Penatalaksanaan Fraktur Arkus Zigomatikus

(1)

PENATALAKSANAAN FRAKTUR ARKUS ZIGOMATIKUS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh :

SITI MARYAM LUBIS NIM : 070600067

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 17 Februari 2012

Pembimbing: Tanda tangan

1. Olivia Avriyanti Hanafiah.,drg., Sp.BM ……….


(3)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 17 Februari 2012

TIM PENGUJI KETUA : Abdullah Oes, drg

ANGGOTA : 1. Indra Basar Siregar, drg.,M.Kes 2. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM 3. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg.,Sp.BM


(4)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2012

Siti Maryam Lubis

Penatalaksanaan Fraktur Arkus Zigomatikus ix + 45 halaman

Arkus zigomatikus merupakan sepasang tulang di daerah muka. Ada tiga tulang yang mendukung arkus zigomatikus yaitu tulang maksila dibagian depan, tulang frontal di superior dan tulang temporal di belakang. Fraktur arkus zigomatikus dapat terjadi secara terpisah atau kombinasi dari fraktur tulang zigoma. Fraktur arkus zigoma sendiri hanya terjadi 10% dari fraktur tulang zigoma.

Fraktur arkus zigomatikus dapat terjadi karena kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat perkelahian dan juga akibat tindakan kekerasan, tetapi paling banyak adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan yaitu 4:1.

Fraktur arkus zigomatikus ditangani sesuai dengan pola fraktur yang ditemui, karena sebagian besar fraktur yang dijumpai adalah fraktur yang tidak berpindah, penanganan biasanya konservatif dengan langkah-langkah observasi. Fraktur arkus zigomatikus umumnya ditangani dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka. Reduksi dapat dilakukan dengan metode Gillies dan metode intra oral.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayahnya-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen dan seluruh staf pengajar di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi.

4. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes. selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada ayahanda H. Bahruddin Lubis dan ibunda HJ. Rosma Nasution atas segala kasih


(6)

yang tidak akan terbalas oleh penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada abang M. Arifin lubis dan kakak Khatimah Riani Lubis, Zubaidah Hannum Lubis yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Teman-teman terbaik penulis egi, yuli, in, ona, fina, putri, riza, tasya, dessy, tasa,winda, frida serta teman-teman terutama stambuk 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya.

Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis selama menuntut ilmu dimasa pendidikan.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini kurang sempurna, tetapi penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan, dan masyarakat.

Medan,17 Februari 2012 Penulis

(Siti Maryam Lubis) NIM : 070600067


(7)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH 2.1 Tulang-tulang yang membentuk Sepertiga Tengah Wajah .. 3

2.2 Arteri Sepertiga Tengah Wajah ... 8

2.3 Otot-otot Sepertiga Tengah Wajah ... 9

2.4 Syaraf-syaraf Sepertiga Tengah Wajah ... 11

BAB 3 FRAKTUR ARKUS ZIGOMATIKUS 3.1 Definisi ... 13

3.2 Etiologi ... 13

3.3 Klasifikasi Fraktur Arkus Zigomatikus... 14

BAB 4 PEMERIKSAAN KLINIS 4.1 Anamnese ... 17

4.2 Tanda dan Gejala Klinis... 18

4.3 Gambaran Klinis ... 20

4.4 Gambaran Radiografi ... 20

4.5 Diagnosa... 25

BAB 5 PENATALAKSANAAN FRAKTUR ARKUS ZIGOMATIKUS 5.1 Perawatan Pendahuluan ... 26

5.1.1 Pengelolaan Jalan Nafas... 26

5.1.2 Kontrol Pendarahan ... 27

2.1.3 Laserasi Jaringan Lunak... 27


(8)

5.3. Perawatan Pasca Bedah... 36 BAB 6 KESIMPULAN ... 38


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 ZMC dan otot-otot yang melekat pada tulang zigoma ... 5

2 Pandangan frontal dari fasia dan otot yang melekat dari tengkorak, arkus zigomatikus, dan prosesus koronoid ... 5

3 Arkus zigomatikus ... 6

4 Sepertiga tengah wajah dilihat dari arah anterior ... 8

5 Arteri sepertiga tengah wajah ... 9

6 Persyarafan sepertiga tengah wajah ... 12

7 Fraktur arkus zigomatikus ke posterior ... 16

8 Fraktur arkus zigomatikus ke arah medial... 16

9 Palpasi intra oral pada penopang tulang zigomatikus ... 19

10 Foto pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus. Pada foto terlihat ekimosis infra orbital dan cekungan pada daerah preaurikular pipi sebelah kiri ... 19

11 Gambaran radiografi fraktur arkus zigomatikus kanan melalui pandangan oksipitomental ... 21

12 Gambaran radiografi fraktur arkus zigomatikus kanan melalui pandangan vertikal ... 21

13 Gambaran radiografi yang menunjukkan empat petunjuk fraktur arkus zigomatikus ... 23


(10)

14 Gambaran ilustrasi yang menunjukkan titik-titik untuk mengidentifikasi farktur arkus zigomatikus melalu pandangan

oksipitomental ... 24

15 Gambaran radiografi CT scan yang menunjukkan adanya fraktur arkus zigomatikus ... 25

16 Gambar elevator ... 29

17 Pembedahan secara Gillies ... 31

18 Pendekatan secara intra oral ... 32


(11)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2012

Siti Maryam Lubis

Penatalaksanaan Fraktur Arkus Zigomatikus ix + 45 halaman

Arkus zigomatikus merupakan sepasang tulang di daerah muka. Ada tiga tulang yang mendukung arkus zigomatikus yaitu tulang maksila dibagian depan, tulang frontal di superior dan tulang temporal di belakang. Fraktur arkus zigomatikus dapat terjadi secara terpisah atau kombinasi dari fraktur tulang zigoma. Fraktur arkus zigoma sendiri hanya terjadi 10% dari fraktur tulang zigoma.

Fraktur arkus zigomatikus dapat terjadi karena kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat perkelahian dan juga akibat tindakan kekerasan, tetapi paling banyak adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan yaitu 4:1.

Fraktur arkus zigomatikus ditangani sesuai dengan pola fraktur yang ditemui, karena sebagian besar fraktur yang dijumpai adalah fraktur yang tidak berpindah, penanganan biasanya konservatif dengan langkah-langkah observasi. Fraktur arkus zigomatikus umumnya ditangani dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka. Reduksi dapat dilakukan dengan metode Gillies dan metode intra oral.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas tulang, baik sebagian atau seluruhnya, yang biasanya disebabkan oleh traumatik mekanik. Diskontinuitas ini dapat terjadi pada tulang saja atau disertai kerusakan jaringan lunak.1

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah, yang meliputi tulang zigomatik, tulang hidung, tulang mandibula dan tulang maksila.2,3 Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat perkelahian dan juga akibat tindakan kekerasan, tetapi yang paling banyak adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan moderenisasi disegala bidang, bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan penggunaan kenderaan bermotor terlihat tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga terlihat di kota kecil bahkan sampai ke pedesaan. Akibat dari perkembangan ini perlu dipikirkan kemungkinaan resiko terjadinya kecelakaan yang menyebabkan trauma pada muka.4,5,6

Arkus zigomatikus merupakan sepasang tulang di daerah muka. Ada tiga tulang yang mendukung arkus zigomatikus yaitu tulang maksila di bagian depan, tulang frontal di superior dan tulang temporal di belakang. Fraktur arkus zigomatikus dapat terjadi secara terpisah atau kombinasi dari fraktur tulang zigoma.7

Fraktur arkus zigomatikus yang berdiri sendiri tidak umum terjadi. Dalam rangkaian fraktur fasial yang dikumpulkan oleh Donalson pada tahun 1961 3%


(13)

melibatkan arkus zigomatikus dari 336 fraktur kompleks zigomatik. Knight dan Nort pada tahun 1961 menemukan 10% fraktur pada arkus zigomatikus dari 120 kasus mengenai fraktur kompleks zigomatik.8

