Produk Program KWD Meublair

380 kehidupannya. Manfaat tersebut dapat terlihat dari kemampuan warga belajar untuk dapat bekerja menerapkan hasil dari kursus yang diikuti dan berimplikasi pada meningkatnya kemampuan produksi dan penghasilan setelah mengikuti program. Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Implementasi Program Kursus Wirausaha Desa KWD bidang meublair telah terselenggara dengan efektif. Hal ini sesuai dengan pencapaian pada: a. Komponen Context: warga masyarakat mendukung program KWD melalui partisipasi mengikuti dan mendukung program. b. Komponen Input. 1 Karakteristik warga belajar memenuhi kriteria sasaran yang di persyaratkan dalam penye- lenggaraan program KWD, 2 Karakteristik instruktur memi- liki kualifikasi dan kompetensi yang memadai, baik dari segi pengalaman, pelatihan, tingkat pendidikan serta kuantitas, 3 Kurikulum yang digunakan sesuai dengan materi dan kompetensi yang akan dicapai, 4 Pendanaan dan fasilitas tersedia dengan cukup memadai. c. Komponen Process 1 Aktivitas warga belajar berada dalam kategori sangat baik, 2 Strategi pembelajaran yang digunakan instruktur sesuai dengan pendekatan pembela- jaran orang dewasa andragogi. d. Komponen Product 1 Sikap kewirausahaan yang dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun- jukkan hasil yang baik, 2 Kecakapan personal yang dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun- jukkan hasil sangat baik, 3 Kecakapan sosial yang dimiliki warga belajar pasca implement- tasi kursus menunjukkan hasil sangat baik, 4 Kecakapan vokasional yang dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun- jukkan hasil baik. Saran Kepada Pengelola program untuk terus melakukan pendampingan intensif bagi warga belajar pasca penyelenggaran kursus dengan memberikan dukungan dan fasilitasi dalam bentuk teknis untuk keberlanjutan hasil program. Selain itu, perlu untuk dikembangkan kemitraan ke berbagai pihak khususnya untuk pemanfaatan hasil dari produk kursus yang diselengggarakan. Daftar Pustaka Depdiknas. 2008. Pedoman Program Kursus Wirausaha Desa KWD Pendidikan Nonformal dan Informal. Jakarta: Direktorat Jendral PNFI. Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. 2011. Petunjuk Peknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa KWD Pendidikan Nonformal dan Informal. Jakarta: 381 Littunen, Hannu. 2000. Journal Entrepreneurship and the Characteristic of the Entrepreneurial Personality. MCB University. Ruwiyanto, Wahyudi. 1994. Peranan Pendidikan dalam Pengentasan Masyarakat Miskin: Pengaruh Faktor-faktor Dinamika Organisasi Lembaga Pendidikan Karya terhadap Manfaat Sosioekonomi Warga Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Stuffelbeam. 2003. The CIPP model for evaluation. Portland, Oregon: Western Michigan University. . 2003. Evaluation models, view points on educational and human services evaluation,2nd. Boston. Kluwer Nijhof Publishing. © 2014 LPPM IKIP Mataram Pengembangan Multi Media Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan Siswa Kelas 1 Sekolah Dasar Mujiburrahman 1 dan Yayan Heryana 2 1 Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP Mataram. 2 Program Studi Teknologi Pendidikan FIP IKIPMataram E-mail: mujib55rocketmail.com Abstract: This research aims to make the design of multi-media learning to write and read the beginning of class 1 Primary School, with a specific purpose, namely: 1 Develop a prototype model of learning to write and read the beginning of the use of multi-media, 2 Creating a multi media design models in learning reading and writing skills beginning, and 3 Developing product design model of learning to write and read beginning with multi-media. Development of multi-media learning to write and read beginning with taking steps Research and Development R D. The subjects were students of class 1 State Elementary School 18 Mataram. The result of this study is a multi media learning to write and read the beginning of elementary school students in grade 1. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuat desain multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk kelas 1 Sekolah Dasar, dengan tujuan khusus yaitu: 1 Menyusun prototipe model pembelajaran menulis dan membaca permulaan menggunakan multi media, 2 Membuat model desain multi media dalam pembelajaran keterampilan menulis dan membaca permulaan, dan 3 Mengembangkan produk model desain pembelajaran menulis dan membaca permulaan dengan multi media. Pengembangan multi media pembelajaran menulis dan membaca permualaan dengan mengambil langkah-langkah Research dan Development RD. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri 18 Mataram. Hasil penelitian ini adalah produk multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk siswa kelas 1 Sekolah Dasar. KataKunci : Multi media, Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan, Sekolah Dasar Pendahuluan Membaca permulaan merupakan tahapan proses belajar membaca bagi siswa Sekolah Dasar kelas awal. Siswa belajar untuk memperoleh kemampuan dan menguasai teknik-teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik. Oleh karena itu, guru perlu merancang pembelajaran membaca dengan baik sehingga mampu menum- buhkan kebiasan membaca sebagai suatu yang menyenangkan. Suasana belajar harus dapat diciptakan melalui kegiatan permainan bahasa dalam pembelajaran membaca. Hal itu sesuai dengan karakteristik anak yang masih senang bermain. Permainan memiliki peran penting dalam perkembangan kognitif dan sosial anak. menurut Wright dkk 1993, mengajar anak untuk dapat membaca dan menulis merupakan kegiatan yang sulit dilakukan. Apalagi untuk mengajar membaca dan menulis permulaan pada anak-anak usia kelas awal yang masih berada dalam usia bermain dan belum memungkinkan untuk menghadapkan