ANALISIS KANDUNGAN KIMIA INFUSA TANAMAN 002

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Biologi Candida albicans

Candida albicans termasuk dalam famili Saccharomycetaceae. Klasifikasi

Candida albicans berdasarkan NCBI (National Center for Biotechnology Information) sebagai berikut:

Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Saccharomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae Genus : Candida

Spesies : Candida albicans (C.P. Robin)

Gambar 2.1. Morfologi mikroskopis Candida albicans


(2)

Morfologi pada sediaan apus eksudat Candida, sel tampak sebagai ragi lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positif (Simatupang, 2009) seperti pada Gambar 2.1, berukuran 2-5 µ x 3-6 µ hingga 2-5 x 5-28,5 µ, bergantung pada umurnya (Suprihatin, 1982). Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Dinding sel Candida albicans

berfungsi sebagai pelindung, sebagai target dari beberapa antimikotik dan memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari lingkungannya. Terdapat beberapa lapisan sel (dari luar ke dalam) pada dinding sel Candida albicans, yaitu

fibrillar layer, mannoprotein, ß-glucan, ß-glucan-chitin, mannoprotein dan membran plasma (Kusumaningtyas, 2009). Candida albicans bersifat dimorfik (Brooks et al., 2007)., jamur Candida memperbanyak diri dengan membentuk tunas (budding), spora jamur disebut blastopora atau sel ragi (sel khamir), jamur membentuk hifa semu (pseudohypha) yang sebenarnya merupakan rangkaian dari blastopora yang bercabang-cabang (Suprihatin, 1982), C. albicans dapat membentuk hifa sejati (Brooks et al., 2007). Pseudomiselium berkembang dari blastopora melalui proses pemanjangan dan dapat membentuk miselium sejati seperti miselium jamur lainnya (Suprihatin, 1982).

Koloni Candida sedikit timbul pada permukaan medium padat, dengan permukaan halus, licin, atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Pada tepi koloni terlihat hifa semu seperti benang-benang halus yang masuk dalam medium (Suprihatin, 1982).

Jamur Candida dapat hidup sebagai saprofit, tanpa menyebabkan suatu kelainan apapun di dalam tubuh baik manusia maupun hewan, tetapi pada keadaan tertentu sifat jamur dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit


(3)

yang disebut kandidiasis (candidiasis) atau kandidosis (candidosis) (Suprihatin, 1982). Jamur C. albicans dianggap sebagai spesies patogen dan menjadi penyebab utama kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi akut atau subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh (Siregar, 2004). Misalnya kandidiasis mulut (sariawan), kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan Rahardja, 2003). C. albicans merupakan jamur opportunistik penyebab sariawan, lesi pada kulit, vulvavaginistis, candida pada urin (kandiduria), gastrointestinal kandidiasis yang dapat menjadi komplikasi kanker (Kurniawan, 2009 dan Mutschler, 1991).

Beberapa faktor yang menyebabkan Candida albicans menjadi patogen adalah daya tahan tubuh menurun, pemberian antibiotik yang terlalu lama dan berlebihan. Mulanya penyakit kandidiasis dianggap hanya sebagai penyakit ringan, tetapi setelah ditemukan kasus yang fatal pada penderita kandidiasis, maka dapat disimpulkan bahwa kandidiasis juga dapat menyerang organ dalam seperti jantung, ginjal, paru-paru (Mansur, 1990).

B.Botani Tanaman Sangket (Basilicum polystachyon (L.) Moench)

Sangket (Basilicum polystachyon) memiliki tinggi maksimal 60 cm, berdiri tegak dan berbatang persegi (Gambar 2.2). Sangket memiliki daun tunggal, berbentuk segitiga dengan pangkal dan ujung meruncing, tepi daun bergerigi halus, dan memiliki tulang daun menyirip (Afin, 2013). Klasifikasi tanaman sangket menurut ITIS (Integrated Taxonomy Information System) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae


(4)

Kelas : Magnoliopsida Ordo : Lamiales Famili : Lamiaceae Genus : Basilicum

Spesies : Basilicum polystachyon (L.) Moench Syn. Moschosma polystachyon (L.) Benth.