Cedera arkus zigomatikus bervariasi dengan demografi pasien dan lokasi kecelakaan yang dilaporkan oleh beberapa institusi, Matsunaga dan Simpson di Los Angeles Country/ Universitas Southern California Medical Center menemukan bahwa mayoritas dari fraktur arkus zigomatikus adalah akibat kecelakaan bermotor/ lalu-lintas. Sebaliknya, Ellis dan Kolega menemukan bahwa 80% dari fraktur arkus zigomatikus di Glasgow, Skotlandia, karena penyerangan, perkelahian, jatuh, dan cedera olah raga. Hanya sekitar 13% dari fraktur akibat kecelakaan lalu-lintas. Fraktur arkus zigomatikus lebih tinggi insidensinya pada laki-laki daripada perempuan, yaitu dengan perbandingan 4 : 1.8,9

Pada dasarnya perawatan fraktur arkus zigomatikus tidak berbeda dengan fraktur lainya pada wajah, yaitu reduksi/ reposisi, fiksasi dan immobilisasi, kontrol terhadap infeksi, dan rehabilitasi. Pada kenyataannya ada beberapa kondisi dari fraktur arkus zigomatikus yang tidak memerlukan fiksasi setelah dilakukan reposisi. Beberapa metode Seperti metode Gillies dan intra oral dapat dilakukan untuk reduksi/ reposisi fraktur arkus zigomatikus.10,11


(14)

BAB 2

ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH

Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya.7

2.1Tulang-tulang yang membentuk sepertiga tengah wajah. 1. Dua tulang maksila.

Tulang ini terdapat pada dasar cavum orbita, ke medial bersendi dengan tulang etmoidalis, ke medial depan atas bersendi dengan tulang frontal, dan ke lateral akan bersendi dengan tulang zigomatikum. Pinggir depan lateral bawah merupakan tempat perlekatan gigi atas disebut prosesus alveolaris. Kedepan terdapat satu permukaan yang ditempati foramen infra orbitalis (tempat lewatnya syaraf infra orbitalis, arteri serta vena). Bagian depan sebelah medial akan membentuk pinggir hidung yaitu apertur piriformis, ke atas depan bersendi dengan tulang frontal dan pada permukaan medial merupakan tempat melekatnya konka nasalis inferior, permukaan medial ini menjadi dinding lateral rongga hidung bagian bawah. Permukaan belakang merupakan dinding vertikal disebut fasies posterior maksila. Permukaan atas akan menjadi dasar kavum orbita, sebelah lateral dibatasi oleh fisura orbitalis inferior yang akan berakhir pada foramen infra orbitalis, disebelah medial bersendi dengan lamina orbitalis osis etmoidalis, dan disudut depan terdapat tempat untuk tulang lakrimal. Permukaan bawah yang menjadi tulang langit-langit rongga mulut disebut palatum durum, prosesus palatum ini bersendi dengan lamina horizontalis tulang palatum


(15)

dibelakang. Kelima permukaan tulang maksila akan membentuk sebuah korpus osis maksila dan di dalamnya terdapat sinus maksilaris yang berisi udara.7,12,13

2. Dua tulang zigomatikus.

Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang spenoid, dan tulang maksila. Bagian-bagian bawah tulang yang membentuk zigoma ini membentuk tonjolan pada pipi di bawah mata sedikit kearah lateral. Tulang zigoma membentuk bagian lateral dinding inferior orbital, serta dinding lateral orbital. Salah satu bagian tulang zigoma yakni arkus zigomatikus. Tulang arkus zigomatikus merupakan penyatuan antara prosesus temporal dan zigomatik. Kedua prosesus tersebut bersatu pada sutura zigomatikotemporal. Arkus zigomatikus merupakan salah satu bagian wajah yang disebut sebagai Zygomatico Maxillary Complex (ZMC). ZMC merupakan sisi penyatuan tulang terhadap tulang tengkorak yang terdiri dari empat bagian yakni sutura zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, zigomatikomaksilaris, dan zigomatikospenoid. Di sekitar arkus zigomatikus terdapat otot temporalis, masseter dan prosesus koronoid mandibula.Tulang zigoma berbatasan dengan tulang frontal, spenoid, temporal, dan maksila. Tulang zigoma berperan signifikan dalam kekekuatan dan kestabilan tengah wajah.7,12,13


(16)

Gambar 1. ZMC dan otot-otot yang melekat pada tulang zigoma. (Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s Principles of oral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 : 447)

Gambar 2. Pandangan frontal dari fasia dan otot yang melekat dari tengkorak, arkus zigomatikus, dan prosesus koronoid. (Jonatan S, Michael S. Management of Zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 : 447)


(17)

Gambar 3. Arkus zigomatikus. (Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of 0ral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 : 447)

3. Dua prosesus zigomatikotemporalis.7 4. Dua tulang palatin.

Merupakan tulang banyak sendi dan bengkokan. Kedepan atas lateral bersendi dengan tulang frontal, ke posterolateral akan bersendi dengan korpus osis etmoidalis, kedepan lateral bersendi dengan tulang maksila, ke medial bersendi dengan tulang palatum sebelahnya dan membentuk krista nasalis untuk tempat sendi tulang vomer. Bagian medial dari tulang palatum disebut lamina horizontalis yang akan menjadi bagian belakang dari palatum durum (langit-langit keras), bagian ini dengan tulang palatum sebelahnya akan bersendi di medial, sendi ini ditandai oleh krista nasalis


(18)

tempat dasar perlekatan tulang vomer. Ke anterolateral tulang palatin akan bersendi dengan tulang maksila.7,12,13

5. Tulang hidung.

Tulang hidung yang berpasangan membentuk tulang atap anterosuperior dari rongga hidung. Tulang ini berartikulasi dengan prosesus nasalis superior tulang frontal, prosesus depan tulang maksilaris lateral, dan dengan satu sama lain di bagian medial. Permukaan eksternal cembung kecuali bagian paling superior, dimana bentuk cekung berubah untuk berartikulasi dengan tulang frontal. Pada permukaan internal merupakan alur vertikal untuk arteri nasal eksterna.7,12,13

6. Dua tulang lakrimal.

Dua buah tulang kecil pada sudut medial depan bawah cavum orbita dan merupakan tempat sakus lakrimalis.12

7. Satu tulang vomer.

Berbentuk lempeng, tulang yang akan membentuk septum nasi bagian posterior. Tulang vomer ini ke bawah medial akan bersendi dengan tulang palatum melalui krista palatum. Pada tengkorak tulang ini sering tidak terlihat karena sangat tipis dan mudah hancur.7,12,13

8. Satu tulang etmoid.

Tulang ini mempunyai dua buah korpus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh satu lamina horizontal dan dipisah oleh satu tulang vertikal yaitu lamina perpendikularis (ke bawah membentuk sebagian septum nasi; ke atas membentuk krista gali yang akan masuk fossa krania anterior). Lateral dari krista gali ini terdapat konka nasalis medius dan konka nasalis superior. Diantara konka dengan lamina


(19)

perpendikularis terdapat kavum nasi. Permukaan lateral dari korpus disebut lamina papyracea yang akan menjadi dinding medial kavum orbita. Di dalam corpus etmoidalis ini terdapat rongga udara yang banyak disebut sinus etmoidalis. Kebelakang dari tulang etmoidalis, lamina perpendikularis akan bersendi dengan tulang vomer yaitu satu lempeng tulang tipis vertikal yang dari korpus etmoidalis dan akan bersendi dengan tulang spenoidalis.7,12,13

9. Dua konka inferior.

10.Lamina pterigospenoidalis.

