PENGAWASAN OLEH BPPLH KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PROPER)

(1)

DAERAH LAMPUNG Oleh:

Ridho Cornadi

Senjata api merupakan barang yang sangat berbahaya jika disalah gunakan untuk itu kepemilikan senjata api harus memiliki izin khusus. Dalam rangka pengawasan dan pengendalian terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api, maka masyarakat yang memiliki senjata api wajib mendapatkan izin dari Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung dan apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil merupakan kewenangan mutlak dari Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api. Untuk memiliki izin tersebut harus terlebih dahulu meminta rekomendasi dari aparat intelijen dari markas besar Polisi provinsi dimana pemohon tersebut tercatat yang dilampiri dengan syarat yang telah ditentukan. Apabila semua persyaratan telah dipenuhi, barulah pemberian izin memiliki senjata api yang ditandatangani oleh Kapolri. Jika setelah mendapatkan izin tetapi pemilik senjata api melanggar ketentuan kepemilikan senjata api, maka pemilik izin dapat dijatuhkan sanksi administrasi berupa peringatan atau dapat juga pencabutan izin kepemlikan senjata api. Faktor penghambat dalam proses perizinan kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil adalah dari Kepolisian sendiri. Banyaknya prosedur dan persyaratan serta organ Polri yang memiliki wewenang untuk menerbitkan izin kepemilikan senjata api, seringkali menghambat aktivitas dari pemohon izin senjata api. Kejelasan tujuan kepemilikan senjata api merupakan pertimbangan yang yang membuat Polri tidak tergesa-gesa diberikan izin kepemilikan senjata api.


(2)

GRANTING PERMISSION OF FIREARMS OWNERSHIP FOR CIVIL SOCIETY BY LAMPUNG POLICE DEPARTMENT

By Ridho Cornadi

Firearms are goods that are very dangerous if misused use for the possession of firearms must have a special permit. In the context of supervision and control over the possession and use of firearms, then the people who own guns are required to obtain a permit from the Police Department in accordance with the laws and regulations. The problem in this study is how granting permission for the possession of firearms civilians by Police Department and whether that be a limiting factor in the granting of licenses to possess weapons for civil society.

The approach used is a problem juridical normative and empirical jurisdiction. The data used are primary and secondary data. Data that has been processed and then presented in narrative form, then interpreted or construed to be discussed and analyzed qualitatively, and then further drawn to a conclusion.

Based on the results of research and discussion note that possession of firearms permits for civil society is the absolute authority of the Police who regulated in Law Number 8 Year 1948 on Registration and Licensing issued Firearms Ownership. To have such permission must first ask for a recommendation from the intelligence apparatus of the provincial police headquarters where the applicant is registered with the attached conditions specified. If all requirements have been met, then granting a firearms license signed by the Chief of Police. If after getting permission but the owner of a firearm in violation of the provisions of possession of firearms, the licensee may be imposed administrative sanctions such as a warning or revocation of a license may also possession of firearms. Inhibiting factors in possession of firearms licensing process for civil society is of its own Police Department. Many procedures and requirements as well as the organs of the police have the authority to issue licenses to possession of firearms, often inhibits the activity of a firearm license applicant. Clarity of purpose gun ownership is a consideration that the police do not make haste granted permission possession of firearms.


(3)

(4)

(5)

Penulis dilahirkan di KotaBandar Lampung pada tanggal 19 februari 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kusnadi Budianto dan Ibu Riana Mustikawati.

Penulis mengawali pendidikannya di taman kanak-kanak (TK) Kartika II Tahun 1998. Melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) Kartika II-5Bandar Lampung Tahun 2004, Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah Pertama Negeri (SMPN) 23 di Bandar Lampung dan tamat di tahun 2007,Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 Bandar Lampung dan tamat pada Tahun 2010.

Pada Tahun 2010 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kemudian pada tahun 2014 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(6)

“Sesungguhnya kedewasaan yang indah akan menjadikan anak

muda yang anggun sepanjang hidupmu ”


(7)

Bismillahirrohmannirrohim.

Sujud syukur ku sebagai hamba yang lemah kepada Alloh SWT atas semua nikmat dan karunia-Mu.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan ini kepada Ayah dan ibuku tercinta yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, berjuang dan berdoa demi keberhasilan anak-anaknya. Kakak dan adik dan keluarga

yang memberiakan motivasi dan doa yang selalu menyertai Trimakasih.

Kepada para sahabat yang selalu berbagi suka dan duka dalam menjalani kehidupan ini Trimakasih


(8)

Puji syukur kehadirat Alloh SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “ Pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipiloleh kepolisian daerah Lampung “.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna mengingat keterbatasan penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Adminitrasi negara yang telah banyak membantu penulis.

3. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H.,selaku Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu, memberikan saran, serta kesabarannya dalam membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini

4. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktu, memberikan saran, serta kesabarannya dalam membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini;


(9)

demi baiknya penulisan skripsi ini;

6. Ibu Marlia Eka P, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang senantiasa memberikan saran dan masukan demi baiknya penulisan skripsi ini;

7. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan bantuannya selama ini.

9. BapakAKP Hermawan, Kepala Staf Urusan Pelayanan Adminitrasi Senjata Api dan Bahan Peledak Baintelkam Polda Lampung selaku responden yang telah memberikan informasi dan ilmudalam penulisan skripsi ini.

10. Ayah dan ibuku tercinta yang senantiasa berdoa, berjuang, memberikan semangat dan berdoa demi keberhasilan masa depan anaknya.

11. Saudariku Nadia Salsabila, Saudara-saudariku lainya Beserta Keluarga Besar terima kasih atas dukungan semangat, doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

12. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, kususanya bagian Hukum Adminitrasi negara yang telah memberikan banyak ilmu


(10)

studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung .

13. Sahabat serta teman seperjuanganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung Kamal, Willy, Sueng, Erik, Novan, Amek, Aryo, Sarwo, Dimas, Itqoh, Silva, Vinda, Sisi, Gusti, Melia, Ryan kiting, Alpin, Sudi, Icat, Ijal , Anggi, Marison, Sandy, Dicky, Terry,Jana, Dani, Aldi, feby ,imam, mam,Seto ,Niko, Moh, Rommy, zevina, olla, Thomson ,Pajril, david,Ario dan rekan-rekanangkatan 2010 yang tak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas semua bantuanya.

14. Adik-adik Angkatan 2011, 2012, dan 2013 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas bantuan serta kebersamaanya . 15. Teman-teman sekaligus keluarga baru dan pengalaman baru KKN (kuliah

kerja nyata) Bang Hadi, Bang Adi, Mba Serly, Mba Tamy, Mba Yusi, Mba Ayi, Atode, Farah, Dian, Dewi, Hanny, Ayas , Bapak Ngatimin serta Ibu, serta warga dan kepala Desa SriRahayu kec,Banyumas kab Pringsewu.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materil selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis sangat berterima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini, penulis berdoa semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Alloh SWT.


(11)

Bandar Lampung, 15 Agustus2014 Penulis,


(12)

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

RIWAYAT HIDUP... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perizinan ... 9

2.1.1 Pengertian Perizinan ... 9

2.1.2 Jenis dan Bentuk Izin ... 11

2.1.3 Unsur-unsur Perizinan... 13

2.1.4 Pihak-Pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin... 17

2.2 Pengertian Senjata Api ... 22

2.3 Pemberian izin Pemilikan Senjata Api oleh Polri ... 26

2.4 Kepemilikan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Masalah ... 38

3.2 Sumber dan Jenis Data ... 38

3.3 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39


(13)

4.2 Faktor Penghambat Dalam Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil Oleh Kepolisian Daerah Lampung... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 63 5.2 Saran ... 64


(14)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada zaman modern sekarang ini, pertumbuhan dan perkembangan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu karena didukung oleh derasnya arus informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa pengaruh langsung terhadap pandangan hidup manusia, yang akhirnya dapat merubah cara hidup manusia. Salah satu penemuan manusia di bidang ilmu pengetahuan adalah senjata api. Saat ini senjata api bukan lagi sekedar alat untuk membunuh musuh di medan tempur, tetapi benda ini sudah menjadi bagian alat olah raga, bahkan bagi sebagian kalangan, benda ini sudah menjadi bagian alat untuk menikmati gaya hidup mereka melalui hobi berburu.

Senjata api diartikan sebagai setiap alat, baik yang sudah terpasang ataupun yang belum, yang dapat dioperasikan atau yang tidak lengkap, yang dirancang atau diubah, atau yang dapat diubah dengan mudah agar mengeluarkan proyektil akibat perkembangan gas-gas yang dihasilkan dari


(15)

penyalaan bahan yang mudah terbakar didalam alat tersebut, dan termasuk perlengkapan tambahan yang dirancang atau dimaksudkan untuk dipasang pada alat demikian.1

Di Indonesia penyalahgunaan senjata api yang sering terjadi belakangan ini diperkirakan menggunakan senjata api yang masuk secara ilegal ke Indonesia dan tidak mempunyai izin kepemilikan resmi dari Mabes POLRI. Untuk itu kewenangan untuk penerbitan izin, pengawasan, dan pengendalian senjata api olahraga oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan guna mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan senjata api.

Senjata api digunakan bukan saja untuk kepentingan militer, saat ini senjata api banyak duginakan untuk kepentinga pribadi seperti bela diri ataupun untuk kegiatan olah raga. Senjata api untuk kepentingan olahraga diperlukan dalam mendukung peningkatan prestasi olahraga menembak, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban melakukan pengawasan dan pengendalian secara administrasi dan fisik terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api olahraga. Dalam rangka pengawasan dan pengendalian baik secara administrasi dan fisik terhadap kepemilikan danpenggunaan senjata api olahraga, maka atlet menembak yang memiliki senjata api wajib mendapatkan izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

1


(16)

Hingga pertengahan tahun 2013 saja sebanyak 18.000 pucuk senjata api dimiliki perorangan di Indonesia. Jenis senjata api sekitar 5.000 pucuk, gas atau hampa 3.000 pucuk dan terbanyak jenis peluru karet mencapai 11.000 pucuk.2 Walaupun senjata tersebut dimiliki secara legal, tetap saja memiliki potensi negatif yang cukup membahayakan bagi keamanan negara. Bayangkan apabila senjata tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk mengacaukan keamanan negara. Karena dengan diperbolehkannya kepemilikan senjata api secara legal kepada seorang sipil, akan mempunyai dampak yang riskan dan bisa jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab.

Secara logika, seseorang yang memegang senjata api bisa mengancam orang lain hanya dengan mengacungkan senjatanya. Seseorang bisa dengan mudah melukai orang lain menggunakan senjata api yang yang dipegangnya. Alasan itulah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa kepemilikan senjata api perlu diatur oleh negara. Maka pengaturan senjata api secara umum telah dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 yang bersifat pidana dan mengenai perijinan kepemilikan senjata api secara legal diatur administrasinya dalam Pasal 1 yang menyatakan “Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,

2

Karimun,Ada 18 Ribu Senjata Api Milik Perorangan, Artikel, http://www.tempointeraktif.com, Diakses 21 Januari 2013 23.00 WIB.


(17)

mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”

Atas alasan tersebutlah kepemilikan senjata api harus memiliki ijin khusus adalah karena senjata api merupakan alat yang sangat berbahaya, tidak sembarangan untuk memperdagangkan ataupun memilikinya, harus mendapatkan ijin khusus dan langsung dari Kapolri. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api pada Pasal 9 dinyatakan, bahwa setiap orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang memakai dan memiliki senjata api harus mempunyai izin pemakaian senjata api, intinya adalah setiap orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang menjual, memakai dan memiliki senjata api harus mempunyai izin khusus dikarenakan senjata api merupakan barang yang sangat berbahaya jika di salah gunakan.

Penggunaan senjata api di kalangan masyarakat sipil setidaknya disebabkan beberapa hal seperti kurangnya rasa keamanan yang dirasakan masyarakat. Rasa aman tidak cukup didapat hanya dengan adanya perangkat hukum. Sehingga masyarakat merasa perlu untuk mengamankan dirinya sendiri dari segala ancaman marabahaya yang bisa muncul. Alasan lain bagi masyarakat sipil memiliki senjata adalah karena proses kepemilikan tersebut bisa dilakukan dengan proses yang relatif mudah. Tercatat sejak awal tahun 2012, sekitar 18.030 izin kepemilikan senjata api dikeluarkan untuk warga sipil.


(18)

Tercatat pihak Kepolisian telah mengeluarkan 41.269 surat izin kepemilikan senjata api non organik ke masyarakat. Senjata tersebut terdiri dari senjata api dengan peluru tajam, karet dan gas. Senjata api non organik yang diberikan izin ke masyarakat 2000-2011 sebanyak 41.269, berupa senjata api peluru tajam 25.301 pucuk, peluru karet 10.158 pucuk, gas 5.810 pucuk.3

Adapun senjata-senjata yang boleh dimiliki oleh masyarakat sipil antara lain adalah: senjata genggam berpeluru karet dan senjata genggam gas, hanya kaliber 22 dan kaliber 33 yang bisa dikeluarkan izinnya. Untuk senjata bahu (laras panjang) hanya dengan kaliber 12 GA dan kaliber 22. (jumlah maksimum dapat memiliki dua pucuk per orang). Senjata api berpeluru karet atau gas (IKHSA), dengan jenis senjata api antara lain adalah Revolver, kaliber 22/25/32, dan Senjata bahuShortgunkaliber 12mm. Sedangkan untuk kepentingan bela diri seseorang hanya boleh memiliki senjata api genggam jenis Revolver dengan kaliber 32/25/22, atau senjata api bahu jenis Shotgun kaliber 12 mm dan untuk Izin Khusus Senjata Api (IKHSA) adalah jenis yakniHunter 006danHunter 007.

Pengaturan perijinan kepemilikan senjata api belum relevan dalam mengendalikan peredaranya di Indonesia karena minimnya sanksi, di samping itu aturan mengenai senjata api merupakan aturan yang lama, hanya berupa surat keputusan Kapolri. Kurangnya sosialisasi juga merupakan salah satu faktor dalam tidak relevanya dalam mengendalikan peredaran senjata api

3


(19)

di Indonesia ditinjau dari kasus-kasus yang masih sering terjadi dikalangan masyarakat yang masih menyalahgunakan senjata api dan memperdagangan senjta api secara ilegal. Penyelewengan penggunaan senjata api ini seharusnya menjadi perhatian untuk memperketat perijinan kepemilikan senjata api.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul “Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil Oleh Kepolisian Daerah Lampung”.

1.2 Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1.2.1 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah :

a. Bagaimanakah pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung?

1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:

a. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil dan kendala dalam proses pemberian izin.


(20)

b. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Kantor Kepolisian Daerah Lampung.

c. Dalam lingkup bidang ilmu adalah lingkup Hukum Administrasi Negara khususnya dalam bidang perizinan.

1.3 Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pemberian izin kepemilikan senjata api bagi

masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum administrasi negara, khususnya mengenai pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan perbendaharaan literatur dan menambah khasanah dunia kepustakaan,


(21)

sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan kajian dan penelitian selanjutnya dengan pokok bahasan yang berkaitan satu sama lainnya.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai masukan kepada instansi-instansi terkait dalam bidang pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil.

b. Sebagai tambahan informasi bagi instansi dan pihak-pihak terkait dengan pemberian izin kepemilikan senjata api untuk masyarakat sipil. c. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas

tentang pengaturan pemberian izin kepemilikan senjata api untuk masyarakat sipil oleh Kepolisian.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perizinan

2.1.1 Pengertian Perizinan

Tidaklah mudah memberikan defenisi apa yang dimaksud dengan izin, di dalam kamus hukum, izin (vergunning), dijelaskan sebagai : pernyataan mengabulkan (tiada melarang dan sebagainya) persetujuan membolehkan. Sedangkan menurut Ateng Syafarudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyartan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentran peraturan perudang-undangan4.

E. Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan, tetapi masih juga

4

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm 45.


(23)

memperkenankan perbuatan tersebut bersifat izin (Vergunning). Izin dalam arti luas berarti suatu peristiwa dari penguasa berdasarkan Peraturan Perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.5

Izin dalam arti luas ialah suatu persetujuan dari pengguna berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentan larangan perundang-undangan. Dengan memberikan izin penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.6

Izin dalam arti sempit adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya. Hal yang pokok ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan diteliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenaan dalam

keadaan-5

Ridwan H.R.,Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 207

6

Ateng Syafrudin, Perizinan untuk Berbagai Kegiatan, Makalah Tidak Dipublikasikan, 2012, hlm.1.


(24)

keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu.

Berdasarkan pemaparan pendapat di atas, maka dapat diketahui bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk ditetapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Meskipun antara izin dan konsesi dianggap sama, dengan perbedaan yang relatif, tetapi terdapat perbedaan karakter hukum. Dalam izin tidak mungkin diadakan perjanjian, karena tidak mungkin diadakan suatu persesuaian kehendak. Dalam konsesi biasanya diadakan suatu perjanjian, yakni perjanjian yang mempunyai sifat sendiri dan yang tidak diatur oleh seluruh peraturan mengenai hukum perjanjian.

2.1.2 Jenis dan Bentuk Izin

Menurut Amrah Muslimin, bahwa izin tersebut dibaginya ke dalam tiga bahagian bentuk perizinan(vergunning)yaitu :7

a. Lisensi, ini merupakan izin yang sebenarnya (Deiegenlyke). Dasar pemikiran mengadakan penetapan yang merupakan lisensi ini ialah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di bawah pengawasan pemerintah, untuk mengadakan penertiban. Umpamanya : Izin perusahaan bioskop.

b. Dispensasi, ini adalah suatu pengecualian dari ketentuan umum, dalam hal mana pembuat undang-undang sebenamya dalam prinsipnya tidak berniat mengadakan pengecualiaan.

7

Adrian Sutedi,Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta. 2010, hlm 25


(25)

c. Konsesi, disini pemerintah menginginkan sendiri clan menganjurkan adanya usaha-usaha ;ndustri gula atau pupuk dengan memberikan fasilitas-fasilitas kewenangan kewajiban. Contoh,: Konsesi pengobatan minyak bumi

Konsesi perkebunan tebu untuk industri gula. Tujuan pemberian izin tersebut adalah dalam rangka untuk menjaga agar jangan terjadi tugas secara liar atau tugas dokter secara liar, sebab dokter yang bertugas tanpa izin adalah merupakan praktek dokter secara liar, sebab tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang.8 Atau dengan kata lain untuk menghindari dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi yang dapat menimbulkan keresahan kepada masyarakat atau dapat merugikan kepentingan orang lain dengan tanpa hak atau secara tidak syah yang ditetapkan berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.

Jadi izin adalah merupakan ketetapan pemerintah untuk menetapkan atau melakukan sesuatu perbuatan yang dibenarkan oleh undang-undang, atau peraturan yang berlaku untuk itu. Sedangkan bentuk izin adalah :

a. Secara tertulis

Bentuk izin secara tertulis rnerupakan suatu bentuk perizinan yang diberikan oleh pemerintah oleh suatu instansi yang berwenang sesuai izin yang dimintakan, serta penuangan pemberian izin diberikan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang di instansi tersebut.

8


(26)

b. Dengan Lisan.

Bentuk izin secara lisan dapat ditemukan dalarn hal pengeluaran pendapat di muka umum. Bentuk izin dengan lisan pada dasarnya hanya dilakukan oleh suatu organisasi untuk melakukan aktivitasnya serta melaporkan aktivitasnya tersebut kepada instansi yang berwenang. Bentuk izin dengan lisan ini hanya berfungsi sebagai suatu bentuk pelaporan semata.

2.1.3 Unsur-unsur Perizinan

Izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Pengertian ini mengandung beberapa unsur dalam perizinan yaitu :

a. Instrumen Yuridis

Berkaitan dengan tugas negara, terdapat perbedaan antara tugas dari negara hukum klasik dan tugas negara hukum modern terutama dalam melaksanakan tugasnya, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Negara Hukum Klasik

Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas negara hukum klasik.

2) Negara Hukum Modern

Tugas dan kewenangan pemerintah dalam negara hukum modern tidak hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum.


(27)

Pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, diberi wewenang dalam bidang pengaturan dengan instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa konkrit. Instrumen tersebut adalah dalam bentuk ketetapan (Beschikking). Beschikking adalah instrumen hukum utama dalam penyelenggaraan pemerintah. Salah satu bentuk ketetapan adalah izin. Sesuai dengan jenis-jenis beschikking izin termasuk ketetapan konstitutif, yang merupakan ketetapan yang menimbulkan hak baru untuk adresat dalam izin tersebut. Izin disebut pula sebagai ketetapan yang memperkenankan yang sebelumnya tidak diperbolehkan.

b. Peraturan Perundang-undangan

Salah satu prinsip dari negara hukum adalah pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya setiap tindakan hukum pemerintah dalam menjalankan fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan dan penegakan hukum positif memerlukan wewenang, karena wewenang dapat melahirkan suatu intrumen yuridis, namun yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah izin yang diterbitkan harus berdasarkan wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku (legalitas). Penerimaan kewenangan tersebut adalah pemerintah atau organ pemerintah, dari presiden sampai dengan lurah. Kewenangan pemerintah dalam menerbitkan izin bersifat kewenangan bebas, artinya pemerintah diberi


(28)

kewenangan memberi pertimbangan atas dasar inisiatif sendiri. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh:

1) Kondisi-kondisi dari pemohon yang dimungkinkan untuk dikeluarkan suatu izin

2) Cara pertimbangan kondisi-kondisi yang ada

3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul dari akibat penolakan atau pemberian izin dikaitkan dengan pembatasan perundang-undangan 4) Prosedur yang harus dilakukan pada saat dan sesudah keputusan

diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian izin.

c. Organ Pemerintahan

Organ pemerintah adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan beschikking, termasuk izin, organ pemerintah yang dimaksud adalah organ yang menjalankan tugas, yaitu ditingkat pusat sampai yang paling dasar. Banyaknya organ pemerintah yang memiliki wewenang untuk menerbitkan izin, seringkali menghambat aktivitas dari pemohon izin. Hal tersebut terjadi karena keputusan yang dibuat oleh organ pemerintah tersebut memakan waktu yang panjang, yang dapat merugikan pemohon izin. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya diperlukan deregulasi dan debirokratisasi dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasan tersebut adalah :

1) Deregulasi dan debirokratisasi tersebut tidak menghilangkan esensi dari sistem perizinan tersebut.

2) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis, administrasif dan finansial.


(29)

3) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan prinsip dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perizinan.

4) Deregulasi dan debirokratisasi harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang layak (Good Corporate Governance).

d. Peristiwa Konkrit

Izin sebagai salah satu jenis dari beschikking memiliki bentuk dan sifat yaitu :9

1) Konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.

2) Individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. 3) Final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat

hukum.

