Diagnosis Dan Penatalaksanaan Ensefalopati Hipoglikemik

(1)

REFARAT

Jumat, 30 Desember 2011

STASE ENDOKRINOLOGI

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

ENSEFALOPATI HIPOGLIKEMIK

OLEH

dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu.) Nomor Register CHS : 19549

Pembimbing :

dr. Dharma Lindarto, Sp.PD (K.EMD)

DEPARTEMEN NEUROLOGI/ PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN


(2)

Judul Refarat : Diagnosis dan Penatalaksanaan Ensefalopati Hipoglikemik Nama : dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu.)

Nomor Register CHS : 19549 Program Studi : Neurologi

Stase Endokrinologi : 01 – 31 Desember 2011 Hari/Tanggal : Jumat, 30 Desember 2011

Menyetujui/ Mengesahkan : Ketua Subdevisi

Endokrinologi Metabolik Diabetik Penyakit Dalam

FK USU/RSUP. HAM Medan

NIP. 19551221 198502 1 001 _dr. Dharma Lindarto, Sp.PD (K.EMD)_


(3)

KATA PENGANTAR

Ensefalopati hipoglikemik merupakan kerusakan otak sementara atau permanen yang disebabkan oleh kekurangan glukosa.

Makalah ini secara umum membahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan secara khusus diagnosa serta penatalaksanaan dari ensefalopati hipoglikemik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam menjalani stase Endokrinologi dalam pendidikan di bidang Neurologi. Kritikan dan koreksi yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini sangat kami harapkan

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dharma Lindarto, Sp.PD (K.EMD), selaku pembimbing, atas pengarahan dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan makalah ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Hormat saya,


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Daftar Gambar iii

I. Pendahuluan 1

II. Definisi 2

III. Etiologi 2

IV. Patofisiologi 2

V. Manifestasi Klinis 4

VI. Diagnosis

VI.1. Pemeriksaan Neurologis 5 VI.2. Pemeriksaan Penunjang 7 VII. Penatalaksanaan

VII.1. Penatalaksanaan Umum 10 VII.2. Penatalaksanaan Hipoglikemik 10 VII.3. Penatalaksanaan Peningkatan Tik 10 VII.4. Penatalaksanaan Kejang 11


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Neuroimejing 8

Gambar 2. Skema penegakan diagnosa pasien


(6)

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ENSEFALOPATI HIPOGLIKEMIK

Chairil Amin Batubara I. PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Dari data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM di daerah urban 14,7% (8,2 juta) dan 7,2% (5,5 juta) di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi tersebut maka prevalensi DM di daerah urban 14,7% (12 juta) dan daerah rural 7,2% (8,1 juta).

Hipoglikemia pada pasien DM merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Gangguan pasokan glukosa ke otak yang berlangsung beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf. Dalam the Diabetes Control and

Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada pasien diabetes tipe 1,

kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien setiap tahunnya pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien setiap tahunnya pada kelompok yang mendapat terapi konvensional. Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf

mendapatkan kejadian hipoglikemia berat sebanyak 28 orang dengan terapi insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional. Pada pasien DM tipe 2 kejadian hipoglikemia berat jauh lebih sedikit. Dari the United Kingdom

Prospective Diabetes Study (UKPDS), pada kadar HbA1c yang setara dengan

DCCT, dalam 10 tahun pertama kejadian hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada 0,4%, glibenklamid 0,6% dan insulin 2,3%. Kejadian hipoglikemia juga meningkat dengan penggunaan insulin yang semakin lama.

(1)

(2)

II. DEFINISI

Ensefalopati hipoglikemik adalah kerusakan otak sementara atau permanen yang disebabkan oleh kekurangan glukosa (kadar glukosa darah < 60 mg/ dl). (1,3)

III. ETIOLOGI

Penyebab ensefalopati hipoglikemik pada banyak kasus adalah kelebihan dosis insulin. Penyebab lain meliputi: obat oral hipoglikemik, insulin-secreting

neoplasm (insulinoma), defisiensi asupan glukosa (kelaparan, anoreksia

nervosa), gangguan absorpsi glukosa (malabsorpsi, diare kronik). (4,5)

REFARAT

Stase Endokrin dan Metabolik


(7)

IV. PATOFISIOLOGI

Glukosa yang masuk ke sel otak akan mengalami glikolisis atau disimpan sebagai glikogen. Dalam keadaan oksigenasi yang baik (metabolisme aerob), glukosa diubah menjadi piruvat, yang kemudian memasuki siklus Krebs, sementara pada metabolisme anaerob terbentuk laktat. Oksidasi dari 1 mol glukosa memerlukan 6 mol O2. Dari glukosa yang diperoleh otak, 85 – 90 %

dioksidasi, sisanya digunakan untuk membentuk protein dan substansi lain, yaitu neurotransmiter terutama gamma-aminobutyric acid (GABA). Otak yang normal memiliki cadangan glukosa 1 – 2 gram (30 mmol/ 100 gram jaringan otak), terutama dalam bentuk glikogen. Glukosa digunakan oleh otak dengan laju 60 – 80 mg/ menit, sehingga cadangan glukosa di otak hanya akan mampu menjaga aktifitas serebral selama 30 menit tanpa tersedianya glukosa dalam darah.(6)

Sel-sel otak berbeda dari kebanyakan sel-sel yang lain di tubuh, dimana secara normal hanya menggunakan glukosa sebagai sumber energi, sementara sumber energi lain seperti lemak hanya digunakan pada keadaan darurat.

(7)

Ketika glukosa darah turun, otak menggunakan substrat non glukosa untuk kebutuhan metabolisme, terutama asam keto dan hasil intermediet metabolisme glukosa seperti laktat, piruvat, fruktosa dan heksosa yang lain. Namun demikian, dalam hal hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan, substrat non glukosa tersebut tidak cukup untuk menjaga integritas sel-sel saraf, dan akhirnya adenosine triphosphate (ATP) juga berkurang. Kejang terjadi dihubungkan dengan gangguan integritas membran sel saraf dan kurangnya GABA.

Hipoglikemik yang berat menyebabkan kegagalan energi dengan dengan kegagalan pompa ionik dari membran sel sehingga menyebabkan perpindahan air di otak dari ruangan ekstra sel ke intra sel (edema sitotoksik).

(6)

Edema sitotoksik disebabkan kegagalan pompa Na-K ATPase karena kekurangan ATP, mekanisme yang mendasari mungkin adanya penumpukan sodium intra sel sehingga mengakibatkan pembengkakan sel.

(8)

(8)

Kurangnya ATP diiringi dengan masuknya ion ekstrasel, terutama Na+, sehingga menurunkan

gradient ekstrasel. Masuknya sodium tersebut membuat Cl- masuk melalui

channel klorida dan sebagai akibatnya osmolaritas intrasel meningkat, sehingga

membuat masuknya air ke intrasel melalui channel aquaporin. Air di ekstrasel yang masuk ke intrasel menyebabkan peningkatan volume cairan intrasel (edema seluler). Ketika mekanisme kompensasi seperti pompa ionik di membran plasma gagal keseluruhannya, sel yang membengkak tadi menjadi mati (onkosis). (9)


(8)

V. MANIFESTASI KLINIS

Tidak ada hubungan yang tepat antara kadar glukosa darah dengan gejala klinis. Koma pernah dilaporkan pada kadar glukosa darah 2-28 mg/dl, stupor pada kadar glukosa darah 8-59 mg/dl dan confusion (bingung) pada kadar glukosa darah 9-60 mg/dl.

