Tugas Pert Terpadu dan Berkelanjutan

(1)

TUGAS PERTANIAN BERLANJUT

Studi Kasus Pertanian Terpadu dengan Pertanian Berlanjut

Oleh :

Reisha Alfianti (105040101111108) Rizki Sandy P. (105040101111135) Resi Pawestri S.A (105040101111138) Sri Wulandari S. (105040101111139)

Kelas T Agribisnis

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN PROGAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2012


(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada awal masa Orde Baru diketahui bahwa pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan peetumbuhan ekonomi, demikian pula pada peningkatan kebutuhan pangan tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Oleh karena itu Pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi pangan melalui program BIMAS / INMAS, dengan tumbuhnya kelompok-kelompok Tani, penyediaan Tenaga Penyuluh Pertanian (PPL), penyediaan Fasilitas Kredit yang mudah di Pedesaan (BIMAS BRI UNIT DESA) serta kemudahan memperoleh sarana produksi pertanian (Pupuk, Benih, Obat-obatan pertanian) melalui BUUD / KUD, ternyata hasilnya membuat Negara Indonesia yang tadinya sebagai Negara Pengimpor Beras terbesar di Dunia, maka pada Tahun 1984 menjadi Negara yang mampu swasembada pangan terutama Beras.

Keberhasilan Swasembada pangan saat itu, terutama didukung oleh Teknologi dengan penggunaan bahan kimia baik untuk pupuk dan pestisida. Bahkan sampai saat ini para petani dalam usaha taninya masih sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia (An – Organik). Kondisi demikian menyebabkan pemakaian pupuk dan pestisida kimia semakin meningkat karena tanpa diimbangi dengan kenaikkan pupuk dan pestisida kimia, maka produktifitas per satuan lahan tidak dapat dicapai, bahkan mempertahankan produktifitas saja dirasa berat. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian pupuk dan pesetisida kimia pada tanaman akan berakibat sangat buruk terhadap lingkungan hidup, tanah mengalami kelelahan, hama tanaman semakin semarak dan beraneka ragam karena musuh alami yang ada ikut terbunuh oleh bahan kimia melalui pupuk dan pestisida itu sendiri serta kualitas produk semakin tidak sesuai dengan harapan konsumen karena kandungan residu zat kimia semakin tinggi.


(3)

Dalam rangka menghadapi persaingan pasar yang semakin terbuka secara Nasional dan Internasional di Era saat ini, dimana konsumen mengharapkan adanya produk pertanian yang kandungan residu bahan kimianya rendah bahkan nol, maka petani dituntut untuk merubah pola pertaniannya.

1.2 Tujuan

Memahami lebih lanjut terkait hubungan antara pertanian terpadu dengan pertanian berlanjut mencakup aspek lingkungan, social dan ekonomi.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak

Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.

Menurut Saputra, (2000) sebagai contoh sederhana pertanian terpadu adalah apabila dalam suatu kawasan ditanam jagung, maka ketika jagung tersebut panen, hasil sisa tanaman merupakan limbah yang harus dibuang oleh petani. Tidak demikian halnya apabila di kawasaan tersebut tersedia ternak ruminansia, limbah tersebut akan menjadi makanan bagi hewan ruminansia tersebut. Hubungan timbal balik akan terjadi ketika ternak mengeluarkan kotoran yang digunakan untuk pupuk bagi tanaman yang ditanam di kawasan tersebut.

Konsep Sistem Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang dapat dikembangkan untuk lahan pertanian terbatas maupun lahan luas. Pada lahan terbatas atau lahan sempit yang dimiliki oleh petani umumnya konsep ini menjadi sangat tepat dikembangkan dengan pola intensifikasi lahan. Lahan sempit akan memberikan produksi maksimal tanpa ada limbah yang terbuang percuma. Sedangkan untuk lahan lebih luas konsep ini akan menjadi suatu solusi mengembangkan pertanian agribisnis yang lebih menguntungkan. Melaiui sistem yang terintegrasi ini akan bermanfaat


(5)

untuk efisiensi penggunaan lahan, optimalisasi produksi, pemanfaatan limbah, subsidi silang untuk antisipasi fluktuasi harga pasar dan kesinambungan produksi (PT.RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2001).

Reijntjes (1999) mengatakan, hewan atau ternak bisa beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit, hewan memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagai mas kawin, untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi input luar rendah, integrasi ternak ke dalam sistem pertanian penting, khususnya untuk :

1. Meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk menghasilkan pangan bagi keluarga petani

2. Memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik. Konsep pertanian terpadu ini perlu digalakkan, mengingat sistem ini disamping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga di harapkan mampu mencapai kecukupan daging nasional. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi, serta produksi susu. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan. Beragamnya pemeliharaan ternak memperluas strategi penurunan risiko budidaya tanaman ganda hingga akan meningkatkan stabilitas ekonomi sistem usaha tani.

Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasikan dengan lahan-lahan pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman pangan. Ternak tidak berkompetisi pada lahan yang sama. Tanaman pangan dengan komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan dipinggir atau pada


(6)

lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urin dan fecesnya.

Tuntutan sistem usaha tani terpadu menjadi rasional seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, faktor produksi lain yang amat terbatas. Sejalan dengan amanat Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005, bangsa ini perlu membangun ketahanan pangan yang mantap. Merespon sasaran dalam RPPK tersebut, Departemen Pertanian dalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 telah membuat arah kebijakan dan program pembangunan pertanian.

Ada tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu: (a) teknologi budidaya ternak, (b) teknologi budidaya padi, dan (c) teknologi pengolahan jerami dan kompos (Haryanto, et.al, 2002). Sedangkan tujuan pokok dari sistem SIPT adalah bagaimana petani mengoptimalkan usahanya untuk menghasilkan kompos yang mampu meningkatkan efisiensi usaha taninya. Agar ketiga komponen tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak, dilakukan dengan pendekatan kelembagaan.

Sejalan dengan konsep terebut, program integrasi ternak dalam usaha tani tanaman ini diharapkan dapat:

a) Meningkatkan produktifitas usaha tani tanaman perkebunan, tanaman pangan atau hortikultura melalui pemanfaatan ternak.

b) Meningkatkan pemanfaatan sisa hasil pertanian tanaman perkebunan, tanaman pangan atau hortikultura untuk pakan ternak.

c) Meningkatkan pemanfaatan tenaga ternak dan pupuk kandang dalam usaha tani tanaman.


(7)

e) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis keluarga petani dalam pengelolaan secara optimum ternak yang diintegrasikan dalam usaha tani tanaman.

f) Meningkatkan pendapatan keluarga petani pelaksana program integrasi ternak dalam usaha tani tanaman.

2.2. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)

Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri dalam sistem petanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui. Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan. Pertanian moderen juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.

Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut: kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun


(8)

demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya adalah menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).

Pembangunan sektor pertanian tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara lama, harus diubah sejalan dengan makin besarnya tantangan dan perubahan lingkungan strategis, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Perubahan lingkungan eksternal, antara lain globalisasi teknologi dan informasi, liberalisasi perdagangan, dan transformasi budaya antarbangsa sudah tidak terhindarkan. Demikian juga perubahan lingkungan internal, yaitu demokratisasi, desentralisasi, otonomi daerah, dan gejala disintegrasi (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian harus berarti pembaharuan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan.

Penerapan sistem pertanian berkelanjutan dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong berkembangnya ekonomi rakyat. Pada dasarnya para petani sangat siap menerima sistem pertanian berkelanjutan karena input yang digunakan telah tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Bahkan sebelum mengenal intensifikasi pertanian dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, para petani telah menerapkan sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, misalnya dengan menggunakan pupuk kandang. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki, para petani perlu diberdayakan sehingga memiliki pengetahuan yang meningkat tentang pertanian berkelanjutan, serta memahami peluang dan tuntutan pasar yang menghendaki produk berkualitas dan ramah lingkungan. Dengan demikian para petani dapat menghasilkan produk pertanian bernilai ekonomis tinggi sekaligus dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Jauhari, 2002).


(9)

Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan empat macam model sistem, yaitu sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, sistem pertanian masukan luar rendah, dan sistem pengendalian hama terpadu sedangkan beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha mewujudkan pertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu adalah dengan cara: sistem tanam ganda, komplementari hewan ternak dan tumbuhan, usaha terpadu peternakan dan perkebunan, agroforestry, pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik dan pengelolaan hama terpadu yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan oleh Departeman Pertanian adalah pola usaha tani terpadu dalam bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT), Agropolitan atau berbagai sistem keterpaduan dengan sub sektor lain. Pelaksanaan program ini merupakan upaya terobosan yang dikembangkan untuk mengatasi kendala kecendrungan menurunnya tingkat produktivitas beberapa produk pertanian antara lain pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura sebagai akibat dari degradasi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pemakaian pupuk bahan kimia yang berlebihan. Departemen Pertanian mencoba memformulasikan dengan memberi paket bantuan ternak kepada kelompok petani dengan harapan agar petani disamping memperoleh kotoran untuk pupuk tanaman juga para petani memperoleh keuntungan dari hasil penambahan berat badan ternak sapi yang dipeliharanya sehingga diharapkan para petani tersebut mendapat penambahan pendapatan (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003).

2.3. Pertanian Berkelanjutan sebagai Konsep Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan

Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (UN World on Environment and Development, WCED), di mana dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Adapun defenisi


(10)

pembangunan berkelanjutan tersebut adalah: pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Conrad, 1999). Pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi serta kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat (society), di mana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum di mana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce, 1992 dalam Reijntjes, 1999).

Sistem pertanian berkelanjutan berkaitan erat dengan pembangunan pedesaan (sustainable agriculture and rural development) karena selama aktivitas produksi dan konsumsi pertanian terbesar berada di daerah pedesaan. Sebagai negara agraris, dapat dikatakan 65% lebih penduduk Indonesia mencari penghidupan dari sektor pertanian yang tersebar di pelosok-pelosok pedesaan. Oleh karena itu, segala program pembangunan di pedesaan seharusnya tidak terlepas dari upaya-upaya mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang mampu memenuhi kebutuhan bahan pangan dan menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat untuk meraih taraf sosial ekonomi yang lebih baik (Salikin, 2003).

Secara konsepsional, pendekatan kebijakan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Munangshe dan Cruz (1995) dalam Salikin (2003). pendekatan ekonomi berkelanjutan berbasis pada konsep maksimalisasi aliran pendapatan antar generasi, dengan cara merawat dan menjaga cadangan sumberdaya alam atau modal yang mampu menghasilkan suatu keuntungan. Upaya optimalisasi dan efisiensi penggunaan sumber daya yang langka menjadi keharusan dalam


(11)

menghadapi berbagai isu ketidakpastian, bencana alam dan sebagainya. Konsep sosial berkelanjutan berorentasi pada manusia dan hubungan pelestarian stabilitas sosial dan sistem budaya, termasuk upaya mereduksi berbagai konflik sosial yang merusak. Dalam perspektif sosial, perhatian utama ditujukan pada pemerataan (equity) atau keadilan, pelestarian keanekaragaman budaya dan kekayaan budaya lintas wilayah, serta pemanfaatan praktek-praktek pengetahuan lokal yang berorentasi jangka panjang dan berkelanjutan. Tinjauan aspek lingkungan berkelanjutan terfokus pada upaya menjaga stabilitas sistem biologis dan lingkungan fisik, dengan bagian utama menjaga kelangsungan hidup masing-masing subsistem menuju stabilitas yang dinamis dan menyeluruh pada ekosistem.


(12)

BAB III

PEMBAHASAN STUDY KASUS

Sistem Pertanian Terpadu Berkelanjutan Pada Lahan Irigasi Teknis dengan Sistem Penanaman Ganda (Multiple cropping)

Sistem penanaman ganda ( Multiple cropping )

Sistim bertanam di Indonesia lebih banyak dilaksanakan dalam bentuk multiple cropping. Thahir 1994, menyebutkan Multiple cropping adalah suatu sistim bercocok tanam selama satu tahun atau lebih/kurang pada sebidang tanah yang terdiri atas beberapa kali bertanam dari satu atau beberapa jenis tanaman secara bergilir atau bersisipan, dengan maksud meningkatkan produktivitas tanah, atau pendapatan petani tiap satuan luas dan satuan waktu.

Menurut Seetisarn (1977), multiple cropping didifinisikan sebagai intensifikasi penanaman dalam dimensi waktu dan ruang, misalnya menanamn dua macam tanaman atau lebih pada sebidang tanah sama dalam waktu satu tahun. Selanjutnya dikemukakan pula beberapa istilah yang digunakan dalam multiple cropping sebagai berikut :

a. Cropping pattern, diartikan sebagai susunan dan urut-urutan jenis tanaman yang dapat diusahakan dalam jangka waktu setahun pada areal tanah tertentu.

b. Cropping system, adalah cropping pattern dalam hubungannya dengan sumberdaya untuk usahatani (farm resources), usahatani yang lain dan teknologi yang dapat dilaksanakan.

Sistem penanaman ganda merupakan sistem bercocok tanam dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam sebidang tanah bersamaan atau digilir. Sistem ini dapat menunjang strategi pemerintah dalam rangka pelaksanaan program


(13)

diversifikasi pertanian yang diarahkan untuk dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan tetap memperhatikan kelestariannya.

Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini : (a) mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah, (b) memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia, (c) menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah, (d) mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula, (e) mampu menghemat tenaga kerja, (f) menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami secara terus menerus, (g) pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali, (h) mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman, dan (i) memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organik.

