BAHAN BAHAN UNTUK TUGAS PERT 3 PMPSI

BAHAN BAHAN UNTUK TUGAS PERT 3

URUTAN ARTIKEL PAGE 1,4,7,9,12,15,17
PERBANDINGAN ANTARA SYSTEM LIFE CYCLE DENGAN SYSTEM
DEVELOPMENT LIFE CYCLE
Perbandingan Pengertian System Life Cycle dengan System Development Life
Cycle.
Pengertian System Life Cycle adalah
- Tahapan untuk menciptakan sebuah sistem komputer baru.
- Proses evolusi yang diikuti oleh pelaksanaan sistem informasi dasar-dasar atau
subsistem.
- Sarana yang digunakan oleh manajemen untuk melaksanakan rencana
strategis.
- Suatu sistem yang sudah dikembangkan menghadapi suatu masalah, maka
perlu dikembangkan kembali suatu sistem untuk mengatasinnya.
Sedangkan Pengertian System Development Life Cycle adalah
- Pengembangan sistem informasi yang berbasis computer.
- Tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan oleh analis sistem dan programmer
dalam membangun sistem informasi.
- Keseluruhan proses dalam membangun sistem melalui beberapa langkah.
- Proses pembuatan dan pengubahan sistem serta model dan metodologi yang

digunakan untuk mengembangkan sistem-sistem tersebut.
- Metode yang menjamin Sistem Informasi yang dikembangkan memenuhi
persyaratan dan kebutuhan dari sebuah organisasi atau perusahaan.
Untuk pembahasan sedikit mengenai perbandingan antara System Life Cycle
dengan System Development Life Cycle adalah, sebagai berikut.
System Life Cycle (SLC)
SLC sering disebut dengan pendekatan air terjun (waterfall approach) bagi
pengembangan dan penggunaan sistem. Dilakukan dengan strategi Top-Down
Design. Beberapa SLC terdapat dalam perusahaan yang menggunakan
komputer, mungkin ada seratus atau lebih. Pada kenyataannya SLC adalah
sarana yang digunakan oleh manajemen untuk melaksanakan rencana strategis.
Konsep life cycle menjadikan segala sesuatu yang tumbuh, menjadi dewasa
setiap waktu dan akhirnya mati. Pola ini digunakan untuk sistem dasar komputer
seperti subsistem pemrosesan data atau SSD.
System Life Cycle terdiri dari lima tahap yaitu :

1. Tahap Perencanaan
Tahap ini dimulai dengan mendefinisikan masalah dan dilanjutkan dengan sistem
penunjukan objektif dan paksaan. Di sini sistem analis memimpin studi yang
mungkin terjadi dan mengemukakan pelaksanaannya pada manajer.

2. Tahap Analisis
Tahapan ini mempunyai tugas penting yaitu menunjukkan kebutuhan pemakai
informasi dan menentukan tingkat penampilan sistem yang diperlukan untuk
memuaskan kebutuhan tersebut. Tahap ini meliputi penetapan jangkauan
proyek, mengenal resiko, mengatur rangkaian tugas, dan menyediakan dasar
untuk control.
3. Tahap Desain
Tahap Desain ini meliputi penentuan pemrosesan dan data yang dibutuhkan oleh
sistem yang baru, dan pemilihan konfigurasi terbaik dari hardware yang
menyediakan desain. Desain system adalah ketentuan mengenal proses dan
data yang dibutuhkan oleh sistem yang baru.
4. Tahap Pelaksanaan / Implementasi
Tahap ini melibatkan beberapa spesialis informasi tambahan yang mengubah
desain dari bentuk kertas menjadi satu dalam hardware, software, dan data.
Pelaksanaan adalah penambahan dan penggabungan antara sumber-sumber
secara fisik dan konseptual yang menghasilkan pekerjaan sistem.
5. Tahap Pemakaian / Penggunaan
Selama tahap penggunaan, audit memimpin pelaksanaannya untuk menjamin
bahwa sistem benar-benar dikerjakan, dan pemeliharaannya pun dilakukan
sehingga sistem dapat menyediakan kebutuhan yang diinginkan. Dari kelima

tahap di atas, empat fase di awal disediakan untuk dikembangkan, jadi metode
yang ada didalamnya dapat berkembang sesuai zaman. Sedangkan tahap yang
terkahir tidak untuk dikembangan, hanya sebagai pelaksanaannya saja.
Siklus hidup sistem yang pertama dikelola oleh manajer unit jasa informasi,
dibantu oleh manajer dari analisis sistem, pemrograman dan operasi. Namun
kecenderungan saat ini, meletakkan tanggung jawab pada tingkat yang lebih
tinggi dan lebih rendah. Ada tiga tingkatan besar (hirarki) dari manajemen siklus
hidup sistem, yaitu :

Tanggung Jawab Eksekutif Ketika sistem memiliki nilai strategis atau
mempengaruhi seluruh organisasi, direktur utama atau komite eksekutif
mungkin memutuskan untuk mengawasi proyek pengembangannya. Ketika
lingkup sistem menyempit dan folusnya lebih operasional kemungkinan besar
kepemimpinan akan dipegang oleh eksekutif tingkat yang lebih rendah, seperti
wakil direktur utama, direktur bagian administrasi, dan CIO.
Komite Pengarah SIM (steering committee MIS – SC MIS) Banyak perusahaan
membuat suatu komite khusus, di bawah tingkat komite eksekutif, yang
bertanggung jawab atas pengawasan seluruh proyek sistem. Jika tujuan komiter
tersebut adalah memberikan petunjuk, pengarahan dan pengendalian yang
berkesinambungan, dalam rangka penggunaan sumber daya komputer

perusahaan maka komite tersebut dinamakan Komite Pengarah SIM. Komite
Pengarah SIM melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu :
1. menetapkan kebijakan
2. menjadipengendalikeuangan
3. menyelasaikan pertentangan
Keuntungan yang dicapai :
- semakin besar kemungkinan komputer akan digunakan untuk mendukung
pemakai di seluruh perusahaan.
- Semakin besar kemungkinan proyek-proyek komputer akan mempunyai
perencanaan dan pengendalian yang baik.
Kepemimpinan Proyek Komite pengarah SIM yang terlibat langsung dengan
rincian pekerjaan, tanggung jawabnya ada pada Tim Proyek. Tim proyek
mencakup semua orang yang ikut serta dalam pengembangan sistem berbasis
komputer. Kegiatan tim tersebut diarahkan oleh seorang Pemimpin Proyek yang
memberikan pengarahan selama proyek berlangsung. Tidak seperti komite
pengarah SIM, tim proyek tidak berkelanjutan dan biasanya dibubarkan ketika
penerapan sistem telah selesai.
Terdapat 3 jenis metode siklus hidup sistem yang paling banyak digunakan,
yakni:
1. siklus hidup sistem tradisional (traditional system life cycle),

