khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak
politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan ini.
Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak
politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya
merepresentasikan hak politik dalam keterwakilannya dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan dan
perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka
jalani.
B. PEREMPUAN DAN PERWAKILAN POLITIK
Dalam konteks politik dewasa ini, pergerakan politik dalam kehidupan masyarakat senantiasa berkembang. Berbagai langkah strategis telah diambil dalam
upaya penguatan hak-hak politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya representasi politik. Dalam
representasi politik, perempuan memperjuangkan keterwakilan mereka dalam pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, representasi perempuan dalam politik
adalah upaya penguatan hak-hak politik.
Pemahaman proses perwakilan kaum perempuan yang semakin meningkat menuntut kita untuk mempertahankan baik perspektif kesetaraan maupun perbedaan,
supaya pemahaman politik tetap seimbang. Para wakil perempuan bekerja dalam konteks di mana harapan-harapan tidak hanya sensitif terhadap perbedaan seks dan
gender, tetapi juga terhadap ketidakleluasaan dalam pelbagai arena politik, budaya, dan proses politik ataupun capaian-capaian nyata yang telah dihasilkan karena
intervensi feminis dalam panggung politik. Interaksi-interaksi yang terjadi dalam arena panggung politik, termasuk meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan.
Para pelaku politik perempuan telah mengubah wacana politik. Namun, untuk melukiskan tatanan-tatanan kelembagaan dan kultural di mana perdebatan mengenai
perwakilan politik perempuan dilokalisir dan untuk menelusuri kemajuan mereka melalui siklus-siklus politik secara berurutan. Berangkat pula dari pemikiran bahwa
manusia memiliki hak-hak yang melekat pada dirnya semenjak ia lahir, karena ia manusia, dan karenanya hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh siapapun, termasuk Negara. Hak itu berupa pula hak-hak poliik, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir; memiliki dan menyatakan pendapatnya,
berserikat dan berkumpul; berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan.
25
Membicarakan soal politik, pada dasarnya kita berbincang tentang power, Chusnul Mar‟iyyah mengasosiasikan kata power tersebut dengan dua kelompok
pengertian sebagai berikut :
25
Ibid., 80
1. Force, Strength, vigour kekuatan, might, energy tenaga, potency daya, stamina daya tahan, authority otoritas, command kekuasaan,
control kendali, domination dominasi, omnipotence kemahakuasaan. Kata-kata yang diasosiasikan dengan power merupakan atribut yang sangat
maskulin. Apabila kata-kata tersebut dihubungkan dengan women perempuan, misalnya, menjadi controlling women, dominating women,
forceful women, yang pada dasarnya merendahkan perempuan. Hal ini merupakan pengertian power over atau kekuasaan terhadap orang lain.
2. Sedangkan power dalam kelompok kata kedua berarti: ability kemampuan, capacitcy kecakapan, faculty kemampuan, potential
kesanggupan, skill kepandaian. Pengertian kedua ini nampaknya lebih menarik karena lebih berhubungan dengan kekuasaan untuk melakukan
sesuatu power to, atau untuk berbuat sesuatu, daripada kekuasaan terhadap orang lain.
26
Dua kelompok pengertian power diatas adalah penunjukkan kepada gambaran politik itu sendiri. Keterkaitan antara kedua kelompok pengertian ini harus dilihat
sebagai bahasan dari politik itu sendiri. Penjelasan tentang power dalam pengertian yang telah dikelompokan ini memberi rujukan kepada power dimaksud. Di dalam
literature feminis, terlihat bahwa kritik pengertian dan analisis terhadap power lebih menitikberatkan pada power over dibandingkan dengan power to. Oleh kaum feminis
26
Sulistyowati Irianto ed.,Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan , Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006, 352.
kekuasaan sering diasosiasikan dengan oppression penindasan, baik oleh individu laki-laki maupun institusi yang dikelola oleh laki-laki.
Bagi mereka yang tertarik pada peran perempuan dalam politik arus utama dipandang perlu untuk tidak hanya menggunakan arti populer pengertian “politik”
tetapi juga menggunakan dari apa yang bagi kaum feminis merupakan sifat politis. Meskipun arti-arti ini memerlukan perhatian yang luas dalam fungsinya.
Sebagaimana yang dikatakan Lovenduski tentang politik bahwa
“Politik terdiri dari person, proses, hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat keputusan-keputusan publik berwibawa.Tidak semua yang disebut politik oleh
banyak orang dimasukkan dalam deskripsi politik, tetapi deskripsi pada hal ini mempunyai keuntungan yang hampir disetujui setiap orang bahwa yang termasuk di
dalamnya bersifat politis.”