Menurut bentuknya, pertanaman ganda ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertanaman tumpangsari (Intercropping) dan pertanaman berurutan (Sequential Cropping). Sistem tumpang sari, yaitu sistem bercocok tanaman pada sebidang tanah dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman dalam waktu yang bersamaan. Sistem tumpang sari ini, disamping petani dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada akan lebih efisien.

Agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif yang sekecil-kecilnya. Sehingga jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi.


(14)

Dalam pelaksanaannya, bisa dalam bentuk barisan yang diselang seling atau tidak membentuk barisan. Misalnya tumpang sari kacang tanah dengan ketela pohon, kedelai diantara tanaman jagung, atau jagung dengan padi gogo, serta dapat memasukan sayuran seperti kacang panjang di dalamnya.

Sistem penanaman ganda yang lain yaitu sistem tumpang gilir, yang merupakan cara bercocok tanaman dengan menggunakan 2 atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah dengan pengaturan waktu. Penanaman kedua dilakukan setelah tanaman pertama berbunga. Sehingga nantinya tanaman bisa hidup bersamaan dalam waktu relatif lama dan penutupan tanah dapat terjamin selama musim hujan.

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh melalui usaha multiple cropping antara lain, menghemat biaya pengolahan tanah dan pemeliharaan per jenis tanaman, meningkatkan pendapatan petani karena peningkatan produksi phisik per hektar per hari, sedangkan biaya produksi per jenis tanaman lebih hemat. Hal ini disebabkan pengolahan tanah yang penuh hanya pada tanaman pertama dan untuk tanaman berikutnya lebih ringan.Disamping keuntungan secara ekonomis, dari segi teknis usaha multiple cropping lebih menguntungkan karena tanah senantiasa gembur, gulma dapat ditekan, dan juga merupakan usaha penghijauan untuk mengawetkan tanah.

Pemanfaatan Sumberdaya Air

Mosher (1966), berpendapat untuk mengatasi air di daerah yang kekurangan air, maka banyak daerah yang membangun irigasi kecil-kecilan kemudian dengan sedikit bantuan dari luar petani dapat membuat sendiri sistim irigasinya, misalnya dengan mengambil air sumur dangkal atau mengalirkan aliran sungai. Prodjosuhardjo (1979) merumuskan bahwa yang dimaksud pengairan adalah sistim pengadaan (distribusi), dan pembagian (alokasi) air untuk kepentingan pertanian atau usahatani petani-petani.

Air pengairan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan, semakin lama semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain :


(15)

1). Debit air yang semakin kecil akibat dari penebangan-penebangan pohon disekitar mata air/sungai.

2). Kurang adanya pemeliharaan sumberdaya air dan saluran yang disebabkan kurangnya biaya.

3). Jumlah penggunaan air semakin besar tiap satuan luas tiap tahun, akibat adanya kemajuan-kemajuan budidaya pertanian.

Menurut Suparmoko (1980), pengaruh keberhasilan proyek irigasi pada umumnya berupa :

1). Meningkatnya areal yang ditanami. 2). Meningkatnya produktivitas per hektar.

3). Merubah pola tanam yang sedikit memerlukan air (palawija) dengan tanaman yang memerlukan air banyak (padi).

4). Penggunaan tenaga kerja semakin meningkat.

Hal ini disebabkan dengan adanya proyek rehabilitasi jaringan irigasi akan terjadi perubahan pola tanam maupun pola pergiliran tanaman yang akan banyak menyerap tenaga kerja.

Johnson dan Reiss (1993), mengemukakan bahwa penggunaan irigasi yang berasal dari sumur pompa di Jawa, Madura dan Bali yang relative padat penduduknya, menunjukkan peningkatan intensitas pertanaman antara 80,9 persen sampai 286 persen. Sedangkan B-C ratio yang dicapai berkisar antara 0,88 sampai 1,89 Peningkatan intensitas pertanaman akan berakibat meningkatkan produksi pertanian, sedangkan dengan tingkat B-C ratio semakin tinggi menunjukkan adanya peningkatan intensitas pertanaman, juga berakibat adanya peluan kerja di sektor pertanian.