2. siklus hidup menggunakan protoyping (life cycle using prototyping),
3. siklus hidup sistem orientasi objek (object-oriented system life cycle).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendekatan Klasisk.
Pendekatan klasik (classical approach) yang disebut juga pendekatan tradisional
atau (classical approach) pendekatan konvensional adalah pendekatan
mengembangkan sistem yang mengikuti tahapan di system life cycle tanpa di
bekali alat dan teknik yang memadai.
Metodologi pendekatan klasik mengembangkan sistem dengan mengikuti
tahapan-tahapan di systems life cycle.Pendekatan ini menekankan bahwa
pengembangan sistem akan berhasil bila mengikuti tahapan di systems life
cycle.Akan tetapi sayangnya, didalam praktek, hal ini tidaklah cukup, karena
pendekatan ini tidak memberikan pedoman lebih lanjut tentang bagaimana
melakukan tahapan-tahapan tersebut dengan terinci karena pendekatan ini tidak
dibekali dengan alat-alat dan teknik-teknik yang memadai.Karena sifat dari
sistem informasi sekarang menjadi lebih kompleks, pendekatan klasik tidak
cukup digunakan untuk mengembangkan suatu sistem informasi yang sukses
dan akan menimbulkan beberapa permasalahan.

permasalahan yang dapat timbul di pendekatan klasik antara lain adalah sebagai
berikut :
1.Pengembangan Perangkat Lunak Akan Menjadi Sulit.
Pendekatan klasik kurang memberikan alat-alat dan teknik-teknik di dalam
mengembangkan sistem dan sebagai akibatnya proses pengembangan
perangkat lunak menjadi tidak terarah dan sulit untuk dikerjakan oleh
pemrogram.
Lain halnya dengan pendekatan terstruktur yang memberikan alat-alat seperti
diagram arus data (data flow diagram), kamus data (data dictionary), tabel
keputusan (decision table), diagram HIPO dan bagan terstruktur (structured
chart) dan lain sebagainya yang memungkinkan pengembangan perangkat lunak
lebih terarah berdasarkan alat-alat dan teknik-teknik tersebut.
2.Biaya perawatan atau pemeliharaan sistem akan menjadi lebih mahal.
Biaya pengembangan sistem yang termahal adalah terletak di tahap
perawatannya. Mahalnya biaya perawatan di pendekatan klasik ini disebabkan
karena dokumentasi sistem yang dikembangkan kurang lengkap dan kurang
terstruktur.Karena pendekatan klasik kurang didukung dengan alat-alat dan
teknik-teknik, maka dokumentasi menjadi tidak lengkap dan walaupun ada tetapi
strukturnya kurang jelas, sehingga pada waktu pemeliharaan sistem menjadi
kesulitan.

3.Kemungkinan Kesalahan Sistem Besar

Pendekatan klasik tidak menyediakan kepada analis sistem cara untuk
melakukan pengetesan sistem, sehingga kemungkinan kesalahan-kesalahan
sistem akan menjadi lebih besar. Berbeda dengan pendekatan terstruktur yang
pengembangan sistemnya dilakukan dalam bentuk modul-modul yang
terstruktur. Modul-modul ini akan lebih mudah dites secara terpisah dan
kemudian pengetesan dapat dilakukan pada integrasi semua modul untuk
meyakinkan bahwa interaksi antar modul telah berfungsi semestinya dan sesuai
dengan yang diharapkan.
4.Keberhasilan sistem kurang terjamin.
Pendekatan klasik kurang melibatkan pemakai sistem dalam pengembangan
sistem, maka kebutuhan-kebutuhan pemakai sistem menjadi kurang sesuai
dengan yang diinginkan dan sebagai akibatnya sistem yang diterapkan menjadi
kurang berhasil.
5. Masalah dalam penerapan sistem
Karena kurangnya keterlibatan pemakai sistem dalam tahapan pengembangan
sistem, maka pemakai sistem hanya akan mengenal system yang baru pada
tahap diterapkan saja.Sebagai akibatnya pemakai system akan menjadi kaget
dan tidak terbiasa dengan sistem baru yang tiba-tiba dikenalkan. Sebagai akibat

lebih lanjut, pemakai sistem akan menjadi frustasi karena tidak dapat
mengoperasikan sistem dengan baik.
2.2. Pendekatan Terstruktur (Structured Approach)
Karena banyak terjadi permasalahan di pendekatan klasik, maka kebutuhan akan
pendekatan pengembangan system yang lebih baik mulai terasa
dibutuhkan.Oleh karena itu, perlu suatu pendekatan pengembangan sistem yang
baru yang dilengkapi beberapa alat dan teknik supaya berhasil. Pendekatan yang
dimulai dari awal tahun 1970 ini disebut pendekatan terstruktur.
Pendekatan terstruktur (structured approach) dilengkapi dengan alat-alat dan
teknik-teknik yang dibutuhkan dalam pengembangan sistem, sehingga hasil
akhir dari sistem yang dikembangkan akan didapatkan sistem yang
strukturnya didefinisikan dengan baik dan jelas. Beberapa metodologi
pengembangan sistem yang terstruktur telah banyak yang diperkenalkan baik
dalam buku-buku, maupun oleh perusahaan-perusahaan konsultan pengembang
sistem. Metodologi ini memperkenalkan penggunaan alat-alat dan teknik-teknik
untuk mengembangkan sistem yang terstruktur.
Pendekatan terstruktur pendekatan yang dimulai dari awal tahun ini disebut
pendekatan terstruktur (structured approach). Pendekatan terstruktur dilengkapi
dengan alat dan teknik yang dibutuhkan dalan pengembangan sistem sehingga
hasil akhir dari sistem yang di kembangkan menghasilkan sistem yang