27
Bagi kaum feminis, yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan kehidupan privat domestik, yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang di mana kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan atas kaum perempuan. Dapat diperdebatkan, dalam hal gender, lembaga-lembaga politik
mencerminkan lembaga-lembaga privat.
28
Namun, akhir-akhir ini kehadiran perempuan dalam lembaga-lembaga politik publik telah berkembang dan
perkembangan itu oleh meningkatnya minat akan apa yang terjadi dalam peningkatan itu.
Sebagaimana umumnya dirumuskan, pertanyaan mengenai perbedaan apa yang dihasilkan dengan meningkatnya representasi perempuan dalam politik akan
mengubah politik yang demokratias. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan rumit
27
Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan., 32.
28
Ibid., 33.
yang menyentuh sejumlah perhatian politis pokok. Dua pengandaian mendasari Lovenduski mengenai feminisasi politik. Pertama, suatu unsur-unsur penting dari
peran-peran yang dimainkan oleh kaum perempuan dan laki-laki dalam politik tergantung tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga
politik.
29
Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik. Kedua, cara kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurang-kurangnya
sama pentingnya dengan bagaimana proses-prosesnya benar-benar berjalan. Teori feminislah yang mencerahi sifat gender dari perwakilan politik. Sebagaimana yang
dikatakan Lovenduski :
“The representation of women in a political system is a good test of itsclaims to democracy. The claims that women make for representation areclaims for their
citizenship and at the heart of their engagement with politics. Political representation therefore a fundamental feministconcern, although its importance
ha
s not always been acknowledged”.
30
Bagaimanapun dalam demokrasi, representasi perempuan dalam sistem politik adalah ujian yang baik. Dengan adanya representasi perempuan membuat representasi klaim
kewarganegaraan mereka dan semangat keterlibatan mereka dengan politik. Karenanya representasi politik adalah dasar keprihatinan feminist. Meskipun
kepentingan itu tidak selalu diakui di masyarakat. Lovenduski juga mengatakan bahwa, perwakilan politik sebuah kelompok
dapat dipahami sebagai kehadiran anggota-anggota kelompok tersebut dalam lembaga-lembaga politik formal. Teorinya, pada tingkatnya yang paling sederhana,
29
Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan informal, proses dan prosedur yang berfungsi untuk menjalankan politik, Ibid., 55.
30
Joni Lovenduski, State Feminism and Political Representation, New York: Cambridge University Press,2005, 1.
adalah bahwa para wakil bertindak demi kelompok-kelompok yang mereka wakiki. Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyai dorongan untuk
mewakili kepentingan mereka di masa depan meskipun mereka sendiri tidak ambil bagian dalam kepentingan itu. Dalam perumusan seperti itu pemilihan berfungsi
sebagai sebuah pasar yang sempurna di mana semua permintaan politik dibuka. Dalam prakteknya, pemilihan tidak berjalan seperti itu. Kebanyakan wakil cenderung
untuk mewakili kepentingan yang bukan kepentingan mereka, hanya bila kepentingan-kepentingan itu membentuk suatu minoritas yang luas, koheren, sadar-
diri dalam masyarakat. Tanpa itu banyak kepentingan akan diabaikan. Selanjutnya lovenduski mengatakan bahwa kaum perempuan bukanlah suatu kelompok kohesif,
sehingga argument bahwa laki-laki dapat mewakili mereka seutuhnya jarang terjadi. Praktek perwakilan politik secara kelembagaan bersifat khas. Dasar-dasar
yang yang mendukung perwakilan yang sama dari perempuan yang muncul dari tiga sumber utama: pertama, prinsip-prinsip umum emokrasi representatif yang diubah
menjadi kerangka konstitusi demokrasi liberal; kedua, sistem pemerintahan partai; dan ketiga advokasi feminis. Sebagaimana Phillips mengatakan:
“The people representing the group would then be able to refer back to this process of collective engagement. They would be speaking for their caucus,
organization, or group, and they would be conveying the results of what might have been a very contested internal debate”.
