Kama artinya sifat penuh nafsu indriya. 2. Lobha artinya sifat loba dan serakah. Krodha artinya sifat kejam dan pemarah. 4. Mada artinya sifat mabuk dan kegila-gilaan. Moha artinya sifat bingung dan angkuh. 6. Matsarya adalah sifat dengki dan iri hati. Ag

Beranda Langgan: Entri Atom Bab 4 Sad ripu SAD RIPU dan SAD ATATAYI Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu:

1. Kama artinya sifat penuh nafsu indriya. 2. Lobha artinya sifat loba dan serakah.

3. Krodha artinya sifat kejam dan pemarah. 4. Mada artinya sifat mabuk dan kegila-gilaan.

5. Moha artinya sifat bingung dan angkuh. 6. Matsarya adalah sifat dengki dan iri hati.

Sad Atatayi berasal dari bahasa Jawa kuno Kawi, terdiri dari dua kata yaitu : Sad artinya enam, dan Atatayi artinya kejahatan. Jadi sad atatayi artinya enam kejahatan yang dilarang Agama Hindu yaitu :

1. Agnida: membakar rumah atau milik orang lain, meledakkan bom,

termasuk membakar dalam arti kias yaitu memarahi orang sehingga orang itu merasa malu dan terhina.

2. Wisada: meracuni orang atau mahluk lain.

3. Atharwa: menggunakan ilmu hitam black magic untuk menyengsarakan

orang lain.

4. Sastraghna: mengamuk atau membunuh tanpa tujuan tertentu karena

marah.

5. Dratikrama: memperkosa, pelecehan sex. 6. Rajapisuna: memfitnah

Susila ... 3 Kerangka ... Pokok-pokok ... Hindu Dharma SAD RIPU Apabila Trimala telah menguasai seluruh hidup manusia timbullah kegelapan Awidya mengakibatkan ia tidak mampu lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan hidupnya. Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu terdiri dari: 1. Kama hawa nafsu yang tidak terkendalikan 2. Lobha kelobaan ketamakan, ingin selalu mendapatkan yang lebih. 3. Krodha kemarahan yang melampaui batas tidak terkendalikan. 4. Mada kemabukan yang membawa kegelapan pikiran. 5. Moha kebingungan kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. 6. Matsarya iri hati dengki yang menyebabkan permusuhan. Sad Ripu Sad Ripu adalah enam jenis sifat yang tidak baik. Sad Ripu berasal dari kata “Sad” yang berarti enam dan “Ripu” yang berarti musuh. Jadi Sad Ripu berarti enam musuh yang ada di dalam diri manusia. Umat Hindu, seyogyanya dapat melenyapkan Sad Ripu yang ada dalam dirinya. Enam jenis musuh yang harus dibasmi dari dalam diri manusia itu adalah : 1. Kama atau Hawa Nafsu Setiap orang tentu mempunyai nafsu. Tetapi nafsu itu harus dikendalikan. Umat manusia harus dapat mengendalikan hawa nafsunya agar tidak menghacurkan dirinya sendiri. Hawa nafsu yang tidak terkendali bukan saja akan merusak dirinya sendiri, tetapi juga dapat pula mesusahkan orang lain. Karena itu agama Hindu mengajarkan agar umatnya selalu mengendalikan panca indrianya, mengendalikan dan mengekang hawa nafsu. 2. Loba atau Rakus Orang yang rakus selalu ingin memiliki lebih dari apa yang sepantasnya dimiliki. Keinginan untuk memiliki yang berlebihan itu akan dipenuhinya dengan jalan apapun, meski bertentangan dengan ajaran agama. Umat Hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan rakus, karena perbuatan itu bukan saja menyusahkan orang lain, tetapi pada gilirannya dapat menyusahkan dirinya sendiri. 3. Kroda atau Marah Umat Hindu semestinya dapat mengendalikan diri dan tidak lekas marah. Perbuatan marah dapat menyusahkan atau menimbulkan kekecewaan bagi orang lain. Karena itu manusia perlu mengendalikan diri dan menghindari perbuatan marah itu. 4. Moha atau bingung Pikiran yang bingung tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kecendrungan orang yang bingung adalah selalu berbuat yang negative dan menyusahkan orang lain sampai kepada membunuh orang lain atau membunuh dirinya sendiri. Agar tidak terjadi kebingungan, manusia hendaknya selalu mengendalikan dirinya, selalu mentaati ajaran-ajaran agamanya, sehingga dapat hidup tenang dan tenteram. 5. Mada atau Mabuk Orang yang mabuk akan lupa dengan dirinya sendiri maupun kawan-kawannya. Dalam keadaan demikian orang itu akan cenderung untuk berbuat yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Umat Hindu hendaknya selalu menjauhkan diri dari perbuatan mabuk. 6. Matsarya atau Irihati seseorang belum tentu senang melihat orang lain hidup berbahagia. Belum tentu senang melihat orang lain hidup berkecukupan. Orang itu mungkin merasa disaingi atau merasa dikalahkan gengsinya, sehingga timbul rasa irihatinya. Akibatnya timbullah rencana jahat untuk mengalahkan saingannya dengan berbagai cara. Perbuatan ini tidak sesuai dengan ajaran agama. Umat hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu. Didamping Sad Ripu termasuk diatas, kita juga mengenal apa yang dinamakan Sad Mitra. Keduanya mempunyai enam unsure yang sama, yaitu Kama, Loba, Kroda, Moha, Mada dan Matsarya, tetapi dengan pengertian yang berlawanan. Kalau Sad Ripu merupakan perilaku buruk negatif, maka Sad Mitra adalah tata laku yang baik dalam pengertian yang fositif. Sapta Rsi Sapta Maha Resi penerima wahyu dalam kitab suci Weda : 1. Rsi Gritsamada Rsi Gritsamada lahir dari keluarga Angira, beliau Rsi yang rajin dan tekun, Rsi Gritsamada berjasa bagi kita, beliau mengumpulkan mantram-mantram Weda. Beliau banyak menulis mantra Reg Weda. 2. Rsi Wiswamitra Wiswamitra adalah Rsi yang banyak disebut-sebut, wahyu yang beliau terima dihimpun dalam Weda. Pada mulanya Wiswamitra dikenal sebagai keturunan ksatria atau penguasa, karena ketekunannya dalam belajar beliau akhirnya dikenal sebagai Maha Rsi. 3. Rsi Wamadewa Wamadewa sangat banyak menulis ayat-ayat Weda. Dalam cerita dikatakan Rsi Ramadewa telah mencapai penerangan sempurna semasih dalam kandungan ibunya, keajaiban sering terjadi dalam kehidupannya. Wamadewa sudah biasa berbicara dengan Dewa Indra dan Dewa Aditi. 4. Rsi Atri Atri lahir dilingkungan keluarga Brahmana, keluarga Atri banyak menerima wahyu. Sebagai warga Brahmana, Rsi Atri sejak kecil hidup dalam lingkungan disiplin Brahmana, ada tiga puluh enam keluarga Atri yang mampu menerima wahyu. Rsi Atri dan keluarganya sungguh besar jasanya bagi kita semua. 5. Rsi Bharadwaja Pada masa Rsi Bharadwaja, kegiatan menghimpun ayat Weda tetap dilanjutkan. Rsi Bharadwaja selalu berpikir suci, beliau sangat rajin mengumpulkan ayat-ayat Weda. 6. Rsi Wasista Nama Wasista banyak disebutkan dalam Maha Bharata, Wasista adalah seorang Rsi. Beliau tinggal di hutan Kamyaka, beliau belajar di tempat yang sepi jauh dari keramaian. Beliau banyak menambah ayat-ayat Reg Weda. 7. Rsi Kanwa Maha Rsi Kanwa adalah orang suci, beliau menerima banyak wahyu. Karena kesuciannya beliau sangat dicintai. Hyang Widhi menganugrahkan kesabaran kepada beliau, Rsi Kanwa sangat bijaksana, pribadinya dikagumi banyak orang. Sad Ripu Posted on 29 September 2010 by dharmasastra3 | Tinggalkan komentar Sad Ripu Sad Ripu adalah enam macam musuh yg ada dalam diri manusia. Dalam kitab Itihasa Ramayana 1.4 hal 23 disebutkm kenam musuh itu sbb : “Ragadi musuh mapara ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak” artinya Raga nafsu adalah musuh utama,di hatilah tempatnya,tidak jauh dari badan.. Keenam musuh itu adalah: 1.Kama artinya hawa nafsu 2.Lobha artinya tamak 3.Krodha artinya kemarahan 4.Moha artinya kebingungan 5.Mada artinya kemabukan 6.Matsarya artinya iri hati. Bab 5 tempat suci Tempat suci Hindu Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi , cari Kuil Brihadeshwara dilihat dari sebelah kanan depan, dengan gaya Dravida Tempat suci Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek- aspeknya. Di Tanah Hindu , banyak kuil yang didedikasikan untuk Dewa-Dewi Hindu , beserta inkarnasinya ke dunia awatara , seperti misalnya Rama dan Kresna . Di India setiap kuil menitikberatkan pemujaannya terhadap Dewa-Dewi tertentu, termasuk memuja Bhatara Rama dan Bhatara Kresna sebagai utusan Tuhan untuk melindungi umat manusia. Tempat suci Hindu umumnya terletak di tempat-tempat yang dikelilingi oleh alam yang asri, seperti misalnya laut, pantai, gunung, gua, hutan, dan sebagainya. Namun tidak jarang ada tempat suci Hindu yang berada di kawasan perkotaan atau di dekat pemukiman penduduk. Daftar isi [ sembunyikan ]  1 Istilah lain  2 Struktur dan arsitektur  3 Lihat pula  4 Pranala luar [ sunting ] Istilah lain Tempat suci Hindu memiliki banyak sekali sebutan di berbagai belahan dunia, dan nama tersebut tergantung dari bahasa yang digunakan. Umumnya berbagai nama tersebut memiliki arti yang hampir sama, yaitu merujuk kepada pengertian “Rumah pemujaan kepada Tuhan”. Berbagai istilah tempat suci Hindu yaitu:  Mandir atau Mandira bahasa Hindi – salah satu bahasa resmi India  Alayam atau Kovil bahasa Tamil  Devasthana atau Gudi Kannada  Gudi , Devalayam atau Kovela bahasa Telugu  Puja pandal bahasa Bengali  Kshetram atau Ambalam Malayalam  Pura atau Candi Indonesia : Bali , Jawa , dll. Terdapat juga berbagai nama lain seperti Devalaya, Devasthan, Deval atau Deul, dan lain- lain, yang berarti “Rumah para Dewa”. Biara Hindu sering disebut Matha, dimana para pendeta dididik dan guru spiritual tinggal. Kebanyakan tempat-tempat tersebut merupakan rumah kuil. [ sunting ] Struktur dan arsitektur Pura Besakih, kuil Hindu terbesar di pulau Bali Bangunan suci Hindu umumnya menyerupai replika sebuah gunung , karena menurut filsafat Hindu , gunung melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Selain itu, gunung merupakan kediaman para Dewa, seperti misalnya gunung Kailasha yang dipercaya sebagai kediaman Dewa Siwa . Selain menyerupai gunung, terdapat bangunan suci Hindu yang memiliki atap bertumpuk-tumpuk, dan di Indonesia dikenal dengan istilah Meru . Meru merupakan lambang dari lapisan alam, mulai dari alam terendah sampai alam tertinggi. Arsitektur bangunan suci Hindu tidak lepas dari aturan-aturan yang termuat dalam kitab suci. Dalam pembangunan suatu tempat suci Hindu, arsitekturnya harus mengikuti apa yang termuat dalam sastra suci Hindu. Di Indonesia , selain berbentuk candi dan meru , bangunan suci Hindu juga berbentuk gedong dan padmasana . Dalam bangunan suci Hindu, tidak jarang dijumpai relief atau pahatan, serta patung-patung yang berada di sekeliling areal suatu tempat suci. Umumnya patung-patung tersebut melambangkan Dewa-Dewi yang muncul dalam sastra dan mitologi Hindu . Fungsi berbagai patung dalam bangunan suci Hindu adalah sebagai hiasan atau simbol, karena bukan untuk disembah. [ sunting ] Lihat pula  Candi  Pura  Padmasana [ sunting ] Pranala luar Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai: Tempat suci Hindu  Inggris Kuil Sri Wisnu di India dengan gaya Hindu India  Inggris Cara membangun tempat suci Hindu dengan gaya Hindu India Minggu, 28 November 2010 PURA DAN PALINGGIH PURA DAN PALINGGIH I. PENGERTIAN PURA Pura merupakan symbol kosmos dari alam sorga kahyangan Pura berasal dari kata “pura” sansekerta yang artinya “kota atau benteng” Perkembangan pura di Bali : Pada jaman Bali Kuna pura disebut Sanghyang bukti : prasasti Trunyan A I th.891M Pada masa Mpu Kuturan, disebut dengan parahyangan atau kahyangan dewa lontar Usana Dewa. Be;iau pula yg mengenalkan istilah meru, gedong, dan pura serta membuat Pura Sad Kahyangan , pura kahyangan Catur Loka Pala, dan kahyangan Rwa bineda serta Kahyangan Tiga. Pada masa Dang Hyang Nirartha, mulai dibedakan antara meru atau gedong untuk Dewa maupun leluhur, serta membuat Padmasana II. JENIS-JENIS PURA Berdasarkan atas fungsinya : a. Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi beserta seluruh manifestasinya b. Pura kawitan yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur Berdasarkan atas karakteristiknya : a. Pura Kahyangan Jagat yaitu pura tempat memuja Hyang Widhi dalam aneka bentuk manifestasinya, misalnya ; Pura Sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat b. Pura Kahyangan desa, yaitu pura yang disungsung oleh desa pakraman c. Pura Swagina, yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh profesi yang sama dalam mata pencaharian seperti; Pura Subak, Pura Melanting, dll. d. Pura Kawitan, yaitu pura tempat memuja leluhur. Berasal dari kata “wit” yang artinya leluhur. Contoh ; sanggah, merajan, panti, paibon, batur, penataran, padharman, dll. III. STRUKTUR PURA Berdasarkan konsepsi macrocosmos bhuwana agung: Denah pura terbagi atas 3 bagian, yaitu ; a. Jaba pura atau jaba pisan halaman luar lambang bhurloka b. Jaba tengah halaman tengah lambang bhuvahloka c. Jeroan halaman dalam lambang svahloka Terdapat juga pura dengan 2 bagian yaitu : a. Jaba pisan melambangkan alam bawah b. Jeroan melambangkan alam atas Pura dengan 7 bagian halaman melambangkan saptaloka, contoh Pura Besakih, terdiri dari : a. Bhurloka b. Bhvahloka c. Svahloka d. Mahaloka e. Janaloka f. Tapaloka g. Satyaloka Pura dengan 1 halaman adalah simbolis dari ekabhuwana yaitu panunggalan alam atas dan alam bawah. Tembokpenyengker yang mengelilingi pura sebagai batas pekarangan yang disakralkan Sudut-sudut tembok dibuat “paduraksa” yang berfungsi untuk menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci Pada halaman luar Jaba pisan umumnya terdapat : Bale kulkul, bale wantilan, bale pewaregan, jinenglumbung Pada halaman tengah Jaba tengah umunya terdapat : Bale agung dan bale gong Pada halaman dalam Jeroan, umumnya terdapat berbagai pelinggih. Diantara jaba pisan dengan jaba tengah dipisahkan oleh candi bentar sebagai symbol Gunung Kailasa yaitu tempat bersemedinya Dewa Siwa, dengan dikiri kanan terdapat arca Dvarapala sebagai raksasa pengawal pura Diantara jaba tengah dengan jeroan terdapat candi kurung atau kori agung dengan diapit oleh arca hiasan kepala raksasa Bhoma putra dari Dewa Wisnu dengan Dewi Pertiwi IV. BANGUNAN SUCI A. PALINGGIH Palinggih berari tempat malinggihberstananya Hyang Widhi ataupun roh suci leluhur. Jenis-jenis palinggih : a. Prasada Gambar : Bentuk bangunannya merupakan kelanjutan atau peralihan dari bentuk candi di Jawa dengan meru di Bali b. Padmasana Berasal dari kata : Padma yang artinya teratai merah Asana yang artinya tempat duduk Jadi padmasana berarti tempat duduk dari teratai berwarna merah yang merupakan sthana Hyang Widhi Berdasarkan lokasi pengider-ider Dewata Nawasanga terdiri atas : 1. Posisi di timur menghadap ke barat disebut Padma Kencana 2. Posisi di selatan menghadap ke utara disebut Padmasana 3. Posisi di barat menghadap ke timur disebut Padmasana Sari 4. Posisi di utara menghadap ke selatan disebut Padmasana Lingga 5. Posisi di tenggara menghadap ke barat laut disebut Padma Asta Sadana 6. Posisi di barat daya menghadap ke timur laut disebut Padma Noja 7. Posisi di barat laut menghadap ke tenggara disebut Padma Karo 8. Posisi di timur laut menghadap ke barat daya disebut Padma Saji 9. Bertempat ditengah menghadap ke lawangan pintu gerbang keluar masuk pura disebut Padma Kurung rong tiga Berdasarkan atas rong ruang dan palih undag atau tingkat terdiri atas : 1. Padmasana Anglayang atau Padma Anglayang Rongnya : 3 Palihnya : 7 Menggunakan Bedawang nala 2. Padma Agung Rongnya : 2 Palihnya : 5 Menggunakan bedawang nala 3. Padmasana Rongnya : 1 Palihnya : 5 Menggunakan bedawang nala 4. Padmasari Rongnya : 1 Palihnya : 3 dimana yang paling bawah disebut palih taman, yang tengah palih sancak dan yang diatas palih sari Tidak menggunakan bedawang nala 5. Padma capah Rongnya : 1 Palihnya : 2 yaitu dibawah palih taman, di tengah palih capah Tidak menggunakan Bedawang nala Pemberian pedagingan menyesuaikan pada masing-masing padma tersebut yaitu ; 1. Pada padmasana menggunakan bedawang nala, maka pedagingan diberikan pada ; - Dasar - Madya - Puncak 2. Padmasana tanpa bedawang nala ; - Dasar - Puncak c. Meru Kata meru berasal dari kata Mahameru gunung di India Bentuk bangunan terdiri atas : dasar, badan dan atap Jenis – jenis Meru terdiri atas : - Meru tumpang 1 - Meru tumpang 3 - Meru tumpang 5 - Meru tumpang 7 - Meru tumpang 9 - Meru tumpang 11 Banyaknya tumpang lontar Andhabhuwana merupakan symbol lapisan alam besar macrocosmos, dimana dari bawah ke atas yaitu; 1. Sakala 2. Niskala 3. Sunya 4. Taya 5. Nirbana 6. Moksa 7. Suksmataya Turyanta 8. Acintyataya 9. Cayem Atap meru juga simbolis dari “penglukunan Dasaksara” , yaitu : Sa Isvara, Ba Brahma, Ta Mahadeva, A Visnu, I SivaZenit, Na Maheswara, Ma Rudra , Si Sankara, Va Sambhu, Ya SivaNadir. Banyaknya tumpang juga tergantung pada tinggi – rendahnya kedudukan, peran, fungsi, dan kekuasaan yang di sthanakan. Meru yang tidak menggunakan tumpang disebut “kehen” yang boleh dibangun pada sanggah suhun. Untuk meletakkan pedagingan : - Meru tumpang 1 hingga 3 berpedagingan pada dasar dan puncak - Meru tumpang 5 sampai 11 berpedagingan pada dasar, madya dan puncak d. Rong Tiga Fungsinya sebagai tempat memuja roh leluhur dan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Brahma, Visnu, Isvara Peletakkan pedagingannya lengkap dengan rerajahan tri aksara yaitu : - Ang pada dasar - Ung pada madya - Mang pada puncak e. Palinggih Menurut Prakerti, ancer-ancer jumlah membuat palinggih disebut lingga, yakni menyebutkan sebagaiberikut: 1. Yang dengan ukuran Tri Lingga Dewata yaitu : Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem 2. Dikarang paumahan, nista madya utama namanya pawangunin Sanggar Parahyangan 3. Untuk di bilangan kecil dibuat memakai ukuran Tri Lingga yaitu : Kemulan, Taksu, Tugu 4. Kalau yang sedang dibuat, namanya Panca Lingga yaitu: Kemulan, Taksu, Tugu, Pelik sari dan Gedong 5. Untuk utamaning nista namanya Sapta Lingga yaitu : Kemulan, Taksu, Tugu, Pelik sari, Gedong, Catu dan Menjangan Sluangan 6. Untuk yang utama namanya Eka Dasa Lingga yaitu : Kemulan, Taksu, Tugu, Pelik sari, Gedong, Catu, Menjangan Sluangan, Pesaren, Limas sari, Lurah dan Padma serta pengubengan semua dewata. Palinggih – palinggih lain antaralain : A. Apit Lawang Berfungsi sebagai penjaga lawang Kadang berupa patung bedogol raksasa yaitu : Nadiswara dan Mahakala B. Bale Kulkul Merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di kerongkongan, berfungsi untuk mengeluarkan suara C. Pahyasan atau Piasan Berfungsi untuk tempat menata gegaluhan menghiasi pratima-pratima Pengayat dewa Samudhaya dewa-dewa semua ataupun untuk dewa pratistha menghadirkan para dewa D. Bale Agung Berfungsi sebagai witana tempat pertemuan baik itu hubungannya dg upacara keagamaan, tempat berkumpulnya pratima-pratima E. Bale Pepelik Fungsinya hamper sama dengan bale agung, dalam artian tempat berkumpulnya atau pertemuan dari para dewa yang ada kaitannya dg kahyangan tempat piodalan tersebut. F. Sanggah Kemulan Berong tiga sebagai sthana Hyang Tri Murti, Brahma, Wisnu, Iswara terdapat dalam lontar Kusumadewa, Gong Wesi, Purwa Gama wesana Difungsikan untuk memuja roh leluhur yang sudah disucikan antyesti sanghasrkara dalam wujud Pramestiguru G. Menjangan Sluangan Disebut Sanggar Sapta Rsi lontar Kusumadewa Yakni tempat pemujaan Hyang Widhi sebagai awatara yang member perlindungan dalam kesempurnaan jiwa H. Rambut Sedana Manik Galih Berfungsi sebagai sthana dewata yang berperan dalam member kehidupan yang kekal atau yang menghidupi dlm wujud sandang,pangan,papan I. Anglurah Adalah lingga sthana Sedahan Panglurah tepas macaling yang secara simbolis berfungsi sebagai penjagapengawas wilayah pada suatu lokasi puramrajan J. Palinggih Malimas Merupakan pengayatan pesimpangan terhadap Kahyangan Jagat lontar Kusuma Dewa Ada disebut : limas sari, limas catu, maprucut, manedung pane, catu meres, catu mujung, dll. K. Gedong Bata Sebagai lingga sthana Dewa di kahyangan bersangkutan, seperti Di Pura Desa dan Pura Dalem Diposkan oleh Jro mangku gede Komang Veni Damayanti Kirimkan Ini lewat Email BlogThis Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA I Wayan Sudarma Shri Danu D. P Om Swastyastu 1. Pengertian Pura Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan. Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan yang artinya tempat suci di TurunyanDemikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A tanpa tahun ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe Yumu pakatahu yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur 1019 - 1042M datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat Parhyangan atau Kahyangan Dewa di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali. Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa. Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan ...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel 1460 - I 550 M datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik. Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur. Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dengan segala manifestasinya dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem . Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia. Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika bentuk tiruan dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara. Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung Mahameru sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu Upacāra penyucian Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata. Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung Mahameru tempat pemujaan dewa dan bhatara. 2. Pengelompokan Pura Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu : 1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dewa. 2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata telah memasuki alam dewata dan disebut bhatara. Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri kekhasan yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis garis kelahiran . Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal teritorial , ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci Dang Guru Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut. Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut: 1. Pura Umum. Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya dewa .Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru. Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di BaliPanitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi. Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang teretak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut. Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis. 2. Pura Teritorial Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah teritorial sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua. Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra Kuburan. Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12. Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu. 3. Pura Fungsional Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu. Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya. Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut. 4. Pura Kawitan: Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran genealogis . Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih nuclear family dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga extended family Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin . Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil dadia dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur Batur Klen, Pura Penataran Penataran Klen dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut : a. Berdasarkan atas Fungsinya : 1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya manifestasiNya, dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan. 2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata Roh Suci Leluhur, termasuk didalamnya: sanggah, merajan, paibon, kamulan, dadia, dan pedharman b. Berdasarkan atas Karakterisasinya: 1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain. 2. Pura Kahyangan Desa Teritorial yaitu Pura yang disungsung dipuja dan dipelihara oleh Desa Adat. 3. Pura Swagina Pura Fungsional yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina kekaryaan yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya . 4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan witatau leluhur berdasarkan garis vertikal geneologis seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya. Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman Atma Siddha Dewata menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja. 3. Tata Upacāra Membangun Pura a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura baru. b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala palemahan pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi. c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen. d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi para pekerja bangunan agar para Dewa Bhatara Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing- masing, maka akan ditentukan atas berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna. e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang berbeda. Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih. Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali. Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem ketam temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali. f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan menstanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut : Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 empat soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 empat puluh butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 lima puluh dua. Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya menurut petunjuk Sulinggih. Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 empat buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- lima ribu, jerimpen 5 lima tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang. Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang kulit kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi. Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala nama Pelinggih, berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang kulit angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama. Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih

4. Upacāra Pujawali Odalan