mustahil, dan ja’iz bagi Rasul-Nya. Ilmu Tauhid sebenarnya ilmu yang membahas keesaan Allah SWT. dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.
Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasinya lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam melalui hati dzauq dan wijdan terhadap ilmu tauhid atau ilmukalm menjadikan ilmu in lebih terhayati atau teraplikasikan dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi
terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena
itu, jika timbul aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, As Sunnah, hal itu
merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, atau belum pernah
diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak. Selain itu ilmu tasawuf mempuyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam
perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung mengandung muatan naqliah. Jika tidak
diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam akan bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan
rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesankan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara
qalbiyah hati.
3
B. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat
Dengan tasawuf yang artinya adalah pembersihan batin, jelaslah oleh kita sekarang dari mana dasar tempatnya dan kemana tujuannya. Yang berjalan
dalam tasawuf adalah perasaan, sedang filsafat kepada pikiran. Filsafat penuh
3 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi Bandung: Pustaka setia, 2014, Hal. 62.
3
dengan tanda tanya apa, bagaimana, darimana, dan apa sebabnya, sedangkan tasawuf tidak.
4
Hubungan antara akhlak tasawuf dengan filsafat, sejak awal pertumbuhannya menyisakan sebuah persoalan, yang penyelesaiannya sangat
memerlukan pikiran jernih. Hal tersebut tidak saja karena Al-Ghazali dianggap sebagai ulama yang berhasil dalam merekonsiliasi berbagai ilmu
yang berkembang saat itu, tetapi justru al-Ghazali sendiri oleh beberapa ahli dianggap sebagai penghalang dari perkembangan dan pertumbuhan filsafat.
Dalam kitab Tahafutu al-falasifah, al-Ghazali terang-terangan menampakkan kebencian-kebenciannya kepada filsafat dan bahkan kebenciannya itu
mengarah kepada pengkafiran para filsuf. Namun demikian, menurut Syafi’I Ma’arif, bahwa anggapan yang
menuduh al-Ghazali harus bertanggung jawab bagi merosotnya pemikiran bebas di dunia Sunni adalah anggapan yang dipandang agak kurang cerdas
dan bahkan mungkin mempunyai kadar kedzaliman. Kemacetan berfikir di dunia islam, khususnya di dunia sunni adalah merupakan fenomena sosioligis
yang sangat komplek. Demikian kompleknya sehingga tuduhan terhadap al- Ghazali sebagai penyebab utama dari kemacetan itu, tidak atau kurang punya
dasar. Apa yang disampaikan Syafi’I Maarif tersebut benar adanya. Hal ini
disebabkan bahwa ketika al-Ghazali membela sebuah pemahaman bahwa yang maujud itu pada hakikatnya hanyalah Allah swt, al-Ghazali juga
menggunakan logika dan filsafat. Dalam kitabnya Miskhatu al-Anwar, al- Ghazali menerangkan bahwa pada hakikatnyasegala sesuatu itu binasa sejak
azali, sejak permulaan hingga untuk selamanya. Hal ini dikarenakan segala sesuatu selain Allah, bila ditinjau dari keberadaannya sendiri adalah ketiadaan
yang murni. Bila ditinjau dari arah datangnya keberadaannya, dari sumber pertama yanghak, dapatlah disadari bahwa ia, maujud bukan pada dirinya
4 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, Hal. 82.
4
sendiri, tetapi dari arah Allah yang telah mewujudkannya. Dengan demikian, yang disebut maujud itu adalah hanya Allah saja.
Dengan demikian, agar tasawuf menjadi lebih segar dan lebih antisipatif, khususnya dalam hal menempatkan sifat sabar, syukur, qonnaah, tawakkal,
dan zuhud pada tempatnya yang proporsional dan tidak terjebak pada fatalis dan dominasi mitos, maka filsafat menjadi sesuatu yang sangat diperlukan
dalam melengkapi tasawuf. Demikian juga sebaliknya, agar filasafat tidak hanya menghasilkan sesuatu yang hanya bersifat deduktif idealistis, dimana
kebenaran hanya mengangkasa, maka nalar intuisi yang dikembangkan tasawuf menjadi sesuatu yang niscaya, untuk menjdikan kebenaran filsafat
tersebut menjadi lebih terinternalisasi dalam penghayatan iman yang sempurna. Benarlah apa yang dikatakan Murtadha mutahhari, bahwa bila
filsafat dan ilmu kalam adalah untuk mengetahui dan mengenali kebenaran maka tasawuf adalah suatu lompatan dan penyatuan serta peleburan kedalam
kebenaran itu. Kemudian, agar apa yang ditemukan oleh tasawuf dan filsafat dari sebuah kebenaran dapat terimplementasi secara konkret dalam pentas
kehidupan, maka ilmu akhlak mejadi suatu keharusan menyertai tasawuf dan filsafat.
5
C. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqh