A. Pagi Hari: pk. 09.00 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati,
Kopi Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing- masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: pk. 12.00 1.
Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang
lainnya masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika pujawali piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan
banten Nganyarin dan umat sembahyang. Jika pujawali piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan
m. Upacāra Penyineban
1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa
Peasepan Daksina: Banten Umbul-umbul Mamas Penuntunan Banten Penuntun dewa
pemagpag Rantasan Cane Banten Pangiring Tedung Daksina Pralingga
Tempat Tirtha Tegen-tegenan Salaran Catatan: • Dari Rantasan sd Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina
Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha
Pralina untuk Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani
n. Upacāra Ngelemekin
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut- urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a Pengeresikan b Tirtha – Padma c Banten
Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a Pengeresikan b Tirtha – Padma c Bungkak Gading – Lis Senjata d Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian
atas e. Pengulapan: a Pengeresikan b Tirtha – Padma c Bungkak Bulan – Lis d Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Semua kegiatan a – e dimulai dari
Catatan: Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa
Karya mulai dari sudut Timur Laut SHRI, Tenggara AJI, Barat Daya RUDRA, Barat Laut KALA, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale
Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama
Mandala
Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat
diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar
11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh
o. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat
Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai
Yajamana tetapi tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang
tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak
kekurangannya, namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama - Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om
PENGERTIAN DAN FUNGSI PURA PARHYANGAN May 11, 08 3:48 AM
for everyone
Prof. I Made Titib Ph. D Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
“Para dewa tidak hanya berkenaan untuk turun dan tinggal di Tìrtha Patìrthan, di tepi sungai, dan danau, tetapi juga di tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan
kuala muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempat-tempat
yang dirakhmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan” Tantra Samuccaya I.1.28 Pendahuluan Pura atau kahyangan dibangun di
tempat-tempat yang dianggap suci. Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini Tantra Samuccaya I.1.28, yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi
sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai yang di Bali disebut Campuhan, sedang di India disebut dengan nama Saògam yang mengandung makna sama,
yakni bertemunya dua sungai atau lebih. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-
pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Dengan memperhatikan kutipan di atas, maka tiada halangan untuk membangun sebuah pura atau
kahyangan di mana saja di tempat-tempat yang dipandang suci. Ada suatu yang unik, yakni tempat yang dipandang indah dan memiliki getaran spiritual yang tinggi adalah tempat yang
disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri‘ atau ‘sagara-giri adomukha‘, tempat bila di tepi pantai terlihat puncak-pucak gunung yang indah, sebaliknya bila berdiri di pegunungan,
tampak pantai-pantai dengan gulung-gemulungnya ombak yang memukau. Tempat-tempat yang disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri‘ ini hampir dijumpai di mana saja di seantero
Bali, karena pulau Bali tidak begitu luas dan ditengah-tengahnya membentang pegunungan vulkanik yang beberapa di antaranya masih aktif. Di samping itu, di pulau yang kecil ini
terdapat 4 buah danau yang besar dan kecil dan ratusan mata air yang jernih, yang menyegarkan dan mempesona siapa saja yang memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap
keindahan. Tidak mengherankan leluhur umat Hindu di Bali membangun pura di mana saja hampir di seluruh Bali dan Bernet Kempers, seofrang akhli purbakala memberi julukan pulau
yang kecil ini sebagai “Land of One Thousand Temples“,pulau dengan seribu pura 1977: 73. Di samping itu berbagai julukan telah diberikan kepada pulau yang memikat ini di antaranya
adalah: ————————- “The Last Paradise on Earth“sorga terakhir di bumi, “The Morning of the World” paginya dunia,”The Island of Gods“pulau dewata, “The Intresting
Peacefull Island” pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona. Kepopuleran pulau Bali bukanlah merupakan sesuatu yang baru, sebab sejak zaman purbakala pulau ini sudah dikenal
di manca negara. Keterangan tentang kemuliaan gunung Agung, yang di Bali disebut juga “To Langkir“yang menjulang tinggiatau di dalam bahasa Sanskåta disebut “Udaya Parvata”
gunung yang tinggi diyakini sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru yang pada zaman dahulu juga disebut Úiúira Parvata dan nama ini sudah diungkapkan di dalam susastra
Sanskåta Ràmàyaóa, pada bagian Kiûkióðha Kànda, karya agung àdikavi mahàrûi Vàlmìki, sebagai sthana para dewa Misra,1989: VI dan bila melihat peninggalan purbakala di daerah