mereka pada situasi pembelajaran yang serius. Fenstermacher dalam Arend mem- berikan contoh argumen praktis seorang guru yang digunakannya untuk mendukung metode-metode yang dipakainya untuk mengajari membaca, salah satunya bahwa sangat penting bagi anak untuk tahu cara membaca httpwww.cara.membaca. Tujuan membaca permulaan di kelas 1 adalah agar siswa dapat membaca kata- kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat Depdikbud, 1994. Kelancaran 384 dan ketepatan anak membaca pada tahap belajar membaca permulaan dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di kelas 1. Dengan kata lain, guru memegang peranan yang strategis dalam meningkatkan keterampilan membaca siswa. Peranan strategis tersebut menyangkut peran guru sebagai fasilitator, motivator, sumber belajar, dan organisator dalam proses pembelajaran. Guru yang berkompetensi tinggi akan sanggup menyelenggarakan tugas untuk mencerdaskan bangsa, mengembangkan pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan membentuk ilmuwan dan tenaga ahli. Kemudian kemampuan menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat dasarpermulaan, pembelajaran me- nulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih untuk dapat menuliskan mirip dengan kemampuan melukis atau menggambar lambang-lambang tulis yang jika dirang- kaikan dalam sebuah struktur, lambang- lambang itu menjadi bermakna. Selanjutnya dengan kemampuan dasar ini, secara perlahan-lahan anak-anak digiring pada kemampuan menuangkan gagasan, pikiran, perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang tulis yang sudah dikuasainya. Inilah kemampuan menulis yang sesungguhnya. Menulis merupakan aktivitas multi- sensori yang mana gabungan dari aktivitas melihat, mendengar, meraba, dan merasakan http:duniabaca.com. Sehingga kesiapan menulis perlu ditanamkan sejak dini, agar nantinya apabila terjadi keterlambatan atau kekurangan dalam salah satu aspek keteram- pilan menulis akan diketahui lebih awal penanganannya. Kemampuan menulis dan membaca permulaan adalah hal yang sangat penting bagi siswa kelas rendah untuk dikuasai dan akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran selanjutnya apabila belum dikuasai, hal ini menjadi penentu bagi seorang siswa untuk mengikuti pembelajaran yang lebih tinggi. Salah satu penyebab dari terbatasnya siswa dalam kemampuan menulis adalah guru kurang kreatif dalam memilih bahan ajar, metode, dan media pembelajaran. Di sini kreativitas guru sangat dibutuhkan dalam memilih media dengan metode yang tepat untuk siswa. Guru dapat melakukan pembelajaran menulis dan membaca permulaan dengan media pembelajaran. Bahan ajar, metode, dan media pem- belajaran yang dipilih sebaiknya memper- timbangkan masalah kebutuhan, minat, dan perhatian siswa serta lingkungan kehidupan mereka. Permasalahan yang ada dari segi guru tidak terbatas dari hal itu saja. Pendekatan tradisional masih digunakan guru dalam pembelajaran menulis dan membaca permulaan. Kondisi di lapangan dari survey yang dilakukan bahwa terdapat beberapa siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, hal ini dikarenakan banyak faktor antara lain misalkan guru memakai metode dan media pembelajaran masih menggunakan pembelajaran secara kon- vensional padahal guru menjadi penting dalam merekayasa proses pembelajaran supaya pesan-pesan yang disampaikan oleh guru sampai kepada siswa, dalam UUPermen yang berlaku bahwa siswa tidak boleh tinggal di kelas yang sama sampai dua 385 kali sehingga dia harus naik kelas walaupun siswa tersebut masih belum bisa baca tulis, hal ini harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua kalangan. Kreativitas guru dalam memilih media dan metode dalam pembelajaran menulis dan membaca permulaan sangat diperlukan supaya siswa lebih termotivasi dalam belajar menulis. Dalam pembelajaran menulis dan membaca permulaan, peneliti menggunakan multi media. Penggunaan multi media diharapkan membuat siswa bisa terfokus untuk memperhatikan apa yang ditayangkan di depan kelas, siswa lebih cepat mengerti, dan lebih cepat mengenali alfabet. Menurut Degeng 1997 peran- cangan pembelajaran dapat dijadikan titik awal perbaikan kualitas desain pem- belajaran. Program pembelajaran yang menggunakan seperangkat media merupa- kan upaya efektif untuk meningkatkan daya tarik pembelajaran Sahalessy, 1998. Untuk itu, pengembangan media yang tepat merupakan suatu usaha untuk menyiapkan kondisi belajar yang lebih baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pembelajaran membaca permulaan di SD. Menurut Latham dalam Arend 2008 bahwa teknologi dapat dan memang memiliki arti penting dan bahwa bukti mulai menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan teknologi dan prestasi siswa. Dengan demikian penggunaan multi media dalam proses pembelajaran menulis dan membaca permulaan sangat penting supaya siswa lebih termotivasi dalam belajar, tidak cepat jenuh, terfokus untuk memperhatikan apa yang ditayangkan di depan kelas, siswa lebih cepat mengerti, dan lebih cepat mengenali alfabet. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap persiapan pencarian informasi. Kedua, analisis Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus menulis dan membaca permulaan kelas 1 Sekolah Dasar. Pada tahapan ini, penelitian difokuskan pada kajian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sebagai bahan penyusunan desain media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk siswa kelas 1 Sekolah Dasar. Ketiga, membuat media pem- belajaran menulis dan membaca permulaan multi media, pada tahapan ini penelitian difokuskan pada pembuatan desain media pembelajaran menulis dan membaca permulaan dengan multi media. Desain pembelajaran multi media disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompe- tensi Dasar serta silabus yang digunakan dalam pembelajaran menulis dan membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar.Keempat, uji coba, setelah desain pembelajaran multi media selesai maka pada tahapan ini guru melaksanakan pembelaja- ran seperti biasa akan tetapi menggunakan multi media, kehadiran peneliti ketika proses pembelajaran berlangsung untuk mencatat secara langsung kelemahan atau keku- rangan-kekurangan yang dimiliki oleh media tersebut dengan memperhatikan respon dari siswa maupun guru.Kelima, perbaikan. Keenam, finalisasi. Ketujuh, analisis hasil. Kedelapan, membuat laporan 386 Hasil dan Pembahasan Hasil uji coba tahap I pertama meng- gambarkan perbandingan efektivitas peng- gunaan multi media pembelajaran yang dilakukan setelah tim peneliti meng- observasi. Hasil data tersebut dapat ditunjukan dari hasil observasi yang dipaparkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Pembelajaran Tanpa Menggunakan Multi Media Jumlah responden Jumlah Skor Total skor Skor semua siswa pada Pemahaman terhadap pelajaran Skor semua siswa pada Kreativitas Skor semua siswa pada Hasil belajar 47 70 72 68 210 Rata-rata 58,5 59,5 57,5 128,5 Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 dapat digambarkan bahwa penggunakan multi media pembelajaran secara keseluruhan sebesar 0,372 atau 37,2 dari kriteria harapan. Apabila dilihat efektivitas penggunaan multi media pem- belajaran berdasarkan kecepatan pema- haman terhadap pelajaran sebesar 0,372 atau 37,2 dari kriteria yang diharapkan. Kemudian apabila dilihat dari kreativitas sebesar 0,382 atau 38,2 dari kriteria yang diharapkan. Bila dilihat dari segi hasil belajar sebesar 0,361 atau 36,1 dari kriteria yang diharapkan. Jadi efektivitas pembelajaran tanpa menggunakan multi media pembelajaran terendah pada aspek hasil belajar siswa yakni 36,1 dari harapan. Bila dibandingkan dengan pem- belajaran yang menggunakan multi media maka dari hasil perhitungan sudah jelas perbedaan efektivitas antara yang meng- gunakan multi media dengan pembelajaran yang tidak menggunakan multi media, di mana efektivitas penggunaan multi media sebesar 0,737 atau 73,7. Selanjutnya bila dilihat dari kecepatan pemahaman siswa terhadap pelajaran sebesar 0,696 atau 69,6 yang diharapkan. Kreativitas siswa sebesar 0,659 atau 65,9 dari harapan. Hasil belajar siswa sebesar 0,856 atau 85,6 dari yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pembelajaran Menggunakan Multi Media Jumlah responden Jumlah Skor Total skor Skor semua siswa pada Pemahaman terhadap pelajaran Skor semua siswa pada Kreativitas Skor semua siswa pada Hasil belajar 47 131 124 161 416 Rata-rata 89,0 85,5 104 231,5 Pada Tabel 3 disajikan perbandingan antara pembelajaran yang menggunakan multi media dengan pembelajaran dengan tidak menggunakan multi media. 387 Tabel 3 Perbandingan Efektifitas PengajaranTanpa Multi Media dan Menggunakan Multi Media Metode Mengajar Tanpa Multi Media Aspek Kinerja Sistem Metode Mengajar Menggunakan Multi Media 37,2 Kecepatan pemahaman terhadap pelajaran 69,6 38,2 Kreativitas 65,9 36,1 Hasil belajar 85,6 37,2 Rata-rata 73,7 Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum ada perbedaan pembelajaran menggunakan multi media dengan tanpa multi media. Pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan multi medialebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan tanpa menggunakan multi media.Kecepatan pemahaman terhadap pelajaran dalam proses pembelajaran menggunakan multi media lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan pemahaman terhadap pelajaran tanpa menggunakan multi media 69,6 37,2. Hasil kreativitas siswa lebih tinggi menggunakan multi media pembelajaran dengan tanpa menggunakan multi media pembelajaran 65,9 37,2. Hasil belajar siswa menggunakan multi media pembelajaran lebih tinggi meng- gunakan multi media pembelajaran dengan tanpa menggunakan multi media pem- belajaran 85,6 36,1. Secara umum pembelajaran menggunakan multi media lebih tinggi nilai rata-ratanya dibandingkan dengan pembelajaran tanpa menggunakan multi media 73,7 37,2. Diagram yang menerangkan sebaran skor perbedaan pembelajaran menggunakan multi media pembelajaran dengan pembelajaran yang dilakukan dengan tanpa menggunakan multi media pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Perbedaan Pembelajaran Menggunakan Multi Media dengan Tanpa Multi Media 388 Untuk membedakan signifikansi perbedaan antara pembelajaran yang menggunakan multi media pembelajaran dengan pembelajaran yang tidak menggunakan multi media perlu diuji statistik menggunakan rumus t-tes berkorelasi. Nilai t hitung yang diperoleh sebesar 750,318 sedangkan harga t tabel sebesar 1,68 pada taraf kesalahan 5. Maka dapat disimpulkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel yang berarti bahwa Ha diterima dan Ho ditolak. Terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan multi media pembelajaran dengan multi media dan tanpa menggunakan multi media pem- belajaran. Hasil ini sangat memuaskan akan tetapi ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki dalam desain multi media pem- belajaran dengan memperhatikan masukan dari gurufasilitator SDN 18 Mataram diantaranya: tampilan antara huruf yang muncul diikuti dengan suku kata dalam menulis huruf tegak bersambung, tampilan video jangan terlalu cepat supaya anak dapat meniru tulisan yang sedang berjalan. Adapun hasil uji coba tahap kedua ini menunjukkan peningkatan yang lebih baik dari sebelumnya. Perbandingan pengajaran menggunakan multi media pada uji coba tahap I pertama dengan uji coba tahap II kedua dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan Uji Coba Tahap I dengan Uji Coba Tahap II Tahap I Aspek Kinerja Sistem Tahap II 69,6 Kecepatan pemahaman terhadap pelajaran 86,70 65,9 Kreativitas 84,50 85,6 Hasil belajar 90,40 73,7 Rata-rata 87,20 Kecepatan pemahaman terhadap pelajaran dalam proses pembelajaran menggunakan multi media pada uji coba tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I 86,769,6. Hasil kreativitas siswa lebih tinggi menggunakan multi media pembelajaran pada uji coba tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I 84,565,9. Hasil belajar siswa menggunakan multi media pembelajaran lebih tinggi meng- gunakan multi media pembelajaran pada uji coba tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I 90,485,6. Secara umum pem- belajaran menggunakan multi media pada uji coba tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I dengan dengan nilai rata-rata masing-masing 87,2 dan 73,7. Diagram yang menerangkan sebaran skor pem- belajaran menggunakan multi media pembelajaran pada uji coba tahap II dan uji coba tahap I dapat dilihat pada Gambar 2. 389 Gambar 2 Perbedaan Pembelajaran Menggunakan Multi Media pada Uji Coba Tahap I dengan Uji Coba Tahap II Hasil ini menunjukkan secara persentase bahwa ada peningkatan yang spesifik dari uji coba tahap pertama ke uji coba tahap kedua, dimana masing-masing aspek jika dilihat dari kecepatan pemahaman terhadap pelajaran dari skor 69,6 meningkat menjadi 86,7 yang berarti terjadi peningkatan 17,10. Pada tahap kedua, kreativitas dari skor 65,9 meningkat menjadi 84.,, terjadi pening- katan sebesar 18,60. Hasil belajar dari skor 85,6 meningkat menjadi 90,4, terjadi peningkatan sebesar 4,80. Secara keseluruhan nilai rata-rata peningkatan dari tahap pertama ke tahap kedua skornya adalah 13,50. Peningkatan persentase penggunaan multi media dalam pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Persentase Peningkatan Penggunaan Multi Media Setelah menyelesaikan tahapan- tahapan dalam penelitian ini diperlukan adanya perbaikan atau revisi pada desain multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar berdasarkan masukan dari guru fasilitator, diantaranya: 1 Menghilangkan kembali balon-balon yang tampak pada tampilan awal setelah uji coba tahap pertama Gambar 4A, 2 Kata apel pada tampilan Gambar 4B disarankan langsung menjadi contoh untuk menulis huruf tegak bersambung, supaya siswa bisa langsung 390 melihat perubahan atau cara menulis susunan kata-kata apel tersebut sehingga tidak hanya menulis huruf per huruf saja. Perbaikan ini tidak hanya sampai disini akan tetapi terus diperbaiki sampai media ini benar-benar memiliki legitimasi baik dari pengguna. A B Gambar 4 Tampilan Multi Media Setelah Revisi Di Sekolah Dasar Negeri 18 Mataram, dari segi fasilitas termasuk cukup untuk kebutuhan proses pembelajaran, terlebih pada proses pembelajaran menulis dan membaca permulaan yang membutuhkan Laptop, LCD Proyektor, DVD atau PCD Player semuanya tersedia dan dalam kondisi baik dan berfungsi normal. Pengembangan multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk kelas 1Sekolah Dasar tidak akan berfungsi efektif jika tidak dimanfaatkan oleh guru kelas 1 dan didukung oleh prasarana dan sumberdaya yang cukup, sehingga guru harus paham bagaimana mengoperasikan prasarana Laptop, LCD Proyektor, DVDPCD Player dan sarana lainnya dalam rangka mendukung pembelajaran kearah yang lebih baik. Simpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah adanya peningkatan yang lebih baik pada uji coba tahap kedua bila dibandingkan dengan uji coba tahap pertama. Secara keseluruhan nilai rata-rata dari uji coba tahap pertama mencapai 73,7 dari yang diharapkan sedangkan rata-rata dari uji coba tahap kedua mencapai 87,2. Penggunaan multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan membuat siswa lebih paham dan cepat mengerti. Daftar Pustaka Andi, 2008, Panduan Praktis : Video Editing Dengan Pinnacle Studio Version 11, Jakarta, Penerbit Wahana Komputer Aminah, Siti, 2011, Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Permulaan Melalui Latihan Motorik Halus Dengan Menggunakan Keterampilan Mosaics Pada Siswa Autis Kelas I Semester I Di Slb Autis Alamanda Surakarta Tahun Pelajaran 20102011. Digilib.Uns.ac.id Arends, Richard. 2008. Learning To Teach. Penerjemah: Helly Prajitno Sri Mulyani. New York: McGraw Hill Company Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar : GBPP SD Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Dick, W. and L. Carey. 1990. The Systematic Design of Instruction. Glenview: Scott, Foresman, and Company. Degeng, I.N.S. 1997. Penulisan Bahan Ajar: Modul Pembelajaran dalam Pelatihan Staf, Guru, dan Karyawan Sekolah Ciputra Surabaya. Surabaya 391 Errante, A. 1997. Close to Home: Comparative Prespective of Childhood and Community Violence. American Journal of Education, 102 1:2-3. Hujair Sanaky. 2009. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Press. http:www.pengertianahli.com201310pen gertian-multimedia-menurut-para- ahli.html diakses, 13-12-13 http:www.duniabaca.compengertian- menulis-menurut-para -ahli.html Mulyono Abdurrahman, 2003. Pendidikan Inklusi . Surakarta : Depdikbud. Ritawati Wahyudin, 1996. Bahan Ajar Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas-kelas Rendah SD. Padang. IKIP Sekolah Teknologi Menengah. Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan Penelitian, 4 2:173. Sahalessy, A. 1998. Masalah-masalah Belajar Abad 21: Tinjauan Pendayagunaan Teknologi Informasi. Jurnal Teknologi Pembelajaran: teori dan Penelitian, 6 1:11-12. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sukartiningsih Wahyu, 2004. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan Dikelas 1 Sekolah Dasar Melalui Media Kata Bergambar. Publikasi Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.5, No.1, 2004. Wright, Andrew, David Betteridge, and Michael Buckby. 1993. Games for Language Learning. Great Britain: Cambridge University Press. © 2014 LPPM IKIP Mataram Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Nuraeni Program Studi Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram E-mail: sasakrengganisgmail.com Abstract: Inclusive education should be started in early childhood. In addition to laws and regulations that support the implementation of early childhood education, conceptual and scientific studies of child development, have shown positive values in the provision of early education services. The most striking effect and can leave the impression that the old performed at the right time, ie during the critical or sensitive period. Therefore, the need for stimuli given at an early age that can improve all aspects of the development is also based on the view. Delay or waiver provision stimuli at the right time will give a negative impact on childrens development. Abstrak: Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak. Kata Kunci: Pendidikan Inklusif, PAUD Pendahuluan Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini menun- jukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya anak normal dalam pendidikan. Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan menuju pendidikan inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak- anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain. Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang- undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menun- jukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith 2006 menjelaskan bahwa pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkem- bangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak. 394 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Indonesia selama ini sudah menyeleng- garakan pendidikan inklusif, dimulai dari tingkat pendidikan dasar SD sampai dengan tingkat atas SMA. Pendidikan inklusif selayaknya dapat dimulai dari jenjang pendidikan yang paling awal, yaitu dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini disebabkan karena pada saat usia dini, seorang anak dapat menerima rangsangan dengan sangat baik dibandingkan setelah anak tersebut menginjak usia yang lebih tinggi usia SD. Konsep ABK Anak Berkebutuhan Khusus Pengertian anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikannya memer- lukan pelayanan yang spesifik dan berbeda dengan anak pada umumnya Depdiknas, 2007. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan, baik itu disebabkan karena kurang atau terlalu berlebihnya potensi yan dimiliki sang anak. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu, dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwi- bahasaan perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah, anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen Depdiknas, 2007. Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda- beda Hildayani, 2009. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1 faktor lingkungan 2 faktor dalam diri anak sendiri, dan 3 kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Sesuai kebutuhan lapangan maka pada buku ini hanya dibahas secara singkat pada kelompok anak berkebutuhan khusus yang sifatnya permanen. Pengertian Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beraneka ragam, Stainback dan Stainback 1990 mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang dapat menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah tersebut mampu menyediakan program pendidikan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar semua anak dapat mencapai keberhasilan. 395 Staub dan Peck 1995 mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah dengan menempatkan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler. Pendidikan inklusif menurut Sapon- Shevin dalam Unesco, 2003 merupakan sistem layanan pendidikan yang mem- persyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama dengan anak seusianya. Hal ini menuntut konsekuensi adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitar. Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan demikian pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkebutuhan khusus penyandang hambatancacat ke dalam program sekolah. Konsep inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah Walisman 2009 menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai persamaan hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidak- mampuan khusus danatau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Keduanya menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan ber- dasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan- perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang mem- berikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pengertian pendidikan dalam Per- mendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang 396 dapat dimasukkan dalam pendidikan in- klusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan danatau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah- misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah baca: kelas akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa SLB. Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa PSLB Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Mandikdasmen Kementrian Pendidikan Nasional Kemen- diknas mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak- anak berhasil. Pengertian-pengertian yang dikemu- kakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebu- tuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik ber- kebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Latar Belakang Pendidikan Inklusif di PAUD Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang- undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith 2006 menjelaskan bahwa pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek per- kembangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak. Disamping uraian di atas, alasan mengapa program inklusif sebaiknya diterapkan sejak di PAUD karena ternyata ada banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari program inklusif yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah, diantaranya: 397 1. Manfaat bagi semua siswa;  Bagi anak-anak yang tidak memiliki hambatan akan menambah wawasan bahwa di lingkungan mereka ada beberapa individu yang mempunyai beberapa hambatan  Setelah mereka mengetahuinya selanjutnya dapat menimbulkan efek pemahaman dan penerimaan sejak dini  Bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan merasa bahwa mereka berbeda dengan anak-anak lain  Meningkatkan rasa percaya diri anak-anak yang mempunyai kebu- tuhan khusus. 2. Manfaat bagi tenaga pendidik  Guru memperoleh ilmu dan dan pengalaman baru yang sangat bermanfaat bagi mereka  Menemukan metode-metode mani- pulatif dan kreatif dalam pengajaran  Menumbuhkan suatu komitmen terhadap etika dan tanggung jawab pengajaran. 3. Manfaat bagi orangtua Manfaat bagi orangtua dengan ABK adalah dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka karena ternyata anaknya bukanlah “penyakit” yang perlu disingkirkan tapi bisa bergabung dengan bukan ABK. Manfaat bagi orangtua pada umumnya adalah dalam rangka pengem- bangan sikap empati, penghargaan dan penerimaan pada ABK beserta keluarganya. 4. Manfaat bagi masyarakat Masyarakat secara umum akan terbuka pemahamannya bahwa ABK bukanlah anak yang harus dikucilkan dan disingkirkan, ABK bisa bergabung dengan anak pada umumnya karena mereka seperti yang lainnya juga adalah manusia yang tentu saja mempunyai hak yang sama. Keterbukaan pemahaman masyarakat tersebut bisa dibangun melalui adanya sekolah-sekolah inklusif, terutama apabila dimulai dari jenjang PAUD. Model-model Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif merupakan per- kembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menye- suaikan dengan sistem persekolahan. Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidi- kan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pada dasarnya pendidikan inklusif memiliki beberapa model, diantaranya Dikdasmen, 2007: 398

1. Kelas

inklusif penuh full inclusion. Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mene- rima pembelajaran individual dalam kelas reguler.

2. Kelas inklusif parsial partial

inclusion atau pull out Model ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlang- sung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.

3. Kelas reguler dengan cluster dan

pull out Anak berkebutuhan khusus bersama anak lain normal di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4. Kelas khusus dengan berbagai

pengintegrasian Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain normal di kelas reguler.

5. Kelas khusus penuh

Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan in- klusif tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya inklusi penuh, karena sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kekhususannya cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus dengan gradasi kekhususan berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler inklusi lokasi. Kemudian, bagi anak dengan gradasi kekhususan sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler sekolah biasa, dapat disalurkan ke sekolah khusus SLB atau tempat khusus rumah sakit. Prasyarat Pendidikan Inklusif di PAUD Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin dalam Supamo, 2001 mengemukakan beberapa profil pem- belajaran di sekolah inklusif yaitu: 1. Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. 2. Mengajar kelas yang heterogen memer- lukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. 3. Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. 4. Pendidikan inklusif berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. 399 Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik. Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari; 1 Model kurikulum reguler; 2 Model kurikulum reguler dengan modifikasi; dan 3 Model kurikulum Program Pembelajaran Individual PPI. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip pada persamaan men- syaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Kompetensi Guru Pendidikan Inklusif Pengembangan Kompetensi guru sangatlah mutlak sebagai syarat terselenggaranya pendidikan inklusif. Menurut Suparno 2001, secara substansial terdapat dua komponen utama dalam pengembangan kompetensi guru pendidikan inklusif. Pertama, memiliki kompetensi inti guru yang telah distandarkan dan dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUDT KRA, mencakup kompetensi a pedagogik, b kepribadian, c sosial, dan d profesional, Permendiknas No. 16 Tahun 2007. Kedua, kompetensi kekhususan dalam pendidikan inklusif untuk TK, yaitu memiliki pemahaman dan kemampuan dalam hal; a karakteristik dan kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus; b assesment pem- belajaran anak berkebutuhan khusus; c menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah; d program pembelajaran indi- vidual; dan e evaluasi pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Selain semua prasyarat yang telah dikemukakan di atas, untuk menjadi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menurut Direktorat Pembinaan SLB 2007 ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, kriteria tersebut antara lain: a Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua; b Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah; c Tersedia guru pendidikan khusus GPK. GPK adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan khususpendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khususluar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif; d Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar; e Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan; f Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak; g Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusif; h Sekolah tersebut telah terakreditasi; dan i Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan. Penutup Untuk mewujudkan pendidikan inklusif di lembaga PAUD bukanlah hal yang sederhana, perlu perencanaan dan persiapan- persiapan yang matang, diantaranya 400 meliputi: penciptaan komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan; perubahan pelak- sanaan kurikulum secara mendasar; penyiapan guru untuk mengajar secara interaktif; penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi; pelibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Guru dalam seting kelas inklusif harus menguasai strategi-strategi pengajaran yang sesuai dengan karakteristik kekhususan anak didiknya. Hal ini dikarenakan ABK masing-masing mempunyai karakteristik pembelajaran yang sangat berbeda antara individu yang satu dengan yang lain walapun itu masih dalam satu ketunaan juga. Daftar Pustaka Depdiknas. 2007. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Hildayani. R. 2009. Penanganan Anak Berkelainan Anak dengan Kebutuhan Khusus. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, Depdiknas. Mdikana, Andile 8: Mayekiso, Tokozile. 2007. ”Preservice Educators’ Attitudes Toward Inclusive Education”. International journal of Special Education. Vol. 22, Number 1. 1 Smith, David. 2006. Inklusi, Sekolah yang Ramah untuk Semua. Terjemahan. Bandung: Penerbit Nuansa Skjorten, MD. 2001. Towards Inclusion, Education-Special Needs Education An Introduction. Oslo: Unipub forlag. Stainback,W. Sianback,S. 1990. Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks. Staub, D. Peck,C.A. 1994195. What are the outcomes for Nondisabled students? Educational Leadership. 52 4 36 -40. Supamo. 2001. Desain Pembelajaran Untuk Guru TK Inklusif, Cakrawala Pendidikan, Jurnal Ilmiah Pendidikan, Nopember 2011, Th. XXX, No. 3. Tim Dir Pembinaan SLB 2007. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Dirjen Mandikdasmen. Dir Pembinaan SLB Tim Dir Pembinaan SLB 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Inklusif. Dirjen Mandikdasmen. Dir Pembinaan SLB UNESCO. 1994. The Salamanca Statement and Frame work for Action on Special Needs Education. Paris UNESCO, 2003, Open File on Inclusive E ducation, Support Material for Managers and Administrators; Unesco; France. Wasliman, Iim 2009 Pendidikan Inklusif Ramah Anak. Disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Ilmu Administrasi Pendidikan STKIP Persis Bandung. © 2014 LPPM IKIP Mataram Analisis Kemampuan Komunikasi Lisan dan Tulis Mahasiswa Calon Guru pada Jurusan Pendidikan Matematika IAIN Mataram Nur Hardiani Institut Agama Islam Negeri Mataram E-mail: nurhardiani25gmail.com Abstract: This study aims to determine the oral and written communication skills student teachers in mathematics education majors IAIN Mataram. This type of research is descriptive quantitative approach. The subjects of this study were all student teachers IAIN Mataram mathematics education majors who are taking courses microteaching VI semester, whereas the object of this study is oral and written communication skills student teachers. The results of the analysis of verbal ability komuniikasi known that the mean score on the verbal communication is higher than the class A class B, and C with a mean score of 80.53. Furthermore, followed by class B with a mean score of 80.16 and a mean score of the lowest oral communication obtained in class C of 77.52. The results of the analysis of written communication skills student teachers in mind that communication skills written in a higher class than class B, and C with a mean score of 69.02, followed successively for class B and C with a mean score of 62.98 and 61 , 71. The results showed that oral communication skills IAIN Mataram student teachers are in the good category, while writing communication skills are at the fair category. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru pada jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif melalui pendekatan kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah seluruh mahasiswa calon guru IAIN Mataram jurusan pendidikan matematika yang sedang menempuh matakuliah microteaching pada semester VI, sedangkan obyek penelitian ini adalah kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru. Hasil analisis kemampuan komuniikasi lisan diketahui bahwa rerata skor komunikasi lisan pada kelas A lebih tinggi dibandingkan kelas B, dan C dengan rerata skor sebesar 80,53. Selanjutnya, diikuti oleh kelas B dengan rerata skor 80,16 dan rerata skor komunikasi lisan paling rendah diperoleh pada kelas C sebesar 77,52. Hasil analisis kemampuan komunikasi tulis mahasiswa calon guru diketahui bahwa kemampuan komunikasi tulis pada kelas A lebih tinggi dibandingkan kelas B, dan C dengan rerata skor sebesar 69,02 kemudian diikuti berturut-turut untuk kelas B dan C dengan rerata skor sebesar 62,98 dan 61,71. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi lisan mahasiswa calon guru IAIN Mataram berada pada kategori baik, sedangkan kemampuan komunikasi tulis berada pada pada kategori cukup. Kata kunci: Kemampuan Komunikasi Lisan dan Tulis, Calon Guru Pendahuluan Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ber- interaksi dengan manusia lainnya dibutuh- kan komunikasi. Kemampuan komunikasi yang baik merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh manusia agar tujuan dan apa yang dimaksud dapat diterima dengan baik oleh manusia lainnya. Kemampuan komunikasi yang baik sangat berperan besar dalam dunia pen- didikan. Kemampuan komunikasi mate- matika merupakan hal yang sangat dan perlu ditingkatkan dalam pembelajaran mate- matika karena komunikasi bisa membantu pembelajaran siswa tentang konsep matematika ketika mereka memerankan situasi, menggambar, menggunakan objek, memberikan laporan dan penjelasan verbal. Keuntungan sampingannya adalah bisa mengingatkan siswa bahwa mereka berbagi tanggung jawab dengan guru atas pembelajaran yang muncul dalam pem- belajaran tertentu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Turmudi 2008 402 yang menyatakan bahwa aspek komunikasi dan penalaran hendaknya menjadi aspek penting dalam pembelajaran matematika. Aspek komunikasi melatih siswa untuk dapat mengkomunikasikan gagasannya, baik komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Baroody Ansari, 2009 menyebut- kan dua alasan penting mengapa komunikasi matematika perlu ditumbuhkembangkan dikalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir a tool to aid thingking, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai suatu alat yang berharga untuk mengkomu- nikasikan berbagai ide secara jelas, tepat, dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga komunikasi antar guru dan siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen pengampu matakuliah micro teaching pada Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram serta pada calon guru khususnya semester VI yang sedang menjalankan Program Pengalaman Lapangan PPL berpendapat bahwa calon guru belum mampu memenuhi standar komunikasi matematika yang baik, belum mampu membaca karakteristik peserta didik, belum menguasai teori dan konsep, kurang memahami teknik melakukan elaborasi materi pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta didik. Selain itu, mahasiswa calon guru belum memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, secara lisan, tulis, atau bentuk lain serta belum memahami cara berkomunikasi dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan atau permainan yang mendidik. Penelitian ini mengkaji kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru pada jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif menggunakan pendekatan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk menjabarkan kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru pada jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Nopember tahun 2014 pada Jurusan Pendidikan Matematika IAIN Mataram. Subyek penelitian ini adalah seluruh mahasiswa calon guru IAIN Mataram jurusan pendidikan matematika yang sedang menempuh matakuliah mikroteaching pada semester VI, sedangkan obyek penelitian ini adalah kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru. Teknik pengumpulan data menggu- nakan rubrik penilaian matakuliah mikro- teaching dan tes tulis. Rubrik penilaian matakuliah mikroteaching digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi lisan mahasiswa calon guru pada saat melakukan real teaching, sedangkan tes tulis digunakan untuk mengetahui kemampuan tulis mahasiswa calon guru pada jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram. Teknik analisis data hasil penelitian menggunakan analisis statistik deskriptif. 403 Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui rerata skor kemampuan komunikasi lisan dan tulis mahasiswa calon guru jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram. Hasil Penelitian a. Kemampuan Komunikasi Lisan Mahasiswa Calon Guru Hasil analisis deskriptif kemampuan komunikasi lisan mahasiswa calon guru jurusan pendidikan matematika Institut Agama Islam Negeri Mataram semester VI pada tiga kelas yang berbeda menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan komunikasi lisan mahasiswa pada kelas A, B, dan C. Hasil analisis kemampuan komunikasi lisan mahasiswa ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1. Kemampuan Komunikasi Lisan Mahasiswa Calon Guru Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa rerata skor komunikasi lisan pada kelas A lebih tinggi dibandingkan kelas B, dan C dengan rerata skor sebesar 80,53. Selanjutnya, diikuti oleh kelas B dengan rerata skor 80,16 dan rerata skor komunikasi lisan paling rendah diperoleh pada kelas C sebesar 77,52. Untuk memperkuat hasil yang diperoleh, dilakukan analisis varians anava untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemampuan komunikasi lisan pada kelas A, B, dan C. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa nilai F hitung F tabel 9,723,11. Oleh karena itu, hipotesis nol H ditolak, sehingga ada perbedaan kemampuan komunikasi lisan mahasiswa jurusan matematika IAIN Mataram dimana kemampuan komunikasi lisan pada kelas A lebih tinggi dibandingkan kelas B, dan C. Hasil analisis varians ditampilkan pada Tabel 1. Secara umum, kemampuan komunikasi lisan mahasiswa jurusan matematika IAIN Mataram berada pada kategori baik, karena memiliki rerata skor diatas 75. Tabel 1. Hasil Analisis Varians Kemampuan Komunikasi Lisan Mahasiswa Calon Guru Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 142.6819 2 71.34096 9.729853 0.000165 3.110766 Within Groups 586.5737 80 7.332172 Total 729.2557 82

b. Kemampuan Komunikasi Tulis

Mahasiswa Calon Guru Hasil analisis deskriptif kemampuan komunikasi tulis mahasiswa calon guru jurusan pendidikan matematika IAIN Mataram semester VI Gambar 2 menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan komunikasi tulis pada kelas A, B, dan C. Kemampuan komunikasi tulis pada kelas A lebih tinggi dibandingkan kelas B, dan C dengan rerata skor sebesar 69,02 kemudian diikuti berturut-turut untuk kelas B dan C dengan rerata skor sebesar 62,98 dan 61,71. 404 Gambar 2. Kemampuan Komunikasi Tulis Mahasiswa Calon Guru pada Tiga Kelas Berbeda