AKHLAK TASAWUF DALAM HIERARKI ILMU ILMU

AKHLAK TASAWUF

DISUSUN
OLEH :
NAMA : YULI PARADITA
NIM : 0705163035

JURUSAN FISIKA 1
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2016/2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia tercipta pada hakikatnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, manusia
selalu ingin tahu yang tanpak kongret dan nyata, segala yang nampak dan di ketahui akan
menjadi sebuah pengetahuan. Pembuktian secara dengan alat indra memberikan pengetehuan
tentang kebenaran, namun pengalaman melalui indra belum cukup untuk menghasilkan
sebuah pengetahuan. Pengalaman itu harus harus melalui proses ilmiah lebih lanjut yang di

metodologis. Di dalam proses metodologis di perlukan prinsip epistomologi yang mengkaji
lebih dalam tentang pengetahuan. Epistemologi mencakup beberapa hal seperti batas
pengetahuan, sumber pengetahuan serta kriteria kebenaran.
Pengetahuan yang di sempurnakan maka di sebutlah dengan ilmu, ilmu memiliki dua
macam objek material dan objek formal[1], Ilmu juga sebagai aktivitas ilmiah dapat
berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find),
atau pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka
dalam dunia ilmu kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang
paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Dari aktivitas ilmiah dengan metode
ilmiah yang dilakukan para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru
atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para
filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan
pengetahuan yang sistematis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi ilmu-ilmu keislaman ?
2. Bagaimana kedudukan ilmu Tasawuf dalam Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang klasifikasi ilmu-ilmu keislaman
2. Untuk mengetahui tentang kedudukan ilmu tasawuf


BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Islam

Dalam tradisi intelektual islam, para ulama telah membuat klafikasi ilmu berdasarkan
sudut pandang islam. Di antara mereka, pendapat Ibn Khaldun cukup penting diutarakan.
Dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi dua jenis. Pertama, ilmu-ilmu
hikmah dan filsafat (ulum al-hikmiyah al-falsafiyyah) yang diperoleh dengan akal manusia,
dan ilmu yang diajarkan dan ditransformasikan (ulum al-naqliyyah al wadhiyah). Yang
bersumber kepada syariat islam (Al quran dan Hadits). Ibn Khaldun mengkatagorikan
tasawuf sebagai salah satu dari beragam ilmu-ilmu syariah (ulum al-naqliyyah alwadhi’iyah). Dalam pembagian ilmu menurut al-Ghazali berdasarkan cara perolehan ilmu,
disebutkan bahwa ilmu terdiri atas dua: ilmu yang dilahirkan ( ilm al-hudhuri/presential)
dan ilmu yang dicapai (ilm al-hushuli/attained), sedangkan tasawuf dikategorikan sebagai
sebagai ‘ilm al-hudhuri Ibn al-Qayyim al-Jauziah(w.1350) membagi ilmu menjadi tiga
derajat: ‘ilm jaliyun (didasari obsebasi, eksperimen, dan silogisme), ‘ilm khafiyun (ilmu
makrifat), dan ‘ilm laduniyun ( didasari ilham dari Allah), dan tasawuf dikelompokkan
kepada ilm khafilun dan ‘ilm laduniyun. Syed Muhammad Naquib al Attas membagi ilmu
menjadi dua jenis: Ilmu pemberian Allah (the god given knowledge) yang disebut ilmu-ilmu

agama (the religious sciences), dan ilmu capaian (the acquired knowledge) yang disebet
ilmu-ilmu rasiona, intelektual dan filosofis ( the rational, intellectual and philosophical
science), sedangkan tasawuf dikatagorikan sebagai matafisika islam yang meruakan bagian
dari ilmu-ilmu agama (the religious sciences). Dapat dibagian dari ilmu-ilmu agama,
meskipun sebagian ahli menyebutkan bahwa tasawuf dalam bentuk tasuwuf falsafi
dipengaruhi oleh agama dan aliran filsafat tertentu.
Ibn Khaldun telah mengulas tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu dalam kitab
Muqaddimahnya. Dari aspek sumber, tasawuf sebagai salah satu dari ilmu syariah, menurut
Ibn Khaldun, bersumber dari syariat yakni Alquran dan hadis, dan akal tidak memiliki peran
dalam ilmu-ilmu syariah kecuali menarik kesimpulan dari akidah-akidah utama untuk
cabang-cabang permasalahannya. Meskipun muncul belakang sebagai sebuah disiplin ilmu,
tasawuf sebagai bagian dari ilmu-ilmu syariat telah dipraktikkan pada zaman Nabi
Muhammad Saw. Sahabat dan tabiin, dan pada masa masih berupa bentuk ibadah semata.
Dari aspek tujuan, pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan kualitas ibadahnya dan
beranjak dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi (al maqamat) sampai mencapai
kemantapan tauhid (al taudid) dan makrifat (al marifah). Dari aspek pembahasan tasawuf
membicaran empat pokok persoalan. Pertama, pembahasan tentang mujahadah (almujahada), zauq (al-dzwq), introspeksi diri (muhasabah al nafs) dan tingkat-tingkat spiritual
(al-maqamat). Kedua, penyingkapan spiritual (al-kasyf) dan hakikat-hakikat (al-haqiqah)
alam gaib (alam al-gayb). Ketiga,keramat wali (al karamat). Keempat, istilah-istilah kaum
sufi yang diungkap pasca ‘mabuk’ spiritual (al-syathahat). Menurut Ibn Khaldun,

kebanyakan fukaha menolak ajaran kaum sufi tentang tasawuf.

Penolakan fusuka (sunni) tidak serta merta ditujukan kepada semua jenis tasawuf.
Menurut al-Taftazani, dari abad ketiga sampai abad keempat hijriah, aliran tasawuf terbagi
menjadi dua. Pertama, tasawuf sunni, yaitu aliran yang memagari pengikutinya dengan
Alquran dan hadis, serta mengaitkan ajaran meraka, terutama keadaan dan tingkatan rohani
mereka, dengan kedua sumber ajaran islam tersebut. Diantara sufi yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Abu Hamid al-Ghazali(w.1111). kedua, tasawuf falsafi, yaitu aliran
yang cenderung kepada ungkapan-ungkapan ganjil(syathahat), memadukan antara visi
mistis dan visi rasional dan banyak menggunakan terminology filosofis, bahkan dipengaruhi
banyak ajaran filsafat. Diantara sufi yang masuk dalam kelompok ini adalah Suhrawardi al
Maqtul (w.1191), Ibn Arabi (w.1240), dan Mulla Shadra (w.1640) para fukaha dari mazhab
sunni menolak banyak teori tasawuf yang dikembangkan oleh sufi-sufi dari mazhab tasawuf
falsafi yang ternyata lebih diterima dan berkembang di dunia syiah 1

B. Kedudukan Tasawuf
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan
rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat
sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu alA’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat
yang utama.

Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata
Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha
membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya
Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak
abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang
telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak
didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf
tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan
perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf
membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak
didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap
Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.
Tasawuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran
dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati yang bersih
dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf itu menghendaki manusia harus
menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat yang suci bersih, agar menjadi manusia
1 . Ja’far, Gerbang Tasawuf, (Medan:Perdana publishing,2016),h. 21-24

yang berakhlak baik dan sifat yang terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai
Allah swt. Oleh karena itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim.

Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan mempunyai
kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh atau tergoda oleh
kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap qonaah, yaitu sabar dan tawakal, serta
menerima apa yang telah diberikan Allah walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betulbetul mendapatkan perhatian yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih
menentang tasawuf ini, karena dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah
berbuat syirik, karena tidak berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah. 2

2 Mahmud, Abdul Halim. Tasawuf di Dunia Islam (Bandung: Pustaka setia 2001) hlm. 298

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Menurut Ibn Khaldun, bersumber dari syariat yakni Alquran dan hadis, dan akal tidak
memiliki peran dalam ilmu-ilmu syariah kecuali menarik kesimpulan dari akidah-akidah
utama untuk cabang-cabang permasalahannya. Meskipun muncul belakang sebagai sebuah
disiplin ilmu, tasawuf sebagai bagian dari ilmu-ilmu syariat telah dipraktikkan pada zaman
Nabi Muhammad Saw. Sahabat dan tabiin, dan pada masa masih berupa bentuk ibadah
semata. Dari aspek tujuan, pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan kualitas

ibadahnya dan beranjak dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi (al maqamat)
sampai mencapai kemantapan tauhid (al taudid) dan makrifat (al marifah).
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukunrukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat.
Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”
(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang
utama.

DAFTAR PUSTAKA

Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf, Medan: Perdana publishing
Mahmud, Abdul Halim. 2001. Tasawuf di Dunia Islam Bandung: Pustaka Setia