commit to user
xxxvii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Dalam mengemukakan mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, maka penulis
mengetengahkan pemikiran dengan tata urutan sebagai berikut :
I. Sejarah Asas Pembalikan Beban Pembuktian
Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah
satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal
burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan
menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian
terbalik. Tetapi menurut Oemar SenoAdji adalah pergeseran Shifting of
burden proof bukan pembalikan beban pembuktian Reversal of burden of proof.
Makna Shifting of burden proof adalah suatu “pergeseran beban pembuktian” yang dianut oleh Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Oemar SenoAdji pada periode Undang - Undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban
pembuktian karena asas ini berpotensi bertentangan dan melanggar HAM, khususnya terhadap perlindungan hak – hak Terdakwa. Beban pembuktian
pada periode ini tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum.
Ide untuk memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik secara total dan absolut telah diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan
alasan tersebut di atas. Karenanya meskipun dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat perumusan bahwa Terdakwa dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi , namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan tindak pidan korupsi adalah di
commit to user
xxxviii tangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran
Shifting of burden proof bukanya suatu pembalikan beban pembuktian Reversal of burden of proof.
Begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu pergeseran saja, bukan pembalikan beban
pembuktian sehingga istilah yang populer dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Yang
Terbatas atau Berimbang. “Terbatas” karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolut terhadap semua
delik yang ada pada Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1999 . Sedangkan “berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak
pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karena Banyak pendapat bahwa implementasi asas pembalikan
beban pembuktian pada kedua produk perundang – undangan itu hanyalah gerakan simbolis yang tidak memiliki daya represi terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi.
II. Peraturan PerUndang-Undangan yang Mengatur Sistem Pembuktian
Terbalik. a.
Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 KAK 2003.
Pembalikan beban pembuktian diatur juga dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 KAK 2003
khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 53 huruf b KAK 2003. Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam
Pasal 31 ayat 8 ditujukan terhadap pembekuan freezing, perampasan seizure dan penyitaan confiscation dari pelaku tindak
pidana korupsi yang menyebutkan, bahwa: “States Parties may consider the possibility of requiring that an
offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that
such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other
proceedings.”
commit to user
xxxix Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi
dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang
diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-
prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Dari ketentuan KAK
2003 maka pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui jalur keperdataan civil procedure ini juga telah dipergunakan di
beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan
sebagainya.
Selain ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang
secara tegas menentukan, bahwa: ”Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk
mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan
berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh
kejahatan-kejahatan tersebut”
Pada dasarnya, ketentuan konteks di atas merupakan pembalikan beban pembuktian terhadap pengembalian aset asset recovery secara
langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat atau ketempatan custodial state memerintahkan kepada
pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat dari tindak pidana
korupsi tersebut. Prinsipnya, apabila dicermati lebih intens hakikatnya ketentuan pembalikan beban pembuktian ini menimbulkan
permasalahan krusial bagaimana mungkin akan diterapkan pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain
akibat dari tindak pidana korupsi tersebut jikalau pelaku offender tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan
kepadanya.
Eksistensi tentang strategi pengembalian aset ini secara eksplisit telah diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 yang menentukan,
commit to user
xl bahwa “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan
cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama
internasional dalam pengembalian aset.”
Apabila dianalisis ternyata ketentuan tersebut di atas berkaitan dengan landasan filosofis dalam mukadimah, para 3 KAK 2003
tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit
menentukan bahwa: “Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-
ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi
hukum”.
Ketentuan di atas apabila diperhatikan secara lebih seksama maka pada KAK 2003 pembalikan beban pembuktian sebenarnya dapat
dipergunakan melalui 2 dua jalur yaitu jalur kepidanaan criminal procedure maupun jalur keperdataan civil procedure khususnya
terhadap sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Hakikat dan dimensi gabungan criminal procedure
dan civil procedure telah banyak diterapkan beberapa negara. Redaksional kata “mewajibkan seorang pelanggar menerangkan
sumber yang sah dari tindak pidana”, maka prosedur yang dipakai adalah jalur kepidanaan criminal procedure. Begitupun sebaliknya
redaksional kata, “..atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan,” maka mensiratkan dimensi konteks tersebut di atas dapat
dipergunakan jalur keperdataan civil procedure. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap
kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya
tetap diperkenankan dan telah ada pula justifikasi teori yang
mendukungnya.
