartlett and
Stirling 2003). Waktu tiap proses PCR pada optimasi pertama lebih panjang
dibandingkan optimasi kedua. Jumlah siklus termal optimasi pertama adalah 44
dan ada 1 siklus adaptasi terlebih dahulu, sedangkan jumlah siklus termal optimasi
kedua adalah 45.
Pita-pita DNA yang dihasilkan oleh optimasi PCR pertama tampak tidak
terpisah baik dibandingkan optimasi kedua. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu
denaturasi pada optimasi pertama yang lebih rendah. Suhu yang lebih tinggi
dengan waktu yang lebih singkat pada optimasi kedua menunjukkan proses
denaturasi DNA yang lengkap. Proses PCR yang membutuhkan waktu lebih
singkat pada optimasi kedua dibandingkan pertama menjadi kelebihan tersendiri
dari segi efisiensi, walaupun jumlah siklusnya lebih banyak. Namun, perbedaan
jumlah siklus termal tersebut dapat diabaikan karena optimasi pertama diawali
dengan 1 siklus adaptasi dengan waktu yang lebih panjang dibanding siklus PCRnya. Adaptasi dirasa perlu dilakukan karena contoh berasal dari DNA genom
berbobot molekul tinggi untuk memastikan primer menempel pada cetakan DNA
dengan baik hingga rantainya dapat diperpanjang.

15
Faktor penting dari siklus termal PCR adalah suhu penempelalan primer.
Kedua optimasi PCR yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan suhu
penempelan primer sebesar 35 oC dengan %GC primer 60-70. Suhu tersebut
direkomendasikan oleh Operon Technologies selaku produsen primer yang
digunakan.
Optimasi program PCR pertama diperoleh bahwa contoh meniran hijau
(DH1) dari isolasi modifikasi metode Doyle dan Doyle (1990) menggunakan tiga
primer acak (OPD-3, OPD-5, OPD-7) dan satu primer universal (OPE-19) tidak
menunjukkan adanya DNA yang teramplifikasi. Contoh DNA kapulaga yang
digunakan dalam optimasi ini adalah kapulaga merah (KM2) dengan primer OPD11 dan OPE-19. Hasilnya menunjukkan DNA teramplifikasi pada kedua primer
yang digunakan, walaupun pita-pita yang muncul tidak terpisah dengan baik.
Kontrol positif berupa DNA tomat juga teramplifikasi dengan pita-pita DNA yang
tidak terpisah cukup baik (Gambar 2; Tabel 4).
Optimasi program PCR kedua yang digunakan hanya diuji terhadap
contoh meniran dari isolasi DNA modifikasi metode Doyle dan Doyle (1987).
Hasilnya menunjukkan dari keseluruhan contoh (meniran hijau dan meniran
merah) masih tidak ada DNA yang teramplifikasi menggunakan dua primer
universal (OPE-19 dan OPH-5). Pembanding untuk optimasi kedua ini adalah
anggrek putih hasil kultur jaringan menggunakan metode isolasi DNA yang sama.
DNA anggrek tersebut berhasil teramplifikasi semua dengan penggunaan primer
OPH-5 dengan pita-pita DNA yang terpisah cukup baik (Gambar 2; Tabel 4).
Contoh DNA meniran yang belum berhasil teramplifikasi pada teknik RAPDPCR yang digunakan diduga karena contoh sudah memasuki fase generatif.
Isolasi DNA meniran baiknya dicoba dengan usia tanaman yang masih
sangat muda, yaitu sekitar dua hari atau muncul dua daun pertama. Hal ini
dikarenakan fase generatif meniran yang cepat (diperkirakan sekitar seminggu)
membuatnya telah banyak mengandung metabolit sekunder pada contoh.
Metabolit sekunder pada meniran umumnya tinggi fenolik, sehingga dapat
menghambat proses PCR (Yudiansyah Desember 2013, komunikasi pribadi).
Primer RAPD-PCR
Contoh DNA kapulaga lokal dengan rata-rata skoring kualitas 13.2 dapat
dianalisis dengan RAPD-PCR, sedangkan kualitas DNA meniran yang didapat
dengan rata-rata skoring 10.3 (Doyle dan Doyle 1987) dan 11.0 (Doyle dan Doyle
1990) tidak dapat dilanjutkan untuk analisis RAPD-PCR. Contoh meniran ini
tidak berhasil teramplifikasi dengan kedua program PCR yang digunakan pada
optimasi. Seleksi primer RAPD-PCR oleh sebab itu hanya dilakukan pada contoh
kapulaga lokal.
Optimasi PCR untuk contoh meniran perlu dilakukan kembali. Optimasi
isolasi DNA meniran juga perlu dilakukan hingga didapat DNA dengan
konsentrasi tinggi dan kemurnian baik agar dapat teramplifikasi dengan teknik
RAPD-PCR. Hal ini terutama karena meniran merupakan tumbuhan yang tinggi
metabolit sekunder, walaupun RAPD-PCR toleran terhadap kemurnian DNA yang
tidak tinggi. Faktor lainnya yang menjadi penting adalah usia tumbuhan saat
pengambilan contoh. Daun meniran untuk tahap isolasi DNA baiknya berumur
muda, yaitu saat tahap pembelahan yang belum masuk fase generatif. Hal ini
dapat dicoba dengan mengisolasi DNA dari dua daun pertama yang muncul
(Yudiansyah Desember 2013, komunikasi pribadi).