Gambar 4. sepertiga tengah wajah dilihat dari arah anterior. (Putz R, Pabst R. Sobotta: Atlas anatomi manusia. Alih Bahasa. Suyono YJ. Jakarta: EGC, 2006:54)

2.2 Arteri sepertiga tengah wajah.

Wajah terbagi atas tiga bagian secara vertikal yakni bagian atas dan regio periorabital, tengah wajah dan regio perioral, bawah wajah dan leher. Wajah disuplai oleh berbagai cabang arteri karotid internal dan eksternal. Bagian tengah wajah


(20)

Arteri maksila internal adalah cabang dari arteri karotid eksternal. Arteri infraorbital adalah arteri yang berasal dari kepala, keluar melalui foramen

7,12,13

Gambar 5. Arteri tengah wajah. (Bentsianov B, Blitzer A. Facial anatomy. J Clindermatol 2003; 4)

2.3 Otot-otot sepertiga tengah wajah.

pada bagian sepertiga tengah wajah terdiri dari delapan otot. Setiap otot memiliki peran penting masing-masing seperti pergerakan bibir, kontrol makanan dan minuman, animasi wajah (senyum, mengerutkan dahi, dll) dan pergerakan artikulasi.


(21)

Otot-otot tersebut, yakni: 1. Nasalis.

Otot ini berasal dari maksila, melewati dorsum nasal dan berakhir di jembatan hidung. Fungsi otot ini adalah untuk membuka apertura dan katup hidung selama beraktivitas atau nafas dalam-dalam.

2. Levator Labii Superioris Alaeque Nasi.

Otot ini berasal dari bagian atas prosesus frontalis maksila, melintang ke arah lateral menuju tulang rawan alar pada lateral hidung dan masuk ke bibir bagian atas lalu bergabung dengan otot orbikularis.

3. Levator Labii Superioris.

Otot ini berasal dari tepi inferior orbital dan masuk ke lapisan otot bibir bagian atas, ke samping menuju levator labii superioris alaeque nasi.

4. Zygomaticus Minor.

Otot zygomaticus minor berasal dari permukaan lateral zigoma dan masuk ke lapisan otot bibir bagian atas, ke samping menuju levator labi superioris. Kontraksi otot ini akan menaikkan bibir bagian atas, memperlihatkan gigi maksila seperti saat tersenyum.

5. Zygomaticus major.

Otot ini melintang dari tulang zigoma ke modiolus, bergabung dengan orbikularis oris. Kontraksi otot ini akan menarik sudut mulut ke atas seperti saat tertawa.


(22)

Otot ini berasal dari fossa kaninus dan masuk ke lapisan otot komisura lateral yang dikenal sebagai modiolus. Otot ini juga berperan saat tersenyum dan lipatan nasolabial.

7. Buccinator.

Otot ini berasal dari tepi lateral rongga mulut diantara puncak alveolar maksila dan mandibula. Otot ini membantu dalam mengontrol bolus saat pengunyahan di rongga mulut.

8. Orbicularis Oris.7,12,13

2.4 Syaraf-syaraf sepertiga tengah wajah.

Semua kulit wajah dari dagu hingga kepala diinervasi oleh tiga cabang syaraf trigeminal (nervus kranial V) yakni oftalmik, maksila dan mandibula. Bagian tengah wajah diinervasi oleh nervus maksila. Nervus maksila membawa informasi dari kulit wajah, rongga oral (gigi rahang atas, gusi, dan bibir atas) dan langit-langit mulut (palatum).7,12,13,14


(23)

Gambar 6. Persyarafan sepetiga tengah wajah. (Bentsianov B, Blitzer A. Facial anatomy. J Clindermatol 2003; 7)


(24)

BAB 3

FRAKTUR ARKUS ZIGOMATIK

Salah satu pendukung bentuk wajah seseorang adalah tulang arkus zigomatikus, sehingga apabila terjadi trauma atau fraktur dapat mengakibatkan suatu kelainan bentuk muka serta gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. Kadang-kadang dapat timbul trismus.7,1

3.1 Definisi

Fraktur adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas tulang, baik sebagian atau seluruhnya, yang biasanya disebabkan oleh traumatik mekanik. Diskontinuitas ini dapat terjadi pada tulang saja atau disertai kerusakan jaringan lunak.1 Tulang muka pembentuk wajah manusia yang sering beresiko mendapatkan cedera atau fraktur adalah tulang zigoma, maksila, nasal, dan mandibula.1,2,3

3.2 Etiologi

Penyebab fraktur wajah bervariasi, mencakup kecelakaan lalu-lintas, kekerasan fisik, olahraga, jatuh dan lain-lain. Kecelakaan lalu-lintas adalah penyebab utama fraktur wajah yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum di bawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.4,5,9

Penyebab paling sering pada orang dewasa adalah kecelakaan lalu lintas (76,5%), sedang yang lainnya adalah kekerasan fisik (11,1%), olahraga (9,8%), dan jatuh (2,5%).16,17,18


(25)

Fraktur arkus zigomatik yang berdiri sendiri tidak umum terjadi. Dalam rangkaian fraktur fasial yang dikumpulkan oleh Donalson pada tahun 1961 3% melibatkan arkus zigomatik dari 336 fraktur kompleks zigomatik. Knight dan Nort pada tahun 1961 menemukan 10% fraktur pada arkus zigomatikus dari 120 kasus mengenai fraktur kompleks zigomatik.8

Cedera arkus zigomatikus bervariasi dengan demografi pasien dan lokasi kecelakaan yang dilaporkan oleh beberapa institusi, Matsunaga dan Simpson di Los Angeles Country/ Universitas Southern California Medical Center menemukan bahwa mayoritas dari fraktur arkus zigomatikus adalah akibat kecelakaan bermotor/ lalu-lintas. Sebaliknya, Ellis dan kolega menemukan bahwa 80% dari fraktur arkus zigomatikus di Glasgow, Skotlandia, karena penyerangan, perkelahian, jatuh, dan cedera olah raga. Hanya sekitar 13% dari fraktur akibat dalam kecelakaan lalu-lintas. Fraktur arkus zigomatikus lebih tinggi insidensinya pada laki-laki daripada perempuan, yaitu dengan perbandingan 4 : 1.8,19

3.3 Klasifikasi Fraktur Arkus Zigomatikus

Arkus zigomatikus dapat mengalami fraktur tanpa menimbulkan fraktur pada tulang zigomatik, Dalam kondisi yang demikian satu-satunya bukti fraktur yang terlihat adalah adanya depresi yang berdiameter sekitar 2,5 cm pada arkus zigomatik, terbatasnya gerakan rahang bawah sehingga menyebabkan arah sisi yang terkena injuri dan kemungkinan adanya gangguan pada pembukaan dan penutupan rahang.2,8,15,20


(26)

Depresi terlihat segera setelah adanya fraktur pada arkus zigomatikus, tetapi keadaan ini sering menjadi tidak jelas dengan timbulnya pembengkakan, tidak lama setelah terjadinya injuri dan hanya akan terlihat kembali bila pembengkakan itu hilang dalam waktu kira-kira satu minggu. Arah perpindahan fraktur dapat terjadi ke medial maupun ke inferior.8,21,22

Terdapat 2 klasifikasi fraktur arkus zigomatikus , yaitu: 1. Tripel fraktur, dengan bentuk huruf V.

Bagian puncak huruf V dapat mengganggu gerakan-gerakan prosesus koronoideus. Tanpa dilakukannya perawatan dapat terjadi depresi permanen.

2. Fraktrur komminuted.

Pada jenis fraktur ini, bagian-bagian fraktur, mungkin mengalami reposisi sendiri. Kemungkinan disebabkan tarikan fasia temporalis dan gerakan prosesus koronoideus.8,23,24,25,2


(27)

Gambar 7. fraktur arkus zigomatikus kearah inferior. (Ochs MW, Tucker MR. Management of facial fracture. In : Peterson LJ, Ellis E, Hupp JR, eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. St. Louis: Mosby, 2003 : 539)

Gambar 8. Fraktur arkus zigomatikus ke medial. A. Normal. B. fraktur minimal tanpa perpindahan tempat. C. Terjadi perpindahan di salah satu sisi. D. terjadi perpindahan tempat di dua sisi. E. fraktur tipe V. ( Smith HW.

Fractures-dislocation of zygoma and zygomatic arch. J Otolaryngology Head and Neck

Surgery 2000; 73: 173)

BAB 4

PEMERIKSAAN KLINIS

Pemeriksaan klinis pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus dapat dilakukan melalui ekstra oral dan intra oral. Pemeriksaan ekstra oral yang terbaik pada fraktur yang melibatkan tulang arkus zigomatikus atau malar adalah melalui sisi samping kepala pasien. Hal pertama yang dilakukan adalah

A


(28)

mengalami fraktur. Hal ini sebaiknya dilakukan langsung setelah terjadi trauma atau beberapa hari kemudian setelah oedemnya sembuh.15

Disamping pemeriksaan pada arkus zigomatikus, pemeriksaan klinis pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus dapat juga melibatkan pemeriksaan pertengahan wajah seperti pemeriksaan mata yang dilakukan antara lain pergeseran luar mata, ketajaman penglihatan, jarak dan lapangan pandang serta refleks pupil terhadap cahaya dan laserasi pada kelopak mata.15,20,21

4.1 Anamnese

Dari anamnese, biasanya fraktur arkus zigomatikus terjadi setelah pasien mengalami trauma. Penyebab trauma tersebut antara lain kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga dan terjatuh. Sekitar 70 % hingga 90 % pasien mengeluhkan rasa sakit pada daerah infra orbital atau atas bibir, ekimosis dan gangguan pada kosmetik atau estetik dikarenakan wajah pasien yang tidak simetris. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sulit membuka atau menutup mulut dan mengoklusikan gigi dikarenakan pergerakan tulang rahang yang terganggu.27,28

4.2 Tanda Dan Gejala Klinis

Jika dilakukan palpasi pada arkus zigomatikus, maka dapat dijumpai tanda klinis fraktur arkus zigomatikus berupa cekungan atau lesung. Disamping itu, pasien yang mengalami fraktur arkus zigomatikus biasanya sulit membuka mulutnya. Pasien hanya dapat membuka mulutnya tidak lebih dari 30 mm. Jika pasien terbatas melakukan gerakan membuka mulut atau menggerakkan mandibula ke lateral serta menimbulkan rasa sakit, maka diduga pasien mengalami fraktur yang melibatkan


(29)

tulang arkus zigomatikus atau malar. Palpasi pada lateral dan bawah orbita dapat dilakukan untuk memeriksa adanya rasa sakit dan tingkat kerusakan yang terjadi. Namun hal tersebut sulit dilakukan jika wajah pasien mengalami pembengkakan. Pemeriksaan intra oral pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus juga dapat dilakukan. Apalagi jika tulang zigomatikus hancur kecil-kecil. Pemeriksaan intra oral yang dilakukan berupa pemeriksaan penopang tulang zigomatikus yakni tulang yang melengkung pada sulkus bukal di atas gigi molar pertama dan kedua.22,24,25,29

Gambar 9. Palpasi intra oral pada penopang tulang zigomatikus. (Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: Orbitozygomatic


(30)

Gambar 10. Foto pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus. Pada foto terlihat ekimosis infra orbital dan cekungan pada daerah preauricular pipi sebelah kiri. (Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of oral And maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 :448)

4.3 Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang sering dijumpai pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur yang melibatkan tulang arkus zigomatikus antara lain:

1. Terbatasnya pergerakan rahang dan pipi yang terlihat rata. 2. Epistaksis unilateral.

3. Parastesi atau anastesi pada distribusi syaraf infraorbital. 4. Penurunan fungsi otot ekstra okular dengan diplopia.27,28,29

Terbatasnya pergerakan tulang rahang pada pasien yang mengalami fraktur arkus zigomatikus dikarenakan adanya gangguan pada otot temporal. Otot temporalis berperan dalam membuka dan menutup mulut. Otot temporalis yang terletak di fossa temporal dan melekat pada prosesus koronoid mandibula harus bergerak bebas di bawah arkus zigomatikus saat membuka dan menutup mulut. Pada pasien yang mengalami fraktur arkus zigomatikus, tulang arkus zigomatik dapat menekan otot


(31)

temporalis ataupun prosesus koronoid mandibula. Sehingga pasien mengalami kesulitan saat membuka dan menutup mulut.29

4.4 Gambaran Radiografi

Pemeriksaan radiografi pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur arkus zigomatikus sangatlah penting. Gambaran radiografi yang dilakukan sebaiknya diambil melalui pandangan oksipitomental dan submento vertikal untuk menunjukkan lokasi spesifik fraktur arkus zigomatikus (Gambar 11 dan 12).30,31,32

Gambar 11. Gambaran radiografi fraktur arkus zigomatikus kanan melalui pandangan oksipitomental (tanda panah). (Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: Orbitozygomatic complex and zygomatic arch fractures. Emergency Med J 2006; 3: 121)


(32)

Gambar 12. Gambaran radiografi fraktur arkus zigomatikus kanan melalui pandangan submento vertical (tanda panah). (Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: orbitozygomatic complex and zygomatic arch fractures.

Emergency Med J 2006; 3: 121)

Pada pandangan oksipitomental dapat dilihat empat petunjuk yang dapat membantu penentuan fraktur arkus zigomatikus, yakni:

1. Pinggiran orbita.

Pada kondisi normal, pinggiran orbita harus simetris pada setiap sisi. 2. Pinggiran sinus maksilaris.

Pada kondisi normal, pinggiran sinus harus simetris pada setiap sisi. 3. Elephant’s trunk (mirip balai gajah).

Merupakan gabungan antara garis zigomatik bagian lateral (mulai dari tepi atas arkus zigomatikus dan badan) dan garis maksila bagian tengah (mulai dari tepi bawah arkus, badan, dan penopang zigomatikus hingga dinding sinus maksila.


(33)

Pada kondisi normal, jarak ujung prosesus harus sama jauhnya terhadap garis maksila pada setiap sisi.29

Gambar 13. Gambaran radiografi yang menunjukkan empat petunjuk yang dapat membantu penentuan fraktur arkus zigomatikus. (Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al.

Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: Orbitozygomatic complex and


(34)

Gambar 14. Gambaran ilustrasi yang menunjukkan titik-titik untuk mengidentifikasi fraktur arkus zigomatikus melalui pandangan oksipitomental. (Ekanaykee. K, Beirne CJ. Orbitozygomatyc complexs and zygomatic arch fractures. In: Brent B, eds. Diagnosis and management of cominon

maxillofacial injuries in the emergency department. New

York : Elsevier, 2007:13)

Disamping radiografi pandangan oksipitomental dan submento vertical, CT (Computed tomography) scan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi trauma pertengahan wajah. Radiografi CT scan menunjukkan gambaran fraktur arkus zigomatikus yang lebih jelas. Namun, CT scan lebih mahal daripada roentgenogram.33


(35)

Gambar 15. Gambaran radiografi CT scan yang menunjukkan adanya fraktur arkus zigomatikus kanan (tanda panah). (Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of

oral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004

:449)

4.5 Diagnosa

Penentuan diagnosa fraktur arkus zigomatikus dilakukan setelah pemeriksaan klinis dan radiografi selesai. Adanya cekungan atau lesung saat melakukan palpasi di daerah preaurikular dan rasa sakit yang timbul saat menutup dan membuka mulut merupakan tanda klinis yang sangat membantu penentuan diagnosa fraktur arkus zigomatikus. Pemeriksaan radiografi juga berperan dalam penentuan diagnosa fraktur arkus zigomatikus. Pada gambaran foto terlihat jelas adanya fraktur pada tulang arkus zigomatikus melalui pandangan oksipitomental dan submento vertikal.27,28,29,31


(36)

BAB 5

PENATALAKSANAAN FRAKTUR ARKUS ZIGOMATIKUS

Sebelum perawatan fraktur dilakukan, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan jiwa pasien dengan merawat pengelolaan jalan nafas, perdarahan yang dapat membawa kematian. Setelah itu baru dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui tipe fraktur dan perawatan yang akan dilakukan.34,35,36

5.1 Perawatan pendahuluan

Perawatan pendahuluan adalah perawatan yang dilakukan setelah terjadi kecelakaan atau trauma, yaitu terdiri dari:

5.1.1 Pengelolaan jalan nafas

Gangguan pada jalan pernafasan pasien dapat menyebabkan pasien menderita asfiksia yang berlanjut pada kematian, yang mana hal ini merupakan kegawat daruratan utama yang harus diperhatikan oleh dokter. Seorang pasien yang sepenuhnya sadar akan mampu mempertahankan jalan pernafasan secara memadai, sedangkan pada pasien yang setengah sadar atau tidak sadar sama sekali akan cepat tercekik nafasnya dengan adanya darah dan lendir pada jalan pernafasannya karena tidak mampu batuk atau mengatur posisi tubuhnya. Gangguan pernafasan dapat di tolong dengan menggunakan pipa orofaring atau pipa nasofaring. Akan tetapi pada gangguan nafas yang berat, kita harus segera melakukan intubasi endotrakhea atau trakeotomi.