Peristiwa konkrit adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu dan fakta hukum tertentu. Peristiwa konkrit yang dimohonkan izinnya sangat beragam dan dalam peristiwa konkrit dapat diterbitkan atau diperlukan beberapa izin, berdasarkan proses dan prosedurnya tergantung dari pemberi wewenang izin, macam izin serta struktur organisasi, organ pemerintah yang berwenang menerbitkan izin. Berkaitan dengan wewenang organ pemerintah dengan peristiwa konkrit, kewenangan

9

C.S.T. Kancil,Kitab Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003, hlm. 15


(30)

tersebut diberikan untuk tujuan yang konkrit yang didasarkan pada aspek yuridis perizinan yang meliputi10:

1) Larangan untuk melakukan aktivitas tanpa izin. Larangan dirumuskan dalam norma larangan bukan norma perintah, maka pelanggaran atas larangan itu dikaitkan dengan sanksi administrasi, pidana dan perdata. 2) Wewenang untuk memberi izin.

e. Prosedur dan Persyaratan

Pengajuan izin oleh pihak pemohon izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh organ pemerintah yang berkaitan secara sepihak, persyaratan untuk memperoleh izin, memiliki 2 sifat, yaitu: 1) Konstitutif, terdapat perbuatan atau tingkah laku tertentu (perbuatan

konkrit) yang harus dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi.

2) Kondisional, penilaian dari suatu peristiwa yang akan diterbitkan izin dapat terlihat dan dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan terjadi.

2.1.4 Pihak-Pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin

Secara langsung pada bagian ini dapat dikatakan pihak yang berwenang mengeluarkan izin tersebut adalah Pemerintah. Hanya saja dalam hal yang dernikian harus dapat dilihat izin yang bagaimnakah yang dimohonkan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian akan dapat diketahui instansi pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin tersebut. Misalnya izin


(31)

keramaian atau izin mengeluarkan pendapat di muka umum, maka izin tersebut di dapatkan rnelalui kepolisian setempat dimana keramaian akan dlalcukan. Dalam kajian pihak-pihak yang berwenang mengeluarkan izin maka dasarnya yang perlu dikaji adalah kedudukan aparatur pemerintah yang melakukan tugasnya di bidang administrasi negara pemberian izin kepada masyarakat.

Agar aparatur pemerintah sebagai bagian dari unsur administrasi negara dapat melaksanakan fungsinya, maka kepadanya harus diberikan keleluasaan. Keleluasaan ini langsung diberikan oleh undang-undang itu sendiri kepada penguasa setempat. Hal seperti ini biasanya disebut dengan kekeluasaan delegasi kepada pemerintah seperti Gubenur, Bupati/Walikota untuk bertindak atas dasar hukum dan atau dasar kebijaksanaan. Di samping keleluasaan tali, kepada aparatur pemerintah selaku pelaksana fungsi dalam administrasi negara juga diberikan suatu pembatasan agar pelaksanaan perbuatan-perbuatannya itu tidak menjadi apa yang disebut sebagai "onrechtmatig overheaddaat". Setidaknya perbuatan itu tidak boleh melawan hukum balk formil maupun materiil. Tidak boleh melampaui penyelewengan-kewenangan menurut undang-undang (kompetentie).

Adapun bentuk-bentuk dari perbuatan administrasi negara/Pemerintah itu dalam bentuk memberikan izin secara garis besar dapat dibagi atas :

1. Perbuatan membuat peraturan 2. Perbuatan melaksanakan peraturan.


(32)

Sementara itu menurut Van Poelje perbuatan administrasi negara/Pemerintah itu adalah sebagai berikut:11

a. Berdasarkan faktor (Feitlijke handeling). b. Berdasarkan hukum (recht handeling).

1) Perbuatan hukum privat.

2) Perbuatan hukum publik, yang kemudian perbuatan ini dapat dibagi atas :

a) Perbuatan hukum publik yang sepihak

b) Perbuatan hukum publik yang berbagai pihak.

Kemudian Amrah Muslimin mengatakan bahwa dalam bidang eksekutif ada 2 (dua) macam tindakan/perbuatan administrasi negara/pemerintah, yakni : a. Tindakan-tindakan/perbuatan-perbuatan yang secara tidak langsung

menimbulkan akibat-akibat hukurn.

b. Tindakan-tindakan/perbuatan-perbuatan yang secara langsung menimbulkan akibat-akibat hukum.

Pendapat lain tentang perbuatan hukum dari administrasi negara ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Prajudi Admosudirjo. Menurutnya perbuatan itu dibagi ke dalam 4 (empat) macam perbuatan hukum administrasi negara, yakni :12

a. Penetapan (beschiking, administrative dicretion).

Sebagai perbuatan sepihak yang bersifat administrasi negara dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang dan berwajib

11

Victor Situmorang, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1989. hlm 4

12


(33)

khusus untuk itu. Perbuatan hukum tersebut hams sepihak (eenzijdig) dan harus bersifat administrasi negara. Artinya realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan undang-undang secara nyata kasual, individual.

b. Rencana (Planning).

Salah satu bentuk dari perbuatan hukum Administrasi Negara yang menciptakan hubungan-hubungan hulcuin (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.

c. Norma jabatan (Concrete Normgeving).

Merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) dari penguasa administrasi negara untuk membuat agar supaya suatu ketentuan undangundang mempunyai isi yang konkret dan praktis serta dapat diterapkan menurut keadaan waktu dan tempat.

d. Legislasi Semu (Pseudo Weigeving).

Adalah pencipataan dari aturan-aturan hukum oleh pejabat administrasi negara yang berwenang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman pelaksanaan policy (kebijaksanaan suatu ketentuan undang-undang) akan seperti yang dikemukakan oleh Prajudi Admosudirjo. Menurutnya perbuatan dibagi ke dalam 4 (empat) macam perbuatan hukum administrasi negara, yakni :13

1) Penetapan (beschiking).

Sebagai perbuatan sepihak yang bersifat administrasi negara dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu. Perbuatan hukum tersebut harus sepihak

13


(34)

(eenzijdig) dan harus bersifat administrasi negara. Artinya realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan undang-undang secara nyata kasual, individual.

2) Rencana (Planning).

Salah satu bentuk dari perbuatan IIukum Administrasi Negara yang menciptakan hubungan-hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.

3) Norma jabatan (Concrete Normgeving).

Merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) dari penguasa administrasi negara untuk membuat agar supaya suatu ketentuan undang-undang mempunyai isi yang konkret dan praktis serta dapat diterapkan menurut keadaan waktu dan tempat.

4) Legislasi Semu (Pseudo Weigeving).

Adalah pencipataan dari aturan-aturan hukum oleh pejabat administrasi negara yang berwenang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman pelaksanaan policy (kebijaksanaan suatu ketentuan undang-undang) akan tetapi dipublikasikan secara meluas.

Memperhatikan batasan, ruing lingkup serta perbuatan-perbuatan dari Administrasi Negara di atas jelaslah bahwa Hukum Administrasi Negara itu adalah merupakan suatu perangkat ketentuan yang mernuat sekaligus memberikan cara bagaimana agar organ-organ di dalam suatu organisasi yang lazim disebut "negara" dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya demi terwujudnya suatu tujuan yang dikehendaki bersama. Dalarn praktek kehidupan sehari-hari acapkali kita tnenyebutkan bahwa peristiwa-peristiwa


(35)

pada saat kewenangan aparatur pemerintah itu direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu "Keputusan Pemerintah". Selanjutnya menurut Ilukum Administrasi Negara bahwa Pemerintah itu mempunyai tu.gas-tugas istimewa, yakni tugas yang dapat dirumuskan secara singkat sebagai suatu tugas "Penyelenggaraan Kepentingan Umum".

2.2 Pengertian Senjata Api

Senjata api (firearm) adalah senjata yang melepaskan satu atau lebih proyektil yang didorong dengan kecepatan tinggi oleh gas yang dihasilkan oleh pembakaran suatu propelan. Senjata api dahulu umumnya menggunakan bubuk hitam sebagai propelan, sedangkan senjata api modern kini menggunakan bubuk nirasap, cordite, atau propelan lainnya. Kebanyakan senjata api modern menggunakan laras melingkar untuk memberikan efek putaran pada proyektil untuk menambah kestabilan lintasan.14

Senjata api diartikan sebagai setiap alat, baik yang sudah terpasang ataupun yang belum, yang dapat dioperasikan atau yang tidak lengkap, yang dirancang atau diubah, atau yang dapat diubah dengan mudah agar mengeluarkan proyektil akibat perkembangan gas-gas yang dihasilkan dari penyalaan bahan yang mudah terbakar didalam alat tersebut, dan termasuk perlengkapan tambahan yang dirancang atau dimaksudkan untuk dipasang pada alat demikian. Menurut Ordonansi Senjata Api tahun 1939 jo UU Darurat No. 12 Tahun 1951, senjata api termasuk juga :

1. Bagian-bagian dari senjata api

14


(36)

2. Meriam-meriam dan vylamen werpers (penyembur api) termasuk bagiannya

3. Senjata-senjata tekanan udara dan tekanan per dengan tanpa mengindahkan kalibernya

4. Slachtpistolen(pistol penyembeli/pemotong) 5. Sein pistolen(pistol isyarat)

6. Senjata api imitasi seperti alarm pistolen (pistol tanda bahaya), start revolvers (revolver perlombaan), shijndood pistolen (pistol suar), schijndood revolvers(revolver suar) dan benda-benda lainnya yang sejenis itu, yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau menakuti, begitu pula bagian-bagiannya.

Bila ingin memasukkan senjata api, maka harus memiliki :

1. Izin dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan mencantumkan identitas, jumlah dan jenis senjata api, negara penjual, jangka waktu pemasukan, pelabuhan pemasukan, dll. Izin ini akan dikeluarkan berlaku selama 6 bulan, dan apabila realisasi impor tidak dipenuhi dalam jangka waktu tersebut, maka izin tersebut bisa diperpanjang.

2. Angka Pengenal Importir (API) dari Departemen Perdagangan

3. Nomor Identitas Importir dari Ditjen Bea dan Cukai (untuk perusahaan) 4. Bila anda perseorangan , maka syaratnya :

a. Kepentingan bela diri

1) Izin hanya untuk membela drii dari ancaman yang dapat membahayakan jiwa


(37)

2) Dibatasi hanya untuk 1 senjata api dari berbagi jenis dan kaliber NON STANDAR TNI/POLRI dengan amunisi sebanyak 1 magazine saja.

3) Izin dapat dicabut atau tidak diperbaharui bilamana alasan tersebut sudah tidak sesuai lagi.

b. Kepentingan Olahraga

1) Izin hanya untuk olahraga menembak sasaran (target shooting) dan atau berburu.

2) Dibatasi hanya untuk senjata api khusus buat olahraga dan bukan berasal dari senjata api lain yang telah dirombak.

3) Olahragawan wajib menjadi anggota Persatuan Olahraga menembak atau berburu yang telah mendapatkan pengesahan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

4) Wajib disertai rekomendasi dari persatuan olahraga.

5) Izin untuk olahragawan menembak sasaran, amunisi dibatasi pada satu senjata api dan semata-mata untuk setiap jenis mata lomba (event).

6) Izin untuk olahragawan berburu, amunisi dibatasi pada satu senjata api yang khusus digunakan untuk memburu binatang yang diizinkan sesuai dengan akta berburu atau izin berburu.

7) Izin sewaktu-waktu dapat dicabut dan tidak dapat diperbaharui bilaman olahragawan tersebut sudah pensiun dari kegiatannya. 8) Pengurus persatuan olahraga ikut bertanggung jawab atas senjata


(38)

c. Koleksi

1. Izin dibatasi pada senjata api antik atau senjata api lainnya yang mempunyai arti khusus bagi si kolektor

2. Senjata api dibuat menjadi tidak berfungsi dengan diambil pasak dan pegas pemalunya atau peralatan vital lainnya dan wajib diserahkan kepada pihak kepolisian yang memberikan izin

3. Senjata api tidak dapat digunakan untuk tujuan lain kecuali koleksi semata

2. Untuk kepentingan kapal laut indonesia dan asing

a. Senjata api yang dapat diimpor adalah senjata api NON STANDAR TNI/POLRI

b. Jumlahnya dibatasi 1/3 dari kekuatan awak kapal dengan maksimum 10 pucuk dan amunisi sebanyak 3 magazyne untuk setiap senjata api c. Wajib melampirkan rekomendasi dari Direktorat Jenderal

Perhubungan Laut

d. Awak kapal laut asing bukan kapal perang yang berlabuh di Pelabuhan Indonesia, dilarang untuk membawa senjata api dan atau amunisinya ke darat

3. Senjata api perseorangan untuk membela diri, olahraga dan amunisinya berdasarkan pertimbangan keamanan dapat dikenakan wajib simpan pada komando-komando kepolisian

4. Menurut Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 Pasal 1 ayat 1, Barang siapa tanpa hak memasukkan ke Indonesia atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak,


(39)

dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun.

.

2.3 Pemberian izin Pemilikan Senjata Api oleh Polri

Bardasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, POLRI merupakan satu-satunya instansi yang berwenang mengeluarkan izin pemakaian senjata api. Berkaitan dengan Undang-Undang tersebut, maka POLRI mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan senjata api, salah satunya ialah kebijakan yang memperbolehkan masyarakat sipil untuk menguasai senjata api. Menurut pengertian dari kebijakan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka kebijakan dapat dikeluarkan oleh pelaksana administrasi Negara dalam menjalankan tugas pemerintahan. Pada bidang-bidang yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan yang diperlukan. Wewenang ini sesuai dengan tugas pokok kepolisian Republik Indonesia yang diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian.

Berdasarkan pasal ini maka kebijakan yang dikeluarkan oleh Kapolri akan mendukung fungsi dan tujuan POLRI yaitu terselenggaranya keamanan dan ketertiban masyarakat. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayan masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya POLRI mengeluarkan kebijakan


(40)

yang bersifat publik yang ditunjukan untuk masyarakat dan mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai penjelasan umum Undang-Undang Kepolisian menyebutkan bahwa tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian yaitu, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketika melakukan tindakan pencegahan ini, maka setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.

Kepolisian Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, memiliki tugas pokok yang diatur dalam Pasal 13 yaitu, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka menyelenggarakan tugas tersebut, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia juga diberi kewenangan-kewenangan yang salah satunya ialah untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,dan senjata tajam.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kapolri selaku pimpinan tertinggi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah kebijakan mengenai senjata api yang tertuang dalam Buku Petunjuk Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRI melaluai surat keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/82/II/2004. Kebijakan ini merupakan respon dari peraturan perundang-undangan terdahulu yang telah mengatur mengenai senjata api.


(41)

Dalam kebijakan initerdapat pula pasal yang membolehkan masyarakat sipil untuk dapat menguasai senjata api

Dikeluarkan kebijakan mengenai senjata api yang memperbolehkan masyarakat sipil untuk senjata api pada dasarnya dapat menimbulkan persoalan. Personal kebiakan tersebut ialah pertanyaan mengenai bagaimana sesuatu hal yang tadinya dilarang kemudian diperbolehkan kemudian dengan berbagai pertimbangan, diperbolehkan namun dibatasi. Pembatasan tersebut berupa harus dipenuhinya syarat-syarat tertentu sebelum memiliki senjata api, dan jenis-jenis senjata api yang boleh dimiliki. Pembatasan ini menurut penulis menunjukan hak diberikan oleh Polri kepada masyarakat sipil untuk memiliki senjata api tidak diberikan secara penuh.