Gejala dan tanda ensefalopati hipoglikemik sebagai berikut:

(4)

Waktu

(4) Gejala dan Tanda

30 menit Perspirasi, salivasi, somnolens, excitement dan gelisah, takikardia

2 – 3 jam Kehilangan kontak dengan lingkungan, mioklonus, refleks primitif muncul (grasping, sucking), dilatasi pupil reaktif

4 – 5 jam Koma, spasme tonik, extensor plantar response

5 – 6 jam Rigiditas deserebrasi

6 – 7 jam Pupil yang mengecil, bradikardia, flaksid, refleks menghilang

Pada beberapa pasien dapat dijumpai kejang. Kasus yang jarang dapat dijumpai defisit serebral fokal hemiplegia. (6)

VI. DIAGNOSIS

Hipoglikemik akut menunjukkan gejala Triad Whipple, yang meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b) kadar glukosa darah yang rendah, c) hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimia dikoreksi.

Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi, bingung dan koma. Terdapat keragaman keluhan yang menonjol di antara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda.

(2)

Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu (dimana gangguan saraf otonomik lebih menonjol dan biasanya mendahului gejala neuroglikopenik, sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan keluhan malaise yang khas) :

a) otonomik: berkeringat, jantung berdebar, tremor, lapar

Glukosa Na+ masuk & menumpuk Kegagalan pompa Na-K

K- ikut masuk ke intrasel

Gradient ekstrasel ↓ &

Osmolaritas intrasel ↑ Air masuk ke intrasel melalui

channel aquaporin

Edema Otak

Mekanisme kompensasi spt pompa ionik membran

plasma gagal k l h

Sel yg edema mati ATP


(9)

b) neuroglikopenik: bingung, mengantuk, sulit bicara, inkoordinasi, prilaku yang berbeda, gangguan visual, parastesia (2)

VI.1. Pemeriksaan Neurologik

a) Kesadaran: pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan Skala Koma Glasgow. Bila seorang sadar maka mendapat nilai 15. Nilai terendah adalah 3. (10,11)

PEMERIKSAAN NILAI

Membuka Mata

Mata terbuka dengan spontan 4 Mata membuka setelah diperintah 3 Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri 2 Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1

Gerakan Motorik

Menuruti perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (dekortikasi) 3 Ekstensi (deserebrasi) 2 Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun 1

Berbicara

Menjawab pertanyaan dengan benar 5 Salah menjawab pertanyaan 4 Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai 3 Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Jumlah 15

Atau penilaian lain dari tingkat kesadaran dapat dilakukan sebagai berikut:

– Compos mentis: kesadaran yang sehat dan adekuat

(12,13)

– Apatis: tidak perduli dengan lingkungan sekitar

– Somnolen/letargi/obtudansi: keadaan mengantuk, dapat pulih penuh bila dirangsang, mudah dibangunkan (lalu mengantuk lagi)

– Sopor/stupor: mengantuk yang dalam, dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat (diberi ransangan nyeri), lalu kesadaran menurun lagi

– Soporo-coma / semi-koma / koma ringan : masih respon thdp rangsangan nyeri berupa gerakan tak terorganisasi (primitif)


(10)

– Koma: tak ada respon terhadap rangsangan nyeri bagaimanapun kuatnya.

b) Pola pernafasan

Cheyne Stokes atau periodic breathing: menunjukkan lesi di hemisfer dan

atau mesensefalon atas

(10,14)

Central neurogenic hyperventilation (Kussmaul atau Biot): menunjukkan

lesi di batas mesensefalon dengan pons

Apneustic breathing: menunjukkan lesi di pons

Ataxic breathing: menunjukkan lesi di medulla oblongata

c) Kelainan pupil

− Pupil normal: ukuran 2,5-5 mm dan reaktif

(15)

− Pupil melebar (> 6 mm) dan tidak reaktif unilateral: menandakan kompresi nervus okulomotorius.

− Pupil dilatasi dan tidak reaktif bilateral: menandakan kerusakan mesensefalon yang berat (biasanya kompresi dari massa di supratentorial, penyebab lainnya obat dengan aktifitas antikolinergik dan tetes mata midriatikum).

− Pupil miosis unilateral pada pasien yang koma: menunjukkan kerusakan hipotalamus posterior dan batas antara batang otak dengan medulla spinalis

− Pupil miosis (1-2,5 mm) dan reaktif bilateral: dijumpai pada ensefalopati metabolik atau lesi bilateral kedua hemisfer yang dalam

− Pupil sangat kecil/ pinpoint (<1 mm) dan reaktif: keracunan narkotik atau barbiturat atau perdarahan pons yang luas.

d) Gerak/ kedudukan bola mata

− Respon okulosefalik (Doll’s eye phenomenon): respon yang abnormal (tidak ada gerakan bola mata atau gerakannya tak simetris) menunjukkan lesi destruktif pada level pontin-midbrain.

(10)

− Respon okulovestibular/ okuloauditorik: fase lambat dan cepat yang normal pada kedua mata: menunjukkan keutuhan kedua hemisfer dan batang otak (normal)

e) Pemeriksaan motorik: kekuatan otot, refleks tendon dan tonus otot.(10)

VI.2. Pemeriksaan Penunjang VI.2.1. Laboratorium


(11)

Pemeriksaan kadar glukosa darah: ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mm/dl.(1)

VI.2.2. Neuroimejing

Pada penderita ensefalopati hipoglikemik serial CT Scans dan

MRI menunjukkan edema otak yang luas pada fase akut (dalam onset 1 minggu) dan atrofi otak yang luas pada fase kronik (dari 2 minggu sampai dengan 12 bulan setelah onset). Pada CT Scans dijumpai lesi hipodens yang persisten dan simetris dengan transient enhancement

pada nukleus kaudatus dan lentikular dan transient enhancement pada korteks serebri terutama di regio parietal dan oksipital pada 7 – 14 hari setelah onset.

Pada MRI dijumpai hiperintens pada T2 di regio korteks dan subkorteks terutama meliputi regio oksipital dan parietal dan splenium korpus kalosum.

(16)

(17)

(a) (b) (c)

Gambar 1: Laki-laki, 46 tahun dengan penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal (-), KGD saat masuk 18 mg/ dl. Hasil MRI: (a) T1 dijumpai lesi hipointens di regio korteks temporal, frontal, parietal dan oksipital kiri dan kanan. (b) T2 (c) DWI korteks tampak lesi hiperintens.

VI.2.3. Elektroensefalografi (EEG)

Gambaran EEG berubah seiring dengan penurunan kadar glukosa darah, namun tidak ada hubungan yang pasti. Dijumpai perlambatan difus pada gelombang teta dan delta. Gelombang tajam bisa muncul bersamaan dengan kejang.

Berikut ini skematik/ alur menegakkan diagnosis pada penderita penurunan kesadaran (metabolik/ hipoglikemik).


(12)

Gambar 2. Skema penegakan diagnosa pasien dengan penurunan kesadaran. Dikutip dari: Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. Modul Penurunan Kesadaran. Indonesia: Kolegium Neurologi Indonesia, 2008.

VII. PENATALAKSANAAN VII.1. Penatalaksaan Umum

Penderita enefalopati hipoglikemik yang mengalami penurunan kesadaran maka secara umum dilakukan:

a) Pastikan jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) dalam keadaan baik, bila perlu dapat dilakukan intubasi.

b) Circulation: beri cairan untuk menjaga tekanan darah tetap stabil untuk

mendapatkan perfusi otak, jantung dan ginjal yang adekuat.

(4)

c) Kandung kemih: dilakukan pemasangan kateter

(16)

d) Gastro-intestinal: Pemasangan nasogastric tube berperan ganda, untuk memasukkan makanan dan obat-obatan serta memudahkan pemeriksaan apakah ada perdarahan lambung (stress ulcer).

(10)

(10)

VII.2. Penatalaksanaan Hipoglikemik

a) Glukosa oral: bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram .

(1,2)

Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan Neurologik

Pemeriksaan Penunjang

Assessment Etiologik

Lesi Struktural (Destruktif Intrakranial):

- Defisit neurologik fokal

- Dilatasi & unreactive pupil

- Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

Toksik-Metabolik (Diffuse Brain Disease):

- Tak ada defisit neurologik fokal

- Pupil reaktif

- Tak ada peningkatan TIK

Supratentorial Infratentorial

- Stroke

- Trauma

- Tumor

Eksogen Endogen

Intoksikasi: - Obat - Insektisida - NAPZA - Abnormalitas metabolik - Infeksi


(13)

b) Glukosa intravena: dapat diberikan glukosa 40% intravena

c) Glukagon: glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Bila pasien telah sadar, pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 gram dan dilanjutkan dengan 40 gram karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan.

VII.3. Penatalaksanaan Peningkatan TIK

a) Elevasi kepala 30-45

Pada posisi ini akan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return) sehingga membantu mengurangi TIK. Posisi diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penekanan salah satu vena jugularis interna. Hal lain yang dapat mempengaruhi aliran balik vena antara lain valsava

maneuver yang berulang akibat tindakan suction, batuk atau keadaan

agitasi penderita.

0

b) Pemberian Manitol

(19)

Manitol diberikan dengan dosis 0,25- gram/kg berat badan selama 15-30 menit tiap 6-12 jam untuk mengurangi TIK. (20) Obat ini meningkatkan osmolaritas serum maka akan menghasilkan osmotic

gradient dari intersisial ke vaskular sehingga menarik cairan dari jaringan

otak ke vaskular. Mekanisme yang lain, manitol mengurangi viskositas darah, mungkin membuat membran eritrosit lebih fleksibel sehingga penghantaran oksigen ke otak lebih baik. Dan juga mengurangi produksi cairan serebrospinal.

c) Hiperventilasi

(14)

Pengurangan tekanan CO2 akan membuat vasokonstriksi arteri serebral, sehingga mengurangi aliran darah otak dan menurunkan TIK.

(14)

VII.4. Penatalaksanaan Kejang

a) Pemberian Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan 5 mg/menit intravena, dapat diulangi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit.

(20)

b) Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian Diazepam, beri Fenitoin 15-20 mg/kg dengan kecepatan < 50 mg/menit.

c) Bila kejang masih berlangsung dapat diberi tambahan fenitoin 5-10 mg/kg.

d) Bila masih berlanjut, beri Fenobarbital 20 mg/kg dengan kecepatan 50-75 mg/menit, dapat diulang 5-10 mg/kg.

e) Bila kejang belum teratasi selama 30-60 menit, rawat ICU, beri propofol (2 mg/kg) atau midazolam (0,1 mg/kg)


(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Indonesia: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011.

2. Soemadji DW. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S (Ed.). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta Pusat: Internal Publishing, 2009.

3. Smith N. Metabolic Encephalopathy (Hepatic Encephalopathy, Portal-systemic Encephalopathy, Hepatic Coma). Available at:

http://www.thirdage.com/encyclopedia/metabolic-encephalopathy-hepatic-encephalopathy-portal-systemic-encephalopathy-hepat. Cited at: May, 2008.

4. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology fourth editon. USA: Appleton & Lange, 1999.

5. Gilroy J. Toxic and Metabolic Disorders. In: Basic neurology. Singapore: McGraw-Hill, 2000.

6. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s, Principles of Neurology. New York: McGraw Hill, 2005.

7. Guyton AC and Hall JE. Insulin, Glucagon and Diabetes Mellitus. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th

8. Gonzales RG, Hirsch JA, Lev MH, Schaefer PW, Schwamm LH. Acute Ischemic Stroke, Imaging and Intervention, Second edition. Berlin: Spinger-Verlag, 2011.

edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006.

9. Liang D, Bhatta S, Gerzanich V and Simard JM. Cytotoxic Edema: Mechanisms Of Pathological Cell Swelling. Neurosurg Focus, 22 (5):E2, 2007.

10. Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. Modul Penurunan Kesadaran. Indonesia: Kolegium Neurologi Indonesia, 2008.

11. Sastrodiningrat G. Trauma Capitis. Medan: Departemen Bedah Saraf FK USU, 2010.

12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 2003.

13. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2005.

14. Eccher M and Suarez JI. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics: Monitoring and Management of Intracranial Pressure. In: Suarez JI (Ed.). Critical Care Neurology and Neurosurgery . New Jersey: Humana Press, 2004.


(15)

15. Ropper AH. Coma. In: Hauser SR, Josephson SA (Ed.). Horrison’s, Neurology in Clinical Medicine. New York: McGraw Hill, 2010.

16. Fujioka M, Okuchi K, Hiramatsu K-I, Sakaki T, Sakaguchi S, Ishii Y. Specific Changes in Human Brain After Hypoglycemic Injury. Stroke. 1997;28:584-587.

17. Aquino TM, Samuels TM. Coma and Other Alterations in Consciousness. In: Samuels MA (Ed.). Manual of neurologic therapeutics fifth edition. Boston: Little, Brown and Company, 1995. p. 3 – 17.

18. Japardi I. Cedera Kepala, Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Medan: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004.

19. Froehler MT. Management of Elevated Intracranial Pressure. In: Johnston MV, Gross RA (Ed.). Principles of Drug Therapy in Neurology, Second Edition. USA: Oxford University Press, 2008.

20. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi keempat. Jakarta Pusat: Pokdi Epilepsi PERDOSSI, 2011.


(1)

– Koma: tak ada respon terhadap rangsangan nyeri bagaimanapun kuatnya.

b) Pola pernafasan

Cheyne Stokes atau periodic breathing: menunjukkan lesi di hemisfer dan atau mesensefalon atas

(10,14)

Central neurogenic hyperventilation (Kussmaul atau Biot): menunjukkan lesi di batas mesensefalon dengan pons

Apneustic breathing: menunjukkan lesi di pons

Ataxic breathing: menunjukkan lesi di medulla oblongata c) Kelainan pupil

− Pupil normal: ukuran 2,5-5 mm dan reaktif (15)

− Pupil melebar (> 6 mm) dan tidak reaktif unilateral: menandakan kompresi nervus okulomotorius.

− Pupil dilatasi dan tidak reaktif bilateral: menandakan kerusakan mesensefalon yang berat (biasanya kompresi dari massa di supratentorial, penyebab lainnya obat dengan aktifitas antikolinergik dan tetes mata midriatikum).

− Pupil miosis unilateral pada pasien yang koma: menunjukkan kerusakan hipotalamus posterior dan batas antara batang otak dengan medulla spinalis

− Pupil miosis (1-2,5 mm) dan reaktif bilateral: dijumpai pada ensefalopati metabolik atau lesi bilateral kedua hemisfer yang dalam

− Pupil sangat kecil/ pinpoint (<1 mm) dan reaktif: keracunan narkotik atau barbiturat atau perdarahan pons yang luas.

d) Gerak/ kedudukan bola mata

− Respon okulosefalik (Doll’s eye phenomenon): respon yang abnormal (tidak ada gerakan bola mata atau gerakannya tak simetris) menunjukkan lesi destruktif pada level pontin-midbrain.

(10)

− Respon okulovestibular/ okuloauditorik: fase lambat dan cepat yang normal pada kedua mata: menunjukkan keutuhan kedua hemisfer dan batang otak (normal)

e) Pemeriksaan motorik: kekuatan otot, refleks tendon dan tonus otot.(10)

VI.2. Pemeriksaan Penunjang VI.2.1. Laboratorium


(2)

Pemeriksaan kadar glukosa darah: ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mm/dl.(1)

VI.2.2. Neuroimejing

Pada penderita ensefalopati hipoglikemik serial CT Scans dan

MRI menunjukkan edema otak yang luas pada fase akut (dalam onset 1 minggu) dan atrofi otak yang luas pada fase kronik (dari 2 minggu sampai dengan 12 bulan setelah onset). Pada CT Scans dijumpai lesi hipodens yang persisten dan simetris dengan transient enhancement

pada nukleus kaudatus dan lentikular dan transient enhancement pada korteks serebri terutama di regio parietal dan oksipital pada 7 – 14 hari setelah onset.

