BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pterygium adalah pertumbuhan fibrovascular yang invasinya berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi ke arah kornea. Sinar Ultraviolet dianggap sebagai perangsang terjadinya
kelainan ini dimana sinar ultraviolet menyebabkan kerusakan pada barier stem sel limbus sehingga terjadi konjungtivalisasi pada kornea
1-13
.
Pterygium tersebar luas di dunia tetapi lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim panas dan kering. Prevalensi pada daerah ekuator kira-kira 22 dan kurang 2 di daerah
lintang di atas 40 . Sekitar 44 lebih besar pada daerah tropis kurang dari 30
11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali pada pasien dengan riwayat
tanpa memakai kacamata dan 2 kali pada pasien yang tidak memakai topi.
2
Tingginya kejadian berulang dan pertumbuhan progresif pada pterygium berulang masih merupakan permasalahan klinis yang menantang.
2
Selain itu pterygium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium
lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi penglihatan
2,7,8
. Berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun tansplantasi
dengan konjungtiva
6,7,8
. Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin.
Indikasi operasi pterygium antara lain, terganggunya penglihatan, kosmetik, gangguan pergerakan bola mata, inflamasi yang rekuren, gangguan pada pemakaian lensa kontak, serta
jarang, perubahan ke arah neoplasia
3,4,5,8,9,10
. Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi pterygium, pada dasarnya
tindakan operasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu, mengangkat pterygium dengan
Universitas Sumatera Utara
membiarkan luka bekas pterygium terbuka Bare sclera , dan mengangkat pterygium kemudian luka pterygium ditutup dengan graft transplantasi
3,4,5,8,9,10
. Masing-masing teknik operasi yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan.
Idealnya operasi tersebut haruslah simpel, cepat, tingkat komplikasi dapat diterima, tingkat rekurennya rendah dan bagus secara kosmetik. Sayangnya belum ada teknik yang memenuhi
semua kriteria tersebut
3,4,5,8,9,10
. Komplikasi yang dapat terjadi pada eksisi pterygium antara lain : perforasi
korneosklera, disinsersi otot rektus, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, Jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar
konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma
4
. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren 50 – 80 , sedangkan
eksisi dengan transplantasi, lebih rendah
9,10,11
. Atilla Alpay dkk melakukan penelitian yang membandingkan hasil-hasil operasi
pterygium dengan bare sclera dan conjungtival autograft, hasilnya menunjukkan rekurensi 38,09 pada kelompok bare sclera dari 21 pasien, dan 16,66 pada conjungtival autograft.
Walaupun teknik autograft konjungtiva adalah yang paling sulit, dan memakan waktu lebih lama, namun hasil operasi dan secara kosmetik lebih bagus
6
. Demireller dkk melaporkan 8 42 rekurensi pada 19 mata yang dilakukan teknik
operasi bare sclera. Starc dkk menyatakan 5,3 rekurensi setelah operasi dengan autograft konjungtiva
6
. Donald T.H. Tan dkk melakukan penelitian di Singapore yang membandingkan eksisi
bare sclera dan autograft konjungtiva dimana hasilnya menunjukkan rekurensi yang rendah pada autograft konjungtiva 2 dan pada bare sclera 61 untuk pterygium primer dan 82
pada pada pterygium rekuren. Sedangkan menurut AAO rekurensi untuk bare sclera sekitar
Universitas Sumatera Utara
40 – 50 , dan conjungtival autograft 2 – 5 . Penelitian lain juga melaporkan angka rekurensi untuk bare sclera sekitar 24 - 89
1,4
. Bagaimanapun, penelitian yang membandingkan ini adalah penelitian yang dilakukan
satu operator atau ahli bedah, dan analisa dari operasi autograft konjungtiva diantara 23 ahli bedah pada satu institusi yang sama menghasilkan variasi yang besar pada tingkat rekurensi
yaitu dari 5 sampai 83. Dan hal ini dijelaskan juga karena adanya korelasi dari pengalaman operatornya dengan tingkat rekurensi
4
.
1.2 HIPOTESA