Pembatasan ini dapat dilihat dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh KAPOLRI. Jenis senjata api yang boleh dikuasai masyaakat sipil hanya senjata yang bukan merupakan senjata organic TNI/POLRI dan tidak otomatis. Senjata tersebut biasanya memiliki kaliber yang lebih kecil dari kaliber 32. Senjata api yang diizinkan untuk dimiliki dalam rangka kepentingan bela diri adalah:

1. Senjata Api Genggam: a. Jenis : Pistol/Revolver b. Kaliber: 32/25/22 Inc

2. Senjata Api Bahu, Jenis : Shotgun kal 12 GA

Kebijakan ini juga dapat dipandang sebagai salah satu upaya yang bertujuan untuk mengimbangi kekurangan yang mungkin dimiliki POLRI dalam


(42)

menjalankan tugasnya, kekurangan ini terutama dalam hal keterbatasan jumlah personel. Dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat tidak mungkin dilakukan oleh polisi secara terus-menerus dan secara personal terhadap warga masyarakatnya. Hal yang demikian dapat menimbulkan pemikiran untuk memberikan alternatif perlindungan diri bagi warga yang menginginkannya. Salah satu sarana perlindungan diri tersebut ialah dengan memberikan izin bagi warga masyarakat sipil yang memenuhi syarat untuk dapat memiliki senjata api. Alasan lainnya ialah karena ini merupakan perintah dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, sehingga perlu dibuat kebijakan atau peraturan teknis dari instansi yang berwenang untuk mengatur lebih lanjut mengenai senjata api.

2.4 Kepemilikan dan Penggunaan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil

Tidak semua orang yang mengajukan permohonan kepemilikan senjata api akan dilegalisasi permohonannya. Ada kriteria khusus bagi pemohon yang ingin mengajukan perizinan kepemilikan senjata api. Pemohon harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Kepolisian Republik Indonesia atau Polri .Adapun Prosedur untuk Kepemilikan senjata api diantaranya sebagai berikut:15

1. Ketentuan:

a. Satuan Pengamatan (Satpam):

1) Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes RI tertentu yang dapat memiliki dan

15

Skep Kapolri No 82/II/2004 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendaliaan Senjata Api Non Organik TNI/Polri, hlm 11.


(43)

menggunakan senjata api dan amunisi untuk kepentingan Satpam adalah yang mempunyai sifat dan lingkup tugas serta resiko dari gangguan keamanan di lingkungan/kawasan kerjanya yang vital/penting.

2) Satpam yang dapat menggunakan senjata api dan amunisi yaitu : a) Sehat rohani dan jasmani.

b) Syarat umur minimal 21 tahun, maksimal 65 tahun.

c) Memiliki keterampilan dalam menggunakan senjata api dinyatakan telah mengikuti latihan kemahiran oleh Lemdik Polri. d) Menguasai peraturan perundang-undangan tentang Senjata Api. e) Ditunjuk oleh Pimpinan Instansi/Proyek atau Badan Usaha yang

bersangkutan.

f) Yang telah mendapatkan izin Penguasaan Pinjam Pakai Senjata api (Kartu Kuning) yang diterbitkan oleh Kapolda setempat. g) Memiliki SIUP berskala besar, bagi yang berskala menengah

dengan pertimbangan penilaian tingkat ancaman dan resiko dari tugas yang dihadapi.

3) Macam, jenis dan kaliber senjata api yang dapat dimiliki/digunakan oleh Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes Republik Indonesia tertentu untuk kepentingan Satpam, yaitu:

a) Senjata Api Bahu jenis Senapan kaliber 12 GA.

b) Senjata Api Genggam jenis Pistol/Revolver Kal. .32, .25 dan.22. c) Senjata peluru karet.


(44)

d) Senjata Gas Airmata. e) Senjata Kejutan Listrik.

4) Jumlah senjata api dan amunisi yang dapat dimiliki/digunakan untuk kepentingan Satpam, yaitu:

a) Senjata api yang dapat dimiliki/digunakan oleh Instansi Pemerintah, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta serta Kantor Kedubes RI tertentu untuk keperluan Satpam, dibatasi jumlahnya yaitu sepertiga dari kekuatan Satpam yang sedang menjalankan tugas pengamanan dengan ketentuan bahwa jumlah tersebut tidak boleh lebih dari 15 (lima belas) pucuk senjata api pada tiap-tiap unit.

b) Jumlah amunisi sebanyak 3 (tiga) magazen/silinder untuk tiap-tiap pucuk senjata api termasuk untuk cadanga.

5) Senjata api tersebut hanya dapat digunakan/ditembakkan pada saat menjalankan tugas Satpam dalam lingkungan tugas pekerjaannya yaitu guna:

a) Menghadapi gangguan situasi yang mengancam keamanan dan kelangsungan pekerjaan Instansi, Proyek Vital dan Perusahaan Swasta Nasional serta Kantor Kedubes RI tertentu yang dijaga olehnya.

b) Melindungi diri dan jiwanya dari ancaman fisik yang tak dapat dihindari lagi saat melaksanakan tugas/pengawalan diluar kawasan kerja dengan menggunakan surat izin penggunaan dan membawa senjata api.


(45)

c) Latihan menembak di lapangan/tempat latihan menembak.

Pejabat yang dizinkan untuk memiliki dan menggunakan senjata api untuk bela diri, harus:16

Memiliki kemampuan/keterampilan menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri. Sertifikat tersebut disahkan oleh Polri (Pejabat Polri yang ditunjuk) Mabes Polri/Polda. Memiliki keterampilan dalam merawat menyimpan dan mengamankannya sehingga terhindar dari penyalahgunaan. Memenuhi persyararan medis, psikologis dan persyaratan lain meliputi:

1) Syarat Medis: Sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata api, penglihatan normal dan syarat-syarat lain yang ditetapkan Dokter RS Polri/Polda. 2) Syarat psikologis: Tidak cepat gugup dan panik, tidak emosional/tidak

cepat marah, tidak psichopat dan syarat-syarat psikologis lainnya yang dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilaksanakan oleh Tim yang ditunjuk Biro Psikologi Polri/Polda.

3) Syarat Umur: minimal 24 tahun, maksimal 65 tahun.

4) Syarat Menembak: mempunyai kecakapan menembak dan telah lulus test menembak yan dilakukan oleh Polri.

5) SIUP besar/Akte Pendirian Perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai Pemilik Perusahaan/Ketua Organisasi).

6) Surat Keterangan Jabatan/Surat Keputusan Pimpinan.


(46)

7) Berkelakuan Baik (tidak/belum pernah terlibat dalam suatu kasus pidana) atau tidak memiliki Crime Record yang dibuktikan dengan SKCK.

8) Lulus screening yang dilaksanakan oleh DitIntelkam Polda. 9) Daftar riwayat hidup secara lengkap.

10) Pas Photo berwarna berlatar belakang merah ukuran 2x3, 4x6 = 5 lembar.

Senjata api yang diizinkan sebelum diserahkan kepada pemilik harus dilakukan identifikasi dan penelitian spesifikasi data teknis senajta dimaksud oleh Labforensik Polri, dan dinyatakan dengan surat keterangan hasil uji balikstik. Jumlah Senjata api dan amunisi, yang dapat dimiliki dan digunakan yaitu:

1) Senjata api yang dizinkan maksimal 2 (dua) pucuk.

2) Amunisi yang dapat diberikan maksimal sebanyak 50 (Lima puluh) butir untuk setiap pucuk Senjata api.

Senjata api yang diizinkan untuk bela diri tersebut hanya boleh ditembakkan: 1) Pada saat keadaan sangat terpaksa yang mengancam keselamatan jiwa/diri

dari ancaman fisik oleh pihak lain yang melawan hukum.

2) Pada saat pengujian, latihan menembak dan pertandingan resmi yang diselenggarakan oleh Instansi Kepolisian dengan izin Kapolri Cq. Kabaintelkam dan Direktur Intelkam Polda.

