dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Hak dan kewajiban pembeli diatur dalam Pasal  4  dan  Pasal  5  UUPK,  sedangkan  untuk  menciptakan  kenyamanan
berusaha bagi para pelaku usaha sebagai keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban  yang  diberikan  kepada  konsumen,  pelaku  usaha
diberikan  hak  dan  kewajiban  yang  terdapat  dalam  Pasal  6  dan  Pasal  7 UUPK.  Dalam  hal  perjanjian  jual  beli  melibatkan  unsur  asing  dalam  hal  ini
dilaksanakan  oleh  para  pihak  yang  tinggal  di  negara  yang  berbeda, komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional
yang dikenal dengan CISG, termasuk di dalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli. Pada dasarnya hak penjual merupakan
kewajiban  pembeli  dan  sebaliknya  hak  pembeli  merupakan  kewajiban penjual yang harus dipenuhi.
B.  Penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli
Klausula eksonerasi merupakan suatu klausula baku. Pada dasarnya tujuan dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para
pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Perjanjian merupakan konsep janji-janji  tertulis,  disusun  tanpa  membicarakan  isinya  dan  lazimnya
dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Perjanjian  baku  yang  banyak  terdapat  di  masyarakat  dapat
dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:
32
32
http:mkn-unsri.blogspot.com200912,  diakses  pada  6  juni  2011,  Pkl 12.00 WIB.
1.  Perjanjian  baku  sepihak,  merupakan  perjanjian  yang  isinya ditentukan  oleh  pihak  yang  kuat  kedudukannya  di  dalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya  mempunyai  posisi  ekonomi  kuat  dibandingkan  pihak
debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
2.  Perjanjian  baku  yang  ditetapkan  oleh  pemerintah,  merupakan perjanjian  baku  yang  isinya  ditentukan  pemerintah  terhadap
perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
3.  Perjanjian  baku  yang  ditentukan  di  lingkungan  notaris  atau advokat,  merupakan  perjanjian  yang  konsepnya  sejak  semula
disediakan.  Untuk  memenuhi  permintaan  anggota  masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.
Dalam  perpustakaan  Belanda  jenis  ini  disebutkan  contract model.
Klausula  eksonerasi  merupakan  klausula  yang  mengandung  kondisi membatasi  atau  bahkan  menghapus  sama  sekali  tanggung  jawab  yang
semestinya  dibebankan  kepada  pihak  produsen  penjual.  Berdasarkan  hal ini  terlihat  bahwa  dengan  adanya  klausula  eksonerasi  menciptakan
ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen. Penerapan klasula eksonerasi yang sering ditemui adalah pada saat
konsumen  melakukan  transaksi  jual  beli  di  sebuah  toko,  tanpa  disadari bahwa  konsumen  telah  tunduk  pada  perjanjian  yang  terdapat  pada  toko
tersebut, yaitu berupa harga yang tercantum, dalam hal ini konsumen hanya
memiliki  2  dua  pilihan  menerima  atau  menolak  perjanjian  berupa  harga tersebut.  Selanjutnya,  pada  beberapa  bukti  pembelian,  dapat  ditemukan
klausula  yang  menyatakan  “barang  yang  sudah  dibeli  tidak  dapat dikembalikan”  yang  merupakan  unsur  aksidentalia  dalam  suatu  perjanjian,
yang  mana  menjadikan  konsumen  harus  tunduk  kepada  klausula  yang dibuat secara sepihak oleh produsen tersebut.