16
Hasil seleksi primer RAPD-PCR dari 20 primer yang digunakan (OPA-OPD
11-15) terhadap contoh kapulaga lokal menunjukkan DNA contoh teramplifikasi
pada 15 primer (Tabel 6). Polimorfisme ditunjukkan juga oleh kelimabelas primer
tersebut. Polimorfisme merupakan adanya lokus atau amplikon (pita yang
muncul) berukuran tidak sama antar contoh pada satu primer. Pita yang muncul
ini selain bersifat polimorfik ada yang bersifat monomorfik, yaitu adanya lokus
dengan ukuran sama pada seluruh contoh yang dianalisis (Berdakci 2001).
Lokus merupakan lokasi spesifik suatu gen yang berada di sepanjang
kromosom. Jumlah lokus yang muncul pada semua contoh adalah 182 dengan
lokus polimorfik sebanyak 164 dan lokus monomorfik sebanyak 18. Kapulaga
merah menunjukkan jumlah lokus yang lebih banyak dibandingkan kapulaga
putih, yaitu sebanyak 105 lokus dibandingkan kapulaga putih yang jumlah
lokusnya 95. Lokus terbanyak muncul di primer OPC-15, yaitu sebanyak 17
dengan lokus polimorfik sebanyak 12 (Lampiran 1). Perbedaan jumlah lokus yang
dihasilkan dipengaruhi oleh sekuen primer yang digunakan. Suatu primer dapat
mengamplifikasi DNA cetakan bila terdapat ruas yang komplemen. Semakin
banyak ruas DNA cetakan yang bersifat komplemen dengan sekuen primer, maka
hasil amplifikasi akan menunjukkan jumlah pita yang semakin banyak (Semagn et
al. 2006).
Seluruh primer yang berhasil mengamplifikasi DNA umumnya
menunjukkan pola amplikon berbeda (Gambar 3; Lampiran 2). Namun, pola
amplikon berbeda yang cukup tinggi dan pita-pita yang dihasilkan tegas dibanding
lainnya terdapat pada primer seri OPA 11-15. Selain itu, primer yang banyak
menghasilkan amplikon dan menunjukkan pola pita berbeda yang cukup tinggi
adalah OPC-17 dan OPB-14. Primer-primer tersebut dapat digunakan untuk
analisis lebih lanjutnya, yaitu keragaman genetik terhadap beberapa aksesi contoh
kapulaga lokal. Informasi keragaman genetik dari dua macam kapulaga lokal ini
dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan bibit unggul, khususnya pada
pemanfaatannya sebagai obat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil isolasi DNA meniran dengan dua metode yang digunakan, Doyle dan
Doyle (1990 dan 1987) menunjukkan kualitas DNA yang cukup baik, yaitu
dengan rata-rata skoring sebesar 10.3 dan 11.0. Optimasi RAPD-PCR untuk
contoh meniran (Phyllanthus sp.) tersebut belum dihasilkan DNA yang
teramplifikasi. Hasil isolasi DNA kapulaga lokal merah dan putih (Amomum
cardamomum) dari metode Doyle dan Doyle (1990) menunjukkan kualitas DNA
yang baik dengan rata-rata skoring 13.2 dapat teramplifikasi dengan RAPD-PCR.
Primer acak RAPD-PCR OPA-OPD 11-15 berhasil mengamplifikasi DNA
cetakan kapulaga lokal merah dan putih pada 15 primer. Pita yang dihasilkan dari
setiap satu primer di antara dua contoh kapulaga lokal ini menunjukkan pola yang
berbeda. Perbedaan pola pita berbeda yang cukup tinggi dibandingkan primer
lainnya adalah OPA 11-15, OPC-7, dan OPB-14.