KAK 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui prosedural pembekuan freezing, perampasan seizure dan penyitaan
commit to user
xli confiscation dari pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat 8 maupun ketentuan Pasal 53 huruf b telah
dapat dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan Balanced Probability Principles dari
Oliver yaitu adanya keseimbangan teori probabilitas berimbang yang
diturunkan lowest balanced probability principles dalam hal kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi akan
tetapi tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi highest balanced probability principles dalam hal perampasan
kemerdekaan seseorang tersangka.
Dimensi ini dalam praktiknya untuk pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme keperdataan civil procedure telah
dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat sedangkan pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme kepidanaan
criminal procedure telah dilaksanakan oleh Negara Singapura berdasarkan Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act serta
Negara Hong Kong berdasarkan Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance. Selanjutnya, penggunaan kedua teori balanced
probability tersebut dalam Pasal 31 ayat 8 KAK 2003 khususnya dalam kalimat, “may”, yang bersifat non-mandatory obligation serta
kalimat, “demonstrate” maupun kalimat, “consistent with the prinsiples of ...domestic law”, yang menunjukkan bahwa ketentuan
pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan ICCPR yang menegaskan hak-hak sipil seseorang yang seharusnya dilindungi
secara penuh.
Dimensi dan asumsi konteks tersebut di atas maka jelaslah sudah ketentuan Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah
mempunyai justifikasi teoretis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan
dan penyitaan terhadap aset harta kekayaan dari pelaku maupun pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung.
b. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.
commit to user
xlii Dikaji dari aspek kebijakan legislasi dalam Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia terhadap pembalikan beban pembuktian sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur
pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perUndang-Undangan korupsi disebabkan perspektif kebijakan legislasi memandang
perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan
perangkat hukum yang luar biasa extra ordinary measures. Selanjutnya kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian
mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal
5 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isterisuami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”.
Substansi pasal
ini mewajibkan
tersangka memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka
tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.
c. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan
Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1 Hakim dapat memperkenankan Terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian
bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi 2 Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh
Terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat 1 hanya diperkenankan dalam hal:
a. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan
umum.
commit to user
xliii b. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan,
bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian
negara atau 3 Dalam hal Terdakwa dapat memberikan keterangan tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam ayat 1 maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya
menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian
yang berlawanan
4 Apabila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat 1 maka keterangan
tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap
diwajibkan memberi pembuktian bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai
berikut: 1 Setiap Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isterisuami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim. 2 Bila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan
disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa Terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
d. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN. Disamping itu, dalam pasal 17 ayat 2 huruf e, disebutkan bahwa,
“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang
diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat
commit to user
xliv yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
e. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pasal 37 ayat 1, dikatakan bahwa, “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti. Pada Pasal 37A ayat 1 dan 2, lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa,
“Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal Terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
f. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001. Tegasnya, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dikenal adanya 5 lima tipe korupsi. Pada hakikatnya
ada 5 lima pengertian tipe tindak pidana korupsi yaitu tipe pertama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU 311999, Tipe Kedua
dalam Pasal 3 UU 311999, Tipe Ketiga diatur dalam Pasal 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13 UU 311999, Tipe keempat dalam Pasal 15 dan 16 UU
311999, dan Tipe Kelima diatur dalam Pasal 21-24 UU 311999.
commit to user
xlv Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara
korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat 1 huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana
korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 tiga sistem. Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada
Terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak
pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih Pasal 12B ayat 1
huruf a dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi Pasal 38B. Apabila
mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan
pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya
diterapkan kepada pemberian gratifikasi dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih,
berhubungan dengan jabatannya in zijn bediening dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban in strijd
met zijn plicht dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik
terhadap Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan Pasal
37A. Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi
dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang
nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah Pasal 12B ayat 1 huruf b dan tindak pidana korupsi pokok.