Klausula baku juga diterapkan dalam perjanjian jual beli rumah yang terjadi  di  Kabupaten  Bekasi.  Penjualan  rumah  dilakukan  oleh  pihak
pengembang  yang  mana  perjanjiannya  menggunakan  klausula  eksonerasi dalam  hal  pembayaran  dan  sanksi.  Salah  satu  isi  dari  klasula  tersebut
menyatakan  bahwa  “jika  pihak  kedua  tidak  melakukan  pembayaran angsuran  menurut  jadwal  yang  telah  disetujui  bersama  maka  pihak  kedua
dikenakan denda sebesar 1 permil setiap hari keterlambatan terhitung sejak jatuh  tempo  yang  dibayar  oleh  pihak  kedua”.  Klausula  lainnya  yaitu,  “jika
pihak kedua telah membayar uang muka tahap I tetapi tidak membayar uang muka tahap II menurut jadwal yang telah ditentukan maka pihak II dianggap
membatalkan  diri  atas  pembelian  rumah  tersebut  dan  uang  tanda  jadi menjadi hangus sedangkan uang muka tahap I dipotong sebesar 25  dua
puluh lima persen”. Pada  dasarnya  hal  ini  bertentangan  dengan  syarat  sahnya  suatu
perjanjian  tentang  sepakat  mereka  yang  mengikatkan  dirinya  yang mengandung  makna  bahwa  para  pihak  yang  membuat  perjanjian  telah
sepakat atau adanya persesuaian kehendak para pihak, tidak adanya unsur dwang  paksaan,  dwaling  kekhilafan  dan  bedrog  penipuan.  Sementara
dalam  kenyataannya  yang  terjadi  adalah  konsumen  merasa  terpaksa
menandatangani  perjanjian  jual  beli  perumahan  tersebut  yang  telah dibakukan  terhadap  cara  pembayaran  dan  sanksi  karena  terdesak  akan
kebutuhan  kredit  untuk  melakukan  pembayaran  terhadap  perumahan  yang sudah dibeli konsumen tersebut.
Pada  saat  konsumen  melakukan  perjanjian  secara  elektronik,  tidak jarang  para  pelaku  usaha  mencantumkan  klausula  eksonerasi  yang
menyatakan  bahwa  kondisi  barang  yang  diterima  konsumen  tidak  menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini juga merupakan suatu kerugian yang
harus dihadapi konsumen, karena tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi  antara  pelaku  usaha  dan  konsumen,  sehingga  dapat  menimbulkan
kerugian bagi pihak yang tidak diuntungkan dalam hal ini adalah konsumen, yang  mana  konsumen  hanya  memiliki  dua  pilihan  menolak  atau  menerima
perjanjian yang diberikan oleh pelaku usaha. Penggunaan  klausula  eksonerasi  dalam  suatu  perjanjian  jual  beli
telah  banyak  terjadi,  baik  dalam  hal  jual  beli  yang  dilakukan  secara konvensional  yaitu  dengan  bertemunya  penjual  dan  pembeli  secara
langsung maupun perjanjian yang dilakukan secara elektronik menggunakan media  internet  dengan  tidak  bertemunya  penjual  dan  pembeli  secara
langsung.  Hal  ini  akan menimbulkan kerugian  bagi konsumen, karena  tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi antara penjual dan pembeli. Pada
dasarnya pelaku usaha tidak dilarang mencantumkan perjanjian yang berisi klausula  baku  hal  ini  merupakan  akibat  dari  asas  kebebasan  berkontrak
dengan  pengecualian  dilarang  mencantumkan  klausula  baku  pada  setiap dokumen  danatau  perjanjian  apabila  menyatakan  pengalihan  tanggung
jawab  klausula  eksonerasi  pelaku  usaha.  Hal  ini  terdapat  dalam  Pasal  18
ayat 1 huruf a UUPK, namun dalam kenyataannya masih ada pelaku usaha yang  mencantumkan  klausula  eksonerasi  dalam  perjanjiannya  maupun
dalam  bukti  pembayaran  yang  akan  mengakibatkan  timbulnya  suatu kerugian bagi konsumen.
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK
WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.  Perlindungan  Hukum  Bagi  Konsumen  atas  Pencantuman  Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli
Globalisasi  dan  perdagangan  bebas  yang  didukung  oleh  kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang danatau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Hal  ini  menjadikan  barang  danatau  jasa  yang  ditawarkan  bervariasi  baik
produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri. Perkembangan tersebut kemudian telah mempermudah segala hal termasuk dalam hal perjanjian jual
beli. Kondisi  yang  demikian  satu  pihak  memiliki  manfaat  bagi  konsumen
karena  kebutuhan  konsumen  akan  barang  danatau  jasa  yang  diinginkan dapat  terpenuhi.  Di  lain  pihak,  kondisi  dan  fenomena  tersebut  dapat
mengakibatkan  kedudukan  pelaku  usaha  dan  konsumen  menjadi  tidak seimbang  dan  konsumen  berada  pada  posisi  yang  lemah.  Konsumen
menjadi  objek  aktivitas  bisnis  untuk  mendapatkan  keuntungan  sebesar-
43
besarnya  oleh  pelaku  usaha,  salah  satunya  melalui  penerapan  klausula eksonerasi yang merugikan konsumen.
Prinsip  tanggung  jawab  merupakan  hal  yang  sangat  penting  dalam hukum  perlindungan  konsumen.  Hal  ini  dikarenakan  konsumen  merupakan
golongan  yang  rentan  dieksploitasi  oleh  pelaku  usaha,  sehingga  dalam  hal terdapat  kasus-kasus  pelanggaran  hak  konsumen  diperlukan  kehati-hatian
dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab. Ada beberapa asas dari perlindungan konsumen dalam UUPK, yaitu:
1.  Untuk mendapatkan keadilan. 2.  Untuk mencapai asas manfaat.
3.  Untuk mencapai asas keseimbangan. 4.  Untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan konsumen.
5.  Untuk mendapatkan kepastian hukum. Secara  umum,  terdapat  beberapa  prinsip-prinsip  tanggung  jawab
dalam hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut: 1.  Kesalahan liability based on fault;
2.  Praduga selalu bertanggung jawab presumption of liability; 3.  Praduga  selalu  tidak  bertanggung  jawab  presumption  of
nonliability; 4.  Tanggung jawab mutlak strict liability; dan
5.  Pembatasan tanggung jawab limitation of liability. Kesalahan  liability  based  on  fault,  prinsip  ini  berlaku  dalam  hukum
hukum  pidana  dan  perdata,  seperti  dalam  BW  terdapat  dalam  Pasal  1365, 1366,  dan  1367.  Pasal  1365  dikenal  dengan  pasal  perbuatan  melawan
hukum,  yang  mengharuskan  terpenuhinya  empat  syarat  pokok,  salah  satu syaratnya adalah adanya kesalahan. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru
dapat  dimintakan  pertanggungjawaban  secara  hukum  jika  ada  unsur kesalahan yang dilakukannya.
Praduga  selalu  bertanggung  jawab  presumption  of  liability,  prinsip ini  menyatakan,  tergugat  selalu  dianggap  bertanggung  jawab  presumption
of liability principle, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, sehingga  beban  pembuktian  ada  pada  tergugat  dikenal  dengan  beban
pembuktian  terbalik.  Sistem  pembuktian  terbalik  terdapat  dalam  Pasal  19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK.
Praduga selalu tidak bertanggung jawab presumption of nonliability, merupakan  kebalikan  dari  prinsip  sebelumnya.  Prinsip  ini  hanya  dikenal
dalam  lingkup  transaksi  konsumen  yang  sangat  terbatas  dan  pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Tanggung jawab  mutlak  strict  liability,  merupakan  prinsip  tanggung jawab  yang  menetapkan  kesalahan  tidak  sebagai  faktor  yang  menentukan.
Namun  ada  pengecualian-pengecualian  yang  memungkinkan  untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Tanggung
jawab ini didasarkan pada tanggung jawab produk langsung secara perdata dari  pelaku  usaha  atas  kerugian  yang  dialami  konsumen  akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan. Pembatasan tanggung jawab limitation of liability, prinsip ini sangat
disenangi  pelaku  usaha  untuk  dicantumkan  sebagai  klausula  eksonerasi dalam  perjanjian  standar  yang  dibuatnya.  Prinsip  ini  sangat  merugikan
konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.
Prinsip  tanggung  jawab  yang  lain  adalah  contractual  liability,  dalam hal  terdapat  hubungan  perjanjian  antara  pelaku  usaha  dengan  konsumen.