(37)

Pada cedera laring, trakhea atau kombinasi fraktur maksila dan mandibula yang menimbulkan gejala obstruksi jalan nafas, dianjurkan untuk segera melakukan trakeotomi karena intubasi endotrakhea akan lebih sulit.

Krikotiroidotomi salah satu tindakan lain untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, yaitu memasukkan jarum besar dengan no 14 menembus membran krikotiroid. Melalui jarum ini ditiupkan oksigen secara intermiten. Krikiotiroidotomi adalah tindakan darurat sementara sebelum dapat dilakukan intubasi endotrakhea atau trakeotomi, sedangkan penderita perlu oksigenasi secara cepat.

5.1.2 Kontrol perdarahan.

Perdarahan yang terjadi haruslah diperiksa dan dikontrol dengan baik pada kasus-kasus darurat untuk dapat menyelamatkan jiwa pasien. Menekan baik dengan jari atau dengan menggunakan kasa dapat menghentikan sebagian besar kasus perdarahan pada trauma wajah.

5.1.3 Laserasi Jaringan Lunak

Prioritas yang paling umum pada fraktur fasial adalah memperbaiki laserasi jaringan lunak. Sebaiknya laserasi itu dijahit sebelum terjadi edema yang hebat yaitu dalam 1-8 jam terjadinya injuri. Laserasi biasa dapat di tangani dengan analgesia lokal. Kerusakan yang luas pada jaringan lunak wajah memerlukan suatu anastetik umum yang lama. Kalau terdapat keraguan mengenai kondisi umum pasien, laserasi fasial hendaknya di tangani segera sebelum penatalaksanaan pada frakturnya.

5.1.4 Sedasi/ Analgasik


(38)

kesadaran dan pernafasan. Resiko terjadinya gangguan pernafasan meningkat bila obat-obatan seperti morfin dan derivat-derivatnya diberikan kepada pasien yang menderita injuri di daerah maksilofasial. Morfin juga menekan refleks batuk dan dengan demikian mendorong masuknya darah kedalam trakhea. Selain itu dapat menyebabkan pengerutan pupil. Meskipun demikian, pada tingkat pertama setelah terjadinya injuri, sangat penting untuk menekan kegelisahan sekecil mungkin. Jika terjadi iritasi serebral obat yang sangat bermanfaat ialah diazepam (valium) yang diberikan secara intravenus. Biasanya diberikan kira-kira 10 mg dan dapat dikombinasiakan dengan 15-30 mg pentazocine (fortral) sebagai analgesik pada fraktur yang menimbulkan rasa sakit.9,10,34,35

Perawatan umum sebelum dilakukannya tindakan bedah antra lain: harus mengetahui kondisi umum pasien seperti penyakit yang dideritanya, untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan, pemberian makanan dengan komposisi tinggi kalori dan protein yang bertujuan untuk pemulihan kondisi pasien, terapi antibiotik diberikan berdasarkan kondisi individu terutama untuk pasien yang mengalami fraktur terbuka dan kemungkinan besar mengalami kontaminasi, untuk kasus-kasus dimana anastesi umum dilakukan pada suatu pembedahan, maka pengosongan lambung perlu dilakukan dengan cara puasa 6 jam sebelum operasi hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia.34,35,36,37,38

5.2 Perawatan Secara Pembedahan

Tujuan dilakukannya perawatan fraktur arkus zigomatikus adalah untuk mengembalikan bentuk anatomis, fungsional, dan estetis.


(39)

Perawatan fraktur arkus zigomatikus pada prinsipnya sama dengan perawatan fraktur lainya, yaitu dengan melakukan reduksi/ reposisi, fiksasi dan immobilisasi. Reduksi merupakan cara untuk posisi tulang yang patah ke posisi semula yang normal. Reduk si dapat dilakukan dengan melakukan reduksi terbuka ataupun reduksi tertutup. Reduksi terbuka biasanya dilakukan dengan menggunakan anastesi umum sedangkan untuk reduksi tertutup biasanya menggunakan anastesi lokal. Fiksasi fraktur arkus zigomatikus perlu dilakukan apabila terjadi perpindahan fragmen lebih dari 2 mm, fiksasi biasanya dilakukan dengan menggunakan mini plate.

Fraktur arkus zigomatikus yang tidak bergeser atau Bergeser minimal mungkin tidak memerlukan koreksi bedah. Karena cedera-cedera ini biasanya tidak menimbulkan berkurangnya fungsi secara signifikan, dapat terkoreksi dengan hanya melakukan observasi pada pasien.39,40,41

Gambar 16. Gambar elevator. A. Elevator periosteal, B. Elevator rowe zigomatik. (Prakasam M, Dolas RS, Managutti A. A Modified temporal incision: an alternative approach to the zygomatic arch. J Maxillofacial Oral Surg 2010; 9: 429)

A


(40)

Beberapa teknik reduksi fraktur arkus zigomatikus terdiri dari: A.Pendekatan dengan metode Gillies

Metode ini mulai diperkenalkan oleh Gillies pada tahun 1927, untuk mengungkit arkus zigomatikus yang patah, metode ini tidak di indikasikan untuk fraktur zigomatik kompleks. Dasar pemikiranya adalah bahwa tulang fasia temporalis melekat pada bagian superior tulang arkus zigomatikus. Di bawah lapisan ini dan diatas aspek superfisial dari otot temporalis, terdapat potential space untuk menyelipkan instrument di bawah tulang arkus zigomatikus yang patah.

Tehknik metode Gillies, dengan mencukur sedikit rambut di daerah temporal, lubang telinga di tutup dengan kapas untuk mencegah masuknya darah ke lubang telinga. Insisi sepanjang 2 cm di sebelah atas dan paralel dengan cabang arteri temporalis, di seksi pada kutis, subkutis, sampai fasia temporalis. Jika letak insisi terlalu rendah, akan membingungkan karena lapisan temporalis superfisial disangka sebagai fasia temporalis yang letaknya lebih dalam. Jika fasia temporalis yang paling dalam ditemukan, elevator dapat dimasukkan ke arah bawah dan depan, sejauh aspek temporal dari tulang zigomatik. Setelah yakin letak elevator diantara fasia temporal dan otot temporalis, arkus zigomatikus di ungkit, di kembalikan ke posisi semula. Arkus zigomatikus harus di palpasi selama bekerja sebagai panduan reduksi yang baik. Setelah reposisi selesai, lakukan penjahitan.2,43,44


(41)

Gambar17. Pendekatan secara Gilles. A.Fasia temporalis superficial, B. fasia temporalis paling dalam, C. Foramen infra orbitalis D. Elevator, E. Arah reduksi, F. potensial space. (Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of 0ral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 :451)

B.Dengan pendekatan intra oral

Metode ini diperkenalkan oleh Ken pada tahun 1909. Yaitu melalui insisi sepanjang 1 cm di sulkus bukal maksila bertentangan dengan gigi molar ke dua, di bawah tulang zigoma. Lalu di masukkan elevator pada regio yang diinsisi tersebut untuk mengungkit tulang yang fraktur kearah atas, depan dan kearah luar yang bertujuan untuk mereposisi fragmen fraktur. Luka operasi pada sulkus maksila di jahit.44,46,47

A B

C

D

E


(42)

Gambar 18. Pendekatan secara intra 0ral. A. Insisi 1 cm di sulkus bukal maksila bertentangan dengan gigi molar ke dua , B. Masukkan elevator. C dan D. palpasi arkus selama bekerja. (Dudley HAF. Halmiton Balley ilmu bedah gawat darurat. Alih bahasa. Wahab samsik, Aswin S. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992: 223)


(43)

Gambar 19. Fiksasi arkus zigomatikus. A. insisi dilakukan kira-kira 1cm diatas arkus zigomatikus. B. pembukaan flep sampai terlihat tulang yang fraktur. C. lakukan fiksasi di daerah yang mengalami fraktur. E. jahit kulit ( Prakasam M, Dolas RS, Managutti A. A Modified temporal incision: an alternative approach to the zygomatic arch. J Maxillofacial Oral Surg 2010; 9: 428)

Fraktur tulang terjadi setelah kekuatan trauma yang ditimbulkan melebihi ketahanan jaringan tulang. Jaringan lain apabila terjadi trauma akan membentuk jaringan parut. Tetapi tulang mempunyai kemampuan penyembuhan sendiri dengan cara regenerasi.

Tahap-tahap penyembuhan fraktur secara umum:

1. Fase hematom (dalam waktu 24 jam timbul perdarahan)

Apabila terjadi fraktur maka pembuluh darah kecil yang melewati kanakuli dalam sisitem harvesian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematom di antara ke dua sisi fraktur. Hematom yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan


(44)

hematom yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakuna yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi/ inflamasi (terjadi 1-5 hari setelah trauma).

Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan terjadi karena ada sel-sel osteogenik yang berploliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan hebat pada periosteum maka penyembuhan sel berasal dari sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal penyembuhan fraktur terjadi penambahan jumlah sel-sel osteogenik yang memberikan pertumbuhan yang cepat melebihi sifat tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematom suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu kalus dari fraktur akan membentuk satu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga masih merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (terjadi 6-10 hari setelah trauma).

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteobalas di isi oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk tulang yang imatur. bentuk tulang ini disebut woven bone


(45)

4. Fase konsolidasi (2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara berlahan-lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus dapat diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodeling (waktu lebih 10 minggu).

Perlahan-lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada kalus eksterna secara berlahan-lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sum-sum.

Tulang dapat sembuh secara primer dan sekunder. Penyembuhan tulang secara primer tidak di ikuti pembentukan kalus sedangkan penyembuhan sekunder di ikuti oleh pembentukan kalus. Pembentukan kalus terjadi apabila dilakukan stabilisasi yang rigid dan kontak antara ujung-ujung fragmen fraktur.

Bila jaringan tulang tidak terbentuk pada garis fraktur atau terbentuk tidak sesuai dengan waktu yang diharapkan maka dapat terjadi non union atau delayed union. Fraktur mengalami non union bila belum terjadi jaringan tulang sampai dengan 6-8 bulan setelah trauma. Sedangkan delayed union bila jaringan tulang belum terbentuk setelah 3-9 bulan.

Ketidak stabilan fraktur ini bisa karena penanganan yang terlambat dari fraktur sehingga ujung dari fraktur menjadi tumpul akibat pembentukan osteoklas. Perawatan arkus zigomatikus sebaiknya dilakukan 1 minggu setelah terjadinya trauma, karena proses pembentukan osteoklas terjadi setelah minggu kedua terjadinya fraktur.


(46)

arkus zigomatik yang terkena fraktur secara konvensional. Bila arkus zigomatikus mengakibatkan diplopia maka perlu dilakukan re-fraktur. Apabila terjadi trismus lebih baik dilakukan koronoideotomi. 40,48,49

5.1 Perawatan Pasca Bedah

Pasien hendaknya diletakkan pada posisi duduk untuk pernafasan, asal tidak terdapat kontra indikasi seperti misalnya fraktur tulang belakang. Pasien yang sepenuhnya sadar dan dapat bernafas dengan baik maka alat pernafasan nasofaringeal dapat dilepaskan, pernafasan dapat dibantu dengan penyedotan yang dilakukan kadang kala sekitar sulkus bukal. Pembersihan darah dan lendir dari gigi-giginya dan melapisi bibir dengan vaselin memungkinkan pasien bernafas dengan enak melalui mulut.50

Pasien perlu disuruh minum banyak dan dicatat keseimbangan cairanya. Grafik denyut nadi yang diambil setiap jam di catat, sampai dokter menganggap tidak perlu dilanjutkan lagi.37

Meningkatnya temperatur badan mungkin menunjukkan adanya infeksi lokal pada fraktur atau injuri yang ada hubungannya dengan fraktur tersebut atau suatu tanda permulaan komplikasi pernafasan.28

Diperlukan suatu diet, baik yang berupa cairan ataupun ynag setengah padat. Diet setengah padat dihasilkan dengan merancang diet normal, kemudian disaring lewat saringan dengan ukuran 2,5 cm untuk selanjutnya dicampur dengan sup. Sejumlah kecil cairan dan diet setengah padat sudah membuat pasien merasa kenyang, dan untuk memberikan masukan yang cukup berkalori sebaiknya pasien


(47)

diberikan makan setiap 6 jam. Menu sebaiknya divariasikan sebanyak mungkin.16,27,35,5o


(48)

BAB 6 KESIMPULAN

Fraktur adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas tulang, baik sebagian atau seluruhnya, yang biasanya disebabkan oleh traumatik mekanik. Diskontinuitas ini dapat terjadi pada tulang saja atau disertai kerusakan jaringan lunak.1

Sepertiga tengah wajah terdiri dari tulang-tulang berikut: dua tulang maksila, dua tulang zigomatikus, dua prosesus zigomatikotemporalis, dua tulang palatum, dua tulang hidung, dua tulang lakrimal, satu tulang vomer, satu tulang etmoid, dua konka inferior , dan lamina pterigospenoidalis.7

Penyebab fraktur wajah bervariasi, mencakup kecelakaan lalu-lintas, kekerasan fisik, olahraga, jatuh dan lain-lain. Kecelakaan lalu-lintas adalah penyebab utama fraktur wajah yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum di bawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.4,5,8 Bagi pasien dengan kecelakaan lalu-lintas yang fatal menjadi masalah karena harus di rawat di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang pertahunnya. Penyebab paling sering pada orang dewasa adalah kecelakaan lalu-lintas (76,5%), sedangkan yang lainnya adalah kekerasan fisik (11,1%), olahraga (9,8%), dan jatuh (2,5%).16,17,18

Arkus zigomatikus dapat mengalami fraktur tanpa menimbulkan fraktur pada tulang zigomatik, dalam kondisi yang demikian satu-satunya bukti fraktur yang terlihat adalah adanya depresi yang berdiameter sekitar 2,5 cm pada arkus zigomatikus, sehingga menyebabkan terbatasnya gerakan rahang bawah ke arah sisi


(49)

yang terkena injuri dan kemungkinan adanya gangguan pada pembukaan dan penutupan rahang.13,15,20

Sebelum perawatan fraktur dilakukan, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah menyelamatkan jiwa pasien dengan merawat pengelolaan jalan nafas, perdarahan yang dapat membawa kematian. Setelah itu baru dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui tipe fraktur dan perawatan yang akan dilakukan.9

Perawatan fraktur arkus zigomatikus pada prinsipnya sama dengan perawatan fraktur lainya, yaitu dengan melakukan reduksi/ reposisi, fiksasi dan immobilisasi. Reduksi merupakan cara untuk posisi tulang yang patah ke posisi semula yang normal. Reduksi dapat dilakukan dengan melakukan reduksi terbuka ataupun reduksi tertutup. Reduksi terbuka biasanya dilakukan dengan menggunakan anastesi umum sedangkan untuk reduksi tertutup biasanya menggunakan anastesi lokal. Fiksasi fraktur arkus zigomatikus perlu dilakukan apabila terjadi perpindahan fragmen lebih dari 2mm, fiksasi biasanya dilakukan dengan menggunakan mini plate.

Fraktur arkus zigomatikus yang tidak bergeser atau bergeser minimal mungkin tidak memerlukan koreksi bedah. Karena cedera-cedera ini biasanya tidak menimbulkan berkurangnya fungsi secara signifikan, dapat terkoreksi hanya dengan melakukan observasi pada pasien. Ketidak stabilan fraktur ini biasanya karena penanganan yang terlambat dari fraktur sehingga ujung dari fraktur menjadi tumpul akibat pembentukan osteoklas. Perawatan arkus zigomatikus sebaiknya dilakukan 1 minggu setelah terjadinya trauma, karena proses pembentukan osteoklas terjadi


(50)

DAFTAR RUJUKAN

1. Thomas DW, Hill CM. Etiologi and changing patterns of maxillofacial trauma. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 2-9.

2. Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 : 447-51.

3. Furtado LM, Rocha FS, Silva CJ. Retrospective analysis of maxillofacial fractures: A 7-year study of 748 patient. International Journal Dental 2009; 262-6.

4. Jackson IT, Smith W. Classification, diagnosis, and etiology of craniofacial deformitie. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. St Louis: Elsevier, 2007: 846-9.

5. Hodgkinson DW, Ijoyed RE, Driscol PA. Maxillofacial fractures. J Craniofacial Surgery 2004; 20-7.

6. Exadaktylos AK, Eggensperger NM, Eggli S. Sports related maxillofacial injuries: The firs maxillofacial trauma database in Swhzerland. Br Journal Sport Medecine 2004; 751.

7. Liebgott B. Dasar-dasar anatomi kedokteran gigi. Alih Bahasa. Karniasari I, Yowono L. Jakarta: EGC, 152-93.

8. Banks P. Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial. Alih Bahasa. Wahyono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992: 20-51.


(51)

9. Erol B, Tanrikulu R, Gorgun B. Maxillofacial fractures. Analysis of demographic distribution and treatment in 20901 Patient (25-year experience). Journal of Cranio-maxillofacial Surgery 2004;309.

10.Lavery KM, Newman L. Primary care of maxillofacial injuries. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 11-4.

11.Terheyden H, Harle F. Surgical management of maxillary fractures. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 103-5.

12.Putz R, Pabst R. Sobotta: Atlas anatomi manusia. Alih Bahasa. Suyono YJ. Jakarta: EGC, 2006: 34-54.

13.Bentsianov B, Blitzer A. Facial anatomy. J Clindermatol 2003; 4-13.

14.Jenkins A. Trigeminal neuralgia. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. London: Elsevier, 2007: 1560.

15.Dudley HAF. Halmiton Balley ilmu bedah gawat darurat. Alih bahasa. Wahab samsik, Aswin S. Yogyakarta: gajah mada university press, 1992; 215-20.

16.Owsley JQ, Robert CL. Some anatomical observation on midface aging and long- term result of surgical treatment. Journal of Cranio-maxillofacial Surgery 2007; 264-7.

17.Ajike SO, Adebayo ET, Amanyirwe EU. An epidemiologic survey of maxillofacial fractures and concomitant injuries in Kaduna. Nigerian Journal


(52)

18.Chowdry R, Menon S. Etiology and management of zigomaticomaxillary complex fractures in the armed forces. Oral and Maxillofacial Surgery 2005; 61: 238-40.

19.Ozkaya O, Tugut G, Kayali MU. A retrospective study on the epidemyology and treatment of maxillofacial fractures. Turkish Journal of Trauma and Emergency Surgery 2009; 15: 262-6.

20.Tucker MR. Management of facial fractures. In: Peterson LJ, Ellis E. eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. St Louis: Elsevier, 2000: 529

21.Wray D, Stenhouse D, Lee D. Fractures of the facial bone. In: Ramsden I, eds. Textbook of general and oral surgery. London: Elsevier, 2003: 95.

22.Manson PN. Fractures of the zygoma. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial Surgery. 2th ed. St Louis: Elsevier, 2007: 125-30.

23.Ngay TN. Facial trauma, Zygomatic complexs fractures. J Oral and Maxillofacial Surgery 2010;211.

24.Smith HW. Fractures-dislocation of zygoma and zygomatic arch. J Otolaryngology Head and Neck Surgery 2000; 73: 172-85.

25.Gurner R, Yilmez UN,Yaman F. Isolated arcus zygoma fractures (9 Case report). J of International Dent and Medical Research 2009; 2: 81-5.

26.Guney O. A new proposal of classification of zygomatic arch. J Oral Maxillofacial 2007; 462.

27.Girn J, stedd M. Zygomatic arch fractures. In: Baghery SC, Jo C, eds. Clinical review of oral and maxillofacial surgery. USA: Marcel Dekker, 2005:158-60.


(53)

28. Cohen AJ. Facial trauma, zygomatic arch fractures.

<http://emedicine.medscape.com/article/128392-overview>(18 Oktober 2011) 29. Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: orbitozygomatic complex and zygomatic arch fractures. Emergency Med J 2006; 3: 120-2. 30.Bawley NB, Brown J. Radiology for maxillofacial trauma. In: Booth PW,

Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. London: Elsevier, 2007: 270-3.

31.Miller AM. Radiographic examination. In: warfel D, eds. Oral and maxillofacial surgery. St Louis: Mosby, 2000: 413-23.

32.Hard N. Radiology of craniofacial fractures. J Craniofacial Trauma 2010; 15-29.

33.Sallam M, Khalifa G, Ibrahim F, et al. Ultrasonography vs computed tomography in imaging of zygomatic complex fractures. Journal of American Science 2010; 524-32.

34.Hupp JR. Prevention and management of medical emergencies. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary Oral and Maxillifacial surgery. 5th ed. Mosby: Elsevier, 2008: 22-7.

35.Ochs MW, Tucker MR. Management of facial fractures. In: Peterson LJ, Ellis E. eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. St Louis: Elsevier, 2003: 527-9.


(54)

37.Hupp JR. Principles of surgery. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary oral and maxillifacial surgery. 5th ed. USA: Marcel Dekker, 2008: 43-5.

38.Steward C. Maxillofacial trauma: challenges in ad diagnosis and management. Emergency Medicine Practice 2008; 10: 310.

39.Yanagisawa E. Greenspan R. Fractures of zygomatic arch. Archives of Otolayngology Head and Neck Surgery 1992; 75: 424-428.

40.Perry Michael, Booth PW. Principles of fractures management: timing reduction, and choice of fixation. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 49-54.

41.Garter TG. Towel clip reduction of the depressed zygomatic arch fractures. Journal Oral Maxillofacial Surg 2005; 63: 1244-6.

42.Prakasam M, Dolas RS, Managutti A. A Modified temporal incision: an alternative approach to the zygomatic arch. J Maxillofacial Oral Surg 2010; 9: 428-33.

43.Joseph K, Gerhard M, Jeffry F. Isolated bilateral zygomatic arch fractures of the facial skeleton are asosiated with skull base fractures. J Plastic and Reconstructive Surg 2011; 128: 962-70.

44.Akira M, Tetsuya Y, Yukof. An intraoral approach in the reduction of zygomatic fractures. Journal of the Japan Society of Cranio-maxillo-facial Surgery 2004; 20: 202.

45.Banks P, Brown A. Fracture of the facial skeleton. London : Reed Educational and Professional Publishing, Ltd, 2002 : 102 – 110.


(55)

46.Quinm JH. Lateral coronoid approach for intraoral reduction of fractures of the fygomatic arch. J Oral Surg 1998; 35: 523-2.

47.Paludetti G, Corina L. Surgical features on intraoral approach for the management of isolated zigomatic arch fractures. J Craniofacial Surgery 2002; 22: 280-3.

48.Balasubramanian K, Sheikh, Hossni M. Dental forceps reduction of depresed zygomatic arch fractures. Journal of Craniofacial Surg 2008;19: 782-4.

49.Agusto J, Pereira G. Zygomatic arch fractures-case report using pre- auricular approach. J Maxillofacial Surg 2009; 9: 47-52.

50.Ochs MW, Tucker MR. Management of facial fractures. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary oral and maxillifacial surgery. 5th ed. St Louis: Elsevier, 2008: 493-501.


