ADAB INTERAKSI GURU DAN MURID MENURUT IMAM GHAZALI

RISALAH
ADAB INTERAKSI GURU DAN MURID
MENURUT IMAM GHAZALI
Ari Aji Astuti, Zaenal Abidin, dan Abdullah Aly
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448,
email: abid_zaen@yahoo.com.

ABSTRAK
Interaksi antara guru dan murid menjadi faktor yang sangat penting
terhadap keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan. Ketika seorang
guru mampu melakukan interaksi yang baik dan efektif, maka murid
akan mendapatkan kemudahan dalam berkomunikasi dengan gurugurunya. Sebaliknya, bila guru-guru tidak mampu melakukan interaksi
yang baik dan efektif dengan murid, murid akan mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dengan guru-gurunya. Begitu pentingnya
hubungan guru dan murid atau sebaliknya menjadikan penulis untuk
mengkajinya. Setelah ditelusuri dari kitab Ihya Ulumuddin didapatkan
bahwa menurut Imam al-Ghazali Adab interaksi Murid dengan Guru
menurut Imam Al Ghazali: seorang murid harus mensucikan jiwanya
dari akhlaq dan sifat-sifat tercela sebelum menuntut ilmu, agar ilmu

yang akan ia pelajari dapat berkesan dan tertanam dalam jiwanya;
serta dalam menuntut ilmu hanya mengharap ridha Allah SWT.
Sedangkan adab interaksi Guru dengan Murid menurut Imam Al
Ghazali: seorang guru harus bersikap belas kasih kepada murid dan
memperlakukan mereka seperti memperlakukan anak-anaknya sendiri;
serta mengikuti dan meneladani Rasulullah Nabi Muhammad SAW dalam
melaksanakan tugas mengajarnya, dan tidak menuntut upah dari muridmuridnya dan didorang untuk mencari ridha Allah Swt.
Kata Kunci: Adab, guru, murid
Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

127

Pendahuluan
Interaksi guru dan murid akan
menjadi hubungan timbal balik yang baik,
bila kedua belah pihak mengindahkan
ajaran agama, dan tata kesopanan dalam
adat istiadat. Namun, dalam kehidupan
nyata yang terjadi di masyarakat saat ini,
dunia pendidikan Indonesia banyak

diwarnai oleh perilaku yang tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip kesopanan yang
diatur, baik oleh adat istiadat masyarakat, lembaga pendidikan, maupun
agama. Banyak kasus asusila terjadi,
akibat tidak diindahkannya adab sopan
santun antara guru dan murid. Ada guru
yang berbuat tidak senonoh kepada
muridnya, ada yang menyiksa hingga
terluka, disisi lain murid senang tawuran,
berkelahi di sekolah, di jalanan, dan
sebagainya.
Beberapa liputan berikut ini,
menunjukkan betapa buruknya hubungan
guru dan murid yang terjadi di sekitar kita:
Bukannya memberikan materi
pelajaran kepada siswa, Haris Munandar
malah memberi contoh yang tidak baik.
Guru olahraga Sekolah Dasar Negeri
Kalianyar, Kapas, Bojonegoro, Jawa
Timur, ditangkap Kepolisian Sektor

Kapas karena diduga mencabuli sembilan siswi (Liputan6.com, Bojonegoro.
05/08/2010 22:47).
Seorang oknum guru di Sekolah
Dasar Negeri Nglambangan 2, Bojonegoro, Jawa Timur, baru-baru ini,
dituduh menyodomi 18 siswanya. Aksi
bejat pelaku dilaporkan para siswa yang
menjadi korban tersebut. Akibatnya,

lelaki bernama Joko Waluyanto itu
digiring ke markas kepolisian sektor
Kallitidu (Liputan6.com, Bojonegoro,
08/10/2009 22:51).
Kepolisian Sektor Sindangkerta
dan Kepolisian Resor Cimahi menggali
kuburan seorang siswa Sekolah Dasar
Negeri Ciririp, Bandung, Jawa Barat,
Jumat (26/1). Polisi ingin memastikan
penyebab kematian bocah berusia 11
tahun ini. Eli Saili yang masih duduk di
kelas lima SD diduga tewas karena

dipukul gurunya. Sofyan, paman Eli,
mengatakan keponakannya dipukul pada
15 Januari silam. Saat itu, Eli yang baru
sembuh dari sakit terlambat masuk kelas.
Pak guru yang sedang mengajar menghukum Eli dan enam siswa yang datang
terlambat. Ketujuh siswa itu disuruh
berdiri di depan kelas. Kemudian, si guru
menghajar Eli dengan penggaris plastik
di kaki. Eli juga sempat dipukuli dengan
buku saat meminta buku pada gurunya
(Liputan6.com, Bandung, 27/01/2007
13:15).
Peristiwa-peristiwa tersebut di
atas amat disayangkan, karena seharusnya guru bersikap baik dan dapat
memberikan ketauladanan kepada
muridnya, sehingga para murid dapat
menjalani proses pendidikan di sekolah
dengan tenang, nyaman, dan berhasil
meraih cita-cita mereka.
Di sisi lain, murid-muridpun

banyak yang tidak melaksanakan adabadab sebagai seorang pelajar. Mereka
senang tawuran, dan melakukan perbuatan-perbuatan amoral di Sekolah.

128 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

Beberapa liputan berikut adalah contohcontoh riil yang terjadi di lapangan:
Pertunjukan musik yang digelar di
Lapangan Merdeka, Kota Sukabumi,
Jawa Barat, Ahad (24/10), diwarnai
tawuran sesama pelajar. Diduga bentrokan dipicu saling ejek. Keributan bahkan
telah terjadi sebelum konser musik
dimulai.
Beberapa pelajar yang dianggap
sebagai biang keonaran akhirnya dihukum di tempat. Enam pelajar yang
diduga sebagai biang keladi ditahan
untuk dimintai keterangan. Dalam
peristiwa ini, seorang pelajar terluka di
kepala akibat lemparan batu.(JUM)
(Liputan6.com, Sukabumi).
Tawuran kembali pecah antara

siswa Sekolah Menengah Atas 4 dan
Sekolah Menangah Ekonomi Atas
Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (25/
10).
Tawuran kembali pecah karena
berhembus isu akan adanya balas
dendam dari tawuran sehari sebelumnya.
Pemicu tawuran ini karena masalah
sepele yakni siswa SMA 4 mendengar
isu rekannya dipukul oleh pelajar SMEA
Kendari yang tengah mabuk. Para siswa
SMA 4 kemudian balik menyerang siswa
SMEA Kendari lainnya. Beberapa murid
yang terlibat bentrok digelandang ke
kantor polisi.
Pertikaian dua sekolah ini membuat guru berang. Seorang guru sempat
memukul siswanya yang kedapatan
terlibat tawuran. Atas kejadian ini, para
guru bersama pimpinan sekolah kemu-


dian berencana menindak tegas siswanya
jika terbukti terlibat (JUM/Arwan Ganda
Saputra) (Liputan6.com, Kendari).
Interaksi antara guru dan murid
menjadi faktor yang sangat penting
terhadap keberhasilan pendidikan yang
dilaksanakan. Ketika seorang guru
mampu melakukan interaksi yang baik
dan efektif, maka murid akan mendapatkan kemudahan dalam berkomunikasi dengan guru-gurunya.
Sebaliknya, bila guru-guru tidak mampu
melakukan interaksi yang baik dan efektif
dengan murid, murid akan mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan
guru-gurunya.
Islam sebagai agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, termasuk didalamnya adab (tata
kesopanan) interaksi guru dan murid
dalam kegiatan belajar mengajar. Di
antara adab interaksi guru dan murid
tersebut adalah:

Seorang guru hendaklah bersikap
belas kasih kepada murid-muridnya,
seperti memperlakukan anak-anaknya
(Imam Al Ghazali, 1990:171). Seorang
murid, hendaklah merendahkan diri
kepada gurunya, dan mencari pahala dan
kemuliaan dengan melayani gurunya
(Imam Al Ghazali, 1990:154).
Melihat fenomena tersebut di atas,
maka dalam makalah ini penulis mengkaji
tentang pemikiran Imam al-Ghazali
tentang adab murid dalam berinteraksi
dengan guru serta bagaimana guru
berinsteraksi dengan murid.

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

129

Adab dan tugas-tugas Murid dalam

berinteraksi dengan Guru
Ada sepuluh tugas murid dan
delapan tugas guru yang dirumuskan oleh
Imam Al Ghazali dalam buku Ihya’Ulumiddin. Sepuluh tugas murid dan
delapan tugas guru tersebut akan
dianalisis dengan menggunakan metode
analisa kualitatif/diskriptif.
Adab dan tugas-tugas murid
dalam berinteraksi dengan guru-gurunya
menurut Imam Al Ghazali adalah sebagai
berikut:
1. Tugas pertama: Mendahulukan
kesucian jiwa dari akhlaq yang hina dan
sifat sifat yang tercela (Mendahulukan
kesucian jiwa dari akhlaq yang hina dan
sifat sifat yang tercela).
Seorang murid harus mensucikan
jiwanya dari akhlaq dan sifat-sifat tercela
sebelum menuntut ilmu, agar ilmu yang
akan ia pelajari dapat berkesan dan

tertanam dalam jiwanya. Ia juga harus
membersihkan diri dari niat-niat yang
tidak benar, karena menuntut ilmu
sebaiknya diniatkan untuk mencari ridho
Allah SWT, bukan sekedar untuk
memperoleh ilmu yang akan digunakan
untuk mencari nafkah saja.
Imam Al Ghazali berkata: Karena
ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya sirr
dan pendekatan batin kepada Allah
Ta’ala. Sebagaimana shalat yang menjadi
tugas anggota-anggota badan yang lahir
itu tidak sah kecuali dengan membersihkan/mensucikan lahir dari hadatshadats dan kotoran-kotoran maka
demikian juga ibadah batin dan me-

ramaikan hati dengan ilmu itu tidak sah
kecuali setelah mensucikannya dari akhlaq
yang kotor dan sifat-sifat yang najis.
Teori di atas, sesuai dengan
penjelasan Dr. Yusuf Al Qardlawi, bahwa

seorang murid yang sedang menuntut ilmu
harus membetulkan niat hanya karena
Allah SWT. Dr. Yusuf Al Qardlawi
berkata: Pertama kali yang diminta dari
seorang pelajar -khususnya dalam ilmu
syara’- adalah membetulkan niat. Ia
harus siap mengusahakan dirinya ikhlas,
meninggalkan motif-motif lain kecuali niat
membaktikan ilmunya dalam rangka
mencari rida Allah dan untuk bekal di
akherat.
Ia tidak dibenarkan memasang niat
untuk menandingi ulama atau “mengibuli”
orang bodoh, atau mengumpulkan harta,
atau pangkat, atau apa saja yang biasa
dari manusia berupa perhiasan dunia
sehingga ia menjual yang kekal dengan
yang fana, yang agung dengan yang hina,
dan “harta” yang banyak dengan yang
bernilai rendah. Kalaulah hal ini dibolehkan bagi orang yang berkecimpung dalam
menuntut ilmu dunia, bagi mereka yang
menuntut ilmu akherat tidak dibolehkan
(Yusuf Al Qardlawi, 1989: 107).
Apabila seorang murid kehilangan
niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu,
sangatlah mungkin ia akan menyimpang
dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Karena bisa jadi ia menuntut ilmu
hanya sekedar untuk tujuan-tujuan dunia
saja.
2. Tugas kedua: Menyedikitkan
hubungan-hubungan dengan kesibukan

130 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

dunia, dan menjauh dari keluarga dan
tanah air (Menyedikitkan hubunganhubungan dengan kesibukan dunia, dan
menjauh dari keluarga dan tanah air.
karena hubungan-hubungan itu menyibukkan dan memalingkan).
Dalam kontek pendidikan masa
kini, tidak ditemukan anjuran kepada
seorang murid yang sedang menuntut ilmu
agar menyedikitkan hubungan-hubungan
dengan kesibukan dunia, dan menjauh
dari keluarga dan tanah air. Memang
seorang murid yang sedang belajar
dianjurkan untuk konsentrasi penuh
dengan kegiatan belajarnya, sabar dan
penuh kesungguhan untuk meraih citacita, namun tidak dilarang untuk tetap
dekat dengan keluarga dan tanah air. Dr.
Yusuf Qardlawi berkata,” Di dalam
menuntut ilmu ini, yang penting bukanlah
membuat fisik lelah. Yang terpenting
adalah mengosongkan hati dari segala
jenis kehidupan dunia yang berbentuk
materi, kebisingan-kebisingan kehidupan
masyarakat (Yusuf Qardlawi, 1989:
115).
Dengan demikian, pemikiran
Imam Al Ghazali tentang tugas murid
yang kedua ini kurang sesuai dengan
pemikiran-pemikiran ahli pendidikan
masa kini yang tidak menganjurkan murid
untuk menyedikitkan hubungan-hubungan dengan kesibukan dunia, dan menjauh
diri dari keluarga dan tanah air. Namun
apabila yang dimaksud menyedikitkan
hubungan dengan kesibukan dunia dan
menjauh dari keluarga dan tanah air itu
dengan cara berkonsentrasi belajar, tidak

menghabiskan waktu untuk bersenangsenang dengan hiruk-pikuk kehidupan,
serta berlatih hidup mandiri, konsep
tersebut menjadi relevan dengan konsep
pendidikan saat ini. Karena dengan sikap
demikian, seorang murid akan dapat
belajar dengan baik, dan tidak terganggu
dengan urusan-urusan dunia.
3. Tugas ketiga: Tidak sombong
karena ilmu dan tidak menentang guru
(Tidak sombong karena ilmu dan tidak
menentang guru namun ia serahkan
kendali urusannya kepada guru itu secara
keseluruhan dalam setiap rincian, dan
mendengarkan nasehatnya seperti orang
yang sakit dan bodoh mendengarkan
dokter yang sayang dan cerdik (Imam
Al Ghazali, 1990:153)
Rasulullah SAW bersabda:
“Bukan dari akhlaq mu’min itu
merendahkan/menghinakan diri
kecuali dalam mencari ilmu” (H.R.
Ibnu Adi dari hadits Mu’adz dan Abu
Umamah dengan sanad yang lemah).
Seorang murid hendaknya tidak
menyombongkan diri karena ilmu,
termasuk tidak menyombongkan diri
kepada guru. Ia harus taat dan menerima
apa yang disampaikan oleh guru, sehingga
ilmu itu benar-benar dapat difahami. Hal
ini sesuai dengan peribahasa: “Seperti
ilmu padi”, semakin berisi semakin
tunduk, maka seorang murid semakin
banyak ilmu dan semakin pandai seharusnya akan semakin arif dan bijaksana.
Hendaklah orang yang belajar itu
menjadi seperti tanah gembur yang
menerima hujan deras lalu tanah itu

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

131

menghisap seluruh bagian-bagiannya dan
tanah itu meratakan kepada keseluruhannya karena penerimaan air hujan itu
(Imam Al Ghazali, 1990:155)
Teori di atas sesuai dengan adab
menuntut ilmu yang dijelaskan oleh Dr.
Yusuf Qardlawi, bahwa hendaklah para
penuntut ilmu menghormati dan menghargai para ulama dan berlapang dada
dalam menyikapi perbedaan pendapat
diantara mereka.
Yahya bin Mu’az mengatakan,
“Ulama (guru) lebih mengasihi umat
Muhammad ketimbang ibu bapak mereka sendiri”. Ketika ditanya mengapa
demikian, Yahya menjawab,”Karena ibu
bapak mereka hanya menjaga mereka
dari api dunia, sedangkan ulama menjaga
mereka dari api akhirat” Al Hasan
mengatakan, “Kalaulah tidak ada ulama
(guru-guru), manusia menjadi seperti
binatang.”Artinya, dengan mengajar
berarti para ulama membebaskan manusia dari kebinatangan kepada manusia
hakiki “(Yusuf Qardlawi, 1989:116117).
Dengan menghormati dan menghargai guru, seorang murid akan mampu
bersikap taat dan percaya terhadap guru
dan ilmu yang disampaikan, sebaliknya
bila murid tidak hormat kepada guru, ia
akan meremehkan ilmu yang diajarkannya.
4. Tugas keempat: Menjaga diri
dari belajar kepada banyak guru, pada
awal menuntut ilmu. (Orang yang baru
menerjunkan diri dalam ilmu pada awal
langkahnya, agar menjaga diri dari

mendengarkan pendapat manusia yang
berbeda-beda, baik dari ilmu-ilmu dunia
maupun ilmu-ilmu akherat).
Seorang murid yang baru memulai
belajar, hendaklah memilih satu guru dulu
dan tidak belajar kepada banyak guru
yang memiliki pendapat dan madzab yang
berbeda-beda, karena penting bagi
seorang murid untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu yang ia
pelajari. Belajar kepada banyak guru
yang memiliki madzab yang berbedabeda dikawatirkan akan menimbulkan
kebingungan bagi seorang murid yang
baru memulai pelajaran, karena murid
yang baru mulai belajar tentu belum
memiliki banyak bekal pengetahuan.
Belajar dari banyak guru tanpa
pemahaman yang baik, bisa mengakibatkan kesalah fahaman dalam
memahami suatu ilmu, sehingga sangat
mungkin menimbulkan kesesatan, karena
hal itu membingungkan akalnya, membingungkan benaknya. Seyogyanya
pertama-tama ia merapikan satu jalan
yang disukai oleh gurunya. Kemudian
setelah itu, ia mendengarkan madzabmadzab lain. Jika gurunya tidak merdeka
dengan memilih satu pendapat namun
kebiasaannya adalah menukil madzabmadzab dan apa yang menjadi pendapat
di dalamnya maka hendaklah ia berhatihati dari padanya (Imam Al Ghazali,
1990: 157).
Pemikiran Imam Al Ghazali ini
sangat baik apabila diterapkan oleh
setiap murid pada saat memulai mempelajari suatu ilmu, sehingga ilmu yang

132 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

dipelajari akan sangat tertanam dalam
hati, dan tertata dalam otak dengan baik,
tanpa diwarnai oleh pertentanganpertentangan akibat adanya perbedaan
pendapat para guru. Namun dalam
kontek pendidikan terkini, belum ditemukan anjuran kepada murid untuk
tidak belajar kepada banyak guru.
Bahkan di sekolah-sekolah jaman
sekarang, telah banyak diterapkan guru
mata pelajaran dan bukan lagi guru kelas
walaupun mereka masih di tingkat dasar
seperti SD dan TK, yang otomatis setiap
murid telah terbiasa belajar kepada
banyak guru sejak memulai kegiatan
belajar di Sekolah.
Namun apabila teori ini diterapkan
untuk mempelajari ilmu-ilmu fiqih, yang
terdiri dari beberapa madzhab dan
penafsiran, akan sangat tepat, karena
dalam ilmu-ilmu tersebut ditemukan
banyak perbedaan pendapat antara
penganut madzhab yang satu dengan
madzhab yang lain. Dengan mempelajari
madzhab satu demi satu, akan menjadikan seorang murid memiliki pemahaman
yang utuh dan lengkap dari sebuah
pemikiran/penafsiran, sehingga tidak
bingung untuk menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Tugas kelima, keenam, dan
ketujuh: Tidak meninggalkan satu vak
ilmu, dan mempelajari ilmu secara bertahap (Orang yang mencari ilmu tidak
meninggalkan satu vak yang terpuji, dan
tidak pula salah satu dari jenis-jenisnya,
kecuali ia melihat padanya dengan
pandangan yang meneliti maksud dan

tujuannya. Kemudian jika ia masih ada
umur maka ia mendalaminya. Jika tidak
maka ia sibuk (mengerjakan) mana yang
lebih penting dari padanya dan menyempurnakannya, dan mengambil sedikit dari
seluruh ilmu lainnya karena ilmu-ilmu itu
bantu-membantu, sebagiannya berkaitan
dengan sebagian yang lain).
(Tidak menerjunkan diri di dalam
suatu vak ilmu sekaligus, tetapi ia
menjaga tertib/urutan, dan memulai
dengan yang paling penting).
(Tidak menerjunkan diri ke dalam
satu vak ilmu sehingga ia menguasai
secara baik vak yang sebelumnya).
Dari tugas kelima, keenam, dan
ketujuh yang diuraikan oleh Imam Al
Ghazali, dapat disimpulkan bahwa
selayaknya seorang murid bersabar
dalam mencari ilmu dan tidak tergesagesa. Seorang murid yang sedang
menuntut ilmu tidak boleh meninggalkan
ilmu-ilmu lain yang bermanfaat. Ketika
ia dikaruniai panjang umur, maka ia
berusaha mendalami ilmu itu dan berusaha menyempurnakan ilmunya.
Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu sedikit demi sedikit, dan
setahap-demi setahap, serta mendahulukan ilmu yang paling penting hingga betulbetul menguasai ilmu yang dipelajari.
Karena tidak mungkin memasukkan
seluruh ilmu sekaligus ke dalam otak.
Manusia memiliki keterbatasan kemampuan, apabila dipaksakan bisa
mengakibatkan hal-hal yang tidak baik.
Ilmu itu memiliki tingkatan-tingkatan,
sehingga ilmu itu dapat difahami dengan