Tanggung  jawab  pelaku  usaha  yang  didasarkan  pada  contractual  liability, merupakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian dari pelaku usaha
baik  yang  menjual  barang  danatau  jasa  atas  kerugian  yang  dialami konsumen
akibat mengkonsumsi
barang yang
dihasilkan atau
memanfaatkan jasa yang diberikan. Pencantuman  klausula  baku  pada  dasarnya  tidak  dilarang.  Tujuan
dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Pasal 18 butir a UUPK menyatakan
bahwa  pelaku  usaha  dalam  menawarkan  barang  danatau  jasa  yang ditujukan  untuk  diperdagangkan  dilarang  memuat  atau  mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Konsumen sebagai pihak yang lemah dalam hal ini, akan mengalami kerugian bilamana pelaku usaha mencantumkan klausula eksonerasi dalam
suatu  perjanjian  jual  beli.  Hal  ini,  dikarenakan  konsumen  hanya  memiliki pilihan  menerima  atau  menolak  perjanjian  tersebut  take  it  or  leave  it
contract.  Namun  yang  terjadi  banyak konsumen  yang  menerima  perjanjian yang  memuat  klausula  eksonerasi  dikarenakan  kebutuhan  akan  barang
danatau  jasa  tersebut.  Pelaku  usaha  dalam  menawarkan  barang  danatau jasanya  diharapkan  dapat  lebih  bijak  dalam  mencantumkan  klausula  baku
dalam suatu perjanjian jual beli. Berdasarkan  doktrin  caveat  venditor  yang  mana  menuntut  produsen
atau  pelaku  usaha  untuk  memberikan  informasi  yang  cukup  kepada
konsumen  mengenai  produk  yang  besangkutan.  Apabila  hal  tersebut  tidak dilakukan,  maka  pelaku  usaha  wajib  bertanggung  jawab  atas  segala
kerugian  yang  ditimbulkan  oleh  produknya.  Doktrin  caveat  emptor  yang berarti  bahwa  sebelum  konsumen  membeli  sesuatu  maka  konsumen  harus
waspada  kemungkinan  adanya  cacat  pada  barang.  Konsumen  harus waspada  termasuk  dalam  hal  pencantuman  klausula  eksonerasi  dalam
perjanjian  jual  beli,  sehingga  konsumen  dapat  melindungi  dirinya  dari kerugian yang akan ditimbulkan dari perjanjian jual beli tersebut.
Perlindungan  hukum  bagi  konsumen  atas  pencantuman  klausula eksonerasi  dalam  perjanjian  jual  beli  dapat  dilakukan  jika  pelaku  usaha
memenuhi hak konsumen yang terdapat dalam angka 2 Pasal 4 UUPK, yang menyatakan  konsumen  berhak  untuk  memilih  barang  danatau  jasa  serta
mendapat  barang  danatau  jasa  tersebut  sesuai  dengan  nilai  tukar  dan kondisi  serta  jaminan  yang  dijanjikan.  Apabila  perjanjian  dilakukan  melalui
media  elektronik  terkadang  pelaku  usaha  tidak  memenuhi  hak  tersebut dengan  mencantumkan  klausula  eksonerasi  yang  akan  merugikan
konsumen. Pasal  18  ayat  3  menyatakan  setiap  klausula  baku  yang  telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  dan  ayat  2  dinyatakan
batal  demi  hukum,  sehingga  apabila  terdapat  penggunaan  klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut dinyatakan batal
demi hukum dan perjanjian dianggap tidak pernah ada. Namun kendala yang dihadapi adalah tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah akan hak-
haknya menjadi faktor utama.
Di  samping  itu  pelaku  usaha  wajib  memenuhi  kewajibannya  dalam hal memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan  barang  danatau  jasa  serta  memberi  penjelasan  penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selain itu Pasal 19 ayat 1 UUPK menyatakan
bahwa  pelaku  usaha  bertanggung  jawab  memberikan  ganti  rugi  atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang  danatau  jasa  yang  dihasilkan  atau  diperdagangkan.  Pasal  19  ayat 2  menyatakan  ganti  rugi  dapat  berupa  pengembalian  uang  atau
penggantian  barang  danatau  jasa  yang  sejenis  atau  setara  nilainya,  atau perawatan  kesehatan  danatau  pemberian  santunan  yang  sesuai  dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah  satu  contoh  kasus  yang  dikemukakan  pada  pada  bab
sebelumnya, yakni dalam hal jual beli rumah. Rumah merupakan kebutuhan pokok  yang  harus  dipenuhi  dengan  sebaik-baiknya.  Untuk  memberikan
kemudahan  dari  segi  hubungan  hukum  antar  pihak  pengembang  pelaku usaha  dengan  konsumen,  pihak  yang  lebih  kuat  kedudukannya  yaitu
pengembang  membuat  formulir-formulir  standar  yang  mengikat  yang  biasa disebut  dengan  kontran  standar.  Pada  kontrak  standar  tersebut  dimuat
klausula-klausula  pengecualian  atau  klausula  eksonerasi  yang  menyatakan meniadakan
tanggung jawab
pengembang dalam
hal terlambat
menyerahkan  bangunan,  sebaliknya  bila  konsumen  terlambat  dalam membayar  angsuran  akan  dikenakan  denda.  Klausula  lainnya  menyatakan
membebaskan pengembang dari klaim kondisi atau kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100 seratus hari sejak serah terima bangunan.
Pembuat kontrak standar sebagai “pembuat undang-undang swasta” atau  “hakim  swasta”.  Lebih  lanjut  dikatakan  adanya  penyalahgunaan
keadaan  misbruik  van  omstandigheiden,  karena  pihak  lain  berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai
“hakim swasta”. Dengan  demikian  pentingnya  peningkatan  kesadaran  akan  hak-hak
konsumen  merupakan  hal  penting  agar konsumen  dapat  melindungi  dirinya dari  pelaku  usaha  yang beritikad  tidak  baik  dalam melaksanakan  perjanjian
jual  beli  termasuk  yang  menggunakan  klausula  eksonerasi  dalam  suatu perjanjian jual beli. Pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk bertanggung
jawab  dan  memberikan  ganti  rugi  atas  kerusakan,  pencemaran,  danatau kerugian  konsumen  akibat  mengkonsumsi  barang  danatau  jasa  yang
dihasilkan atau diperdagangkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat 1  dan  2  UUPK.  Hal  ini  dikarenakan  hak-hak  konsumen  merupakan
kewajiban  pelaku  usaha  demikian  sebaliknya,  hak-hak  pelaku  usaha merupakan kewajiban konsumen.
B.  Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen atas Kerugian yang Ditimbulkan  dari  Pencantuman  Klausula  Eksonerasi  dalam  Perjanjian
Jual Beli
Berdasarkan  Pasal  1  ayat  1  Undang-Undang  Dasar  1945  bahwa negara  Indonesia  adalah  negara  hukum,  sehingga  segala  kegiatan  yang
dilakukan  di  negara  Indonesia  harus  sesuai  dengan  aturan  yang  berlaku, tidak  terkecuali  dalam  hal  penggunaan  klasula  eksonerasi  dalam  suatu
perjanjian jual beli. Penggunaan klausula baku tidak dilarang, yang dilarang adalah klausula baku yang di dalamnya terdapat klausula yang menyatakan
pengalihan  tanggung  jawab  dari  pelaku  usaha  kepada  konsumen  atau dikenal dengan klausula eksonerasi.
Konsumen  sebagai  manusia  yang  memiliki  hak  asasi  yang merupakan  anugerah  dari  Tuhan  Yang  Maha  Esa  berhak  melakukan
tindakan  perlindungan  serta  jaminan  hukum  secara  adil  baik  secara  pidana danatau secara perdata.
Pada  dasarnya  penggunaan  klausula  baku  bertentangan  dengan syarat  sahnya  perjanjian  yaitu  tentang  sepakat  para  pihak.  Namun  hal  ini
dimungkinkan  akibat  dari  adanya  asas  kebebasan  berkontrak  yang  mana tiap  orang  berhak  menentukan  bentuk,  macam  dan  isi  perjanjian  dengan
tidak  melanggar  peraturan,  ketertiban  umum  dan  kesusilaan.  Penggunaan klausula  eksonerasi  dalam  suatu  perjanjian  jual  beli,  akan  menimbulkan
suatu  kerugian  secara  materiil  maupun  immateriil.  Permasalah  yang  timbul dari  penggunaan  klausula  eksonerasi  dalam  suatu  perjanjian  jual  beli
berhubungan  dengan  perbuatan  melawan  hukum.  Seseorang  dapat dikatakan  telah  melakukan  perbuatan  melawan  hukum  jika  memenuhi
syarat-syarat dalam Pasal 1365 BW sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang  lain,  mewajibkan  orang  yang  karena  salahnya  menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Syarat-syaratnya meliputi: 1.  Perbuatan  melanggar  hukum,  tidak  hanya  perbuatan  yang
melanggar hukum
tertulis tetapi
juga perbuatan
yang
mengganggu  ketertiban  umum,  kepatutan,  kebiasaan  dan kesusilaan.
2.  Kesalahan,  ada  akibat  hukum  yang  terjadi  karena  suatu kesalahan.
3.  Kerugian,  kerugian  yang  disebabkan  oleh  perbuatan  melawan hukum  dapat  berupa  kerugian  mateeriil  danatau  kerugian
imateriil. 4.  Hubungan  kausal,  adanya  hubungan  kausal  antara  perbuatan
melanggar hukum, kesalahan dan kerugian. Berkaitan dengan syarat-syarat perbuatan melawan hukum tersebut,
dapat  dikaitkan  dengan  fakta-fakta  yang  dianggap  ada  pada  kasus-kasus perjanjian  jual  beli  yang  menggunakan  klausula  eksonerasi.  Kerugian  yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha atas penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian  jual  beli  merupakan  suatu  perbuatan  melawan  hukum.  Hal  ini
ditegaskan  oleh  Pasal  18  ayat  1  huruf  a  yang  menyatakan  bahwa  pelaku usaha  dalam  menawarkan  barang  danatau  jasa  yang  ditujukan  untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap  dokumen  danatau  perjanjian  apabila  menyatakan  pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha. Pasal  45  ayat  1  UUPK  menyatakan  bahwa  setiap  konsumen  yang
dirugikan  dapat  menggugat  pelaku  usaha  melalui  lembaga  yang  bertugas menyelesaikan  sengketa  antar  konsumen  dan  pelaku  usaha  atau  melalui
peradilan  yang  berada  di  lingkungan  peradilan  umum.  Jika  konsumen memilih  untuk  menggugat  melaui  lembaga  yang  bertugas  menyelesaikan
sengketa,  maka  konsumen  dapat  menggugat  melalui  Badan  Penyelesaian
Sengketa Konsumen BPSK yang mana tugas dan wewenangnya  terdapat dalam Pasal 52 UUPK.
Dalam  hal  pelaku  usaha  tidak  memberikan  ganti  kerugian,  maka Badan  Penyelesaian  Sengketa  Konsumen  berwenang  menjatuhkan  sanksi
administratif  terhadap  pelaku  usaha  yang  melanggar  Pasal  19  ayat  2  dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan pasal 26. Hal ini terdapat dalam Pasal 60
ayat 1 UUPK. Sedangkan ayat 2 menyatakan sanksi administratif berupa penetapan  ganti  rugi  paling  banyak  Rp.  200.000.000,00  dua  ratus  juta
rupiah. Pasal  62  ayat  1  UUPK  menyatakan  bahwa  pelaku  usaha  yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,  Pasal  13  ayat  2,  Pasal  15,  Pasal  17  ayat  1  huruf  a,  huruf  b,  huruf c
dan  huruf  e,  ayat  2,  dan  Pasal  18  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
dua miliar rupiah. Pasal  63  UUPK  menyatakan,  terhadap  sanksi  pidana  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa: a.  Perampasan barang tertentu;
b.  Pengumuman keputusan hakim; c.  Pembayaran ganti rugi;
d.  Perintah  penghentian  kegiatan  tertentu  yang  menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.  Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Dengan  demikian,  dalam  hal  timbulnya  kerugian  akibat  pencatuman klausula  eksonerasi  daam  suatu  perjanjian  jual  beli  oleh  pelaku  usaha
terhadap  konsumen,  maka  konsumen  dapat  mengambil  suatu  tindakan hukum baik berupa tindakan hukum secara pidana danatau secara perdata.
Secara  pidana  maka  konsumen  dapat  menuntut  menggunakan  Pasal  62 ayat 1 dengan tambahan Pasal 63 UUPK. Dalam hal konsumen mengambil
tindakan  hukum  secara perdata maka konsumen  dapat  menggugat  dengan Pasal 1365 BW.
Konsumen  dapat  menggugat  melalui  lembaga  yang  bertugas menyelesaikan  sengketa  dalam  hal  ini  yaitu  Badan  Penyelesaian  Sengketa
Konsumen  BPSK  yang  mana  tugas  dan  wewenanganya  terdapat  dalam Pasal  52  UUPK.  BPSK  dapat  menjatuhkan  sanksi  administratif  kepada
pelaku usaha. Hal ini terdapat dalam Pasal 60 ayat 1 dan ayat 2 UUPK. Kemudian  Pasal  62  ayat  1  UUPK  menyatakan  bahwa  pelaku  usaha  yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,  Pasal  13  ayat  2,  Pasal  15,  Pasal  17  ayat  1  huruf  a,  huruf  b,  huruf c
dan  huruf  e,  ayat  2,  dan  Pasal  18  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
dua  miliar  rupiah.  Serta  Pasal  63  UUPK  yang  menyatakan  tentang hukuman tambahan untuk Pasal 62 ayat 1 UUPK.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.  Simpulan