Sistem Hukum Pidana Indonesia khususnya terhadap beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal
asas pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap
commit to user
xlvi kesalahan orang Pasal 12 B ayat 1, Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dan kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi Pasal 37A, Pasal 38 B UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Secara kronologis pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang
dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification”
atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” suap, misalnya seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura
dan Malaysia. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang
dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” Presumption of corruption in certain cases.
III. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
Pembalikan beban pembuktian atau “omkering van de bewijslast” “the reversal of the burden of proof”, yang sering juga disebut sistem
pembuktian terbalik, secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan Terdakwa untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Pengaturan pembuktian terbalik terdapat di dalam Pasal 37 ayat 1
dan 2 Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa :
1 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
2 Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Selanjutnya Pasal 37 A ayat 1 , 2 , 3 menyebutkan bahwa : 1 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
commit to user
xlvii 2 Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,
sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Berdasar penjelasan atas Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Pasal 37 dan 37 A tersebut, dikenal adanya sistem pembuktian terbalik
terbatas dan berimbang, yaitu Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya
Konstruksi hukum seperti itu, oleh pembuat undang-undang disebut sebagai pembuktian berimbang, yang mencakup pula pembuktian
terbalik terbatas, namun dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.
Kata-kata bersifat ”terbatas” didalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila Terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
”Terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini tidak berarti Terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kata-kata ”berimbang” mungkin lebih tepat ”sebanding”, dilukiskan sebagaiberupa
penghasilan Terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put
Martiman Prodjomidjojo, 2001 : 107.
Disamping itu dianut pula sistem pembuktian terbalik “murni” namun khusus “gratifikasi” penyuapan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara dalam kaitannya dengan jabatannya dan yang
commit to user
xlviii berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dalam Pasal 12 B ayat 1
huruf a UU No. 20 tahun 2001 Pasal 12B ayat 1huruf a menyebutkan:
1 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Bertolak dari pemahaman konseptual terhadap sistem pembalikan beban pembuktian, maka ketentuan Pasal 37 dan Pasal 37A Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 belum dapat dikatakan telah mengintroduksi sistem pembalikan beban pembuktian. Paling tidak ada
dua hal yang dapat di kemukakan untuk mengatakan demikian, yaitu : Pertama,ketentuan itu belum meletakkan sama sekali kewajiban
pembuktian pada Terdakwa; dan penuntut umum tidak dibebaskan dari kewajiban pembuktian tentang kesalahan Terdakwa; Kedua, dalam hal
Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, itu belum dapat digunakan sepenuhnya untuk membebaskannya dari dakwaan. Atau
sebaliknya, dalam hal ia tidak dapat membuktikan, maka dengan demikian belum dapat digunakan untuk mengatakan bahwa ia telah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hubungan itu masih diperlukan alat-alat bukti yang lain.
Meskipun demikian, undang-undang korupsi itu ternyata tidak pula sepenuhnya mengikuti tata cara pembuktian biasa seperti yang dikenal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Ketentuan Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat
dikatakan sebagai pengembangan dari ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP. Dalam sistem KUHAP ditentukan, bahwa
“penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, dengan
konsekuensi harus membuktikan apa yang didakwakannya”. Sedangkan “Terdakwa sama sekali tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Didalam penjelasan Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
commit to user
xlix melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Jadi
Terdakwa dibebani kewajiban pembuktian seperti halnya Penuntut Umum. Bila diperhatikan secara keseluruhan, tidak ada yang khusus dari
ketentuan pembuktian yang terdapat di dalam Pasal 37 dan 37A Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 itu, terutama sekali menyangkut ketentuan
pada Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2. Seharusnya, dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia harus dibebaskan.