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

133

baik, dan tertata dalam ingatan secara
mendalam bila dipelajari secara bertahap,
dan berdasarkan tertib urutannya. Hal
tersebut bertujuan agar umat Islam
memiliki ilmuwan-ilmuwan muslim yang
kaffah, menguasai berbagai bidang ilmu,
dan dapat mensyi’arkan Islam melalui
ilmunya.
Pemikiran Imam Al Ghazali di atas,
sesui dengan firman Allah SWT dalam
Al Qur’an:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk (membaca) Al Quran Karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya
(Q.S.Al Qiyamah:16).
Ayat di atas ditujukan kepada
Nabi Muhammad s.a.w. yang dilarang
oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s.
kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s.
selesai membacakannya, agar nabi
Muhammad s.a.w. dapat menghafal dan
memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu. Bila Nabi Muhammad SAW
sebagai seorang Nabi yang cerdas saja
dilarang untuk tergesa-gesa, tentu bagi
manusia yang memiliki kemampuan
terbatas harus lebih bersabar dan tidak
tergesa-gesa ingin menguasai ilmu-ilmu
lain, sebelum ilmu-ilmu dasarnya dikuasai.
Pemikiran ini juga sesuai dengan
dengan pendapat Sulaiman, bahwa
dalam dunia pendidikan sabar sangatlah
penting, karena sifat sabar akan mendorong kepada keberhasilan kegiatan
belajar mengajar. Guru yang sabar dalam
mengajar ketika berinteraksi dengan
murid yang sabar dalam belajar, menjadi

klop, seia sekata untuk mewujudkan
tujuan pendidikan bersama-sama.
Pemikiran Imam Al Ghazali di atas,
sesuai juga dengan penjelasan Dr. Yusuf
Qardlawi, bahwa hendaklah para penuntut ilmu bersabar dan tidak tergesagesa dalam menuntut ilmu, tidak terputus
(ditengah jalan) dan tidak pula bosan,
bahkan terus menerus menuntut ilmu
semampunya.
6. Tugas kedelapan: Mengetahui
kedudukan dan manfaat ilmu (Mengetahui sebab yang dapat digunakan untuk
mengetahui semulia-mulia ilmu (Imam Al
Ghazali, 1990:162).
Maksud pernyataan ini adalah,
hendaknya seorang murid memahami
kemuliaan/kemanfaatan ilmu serta
kekuatan dan kepercayaan dalilnya.
Sebagai contoh, ilmu agama dan ilmu
kedokteran. Ilmu agama akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan
hidup di akherat, sementara ilmu kedokteran (seandainya tidak dipelajari)
tidak akan membawa manusia kepada
kecelakaan akherat. Sementara, ilmu
agama adalah merupakan ilmu yang
wajib dipelajari dan difahami oleh setiap
muslim.
Pemikiran Imam Al Ghazali ini
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
maupun tujuan pendidikan Islam, bahwa
mencari ilmu untuk menjadi manusia yang
bertakwa kepada Allah, dan menjadi
manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Pendidikan nasional Indonesia
dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003,
bertujuan untuk berkembangnya potensi

134 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (E. Mulyasa,
2009:20).
Sedangkan tujuan pendidikan
Islam adalah: Pendidikan dalam Islam
haruslah berusaha membina atau mengembalikan manusia kepada fitrahnya
yaitu kepada Rubbubiyah Allah sehingga
mewujudkan manusia yang (1) berjiwa
Tauhid, (2) takwa kepada Allah, (3) rajin
beribadah dan beramal shalih, (4) ulil
albab, serta (5) berakhlakul karimah
(Heri Jauhari Muchtar, 2005:128).
Ketika seorang murid memiliki
tujuan mempelajari suatu ilmu, dan
mengetahui sejauh mana manfaat,
kedudukan dan kemuliaannya, ia akan
lebih semangat dan lebih terarah dalam
melaksanakan kegiatan belajarnya.
Pemikiran ini sangat baik apabila
diterapkan dalam kontek pendidikan
masa kini, sehingga seorang murid dapat
memilih ilmu-ilmu yang akan dipelajari
sesuai cita-cita yang hendak dicapai,
sehingga ilmu-ilmu yang dipelajari adalah
ilmu-ilmu yang tepat guna, dan dapat
memberi manfaat, serta dapat mengantarkan kepada kemuliaan.
7. Tugas kesembilan: Tujuan
mencari ilmu adalah mendekatkan diri
kepada Allah dan dekat dengan orangorang yang didekatkan kepada Allah
(Tujuan murid sekarang adalah
menghiasi dan mengindahkan batinnya

dengan keutamaan. Dan besok adalah
mendekatkan diri kepada Allah Yang
Maha Suci, dan mendaki untuk bertetangga dengan kelompok yang tinggi
dari para malaikat dan orang-orang yang
didekatkan (kepada Allah).
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang beriman apabila
kamu dikatakan kepadamu: “Berlapanglapanglah dalam majlis”,
Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: “Berdirilah
kamu”, Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Q.S.Al-Muja-dilah:11).
Seorang murid hendaknya memperhatikan tujuannya mencari ilmu,
bahwa mencari ilmu itu seharusnya
ditujukan untuk menghiasi dan mengindahkan batinnya dengan keutamaan
demi meraih ridho Allah SWT, dekat
dengan orang-orang yang dekat dengan
Allah, dan bukan sekedar untuk memperoleh harta dan kedudukan di dunia,
karena Allah akan meninggikan derajat
orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari
yang lain. Dengan demikian, seorang
murid akan senantiasa bersemangat
dalam belajar, selalu berusaha melapangkan dada untuk berlama-lama dalam
majlis ilmu, dan tidak bermalas-malasan.
Mencari ilmu menjadi sebuah kebutuhan
dan kesenangan, karena akan mendapat

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

135

derajat yang tinggi dari Allah SWT dan
akan dekat dengan orang-orang yang
dekat dengan Allah.
Pemikiran Imam Al Ghazali di atas,
sesuai dengan firman Allah dalam Al
Qur’an surat Al Bayyinah ayat 5:
“Dan mereka tidak di suruh kecuali
supaya beribadah kepada Allah
dengan memurnikan keta’atan
kepada-Nya dalam (menjalankan)
Agama dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus” (Q.S. AlBayyinah : 5).
Menuntut ilmu adalah bagian dari
beribadah kepada Allah SWT, dimana
ibadah hanya akan diterima ketika
dilakukan dengan ikhlas. Maka seorang
murid dalam mencari ilmu harus ikhlas,
dan bertujuan semata-mata untuk
mencari ridha Allah.
Pemikiran Imam Al Ghazali di atas,
juga sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang telah dicanangkan oleh
pemerintah dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas pada Bab II
Pasal 3, bahwa pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pemikiran tersebut, sesuai juga
dengan tujuan pendidikan Islam yang

dipaparkan oleh Heri Jauhari Muchtar,
bahwa:
Pendidikan dalam Islam haruslah
berusaha membina atau mengembalikan
manusia kepada fitrahnya yaitu kepada
Rubbubiyah Allah sehingga mewujudkan
manusia yang (1) berjiwa tauhid, (2)
takwa kepada Allah, (3) rajin beribadah
dan beramal shalih, (4) ulil albab, serta
(5) berakhlakul karimah.
Tujuan mencari ilmu adalah untuk
mewujudkan manusia yang berjiwa
tauhid, takwa kepada Allah, rajin
beribadah dan beramal shalih, menjadi
ulil albab, serta berakhlakul karimah,
bukan bertujuan untuk mengejar kemegahan, kedudukan, dan kemewahan.
8. Tugas kesepuluh: Mengetahui
kaitan ilmu-ilmu itu dengan tujuannya
(Mengetahui kaitan ilmu-ilmu itu dengan
tujuannya, sebagaimana tujuan yang
tinggi dan dekat itu berpengaruh kepada
tujuan yang jauh; dan yang penting
berpengaruh atas lainnya).
Seorang murid hendaknya memahami kaitan ilmu dengan tujuannya.
Apa manfaat ilmu yang ia pelajari,
dan akan digunakan untuk apa? Apakah
ilmu yang ia pelajari akan mampu
menjadikannya lebih mengenal Allah?
Ataukah justru menjauhkannya kepada
Allah.
Pemikiran Imam Al Ghazali ini
sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan manusia yang ulil albab, yaitu manusia yang
dapat memikirkan dan meneliti keagungan Allah melalui ayat-ayat qauliyah

136 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

yang terdapat dalam kitab Al Qur’an, dan
ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah) yang terdapat di alam
semesta.
Orang-orang yang mampu memikirkan dan meneliti keagungan Allah
melalui ayat-ayat qauliyah yang terdapat
dalam kitab Al Qur’an, dan ayat-ayat
kauniyah (tanda-tanda kekuasaan
Allah) berupa ciptaan-ciptaan Allah yang
terdapat di alam semesta, akan mampu
memahami apa tujuan Allah menciptakan
semuanya di muka bumi ini, hingga
mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan
ilmu itu dipelajari. Kemudian mereka
mengucapkan:
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka (Q.S.Ali Imran:191).
Orang-orang yang berpredikat ulil
albab akan semakin yakin dan semakin
tunduk kepada Allah SWT, karena
dengan ilmunya mereka akan semakin
mengenal Allah, dan mengetahui keagungan dan kekuasaan-Nya.
Adab dan tugas-tugas Guru dalam
berinteraksi dengan Murid
Untuk menjadi seorang pendidik
yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan
beberapa kriteria yang harus dipenuhi
oleh seorang guru.
Imam Al-Ghazali berpendapat
bahwa guru yang dapat diserahi tugas
mendidik adalah guru yang selain cerdas
dan sempurna akalnya, juga guru yang
baik akhlaknya dan kuat fisiknya Dengan

kesempurnaan akal ia dapat memiliki
berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dan dengan akhlaknya yang
baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat
fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik dan mengarahkan
anak-anak muridnya dengan optimal
(Abuddin Nata, 2010:157).
Selain sifat-sifat umum yang harus
dimiliki guru sebagaimana disebutkan di
atas, seorang guru yang baik menurut
Imam Al Ghazali juga memiliki sifat-sifat
khusus atau tugas-tugas sebagai berikut:
1. Tugas pertama: Belas kasih
kepada murid (Belas kasih kepada murid
dan memeperlakukan mereka seperti
memperlakukan anak-anaknya)
Rasa kasih sayang dan memperlakukan murid-murid bagaikan anak
sendiri, akan menimbulkan rasa percaya
diri dan rasa tenteram pada diri murid
terhadap gurunya, yang pada gilirannya
akan dapat menciptakan situasi yang
mendorong murid untuk menguasai ilmu
yang diajarkan oleh seorang guru,
memberi motivasi dan semangat yang
tinggi untuk belajar dan mengamalkan
ilmunya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya saya bagimu adalah
seperti orang tua kepada anaknya”
(H.R. abu Dawud, An Nasa’I, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Abu
Huroiroh).
Ketika seorang guru mampu
menyayangi muridnya, maka ia akan
bersungguh-sungguh mendidik, dan

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

137

mengarahkan murid-muridnya mencapai
tujuan belajarnya. Ia akan berusaha keras
untuk memahamkan ilmu yang ia ajarkan,
dan akan dengan sabar dan lapang dada
menangani murid-muridnya, betapapun
murid yang dihadapi adalah murid yang
kurang pandai dan sulit diatur.
Dengan belas kasih, berarti guru
telah berusaha untuk menciptakan dan
mengembangkan situasi belajar mengajar
(iklim kegiatan belajar mengajar) yang
mendorong, merangsang, menantang,
memberikan rasa aman kepada muridnya, sehingga dapat menarik anak didik
untuk melakukan kegiatana atau aktivitas
belajar secara optimal. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Hapidin dan
Winda Gunarti bahwa:
Dalam istilah pendidikan, pembelajaran pada hakekatnya adalah usaha
dari guru (pendidik) untuk menyusun,
menciptakan dan mengembangkan
situasi belajar mengajar (iklim kegiatan
belajar mengajar) yang mendorong,
merangsang, menantang, memberikan
rasa aman, menarik minat anak didik
untuk melakukan kegiatan atau aktivitas
belajar secara optimal. Dengan merangsang aktivitas belajar anak didik
secara optimal, maka dapat di asumsikan
bahwa hasil belajar anak didik tersebut
akan optimal pula.
Mendidik dengan belas kasih juga
sesuai dengan pendapat Edi Suardi, yaitu
mendidik dan mengantarkan anak didik
ke arah kedewasaannya.
Guru yang belas kasih kepada
murid, insya Allah akan berhasil meng-

antarkan anak didiknya ke arah kedewasaan. Sebab dengan kasih sayang,
akan melahirkan kedekatan emosi, yang
mendorong anak didik mudah bertukar
fikiran, dan bertanya kepada guru saat
tidak memahami materi pelajaran yang
disampaikan.
2. Tugas kedua: Mengikuti pemilik
syara’ Nabi Muhammad SAW (Mengikuti pemilik syara’ Nabi Muhammad
SAW).
Seorang guru harus mengikuti
Sang pemilik syara’ Nabi Muhammad
SAW, bagi seorang muslim filsafat
kependidikan bersumber kepada Al
Qur’an dan sunah Rasul, karena Al
Qur’an dan sunnah adalah pedoman
utama dari setiap langkah dan kerja
untuk mencapai ridho Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:”Aku tinggalkan padamu dua hal, yang tidak akan
sesat kamu selama berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan
sunnah Nabi-Nya.”(HR Ibnu ‘Abdilbarri).
Al Qur’an adalah petunjuk kehidupan bagi semua manusia, dan
Rasulullah adalah uswah hasanah yang
menjadi teladan dari setiap amal perbuatan. Maka Allah SWT memerintahkan agar kita beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta menjadikan Rasulullah
SAW sebagai suri tauladan dan tokoh
panutan yang harus diikuti oleh seorang
guru.
Allah SWT berfirman:
Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya dan kepada cahaya

138 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

(Al Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan (Q.S. AtTaghabun:8).
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”(Q.S.Al
Ahzab: 21).
Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap
orang ‘alim (berilmu), maka seorang
guru juga harus meniru Rasulullah SAW.
yang mengajar ilmu hanya karena Allah,
tidak mengharapkan imbalan dari muridmuridnya, dan menjadikan kegiatan
mengajarnya itu untuk bertaqarrub
kepada Allah. Imam Al Ghazali berkata:
Seandainya tidak karena orang yang
belajar ini niscaya kamu tidak memperoleh pahala. Maka janganlah kamu
minta upah kecuali dari Allah Ta’ala.
Sebagaimana Allah Azza Wa Jalla
berfirman :
“Dan (Dia berkata): “Hai kaumku,
Aku tiada meminta harta benda
kepada kamu (sebagai upah) bagi
seruanku. upahku hanyalah dari Allah
dan Aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman.
Sesungguhnya mereka akan bertemu
dengan Tuhannya, akan tetapi Aku
memandangmu suatu kaum yang
tidak Mengetahui” (Q.S.Hud:29).
Perkataan Imam Al Ghazali tersebut di atas, dapat difahami bahwa

seorang guru harus ikhlas, dan meniatkan
pekerjaan mengajarnya untuk mendekatkan diri kepada Allah semata,
karena bagi seorang guru, mengajar dan
menyampaikan ilmu adalah tugas utama.
Pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat Sulaiman, bahwa seorang guru
juga harus ikhlas. Ikhlas menjalankan
pekerjaannya semata-mata karena Allah,
dan hanya mengharap ridha dan pahalaNya. Rasulullah Saw bersabda: “Sesengguhnya Allah tidak menerima
suatu amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena dia
semata-mata dan dimaksudkan untuk
mencari keridhoan-Nya.”(HR. Abu
Dawud dan Nasaa’i)
Pendidik yang ikhlas dalam melaksanakan tugasnya berniat sematamata karena Allah dalam seluruh pekerjaan mendidiknya, baik berupa
perintah, larangan, nasihat, pengawasan,
atau hukuman yang dilakukannya.
Namun demikian, ikhlas bukan berarti ia
tidak boleh menerima imbalan jasa, akan
tetapi jangan terniat dalam hati bahwa
pekerjaan mendidik yang di lakukannya
karena mengharapkan materi, akan
tetapi semata-mata sebagai pengabdian
kepada Allah SWT. Bila seorang guru
mengkhususkan diri untuk mengajar,
sedang ia tidak mempunyai income lain
sebagai mata pencahariannya, maka ia
boleh menerima imbalan jasanya. Dr.
Abdullah Nashih Ulwan mengatakan:
Jika seorang guru mengkhususkan
dirinya untuk kegiatan belajar mengajar,
sedang sarana-sarana untuk memenuhi

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

139

kebutuhan hidupnya sulit didapatkan, dan
Negara atau masyarakat melalaikan
masalah ini, maka ia diperbolehkan
memungut upah dari pekerjaan mengajarnya itu sebagai imbalan jasa demi
menjaga kehormatan diri dan memenuhi
kebutuhan hidupnya (Abdullah Nashih
Ulwan, 1981:281).
3. Tugas ketiga: Tidak meninggalkan sedikitpun dari nasehat-nasehat guru
(Jangan meninggalkan sedikitpun dari
nasehat-nasehat guru)
Imam Al Ghazali mengatakan
bahwa seorang guru hendaknya mencegah murid untuk memasuki tingkatan
sebelum ia berhak, dan tidak boleh
menyibukkan diri dengan ilmu yang samar
sebelum selesai dari ilmu yang jelas. Guru
juga harus senantiasa mengingatkan
bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk
mendekatkan diri dan mencari ridho Allah
SWT, bukan semata-mata untuk kemegahan, kedudukan, dan kemewahan.
Pernyataan tersebut sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yang telah
dicanangkan oleh pemerintah dalam
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pada Bab II Pasal 3, bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Bukan bertujuan untuk menjadikan manusia yang

mengejar kemegahan, kedudukan, dan
kemewahan.
Pemikiran Imam Al Ghazali ini,
juga sesuai dengan pendapat Mardias
Gufron, bahwa:
Seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan
penyuluh yang jujur dan benar di hadapan
murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran
yang lebih tinggi sebelum menguasai
pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak
boleh membiarkan waktu berlalu tanpa
peringatan kepada muridnya bahwa
tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan
bukan untuk mengejar pangkat, status
dan hal-hal yang bersifat keduniaan.
Seorang guru tidak boleh tenggelam
dalam persaingan, perselisihan dan
pertengkaran dengan sesama guru
lainnya (Mardias Gufron, 2000:2).
4. Tugas keempat: Mencegah
murid dari akhlaq yang buruk dengan
cara yang halus (Mencegah murid dari
akhlaq yang buruk dengan jalan sindiran,
sedapat mungkin tidak dengan terangterangan, dengan jalan kasih sayang,
tidak dengan jalan rahasia. Karena
terang-terang itu merusak tirai kewibawaan dan menyebabkan berani
menyerang karena perbedaan pendapat,
dan menggerakkan kesombongan terusmenerus)
Seorang guru hendaknya menasehati muridnya dengan halus, tidak
kasar dan tanpa caci maki. Karena
dengan kehalusan akan lebih mudah

140 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

meluluhkan hati, sedangkan dengan
kekerasan justru akan menjadikan anak
menentang dan membangkang. Hal ini
sesui dengan firman Allah SWT dalam
surat Ali Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah Lembut
terhadap mereka. sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S.Ali Imran:
159).
Dari ayat tersebut dapat kita ambil
pelajaran bahwa, bila seorang guru
berlaku keras dan berhati kasar, maka
seorang murid akan menjauh darinya.
Bagaimana guru dapat berinteraksi
dengan baik dengan murid, bila murid
menjauh dari guru? Maka seorang guru
harus mampu bersikap lemah lembut
kepada murid-muridnya.
Pemikiran Imam Al Ghazali tersebut juga sesuai dengan penjelasan
tentang kompetensi kepribadian guru,
bahwa seorang guru harus memiliki
kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa,
berakhlak mulia, menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengem-

bangkan diri secara berkelanjutan.
Sulaiman mengatakan bahwa Guru
juga harus memiliki sifat sabar dalam
melaksanakan tugas mendidik muridmuridnya di sekolah. Sabar ialah salah
satu kekuatan jiwa, yang dengannya
segala urusan jiwa menjadi baik dan
tuntas. Di dalam dunia pendidikan, sabar
sangat di perlukan oleh seorang pendidik
dalam berinteraksi dengan anak didiknya.
Sabar dalam menghadapi kenakalan
anak didik, kekurangan anak didik dalam
bidang pengetahuan, dan sabar dalam
membina serta mendidik perilaku mereka, sehingga mereka menjadi anak yang
mulia dan berguna bagi masyarakat.
Pendapat Imam Al Ghazali ini, juga
sesuai dengan pendapat Mardias Gufran,
bahwa:
Dalam kegiatan mengajar seorang
guru hendaknya menggunakan carayang
simpatik, halus dan tidak menggunakan
kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru
hendaknya jangan mengekspose atau
menyebarluaskan kesalahan muridnya di
depan umum, karena cara itu dapat
menyebabkan anak murid yang memiliki
jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan
jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung
bagi terlaksananya pengajaran yang baik
(Mardias Gufron, 2000:2)
Teori Imam Al Ghazali di atas,
sesuai juga dengan metode interaksi guru
murid targhib dan tarhib. Targhib ialah
janji terhadap kesenangan, kenikmatan

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

141

akhirat yang disertai bujukan. Tarhib
ialah ancaman kerena dosa yang dilakukan. Keduanya bertujuan agar
manusia mematuhi aturan Allah. Akan
tetapi, tekanannya ialah targhib agar
melakukan kebaikan, sedangkan tarhib
agar menjauhi kejahatan.
Metode ini didasarkan atas fitrah
(sifat kejiwaan) manusia, yaitu sifat
keinginan kepada kesenangan, keselamatan, dan tidak menginginkan
kepedihan, dan kesengsaraan. Dengan
metode targhib dan tarhib ini diharapkan, murid yang berakhlak buruk dan
melakukan kesalahan dapat menyadari
kesalahannya, kemudian bertaubat
kepada Allah dan bertekad untuk tidak
mengulangi kesalahannya lagi.
Mencegah murid dari perbuatan
buruk dengan sindiran, tidak dengan
terang-terangan, dan dengan kasih
sayang, sesuai juga dengan pendekatan
pembelajaran qur’ani, yaitu pendekatan
ifrady (individual), bahwa mencegah
murid dari perbuatan buruk sebaiknya
dilakukan secara individual, tidak terangterngan di depan umum.
Karena apabila mengingatkan
murid di depan umum, murid akan
merasa dipermalukan, sehingga membuat
murid merasa malu dan bahkan bisa jadi
semakin tidak baik.
Mencegah murid dari perbuatan
buruk dengan kasih sayang ini sesuai
dengan pendekatan pembelajaran
wijdaniy (emosi). Pendekatan Wijdaniy
adalah pendekatan yang dilakukan untuk
menggugah daya rasa atau emosi peserta

didik agar mampu meyakini, memahami
dan menghayati materi yang disampaikan
(Mukhlis F, 2009:4).
Pendekatan ini seringkali digunakan agar mampu meyakini, memahami
dan menghayati agamanya. Dengan
pendekatan emosi ini diharapkan, murid
akan tersentuh hatinya, kemudian ia
berusaha merubah perilaku buruk dengan
kesadarannya sendiri, tanpa paksaan.
Teori Imam Al Ghazali ini, juga
sesuai dengan metode interaksi guru
murid, yaitu metode ibrah dan mau’idzah. Ibrah ialah suatu kondisi psikis
yang menyampaikan manusia kepada
intisari sesuatu yang disaksikan, yang
dihadapi, dengan menggunakan nalar,
yang menyebabkan hati mengakuinya.
Adapun mau’idzah ialah nasihat yang
lembut, yang diterima oleh hati dengan
cara menjelaskan pahala atau ancamannya (Ahmad Tafsir, 2008:145).
Dengan metode ibrah dan mau’idzah ini, seorang guru dapat menyentuh
hati muridnya yang berbuat dan berakhlaq buruk untuk kembali kepada
ajaran Islam yang mengutamakan akhlaq
mulia.
5. Tugas kelima: Tidak menjelekjelekkan ilmu diluar keahliannya (Orang
yang bertanggung jawab dengan sebagian ilmu itu seyogyanya tidak menjelekjelekkan ilmu di luar keahliannya dihadapan murid-murid-nya)
Seorang guru yang baik hendaknya mampu tampil sebagai teladan atau
panutan yang baik bagi murid-muridnya.
Dalam hubungan ini seorang guru harus

142 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

bersikap toleran dan mau menghargai
keahlian orang lain, dan tidak mencela
ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau
spesialisasinya. Hal ini penting, agar
murid-murid juga bersikap sama seperti
gurunya.
Guru tidak boleh mencela ilmuilmu lain, karena ilmu yang satu dengan
ilmu yang lain saling melengkapi dan
saling berkaitan. Imam Al Ghazali
mengatakan: Guru ilmu fiqih biasanya
memburukkan ilmu hadits dan tafsir, di
mana hal itu semata-mata menukil dan
mendengar. Itu adalah peri keadaan
orang-orang yang lemah dan tidak ada
pemikiran akal padanya.
Pendapat di atas, sesuai dengan
teori kompetensi sosial, bahwa seorang
guru sebagai bagian dari masyarakat
harus mampu untuk berkomunikasi lisan
dan tulisan, menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta
didik; dan bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar.
Seorang guru harus mampu berkomunikasi secara baik sesama pendidik
dan tenaga kependidikan. Hal tersebut
tidak akan terjadi bila guru mencela ilmuilmu yang lain, yang secara otomatis
berarti pula mencela pemilik ilmunya
yaitu sesama guru/pendidik.
Pemikiran ImamAl Ghazali ini juga
sesuai dengan salah satu metode interaksi
guru dan murid yaitu metode hiwar
Qur’ani dengan pendekatan ijtima’i

(pendekatan kelompok). Karena manusia adalah makhluk sosial, maka manusia
tidak dapat hidup sendiri terpisah dari
manusia-manusia yang lain. Manusia
senantiasa hidup dalam kelompokkelompok kecil, seperti keluarga atau
kelompok yang lebih luas lagi yaitu
masyarakat. Guru sebagai salah satu
unsur pendidikan, tidak bekerja sendiri
di sekolah, namun ia bekerja bersamasama dengan guru-guru yang lain, oleh
karena itu ia harus mampu menjaga diri,
agar hubungan sesama guru berlangsung
dengan baik, yang akan berimbas pula
terhadap hubungan baik antara guru
dengan murid-muridnya. Maka tidak
salayaknya seorang guru mencela ilmuilmu yang lain, yang berarti pula mencela
guru-guru lain.
6. Tugas keenam dan ketujuh:
Mengajarkan ilmu menurut kadar kemampuan muridnya, dan menyampaikan ilmu dengan jelas kepada murid
yang kurang pandai (Mencukupkan bagi
murid menurut kadar kemampuannya.
Maka ia tidak menyampaikan kepada
murid sesuatu yang tidak terjangkau oleh
akalnya)
(seyogyanya menyampaikan
kepada murid yang pendek (akal)
sesuatu yang jelas dan pantas baginya,
dan tidak menyebutkan padanya bahwa
di balik ini ada sesuatu yang detail di
mana ia menyimpannya darinya)
Imam Al Ghazali berkata: Takarlah
setiap orang dengan standar akalnya,
dan timbanglah ia dengan timbangan
pemahamannya sehingga kamu selamat

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

143

dari padanya dan bermanfaat bagimu.
Dan jika tidak maka terjadilah pengingkaran karena perbedaan standar.
Pernyataan tersebut sesuai dengan
teori kompetensi pedagogic. Yaitu
kemampuan guru dalam pengelolaan
peserta didik yang meliputi pemahaman
wawasan atau landasan kependidikan,
pemahaman terhadap peserta didik,
pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan
dialogis, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya.
Seorang guru harus memahami
peserta didik, bahwa pada hakekatnya
murid adalah merupakan subyek didik
yang memiliki karakter, potensi dan
kebutuhan masing-masing. Setiap
peserta didik memiliki sifat dan karakter
yang berbeda, dan memiliki tingkat
kecerdasan yang berbeda, karena itu
seorang guru harus mampu memperlakukan peserta didik sesuai dengan
karater dan potensinya tersebut, sehingga anak didik dapat berkembang
sesuai dengan tugas perkembangannya.
Guru yang baik memiliki prinsip
mengakui adanya perbedaan potensi
yang dimiliki oleh murid secara individual
dan memperlakukan murid sesuai dengan
tingkat perbedaan yang dimilikinya.
Seorang guru hendaknya membatasi diri
dalam mengajar sesuai dengan batas
kemampuan pemahaman murid, dan
tidak memberikan pelajaran yang tidak

dapat dijangkau oleh akal muridnya,
karena hal itu dapat menimbulkan rasa
antipati atau merusak akal muridnya, dan
menyebabkan murid kehilangan semangat belajar.
Guru juga harus memahami bahwa
setiap siswa memiliki minat yang berbeda-beda dalam hal mempelajari suatu
ilmu. Ada murid yang lebih berminat
dalam bidang ekonomi, tetapi tidak
berminat di bidang matematika misalnya.
Ada yang berminat dalam bidang matematika, tetapi tidak berminat dalam
bidang olah raga. Seorang guru yang baik
adalah guru yang memahami perbedaan
tingkat kemampuan dan kecerdasan
muridnya, juga memahami bakat, tabiat
dan kejiawaannya. Kepada murid yang
kemampuannya kurang, hendaknya
seorang guru tidak mengajarkan hal-hal
yang rumit, yang tidak mudah difahami,
sekalipun guru menguasainya.
Imam Al Ghazali mengatakan:
“Bahkan tidak seyogyanya bersama
orang-orang awam untuk menyelami
hakekat-hekekat ilmu-ilmu yang detaildetail. Tetapi terbatas bersama mereka
pada pengajaran ibadat dan pengajaran
amanat dalam pekerjaan-pekerjaan
yang dihadapinya.
Mengisi hati mereka dengan
senang kepada surga dan takut terhadap
neraka, sebagaimana yang dilafalkan
oleh Al Qur’an.
Hal tersebut di atas sesuai dengan
pendapat Elizabet Hurlock, bahwa setiap
anak adalah unik. Setiap anak mengikuti
pola perkembangan yang berbeda

144 SUHUF, Vol. 23, No. 2, Nopember 2011: 127 - 150

dengan pola perkembangan yang diikuti
oleh anak yang lain. Semua anak yang
berusia sama tidak dapat diharapkan
untuk bersikap dengan cara yang sama.
Guru harus menyadari, bahwa ada
murid yang cerdas dalam bidang tertentu
namun lemah dalam bidang yang lain.
Ada murid yang memiliki kecerdasan
yang tinggi, ada pula yang tingkat
kecerdasannya rata-rata, bahkan ada
murid yang tingkat kecerdasannya di
bawah rata-rata. Yang dengan demikian,
guru akan mampu bersikap secara
proporsional dalam memberikan tugas,
dan mampu memilih metode yang tepat
dalam berinteraksi dengan muridmuridnya.
Pemikiran ini juga sesuai dengan
metode pembelajaran qur’ani dengan
pendekatan ifrady (individual). Pendekatan ifrady adalah pendekatan yang
dilakukan untuk memberikan perhatian
kepada seseorang (peserta didik)
dengan memperhatikan masing-masing
karakter yang ada pada mereka (Mukhlis
F, 2009:4).
Dengan pendekatan ifrady, guru
akan mampu menakar kemampuan/
potensi masing-masing murid dengan
baik, sehingga ia dapat memberikan
pelajaran yang sesuai dengan daya
tangkap muridnya.
6. Tugas kedelapan: Mengamalkan ilmu yang diajarkan (Guru itu mengamalkan ilmunya. Janganlah ia mendustakan perkataannya karena ilmu itu
diperoleh dengan pandangan hati sedangkan pengamalan itu diperoleh

dengan pandangan mata. Padahal pemilik pandangan mata itu lebih banyak)
Seorang guru hendaknya berpegang teguh kepada prinsip yang
diucapkannya, serta berupaya untuk
melaksanakannya. Ia harus berusaha
untuk menjadi suri tauladan bagi muridmuridnya, dan jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan prinsip yang diucapkannya.
Apabila hal itu dilakukan, maka
seorang guru akan kehilangan kewibawaan dan kepercayaan. Ia akan
menjadi sasaran penghinaan dan ejekan
yang pada gilirannya akan menyebabkan
ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan
mampu lagi mengarahkan atau memberi
nasehat kepada murid-muridnya.
Pendapat Al Ghazali di atas, sesuai
dengan teori tentang metode interaksi
guru murid yaitu metode keteladanan.
Bahwa bila dicermati secara historis
salah satu faktor terpenting yang membawa Rasulullah SAW. kepada keberhasilan adalah keteladanannya. Allah
SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya pada diri
Rasulullah itu ada tauladan yang baik
bagi orang yang mengharapkan
(bertemu dengan) Allah dan hari
kemudian dan yang mengingat Allah
sebanyak-banyaknya” (QS. Al-Ahzab:
21).
Rasulullah SAW selalu terlebih
dahulu mempraktekkan semua ajaran
yang disampaikan Allah kepadanya,
sebelum menyampaikannya kepada

Adab Interaksi Guru dan Murid ... (Ari Aji Astuti, dkk.)

145

umatnya, sehingga tidak ada celah bagi
orang-orang yang tidak senang untuk
membantah dan menuduh bahwa
Rasulullah Saw. hanya pandai bicara dan
tidak pandai mengamalkan.
Pemikiran Imam Al Ghazali tersebut juga sesuai dengan firman Allah
SWT dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 44:
“Mengapa kamu suruh orang la