Pada MRI dijumpai hiperintens pada T2 di regio korteks dan subkorteks terutama meliputi regio oksipital dan parietal dan splenium korpus kalosum.

(16)

(17)

(a) (b) (c)

Gambar 1: Laki-laki, 46 tahun dengan penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal (-), KGD saat masuk 18 mg/ dl. Hasil MRI: (a) T1 dijumpai lesi hipointens di regio korteks temporal, frontal, parietal dan oksipital kiri dan kanan. (b) T2 (c) DWI korteks tampak lesi hiperintens.

VI.2.3. Elektroensefalografi (EEG)

Gambaran EEG berubah seiring dengan penurunan kadar glukosa darah, namun tidak ada hubungan yang pasti. Dijumpai perlambatan difus pada gelombang teta dan delta. Gelombang tajam bisa muncul bersamaan dengan kejang.

Berikut ini skematik/ alur menegakkan diagnosis pada penderita penurunan kesadaran (metabolik/ hipoglikemik).


(3)

Gambar 2. Skema penegakan diagnosa pasien dengan penurunan kesadaran. Dikutip dari: Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. Modul Penurunan Kesadaran. Indonesia: Kolegium Neurologi Indonesia, 2008.

VII. PENATALAKSANAAN VII.1. Penatalaksaan Umum

Penderita enefalopati hipoglikemik yang mengalami penurunan kesadaran maka secara umum dilakukan:

a) Pastikan jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) dalam keadaan baik, bila perlu dapat dilakukan intubasi.

b) Circulation: beri cairan untuk menjaga tekanan darah tetap stabil untuk mendapatkan perfusi otak, jantung dan ginjal yang adekuat.

(4)

c) Kandung kemih: dilakukan pemasangan kateter

(16)

d) Gastro-intestinal: Pemasangan nasogastric tube berperan ganda, untuk memasukkan makanan dan obat-obatan serta memudahkan pemeriksaan apakah ada perdarahan lambung (stress ulcer).

(10)

(10)

VII.2. Penatalaksanaan Hipoglikemik

a) Glukosa oral: bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram .

(1,2)

Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan Neurologik

Pemeriksaan Penunjang

Assessment Etiologik

Lesi Struktural (Destruktif Intrakranial):

- Defisit neurologik fokal

- Dilatasi & unreactive pupil

- Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

Toksik-Metabolik (Diffuse Brain Disease):

- Tak ada defisit neurologik fokal

- Pupil reaktif

- Tak ada peningkatan TIK

Supratentorial Infratentorial

- Stroke

- Trauma

- Tumor

Eksogen Endogen

Intoksikasi:

- Obat

- Insektisida

- NAPZA

- Abnormalitas

metabolik


(4)

b) Glukosa intravena: dapat diberikan glukosa 40% intravena

c) Glukagon: glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Bila pasien telah sadar, pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 gram dan dilanjutkan dengan 40 gram karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan.

VII.3. Penatalaksanaan Peningkatan TIK

a) Elevasi kepala 30-45

Pada posisi ini akan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return) sehingga membantu mengurangi TIK. Posisi diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penekanan salah satu vena jugularis interna. Hal lain yang dapat mempengaruhi aliran balik vena antara lain valsava maneuver yang berulang akibat tindakan suction, batuk atau keadaan agitasi penderita.

0

b) Pemberian Manitol (19)

Manitol diberikan dengan dosis 0,25- gram/kg berat badan selama 15-30 menit tiap 6-12 jam untuk mengurangi TIK. (20) Obat ini meningkatkan osmolaritas serum maka akan menghasilkan osmotic gradient dari intersisial ke vaskular sehingga menarik cairan dari jaringan otak ke vaskular. Mekanisme yang lain, manitol mengurangi viskositas darah, mungkin membuat membran eritrosit lebih fleksibel sehingga penghantaran oksigen ke otak lebih baik. Dan juga mengurangi produksi cairan serebrospinal.

c) Hiperventilasi

(14)

Pengurangan tekanan CO2 akan membuat vasokonstriksi arteri serebral, sehingga mengurangi aliran darah otak dan menurunkan TIK. (14)

VII.4. Penatalaksanaan Kejang

a) Pemberian Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan 5 mg/menit intravena, dapat diulangi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit.

(20)

b) Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian Diazepam, beri Fenitoin 15-20 mg/kg dengan kecepatan < 50 mg/menit.

c) Bila kejang masih berlangsung dapat diberi tambahan fenitoin 5-10 mg/kg.

d) Bila masih berlanjut, beri Fenobarbital 20 mg/kg dengan kecepatan 50-75 mg/menit, dapat diulang 5-10 mg/kg.

e) Bila kejang belum teratasi selama 30-60 menit, rawat ICU, beri propofol (2 mg/kg) atau midazolam (0,1 mg/kg)


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Indonesia: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011.

2. Soemadji DW. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S (Ed.). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta Pusat: Internal Publishing, 2009.

3. Smith N. Metabolic Encephalopathy (Hepatic Encephalopathy, Portal-systemic Encephalopathy, Hepatic Coma). Available at:

http://www.thirdage.com/encyclopedia/metabolic-encephalopathy-hepatic-encephalopathy-portal-systemic-encephalopathy-hepat. Cited at: May, 2008.

4. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology fourth editon. USA: Appleton & Lange, 1999.

5. Gilroy J. Toxic and Metabolic Disorders. In: Basic neurology. Singapore: McGraw-Hill, 2000.

6. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s, Principles of Neurology. New York: McGraw Hill, 2005.

7. Guyton AC and Hall JE. Insulin, Glucagon and Diabetes Mellitus. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th 8. Gonzales RG, Hirsch JA, Lev MH, Schaefer PW, Schwamm LH. Acute

Ischemic Stroke, Imaging and Intervention, Second edition. Berlin: Spinger-Verlag, 2011.

edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006.

9. Liang D, Bhatta S, Gerzanich V and Simard JM. Cytotoxic Edema: Mechanisms Of Pathological Cell Swelling. Neurosurg Focus, 22 (5):E2, 2007.

10. Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi. Modul Penurunan Kesadaran. Indonesia: Kolegium Neurologi Indonesia, 2008.

11. Sastrodiningrat G. Trauma Capitis. Medan: Departemen Bedah Saraf FK USU, 2010.

12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 2003.

13. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2005.

14. Eccher M and Suarez JI. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics: Monitoring and Management of Intracranial Pressure. In: Suarez JI (Ed.). Critical Care Neurology and Neurosurgery . New Jersey: Humana Press, 2004.


(6)

15. Ropper AH. Coma. In: Hauser SR, Josephson SA (Ed.). Horrison’s, Neurology in Clinical Medicine. New York: McGraw Hill, 2010.

16. Fujioka M, Okuchi K, Hiramatsu K-I, Sakaki T, Sakaguchi S, Ishii Y. Specific Changes in Human Brain After Hypoglycemic Injury. Stroke. 1997;28:584-587.

17. Aquino TM, Samuels TM. Coma and Other Alterations in Consciousness. In: Samuels MA (Ed.). Manual of neurologic therapeutics fifth edition. Boston: Little, Brown and Company, 1995. p. 3 – 17.

18. Japardi I. Cedera Kepala, Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Medan: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004.

19. Froehler MT. Management of Elevated Intracranial Pressure. In: Johnston MV, Gross RA (Ed.). Principles of Drug Therapy in Neurology, Second Edition. USA: Oxford University Press, 2008.

20. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi keempat. Jakarta Pusat: Pokdi Epilepsi PERDOSSI, 2011.