Senjata Api perorangan untuk olah raga menembak sasaran/target menembak reaksi dan oleh raga berburu. Penyelenggaraan Izin:

1. Ketentuan:


(47)

1) Setiap olahragawan atlet penembak, yang akan diberikan izin senjata api dan amunisi diwajibkan menjadi anggota Perbakin.

2) Anggota Perbakin yang dapat menggunakan senjata api dan amunisi, yaitu:

a) Sehat jasmani dan rohani.

b) Syarat umur : minimal 18 tahun, maksimal 65 tahun

c) Memiliki kemampuan/kemahiran dalam menguasai dan menggunakan senjata api serta mengetahui perundang-undangan senjata api, termasuk juga dalam hal merawat, penyimpanan dan pengamanannya.

d) Olahragawan atau atlek penembak yang telah melebihi batas usia maksimal, apabila masih aktif melakukan kegiatan olah raga pada waktu mengajukan permohonan pembaharuan agar melengkapi persyaratan Rekom PB Perbakin/Pengda, Keterangan Kesehatan dan Psikologi.

3) Macam, jenis, kaliber dan jumlah senjata api yang dapat dimiliki/gunakan, yaitu:

a) Senjata yang macam, jenis dan ukuan kalibernya ditentukan khusus dalam kejuaraan menembak sasaran/reaksi.

b) Jumlah senjata api yang dapat diberikan kepada setiap olahragawan menembak sasaran/reaksi, dibatasi maksimal 3 (tiga) pucuk untuk setiap eventi (jenis) yang dipertandingkan dalam olahraga menembak sasaran/reaksi.


(48)

4) Jumlah amunisi yang dapat diberikan sesuai kebutuhan untuk latihan dan pertandingan target/sasaran.

b. Senjata api untuk olah raga berburu.

1) Setiap olahragawan berburu, yang dakan diberikan izin senjata api dan amunisi diwajibkan menjadi anggota Perbakin.

2) Macam, jenis, kaliber dan jumlah senjata api yang dapat dimiliki/digunakan, yaitu:

a) Senjata api yang boleh dimiliki dan digunakan untuk kepentingan olahraga berburu, yaitu senjata api bahu yang diperuntukkan khusus untuk berburu.

b) Jumlah senjata api yang dapat dimiliki dan digunakan olahragawan berburu, dibatasi maksimal 8 (delapan) pucuk senjata api dari berbagai kaliber.

3) Senjata api yang dapat dimiliki dan digunakan oleh setiap olahragawan berburu, yaitu :

a) Senapan kecil dari kaliber .22 s.d. 270. b) Senapan sedang dari kaliber .30 s.d .375.

4) Macam, jenis, kaliber dan jumlah senjata api yang dapat dimiliki/gunakan, yaitu:

a) Peluru kaliber kecil dari kaliber .22 s.d kaliber .270, jumlah masing-masing kaliber 30 butir.

b) Peluru kaliber sedang dari kaliber .30 s.d kaliber .375, jumlah masing-masing kaliber 30 butir.


(49)

c) Peluru kaliber besar dari kaliber .40 ke atas, jumlah masing-masing kaliber 30 butir.

d) Peluru untuk laras licin dari kal 12 GA s/d 20 GA. 4)

Senjata api dan aminisi untuk olahraga berburu hanya dibenarkan untuk ditembakkan di lokasi berburu yang telah ditentukan, yaitu berdasarkan ketentuan dari Instansi Pemerintah yang berkompeten dan berwenang untuk hal tersebut serta izin penggunaan senjata api dari Polda dan Baintelkam Polri. Pada saat mambawa senjata api ditempat umum, pemilik harus mentaati ketentuan dalam membawa dan menggunakan senjata api, yakni:17 1) Senjata api harus dilengkapi dengan izin dari Kapolri.

2) Dalam membawa senjata api harus selalu melekat di badan.

3) Senjata api hanya dibenarkan dipakai atau ditembakkan pada saat keadaan terpaksa yang mengancam jiwanya.

4) Senjata api tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.

5) Dilarang menggunakan senpi untuk tindak kejahatan, menakut-nakuti, mengancam dan melakukan pemukulan dengan menggunakan gagang atau popor senjata. Tindak kejahatan yang dimaksud adalah segala macam tindakan yang melanggar hukum pidana. Pemukulan dengan menggunakan popor senjata juga tidak dipebolehkan dikarenakan bagian lain dari senjata api yang dapat melukai adalah popor senjata, jadi penggunaan popor senjata sebagai alat pemukul dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan senjata api.

17


(50)

6) Memiliki kemampuan merawat dan menyimpan senapan. Kemampuan merawat yakni pemohon harus mengetahui bagaimana memberikan pelumas untuk laras senapan, membongkar dan memasang kembali senapan. Sedangkan dalam penyimpanan senjata api, pemilik harus mengetahui tata cara penyimpanan yang baik untuk senapan.


(51)

3.1 Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada.

3.2 Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :

1. Data Sekunder

Data sekender adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara


(52)

membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,18yang terdiri antara lain.

Data sekunder terdiri dari antara lain: a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yang terdiri dari Literatur, Kamus, Makalah, surat kabar dan lain-lain.

2. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini.19 Wawancara dilakukan kepada narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) 3 (tiga) orang Anggota Kepolisian dari Satuan Intelkam Kepolisian Daerah Lampung.

2) 1 (satu) Anggota masyarakat yang telah memiliki Izin Kepemilikan Senajata Api.

18

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 56.


(53)

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan cara : a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Peneliti bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu pihak-pihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

3.3.2 Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:


(54)

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif. c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

3.4 Analisis Data

Analisis terhadap hasil penelitian merupakan usaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan. Dalam proses analisis ini rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya dianalisis secara kualitatif dan diberi pengertian berdasarkan kata-kata yang sesuai dengan apa yang ada dilapangan sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Hasil analisa dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu meneliti dari data dan fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara umum.


(55)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil salah satunya diatur dalam Skep Kapolri No. Pol. : Skep/82/II/2004 dan Peraturan Kapolri No. Pol.: 13/X/2006. Kewenangan perizinan ini mutlak ada pada Kepolisian yang dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada kepala satuan jajaran Polri. Untuk memiliki izin tersebut, peminat harus terlebih dahulu meminta rekomendasi dari aparat intelijen dari markas besar Polisi provinsi dimana pemohon tersebut tercatat yang dilampiri dengan SKCK yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat, surat keterangan pekerjaan, surat keterangan kesehatan dan kemampuan menembak. Semua dokumen tersebut kemudian diverifikasi dan dilakukan wawancara oleh aparat intelijen kepolisian provinsi. Apabila kesemua elemen persyaratan dianggap memenuhi, aparat intelijen tersebut lalu kemudian mengeluarkan surat rekomendasi untuk kemudian ditindaklanjuti oleh aparat intelijen di Mabes Polri. Pada tahapan ini, akan


(56)

dilakukan pengecekan ulang oleh kantor Pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak (WASSENDAK) Polri yang termasuk pengecekan ulang semua dokumen, test psikologis dan kemampuan menembak. Apabila semua unsur telah dipenuhi, barulah kemudian dilakukan uji balistik terhadap senjata yang ingin diberikan izin untuk kemudian diakhiri dengan pemberian izin memiliki senjata api yang ditandatangani oleh Kapolri.

2. Faktor penghambat dalam pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung adalah faktor dari Polri sendiri. Banyaknya prosedur dan persyaratan serta organ Polri yang memiliki wewenang untuk menerbitkan izin kepemilikan senjata api, seringkali menghambat aktivitas dari pemohon izin senjata api. Pengajuan izin oleh pihak pemohon izin senjata api harus menempuh syarat dan prosedur tertentu yang ditentukan oleh Polri yang berkaitan secara sepihak yang sering kali sulit dipenuhi oleh pemohon. Kejelasan tujuan dari kepemilikan senjata api merupakan pertimbangan yang yang membuat Polri tidak tergesa-gesa diberikan izin kepemilikan senjata api, sehingga mengakibatkan lambatnya proses pemberian izin.