terstruktur didefenisikan dengan baik.
Konsep pengembangan sistem terstruktur bukan merupakan konsep yang
baru.teknik perakitan dipabrik dan perancangan sirkuit untuk alat elektronik
adalah dua contoh konsep ini yang banyak di gunakan didalam industri.melalui
pendekatan struktur,permasalahan-permasalahan yang kompleks didalam
organisasi dapat dipecahkan dan hasil sistem akan mudah di
pelihara,fleksibel,lebih memuaskan pemakainya,mempunyai dokumentasi yang

baik,tepat pada waktunya,sesuai dengan agaran biaya pengembangannya dapat
meningkatkan produktifitas,dan kulitasnya akan lebih baik (bebas kesalahan).
Keuntungan dari pendekatan terstruktur:
Mengurangi kerumitan masalah (reduction of complexity).
Konsep mengarah pada sistem yang ideal (focus on ideal).
Standarisasi (standardization).
Orientasi ke masa datang (future orientation).
Mengurangi ketergantungan pada disainer (less reliance on artistry).
2.3. Pendekatan Bottom Up dan Top Down
Pendekatan bawah-naik (bottom-up approach) dimulai dari level bawah
organisasi, yaitu level operasional di mana transaksi dilakukan. Pendekatan ini
dimulai dari perumusan kebutuhan untuk menangani transaksi dan naik ke level

atas dengan merumuskan kebutuhan informasi berdasarkan transaksi tersebut.
Pendekatan ini juga merupakan cirri pendekatan klasik. Bila digunakan pada
tahap analisis sistem disebut data analysis, karena yang menjadi tekanan adalah
data yang akan diolah lebih dulu. Informasi yang akan dihasilkan menyusul
mengikuti datanya.
Pendekatan atas-turun (top-down approach) dimulai dari level atas organisasi,
yaitu level perencanaan strategi. Pendekatan ini dimulai dengan mendefinisikan
sasaran dan kebijaksanaan organisasi. Langkah selanjutnya dari pendekatan ini
adalah melakukan analisis kebutuhan informasi. Setelah kebutuhan informasi
ditentukan maka selanjutnya proses turun ke pemrosesan transaksi, yaitu
penentuan output, input, basis data, prosedur operasi, dan kontrol.
Pendekatan ini juga ciri dari pendekatan terstruktur. Bila digunakan pada tahap
analysis system disebut juga dengan decision analysis karena yang menjadi
tekanan adalah informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan oleh
manajemen lebih dulu, kemudian data yang perlu diolah didefinisikan menyusul
mengikuti informasi yang dibutuhkan.



Metodelogi Rational Unifed Process


Merupakan produk perangkat lunak yang dikembangkan oleh Rational Software
(2003). Produk ini memuat pengetahuan yang bertautan dengan artefak
sederhana disertai dengan deskripsi detail yang dari beragam aktivitas.
Pada RUP ini didefenisikan ada empat (4) fase siklus proyek yang mirip dengan
dengan pendekatan air terjun. Visualisasi dari fase RUP berikut dengan sumbu
waktu dinamakan sebagai Grafik RU


Fase Insepsi

Objektif primer adalah untuk membatasi sistem dengan cukup sebagai dasar
untuk memvalidasi biaya awal dan penganggaran. Pada fasa ini, ditentukan
kasus bisnis yaitu: konteks bisnis, faktor sukses (perkiraan pendapatan,
pengenalan ke pasar, dll.), dan perkiraan finansial. Sebagai pelengkap kasus
bisnis adalah model penggunaan, perencaan proyek, penilaian risiko tahap awal,
dan deskripsi proyek disusun.


Fase Elaborasi

Objektif primer adalah untuk memitigasi risiko kunci yang diidentifikasi dari
analisis hingga akhir fase. Fasa elaborasi merupakan fase saat proyek mulai
terlihat bentuknya. Pada fase ini, masalah analisis domain dibuat dan arsitektur
proyek mulai mendapatkan bentuk dasarnya.


Fase Konstruksi

Objektif primer adalah untuk membangun sistem perangkat lunak. Fase ini fokus
pada pengembangan komponen dan fitur lain dari sistem. Pada fase inilah saat
banyak dilakukan pengkodean. Pada proyek yang lebih besar, beberapa iterasi
konstruksi dikembangkan sebagai usaha untuk memecah kasus penggunaan
menjadi segmen terkelola yang menunjukkan purwarupa.



Fase Transisi

Objektif primer adalah sebagai perantara sistem dari pengembangan ke
produksi, yang tersedia untuk pengguna akhir. Aktivitas dalam fase ini termasuk
pelatihan kepada pengguna akhir dan pengelola sistem dan pengujian beta
untuk memvalidasi terhadap harapan pengguna akhir.



Metodelogi Critical Chain

Critical Chain Project Management (CCPM) adalah suatu metode penjadwalan
baru yang dapat menjadi suatu alternatif baru sebagai solusi dari permasalahan
tersebut. Sebenarnya CCPM tidak semata-mata melakukan penjadwalan proyek
seperti yang dilakukan oleh CPM / PERT tetapi juga melakukan pendekatan
manajemen. Semua ini bisa ditempuh dengan cara menghilangkan multitasking,
student syndrome, parkinsons law serta memberi buffer di waktu akhir proyek.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode CCPM tersebu.
Contoh penerapan metodelogi ini bisa dilihat pada proyek The Grove
Apartement, Retail and Mediawalk Jakarta yang tengah berjalan. Penjadwalan
awal proyek menggunakan metode penjadwalan tradisional berupa gantt chart
yang kemudian dibreakdown lebih detai ldan lengkap dengan hubungan antar
aktivitasnya ke dalam bentuk CPM (Critical Path Method), dan kemudian akan
dibandingkan dengan hasil dari penjadwalan CCPM yang telah menghilangkan
multitasking, menghilangkan safety time pada tiap aktivitas dan memberi buffer
dalam pengerjaannya. Selanjutnya perhitungan dengan metode penjadwalan
CPM (Critical Path Method) dan CCPM (Critical Chain Project Management) akan
dibandingkan menurut segi waktu dan segi biayanya. Dari hasil penelitian ini
didapatkan durasi waktu dengan menggunakan metode penjadwalan CCPM
adalah 304 hari. Sedangkan pada CPM didapatkan durasi 389 hari. Dari segi
biaya, CCPM mampu menghemat biaya sedikitnya 2,1 milyar rupiah. Ini berarti
metode penjadwalan CCPM lebih menguntungkan untuk diterapkan di proyek ini
dari pada penjadwalan CPM.

