BAB II KERANGKA KONSEPTUAL
PEREMPUAN DAN POLITIK
A. NEGARA DAN PEREMPUAN
Sangatlah perlu untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana posisi perempuan dalam Negara Indonesia sendiri. Jikalau ditelusuri, Kepedulian Negara
terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih
dalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen.Pada masa itu juga telah ada UU yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU 801958.
Undang-Undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem
penggajian. Keluarnya UU ini merupakan salah satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan ketika itu.
18
Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan. Salah satu kemajuan yang dapat dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan
sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Secara kelembagaan hal ini
tercermin dari adanya suatu kementrian yang bertugas menangani masalah-masalah
18
Muhadjir M. Darwin, Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha Guru 2005, 71-72
perempuan. Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menteri
muda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No. 25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri
Negara. Pada Bab I Pasal 1 ayat 8 Keppres tersebut ditegaskan bahwa “Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok menangani peranan wanita dalam pembangunan di segala bidang.
19
Visi Kantor MenUPW adalah peningkatan peranan wanita dalam pembangunan. Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan melalui GBHN 1978,
dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan bangsa. Pada dasarnya, pembahasan ini mencoba
mengembangkan sebuah perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif „peran ganda wanita‟. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan
pembangunan berideologikan „Panca Dharma Wanita‟ yang meliputi wanita sebagai 1 istri dan pendamping suami; 2 pendidik dan pembina generasi muda; 3ibu
pengatur rumah tangga; 4 pekerja yang menambah penghasilan keluarga; dan 5 anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi sosial.
Dalam perkembangannya, perspektif peran ganda wanita dan kebijakan ideologis Panca Dharma wanita ini mengakar kuat dalam proses pembangunan semasa
pemerintahan orde baru.
20
Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah keterlibatannya dalam memprakarsai berdirinya Pusat Studi Wanita PSW di
19
Ibid.,
20
Ibid, 73.
beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya ada ada dua manfaat berdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan kebijakan dan
program yang applicable bagi pmbangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu berada.
21
Reformasi politik di Indonesia tentunya telah memberikan harapan besar bagi kaum perempuan. Gerakan-gerakan yang sebelumnya seperti tidak memiliki energi,
muncul dengan berbagai usaha pembedayaan hak-hak perempuan, khususnya hak politik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah
membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan terutama di Indonesia. Dalam diri perempuan melekat multi peran yang menuntut pula kondisi demokrasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi itu sendiri telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik
yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi
politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang “berpengaruh”.
22
Demokrasi itu sendiri adalah bagian dari khazanah pembuatan keputusan kolektif. Demokrasi mengejawantahkan keinginan bahwa keputusan-
keputusan yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan, harus diambil oleh semua anggotanya, dan bahwa masing-masing anggota harus mempunyai hak yang
sama dalam proses pengambilanpembuatan keputusan-keputusan tersebut. Meskipun demikian, intensitas perkembangan eksistensi kemanusiaan perempuan secara umum
21
Ibid, 76.
22
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara,2006, 1
adalah belum optimal. Hal ini tersirat nyata dari masih kuatnya tradisi sebagian besar anggota masyarakat yang mendiskreditkan perempuan dengan menempatkan
perempuan sebagai second person. Pemimpin perempuan di masyarakat terkadang masih diragukan kapaitasnya yang pada akhirnya menjadi kurang dapat diterima oleh
masyarakat secara luas. Kondisi peran perempuan tidak lebih sebagai obyek politik. Oleh karena itu sikap arif dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima
kenyataan bahwa kaum perempuan sebenarnya adalah merupakan sosok pribadi yang menarik dan bisa mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat.
1. Kepemimpinan Perempuan
23
Kesempatan bagi munculnya peran serta masyarakat termasuk kelompok perempuan dalam proses pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunan
nasional di negara kita telah terjamin. Upaya-upaya maksimal pemberdayaan perempuan menunjukkan political will dari pemerintah yang apresiatif terhadap
perkembangan pengarusutamaan gender pada pergulatan politik nasional pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam GBHN 1999 telah mengarah bahwa
pemberdayaan perempuan dilaksanakan dengan: pertama, meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban oleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan gender. Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai persatuan dan kersatuan usaha pemberdayaan perempuian serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Untuk sampai ke arah tersebut,
23
Santi Wijaya Hesti Utami dkk, Perempuan Dalam Pusaran Demokrasi, Dari Pintu Otonomi ke Pemberdayaan Bantul: IP4 Lappera Indonesia, 2001, 23-25.
peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk menjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya adalah perlu peningkatan partisipasi
perempuan dengan beberapa hal seperti: a.
Adanya gerakan penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk
meminimalisir ketidakadilan yang terjadi atau harapan tertinggi untuk mencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang bebas dari
diskriminasi. Masing-masing
individu perlu
menyadari akan
kedudukannya, dan mengerti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa
antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yang sama tanpa ada niat untuk menguasai atau menghegemoni dari pihak laki-laki
dan perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa dirinya hanya menjadi warga Negara kelas dua. Pada akhirnya nanti tidak ditemukan lagi
pihak-pihak yang merasa tersubordinasi. b.
Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara lain dengan mengikut sertakan para perempuan untuk masuk dalam proses
pengambilan keputusan. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kesetaraan menjadi langkah utama berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul
jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
c. Gerakan pemberdayaan perempuan ini adalah suatu gerakan transformasi.
Yang utama dalam gerakan pemberdayaan perempuan adalah, dengan dibukanya peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk ikut
serta berperan aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat. d.
Perlu juga adanya penyadaran bagi kaum perempuan sendiri bahwa kesempatan yang diberikan pada kaum perempuan harus digunakan sebaik-
baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap dengan pemberian peluang tersebut karena selama ini ada suara minor yang
mengatakan bahwa perempuan belum mampu atau siap dengan kesetaraan gender tersebut. Hal tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuan
tidak punya kepercayaan diri untuk mengaktualisasi diri. Perempuan masa depan harus mampu menunjukkan potensi aktif dan kualitas dalam dirinya
guna membuka mata dunia lain bahwa perempuan mampu dan bisa. e.
Perlunya pemfokusan perbaikan relasi antara perempuan dan laki-laki. Adanya kesadaran bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah
sama sehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasi
ini mencakup hubungan di segala aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi, politik, ekonomi sosial dan budaya.
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yang hanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalan
dengan pergerakan dari kaum perempuan yang concern terhadap pengarusutamaan
gender. Karena kepemimpinan yang secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan seserang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,
perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui suatu karya kepemimpinan yang bersifat tidak langsung atau kontak pibadi antara
seseorang dengan orang lain secara tatap muka kepemimpinan yang bersifat langsung.
2. Hak Politik Perempuan
24
Secara Yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia. Pasal 1
intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya
instrument Internasional Pokok Hak-Hak Azasi Manusia, 1997. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasi
konvensi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 68 Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhak
memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan pria tanpa diskriminasi. Selain itu UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak azasi Manusia
24
Ibid, 40-41.
khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak
politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan ini.
Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak
politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya
merepresentasikan hak politik dalam keterwakilannya dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan dan
perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka
jalani.
B. PEREMPUAN DAN PERWAKILAN POLITIK