Penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli

dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Hak dan kewajiban pembeli diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK, sedangkan untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha sebagai keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha diberikan hak dan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK. Dalam hal perjanjian jual beli melibatkan unsur asing dalam hal ini dilaksanakan oleh para pihak yang tinggal di negara yang berbeda, komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional yang dikenal dengan CISG, termasuk di dalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli. Pada dasarnya hak penjual merupakan kewajiban pembeli dan sebaliknya hak pembeli merupakan kewajiban penjual yang harus dipenuhi.

B. Penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli

Klausula eksonerasi merupakan suatu klausula baku. Pada dasarnya tujuan dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Perjanjian merupakan konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain: 32 32 http:mkn-unsri.blogspot.com200912, diakses pada 6 juni 2011, Pkl 12.00 WIB. 1. Perjanjian baku sepihak, merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, merupakan perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model. Klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen penjual. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa dengan adanya klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen. Penerapan klasula eksonerasi yang sering ditemui adalah pada saat konsumen melakukan transaksi jual beli di sebuah toko, tanpa disadari bahwa konsumen telah tunduk pada perjanjian yang terdapat pada toko tersebut, yaitu berupa harga yang tercantum, dalam hal ini konsumen hanya memiliki 2 dua pilihan menerima atau menolak perjanjian berupa harga tersebut. Selanjutnya, pada beberapa bukti pembelian, dapat ditemukan klausula yang menyatakan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” yang merupakan unsur aksidentalia dalam suatu perjanjian, yang mana menjadikan konsumen harus tunduk kepada klausula yang dibuat secara sepihak oleh produsen tersebut. Klausula baku juga diterapkan dalam perjanjian jual beli rumah yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Penjualan rumah dilakukan oleh pihak pengembang yang mana perjanjiannya menggunakan klausula eksonerasi dalam hal pembayaran dan sanksi. Salah satu isi dari klasula tersebut menyatakan bahwa “jika pihak kedua tidak melakukan pembayaran angsuran menurut jadwal yang telah disetujui bersama maka pihak kedua dikenakan denda sebesar 1 permil setiap hari keterlambatan terhitung sejak jatuh tempo yang dibayar oleh pihak kedua”. Klausula lainnya yaitu, “jika pihak kedua telah membayar uang muka tahap I tetapi tidak membayar uang muka tahap II menurut jadwal yang telah ditentukan maka pihak II dianggap membatalkan diri atas pembelian rumah tersebut dan uang tanda jadi menjadi hangus sedangkan uang muka tahap I dipotong sebesar 25 dua puluh lima persen”. Pada dasarnya hal ini bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian tentang sepakat mereka yang mengikatkan dirinya yang mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau adanya persesuaian kehendak para pihak, tidak adanya unsur dwang paksaan, dwaling kekhilafan dan bedrog penipuan. Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah konsumen merasa terpaksa menandatangani perjanjian jual beli perumahan tersebut yang telah dibakukan terhadap cara pembayaran dan sanksi karena terdesak akan kebutuhan kredit untuk melakukan pembayaran terhadap perumahan yang sudah dibeli konsumen tersebut. Pada saat konsumen melakukan perjanjian secara elektronik, tidak jarang para pelaku usaha mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan bahwa kondisi barang yang diterima konsumen tidak menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini juga merupakan suatu kerugian yang harus dihadapi konsumen, karena tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak diuntungkan dalam hal ini adalah konsumen, yang mana konsumen hanya memiliki dua pilihan menolak atau menerima perjanjian yang diberikan oleh pelaku usaha. Penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli telah banyak terjadi, baik dalam hal jual beli yang dilakukan secara konvensional yaitu dengan bertemunya penjual dan pembeli secara langsung maupun perjanjian yang dilakukan secara elektronik menggunakan media internet dengan tidak bertemunya penjual dan pembeli secara langsung. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi konsumen, karena tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi antara penjual dan pembeli. Pada dasarnya pelaku usaha tidak dilarang mencantumkan perjanjian yang berisi klausula baku hal ini merupakan akibat dari asas kebebasan berkontrak dengan pengecualian dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab klausula eksonerasi pelaku usaha. Hal ini terdapat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a UUPK, namun dalam kenyataannya masih ada pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjiannya maupun dalam bukti pembayaran yang akan mengakibatkan timbulnya suatu kerugian bagi konsumen. BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen atas Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang danatau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Hal ini menjadikan barang danatau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri. Perkembangan tersebut kemudian telah mempermudah segala hal termasuk dalam hal perjanjian jual beli. Kondisi yang demikian satu pihak memiliki manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang danatau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Di lain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan sebesar- 43 besarnya oleh pelaku usaha, salah satunya melalui penerapan klausula eksonerasi yang merugikan konsumen. Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, sehingga dalam hal terdapat kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab. Ada beberapa asas dari perlindungan konsumen dalam UUPK, yaitu: 1. Untuk mendapatkan keadilan. 2. Untuk mencapai asas manfaat. 3. Untuk mencapai asas keseimbangan. 4. Untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan konsumen. 5. Untuk mendapatkan kepastian hukum. Secara umum, terdapat beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Kesalahan liability based on fault; 2. Praduga selalu bertanggung jawab presumption of liability; 3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab presumption of nonliability; 4. Tanggung jawab mutlak strict liability; dan 5. Pembatasan tanggung jawab limitation of liability. Kesalahan liability based on fault, prinsip ini berlaku dalam hukum hukum pidana dan perdata, seperti dalam BW terdapat dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367. Pasal 1365 dikenal dengan pasal perbuatan melawan hukum, yang mengharuskan terpenuhinya empat syarat pokok, salah satu syaratnya adalah adanya kesalahan. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Praduga selalu bertanggung jawab presumption of liability, prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, sehingga beban pembuktian ada pada tergugat dikenal dengan beban pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik terdapat dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK. Praduga selalu tidak bertanggung jawab presumption of nonliability, merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Tanggung jawab mutlak strict liability, merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Tanggung jawab ini didasarkan pada tanggung jawab produk langsung secara perdata dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan. Pembatasan tanggung jawab limitation of liability, prinsip ini sangat disenangi pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Prinsip tanggung jawab yang lain adalah contractual liability, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Tanggung jawab pelaku usaha yang didasarkan pada contractual liability, merupakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian dari pelaku usaha baik yang menjual barang danatau jasa atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan. Pencantuman klausula baku pada dasarnya tidak dilarang. Tujuan dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Pasal 18 butir a UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Konsumen sebagai pihak yang lemah dalam hal ini, akan mengalami kerugian bilamana pelaku usaha mencantumkan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli. Hal ini, dikarenakan konsumen hanya memiliki pilihan menerima atau menolak perjanjian tersebut take it or leave it contract. Namun yang terjadi banyak konsumen yang menerima perjanjian yang memuat klausula eksonerasi dikarenakan kebutuhan akan barang danatau jasa tersebut. Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasanya diharapkan dapat lebih bijak dalam mencantumkan klausula baku dalam suatu perjanjian jual beli. Berdasarkan doktrin caveat venditor yang mana menuntut produsen atau pelaku usaha untuk memberikan informasi yang cukup kepada konsumen mengenai produk yang besangkutan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh produknya. Doktrin caveat emptor yang berarti bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu maka konsumen harus waspada kemungkinan adanya cacat pada barang. Konsumen harus waspada termasuk dalam hal pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli, sehingga konsumen dapat melindungi dirinya dari kerugian yang akan ditimbulkan dari perjanjian jual beli tersebut. Perlindungan hukum bagi konsumen atas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli dapat dilakukan jika pelaku usaha memenuhi hak konsumen yang terdapat dalam angka 2 Pasal 4 UUPK, yang menyatakan konsumen berhak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapat barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Apabila perjanjian dilakukan melalui media elektronik terkadang pelaku usaha tidak memenuhi hak tersebut dengan mencantumkan klausula eksonerasi yang akan merugikan konsumen. Pasal 18 ayat 3 menyatakan setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum, sehingga apabila terdapat penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum dan perjanjian dianggap tidak pernah ada. Namun kendala yang dihadapi adalah tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah akan hak- haknya menjadi faktor utama. Di samping itu pelaku usaha wajib memenuhi kewajibannya dalam hal memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selain itu Pasal 19 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pasal 19 ayat 2 menyatakan ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh kasus yang dikemukakan pada pada bab sebelumnya, yakni dalam hal jual beli rumah. Rumah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Untuk memberikan kemudahan dari segi hubungan hukum antar pihak pengembang pelaku usaha dengan konsumen, pihak yang lebih kuat kedudukannya yaitu pengembang membuat formulir-formulir standar yang mengikat yang biasa disebut dengan kontran standar. Pada kontrak standar tersebut dimuat klausula-klausula pengecualian atau klausula eksonerasi yang menyatakan meniadakan tanggung jawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat dalam membayar angsuran akan dikenakan denda. Klausula lainnya menyatakan membebaskan pengembang dari klaim kondisi atau kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100 seratus hari sejak serah terima bangunan. Pembuat kontrak standar sebagai “pembuat undang-undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakan adanya penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheiden, karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai “hakim swasta”. Dengan demikian pentingnya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen merupakan hal penting agar konsumen dapat melindungi dirinya dari pelaku usaha yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan perjanjian jual beli termasuk yang menggunakan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli. Pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat 1 dan 2 UUPK. Hal ini dikarenakan hak-hak konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha demikian sebaliknya, hak-hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen. B. Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen atas Kerugian yang Ditimbulkan dari Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal penggunaan klasula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli. Penggunaan klausula baku tidak dilarang, yang dilarang adalah klausula baku yang di dalamnya terdapat klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen atau dikenal dengan klausula eksonerasi. Konsumen sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa berhak melakukan tindakan perlindungan serta jaminan hukum secara adil baik secara pidana danatau secara perdata. Pada dasarnya penggunaan klausula baku bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian yaitu tentang sepakat para pihak. Namun hal ini dimungkinkan akibat dari adanya asas kebebasan berkontrak yang mana tiap orang berhak menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan tidak melanggar peraturan, ketertiban umum dan kesusilaan. Penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli, akan menimbulkan suatu kerugian secara materiil maupun immateriil. Permasalah yang timbul dari penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli berhubungan dengan perbuatan melawan hukum. Seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum jika memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1365 BW sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Syarat-syaratnya meliputi: 1. Perbuatan melanggar hukum, tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga perbuatan yang mengganggu ketertiban umum, kepatutan, kebiasaan dan kesusilaan. 2. Kesalahan, ada akibat hukum yang terjadi karena suatu kesalahan. 3. Kerugian, kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian mateeriil danatau kerugian imateriil. 4. Hubungan kausal, adanya hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum, kesalahan dan kerugian. Berkaitan dengan syarat-syarat perbuatan melawan hukum tersebut, dapat dikaitkan dengan fakta-fakta yang dianggap ada pada kasus-kasus perjanjian jual beli yang menggunakan klausula eksonerasi. Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku usaha atas penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 18 ayat 1 huruf a yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antar konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Jika konsumen memilih untuk menggugat melaui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa, maka konsumen dapat menggugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK yang mana tugas dan wewenangnya terdapat dalam Pasal 52 UUPK. Dalam hal pelaku usaha tidak memberikan ganti kerugian, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan pasal 26. Hal ini terdapat dalam Pasal 60 ayat 1 UUPK. Sedangkan ayat 2 menyatakan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Pasal 62 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf e, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. Pasal 63 UUPK menyatakan, terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa: a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Dengan demikian, dalam hal timbulnya kerugian akibat pencatuman klausula eksonerasi daam suatu perjanjian jual beli oleh pelaku usaha terhadap konsumen, maka konsumen dapat mengambil suatu tindakan hukum baik berupa tindakan hukum secara pidana danatau secara perdata. Secara pidana maka konsumen dapat menuntut menggunakan Pasal 62 ayat 1 dengan tambahan Pasal 63 UUPK. Dalam hal konsumen mengambil tindakan hukum secara perdata maka konsumen dapat menggugat dengan Pasal 1365 BW. Konsumen dapat menggugat melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa dalam hal ini yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK yang mana tugas dan wewenanganya terdapat dalam Pasal 52 UUPK. BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha. Hal ini terdapat dalam Pasal 60 ayat 1 dan ayat 2 UUPK. Kemudian Pasal 62 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf e, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. Serta Pasal 63 UUPK yang menyatakan tentang hukuman tambahan untuk Pasal 62 ayat 1 UUPK. BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Perlindungan Konsumen Atas Cacat Tersembunyi Pada Objek Perjanjian Jual Beli Mobil Memberikan Fasilitas Garansi Dihubungkan Dengan Buku Burgeelijk Wetboek JUNCTO Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

5 36 108

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 11

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

0 2 100

Klausula Baku Dalam Perjanjian Jual Beli Melalui Toko Online Dalam Situs Jejaring Sosial Kaskus Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11.

0 1 1

Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dihubungkan Dengan Asas - Asas Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Dan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 2

TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSAKSI JUAL - BELI MELALUI SITUS BELANJA ONLINE ( ONLINE SHOP ) MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 10

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen - Repository Unja

0 0 13

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 70