Metode RUP (Rational Unified Process)

RUP, singkatan dari Rational Unified Process, adalah suatu
kerangka kerja proses pengembangan perangkat lunak iteratif yang dibuat
oleh Rational Software, suatu divisi dari IBM sejak 2003. RUP bukanlah
suatu proses tunggal dengan aturan yang konkrit, melainkan suatu kerangka
proses yang dapat diadaptasi dan dimaksudkan untuk disesuaikan oleh
organisasi pengembang dan tim proyek perangkat lunak yang akan memilih
elemen proses sesuai dengan kebutuhan mereka.
RUP menggunakan konsep object oriented, dengan aktifitas yang berfokus
pada pengembangan model dengan menggunakan Unified Model

Language(UML). Melalui gambar dibawah dapat dilihat bahwa RUP memiliki,
yaitu:
ƒ Dimensi pertamadi gambarkan secara horizontal. Dimensi ini mewakili aspekaspek dinamis dari pengembangan perangkat lunak. Aspek ini dijabarkan dalam
tahapan pengembangan atau fase. Setiap fase akan memiliki suatu major
milestoneyang menandakan akhir dari awal dari phase selanjutnya. Setiap phase
dapat berdiri dari satu beberapa iterasi. Dimensi ini terdiri atas Inception,
Elaboration, Construction, dan Transition.

ƒ Dimensi kedua digambarkan secara vertikal. Dimensi ini mewakili aspek-aspek
statis dari proses pengembangan perangkat lunak yang dikelompokkan ke dalam
beberapa disiplin. Proses pengembangan perangkat lunak yang dijelaskan
kedalam beberapa disiplin terdiri dari empat elemen penting, yakni who is doing,
what, howdan when.
Dimensi ini terdiri atas:
Business Modeling, Requirement, Analysis and Design, Implementation, Test,
Deployment, Configuration dan Change Manegement, Project
Management, Environtment.
Pada penggunaan kedua standard tersebut diatas yang berorientasi obyek
(Object Oriented) memiliki menfaat yakni:

1. improve productivity
standard ini dapat memanfaatkan kembali komponen-komponen yang telah
tersedia/dibuat sehingga dapat meningkatkan produktifitas.

2. Deliver hight quality system
kualltas sistem dapat informasi dapat ditingkatkan sebagai sistem yang telah
dibuat pada komponen-komponen yang telah teruji (well -tested dan well
-proven) sehingga dapat mempercepat delivery sistem informasi yang telah
dibuat dengan kualitas yang tinggi.

3. Lower maintenance cost
Standard ini dapat membantu untuk meyakinkan dampak perubahan yang
teralokasi dan masalah dapat dengan mudah terdeteksi sehingga hasilnya biaya
pemeliharaan dapat dioptimalkan atau lebih rendah dengan pengembangan
informasi tanpa standar yang jelas.

4. Facilitate reuse

Standard ini memiliki kamampuan yang mengembangkan komponen-komponen
yang dapat digunakan kembali untuk pengembangan aplikasi yang lainnya.

5. Manage complexity
Standard ini mudah untuk mengatur dan monitor semua proses dari semua
tahapan yang ada sehingga suatu pengembangan sistem informasi yang amat
kompleks dapat dilakukan dengan aman sesuai dengan harapan semua manager
proyek IT/IS yakni deliver good quality software within cost and schedule time
and the users accepted.

Peran Use Case Pada Setiap Fase
1. inception


Menolong mengembangkan scope proyek



Menolong menetapkan penjadwalan dan anggaran

2. Elaboration


Menolong dalam melakukan analisa resiko



Menolong mempersiapkan fase berikutnya yaitu konstruksi

3. Construction



Melakukan sederetan iritasi
Pada setiap iterasi akan melibatkan proses berikut: analisa desain,
implementasi dan testing

4. Transition


Membuat apa yang sudah dimodelkan menjadi suatu produk jadi



Dalam fasi ini dilakukan:
a. Beta dan performance testing
b. Membuat dokumentasi tambahan seperti: training, user guide dan sales

kit
c. Membuat rencana peluncuran produk ke komunitas pengguna

Penerapan Tahapan Metodologi Pengembangan Lunak dengan
Menggunakan RUP (Contoh Kasus)
Metodologi Rational Unified Process (RUP).Metode RUP merupakan metode
pengembangan kegiatan yang berorientasi pada proses. Dalam metode ini,
terdapat empat tahap pengembangan perangkat lunak yaitu:
1. inception

Pada tahap ini pengembang mendefinisikan batasan kegiatan, melakukan
analisis kebutuhan user , dan melakukan perancangan awal perangkat lunak
(perancangan arsitektural dan user case). Pada akhir fase ini, prototipe
perangakat lunak versi Alpha harus sudah dirilis.
2. Elaboration
Pada tahap ini dilakukan perancangan perangkat lunak mulai dari menspesifikan
fitur perangkat lunak hingga perilisan prototipe versi Betha dari perangkat lunak.
3.Contruction
Pengimplentasian rancangan perangkat lunak yang telah dibuat dilakukan pada
tahap ini. Pada akhir tahap ini, perangkat lunak versi akhir yang sudah disetujui
administrator dirilis beserta dokumentasi perangkata lunak.
4.Transition
Instalasi, deployment dan sosialisasi perangkat lunak dilakukan pada tahap ini.