Gambar 2.2 Morfologi tanaman Sangket (Basilicum polystachyon (L.) Moench)

(Sumber: Australian Plant Image Index (APII))

C.Manfaat dan Kandungan Kimia Tanaman Sangket (Basilicum polystachyon (L.) Moench)

Sangket (Basilicum polystachyon (L.) Moench) masuk dalam kelompok herba yang berbau harum (aromatic herb), termasuk ke dalam famili Lamiaceae yang terkenal memiliki khasiat tinggi untuk pengobatan. Rebusan daun sangket diberikan kepada penderita epilepsi, serangan jantung, neuralgia, dan sawan (Amutha, et al., 2008). Ekstrak rebusan dari tanaman famili Lamiaceae dilaporkan kaya akan komponen Fenolik seperti hydroxycinnamic acids dan flavonoid, sebagian besar terbentuk dari derivat-derivat seperti ester dan glikosida. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa air rebusan yang diperoleh dari herba


(5)

aromatik seperti tanaman famili Lamiaceae mempunyai pengaruh terhadap perlindungan melawan oksidasi lipid (Triantaphyllou, et al., 2001).

Tumbuhan yang termasuk famili Lamiaceae mengandung sejumlah besar senyawa polifenol (Zgorka, et al., 2001) yang terlibat dalam mempengaruhi pertahanan bakteri, jamur, dan infeksi virus (Bais, et al., 2002). Aktifitas antijamur dari komponen polifenol berpengaruh terhadap perusakan susunan sel dengan memutus intersepta pada miselium dan merusak pada permukaan sel (Chakraborty et. al., 2007). Senyawa polifenol yang terdapat dalam famili Lamiaceae yaitu senyawa berkhasiat antioksidan, dan senyawa yang paling melimpah yakni rosmarinic acid dan caffeic acid (Petersen, et al., 2003).

Rosmarinic acid ditemukan dapat melawan dan mencegah pembentukan mikroorganisme rhizosphere, termasuk spesies patogen pada manusia (Bais, et al., 2002).

Flavonoid larut dalam air dan merupakan senyawa fenol. Fenol dan derivatnya golongan alkohol, dan asam-asam merupakan kelompok zat kimia yang aktif sebagai antiseptik yang bekerja menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan mendenaturasikan protein sel dan merusak membran sel (Benson, 1980 dalam Rachmatika, 2009). Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antifungal adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi (Rahmawati, 2012).


(6)

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting, dan kulit batang. Umumnya alkaloid mempunyai rasa pahit, dalam tumbuhan berada dalam bentuk bebas atau dalam bentuk garam, yaitu dalam bentuk kristal yang umum terdapat dalam tumbuhan. Alkaloid dalam bentuk garamnya mudah larut dalam air (Robinson, 1991).

D. Metode Pengujian Antifungal

Pengujian kemampuan antiseptis suatu bahan antifungi pada dasarnya adalah menentukan konsentrasi yang terkecil dari bahan tersebut yang dapat menghambat pertumbuhan jamur secara in vitro. Banyak macam metode yang digunakan dalam pengujian bahan antifungi. Metode yang sering digunakan untuk menguji kemampuan suatu bahan antimikroba menurut Darkuni (2012) adalah sebagai berikut:

1. Metode Dilusi Tabung (Tube Dilution Test)

Tube dilution test atau pengenceran tabung merupakan suatu metode yang dianggap paling akurat untuk menentukan daya antiseptis suatu bahan antifungi. Prinsip dasar dari metode ini adalah mencampurkan jamur uji dengan kepadatan tertentu dengan bahan antifungi yang akan diuji pada berbagai konsentrasi secara bertingkat. Zat yang akan diuji berbentuk diencerkan sebagaimana mestinya dan dimasukkan ke dalam tabung-tabung steril. Tabung-tabung tersebut ditambahkan sejumlah organisme uji yang sudah diketahui jumlahnya. Pemindahan dilakukan pada interval tertentu dari tabung pengenceran awal ke dalam tabung-tabung yang berisi media steril kemudian diinkubasikan dan diamati nampak ada tidaknya