5.2 Saran

1. Sejumlah peraturan yang mengatur tentang penggunaan senjata api dan bahan peledak oleh sipil dan militer merupakan produk kolonial. Jika dihadapkan dengan perkembangan senjata api dan bahan peledak itu


(57)

sendiri maupun kondisi sosial saat ini maka sudah saatnya peraturan perundang-undangan tersebut perlu dilakukan revisi.

2. Perlu peningkatan pengawasan intansi-instansi yang berwenang dalam memberikan izin penggunaan senjata api untuk kepentingan sipil.


(58)

A. Buku

Atmosudirjo, Slamet Prajudi. 1994. Hukum Administasi Negara. Ghalia. Indonesia, Jakarta.

Basah, Sjachran, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,Alumni, Bandung.

Kancil, C.S.T. 2003, Kitab Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pradnya Paramita, Jakarta.

Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Nugraha, Safri, et al., 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Depok.

Pudyatmoko, Y. Sri, 2009,Perizinan,Garsindo, Jakarta.

Ridwan H.R., 2006,Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Richard, Kincey, dan Baldwin Robert, 2002. Police Powers politic (Kewenangan

Polisi dan Politik), Cipta Manunggal, Jakarta.

Soekamto, Soerjono, 2010,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta. ________________, 1988, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remajda

Karya, Bandung.

Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta.

Syafrudin, Ateng, 2012, Perizinan untuk Berbagai Kegiatan, Makalah Tidak Dipublikasikan, Jakarta.

Warsito. Utomo Hadi H, 2005. Hukum Kepolisian di Indonesia, Penerbit Prestasi Jakarta.


(59)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga.

Skep Kapolri No 82/II/2004 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendaliaan Senjata Api Non Organik TNI/Polri.

C. Sumber Lain

http://sspustaka.blogspot.com, diakses 23 Januari 2014 http://www.tempointeraktif.com, diakses 21 Januari 2013. http://id.wikipedia.org, diakses 2 Desember 2013.

http://waspada.co.id, diakses 18 Februari 2014. http://lampung.tribunnews.com, diakses 22 Mei 2014.


(1)

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif. c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

3.4 Analisis Data

Analisis terhadap hasil penelitian merupakan usaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan. Dalam proses analisis ini rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya dianalisis secara kualitatif dan diberi pengertian berdasarkan kata-kata yang sesuai dengan apa yang ada dilapangan sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Hasil analisa dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu meneliti dari data dan fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara umum.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil salah satunya diatur dalam Skep Kapolri No. Pol. : Skep/82/II/2004 dan Peraturan Kapolri No. Pol.: 13/X/2006. Kewenangan perizinan ini mutlak ada pada Kepolisian yang dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada kepala satuan jajaran Polri. Untuk memiliki izin tersebut, peminat harus terlebih dahulu meminta rekomendasi dari aparat intelijen dari markas besar Polisi provinsi dimana pemohon tersebut tercatat yang dilampiri dengan SKCK yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat, surat keterangan pekerjaan, surat keterangan kesehatan dan kemampuan menembak. Semua dokumen tersebut kemudian diverifikasi dan dilakukan wawancara oleh aparat intelijen kepolisian provinsi. Apabila kesemua elemen persyaratan dianggap memenuhi, aparat intelijen tersebut lalu kemudian mengeluarkan surat rekomendasi untuk kemudian ditindaklanjuti oleh aparat intelijen di Mabes Polri. Pada tahapan ini, akan


(3)

dilakukan pengecekan ulang oleh kantor Pengawasan Senjata Api dan Bahan Peledak (WASSENDAK) Polri yang termasuk pengecekan ulang semua dokumen, test psikologis dan kemampuan menembak. Apabila semua unsur telah dipenuhi, barulah kemudian dilakukan uji balistik terhadap senjata yang ingin diberikan izin untuk kemudian diakhiri dengan pemberian izin memiliki senjata api yang ditandatangani oleh Kapolri.

2. Faktor penghambat dalam pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil oleh Kepolisian Daerah Lampung adalah faktor dari Polri sendiri. Banyaknya prosedur dan persyaratan serta organ Polri yang memiliki wewenang untuk menerbitkan izin kepemilikan senjata api, seringkali menghambat aktivitas dari pemohon izin senjata api. Pengajuan izin oleh pihak pemohon izin senjata api harus menempuh syarat dan prosedur tertentu yang ditentukan oleh Polri yang berkaitan secara sepihak yang sering kali sulit dipenuhi oleh pemohon. Kejelasan tujuan dari kepemilikan senjata api merupakan pertimbangan yang yang membuat Polri tidak tergesa-gesa diberikan izin kepemilikan senjata api, sehingga mengakibatkan lambatnya proses pemberian izin.

5.2 Saran

1. Sejumlah peraturan yang mengatur tentang penggunaan senjata api dan bahan peledak oleh sipil dan militer merupakan produk kolonial. Jika dihadapkan dengan perkembangan senjata api dan bahan peledak itu


(4)

65

sendiri maupun kondisi sosial saat ini maka sudah saatnya peraturan perundang-undangan tersebut perlu dilakukan revisi.

2. Perlu peningkatan pengawasan intansi-instansi yang berwenang dalam memberikan izin penggunaan senjata api untuk kepentingan sipil.


(5)

A. Buku

Atmosudirjo, Slamet Prajudi. 1994. Hukum Administasi Negara. Ghalia. Indonesia, Jakarta.

Basah, Sjachran, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,Alumni, Bandung.

Kancil, C.S.T. 2003, Kitab Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pradnya Paramita, Jakarta.

Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Nugraha, Safri, et al., 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Depok.

Pudyatmoko, Y. Sri, 2009,Perizinan,Garsindo, Jakarta.

Ridwan H.R., 2006,Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Richard, Kincey, dan Baldwin Robert, 2002. Police Powers politic (Kewenangan

Polisi dan Politik), Cipta Manunggal, Jakarta.

Soekamto, Soerjono, 2010,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta. ________________, 1988, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remajda

Karya, Bandung.

Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta.

Syafrudin, Ateng, 2012, Perizinan untuk Berbagai Kegiatan, Makalah Tidak Dipublikasikan, Jakarta.

Warsito. Utomo Hadi H, 2005. Hukum Kepolisian di Indonesia, Penerbit Prestasi Jakarta.


(6)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Olahraga.

Skep Kapolri No 82/II/2004 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendaliaan Senjata Api Non Organik TNI/Polri.

C. Sumber Lain

http://sspustaka.blogspot.com, diakses 23 Januari 2014 http://www.tempointeraktif.com, diakses 21 Januari 2013. http://id.wikipedia.org, diakses 2 Desember 2013.

http://waspada.co.id, diakses 18 Februari 2014. http://lampung.tribunnews.com, diakses 22 Mei 2014.


Dokumen yang terkait

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIF TERHADAP PERKARA PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP OLEH PERUSAHAAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

0 18 78

PENGAWASAN OLEH BPPLH KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PROPER) (Studi Pada Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampu

1 13 115

PENGAWASAN OLEH BPPLH KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PROPER) (Studi Pada Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampu

0 9 117

PENGAWASAN OLEH BPPLH KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PROPER)

0 13 51

KAJIAN PENGATURAN PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN (PROPER) SEBAGAI INSTRUMEN PENAATAN HUKUM LINGKUNGAN.

0 0 1

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 237 Tahun 2012 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2011-2012

1 1 70

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 349 Tahun 2013 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2012-2013

1 3 68

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 180 Tahun 2014 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2013-2014

1 16 119

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2010 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 0 5

PENGAWASAN OLEH BPPLH KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DALAM PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PERUSAHAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (PROPER) Adi Pangestu, Elman Eddy Patra, dan Satria Prayoga Program Studi Hukum Administra

0 3 9