(1)

DAFTAR RUJUKAN

1. Thomas DW, Hill CM. Etiologi and changing patterns of maxillofacial trauma. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 2-9.

2. Jonatan S, Michael S. Management of zygomatyc complex fractures. In : Ggali GE, Larsen, eds. Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery. London : BC Decker, 2004 : 447-51.

3. Furtado LM, Rocha FS, Silva CJ. Retrospective analysis of maxillofacial fractures: A 7-year study of 748 patient. International Journal Dental 2009; 262-6.

4. Jackson IT, Smith W. Classification, diagnosis, and etiology of craniofacial deformitie. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. St Louis: Elsevier, 2007: 846-9.

5. Hodgkinson DW, Ijoyed RE, Driscol PA. Maxillofacial fractures. J Craniofacial Surgery 2004; 20-7.

6. Exadaktylos AK, Eggensperger NM, Eggli S. Sports related maxillofacial injuries: The firs maxillofacial trauma database in Swhzerland. Br Journal Sport Medecine 2004; 751.

7. Liebgott B. Dasar-dasar anatomi kedokteran gigi. Alih Bahasa. Karniasari I, Yowono L. Jakarta: EGC, 152-93.

8. Banks P. Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial. Alih Bahasa. Wahyono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992: 20-51.


(2)

9. Erol B, Tanrikulu R, Gorgun B. Maxillofacial fractures. Analysis of demographic distribution and treatment in 20901 Patient (25-year experience). Journal of Cranio-maxillofacial Surgery 2004;309.

10.Lavery KM, Newman L. Primary care of maxillofacial injuries. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 11-4.

11.Terheyden H, Harle F. Surgical management of maxillary fractures. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 103-5.

12.Putz R, Pabst R. Sobotta: Atlas anatomi manusia. Alih Bahasa. Suyono YJ. Jakarta: EGC, 2006: 34-54.

13.Bentsianov B, Blitzer A. Facial anatomy. J Clindermatol 2003; 4-13.

14.Jenkins A. Trigeminal neuralgia. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. London: Elsevier, 2007: 1560.

15.Dudley HAF. Halmiton Balley ilmu bedah gawat darurat. Alih bahasa. Wahab samsik, Aswin S. Yogyakarta: gajah mada university press, 1992; 215-20.

16.Owsley JQ, Robert CL. Some anatomical observation on midface aging and long- term result of surgical treatment. Journal of Cranio-maxillofacial Surgery 2007; 264-7.

17.Ajike SO, Adebayo ET, Amanyirwe EU. An epidemiologic survey of maxillofacial fractures and concomitant injuries in Kaduna. Nigerian Journal of Surgical Research 2005; 7: 251-5


(3)

18.Chowdry R, Menon S. Etiology and management of zigomaticomaxillary complex fractures in the armed forces. Oral and Maxillofacial Surgery 2005; 61: 238-40.

19.Ozkaya O, Tugut G, Kayali MU. A retrospective study on the epidemyology and treatment of maxillofacial fractures. Turkish Journal of Trauma and Emergency Surgery 2009; 15: 262-6.

20.Tucker MR. Management of facial fractures. In: Peterson LJ, Ellis E. eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. St Louis: Elsevier, 2000: 529

21.Wray D, Stenhouse D, Lee D. Fractures of the facial bone. In: Ramsden I, eds. Textbook of general and oral surgery. London: Elsevier, 2003: 95.

22.Manson PN. Fractures of the zygoma. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial Surgery. 2th ed. St Louis: Elsevier, 2007: 125-30.

23.Ngay TN. Facial trauma, Zygomatic complexs fractures. J Oral and Maxillofacial Surgery 2010;211.

24.Smith HW. Fractures-dislocation of zygoma and zygomatic arch. J Otolaryngology Head and Neck Surgery 2000; 73: 172-85.

25.Gurner R, Yilmez UN,Yaman F. Isolated arcus zygoma fractures (9 Case report). J of International Dent and Medical Research 2009; 2: 81-5.

26.Guney O. A new proposal of classification of zygomatic arch. J Oral Maxillofacial 2007; 462.

27.Girn J, stedd M. Zygomatic arch fractures. In: Baghery SC, Jo C, eds. Clinical review of oral and maxillofacial surgery. USA: Marcel Dekker, 2005:158-60.


(4)

28. Cohen AJ. Facial trauma, zygomatic arch fractures.

<http://emedicine.medscape.com/article/128392-overview>(18 Oktober 2011) 29. Coallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department: orbitozygomatic complex and zygomatic arch fractures. Emergency Med J 2006; 3: 120-2. 30.Bawley NB, Brown J. Radiology for maxillofacial trauma. In: Booth PW,

Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. London: Elsevier, 2007: 270-3.

31.Miller AM. Radiographic examination. In: warfel D, eds. Oral and maxillofacial surgery. St Louis: Mosby, 2000: 413-23.

32.Hard N. Radiology of craniofacial fractures. J Craniofacial Trauma 2010; 15-29.

33.Sallam M, Khalifa G, Ibrahim F, et al. Ultrasonography vs computed tomography in imaging of zygomatic complex fractures. Journal of American Science 2010; 524-32.

34.Hupp JR. Prevention and management of medical emergencies. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary Oral and Maxillifacial surgery. 5th ed. Mosby: Elsevier, 2008: 22-7.

35.Ochs MW, Tucker MR. Management of facial fractures. In: Peterson LJ, Ellis E. eds. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. St Louis: Elsevier, 2003: 527-9.

36.Richard CF, Maybery JC. Initial management of the trauma patient. J Crit Care Clin 2004; 20: 1-11.


(5)

37.Hupp JR. Principles of surgery. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary oral and maxillifacial surgery. 5th ed. USA: Marcel Dekker, 2008: 43-5.

38.Steward C. Maxillofacial trauma: challenges in ad diagnosis and management. Emergency Medicine Practice 2008; 10: 310.

39.Yanagisawa E. Greenspan R. Fractures of zygomatic arch. Archives of Otolayngology Head and Neck Surgery 1992; 75: 424-428.

40.Perry Michael, Booth PW. Principles of fractures management: timing reduction, and choice of fixation. In: Booth PW, Schebdel SA, Hausamen JE, eds. Maxillofacial surgery. 2th ed. USA: Marcel Dekker, 2007: 49-54.

41.Garter TG. Towel clip reduction of the depressed zygomatic arch fractures. Journal Oral Maxillofacial Surg 2005; 63: 1244-6.

42.Prakasam M, Dolas RS, Managutti A. A Modified temporal incision: an alternative approach to the zygomatic arch. J Maxillofacial Oral Surg 2010; 9: 428-33.

43.Joseph K, Gerhard M, Jeffry F. Isolated bilateral zygomatic arch fractures of the facial skeleton are asosiated with skull base fractures. J Plastic and Reconstructive Surg 2011; 128: 962-70.

44.Akira M, Tetsuya Y, Yukof. An intraoral approach in the reduction of zygomatic fractures. Journal of the Japan Society of Cranio-maxillo-facial Surgery 2004; 20: 202.

45.Banks P, Brown A. Fracture of the facial skeleton. London : Reed Educational and Professional Publishing, Ltd, 2002 : 102 – 110.


(6)

46.Quinm JH. Lateral coronoid approach for intraoral reduction of fractures of the fygomatic arch. J Oral Surg 1998; 35: 523-2.

47.Paludetti G, Corina L. Surgical features on intraoral approach for the

management of isolated zigomatic arch fractures. J Craniofacial Surgery

2002; 22: 280-3.

48.Balasubramanian K, Sheikh, Hossni M. Dental forceps reduction of depresed zygomatic arch fractures. Journal of Craniofacial Surg 2008;19: 782-4.

49.Agusto J, Pereira G. Zygomatic arch fractures-case report using pre- auricular approach. J Maxillofacial Surg 2009; 9: 47-52.

50.Ochs MW, Tucker MR. Management of facial fractures. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary oral and maxillifacial surgery. 5th ed. St Louis: Elsevier, 2008: 493-501.