Gambar Arsitektur Rational Unified Process
Berikut langkah – langkah Workflow pada RUP :
1. The Business Modeling Workflow
Didalamnya termasuk identifikasi langsung area dan permasalahan untuk
redesign atau reengineering, identifikasi aturan bisnis, dsb., bergantung pada
pengembangan yang diajukan. Objek dari workflow ini sama dengan metodologi
lainnya, tapi pada RUP teknik yang sama digunakan sebagai stage selanjutnya
dalam pengembangan, jadi meyakinkan proses end to end dan bahwa setiap
orang berbicara dalam bahasa yang sama.
Fase-fase yang terlibat dalam business modeling :
• Inception : pertama kalinya business modeling dideklarasikan dan difenisikan.
• Elaboration : peninjauan kembali terhadap requirement bisnis untuk
meminimalisasikan terjadinya perubahan pada tahap selanjutnya yaitu
construction.
• Construction : penerapan dari business modeling yang telah terdefinisi dalam
bentuk coding.
• Transition : dimungkinkan apablia terjadi kesepakatan antara developer dengan
end users dalam perawatan software yang telah dibuat.

2. The Requirements Workflow
Objek pada tahap ini menyusun sistem apa yang seharusnya ada dan mengapa
perlu dibuat, mendefinisikan batas dari sistem, melihat kemungkinan ancaman
keamanan serta bagaimana cara penanggulangannya, dan mengestimasi biaya
dan skala waktu yang rumit. Visi dari sistem dibangun yang kemudian
diterjemahkan kedalam use case model dengan tambahan spesifikasi kebutuhan.
Baik kebutuhan fungsional dan nonfungsional dikumpulkan dan dianalisis.
Kebutuhan user dan stakeholder serta fitur high-level didefinisikan dan kemudian
diubah kedalam specific software requirements.
Fase-fase yang terlibat antara lain :
• Inception : requirement dari software pertama kali dibahas. Lebih terfokus pada
requirement pengembangan software yang akan dipakai.
• Elaboration : mengurangi / meninjau kembali requirement dari software, dan
dimungkinkan terjadi pergantian requirement dalam software yang akan
dikembangkan.
• Construction : perwujudan requirement yang ada dalam bentuk coding dari
software yang dikembangkan beserta pengujian apakah software sudah
memenuhi requirement awal.
• Transition : bisa aja requirement dalam fase ini berupa requirement dari end
users untuk menambah aplikasi software, atau mungkin perawatan software,
atau mungkin yang lain juga
3. The Analysis and Design Workflow
Pada tahap ini requirements dari tahap dua diubah kedalam implementation
spsecification. Analisis meyakinkan bahwa functional requirements ditemukan,
secara khusus mengabaikan requirements nonfungsional dan run-time
environment. Desainnya mengambil output dari analisis dan
mengadaptasikannya kedalam pembatasan arsitektur dan requirements
nonfungsional. Meliputi aktivitas mendefinisikan dan penyaringan arsitektur,
menganalisa perilaku, desain komponen dan desain database.
Fase-fase yang terlibat :
Inception : analysis dan design udah mulai dibahas dengan adanya pembahasan
tentang business modeling dan requirement tentu aja.
Elaboration : fase inilah yang menjadi pusat perkembangan dari analysis dan
design. Selain karna emang segala macem domain, scope project,
peninjauankembali terjadi di fase ini. Hampir bisa depastikan bahwa
perancangan dan analisa dibakukan pada fase ini.
Construction : dari design-lah project dikembangkan dalam bentuk coding.
Transition : bisa aja requirement dalam fase ini berupa requirement dari end
users untuk menambah aplikasi software
4. The Implementation Workflow
Workflow meng-convert desain ke dalam implementasi. Kegiatannya meliputi
merencanakan proses, mengkonversikan kelas dan objek dari tahap tiga ke
dalam komponen, menguji komponen individual, dan membangun versi
operasional dari sistem, dikenal sebagai ‘the builds’.
Fase-fase yang terlibat :
Inception : di tahap ini implementasi berlaku dengan terjadinya percakapan
antara end users dan developer mengenai software yang akan dikembangkan.
Elaboration : selain implementasi terhadap pembuatan use case, tahap ini juga

memuat implementasi dari perkembangan perencanaan arsitektural dan
sebagainya.
Construction : dari nama fase ini, construction alias konstruksi, tentu aja jelas
dapat diambil kesimpulan, bahwa pada fase ini-lah implementasi terhadap
rancangan software dan sebagainya diterapkan.
Transition : implementasi yang terjadi pada tahap ini adalah penyerahan
software terhadap end users dan implementasi pada penerapan aplikasi software
yang telah dikembangkan .
5. The Test Workflow
Tahap ini menguji dan memverifikasi interaksi komponen, semua requirementsnya telah diimplementasikan, dan kualitas produk yang telah dikembangkan dari
ketiadaan kerusakan dan kemampuan untuk mencapai tujuan.
Fase-fase yang terlibat :
Inception : dalam fase ini testing dilakukan apabila moeling bisnis dan
requirement telah teridentifikasi. Testing dilakukan dengan tujuan menghasilkan
kesepakatan antara end users dengan developer.
Elaboration : testing di sini merupakan testing setelah use case
diimplementasikan, masih seputar tercapainya kesepakatan antara end users
dengan developer.
Construction : testing kebanyakan dilakukan di akhir fase construction, karena
setelah penyelesaian program-lah, testing baru dilaksanakan.
Transition : testing dilakukan sebelum penyerahan software kepada end users
dengan keadaan yang sebenarnya.
6. The Deployment Workflow
Tahap ini menyebarkan software yang telah selesai kepada user dan meliput:
• Menguji software dalam setting operasional
• Training the end users
• Migrasi dari software yang sudah ada
• Pengemasan software
• Meng-install software
Fase-fase yang terlibat :
Elaboration : mulailah pengembangan tentang realitas dari software itu akan
seperti apa dalam fase ini.
Construction : dalam fase ini pengembangan software secara nyata terjadi
dengan adanya coding.
Transition : fase yang paling berpengaruh karena adanya penyerahan software
dari developer kepada end users.
7. The Configuration and Change Management Workflow
Tahap ini menjalankan dan merawat integritas dari proyek. Kegiatannya meliputi
memonitor dan mengatur perubahan permintaan, perubahan biaya, dan tetap
mengontrol berbagai versi produk dan artifact. Juga meliputi manajemen
konfigurasi hardware dan software.
Fase-fase yang terlibat :
Inception : terjadi diskusi mengenai konfigurasi dari system software yang
diinginkan.
Elaboration : masih membahas seputar konfigurasi software, ditambah dengan
perubahan-perubahan yang terjadi, terkait dengan diminimalisasikannya
perubahan dalam fase selanjutnya.