Meskipun demikian, ketentuan pada Pasal 37A ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Pasal itu cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, yaitu
menyangkut adanya kewajiban Terdakwa untuk memberikan keterangan
tentang harta benda keluarga dan seterusnya.
Kewajiban pembuktian seperti itu memang bukan merupakan sesuatu yang lumrah dalam suatu proses peradilan pidana. Sebagai ilustrasi
dapat dikemukakan sebuah contoh sederhana dalam kasus pencurian. Seorang didakwa oleh penuntut umum melakukan pencurian, maka dalam
hal seperti itu tidak ada aturan yang mewajibkannya untuk memberikan keterangan tentang harta kekayaan keluarganya.
Jadi kewajiban pembuktian seperti itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial
sifatnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lalu bagaimana dan apa sanksinya jika yang bersangkutan tidak bersedia memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya?.
Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya ayat 1 Pasal 37A Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 dilanjutkan dengan kalimat, “jika
Terdakwa tidak mau memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya, maka dengan demikian dapat menimbulkan dugaan bahwa
hasil korupsinya telah disalurkan kepada keluarganya”. Sistem pembalikan beban pembuktian seperti itu telah sejak lama
diterapkan di berbagai negara sebagai “lex specialis” seperti di Singapura dan Malaysia. Di Singapura terdapat di dalam The Prevention of
Corruption Act. Sedangkan di Malaysia, ketentuan pembalikan beban
commit to user
l pembuktian presumption of corruption in certain cases dirumuskan di
dalam “The Prevention of Corruption Act 1961” Act 57. Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan
beban pembuktian, pembuktian yang diterapkan adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi
pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menyebutkan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Yang dimaksud dengan 2 dua alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli
c. Surat d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa Sesuai kepustakaan ilmu hukum, ketentuan normatif Pasal 183
KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian negatif. Akan tetapi asas ini berbanding terbalik jikalau dilakukan oleh Terdakwa yang
dikategorisasikan terhadap perkara – perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi khususnya terhadap delik ”gratification” pemberian yang
berkaitan dengan ”bribery” penyuapan sebagaimana ketentuan Pasal 12 B UU 311999 jo UU 202001 yaitu dalam melakukan asas pembalikan
beban pembuktian yang murni sifatnya, dalam Pasal 183 KUHAP dipergunakan adanya dua alat bukti untuk membuktikan tentang keyakinan
tidak terjadinya tindak pidana korupsi dan ketidakbersalahan dari Terdakwa.
Praktik perkara korupsi di indonesia pada tataran aplikasinya tidak mempergunakan pembalikan beban pembuktian, padahal perangkat hukum
memberikan hak kepada Terdakwa dan penasehat hukumnya, Jaksa Penuntut Umum maupun majelis hakim untuk menerapkan pembalikan
commit to user
li beban pembuktian baik terhadap kesalahan Terdakwa maupun tentang
kepemilikan harta benda Terdakwa yang di duga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Adapun alasan – alasan tidak di pergunakan pembuktian
terbalik adalah:
1. Ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam
kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia disebabkan ketentuan tersebut salah susun, karena seluruh
bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada. Konsekuensi logis dimensi
demikian menimbulkan asumsi bahwa pembalikan beban pembuktian relatif ada dalam kebijakan formulasi, tetapi tiada
dan tidak dapat di terapkan dalam kebijakan aplikatif
2. Apabila Terdakwa dan atau penasehat hukumnya akan menggunakan haknya melakukan pembalikan beban
pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan secara negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi
dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi.
Disamping itu juga, korelasi dengan aspek korupsi yang tidak bersifat sendirian, tetapi dilakukan beberapa orang, realtif tidak
mungkin untuk mendapatkan bukti- bukti guna dapat mendukung ketidakbersalahan seorang pelaku melakukan
tindak pidana korupsi.
Dimensi substansial demikian kiranya yang menjadi kendala mengapa ”hak” untuk melakukan pembalikan beban pembuktian tindak
pidana korupsi di Indonesia pada praktiknya tidak pernah dilakukan.
D. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan