Tinjauan Hukum Mengenai Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Jual Beli Dihubung Dengan Buku III Burgelijk Wetboek JUNTO Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(1)

vii

RELATED WITH BOOK III OF BURGERLIJKE WETBOEK

JUNCTO LAW NUMBER 8/1999 ABOUT CONSUMER

PROTECTION

Name: Intan Mutia Sari NIM: 31607010

Abstract

The used of standard contract has been forming impact of freedom of contract principle was explain that every people have a freedom to established type, various and content of agreement without brake the rule of regulation, public order and morality. The growth was happen now so many producer concerned a clause within a limited condition or even erase the responsibility to producer or product distributor (saler). This situation make unbalance bargaining position between producer and consumer. One of the applying could see when consumer make a trade agreement with developer would be found a clause concerning about shifted the responsibility such as fine, sanction, and condition of house was accepted by consumer. The problem is how the regulation about consumer protection straighten up protection law for consumer of the quotation of exoneration clause in trade agreement and the legal action that can be done by consumer for the lost in the quotation of exoneration clause in trade agreement.

The method used in research is analytical descriptive with juridical normative approach. The result data are analyzed juridical qualitative so that regulation hierarchy can be observe and also guarantee law certainty.

According to the research, can be known that consumer protection regulation have not fully been able to regulate the quotation exoneration clause in trade agreement. The appearance of many obstacles such as a consumer knowledge, awareness about the rights become inhibiting factor, and then a needed for goods and service was resulted by producer become another inhibiting factor. The Consumer as connected party can be demand by litigation in the civil court and nonlitigation process with some institution like Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.


(2)

vi

DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama: Intan Mutia Sari NIM: 31607010

Abstrak

Penggunaan klausula baku merupakan akibat dari asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam, jenis dan isi perjanjian dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Perkembangan yang terjadi saat ini banyak pelaku usaha yang mencantumkan klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen. Salah satu penerapannya dapat ditemui pada saat konsumen melakukan perjanjian jual beli rumah yang dilakukan oleh pengembang yang mana terdapat klausula yang menyatakan tentang pengalihan tanggung jawab berupa denda, sanksi dan kondisi rumah yang diterima konsumen. Permasalahannya adalah bagaimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsumen atas pencantuman klasusula eksonerasi dalam perjanjian jual beli dan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen atas kerugian yang ditimbulkan dari pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli.

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif sehingga hirarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum secara sepenuhnya mampu mengatasi pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli. Munculnya berbagai kendala seperti masih rendahnya pendidikan konsumen dan kesadaran akan hak-haknya menjadi faktor utama, selain itu kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha menjadi faktor lainnya. Konsumen dapat mengajukan gugatan melalui proses litigasi maupun nonlitigasi melalui suatu lembaga seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan dan perkembangan perekonomian telah

menghasilkan bebagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Selain itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi telah memperluas transaksi barang dan/atau jasa yang melintasi batas wilayah suatu negara. Hal ini memberikan manfaat bagi konsumen akan kebutuhan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbukanya kebebasan dalam memilih barang dan/atau jasa yang dibutuhkan.

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini cukup mendapat perhatian karena berhubungan dengan aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, baik masyarakat selaku konsumen maupun pelaku usaha. Pemerintah berperan dalam mengatur dan mengawasi sehingga tercipta sistem yang kondusif antara satu dengan yang lain, dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formil semakin penting, mengingat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang merupakan penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi konsumen. Konsumen menjadi objek aktivitas


(4)

bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar

yang merugikan konsumen.1 Dengan demikian, upaya-upaya untuk

memberikan perlindungan bagi konsumen khususnya di Indonesia merupakan suatu hal yang penting, mengingat semakin beragamnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, terlebih dalam menghadapi era perdagangan bebas.

Salah satu hal penting dalam upaya perlindungan konsumen adalah pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli. Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini merupakan perwujudan asas kebebasan berkontrak. Fungsi pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian dimaksudkan untuk dapat lebih mengefektifkan waktu dalam bertransaksi, selain itu untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan.

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk

(penjual).2 Namun pencantuman klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian

dapat memberikan dampak yang negatif bagi konsumen. Hal ini menjadikan konsumen hanya memiliki pilihan menerima atau menolak perjanjian

1

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan

Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 12.

2

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,


(5)

tersebut. Contoh klausula eksonerasi adalah “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Klausula tersebut dapat ditemukan pada bukti pembelian di beberapa produsen tertentu atau pada situs jual beli yang dilakukan secara elektronik.

Para pelaku usaha atau pengelola situs seringkali mencantumkan klausula eksonerasi yaitu klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab dari produsen pada konsumen. Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian jual beli diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli bertentangan dengan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Namun pencantuman klausula eksonerasi secara sepihak tersebut tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapat ganti kerugian. Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, konsumen berhak atas penggantian kerugian yang layak, sehingga terlihat adanya ketidakseimbangan posisi antara produsen (penjual) dan konsumen dalam pencantuman klausula eksonerasi. Untuk itu diperlukan suatu sarana bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli.


(6)

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannnya dalam bentuk

skripsi dengan mengambil judul “TINJAUAN HUKUM MENGENAI

PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hal yang telah diuraikan pada latar belakang, maka Penulis mencoba mengidentifikasi permasalah hukum antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen atas

pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli?

2. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan konsumen atas kerugian yang ditimbulkan dari pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli?

C. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen atas pencatuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli.


(7)

2. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas kerugian yang ditimbulkan dari pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli.

D. Kegunaan Penulisan

Kegunaan penelitian atas pokok bahasan yang diambil adalah: 1. Secara teoritis

Hasil penulisan diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum yang berhubungan dengan pencantuman klasusla eksonerasi dalam perjanjian jual beli dan memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan hukum perikatan dan perlindungan konsumen.

2. Secara praktis

Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait termasuk masyarakat luas dalam penerapan hukum pada sektor perikatan.

E. Kerangka Pemikiran

Alinea Kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa:

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa


(8)

kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Makna dari kata adil dan makmur dalam Alinea Kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Termasuk dalam hal pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli yang harus membawa keadilan bagi konsumen pada khususnya

Tujuan negara juga diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa:

“…, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepeda Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Amanat dari Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengharuskan pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang dapat melindungi konsumen guna menjamin kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu merupakan landasan perlindungan hukum bagi konsumen atas pencatuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli, dalam kata “mewujudkan” untuk mencapai kepastian hukum. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat adalah konsumen.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal penggunaan klausula eksonerasi


(9)

dalam perjanjian jual beli. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

Jeremi Bentham dalam teorinya “The great happiness for the greatest

number”,3 yaitu kebahagiaan sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya. Sehingga diharapkan perkembangan kegiatan jual beli akan turut serta dalam pembangunan nasional.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Salah satu kegiatan yang membutuhkan perlindungan bagi konsumen adalah dalam kegiatan jual beli.

Konsumen dijelaskan melalui Pasal 1 angka 2 UUPK, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan pelaku usaha tercantum dalam Pasal 1 angka 3, yakni setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Barang dan jasa dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 UUPK.

Ketentuan hukum tentang pencantuman klausula baku terdapat dalam Pasal 18 UUPK ayat (1), (2) dan (3), yang mana pada ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

3

Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung,


(10)

dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pada konsumen atau dikenal dengan klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk (penjual).4

Pasal 18 ayat (3) menyatakan setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan doktrin caveat venditor yang berarti bahwa produsen

harus berhati-hati. Doktrin ini menghendaki agar produsen atau pelaku usaha dalam memproduksi dan memasarkan produknya harus berhati-hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas, termasuk penggunaan

klausula baku dalam perjanjian khususnya klausula eksonerasi.5

Berdasarkan doktrin caveat emptor yang menyatakan bahwa

konsumen harus berhati-hati. Hal ini berarti, bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan adanya cacat pada barang. Menurut doktrin ini, pelaku usaha dibebaskan dari kewajiban untuk memberi pengetahuan kepada konsumen tentang hal yang

bersangkutan dengan barang dan/atau jasa yang hendak diperjualbelikan.6

4

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm. 140.

5

Budi Fitriadi, http://kuliahonline.unikom.ac.id/, diakses pada 27 Juni 2010, Pkl. 09.00 WIB

6


(11)

Transaksi tidak terlepas dari perikatan dan perjanjian. Definisi perikatan tidak terdapat dalam undang-undang, tetapi dirumuskan dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dalam hal ini pihak yang satu

berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi.7

Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW), yang

menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Perjanjian tidak terlepas dari syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW yang menyatakan bahwa:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan” 3. Suatu hal tertentu:

4. Suatu sebab yang halal”.

Syarat yang pertama dan syarat yang kedua merupakan syarat subjektif, artinya jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat subjektif tersebut, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh para pihak, sepanjang perjanjian belum dibatalkan para pihak, perjanjian dapat terus berlangsung. Sementara itu syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif, yang mana jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu

7

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,


(12)

atau kedua syarat objektif tersebut maka perjanjian batal demi hukum dan perjanjian dianggap tidak ada.

Pada praktiknya, perjanjian umumnya dilaksanakan dalam bentuk

perjanjian baku (standard contract).8 Hal ini didasarkan pada Pasal 1338

ayat (1) BW tentang asas kebebasan berkontrak, yang mana dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tujuan dibentuknya perjanjian baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian

yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.9

Jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1472 BW. Pasal 1457 BW menyatakan bahwa:

“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Dewasa ini, suatu perjanjian jual beli tidak hanya dilakukan secara konvensional, yang mana antara penjual dan pembeli bertemu secara langsung dan membuat kesepakatan diantara mereka. Jual beli dapat dilakukan dengan tidak bertemunya penjual dan pembeli secara langsung, contohnya dalam perjanjian jual beli secara elektronik, yang mana penjual menentukan harga secara sepihak dan berlaku secara umum sehingga pembeli hanya memiliki hak pilih menerima atau menolak perjanjian tersebut.

8

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung,

2005, hlm. 1.

9


(13)

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dilakukan secara deskriptif analitis, yang mana penelitian dilakukan dengan melukiskan dan mengambarkan fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum yang berhubungan dengan pencantuman klausula eksonerasi sebagai klausula baku dalam perjanjian jual beli.

2. Metoda Pendekatan

Metode pendekatan dilakukan secara yuridis normatif, yaitu metode yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma, dalam hal ini dilakukan melalui penafsiran hukum,

konstruksi hukum dan filsafat hukum.10 Penafsiran hukum dilakukan

secara gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam peratuaran perundang-undangan tertentu.

3. Tahap Penelitian

10

Hetty Hassanah, Penyusunan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Komputer Indonesia, disampaikan pada “Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodology” Fakultas Hukum UNIKOM, Bandung, 12 Februari, 2011, hlm. 5.


(14)

Penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dengan pengambilan

data dari berbagai literatur tertulis serta browsing pada situs internet

yang berhubungan dengan pencantuman klausula eksonerasi dalam bentuk klausula baku pada perjanjian jual beli.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, jurnal,

artikel dan lain-lain, serta browsing situs internet yang berhubungan

dengan pokok bahasan. 5. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan sehingga tidak tumpang tindih serta menggali nilai yang hidup dalam masyarakat baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis 6. Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, Penulis mengambil tempat/lokasi di: a. Perpustakaan:

1. Perpustakaan UNIKOM, Jalan Dipatiukur 112 Bandung;

2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Jalan Imam Bonjol 21 Bandung.

3. Perpustakaan Daerah

b. Browsing di internet yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diambil, diantaranya adalah

1. http://hukumonline.com; 2. http://hukumpedia.com;


(15)

3. http://www.bluevisionnetworks.net;

4. http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel; 5. http://saepudinonline.wordpress.com/2010/11/06; 6. http://notarissby.blogspot.com/208/09;

7. http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/12; 8. http:/kuliahonline.unikom.ac.id.


(16)

BAB II

ASPEK HUKUM KLASULA EKSONERASI DALAM

PERJANJIAN JUAL BELI DAN PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A. Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli

Konsumen memiliki hak untuk secara seimbang menentukan sendiri pilihan akan barang dan/atau jasa yang hendak digunakan atau dimanfaatkan. Kelayakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau diperdagangkan berikut informasi mengenai barang dan/atau jasa tersebut merupakan awal dari seluruh rangkaian proses mengkonsumsi barang dan/atau jasa oleh konsumen. Berdasarkan informasi yang diberikan pelaku usaha, konsumen selanjutnya dapat memutuskan menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa tersebut yang kemudian terjadi proses perdagangan yang merupakan suatu hubungan jual beli. Hubungan hukum ini kemudian diikuti dengan suatu perjanjian.

Sudikno Mertokusumo (1996:103) mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan


(17)

hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding).7

Perjanjian pada umumnya didasarkan pada Pasal 1313 BW, yang menyatakan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hubungan para pihak tersebut merupakan suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban sehingga mendapat jaminan hukum.

Perjanjian lahir karena adanya suatu kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 ayat (1), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan perkataan lain bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum serta kesusilaan.

Perjanjian dapat dilakukan oleh subjek perjanjian, yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah para pihak yang terikat dengan suatu perjanjian. Subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu dan badan hukum. BW membedakan 3 (tiga) golongan yang tersangkut

pada perjanjian yaitu:8

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya; dan

c. Pihak ketiga.

7

Sudikno Mertukusumo dalam http://saepudinonline.wordpress.com,

diakses pada 8 April 2011, Pkl. 11.20 WIB.

8


(18)

Secara sederhana perjanjian dapat dilakukan oleh kreditur dan debitur. Perjanjian dapat terlaksana jika syarat sahnya suatu perjanjian terpenuhi. Syarat sahnya suatu perjanjian terdapat pada Pasal 1320 BW yang menyatakan bahwa:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal”.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau adanya

persesuaian kehendak para pihak, tidak adanya unsur dwang (paksaan),

dwaling (kekhilafan) dan begrog (penipuan). Hal ini terdapat pada Pasal 1321 BW sampai Pasal 1328 BW.

Cakap (bekwaam) untuk membuat perjanjian merupakan syarat

umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah,9 yaitu para

pihak dalam membuat perjanjian telah dewasa, sehat akal dan pikiran dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan satu perbuatan tertentu. Syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya

maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.10 Hal ini

dikarenakan seseorang yang membuat suatu perjanjian harus mempunyai tanggung jawab untuk perbuatannya tersebut.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek perjanjian. Menurut Pasal 1332 BW, barang yang dapat dijadikan

9

Riduan Syahrani, Op. Cit., hlm. 208.

10


(19)

objek perjanjian merupakan barang yang dapat diperdagangkan. Pasal 1333 BW, barang yang menjadi objek perjanjian ini harus tertentu, yaitu dapat ditentukan jenisnya dan diperhitungkan jumlahnya. Selajutnya barang yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Suatu sebab yang halal, Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang

palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.11 Pasal 1337 BW

menyatakan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.12

Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, bilamana suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat subjektif tersebut, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh para pihak. Namun selama perjanjian tidak dibatalkan para pihak maka perjanjian dapat terus berlangsung. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, bilamana suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu atau kedua syarat objektif tersebut maka perjanjian batal demi hukum dan sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Terdapat 3 (tiga) unsur dalam syarat sahnya suatu perjanjian,

diantaranya adalah:13

1. Unsur Esensialia, merupakan unsur yang harus ada di dalam

perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian

itu tercipta (constructieve oordeel);

11

Ibid., hlm. 211.

12

Ibid., hlm. 212.

13


(20)

2. Unsur Naturalia, merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti

menjamin tidak adanya cacat dari benda yang dijual (vrijwaring);

dan

3. Unsur Aksidentialia, merupakan sifat yang melekat pada

perjanjian secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.

Ada beberapa asas yang dapat diberlakukan dalam perjanjian, yaitu:14

1. Asas konsensualisme, asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 BW yang mana di dalamnya ditemukan istilah “semua”. Kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi

kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang rasanya

baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

2. Asas kepercayaan, seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin dapat diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

14


(21)

3. Asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan dan kebiasaan akan mengikat para pihak.

4. Asas persamaan hak, asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

5. Asas keseimbangan, Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debtur seimbang

6. Asas moral, merupakan suatu perbuatan sukarela dari seseorang yang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat di dalam

zaakwaarneming, di mana seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai


(22)

kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 BW.

7. Asas kepatutan, terdapat dalam Pasal 1339 BW yang mana berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

8. Asas kebiasaan, diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 BW yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti. 9. Asas kepastian hukum, perjanjian harus mengandung kepastian

hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Jual beli diatur pada Pasal 1457 BW sampai dengan Pasal 1472 BW. Pasal 1457 BW menyatakan bahwa:

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Menurut Subekti, jual beli merupakan sesuatu yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak

yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya.15

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk

15


(23)

memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Hal ini dikarenakan jual beli di dalam hukum adalah salah satu bentuk perjanjian.

Para pihak dalam perjanjian jual beli diantaranya adalah penjual dan pembeli, yang mana keduanya memiliki kewajiban yang wajib dipenuhi. UUPK mengenal para pihak dalam perjanjian jual beli sebagai konsumen dan pelaku usaha. Kewajiban penjual diuraikan dalam Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512 BW. Pasal 1474 BW menyatakan bahwa:

“Ia mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya”.

Pasal 1478 menyatakan bahwa,

“Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya”.

Pasal 1483 menyatakan bahwa,

“Si penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian, dengan perubahan-perubahan seperti yang berikut”.

Kewajiban pembeli dalam BW dijelaskan melalui Pasal 1513 sampai dengan Pasal 1518. Pasal 1513 BW menyatakan bahwa,

“Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian”.


(24)

Hak dan kewajiban konsumen dalam UUPK dijelaskan dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 UUPK menyatakan bahwa:

“Hak konsumen adalah;

1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai denga nilai tukar dan kondisi serta jamian yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya”.

Konsumen memiliki hak untuk secara proporsional dan seimbang, menentukan sendiri pilihan akan barang dan/atau jasa yang hendak dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan. Kewajiban konsumen dijekaskan dalam Pasal 5 UUPK, yang menyatakan bahwa,

“Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfataan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut”.

Hak dan kewajiban pelaku usaha dijelaskan dalam UUPK Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 6 UUPK menyatakan bahwa,


(25)

“Hak pelaku usaha adalah:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Pasal 7 UUPK menyatakan bahwa, “Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamian mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

Seiring perkembangan teknologi informasi, pembeli dimungkinkan untuk melakukan perjanjian jual beli dengan penjual di berbagai negara. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi bentuk dan isi perjanjian.

Komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi

internasional untuk mengatur jual beli barang internasional pada tahun 1964


(26)

1964 dan The Uniform Law of the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada Tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah

direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United

Nation Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG).16

Kewajiban penjual menurut CISG17

Pasal 30

“Menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak”.

Pasal 30 sub a

“Jika penjual tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang ditempat yang ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli.”

Pasal 33

“Penjual harus menyerahkan barang-barang: a) pada tanggal yang ditentukan.

b) Dalam jangka waktu yang ditentukan.

c) Dalam jangka waktu wajar (reasonable) setelah pembuatan

kontrak”.

Pasal 35 ayat (1)

“Penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan yang ditentukan dalam kontrak”.

16

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/upaya-hukum-bagi-para-pihak-dalam-perjanjian-jual-beli-barang/, diakses pada 30 Mei 2011, Pkl. 06.00 WIB.

17


(27)

Pasal 41

“Penjual harus menyerahkan barnag-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga kecuali pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut”.

Kewajiban pembeli menurut CISG Pasal 53-54

“Pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan”.

Pasal 57 ayat (1)

“Jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu maka pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahan barang dan dokumen dilakukan”.

Pasal 59

“Pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak”.

Pasal 59 ayat (1)

“Jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayarnya ketika penjual menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli”.

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian konsensuil, yang mana

telah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual


(28)

dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok (esensialia), yaitu barang dan

harga.18 Hal ini terdapat dalam Pasal 1458 BW yang menyatakan bahwa,

“Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”

Namun pelaksanaannya terkadang produsen membentuk perjanjian jual beli secara sepihak atau dikenal dengan perjanjian standar. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak. Hal ini dapat terjadi akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sehingga para pihak bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dengan demikian, jual beli tidak terlepas dengan perjanjian yang mana harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Jual beli dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli. Perjanjian lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak, yang mana para pihak bebas dalam menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan tidak bertentang dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum serta kesusilaan. Perjanjian tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Para pihak berkewajiban untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan BW. Kewajiban penjual diuraikan dalam Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512 BW, sedangkan kewajiban penjual terdapat dalam Pasal 1513 BW sampai dengan

18


(29)

Pasal 1518 BW. Dalam suatu perjanjian terdapat 3 unsur syarat sahnya perjanjian yang harus diperhatikan. Dalam suatu perjanjian diberlakukan asas-asas yang, salah satunya adalah asas keseimbangan, yang mana dalam hal membuat suatu perjanjian yang dilakukan secara sepihak, tetap harus memperhatikan keseimbangan para pihak yang terdapat di dalamnya.

B. Dasar Hukum Klausula Eksonerasi

Konsumen merupakan pengguna akhir (end user) dari suatu produk,

yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.19 Predikat konsumen diperoleh sebagai

konsekuensi mengkonsumsi barang dan/atau jasa melalui suatu transaksi konsumen. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan yang berkaitan

dengan perikatan keperdataan.20 Pencantuman klausula eksonerasi dalam

suatu perjanjian jual beli termasuk salah satu hal yang berkaitan dengan perikatan keperdataan.

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk

(penjual).21 Klausula eksonerasi dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang

19

Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era

Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 227.

20

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm. 131.

21


(30)

dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal.22 Klausula eksonerasi termasuk dalam perjanjian baku.

Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut23:

Standaarvoonwarden zijn schriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld om zonder orderhandelingen omtrent hun inhoud opgenomen te worden in een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard

(Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu).

Uraian di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. Pada saat konsumen melakukan transaksi jual beli di sebuah toko, tanpa disadari bahwa konsumen telah tunduk pada perjanjian yang terdapat pada toko tersebut, yaitu berupa harga yang tercantum, dalam hal ini konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan menerima atau menolak perjanjian berupa harga tersebut. Selanjutnya, pada beberapa bukti pembelian, dapat ditemukan klausula yang menyatakan “barang yang sudah

dibeli tidak dapat dikembalikan” yang merupakan unsur aksidentalia dalam

suatu perjanjian. Klausula tersebut merupakan klausula eksonerasi sehingga

22

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 47.

23


(31)

konsumen harus tunduk kepada klausula yang dibuat secara sepihak oleh produsen tersebut.

Klausula eksonerasi atau perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu24:

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan Pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat terdapat perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.

Berdasarkan jenis perjanjian baku ini, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk

membayar ganti rugi kepada debitur adalah sebagai berikut:25

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

24

Ibid., hlm. 49

25


(32)

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur, terhadap risiko dan kelalaian yang harus

ditanggungnya. David Yates, lebih memilih menggunakan istilah exclusion

clause dan memberikan definisi any term in a contract restricting, excluding of modifying aremedy or a liability arising out of breech of a contractual obligation yang diterjemahkan secara bebas adalah klausul yang kehadirannya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang

mungkin saja muncul.26

Klausula eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat hukum yang terjadi karena tidak terlaksananya kewajiban yang diharuskan dalam perundang-undangan antara lain mengenai ganti rugi. Namun ganti rugi tidak dapat dijalankan apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal demikian.

Dengan demikian, klausula eksonerasi merupakan klausula baku yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk (penjual). Klausula eksonerasi dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Pada dasarnya pencantuman klausula eksonerasi merupakan perwujudan asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan tidak melanggar peraturan perundag-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Namun hal ini bertentangan dengan hak konsumen untuk mendapat ganti kerugian. Dalam hal konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan

26


(33)

nilai tukar yang diberikannya. Klausula eksonerasi dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.


(34)

BAB III

PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM

PERJANJIAN JUAL BELI

A. Para Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Jual Beli

Pertumbuhan teknologi informasi yang semakin cepat mempengaruhi transaksi dalam perjanjian jual beli. Pada awalnya, jual beli dilakukan secara langsung dengan bertemunya penjual dan pembeli, salah satunya adalah secara barter, kemudian berkembang dengan adanya alat tukar berupa uang dan mempertemukan penjual dan pembeli. Saat ini transaksi jual beli dapat dilakukan dengan tidak saling bertemunya penjual dan pembeli secara langsung yaitu secara elektronik melalui media internet.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha, maka perlindungan terhadap konsumen dipandang sangat penting keberadaannya, dalam rangka mengejar produktifitas dan efisiensi tersebut, pada akhirnya baik secara langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang

menanggung dampaknya.24

24

Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada

Era Perdagangan Bebas, dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 33.


(35)

Pada dasarnya, para pihak dalam suatu perjanjian adalah kreditur dan debitur. Para pihak dalam suatu perjanjian terdapat dalam BW Pasal 1315, Pasal 1317, Pasal 1318 dan Pasal 1340. BW membedakan 3 (tiga)

golongan subjek perjanjian yaitu:25

1. para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

2. para ahli waris dan merekan yang mendapat hak dari padanya; dan

3. pihak ketiga.

Perjanjian jual beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Selain melibatkan penjual dan pembeli. Perjanjian jual beli melibatkan pihak ketiga dalam hal ini adalah perusahaan yang memproduksi suatu barang dan/atau jasa.

Perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam hal ini para pihak bebas menentukan bentuk

dan isi jenis perjanjian yang mereka buat.26 Perjanjian yang dibuat dan

disepakati oleh para pihak maupun undang-undang yang dibuat dan disepakati oleh pembuat undang-undang, keduanya membentuk perikatan di antara para pihak yang membuatnya. Perikatan tersebutlah yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan

atau yang tidak boleh dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan.27

Para pihak dalam perjanjian jual beli dalam hal ini adalah penjual dan

25

Nilai kemutlakan Subjek Hukum dalam Suatu Perjanjian http://notarissby.blogspot.com/208/09/subyek-hukum-dalam-perjanjian.html, diakses pada 30 Mei 2011, Pkl 06.00 WIB.

26

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/, Op.Cit.

27

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan


(36)

pembeli, memiliki kewajiban yang wajib dipenuhi masing-masing pihak. UUPK mengenal para pihak yang terkait dalam suatu perjanjian sebagai pelaku usaha dan konsumen.

Kewajiban penjual diuraikan dalam Pasal 1473 sampai Pasal 1512 BW. Pasal 1474 BW menyatakan bahwa, penjual memiliki dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barang dan menanggungnya. Kemudian dalam Pasal 1478 BW dinyatakan bahwa penjual tidak diwajibkan untuk menyerahkan barangnya, jika pembeli belum membayar harganya, sedangkan penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya. Pasal 1483 BW menyatakan bahwa penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian.

Kewajiban pembeli terdapat dalam Pasal 1513 BW sampai dengan Pasal 1518 BW. Pasal 1513 BW menyatakan kewajiban utama pembeli adalah membayar harga utama pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Hak dan kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK, sedangkan hak dan kewajiban pelaku usaha dijelaskan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK.

Pasal 4 UUPK pada intinya menyatakan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta untuk memilih dan mendapatkan informasi yag benar tentang kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Selain itu konsumen memiliki hak untuk didengar pendapatnya atas barang dan/jasa yang digunakan dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif, kemudian hak untuk mendapatkan advokasi, perlidungan dan upaya penyelesaian


(37)

sengketa dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK yang menyatakan bahwa, konsumen wajib membaca dan mengikuti petunjuk pemanfaatan barang dan/atau jasa, beritikad baik dalam melakukan transaksi, membayar sesuai alat tukar yang disepakati dan mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen. Konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi, hal ini dikarenakan adanya kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha.

Dalam hal untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak yang dijelaskan dalam Pasal 6 UUPK yang menyatakan bahwa, pelaku usaha berhak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik, hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya, hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

Selanjutnya sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan, maka para pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban yang dijelaskan dalam Pasal 7 UUPK yang menyatakan bahwa, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Hal ini


(38)

disebabkan kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha). Kewajiban pelaku usaha lainnya yaitu untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Di samping informasi merupakan hak konsumen, hal ini juga karena tidak adanya informasi dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk yang akan

merugikan konsumen.28

Selama terjadi kesepakatan antara para pihak, maka perjanjian telah mengikat, kecuali terdapat suatu paksaan, kekhilafan maupun penipuan atas

diri konsumen.29 Mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy,

mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu:30

1. the right to safe products;

2. the right to be informed about products;

3. the right to definite choices in selecting products;

4. the right to be heard regarding concumer interests.

Perkembangan teknologi informasi memungkinkan pembeli untuk melakukan perjanjian jual beli dengan penjual di berbagai negara. Perbedaan tersebut kemudian akan mempengaruhi bentuk dan isi perjanjian.

Komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi

internasional untuk mengatur jual beli barang internasional pada tahun 1964

yang menghasilkan The Uniform Law on the International Sale of Goods

28

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm. 44.

29

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hlm 26.

30


(39)

1964 dan The Uniform Law of the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada Tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah

direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United

Nation Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG).31 Pasal 30 dalam CISG menyatakan bahwa penjual wajib menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. Pasal 33 CISG menyatakan bahwa penjual harus menyerahkan barang-barang pada tanggal dan jangka waktu yang ditentukan. Pasal 35 ayat (1) CISG menyatakan bahwa penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak. Pasal 41 CISG menyatakan bahwa penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan pihak ketiga.

Kewajiban pembeli dalam CISG dijelaskan dalam Pasal 53 yang menyatakan bahwa pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak. Pasal 59 CISG menyatakan bahwa pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak.

Dengan demikian, dalam suatu perjanjian terdapat para pihak yang melakukan perjanjian. BW mengenal dengan penjual dan pembeli dan masing-masing pihak memiliki kewajiban yang wajib dipenuhi. Kewajiban penjual diuraikan dalam Pasal 1473 sampai dengan Pasal 1512 BW. Kewajiban pembeli dalam BW dijelaskan melalui Pasal 1513 sampai dengan Pasal 1518.

UUPK mengenal para pihak yang membuat suatu perjanjian dengan konsumen dan pelaku usaha, yang mana masing-masing pihak memiliki hak

31


(40)

dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Hak dan kewajiban pembeli diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK, sedangkan untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha sebagai keseimbangan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha diberikan hak dan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK. Dalam hal perjanjian jual beli melibatkan unsur asing dalam hal ini dilaksanakan oleh para pihak yang tinggal di negara yang berbeda, komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional yang dikenal dengan CISG, termasuk di dalamnya mengatur mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli. Pada dasarnya hak penjual merupakan kewajiban pembeli dan sebaliknya hak pembeli merupakan kewajiban penjual yang harus dipenuhi.

B. Penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli

Klausula eksonerasi merupakan suatu klausula baku. Pada dasarnya tujuan dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Perjanjian merupakan konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.

Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat

dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:32

32

http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/12/, diakses pada 6 juni 2011, Pkl 12.00 WIB.


(41)

1. Perjanjian baku sepihak, merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, merupakan perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.

Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract

model.

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen (penjual). Berdasarkan hal ini terlihat bahwa dengan adanya klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen.

Penerapan klasula eksonerasi yang sering ditemui adalah pada saat konsumen melakukan transaksi jual beli di sebuah toko, tanpa disadari bahwa konsumen telah tunduk pada perjanjian yang terdapat pada toko tersebut, yaitu berupa harga yang tercantum, dalam hal ini konsumen hanya


(42)

memiliki 2 (dua) pilihan menerima atau menolak perjanjian berupa harga tersebut. Selanjutnya, pada beberapa bukti pembelian, dapat ditemukan klausula yang menyatakan “barang yang sudah dibeli tidak dapat

dikembalikan” yang merupakan unsur aksidentalia dalam suatu perjanjian,

yang mana menjadikan konsumen harus tunduk kepada klausula yang dibuat secara sepihak oleh produsen tersebut.

Klausula baku juga diterapkan dalam perjanjian jual beli rumah yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Penjualan rumah dilakukan oleh pihak pengembang yang mana perjanjiannya menggunakan klausula eksonerasi dalam hal pembayaran dan sanksi. Salah satu isi dari klasula tersebut menyatakan bahwa “jika pihak kedua tidak melakukan pembayaran angsuran menurut jadwal yang telah disetujui bersama maka pihak kedua dikenakan denda sebesar 1 permil setiap hari keterlambatan terhitung sejak jatuh tempo yang dibayar oleh pihak kedua”. Klausula lainnya yaitu, “jika pihak kedua telah membayar uang muka tahap I tetapi tidak membayar uang muka tahap II menurut jadwal yang telah ditentukan maka pihak II dianggap membatalkan diri atas pembelian rumah tersebut dan uang tanda jadi menjadi hangus sedangkan uang muka tahap I dipotong sebesar 25 % (dua puluh lima persen)”.

Pada dasarnya hal ini bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian tentang sepakat mereka yang mengikatkan dirinya yang mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau adanya persesuaian kehendak para pihak, tidak adanya unsur

dwang (paksaan), dwaling (kekhilafan) dan bedrog (penipuan). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah konsumen merasa terpaksa


(43)

menandatangani perjanjian jual beli perumahan tersebut yang telah dibakukan terhadap cara pembayaran dan sanksi karena terdesak akan kebutuhan kredit untuk melakukan pembayaran terhadap perumahan yang sudah dibeli konsumen tersebut.

Pada saat konsumen melakukan perjanjian secara elektronik, tidak jarang para pelaku usaha mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan bahwa kondisi barang yang diterima konsumen tidak menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini juga merupakan suatu kerugian yang harus dihadapi konsumen, karena tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak diuntungkan dalam hal ini adalah konsumen, yang mana konsumen hanya memiliki dua pilihan menolak atau menerima perjanjian yang diberikan oleh pelaku usaha.

Penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli telah banyak terjadi, baik dalam hal jual beli yang dilakukan secara konvensional yaitu dengan bertemunya penjual dan pembeli secara langsung maupun perjanjian yang dilakukan secara elektronik menggunakan media internet dengan tidak bertemunya penjual dan pembeli secara langsung. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi konsumen, karena tidak adanya kesesuaian kehendak yang terjadi antara penjual dan pembeli. Pada dasarnya pelaku usaha tidak dilarang mencantumkan perjanjian yang berisi klausula baku hal ini merupakan akibat dari asas kebebasan berkontrak dengan pengecualian dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab (klausula eksonerasi) pelaku usaha. Hal ini terdapat dalam Pasal 18


(44)

ayat (1) huruf a UUPK, namun dalam kenyataannya masih ada pelaku usaha yang mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjiannya maupun dalam bukti pembayaran yang akan mengakibatkan timbulnya suatu kerugian bagi konsumen.


(45)

BAB IV

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA

EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen atas Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Hal ini menjadikan barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri. Perkembangan tersebut kemudian telah mempermudah segala hal termasuk dalam hal perjanjian jual beli.

Kondisi yang demikian satu pihak memiliki manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Di lain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan


(46)

besarnya oleh pelaku usaha, salah satunya melalui penerapan klausula eksonerasi yang merugikan konsumen.

Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha, sehingga dalam hal terdapat kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab.

Ada beberapa asas dari perlindungan konsumen dalam UUPK, yaitu: 1. Untuk mendapatkan keadilan.

2. Untuk mencapai asas manfaat. 3. Untuk mencapai asas keseimbangan.

4. Untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan konsumen. 5. Untuk mendapatkan kepastian hukum.

Secara umum, terdapat beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum yang dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Kesalahan (liability based on fault);

2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);

3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of

nonliability);

4. Tanggung jawab mutlak (strict liability); dan

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Kesalahan (liability based on fault), prinsip ini berlaku dalam hukum

hukum pidana dan perdata, seperti dalam BW terdapat dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367. Pasal 1365 dikenal dengan pasal perbuatan melawan


(47)

hukum, yang mengharuskan terpenuhinya empat syarat pokok, salah satu syaratnya adalah adanya kesalahan. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), prinsip

ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption

of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, sehingga beban pembuktian ada pada tergugat dikenal dengan beban pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik terdapat dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK.

Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability),

merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan

demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Tanggung jawab mutlak (strict liability), merupakan prinsip tanggung

jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Tanggung

jawab ini didasarkan pada tanggung jawab produk langsung secara perdata dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), prinsip ini sangat

disenangi pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.


(48)

Prinsip tanggung jawab yang lain adalah contractual liability, dalam hal terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen.

Tanggung jawab pelaku usaha yang didasarkan pada contractual liability,

merupakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian dari pelaku usaha baik yang menjual barang dan/atau jasa atas kerugian yang dialami

konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau

memanfaatkan jasa yang diberikan.

Pencantuman klausula baku pada dasarnya tidak dilarang. Tujuan dibuat klausula baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian. Pasal 18 butir a UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Konsumen sebagai pihak yang lemah dalam hal ini, akan mengalami kerugian bilamana pelaku usaha mencantumkan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli. Hal ini, dikarenakan konsumen hanya memiliki

pilihan menerima atau menolak perjanjian tersebut (take it or leave it

contract). Namun yang terjadi banyak konsumen yang menerima perjanjian yang memuat klausula eksonerasi dikarenakan kebutuhan akan barang dan/atau jasa tersebut. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasanya diharapkan dapat lebih bijak dalam mencantumkan klausula baku dalam suatu perjanjian jual beli.

Berdasarkan doktrin caveat venditor yang mana menuntut produsen


(49)

konsumen mengenai produk yang besangkutan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas segala

kerugian yang ditimbulkan oleh produknya. Doktrin caveat emptor yang

berarti bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu maka konsumen harus waspada kemungkinan adanya cacat pada barang. Konsumen harus waspada termasuk dalam hal pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli, sehingga konsumen dapat melindungi dirinya dari kerugian yang akan ditimbulkan dari perjanjian jual beli tersebut.

Perlindungan hukum bagi konsumen atas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli dapat dilakukan jika pelaku usaha memenuhi hak konsumen yang terdapat dalam angka 2 Pasal 4 UUPK, yang menyatakan konsumen berhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Apabila perjanjian dilakukan melalui media elektronik terkadang pelaku usaha tidak memenuhi hak tersebut dengan mencantumkan klausula eksonerasi yang akan merugikan konsumen.

Pasal 18 ayat (3) menyatakan setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum, sehingga apabila terdapat penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum dan perjanjian dianggap tidak pernah ada. Namun kendala yang dihadapi adalah tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah akan hak-haknya menjadi faktor utama.


(50)

Di samping itu pelaku usaha wajib memenuhi kewajibannya dalam hal memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selain itu Pasal 19 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pasal 19 ayat (2) menyatakan ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu contoh kasus yang dikemukakan pada pada bab sebelumnya, yakni dalam hal jual beli rumah. Rumah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Untuk memberikan kemudahan dari segi hubungan hukum antar pihak pengembang (pelaku usaha) dengan konsumen, pihak yang lebih kuat kedudukannya yaitu pengembang membuat formulir-formulir standar yang mengikat yang biasa disebut dengan kontran standar. Pada kontrak standar tersebut dimuat klausula-klausula pengecualian atau klausula eksonerasi yang menyatakan

meniadakan tanggung jawab pengembang dalam hal terlambat

menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat dalam membayar angsuran akan dikenakan denda. Klausula lainnya menyatakan membebaskan pengembang dari klaim kondisi atau kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100 (seratus) hari sejak serah terima bangunan.


(51)

Pembuat kontrak standar sebagai “pembuat undang-undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakan adanya penyalahgunaan

keadaan (misbruik van omstandigheiden), karena pihak lain berada

keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai “hakim swasta”.

Dengan demikian pentingnya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen merupakan hal penting agar konsumen dapat melindungi dirinya dari pelaku usaha yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan perjanjian jual beli termasuk yang menggunakan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli. Pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPK. Hal ini dikarenakan hak-hak konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha demikian sebaliknya, hak-hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen.

B. Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen atas Kerugian yang Ditimbulkan dari Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Jual Beli

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal penggunaan klasula eksonerasi dalam suatu


(52)

perjanjian jual beli. Penggunaan klausula baku tidak dilarang, yang dilarang adalah klausula baku yang di dalamnya terdapat klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen atau dikenal dengan klausula eksonerasi.

Konsumen sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa berhak melakukan tindakan perlindungan serta jaminan hukum secara adil baik secara pidana dan/atau secara perdata.

Pada dasarnya penggunaan klausula baku bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian yaitu tentang sepakat para pihak. Namun hal ini dimungkinkan akibat dari adanya asas kebebasan berkontrak yang mana tiap orang berhak menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan tidak melanggar peraturan, ketertiban umum dan kesusilaan. Penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli, akan menimbulkan suatu kerugian secara materiil maupun immateriil. Permasalah yang timbul dari penggunaan klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian jual beli berhubungan dengan perbuatan melawan hukum. Seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum jika memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1365 BW sebagai berikut:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Syarat-syaratnya meliputi:

1. Perbuatan melanggar hukum, tidak hanya perbuatan yang


(53)

mengganggu ketertiban umum, kepatutan, kebiasaan dan kesusilaan.

2. Kesalahan, ada akibat hukum yang terjadi karena suatu kesalahan.

3. Kerugian, kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian mateeriil dan/atau kerugian imateriil.

4. Hubungan kausal, adanya hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum, kesalahan dan kerugian.

Berkaitan dengan syarat-syarat perbuatan melawan hukum tersebut, dapat dikaitkan dengan fakta-fakta yang dianggap ada pada kasus-kasus perjanjian jual beli yang menggunakan klausula eksonerasi. Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku usaha atas penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 18 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antar konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Jika konsumen memilih untuk menggugat melaui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa, maka konsumen dapat menggugat melalui Badan Penyelesaian


(54)

Sengketa Konsumen (BPSK) yang mana tugas dan wewenangnya terdapat dalam Pasal 52 UUPK.

Dalam hal pelaku usaha tidak memberikan ganti kerugian, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan pasal 26. Hal ini terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) UUPK. Sedangkan ayat (2) menyatakan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah.

Pasal 62 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 63 UUPK menyatakan, terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa:

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.


(1)

59

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel; http://saepudinonline.wordpress.com/2010/11/06; http://notarissby.blogspot.com/208/09;

http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/12; http:/kuliahonline.unikom.ac.id/

Sumber lain

Budi Fitriadi, Struktur Materi UUPK, Bandung, 2010.

Hetty Hassanah, Penyusunan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas

Komputer Indonesia, Bandung, 2011.

Peraturan Perundang-undangan Burgerlijk Wetboek;

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).


(2)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Intan Mutia Sari

Tempat, Tgl Lahir : Sigli, 31 Desember 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kota Baru VII No. 1 PAZ RT 006 / RW 008 Bandung 40252

Email : desanz_sgzone@yahoo.co.id

Twitter : http://twitter.com/Intan_ms

HP : 081321842483

Pendidikan Formal :

SDN LENGKONG BESAR 85/2 BANDUNG (1995-2001)

SMP DEWI SARTIKA BANDUNG (2001-2004)

SMA NEGERI 17 BANDUNG (2004-2007)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG (2007-sekarang)


(3)

i

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dengan izin Allah SWT dan ucapan syukur Alhamdulillah, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul: TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUNUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung.

Menyelesaikan skripsi ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Penulis, walaupun Penulis menyadari dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaaan, baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan materi. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan maupun kemampuan yang Penulis miliki. Oleh karena itu Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yth. Hetty Hassanah S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing bagi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini pada Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia.

Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(4)

1. Yth. Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, M.Sc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S. selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Prof. Dr. Moh. Tadjuddin, M.A, selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H, selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Febilita Wulan Sari, S.H., selaku Dosen Wali Angkatan 2007 Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Budi Fitriadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Rika Rosilawati, A.Md., selaku Sekretariat Jurusan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

11. Karyawan di Lingkungan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;


(5)

iii

Terima kasih untuk Mama tercinta yang selalu mendoakan, mendukung, memberikan semangat dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tanpa doa dan dukungan Mama, Tia ngga akan bisa kayak gini.

Evie Arisandy aka Sandy, sahabat seperjuangan kesana-kemari, makan-makan, jalan-jalan dan banyak lagi yang lainnya. Ngga kerasa udah empat taun aja kita bareng. Jangan lose contact setelah kita pisah nanti ya.

Teman-teman angkatan 2007, yang ngga bisa disebutin satu-satu, yang udah sama-sama ngelewatin suka dan duka, senang-senang, marah-marahan.

Keep rocks guys.

Stasiun-stasiun TV swasta yang udah menyiarkan pertandingan Liverpool FC, niatnya begadang buat kerjain skripsi ini, malah nonton. Yang penting You’ll Never Walk Alone.

Dikarenakan penulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Penulis memohon saran dan kritik bagi penulisan ini untuk perbaikan di waktu yang akan datang.

Agustus, 2011


(6)

TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN

KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK

JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

LEGAL VIEW CONCERNING THE QUOTATION OF

EXONERATION CLAUSE IN TRADE AGREEMENT RELATED

WITH BOOK III OF BURGERLIJKE WETBOEK JUNCTO LAW

NUMBER 8/1999 ABOUT CONSUMER PROTECTION

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh:

NAMA: INTAN MUTIA SARI NIM: 3.16.07.010

Dibawah Bimbingan: HETTY HASSANAH, S.H., M. H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Perlindungan Konsumen Atas Cacat Tersembunyi Pada Objek Perjanjian Jual Beli Mobil Memberikan Fasilitas Garansi Dihubungkan Dengan Buku Burgeelijk Wetboek JUNCTO Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

5 36 108

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 11

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

0 2 100

Klausula Baku Dalam Perjanjian Jual Beli Melalui Toko Online Dalam Situs Jejaring Sosial Kaskus Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11.

0 1 1

Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dihubungkan Dengan Asas - Asas Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Dan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 2

TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSAKSI JUAL - BELI MELALUI SITUS BELANJA ONLINE ( ONLINE SHOP ) MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 10

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen - Repository Unja

0 0 13

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 70