Goa Gajah dan Gunung Kawi, di Kabupaten Gianyar, maka jelaslah pada zaman dahulu kehidupan keagamaan masyarakat Bali sudah sedemikian mantap. Pengertian Pura
Tuhan Yang Maha Esa dan para devatà bersthana di kahyangan atau svarga-loka, diiringi oleh para Úiddha, Vidyàdhara-Vidyàdharì. Demikian masing-masing devatà diyakini memiliki
Vàhana kendaraan berupa binatang-binatang mitos seperti lembu, singa, angsa, garuda dan lain-lain dan sthana-Nya yang abadi adalah kahyangan atau sorga yang tempatnya jauh di atas
angkasa, “vyomàntara”, yang oleh masyarakat Bali disebut “luhuring àkàúa“. Pada waktu- waktu upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang
Widhi dan para devatà serta para roh suci leluhur dimohon hadir turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang telah disediakan untuk-Nya yang disebut pura dengan aneka nama,
jenis serta fungsi dari bangunan palinggihnya. Pada upacara tertentu seperti karya agung “mamungkah“,”ngalinggihang“, “ngusabha” dan sebagainya, bagi para devatà yang tidak
memiliki sthana khusus di sebuah pura, dibuatkanlah sthana sementara untuk-Nya yang disebut “dangsil“, seperti meru yang sifatnya sementara terbuat dari bambu, memakai atap
janur atau daun aren.
Pura seperti halnya meru atau candi dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga kahyangan, seperti pula diungkapkan oleh
Dr. Soekmono 1974: 242 pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi
dalam kedudukan yang semestinya sebagai tempat pemujaanpura. Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan
secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang
memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat
berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat
pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk struktur, relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita
menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga parijata, dan lain-lain, juga
mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni seniman sorga, dan lain-lain.
Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian
Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang 1969: 26 memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber ajaran Hindu sejak kitab suci Veda sampai susastra Hindu
mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira, untuk itu kami kutipkan penjelasan tentang hal tersebut, di antaranya sebagai berikut:
Pràsàdaý yacchiva úaktyàtmakaý tacchaktyantaiá syàdvisudhàdyaistu tatvaiá, úaivì mùrtiá khalu devàlayàkhyetyasmàd dhyeyà prathamaý càbhipùjyà. Ìúànaúivagurudevapaddhati,
III.12.16.
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan KekuatanPrinsip Dasar dan segala Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì
sampai kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit materi Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya
Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara yang masih tetap hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni pada saat menjelang upacara piodalan di
India disebut abhiseka, para devatà dimohon turun ke bumi, di Bali disebut “nuntun atau nedunang Ida Bhaþþàra, di India disebut avahana, sampai upacara persembahyangan dan
mengembalikannya kembali ke kahyangan sthana-Nya yang abadi menunjukkan bahwa pura adalah replika dari kahyangan atau sorga.
Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi bhùrloka, jaba tengah adalah
bhuvaáloka dan jeroan adalah svaáloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara keseluruhan melambangkan saptaloka luhuring ambal-ambal dan saptapatala soring ambal-ambal
.
Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan tempat untuk membangun pura, dalam tradisi Bali termuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang
berbau harum, yang “gingsih“dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempoat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhaviûya Puràóa dan
Båhat Saýhità, yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sàgara-giri“, atau
“sàgara-giri adumukha“, tempatnya tentu sangat indah disamping vibbrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut.
Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat
sucitempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun
882 M Goris, 1964: 56.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan…………………… ……….sanghyang di Turuñan” yang artinya “tempat suci di Turunyan“. Demikian pula di
dalam prasasti Pura Kehen A tanpa tahun disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci
untuk dewa api dan tempat suci untuk dewa Tanda.
Prasasti-prasasti tersebut diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe “Yumu pakatahu” yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa. Pada
abad ke X masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dharma Udayana. Sejak itu prasasti -
prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan-kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur 1019-1042M
datanglah Mpu Ràjakåta yang menjabat Senapati i Kuturandari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah
mengajarkan membuat “parhyangan atau kahyangan dewa ” di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam
rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Mpu Kuturan mengajarkan membuat pura Sad Kahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan pura Caturlokapàla dan Kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar pura
Besakih dan mendirikan palinggih meru, gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing desa Pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara
pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan palinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam lontar
Devatàttwa.
Pada jaman Bali Kuna, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-isatana raja disebut karaton atau kadaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “……Úrì
Danawaràja akadatwan ing Balingkang……..”. Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti kotaatau
pasar, seperti kata wijayapuraartinya pasaran Wijaya
.
Pemerintahan dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nàgarakåtàgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit
diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan.
Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istanaraja bukan lagi disebut karatonmelainkan disebut pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripurayang berarti rumahnya
Gajah Mada, maka karaton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura.Karatonnya diGelgel disebut Suwecapuradan karatonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung di samping juga istilah kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan inilalu kata
pura yang berarti istana rajaatau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata puri.
Pada periode pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel 1460 - I 550 M datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan
menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham
keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke paham-paham keagamaan yang diajarkan olch Mpu Kuturan yakni: antara pemujaan dewa dengan pemujaan roh leluhur, sehingga dikenal adanya
pura untuk dewa dan pura untak roh suci leluhur yang sulit dibedakan secara fisikArdana, 1988:20.
Demikian pula bentuk-bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk dewa dan meru dan gedong untuk roh suci leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru,
misalnya ada meru untuk roh suci leluhur bertingkat 7 dan meru untuk dewa bertingkat 3. Hal ini secara fisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis
padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk padmàsanauntuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib
pemujaan dewa serta roh suci leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata puradigunakan di samping kata kahyanganatau parhyangandcngan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dengan
segala manifestasinya dan bhaþàra atau dewapitara yaitu roh suci leluhur. Kendatipun demikian namun kini masih dijumpai kata pura yang digunakan untuk menamai suatu kota
misainya Amlapura atau kota asem bentuk Sanskertanisasi dari karang asem .
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang
bcrasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang
maha besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode megalithikum,sebelum kcbudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undakyang diduga sebagai replika bentuk tiruan dari gunung,karena gunung itu dianggap
sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di
Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah,adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung Mahameru sebagai alam devatà yang melahirkan
konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu
upacara penyucian roh suci leluhurdapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama- sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah
Àtmàúiddhadevatà.
Lebih lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah-olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa
kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil
dan berkcmbang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara
bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya
antara lain tcrlihat pada konsepsi pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini
membcrikan salah satu pengcrtian bahwa Pura adalah simbul gunung Mahameru tempat pemujaan dcwa dan bhaþþàra.
Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhidewa dan bhaþàra, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya:
1. Pura yang berfungsi sebagai tcmpat untuk memuja Hyang Widhi, para devatà. 2. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhaþàra yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat pula pura yang berfungsi gandayaitu sclain untuk memuja Hyang Widhidewa juga
untuk memuja bhaþàra. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa sctelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan úiddhadevatàtelah
memasuki alam devatà dan disebut bhaþàra.
Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri kekhasan yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan
seperti: ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis garis kelahiran. Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal teritorial, ikatan pengakuan atas jasa seorang
guru suci Dang Guru, ikatan politik di masa yang silam antara lain berdasarkan kepentingan penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis
antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan geneologis adalah atas dasar garis
kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut Titib, 2003: 96-100, maka terdapat beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya adalah
sebagai berikut.
1 Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya dewa. Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu,
sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura-pura yang tcrgolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah pura Besakih, pura Batur, pura Caturlokapàla dan pura Sadkahyangan. Pura
lainnya yang juga tergolong pura umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang pandita guru suci atau Dang Guru.
Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang
disebut åûiåóa. Pura pura tersebut ini tergolong kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti: pura Rambut Siwi, pura Purancak, pura Pulaki, pura Ponjok Batu, pura
Sakenan, pura Úìlayukti, pura Lempuyang Madya dan lain-lainnya. Pura-pura tersebut berkaitan dengan dharmayàtrà yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha, paúraman Mpu
Kuturan dan Mpu Agnijaya karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain pura-pura yang dihubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah pura-pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan
yang pernah ada di Bali Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977: 10 seperti pura Sakenan, yang merupakan pura kerajaan Kesiman, pura
Taman Ayun yang merupakan pura kerajaan Mengwi. Ada tanda-tanda bahwa masing-masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai satu jenis pura, yaitu: pura
Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, pura puncak yang teretak di puncak bukit atau pegunungan dan pura Segara yang terletak di tepi pantai laut. Pura-pura kerajaan tersebut
rupa-rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu: pura gunung, pura pusat kerajaan dan pura laut. Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan
pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.
2 Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah teritorial sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu
banjar atau desa tersebut. Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya
memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga, yaitu: pura Desa, pura Puseh, pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama. Dengan lain perkataan, bahwa Kahyangan Tiga
itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama-nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, pura Desa sering juga disebut pura
Bale Agung. Pura Puseh juga disebut pura Segara, bahkan pura Puseh desa Besakih disebut pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah pura Dalem yang memiliki setra kuburan. Di samping itu banyak juga terdapat
pura yang disebut Dalem, tetapi bukan merupakan pura sebagai unsur Kahyangan Tiga di antaranya: pura Dalem Maspahit, pura Dalem Canggu, pura Dalem Gagelang dan sebagainya
Panitia Pemugaran Tempat- tempat bersejarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12. Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah pura yang bernama pura Dalem yang tidak merepunyai
hubungan dengan pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan pura Watukaru. Masih banyak ada pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan
Kahyangan Tiga seperti pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan pura Luhur Uluwatu.
3 Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional, umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti: bertani,
berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura Empelan yang sering juga disebut pura Bedugul atau pura
Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal pura Ulun Carik, pura Masceti, pura Ulun Siwi dan pura Ulun Danu. Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan
seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya. Berdagang
merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut pura Melanting. Umumnya pura Melanting didirikan didalam
pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4 Pura Kawitan
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran genealogis. Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk
perkembangan yang lebib luas dari pura milik warga atau pura klen. Dengan demikian mika
pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa
keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura Dadya sehingga mereka
disebut tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga batih nuclear family dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar extended
family. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede atau
pamarajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil dadya dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat
tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu, ada yang menyebut pura Batur Batur
Klen, pura Penataran Penataran Klen dan sebagainya. Didalam rontal Úiwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat pura panti, setiap 20 keluarga batih
patut mendirikan pura lbu,Påtiwì dan setiap keluarga batih membuat palinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci. Tentang pengelompokan pura di
Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut : setiap
10 keluarga batih supaya membuat palinggih
1. Berdasarkan atas Fungsinya : a. Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawa-Nya manifestasi-Nya. b. Pura
kawitan, yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja “Àtmàúiddhadevatà” roh suci leluhur.
2. Berdasarkan atas Karakterisasi nya a. Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhawa-Nya misalnya pura Sad Kahyangan dan pura
Kahyangan Jagat. b. Pura Kahyangan Desa teritorial yaitu pura yang disungsung dipuja dan dipelihara oleh desa Pakraman atau desa Adat. c. Pura Swagina pura fungsionalyaitu
pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina kekaryaan yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti: pura Subak, Melanting dan sebagainya . d. Pura
Kawitan,yaitu pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis vertikal geneologis seperti: sanggah, pamarajan, ibu, panti, dadya, batur,
panataran, padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Úraddhà atau Tatwa agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau
prabhawa-Nya dan konsepsi Àtman manunggal dengan Brahman Àtmàúiddhadevatà menyebabkan timbulnya pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada
yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat di samping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau klen tertentu saja.
Struktur Pura
Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan halaman luar, jaba tengah halaman tengah dan jeroan halaman dalam. Di
samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan halaman luar dan jeroan halaman dalam dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman tingkatan seperti pura
Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos bhuwana agung, yakni : pembagian pura atas 3 tiga bagian halaman itu adalah lambang
dari “triloka“, yaitu: bhùrloka bumi, bhuvaáloka langit dan svaáloka sorga. Pembagian pura atas 2 dua halaman tingkat melambangkan alam atas urdhaá dan alam bawah
adhaá, yaitu àkàúa dan påtivì.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian halaman atau tingkatan melambangkan “saptaloka” yaitu tujuh lapisantingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhùrloka, bhuvaáloka, svaáloka,
mahàoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “ekabhuvana” , yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas.
Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian loka pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang
vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan “prakåti” unsur materi alam semesta sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis “puruûa” unsur kejiwaanspiritual alam
semesta. Penunggalan konsepsi prakåti dengan puruûa dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada “Super natural power“. Hal itulah yang menyebabkan orang
orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power Tuhan Yang Maha Esa dalam sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok bahasa Bali = penyengker scbagai batas pekarangan yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah “padurakûa” penyangga sudut
yang berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci dikpàlaka .
Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang pertama disebut jabaan jaba pisan atau halaman depanluar, dan pada umumnya
pada halaman ini terdapat bangunan berupa “bale kulkul” balai tempat kentongan digantung, “bale wantilan” semacam auditorium pementasan kesenian, “bale pawaregan”
dapur dan “jineng” lumbung. Halaman kedua disebut jaba tengah halaman tengah biasanya berisi bangunan “bale agung” balai panjang dan “bale pagongan” balai tempat
gamelan. Halaman yang ketiga disebut jeroan halaman dalam, halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa
manifestasi-Nya. Di antara jeroanjaba tengah biasanya dipisahkan oleh candi kurung atau kori agung. dan
Sebelum sampai ke halaman dalam jeroan melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar jabaan atau jaba
pisan ke halaman tengah jaba tengah. Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailaúa tempat bersemadhinya dewa Úiva. Di kiri dan kanan pintu masuk candi bentar ini
biasanya terdapat arca Dvàrapala patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca pangapit lawang, berbentuk raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu
masuk kehalaman dalam jeroan di samping disebut kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di pura. Umat
penyungsungpemilik pura tidak menggunakan kori agung itu sebagai jalan keluar-masuk ke jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut “bebetelan“, terletak
di sebelah kiri atau kanan kori agung itu.
Pada bagian depan pintu masuk kori agung juga terdapat arca Dvàrapàla yang biasanya bermotif arca dewa-dewa seperti Pañca Devatà. Di atas atau di ambang pintu masuk kori
agung terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada pura atau candi di India disebut Kìrttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah discbut Kàla, pada ambang
candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali discbut Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomàntaka matinya Sang Bhoma dapat dijumpai dalam kakawin Bhomàntaka atau
Bhomakawya. Bhoma adalah putra dewa Viûóu dengan ibunya dewi Påtivì yang berusaha mengalahkan sorga. Akhimya ia dibunuh oleh Viûóu sendiri. Kepalanya yang menyeringai ini
dipahatkan pada kori agung. Mcnurut cerita Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kìrttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk
kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang yang berhati suci masuk kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.
KeSimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa pura adalah tempat suci, tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para devatà dan roh suci leluhur.
vaýúakarta yang diyakini telah mencapai alam kesucian svarga. Di samping itu pengelompokkan pura juga dibedakan atas pura umum, pura teritorial, pura fungsional, dan
pura kawitan pura untuk memuja pendiri dinasti.
Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Pura Jagat dan Pura Kawitan, sedangkan berdasarkan karakternya dibedakan menjadi Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa,
Pura Swagina pura fungsional dan Pura Kawitan. Berdasarkan struktur pura dibedakan pura dengan 3 halaman Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi yang melambangkan Tribhuwana
Svah, Bhuvah, dan Bhurloka, 2 halaman Jeroan dan Jabaan yang melambangkan alam sorga dan bumi dan yang satu halaman saja yang melambangkan alam sorga. Pura dengan 3
halaman pada umumnya untuk pura yang besar Kahyangan Jagat sedangn pura dengan 2 atau satu halaman pada umumnya utuk pura Kawitan atau pura keluarga.
Pura dibedakan berdasarkan pengelompokka peruntukannya, yaitu pura yaitu pura sebagai tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para devatà manifestasi-Nya dan pura
untuk memuja roh suci para leluhur, utamanya roh suci para mahàrûi àchàrya dan pendiri dinasti
Tags:
: adat ,
bali ,
hindu ,
pura
Prev: Bersahabat dengan Kala...
Next: “Banten”, Bahasa Agama dalam Bentuk Simbol
Pura
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke:
navigasi ,
cari
Pura Besakih, pura terbesar di pulau Bali
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu
di Indonesia
. Pura di Indonesia
terutama terkonsentrasi di Bali
sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu.
Daftar isi
[ sembunyikan
]
1 Etimologi
2 Tata letak
3 Jenis Pura
4 Sad Kahyangan
5 Lihat pula
6 Referensi
7 Pranala luar
[ sunting
] Etimologi
Kata Pura sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta
-pur, -puri, -pura, -puram, -pore, yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana.
Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali
, istilah Pura menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah
Puri menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan
bangsawan.
[ sunting
] Tata letak
Pelinggih Meru
berbentuk atap bersusun tinggi serupa pagoda
ini adalah salah satu ciri khas arsitektur pura.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India
yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi
tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang
atau gapura
yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan
seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang
, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale
pendopo atau paviliun. Struktur tempat suci pura mengikuti konsep
Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala Jaba pisan: zona terluar yang merupakan pintu masuk