Construction : dalam fase inilah akan terlihat jelas penerapan dari konfigurasi
yang telah ditentukan, dan mungkin tidaknya konfigurasi yang diinginkan
terpenuhi.
Transition : konfigurasi yang ada adalah mengenai konfigurasi system dalam
keadaan yang sesungguhnya.
8. The Project Management Workflow
Tahap ini menyediakan framework untuk memanajemen software dan
memanajemen resiko. Tahap ini juga menyediakan pedoman untuk planning,
staffing, monitoring dan secara umum menunjukan manajemen proyek.
Semua fase di sini di gunakan.
9. The Environment Workflow
Tahap ini menjelaskan tentang mendukung proyek dengan proses yang relevan,
metode-metode, dan tools dalam organisasi.
Semua fase di sini di gunakan.
Tools yang digunakan dalam pengembangan perangkat lunak ini adalah
1. Komputer
2. Papan tulis
3. Alat tulis
4. Note book
5. Dll.

BAB 2
PENGENALAN CCPM
( CRITICAL CHAIN PROJECT MANAGEMENT )
Setiap proyek atau usaha memerlukan seseorang atau sebuah organisasi
untuk memanajemen tugas-tugas yang berkaitan dengan proyek yang akan
dikerjakan. Setiap proyek memiliki waktu penyelesaian masing-masing, biaya
masing-masing, sumber daya yang berbeda-beda dan kenadala yang

berbedabeda
pula. Critical Chain Project Management menjadi salah satu jalan
keluar dalam membantu memanajemen proyek. CCPM adalah turunan dari
manajemen CPM ( Critical Path Management ).
Critical Chain Project Management atau dikenal juga sebagai Metode
Rantai Kritis adalah metode perencanaan dan pengolahan proyek yang
menekankan
pada sumber daya ( sik dan manusia ) yang diperlukan dalam rangka
melakukan tugas-tugas proyek. Tujuan dari penggunaan CCPM dalam
menyelesaikan
proyek adalah untuk meningkatkan tingkat throughput atau tingkat
penyelesaian proyek. Sebuah aplikasi dari Teori Kendala (TOC) untuk
proyekproyek.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan tingkat throughput (atau
tingkat penyelesaian) proyek dalam suatu organisasi. Menerapkan tiga pertama
dari lima langkah fokus dari TOC, kendala sistem untuk semua proyek
yang diidentikasi sebagai sumber daya. Untuk mengeksploitasi kendala,
tugas pada rantai kritis diberikan prioritas di atas semua kegiatan lainnya.
Akhirnya, proyek yang direncanakan dan dikelola untuk memastikan bahwa
sumber daya yang siap ketika tugas rantai kritis harus mulai, mensubordinasi
semua sumber daya lain untuk rantai kritis.
Terlepas dari jenis proyek, rencana proyek harus menjalani meratakan
Sumber Daya, dan urutan terpanjang terbatas sumber daya tugas harus diidenti
kasi sebagai rantai kritis. Dalam lingkungan multi-proyek, meratakan
sumber daya harus dilakukan di seluruh proyek. Namun, cukup sering untuk
mengidentikasi (atau pilih) a "drum" tunggal sumber daya-sumber daya
yang bertindak sebagai kendala di proyek-proyek dan terhuyung berdasarkan
ketersediaan sumber daya tunggal itu.
CCPM metode baru dalam revolusi cara berkir yang dapat digunakan
untuk menentukan bagaimana mengurangi / mempercepat pengerjaan proyek
dan meningkatkan kemampuan penjadwalan dan budget yang telah ditentukan.
Melepaskan yang lainnya, membuktikan bahwa pengalaman manager
projek telah mengetahui penting CCPM dari satu dekade, dan kenunikan dari
CCPM ada di terminologinya dari pada isi pokoknya. Aplikasi atau software
CCPM memerlukan software khusus yang sekarang ini telah ditawarkan oleh
beberapa vendor atau instansi yang bukan untuk kebutuhan dagang pasar.
Sebagai bukti, beberapa organisasi mengingat dengan baik pengangkatan
CCPM sebagai cara untuk meningkatkan kinerja projek yang menyangkut
hal biaya pasti, masalah ekonomi dan perubahan pada budaya dan prosedur.
Oleh sebab itu, kehati-hatian evaluasi dan penilaian dari CCPM sangat
berpotensi untuk membawa peningkatan perintah yang siknikan.
Menurut Badri (1997), manfaat yang didapat jika mengetahui lintasan
kritis adalah sebagai berikut :
1. Penundaan pekerjaan pada lintasan kritis menyebabkan seluruh pekerjaan
proyek tertunda penyelesaiannya.
2. Proyek dapat dipercepat penyelesaiannya, bila pekerjaan-pekerjaan yang
ada pada lintasan kritis dapat dipercepat.
3. Pengawasan atau kontrol dapat dikontrol melalui penyelesaian jalur
kritis yang tepat dalam penyelesaiannya dan kemungkinan di trade
o (pertukaran waktu dengan biaya yang esien) dan crash program

(diselesaikan dengan waktu yang optimum dipercepat dengan biaya
yang bertambah pula) atau dipersingkat waktunya dengan tambahan
biaya lembur.
4. Time slack atau kelonggaran waktu terdapat pada pekerjaan yang tidak
melalui lintasan kritis. Ini memungkinkan bagi manajer/pimpro untuk
memindahkan tenaga kerja, alat, dan biaya ke pekerjaan-pekerjaan di
lintasan kritis agar efektif dan esien.

Perbedaan antara CPPM dan CPM
Beberapa contoh proyek yang berhasil dimana pengerjaan proyeknya
menggunakan
metode CCPM :
ˆ Sebuah pabrik semikonduktor besar menyelesaikan pembangunan pabrik
baru di 13 bulan (dibandingkan dengan patokan mereka dari 29 bulan)
saat pertemuan spec dan tinggal dalam 4% dari anggaran konvensional.
ˆ Sebuah kecil pengembang perangkat lunak CCPM diterapkan untuk
dua Proyek penting yang tak berdaya di belakang jadwal. Untuk heran
semua orang, mereka disampaikan kedua proyek tepat waktu.
ˆ Sebuah perusahaan telekomunikasi besar diterapkan pendekatan dan
menyadari pengurangan yang luar biasa pada saat pengembangan produk.
Perusahaan ini sekarang memiliki ratusan manajer proyek menggunakan
metode Rantai Kritis.

Pendekatan yang sering dipakai adalah yang berdasarkan fase (phases)
karena pendekatan
ini adalah yang paling umum dan mudah diterapkan baik untuk proyek
skala kecil, sedang,

maupun besar. Berdasarkan pendekatan tradisional ini ada urutan yang
harus dilalui dalam
manajemen proyek sejak dimulai sampai selesai.
Tahap-tahap dalam urutan ini adalah sebagai berikut : Fase inisialisasi,
Fase perencanaan
atau perancangan, Fase pelaksanaan atau produksi, Sistem
pengawasan dan pengendalian dan
Fase penyelesaian.
Meskipun tahap-tahap ini saling berurut tetapi tidak semua proyek
harus melalui semua
tahapan, bahkan ada proyek yang harus melalui tahap 2, 3 dan 4
beberapa kali. Setiap fase
akan memberikan hasil (deliverable) yang akan menjadi input bagi fase
berikutnya.
Pendekatan ini juga selaras dengan siklus pengembangan software
(SDLC), yakni the waterfall
model yang juga merupakan urutan dari satu tahap ke tahap lain secara
linier. Selain itu,
dalam penerapan metodologi ini, banyak organisasi atau perusahaan
yang menerapkan
Rational Unified Process (RUP) yang dikembangkan oleh Rational(R)
Software.

Macam – macam metodologi dalam manajemen proyek antara lain :
1. Metodologi Tradisional

Gambar 1.4 Metodologi Tradisional
Didalam metodologi tradisional manajemen proyek terdiri dari

beberapa fase yaitu
inisialisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan fase akhir.
Pada bagian ini akan
dibahas mengenai hal tersebut secara rinci.
• Fase Inisialisasi
Pada fase ini merupakan fase dalam hal studi kelayakan. Dimana dalam
studi kelayakan terdapat beberapa langkah yang harus dilaksanakan.
Salah satunya adalah analisis kebutuhan (requirements analysis),
karena kelayakan dari proyek sistem informasi didasarkan atas
hasil dari requirements analysis ini. Hasil studi kelayakan kemudian
disusun dalam bentuk proposal proyek untuk kemudian diajukan ke
stakeholder.
• Fase Perencanaan
Pelaksanaan fase ini lebih melibatkan tim pelaksana proyek,
meskipun pihak lain, seperti steering comittee tetap melaksanakan
fungsi pengendalian dari luar. Meskipun dari fase sebelumnya telah ada
requirements analysis, tetapi untuk menghasilkan rencana dan
desain pengembangan sistem informasi maka diperlukan analisis yang
lebih detail.
Dalam fase ini sering terjadi revisi terhadap hasil analisis. Hal ini
umum terjadi karena mungkin saja informasi yang didapatkan dari satu
departemen dengan departemen yang lain saling bertentangan atau
bahkan tidak saling berhubungan akibat dari buruknya arus kerja atau
work flow dan standard operating procedure (SOP) organisasi atau
perusahaan tersebut.
• Fase Pelaksanaan atau Pengembangan
Dalam fase ini aktivitas yang dilakukan adalah melaksanakan tugastugas yang telah didefinisikan dalam fase sebelumnya untuk
menghasilkan software sesuai requirements.
Aktivitas dalam lingkup manajemen proyek sistem informasi adalah :
- Pemrograman (Development)
- Testing

- Quality assurance (QA)
- Dokumentasi

Umumnya fase ini dilaksanakan dalam jangka waktu yang lebih
panjang dibanding fase lain. Berbeda dengan fase lain, fase ini juga
menghasilkan produk berupa software yang nantinya akan digunakan
oleh klien, yang artinya akan digunakan oleh pihak di luar tim
pelaksana proyek. Oleh karena itu, dalam proyek sistem informasi yang
besar dan kompleks, aktivitas testing dan QA harus ada.
• Sistem Pengawasan dan Kontrol
Fase ini terdiri dari proses-proses yang dilakukan untuk observasi
pelaksanaan proyek untuk menghindari potensi masalah yang bisa
segera diidentifikasi dan jika diperlukan, tindakan koreksi dapat segera
dilakukan. Manfaatnya adalah kinerja proyek dapat diamati dan
diukur secara rutin agar jika terjadi penyimpangan pelaksanaan proyek

terhadap rencana dandesain dapat segera diantisipasi. Pengawasan
dan pengendalian terdiri dari :
- Mengukur aktivitas proyek yang tengah dilaksanakan (menentukan
posisi pelaksanaan proyek saat ini).
- Mengawasi variabel (biaya, waktu, sumberdaya dan sebagainya)
proyek terhadap rencana dan desain yang telah disepakati (posisi yang
seharusnya dicapai).
- Identifikasi tindakan korektif jika terjadi penyimpangan
(mengembalikan ke posisi yang seharusnya).
- Mengarahkan pengendalian terpusat agar hanya setiap perubahan
terhadap rencana proyek yang telah disetujui saja yang bisa
diimplementasikan.
• Fase Akhir
Dalam fase ini proyek telah memasuki tahap akhir di mana produk
software telah diinstalasikan, dioperasikan, dan dimanfaatkan oleh
klien.
Ada dua aktivitas yang dilakukan dalam fase ini yaitu :
- Penutupan proyek.
- Memasuki masa maintenance yang dapat dilanjutkan dengan kontrak
baru. Maintenance penting mengingat produk software tidak bisa 100%
bebas dari kemungkinan error atau bugs.
2. Rational Unified Process
RUP (Relational Unified Process) adalah proses rekayasa software
dengan pendekatan alokasi tugas-tugas dan tanggung jawab dalam
organisasi pengembangan software. Tujuannya adalah
untuk memastikan software yang dihasilkan berkualitas tinggi yang
memenuhi kebutuhan klien dengan jadwal dan anggaran yang telah
ditentukan.
Cara RUP meningkatkan produktivitas tim yang terlibat adalah
dengan menyediakan untuk setiap anggota, akses pada knowledge
base dengan petunjuk, template, dan alat bantu untuk
mendukung aktivitas penting dalam pengembangan software.
Knowledge base ini berisi pengalaman-pengalaman terbaik yang
terbukti berhasil (best practices), yaitu :
a. Pengembangan sofware secara iteratif. d. Model software secara
visual.
b. Mengelola requirements. e. Verifikasi kualitas software.
c. Menggunakan component-component architectures. f.
Pengendalian perubahan
pada software.

Gambar 1.1 RUP Workflow (Relational Unified Process)

Walaupun dalam prosesnya tetap melalui tahap-tahap sebagaimana
siklus hidup manajemen proyek, tetapi dalam setiap fasenya selalu
dilakukan peninjauan ulang terhadap setiap deliverables
yang dihasilkan masing-masing fase agar tercapai kualitas yang
diinginkan dan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang
terjadi secara dinamis. Untuk melakukannya dibutuhkan
knowledge base yang dapat diakses oleh setiap anggota tim yang
berkepentingan, yang juga dapat memberikan kontribusi dalam
memperkaya knowledge base tersebut. Dengan demikian hasil akhir
proyek adalah produk yang berkualitas dan memberikan manfaat yang
memuaskan semua pihak.
3. Critical Chain Project Management
Setiap proyek atau usaha memerlukan seseorang atau sebuah
organisasi untuk memanajemen tugas-tugas yang berkaitan dengan
proyek yang akan dikerjakan. Setiap proyek memiliki waktu
penyelesaian masing-masing, biaya masing-masing, sumber daya yang
berbeda-beda dan kenadala yang berbedabeda pula. Critical Chain
Project Management menjadi salah satu jalan
keluar dalam membantu memanajemen proyek. CCPM adalah turunan
dari manajemen CPM ( Critical Path Management ).
Critical Chain Project Management atau dikenal juga sebagai
Metode Rantai Kritis adalah metode perencanaan dan pengolahan
proyek yang menekankan pada sumber daya ( sik dan manusia ) yang
diperlukan dalam rangka melakukan tugas-tugas proyek. Tujuan dari
penggunaan CCPM dalam menyelesaikan proyek adalah untuk
meningkatkan tingkat throughput atau tingkat penyelesaian proyek.
Sebuah aplikasi dari Teori Kendala (TOC) untuk proyekproyek.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan tingkat throughput (atau tingkat
penyelesaian) proyek dalam suatu organisasi. Menerapkan tiga
pertama dari lima langkah fokus dari TOC, kendala sistem untuk semua
proyek yang diidenti kasi sebagai sumber daya. Untuk mengeksploitasi
kendala, tugas pada rantai kritis diberikan prioritas di atas semua
kegiatan lainnya.
Akhirnya, proyek yang direncanakan dan dikelola untuk memastikan
bahwa sumber daya yang siap ketika tugas rantai kritis harus mulai,
mensubordinasi semua sumber daya lain untuk rantai kritis.

Terlepas dari jenis proyek, rencana proyek harus menjalani
meratakan Sumber Daya, dan urutan terpanjang terbatas sumber daya
tugas harus diidenti kasi sebagai rantai kritis. Dalam lingkungan multiproyek, meratakan sumber daya harus dilakukan di seluruh proyek.
Namun, cukup sering untuk mengidenti kasi (atau pilih) a "drum"
tunggal sumber daya-sumber daya yang bertindak sebagai kendala di
proyek-proyek dan terhuyung berdasarkan ketersediaan sumber daya
tunggal itu.
CCPM metode baru dalam revolusi cara ber kir yang dapat
digunakan untuk menentukan bagaimana mengurangi / mempercepat
pengerjaan proyek dan meningkatkan kemampuan penjadwalan dan
budget yang telah ditentukan.
Melepaskan yang lainnya, membuktikan bahwa pengalaman
manager projek telah mengetahui penting CCPM dari satu dekade, dan
kenunikan dari CCPM ada di terminologinya dari pada isi pokoknya.
Aplikasi atau software CCPM memerlukan software khusus yang
sekarang ini telah ditawarkan oleh beberapa vendor atau instansi yang
bukan untuk kebutuhan dagang pasar.
Sebagai bukti, beberapa organisasi mengingat dengan baik
pengangkatan CCPM sebagai cara untuk meningkatkan kinerja projek
yang menyangkut hal biaya pasti, masalah ekonomi dan perubahan
pada budaya dan prosedur.
Oleh sebab itu, kehati-hatian evaluasi dan penilaian dari CCPM
sangat berpotensi untuk membawa peningkatan perintah yang sikni
kan. Menurut Badri (1997), manfaat yang didapat jika mengetahui
lintasan kritis adalah sebagai berikut :
1. Penundaan pekerjaan pada lintasan kritis menyebabkan seluruh
pekerjaan proyek tertunda penyelesaiannya.
2. Proyek dapat dipercepat penyelesaiannya, bila pekerjaan-pekerjaan
yang ada pada lintasan kritis dapat dipercepat.
3. Pengawasan atau kontrol dapat dikontrol melalui penyelesaian
jalur kritis yang tepat dalam penyelesaiannya dan kemungkinan di
trade
o (pertukaran waktu dengan biaya yang e sien) dan crash
program (diselesaikan dengan waktu yang optimum dipercepat dengan
biaya yang bertambah pula) atau dipersingkat waktunya dengan
tambahan biaya lembur.
4. Time slack atau kelonggaran waktu terdapat pada pekerjaan yang
tidak melalui lintasan kritis. Ini memungkinkan bagi manajer/pimpro
untuk memindahkan tenaga kerja, alat, dan biaya ke pekerjaanpekerjaan di lintasan kritis agar efektif dan e sien.