17
Saran
Contoh DNA meniran yang belum dapat teramplifikasi pada RAPD-PCR
disarankan isolasinya dioptimasi kembali untuk mendapatkan kualitas yang lebih
baik. Contoh meniran ini sebaiknya diambil dari daun muda, yaitu pada tahap
pembelahan yang belum sampai fase generatif. Penanamannya disarankan pada
petri dish dengan media kertas saring yang dibuat cukup basah atau lembab.
Isolasi DNA meniran ini disarankan juga untuk dicoba pada bagian tanaman
lainnya, seperti akar. Seleksi primer acak RAPD lainnya untuk contoh kapulaga
lokal juga dapat dilakukan untuk menampilkan perbedaan pola pita DNA dan
polimorfisme yang lebih beragam lagi. Adapun primer OPA 11-15, OPC-7, dan
OPB-14 dapat digunakan untuk analisis lebih lanjutnya, yaitu keragaman genetik
terhadap beberapa aksesi contoh kapulaga lokal dan dilengkapi dengan analisis
kandungan senyawa kimianya.

DAFTAR PUSTAKA
Arif IA, Bakir MA, Khan HA, Ahamea A, Al Farhan AH, Al Homaidan AA, Al
Sadoon M, Bahkali AH, Shobrak M. 2010. A simple method for DNA
extraction from mature date palm leaves: impact of sand grinding and
composition of lysis buffer. Int J Mol Sci. 11 (9): 3149-3157.
Babu KN, Jayakumar VN, Divakaran M, Venugopal MN, Sudarsh MR,
Radhakrishnan VV, Backiyarani S, Narayanaswami M, Peter KV,
Parthasarathy VA. 2012. Genetic diversity and phylogenetic relationship
among small cardamom (Elettaria cardamomum Maton.) cultivars and
related genera using DNA markers. IJIH. 1 (1): 47-56.
Bartlett JMS, Stirling D. 2003. PCR Protocols. 2nd Ed. New York (US): Humana
Press.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006.
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume II. Jakarta: BPOM
RI.
Berdakci F. 2001. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) m

Dokumen yang terkait

Analisis Cemaran Daging Babi Pada Kornet Sapi di Wilayah Ciputat dengan Menggunakan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

3 16 72

Pengaruh Tingkat Kesegaran dan Ukuran Bahan Serta Lama Penyulingan Terhadap Mutu dan Rendemen Minyak Kapulaga Lokal (Amomum cardamomum Willd.)

3 31 316

Pengaruh Lama Penyulingan dan Kondisi Bahan Pada Proses Penyulingan Terhadap Rendemen dan Karataristik Mutu Minuam Kapulaga Lokal (Amomum cardamomum) dan Kapulaga Sabrang (EllletariacCardamomum)

0 4 13

Kajian Pengering Surya Efek Rumah Kaca (ERK)-Hybrid Dengan Rak Berputar Secara Vertikal Untuk Pengeringan Kapulaga Lokal (Amomum cardamomum Willd)

0 10 178

Identifikasi Perbedaan Genetik dan Kandungan Senyawa Minyak Atsiri dari Kapulaga (Amomum cardamomum) Merah dan Putih

1 4 36

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BIJI KAPULAGA (Amomum cardamomum Auct non L) Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Biji Kapulaga (Amomum Cardamomum Auct Non L) Terhadap Waktu Renang Mencit Putih Jantan Galur Swiss Dan Profil Kromatografi Lapis Tipis.

5 10 11

PENGARUH PEMBERIAN INFUSA BIJI KAPULAGA (Amomum cardamomum Auct. Non L) TERHADAP Pengaruh Pemberian Infusa Biji Kapulaga (Amomum Cardamomum Auct. Non L) Terhadap Peningkatan Waktu Renang Mencit Putih Jantan Galur Swiss Beserta Profil Klt.

0 1 11

OPTIMASI ISOLASI DNA TANAMAN GAMBIR (uncaria gambir Roxb.) DAN SELEKSI PRIMER RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

0 3 6

KARAKTERISASI JAGUNG LOKAL NUSA TENGGARA TIMUR BERDASARKAN POLA PITA PROTEIN DAN PENANDA MOLEKULER RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

0 0 14

Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Minyak Atsiri Buah Kapulaga (Amomum Cardamomum L.) dari Boyolali dan Jember - Ubaya Repository

0 0 1