(7)

pertumbuhan. Kelebihan dari metode ini adalah dapat menguji daya fungistatik, dan fungisidal dari antifungi sekaligus. Kelemahannya adalah memerlukan banyak tenaga dan waktu serta perlu biaya mahal sebab hanya dapat menguji satu bahan antimikroba dalam satu kegiatan.

2. Metode Dilusi Agar (Agar Plate Dilution Test)

Metode ini pada dasarnya sama dengan metode Tube Dilution, hanya saja media yang digunakan dalam metode ini adalah metode padat. Zat yang akan diuji dicampurkan ke dalam media agar, diinokulasikan dengan organisme uji kemudian diinkubasikan dan diamati nampak ada tidaknya pertumbuhan koloni organisme uji tersebut. Kelebihan metode ini adalah pelaksanaannya lebih mudah dan dalam satu media dapat digunakan lebih dari satu organisme uji. Kelemahannya adalah hanya dapat diketahui daya bakteiostatiknya saja sedang daya bakterisidal tidak dapat ditemukan.

3. Metode difusi agar (Disk Agar Difusion Test).

Metode ini menggunakan metode cakram kertas yang pada dasarnya menggunakan hasil pengamatan zona hambat yang dihasilkan oleh difusi dari bahan-bahan antimikroorganisme. Organisme uji diinokulasikan pada medium agar di dalam cawan petri kemudian menempatkan suatu cakram kertas yang mengandung antimikroba pada permukaan media tersebut. Setelah masa inkubasi tertentu, diamati untuk melihat adanya zona hambatan di sekeliling cakram kertas. Kelebihan metode ini adalah dapat dilakukan pengujian secara lebih banyak dalam satu kali kegiatan dan memerlukan tenaga yang tidak terlalu banyak. Kekurangannya tidak diketahui secara pasti aksi penghambatan yaitu fungisidal ataukah fungistatik karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain,


(8)

ketebalan media, macam media, inokulum dan laju difusi bahan antifungi. Pengujian daya antifungal tanaman berkhasiat obat terhadap jamur uji secara in vitro perlu dilakukan agar dapat diketahui konsentrasi ekstrak tanaman berkhasiat obat yang paling efektif menghambat pertumbuhan jamur uji (Darmawan, 2011).

E. Bahan Antifungi

Uji potensi antifungi adalah menguji suatu zat yang diduga mempunyai daya antifungi dengan memanfaatkan fungi sebagai indikator pengujian. Kegunaan uji antifungi adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi atau sering disebut antifungal mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan tanpa mematikannya (Marsh, 1977). Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi dinding sel jamur yang terdiri atas kitin, ß glukan, dan mannooprotein, gangguan pada sterol membran plasma sel jamur, dan sintesis asam nukleat jamur (Gubbins, 2009).

Konsentrasi dapat mempengaruhi suatu senyawa bersifat fungisida atau fungistatik, pada umumnya konsentrasi yang lebih tinggi akan menjadikan suatu senyawa bersifat fungisida sedangkan konsentrasi yang lebih sedikit dapat menjadikan suatu senyawa bersifat fungistatis (Volk dan Wheeler, 1988).


(9)

F. Mekanisme Kerja Antifungi

Komponen penyusun jamur genus Candida secara umum terdiri atas dinding sel, membran plasma, dan asam nukleat. Mekanisme penghambatan antijamur tergantung pada struktur tiap komponen penyusun jaringan. Mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur sebagai berikut:

1. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoprotein, kitin, dan α dan ß glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Komponen dinding sel jamur yang berfungsi sebagai unsur penyangga adalah ß glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan ß 1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila ß glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins, 2009).

2. Sterol membran plasma : ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan membran sel jamur. Ergoserol merupakan komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh senyawa antifungi turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori yang menyebabkan konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat keluar dari sel hingga menyebabkan kematian sel jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol, karena mampu menimbulkan ketidakteraturan


(10)

membran sitoplasma jamur dengan cara mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa-senyawa essensial, sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik dan menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur (Sholichah, 2010).

Kerja obat antijamur golongan polien secara langsung adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan

channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel (Gubbins, 2009). 3. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA (Gubbins, 2009).

Tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang berpotensi sebagai antijamur, diantaranya saponin, flavonoid, dan tannin (Winarsih, et al, 2011). Saponin adalah phytochemical yang berguna, yaitu antara lain mempunyai aktivitas antifungal dan antibakteri yang berspektrum luas. Saponin mempunyai kerja merusak membran plasma dari jamur. Senyawa saponin dapat merusak sel membran sitoplasma Candida albicans dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel jamur. Saponin dikatakan pula sebagai detergen alamiah, mampu menurunkan tegangan permukaan antar molekul pada suatu permukaan benda atau cairan (surface active agent). Detergen dapat terkondensasi pada permukaan suatu benda atau cairan dikarenakan memiliki gugus hidrokarbon yang larut lemak


(11)

(berada pada membran sel), sehingga dapat menyebabkan sel-sel pada membran sitoplasma lisis (Hopkins,1999).

Aktifitas biologis senyawa flavonoid dilakukan dengan merusak dinding sel dari Candida albicans yang terdiri atas lipid dan asam amino. Lipid dan asam amino tersebut akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam membran sel jamur. Flavonoid dengan kemampuannya membentuk kompleks protein dan merusak membran sel dengan cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel, sehingga membran sel menjadi lisis (Sulistyawati et al., 2009).

Senyawa antifungi selanjutnya dapat dengan mudah memasuki membran inti sel nukleus melalui pori-pori nukleus (nuclear pore). Selanjutnya di dalam inti sel jamur senyawa flavonoid akan kontak dengan protein hasil dari translasi RNA pada inti sel jamur Candida albicans dan menginterupsi sintesis DNA (Gubbins, 2009). Senyawa flavonoid di dalam inti sel C. albicans akan mengendapkan protein yang tersusun atas asam amino sebagai hasil translasi dari RNA. Gangguan pada pembentukan partikel protein dapat mencegah proses sintesis protein di dalam inti sel sehingga menyebabkan kematian pada sel Candida albicans (Donald, et. al, 1975).

Aktivitas flavonoid sebagai antifungi kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavon, flavonoid,


(12)

dan flavonol, ketiganya diketahui disintesis oleh tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba (Melderen,2002).

Senyawa tannin diduga mempunyai mekanisme yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dalam menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri dan dapat bereaksi dengan cara inaktivasi enzim esensial dan destruksi atau inaktivasi fungsi dari material genetik (Branen, 1993). Selain itu, tanin telah dibuktikan dapat membentuk kompleks senyawa yang irreversibel dengan prolin, suatu protein lengkap, yang mana ikatan ini mempunyai efek penghambatan sintesis protein untuk pembentukan dinding sel (Agnol et al, 2003).

G. Nistatin

Nistatin merupakan antifungal dari golongan poliena dengan rumus kimia C46H83NO18 dan memiliki berat molekul ± 950. Konsentrasi Hambat Minimum

(KHM) untuk Candida adalah antara 1-4 µg/ml, yang terkecil untuk C. albicans

dan tidak dipengaruhi oleh inokulum yang dipakai (Suprihatin, 1982). Dosis rendah pada Nistatin bersifat fungistatik sedang dosis tinggi pada obat ini bersifat fungisidal. Nistatin merupakan antifungi yang bekerja mengikat sterol (terutama ergosterol) pada membran sel fungi sehingga terjadilah lisis sel. Beberapa penelitian melaporkan ergosterol berkompetisi dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari antifungal Nistatin (Ridawati, 2011).


(1)

pertumbuhan. Kelebihan dari metode ini adalah dapat menguji daya fungistatik, dan fungisidal dari antifungi sekaligus. Kelemahannya adalah memerlukan banyak tenaga dan waktu serta perlu biaya mahal sebab hanya dapat menguji satu bahan antimikroba dalam satu kegiatan.

2. Metode Dilusi Agar (Agar Plate Dilution Test)

Metode ini pada dasarnya sama dengan metode Tube Dilution, hanya saja media yang digunakan dalam metode ini adalah metode padat. Zat yang akan diuji dicampurkan ke dalam media agar, diinokulasikan dengan organisme uji kemudian diinkubasikan dan diamati nampak ada tidaknya pertumbuhan koloni organisme uji tersebut. Kelebihan metode ini adalah pelaksanaannya lebih mudah dan dalam satu media dapat digunakan lebih dari satu organisme uji. Kelemahannya adalah hanya dapat diketahui daya bakteiostatiknya saja sedang daya bakterisidal tidak dapat ditemukan.

3. Metode difusi agar (Disk Agar Difusion Test).

Metode ini menggunakan metode cakram kertas yang pada dasarnya menggunakan hasil pengamatan zona hambat yang dihasilkan oleh difusi dari bahan-bahan antimikroorganisme. Organisme uji diinokulasikan pada medium agar di dalam cawan petri kemudian menempatkan suatu cakram kertas yang mengandung antimikroba pada permukaan media tersebut. Setelah masa inkubasi tertentu, diamati untuk melihat adanya zona hambatan di sekeliling cakram kertas. Kelebihan metode ini adalah dapat dilakukan pengujian secara lebih banyak dalam satu kali kegiatan dan memerlukan tenaga yang tidak terlalu banyak. Kekurangannya tidak diketahui secara pasti aksi penghambatan yaitu fungisidal ataukah fungistatik karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain,


(2)

ketebalan media, macam media, inokulum dan laju difusi bahan antifungi. Pengujian daya antifungal tanaman berkhasiat obat terhadap jamur uji secara in vitro perlu dilakukan agar dapat diketahui konsentrasi ekstrak tanaman berkhasiat obat yang paling efektif menghambat pertumbuhan jamur uji (Darmawan, 2011).

E. Bahan Antifungi

Uji potensi antifungi adalah menguji suatu zat yang diduga mempunyai daya antifungi dengan memanfaatkan fungi sebagai indikator pengujian. Kegunaan uji antifungi adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh fungi (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Antifungi atau sering disebut antifungal mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan tanpa mematikannya (Marsh, 1977). Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi dinding sel jamur yang terdiri atas kitin, ß glukan, dan mannooprotein, gangguan pada sterol membran plasma sel jamur, dan sintesis asam nukleat jamur (Gubbins, 2009).

Konsentrasi dapat mempengaruhi suatu senyawa bersifat fungisida atau fungistatik, pada umumnya konsentrasi yang lebih tinggi akan menjadikan suatu senyawa bersifat fungisida sedangkan konsentrasi yang lebih sedikit dapat menjadikan suatu senyawa bersifat fungistatis (Volk dan Wheeler, 1988).


(3)

F. Mekanisme Kerja Antifungi

Komponen penyusun jamur genus Candida secara umum terdiri atas dinding sel, membran plasma, dan asam nukleat. Mekanisme penghambatan antijamur tergantung pada struktur tiap komponen penyusun jaringan. Mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur sebagai berikut:

1. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoprotein,

kitin, dan α dan ß glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya

menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Komponen dinding sel jamur yang berfungsi sebagai unsur penyangga adalah ß glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan ß 1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila ß glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins, 2009).

2. Sterol membran plasma : ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan membran sel jamur. Ergoserol merupakan komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh senyawa antifungi turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori yang menyebabkan konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat keluar dari sel hingga menyebabkan kematian sel jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol, karena mampu menimbulkan ketidakteraturan


(4)

membran sitoplasma jamur dengan cara mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa-senyawa essensial, sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik dan menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur (Sholichah, 2010).

Kerja obat antijamur golongan polien secara langsung adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel (Gubbins, 2009). 3. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA (Gubbins, 2009).

Tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang berpotensi sebagai antijamur, diantaranya saponin, flavonoid, dan tannin (Winarsih, et al, 2011). Saponin adalah phytochemical yang berguna, yaitu antara lain mempunyai aktivitas antifungal dan antibakteri yang berspektrum luas. Saponin mempunyai kerja merusak membran plasma dari jamur. Senyawa saponin dapat merusak sel membran sitoplasma Candida albicans dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel jamur. Saponin dikatakan pula sebagai detergen alamiah, mampu menurunkan tegangan permukaan antar molekul pada suatu permukaan benda atau cairan (surface active agent). Detergen dapat terkondensasi pada permukaan suatu benda atau cairan dikarenakan memiliki gugus hidrokarbon yang larut lemak


(5)

(berada pada membran sel), sehingga dapat menyebabkan sel-sel pada membran sitoplasma lisis (Hopkins,1999).

Aktifitas biologis senyawa flavonoid dilakukan dengan merusak dinding sel dari Candida albicans yang terdiri atas lipid dan asam amino. Lipid dan asam amino tersebut akan bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam membran sel jamur. Flavonoid dengan kemampuannya membentuk kompleks protein dan merusak membran sel dengan cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel, sehingga membran sel menjadi lisis (Sulistyawati et al., 2009).

Senyawa antifungi selanjutnya dapat dengan mudah memasuki membran inti sel nukleus melalui pori-pori nukleus (nuclear pore). Selanjutnya di dalam inti sel jamur senyawa flavonoid akan kontak dengan protein hasil dari translasi RNA pada inti sel jamur Candida albicans dan menginterupsi sintesis DNA (Gubbins, 2009). Senyawa flavonoid di dalam inti sel C. albicans akan mengendapkan protein yang tersusun atas asam amino sebagai hasil translasi dari RNA. Gangguan pada pembentukan partikel protein dapat mencegah proses sintesis protein di dalam inti sel sehingga menyebabkan kematian pada sel Candida albicans (Donald, et. al, 1975).

Aktivitas flavonoid sebagai antifungi kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavon, flavonoid,


(6)

dan flavonol, ketiganya diketahui disintesis oleh tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba (Melderen,2002).

Senyawa tannin diduga mempunyai mekanisme yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dalam menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri dan dapat bereaksi dengan cara inaktivasi enzim esensial dan destruksi atau inaktivasi fungsi dari material genetik (Branen, 1993). Selain itu, tanin telah dibuktikan dapat membentuk kompleks senyawa yang irreversibel dengan prolin, suatu protein lengkap, yang mana ikatan ini mempunyai efek penghambatan sintesis protein untuk pembentukan dinding sel (Agnol et al, 2003).

G. Nistatin

Nistatin merupakan antifungal dari golongan poliena dengan rumus kimia C46H83NO18 dan memiliki berat molekul ± 950. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) untuk Candida adalah antara 1-4 µg/ml, yang terkecil untuk C. albicans dan tidak dipengaruhi oleh inokulum yang dipakai (Suprihatin, 1982). Dosis rendah pada Nistatin bersifat fungistatik sedang dosis tinggi pada obat ini bersifat fungisidal. Nistatin merupakan antifungi yang bekerja mengikat sterol (terutama ergosterol) pada membran sel fungi sehingga terjadilah lisis sel. Beberapa penelitian melaporkan ergosterol berkompetisi dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari antifungal Nistatin (Ridawati, 2011).