Pemanfaatan sumberdaya air yang berasal dari air tanah sudah diperkenalkan di Jawa, Madura dan Bali sejak tahun 1971, di mulai dengan survey kemudian melaksanakan investasi dan eksploitasinya. Hasil penelitian Pasandaran (1992) menunjukkan bahwa manfaat dari penggunaan air irigasi mampu meningkatkan produksi padi dari 1,74 ton per hektar pada Pelita pertama, menjadi 2,85 ton per


(16)

hektar pada Pelita ke-empat, dan bahkan meningkat menjadi 3,5 ton per hektar pada tahun 1987. Penggunaan sumur pompa permukaan sudah dikenalkan di Subang, Jawa Barat, dengan mengambil air berkedalaman 10 sampai 13 meter untuk keperluan pertanian. Penggunaan sumur pompa ini mampu meningkatkan produksi padi dari 3 – 4 ton per hektar per tahun menjadi 6 – 7 ton per hektar per tahun. Hal ini erat kaitannya dengan peran serta lembaga bina swadaya yang mencoba berpartisipasi dalam pengadaan sumur pompa dengan mempergunakan dana bergulir serta dikembangkan pula di daerah Indramayu dan Lebak.

Sawah Irigasi Teknis

Sawah merupakan sebidang tanah dengan batas kepemilikan berupa pematang lurus membujur. Masing-masing petak dibagi dengan pematang juga. Sistem sawah, merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.

Pada sistem sawah, petani menggunakan sistem pengolahan tanah yang monokultur, karena sawah ini menggunakan irigasi teknis dan bukan merupakan sawah tadah hujan. Untuk pengairan, airnya cukup dengan sedikit tergenang, atau macak-macak. Hal ini untuk menanggulangi gulma. Jarak antar tanaman pun juga diatur.

Sawah irigasi teknis adalah Sawah yang pengairannya sejak dari sumber air sampai petak sawah terdapat jaringan irigasi dari bangunan permanen. Sehingga kehilangan air karena rembesan atau penguapan dapat diminimalkan. Sawah irigasi merupakan lahan potensial untuk usaha tani. Ketersediaan air sepanjang tahun memungkinkan penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan berbagai variasi komoditas.


(17)

Studi Kasus di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Penerimaan Usahatani

Kelompoktani Tangguh Rejeki, Srigading, Sanden, Bantul pada dasarnya melakukan usahatani tanaman dengan pola tanam dominan Cabe–Bawang Merah– Sayuran, dengan demikian maka selama satu tahun petani melaksanakan aktivitas usahatani tanaman. Dengan luas areal lahan pantai lebih kurang 12 hektar, petani melakukan usaha pembenahan tanah setiap kali akan melaksanakan penanaman. Penerimaan petani berasal dari tanaman Bawang Merah, Cabe, Semangka dan Sayuran. Tabel berikut memberikan gambaran penerimaan petani pada Kelompoktani Tangguh Rejeki.

Petani di lahan pantai sebelum adanya irigasi sudah melaksanakan usahatani tanaman selama satu tahun dengan pola tanam dominan Bawang merah-cabe-sayuran, sedangkan sumberdaya air mempergunakan pompa air sumur dangkal. Besarnya penerimaan petani per tahun per 1000 m mencapai Rp. 3.850.000,-.

Pola tanam dominan di tingkat petani terutama tanaman Cabe dan Bawang merah sebagai benih, sehingga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hal ini ditunjukan oleh penerimaan petani tertinggi mencapai Rp. 6.500.000,- per 1000 m per tahun, terutama untuk tanaman cabe diluar musim.

Tabel 2 : Penerimaan Usahatani Sebelum dan Sesudah ada Irigasi Pada Jaringan Irigasi Lahan Pantai Samas, Sanden, Bantul ( Luas 1.000 m persegi) tahun 2006

No .

Uraian Sebelum Irigasi Sesudah Irigasi


(18)

Bw Merah – Cabe – Semangka Bw Merah - Cabe - Sayuran 2 Produksi Bw Merah 1 ton

Cabe 4 kwt Sayuran 250 kg

Bw Merah 1,053 ton Cabe 4,46 kwt Semangka 1,3 ton Sayuran 55 – 500 kg 3 Penerimaan

Rata-rata

Rp. 3.850.000,-

Rp.5.537.800,-4 Penerimaan terendah

Rp.2.185.700,-5 Penerimaan tertinggi

Rp.6.500.000,-Sumber : Analisis data primer.

Sedangkan penerimaan petani yang rendah terutama dihasilkan oleh petani dengan pola tanam Cabe–Bawang Merah–Sayuran untuk konsumsi, sehingga nilai ekonomi penerimaan petani per tahun Rp. 2.185.700,- per 1000 m. Dengan pendapatan tersebut, maka adanya irigasi sumur pompa dapat meningkatkan penerimaan petani sebesar 43,83 persen.


(19)

Pengeluaran Biaya Usahatani

Biaya usahatani di tingkat petani daerah irigasi lahan pantai Kelompoktani Tangguh Rejeki, Srigading, Sanden, Bantul terutama dialokasikan untuk pemberian pembenah tanah yang terdiri dari: pupuk kandang, tanah liat, kompos dan mulsa.