31
Dengan adanya orang-orang yang mewakili kelompok, maka orang tersebut kemudian akan dapat merujuk kembali ke proses keterlibatan kolektif. Mereka akan
berbicara untuk organisasi mereka, atau kelompok, dan mereka akan menyampaikan
31
Anne Phillips, The Politics of Presence, Oxfort: Oxport University Press, 1995, 61.
hasil apa yang mungkin telah menjadi perdebatan internal yang sangat diperebutkan. Karenanya gerakan-gerakan politik menjamin perwakilan proporsional. Dalam
perwakilan politik perempuan menurut Lovenduski ada dua bentuk
32
: 1.
Perwakilan Deskriptif Tuntutan bahwa kaum perempuan seharusnya berada dalam pembuatan
keputusan sebanding dengan keanggotaan mereka dalam penduduk merupakan tuntutan atas perwakilan deskriptif kadang-kadang disebut perwakilan proporsional,
penggambaran, mikrokosmik. Perwakilan deskriptif perempuan mengusulkan bahwa seharusnya perempuan mewakili kaum perempuan sebanding dengan jumlah
penduduk mereka. Tuntutan-tuntutan seperti itu menantang sistem-sistem perwakilan, di mana banyak kelompok secara tetap disingkirkan. Dalam perwakilan deskriptif ,
para wakilnya ada atas nama pribadi dan hidup mereka sendiri dalam arti tertentu yang khas yang lebih besar dari orang-
orang yang mereka wakili‟ Mansbridge 1999. Perwakilan deskriptif sulit terwujud karena menuntut keterampilan. Sedangkan
keterampilan itu sendiri tidak dapat didistribusi secara sama. 2.
Perwakilan Substantif Konsep perwakilan substantif menyarikan isi dari keputusan-keputusan para
wakil. Perwakilan substantif dari suatu kelompok secara paling sederhana dilukiskan sebagai perwakilan kepentingan-kepentinganya. Dalam berbagai keadaan politik,
perwakilan kepentingan seseorang mungkin lebih penting daripada perwakilan kelompoknya. Artinya, setelah pemilihan pertama pasca hak pilih perempuan
diberikan, kaum feminis mungkin lebih memilih para pendukung isu-isu perempuan,
32
Ibid.,36-45.
apapun jenis kelaminnya, daripada memilih perempuan yang tidak mendukung isu- isu feminis. Perwakilan substantif mengarahkan perhatian pada ide mengenai
kepentingan. Dalam politik identifikasi kepentingan itu kontroversial. Teori feminis dengan sangat hati-hati menyadari bahwa kelas, ras, etnis, seks, kemampuan fisik,
status perkawinan, keibuan, dan agama memecah belah perempuan sekaligus menjadi sumber penting bagi identitas dan kepentingan mereka. Kesulitan-kesulitan untuk
menempatkan kaum perempuan dan kepentingan-kepentingan mereka ini ke dalam teori-teori arus utama mengenai perwakilan politik menunjukkan kompleksitasnya
proyek untuk mengintegrasikan kaum perempuan ke dalam wacana politik. Ada tiga macam argumen yang diajukan untuk mendukung tuntutan atas perwakilan
perempuan: argumen keadilan, argument pragmatik, dan argumen perbedaan
33
. a.
Argumen Keadilan Argumen yang paling kuat untuk mendukung bertambahnya perwakilan
perempuan adalah argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Argumen tersebut menyatakan bahwa sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli
perwakilan, terutama di suatu Negara yang menganggap diri sebagai negara demokrasi modern. Argumen-argumen tambahan mengenai kodrat perwakilan dapat
mengaburkan inti pokok itu, tetapi argumen-argumen tambahan itu tidak pernah dapat mebalikkannya. Argumen keadilan juga didukung oleh klaim-klaim dari kewargaan.
Kewargaan merupakan sekumpulan hak, kewajiban, alat kelengkapan, dan identitas yang membentuk milik seseorang dalam sistem politik. Dalam istilah-istilah
33
Ibid.,52.
konstitusional, perempuan secara formal mempunyai kewargaan yang sama dengan laki-laki dalam sistem demokatis.
b. Argumen Pragmatis
Argumen pragmatis memanfaatkan gagasan mengenai para politisi rasional yang memaksimalkan jumlah suara. Hal ini didasarkan pada keuntungan-keuntungan
partai-partai politik untuk meningkatkan jumlah wakil perempuan mereka. Para pendukung menyoroti pentingnya pemilih perempuan terkait dengan suksesnya
pemilihan. Para pendukung argumen pragmatis mengajukan klaim bahwa perempuan lebih cenderung memberikan ssuaranya pada partai-partai yang memilih kandidat
perempuan. Mereka memanfaatkan argumen-argumen perbedaan untuk mem- pertahankan bahwa perempuan memiliki, pengalaman-pengalaman dan kepentingan-
kepantingan khusus yang dapat dimengerti dan diwakili oleh perempuan. Mereka berpendapat bahwa gambaran parta maskulin bersifat ketinggalan zaman dan tidak
menarik bagi pemilih perempuan. Menurut logika ini, meningatnya perwakilan perempuan akhir-akhir ini akan mengarahkan ke proses-proses persaingan penawaran
bagi dukungan perempuan yang menyebabkan partai mana pun tidak dapat tinggal diam kalau berharap sukses dalam pemilihan.
Argumen pragmatis membuat keutamaan yang lain dengan berpendapat bahwa melalui keterlibatan perempuan, politik akan menjadi lebih konstruktif dan
ramah. Ini tentu saja merupakan klaim etika publik kontroversial, tetapi memiliki dasar tertentu. Suatu saat ketika publik muak dan tidak percaya kepada rapat-rapat
politik yang penuh permusuhan, ada pendapat bahwa peningkatan kaum perempuan
dapat memberikan pengaruh yang sangat menguntungkam pada lembaga-lembaga politik.
c. Argumen perbedaan
Kumpulan argument ketiga didasarkan pada konsep-konsep perbedaan. Argumen pokoknya adalah bahwa perempuan akan membawa gaya dan pendekatan
yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya menjadi lebih baik, suatu pengaruh yang menguntungkan semua pihak. Suatu cara yang berguna untuk
menyelidiki akibat dari perbedaan gender bagi kewargaan adalah mempertimbangkan warga Negara universal, pelaku politik yang terlepas dari teori demokrasi tradisional.
Interaksi hubungan gender dan perbedaan sosial mempunyai pengaruh penting pada kekuasaan politik dari macam-macam kelompok perempuan maupun laki-laki. Baik
dasar mereka dalam argumen perbedaan maupun pengaruhnya pada sumber-sumber daya dari macam-macam kelompok perempuan dan laki-laki yang menuntut untuk
memperhitungkan ketidakadilan yang tertanam dalam kewargaan. Ketika kewargaan perempuan dipertanyakan kenapa terjadi penyingkiran,
maka Ruth Lister berpendapat bahwa penyingkiran kaum perempuan dari kewargaan, sebagian merupakan produk dari kategorisasi esensial kemampuan dan kualitas laki-
laki dan perempuan. Ia menuliskan bahwa individu tanpa tubuh yang secara aktual laki-laki tetapi secara formal abstrak, yang dulu adalah warga dari teori politik dan
hukum konstitusional yang begitu lama ada hanya karena perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan privat membuat pemisahan yang tidak dapat diseberangi oleh
kaum perempuan. Kaum perempuan yang telah disingkirkan ke ruang privat menjadi pendukung yang tidak tampak dari kehidupan publik melalui persediaan perhatian,
reproduksi, dan pekerjaan lain secara gratis. Salah satu akibat dari pemisahan seperti itu adalah bahwa perempuan tidak muncul dalam kehidupan publik, tanpa
mempertimbangkan apa yang telah dibuat perempuan dalam kehidupan publik. Thus, forexample, paid work has represented an emancipatory path to citizenship for many
women, providing them with more or less economic independence and access to social citizenship rights.
34
Kaum perempuan mendapatkan apa yang telah mereka lakukan diruang publik yang telah mewakili jalur emansipatoris kewarganegaraan, dan mereka dilihat sebagai
yang kurang kemandirian ekonomi dan akses ke hak kewarga negaraan sosial. Serangkaian kebiasaan yang menggelikan terjadi karena ketidakhadiran perempuan.
Tubuh tidak mempunyai tempat dalam mayarakat sipil,di mana untuk hadir orang harus mengatasi kenyataan bertubuhnya sendiri, sesuatu yang dianggap hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki tetapi bukan oleh perempuan. Maka pengakuan perempuan pada kewargaan merupakan pengakuan pada ruang publik dalam pengertian yang
berbeda dari laki-laki karena hal itu berarti bahwa keniscayaan yang tidak tampak dari peran yang sampai saat itu dimainkan kaum perempuan dalam kehidupan privat
harus diperhitungkan.
35
34
Ruth Lister, Gendering Citizenship In Western Europe,Policy Press, 2007,11.
35
Lovenduski, Perempuan Beraras Politik., 54.
C. PERWAKILAN