(20)

Besarnya alokasi biaya usahatani pada tabel 3. berikut :

Tabel 3 : Biaya Usahatani Sebelum dan Sesudah ada Irigasi Pada Jaringan Irigasi Lahan Pantai Samas, Sanden, Bantul ( Luas 1.000 m persegi) tahun 2006

No .

Uraian Sebelum Irigasi Sesudah Irigasi

1 Pola Tanam Bw Merah-Cabe-Sayuran

Bw Merah – Cabe

Bw Merah – Cabe – Smk Bw Merah - Cabe - Sayuran 2 Pengeluaran

Rata-rata

Rp. 2.678.000,-

Rp.2.825.000,-3 Pengeluaran terendah

Rp.1.735.700,-4 Pengeluaran tertinggi

Rp.5.000.000,-Sumber : Analisis data primer.

Pengeluaran biaya usahatani per 1000 m rata-rata mencapai nilai sebesar Rp. 2.825.000,- terutama dialokasikan untuk keperluan biaya sarana produksi dan tenaga kerja, terutama untuk tenaga kerja penyiraman.Sedangkan pengeluaran biaya usahatani terendah terjadi pada tingkat petani dengan pola usahatani Bawang merah-Cabe-Sayuran sebesar Rp. 1.735.700,- dengan alokasi 53,47 persen biaya tenaga


(21)

kerja, 28,80 persen biaya sarana produksi dan sisanya untuk iuran air, penyusutan alat dan iuran lain-lain.

Pengeluaran tertinggi terjadi pada pola tanam Semangka-Cabe- Bawang merah-Mentimun dengan sistem tumpang gilir mencapai biaya sebesar Rp. 5.000.000,- per 1000 m per tahun. Besarnya biaya terutama untukpembenah tanah sebanyak tiga kali perlakuan serta tenaga kerja untuk penyiraman tanaman, sehingga alokasi 48 persen untuk sarana produksi, 28 persen untuk tenaga kerja dan sisanya untuk iuran air dan penyusutan alat.

Secara komersial ternyata pengaruh jaringan irigasi sumur renteng pada lahan pantai dapat meningkatkan indeks pertanaman. Hal ini dapat ditunjukan oleh variasi pola tanam serta lama pengusahaan tanah pada lahan pantai meningkat, serta peningkatan biaya untuk biaya air dan tenaga kerja akibat tidak efisiennya pengadaan air.

Keuntungan Usahatani

Keuntungan usahatani di daerah Jaringan Irigasi Lahan Pantai Srigading, Sanden, Kabupaten Bantul sangat ditentukan oleh pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Untuk mengetahui besarnya keuntungan yang didapat petani di daerah jaringan irigasi lahan pantai dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut. Tabel 4 : Keuntungan Usahatani Sebelum dan Sesudah ada Irigasi Pada Jaringan Irigasi Lahan Pantai Samas, Sanden, Bantul ( Luas 1.000 m persegi) tahun 2006

No. Uraian Sebelum Irigasi Sesudah Irigasi

1 Pola Tanam Bw Merah-Cabe-Sayuran

Bw Merah – Cabe


(22)

Semangka

Bw Merah - Cabe - Sayuran

2 Keuntungan Rata-rata Rp. 1.172.000,-

Rp.3.792.000,-3 Keuntungan terendah Rp.

450.000,-4 Keuntungan tertinggi Rp.6.820.000,-Sumber : Analisis data primer.

Keuntungan rata-rata di tingkat petani mencapai Rp. 3.792.000,- per 1000 m per tahun. Sedangkan keuntungan rata-rata terendah dicapai oleh petani dengan pola tanam Bawang merah-Cabe-Sayuran yang merupakan komoditas tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, mencapai keuntungan Rp. 450.000,- per 1000 m per tahun. Keuntungan tertinggi dicapai oleh petani dengan pola tanam Semangka-Cabe-Bawang merah-Sayuran dengan sistem tumpang gilir mencapai keuntungan sebesar Rp. 6.820.000,- per 1000 m per tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya efisiensi penggunaan sarana produksi dan komoditas yang dihasilkan berupa benih yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Apabila nilai usahatani sebelum adanya jaringan irigasi dinilai sekarang maka kenaikan keuntungan yang diterima oleh petani di daerah irigasi lahan pantai Samas Desa Srigading, Sanden, Bantul akan meningkat sebesar223,54 persen.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Sam H. And Peter Reiss, 1993, Can Farmer efford to use the wells after turnover. A study of pump irrigation turnover in Indonesia. Short Report Series No. 1. 1993. International Irrigation Management Institute. Colombo. Sri Lanka

Mosher, A.T., 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. PT. Yasaguna. Jakarta

Mubyarto, 1983, Politik Pertanian dan Pengembangan Pedesaan, Sinar Harapan, Jakarta

________,1986, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta Nazir M., 1999, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta

Pasandaran, E,. 1992. Studi Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Balitbang Pertanian. Bogor.

Prodjosoehardjo, M. 1979. Pokok-pokok Segi Administrasi dan Organisasi Pengairan. Agroekonomi Desember 1979. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Laporan Desain Note, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, System Planning, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta


(24)

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Buku Kajian Kondisi Sosial Ekonomidan Institusi Masyarakat Petani , Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Analisa Ekonomi, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Monitoring dan Evaluasi Pembangunan dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Rachmat Jalaludin, 1999, Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung

Scott. James C., 1983, Moral Ekonomi Petani, LP3ES, Jakarta

Seetisarn M. 1977. Farm and agregate level discription of multiple cropping. Symposium on cropping systems research and development for Asia rice farmer. IRRI Los Banos. Philippines

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1987, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta

Suparmoko M. 1980. Pengaruh rehabilitasi irigasi terhadap pola tanam, penggunaan tenaga kerja dan distribusi pendapatan. Agroekonomika No. 13 tahun XI. Thahir, M. 1974, Meningkatkan produktivitas tanah di Indonesia dengan multiple

cropping. Majalah Pertanian tahun 1974

Tim Ahli UPN. 2006. Monitoring dan Evaluasi Manfaat Pembangunan Jaringan Irigasi Lahan Pantai, Kerjasama Satuan Non Vertikal Tertentu Irigasi Andalan DIY dengan UPN “Veteran” Yogyakarta 2006.


(25)

Yudohusodo, Siswono., 2002, Revitalisasi Kelembagaan dan SDM Pertanian dalam Menghadapi Pemberlakuan Kebijaksanaan AFTA 2003, Prosiding Lokakarya Nasional 2002, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta

http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=91:manfaat-jaringan-irigasi-lahan- pantai-di-desa-srigading-kecamatan-sanden-kabupaten-bantul-daerah-istimewa-yogyakarta&catid=53:2007&Itemid=88


(1)

Besarnya alokasi biaya usahatani pada tabel 3. berikut :

Tabel 3 : Biaya Usahatani Sebelum dan Sesudah ada Irigasi Pada Jaringan Irigasi Lahan Pantai Samas, Sanden, Bantul ( Luas 1.000 m persegi) tahun 2006

No .

Uraian Sebelum Irigasi Sesudah Irigasi

1 Pola Tanam Bw

Merah-Cabe-Sayuran

Bw Merah – Cabe

Bw Merah – Cabe – Smk Bw Merah - Cabe - Sayuran 2 Pengeluaran

Rata-rata

Rp. 2.678.000,-

Rp.2.825.000,-3 Pengeluaran terendah

Rp.1.735.700,-4 Pengeluaran tertinggi

Rp.5.000.000,-Sumber : Analisis data primer.

Pengeluaran biaya usahatani per 1000 m rata-rata mencapai nilai sebesar Rp. 2.825.000,- terutama dialokasikan untuk keperluan biaya sarana produksi dan tenaga kerja, terutama untuk tenaga kerja penyiraman.Sedangkan pengeluaran biaya usahatani terendah terjadi pada tingkat petani dengan pola usahatani Bawang merah-Cabe-Sayuran sebesar Rp. 1.735.700,- dengan alokasi 53,47 persen biaya tenaga


(2)

kerja, 28,80 persen biaya sarana produksi dan sisanya untuk iuran air, penyusutan alat dan iuran lain-lain.

Pengeluaran tertinggi terjadi pada pola tanam Semangka-Cabe- Bawang merah-Mentimun dengan sistem tumpang gilir mencapai biaya sebesar Rp. 5.000.000,- per 1000 m per tahun. Besarnya biaya terutama untukpembenah tanah sebanyak tiga kali perlakuan serta tenaga kerja untuk penyiraman tanaman, sehingga alokasi 48 persen untuk sarana produksi, 28 persen untuk tenaga kerja dan sisanya untuk iuran air dan penyusutan alat.

Secara komersial ternyata pengaruh jaringan irigasi sumur renteng pada lahan pantai dapat meningkatkan indeks pertanaman. Hal ini dapat ditunjukan oleh variasi pola tanam serta lama pengusahaan tanah pada lahan pantai meningkat, serta peningkatan biaya untuk biaya air dan tenaga kerja akibat tidak efisiennya pengadaan air.

Keuntungan Usahatani

Keuntungan usahatani di daerah Jaringan Irigasi Lahan Pantai Srigading, Sanden, Kabupaten Bantul sangat ditentukan oleh pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Untuk mengetahui besarnya keuntungan yang didapat petani di daerah jaringan irigasi lahan pantai dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut. Tabel 4 : Keuntungan Usahatani Sebelum dan Sesudah ada Irigasi Pada Jaringan Irigasi Lahan Pantai Samas, Sanden, Bantul ( Luas 1.000 m persegi) tahun 2006

No. Uraian Sebelum Irigasi Sesudah Irigasi

1 Pola Tanam Bw

Merah-Cabe-Sayuran

Bw Merah – Cabe


(3)

Semangka

Bw Merah - Cabe - Sayuran

2 Keuntungan Rata-rata Rp. 1.172.000,-

Rp.3.792.000,-3 Keuntungan terendah Rp.

450.000,-4 Keuntungan tertinggi

Rp.6.820.000,-Sumber : Analisis data primer.

Keuntungan rata-rata di tingkat petani mencapai Rp. 3.792.000,- per 1000 m per tahun. Sedangkan keuntungan rata-rata terendah dicapai oleh petani dengan pola tanam Bawang merah-Cabe-Sayuran yang merupakan komoditas tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, mencapai keuntungan Rp. 450.000,- per 1000 m per tahun. Keuntungan tertinggi dicapai oleh petani dengan pola tanam Semangka-Cabe-Bawang merah-Sayuran dengan sistem tumpang gilir mencapai keuntungan sebesar Rp. 6.820.000,- per 1000 m per tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya efisiensi penggunaan sarana produksi dan komoditas yang dihasilkan berupa benih yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Apabila nilai usahatani sebelum adanya jaringan irigasi dinilai sekarang maka kenaikan keuntungan yang diterima oleh petani di daerah irigasi lahan pantai Samas Desa Srigading, Sanden, Bantul akan meningkat sebesar223,54 persen.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Sam H. And Peter Reiss, 1993, Can Farmer efford to use the wells after turnover. A study of pump irrigation turnover in Indonesia. Short Report Series No. 1. 1993. International Irrigation Management Institute. Colombo. Sri Lanka

Mosher, A.T., 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. PT. Yasaguna. Jakarta

Mubyarto, 1983, Politik Pertanian dan Pengembangan Pedesaan, Sinar Harapan, Jakarta

________,1986, Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta Nazir M., 1999, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta

Pasandaran, E,. 1992. Studi Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Balitbang Pertanian. Bogor.

Prodjosoehardjo, M. 1979. Pokok-pokok Segi Administrasi dan Organisasi Pengairan. Agroekonomi Desember 1979. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Laporan Desain Note, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, System Planning, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta


(5)

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Buku Kajian Kondisi Sosial Ekonomidan Institusi Masyarakat Petani , Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Analisa Ekonomi, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Proyek Pembinaan dan Perencanaan Irigasi, 2000, Monitoring dan Evaluasi Pembangunan dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum Proyek Irigasi DIY, Yogyakarta

Rachmat Jalaludin, 1999, Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung

Scott. James C., 1983, Moral Ekonomi Petani, LP3ES, Jakarta

Seetisarn M. 1977. Farm and agregate level discription of multiple cropping. Symposium on cropping systems research and development for Asia rice farmer. IRRI Los Banos. Philippines

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1987, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta

Suparmoko M. 1980. Pengaruh rehabilitasi irigasi terhadap pola tanam, penggunaan tenaga kerja dan distribusi pendapatan. Agroekonomika No. 13 tahun XI. Thahir, M. 1974, Meningkatkan produktivitas tanah di Indonesia dengan multiple

cropping. Majalah Pertanian tahun 1974

Tim Ahli UPN. 2006. Monitoring dan Evaluasi Manfaat Pembangunan Jaringan Irigasi Lahan Pantai, Kerjasama Satuan Non Vertikal Tertentu Irigasi Andalan DIY dengan UPN “Veteran” Yogyakarta 2006.


(6)

Yudohusodo, Siswono., 2002, Revitalisasi Kelembagaan dan SDM Pertanian dalam Menghadapi Pemberlakuan Kebijaksanaan AFTA 2003, Prosiding Lokakarya Nasional 2002, Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta

http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=91:manfaat-jaringan-irigasi-lahan- pantai-di-desa-srigading-kecamatan-sanden-kabupaten-bantul-daerah-istimewa-yogyakarta&catid=53:2007&Itemid=88