Produk Program KWD Meublair
380 kehidupannya.
Manfaat tersebut
dapat terlihat dari kemampuan warga belajar untuk
dapat bekerja menerapkan hasil dari kursus yang
diikuti dan
berimplikasi pada
meningkatnya kemampuan produksi dan penghasilan setelah mengikuti program.
Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Implementasi Program Kursus Wirausaha Desa
KWD bidang
meublair telah
terselenggara dengan efektif. Hal ini sesuai dengan pencapaian pada:
a. Komponen
Context: warga
masyarakat mendukung program KWD melalui partisipasi mengikuti
dan mendukung program.
b. Komponen Input.
1 Karakteristik warga belajar
memenuhi kriteria sasaran yang di persyaratkan dalam penye-
lenggaraan program KWD,
2 Karakteristik instruktur memi-
liki kualifikasi dan kompetensi yang memadai, baik dari segi
pengalaman, pelatihan, tingkat pendidikan serta kuantitas,
3 Kurikulum yang digunakan
sesuai dengan
materi dan
kompetensi yang akan dicapai, 4
Pendanaan dan fasilitas tersedia dengan cukup memadai.
c. Komponen Process
1 Aktivitas warga belajar berada
dalam kategori sangat baik, 2
Strategi pembelajaran yang digunakan
instruktur sesuai
dengan pendekatan pembela- jaran orang dewasa andragogi.
d. Komponen Product
1 Sikap kewirausahaan yang
dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun-
jukkan hasil yang baik,
2 Kecakapan
personal yang
dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun-
jukkan hasil sangat baik,
3 Kecakapan sosial yang dimiliki
warga belajar pasca implement- tasi kursus menunjukkan hasil
sangat baik,
4 Kecakapan vokasional yang
dimiliki warga belajar pasca implementasi kursus menun-
jukkan hasil baik.
Saran
Kepada Pengelola program untuk terus melakukan pendampingan intensif bagi
warga belajar pasca penyelenggaran kursus dengan memberikan dukungan dan fasilitasi
dalam bentuk teknis untuk keberlanjutan hasil program. Selain itu, perlu untuk
dikembangkan kemitraan ke berbagai pihak khususnya untuk pemanfaatan hasil dari
produk kursus yang diselengggarakan. Daftar Pustaka
Depdiknas. 2008. Pedoman Program Kursus
Wirausaha Desa KWD Pendidikan Nonformal dan Informal. Jakarta:
Direktorat Jendral PNFI.
Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. 2011.
Petunjuk Peknis
Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa KWD Pendidikan Nonformal
dan Informal. Jakarta:
381 Littunen,
Hannu. 2000.
Journal Entrepreneurship
and the
Characteristic of the Entrepreneurial Personality. MCB University.
Ruwiyanto, Wahyudi.
1994. Peranan
Pendidikan dalam
Pengentasan Masyarakat
Miskin: Pengaruh
Faktor-faktor Dinamika Organisasi Lembaga
Pendidikan Karya
terhadap Manfaat
Sosioekonomi Warga
Belajar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Stuffelbeam. 2003. The CIPP model for evaluation.
Portland, Oregon:
Western Michigan University. . 2003. Evaluation models,
view points on educational and human
services evaluation,2nd.
Boston. Kluwer Nijhof Publishing.
© 2014 LPPM IKIP Mataram
Pengembangan Multi Media Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan Siswa Kelas 1 Sekolah Dasar
Mujiburrahman
1
dan Yayan Heryana
2
1
Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP Mataram.
2
Program Studi Teknologi Pendidikan FIP IKIPMataram E-mail: mujib55rocketmail.com
Abstract: This research aims to make the design of multi-media learning to write and read the beginning of
class 1 Primary School, with a specific purpose, namely: 1 Develop a prototype model of learning to write and read the beginning of the use of multi-media, 2 Creating a multi media design models in learning reading
and writing skills beginning, and 3 Developing product design model of learning to write and read beginning with multi-media. Development of multi-media learning to write and read beginning with taking steps
Research and Development R D. The subjects were students of class 1 State Elementary School 18 Mataram. The result of this study is a multi media learning to write and read the beginning of elementary
school students in grade 1. Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk membuat desain multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk kelas 1 Sekolah Dasar, dengan tujuan khusus yaitu: 1 Menyusun prototipe model
pembelajaran menulis dan membaca permulaan menggunakan multi media, 2 Membuat model desain multi media dalam pembelajaran keterampilan menulis dan membaca permulaan, dan 3 Mengembangkan produk
model desain pembelajaran menulis dan membaca permulaan dengan multi media. Pengembangan multi media pembelajaran menulis dan membaca permualaan dengan mengambil langkah-langkah Research dan
Development RD. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri 18 Mataram. Hasil penelitian ini adalah produk multi media pembelajaran menulis dan membaca permulaan untuk siswa kelas 1
Sekolah Dasar. KataKunci
: Multi media, Pembelajaran Menulis dan Membaca Permulaan, Sekolah Dasar
Pendahuluan
Membaca permulaan merupakan tahapan proses belajar membaca bagi siswa Sekolah
Dasar kelas awal. Siswa belajar untuk memperoleh kemampuan dan menguasai
teknik-teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik. Oleh karena itu, guru
perlu merancang pembelajaran membaca dengan baik sehingga mampu menum-
buhkan kebiasan membaca sebagai suatu yang menyenangkan. Suasana belajar harus
dapat diciptakan melalui kegiatan permainan bahasa dalam pembelajaran membaca. Hal
itu sesuai dengan karakteristik anak yang masih senang bermain. Permainan memiliki
peran penting dalam perkembangan kognitif dan sosial anak. menurut Wright dkk 1993,
mengajar anak untuk dapat membaca dan menulis merupakan kegiatan yang sulit
dilakukan. Apalagi
untuk mengajar
membaca dan menulis permulaan pada anak-anak usia kelas awal yang masih
berada dalam usia bermain dan belum memungkinkan
untuk menghadapkan
mereka pada situasi pembelajaran yang serius. Fenstermacher dalam Arend
mem- berikan contoh argumen praktis seorang
guru yang digunakannya untuk mendukung metode-metode yang dipakainya untuk
mengajari membaca, salah satunya bahwa sangat penting bagi anak untuk tahu cara
membaca httpwww.cara.membaca.
Tujuan membaca permulaan di kelas 1 adalah agar siswa dapat membaca kata-
kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat Depdikbud, 1994. Kelancaran
384 dan ketepatan anak membaca pada tahap
belajar membaca permulaan dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang
mengajar di kelas 1. Dengan kata lain, guru memegang peranan yang strategis dalam
meningkatkan keterampilan membaca siswa. Peranan strategis tersebut menyangkut peran
guru sebagai fasilitator, motivator, sumber belajar, dan organisator dalam proses
pembelajaran. Guru yang berkompetensi tinggi akan sanggup menyelenggarakan
tugas
untuk mencerdaskan
bangsa, mengembangkan pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan membentuk ilmuwan dan tenaga ahli.
Kemudian kemampuan
menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan
kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat dasarpermulaan, pembelajaran me-
nulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih
untuk dapat menuliskan mirip dengan kemampuan melukis atau menggambar
lambang-lambang tulis yang jika dirang- kaikan dalam sebuah struktur, lambang-
lambang itu menjadi bermakna. Selanjutnya dengan kemampuan dasar ini, secara
perlahan-lahan anak-anak digiring pada kemampuan menuangkan gagasan, pikiran,
perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang tulis yang sudah
dikuasainya. Inilah kemampuan menulis yang sesungguhnya.
Menulis merupakan aktivitas multi- sensori yang mana gabungan dari aktivitas
melihat, mendengar, meraba, dan merasakan http:duniabaca.com. Sehingga kesiapan
menulis perlu ditanamkan sejak dini, agar nantinya apabila terjadi keterlambatan atau
kekurangan dalam salah satu aspek keteram- pilan menulis akan diketahui lebih awal
penanganannya. Kemampuan menulis dan membaca permulaan adalah hal yang sangat
penting bagi siswa kelas rendah untuk dikuasai dan akan mengalami kesulitan
untuk mengikuti pelajaran selanjutnya apabila belum dikuasai, hal ini menjadi
penentu bagi seorang siswa untuk mengikuti pembelajaran yang lebih tinggi.
Salah satu penyebab dari terbatasnya siswa dalam kemampuan menulis adalah
guru kurang kreatif dalam memilih bahan ajar, metode, dan media pembelajaran. Di
sini kreativitas guru sangat dibutuhkan dalam memilih media dengan metode yang
tepat untuk siswa. Guru dapat melakukan pembelajaran
menulis dan
membaca permulaan dengan media pembelajaran.
Bahan ajar, metode, dan media pem- belajaran yang dipilih sebaiknya memper-
timbangkan masalah kebutuhan, minat, dan perhatian siswa serta lingkungan kehidupan
mereka. Permasalahan yang ada dari segi guru tidak terbatas dari hal itu saja.
Pendekatan tradisional masih digunakan guru dalam pembelajaran menulis dan
membaca permulaan.
Kondisi di lapangan dari survey yang dilakukan bahwa terdapat beberapa siswa
yang mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, hal ini dikarenakan banyak
faktor antara lain misalkan guru memakai metode dan media pembelajaran masih
menggunakan pembelajaran secara kon- vensional padahal guru menjadi penting
dalam merekayasa proses pembelajaran supaya pesan-pesan yang disampaikan oleh
guru
sampai kepada
siswa, dalam
UUPermen yang berlaku bahwa siswa tidak boleh tinggal di kelas yang sama sampai dua
385 kali sehingga dia harus naik kelas walaupun
siswa tersebut masih belum bisa baca tulis, hal ini harus mendapatkan perhatian yang
serius dari semua kalangan.
Kreativitas guru dalam memilih media dan metode dalam pembelajaran
menulis dan membaca permulaan sangat diperlukan supaya siswa lebih termotivasi
dalam belajar menulis. Dalam pembelajaran menulis dan membaca permulaan, peneliti
menggunakan multi media. Penggunaan multi media diharapkan membuat siswa bisa
terfokus untuk memperhatikan apa yang ditayangkan di depan kelas, siswa lebih
cepat mengerti, dan lebih cepat mengenali alfabet.
Menurut Degeng 1997 peran- cangan pembelajaran dapat dijadikan titik
awal perbaikan kualitas desain pem- belajaran. Program pembelajaran yang
menggunakan seperangkat media merupa- kan upaya efektif untuk meningkatkan daya
tarik pembelajaran Sahalessy, 1998. Untuk itu, pengembangan media yang tepat
merupakan suatu usaha untuk menyiapkan kondisi belajar yang lebih baik yang pada
akhirnya
dapat meningkatkan
mutu pembelajaran membaca permulaan di SD.
Menurut Latham
dalam Arend
2008 bahwa teknologi dapat dan memang memiliki arti penting dan bahwa bukti mulai
menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan teknologi dan prestasi siswa.
Dengan demikian penggunaan multi media dalam proses pembelajaran menulis
dan membaca permulaan sangat penting supaya siswa lebih termotivasi dalam
belajar, tidak cepat jenuh, terfokus untuk memperhatikan apa yang ditayangkan di
depan kelas, siswa lebih cepat mengerti, dan lebih cepat mengenali alfabet.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap persiapan pencarian
informasi. Kedua,
analisis Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus menulis dan membaca permulaan
kelas 1 Sekolah Dasar. Pada tahapan ini, penelitian difokuskan pada kajian Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar sebagai bahan
penyusunan desain
media pembelajaran
menulis dan
membaca permulaan untuk siswa kelas 1 Sekolah
Dasar. Ketiga, membuat media pem- belajaran menulis dan membaca permulaan
multi media, pada tahapan ini penelitian difokuskan pada pembuatan desain media
pembelajaran
menulis dan
membaca permulaan dengan multi media. Desain
pembelajaran multi media disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompe-
tensi Dasar serta silabus yang digunakan dalam pembelajaran menulis dan membaca
permulaan
siswa kelas
1 Sekolah
Dasar.Keempat, uji coba, setelah desain pembelajaran multi media selesai maka pada
tahapan ini guru melaksanakan pembelaja- ran seperti biasa akan tetapi menggunakan
multi media, kehadiran peneliti ketika proses pembelajaran berlangsung untuk mencatat
secara langsung kelemahan atau keku- rangan-kekurangan yang dimiliki oleh media
tersebut dengan memperhatikan respon dari siswa maupun guru.Kelima, perbaikan.
Keenam, finalisasi. Ketujuh, analisis hasil. Kedelapan, membuat laporan
386
Hasil dan Pembahasan
Hasil uji coba tahap I pertama meng- gambarkan perbandingan efektivitas peng-
gunaan multi media pembelajaran yang dilakukan setelah tim peneliti meng-
observasi. Hasil
data tersebut
dapat ditunjukan dari hasil observasi
yang dipaparkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Pembelajaran Tanpa Menggunakan Multi Media
Jumlah responden
Jumlah Skor Total skor
Skor semua siswa pada Pemahaman
terhadap pelajaran Skor semua
siswa pada Kreativitas
Skor semua siswa pada
Hasil belajar 47
70 72
68 210
Rata-rata 58,5
59,5 57,5
128,5
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel
1 dapat
digambarkan bahwa
penggunakan multi media pembelajaran secara keseluruhan sebesar 0,372 atau
37,2 dari kriteria harapan. Apabila dilihat efektivitas penggunaan multi media pem-
belajaran berdasarkan kecepatan pema- haman terhadap pelajaran sebesar 0,372 atau
37,2 dari kriteria yang diharapkan. Kemudian apabila dilihat dari kreativitas
sebesar 0,382 atau 38,2 dari kriteria yang diharapkan. Bila dilihat dari segi hasil
belajar sebesar 0,361 atau 36,1 dari kriteria yang diharapkan. Jadi efektivitas
pembelajaran tanpa menggunakan multi media pembelajaran terendah pada aspek
hasil belajar siswa yakni 36,1 dari harapan. Bila dibandingkan dengan pem-
belajaran yang menggunakan multi media maka dari hasil perhitungan sudah jelas
perbedaan efektivitas antara yang meng- gunakan multi media dengan pembelajaran
yang tidak menggunakan multi media, di mana efektivitas penggunaan multi media
sebesar 0,737 atau 73,7. Selanjutnya bila dilihat dari kecepatan pemahaman siswa
terhadap pelajaran sebesar 0,696 atau 69,6 yang diharapkan. Kreativitas siswa sebesar
0,659 atau 65,9 dari harapan. Hasil belajar siswa sebesar 0,856 atau 85,6 dari yang
diharapkan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pembelajaran Menggunakan Multi Media
Jumlah responden
Jumlah Skor Total skor
Skor semua siswa pada Pemahaman
terhadap pelajaran Skor semua
siswa pada Kreativitas
Skor semua siswa pada
Hasil belajar 47
131 124
161 416
Rata-rata 89,0
85,5 104
231,5
Pada Tabel 3 disajikan perbandingan antara pembelajaran yang menggunakan multi
media dengan pembelajaran dengan tidak menggunakan multi media.
387
Tabel 3 Perbandingan Efektifitas PengajaranTanpa Multi Media
dan Menggunakan Multi Media
Metode Mengajar
Tanpa Multi Media
Aspek Kinerja
Sistem Metode
Mengajar Menggunakan
Multi Media 37,2
Kecepatan pemahaman
terhadap pelajaran
69,6 38,2
Kreativitas 65,9
36,1 Hasil
belajar 85,6
37,2 Rata-rata
73,7
Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara umum ada
perbedaan pembelajaran menggunakan multi media
dengan tanpa
multi media.
Pembelajaran yang
dilakukan dengan
menggunakan multi
medialebih tinggi
dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan
tanpa menggunakan
multi media.Kecepatan
pemahaman terhadap
pelajaran dalam
proses pembelajaran
menggunakan multi media lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan pemahaman
terhadap pelajaran tanpa menggunakan multi media 69,6 37,2. Hasil kreativitas
siswa lebih tinggi menggunakan multi media pembelajaran dengan tanpa menggunakan
multi media pembelajaran 65,9 37,2. Hasil belajar siswa menggunakan multi
media pembelajaran lebih tinggi meng- gunakan multi media pembelajaran dengan
tanpa menggunakan multi media pem- belajaran 85,6 36,1. Secara umum
pembelajaran menggunakan multi media lebih tinggi nilai rata-ratanya dibandingkan
dengan pembelajaran tanpa menggunakan multi media 73,7 37,2. Diagram
yang menerangkan sebaran skor perbedaan pembelajaran menggunakan multi media
pembelajaran dengan pembelajaran yang dilakukan dengan tanpa menggunakan multi
media pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Perbedaan Pembelajaran Menggunakan Multi Media dengan Tanpa
Multi Media
388 Untuk
membedakan signifikansi
perbedaan antara
pembelajaran yang
menggunakan multi media pembelajaran dengan
pembelajaran yang
tidak menggunakan multi media perlu diuji
statistik menggunakan
rumus t-tes
berkorelasi. Nilai t hitung yang diperoleh sebesar 750,318 sedangkan harga t tabel
sebesar 1,68 pada taraf kesalahan 5. Maka dapat disimpulkan bahwa t hitung lebih
besar dari t tabel yang berarti bahwa Ha diterima dan Ho ditolak. Terdapat perbedaan
yang signifikan antara penggunaan multi media pembelajaran dengan multi media dan
tanpa menggunakan multi media pem- belajaran. Hasil ini sangat memuaskan akan
tetapi ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki dalam desain multi media pem-
belajaran dengan memperhatikan masukan dari gurufasilitator SDN 18 Mataram
diantaranya: tampilan antara huruf yang muncul diikuti dengan suku kata dalam
menulis huruf tegak bersambung, tampilan video jangan terlalu cepat supaya anak dapat
meniru tulisan yang sedang berjalan.
Adapun hasil uji coba tahap kedua ini menunjukkan peningkatan yang lebih
baik dari
sebelumnya. Perbandingan
pengajaran menggunakan multi media pada uji coba tahap I pertama dengan uji coba
tahap II kedua dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan Uji Coba Tahap I dengan Uji Coba Tahap II
Tahap I Aspek Kinerja
Sistem Tahap II
69,6 Kecepatan
pemahaman terhadap pelajaran
86,70 65,9
Kreativitas 84,50
85,6 Hasil belajar
90,40 73,7
Rata-rata 87,20
Kecepatan pemahaman
terhadap pelajaran
dalam proses
pembelajaran menggunakan multi media pada uji coba
tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I 86,769,6. Hasil kreativitas siswa
lebih tinggi menggunakan multi media pembelajaran pada uji coba tahap II lebih
tinggi dari uji coba tahap I 84,565,9. Hasil belajar siswa menggunakan multi
media pembelajaran lebih tinggi meng- gunakan multi media pembelajaran pada uji
coba tahap II lebih tinggi dari uji coba tahap I 90,485,6. Secara umum pem-
belajaran menggunakan multi media pada uji coba tahap II lebih tinggi dari uji coba
tahap I dengan dengan nilai rata-rata masing-masing 87,2 dan 73,7. Diagram
yang menerangkan sebaran skor pem- belajaran
menggunakan multi
media pembelajaran pada uji coba tahap II dan uji
coba tahap I dapat dilihat pada Gambar 2.
389
Gambar 2 Perbedaan Pembelajaran Menggunakan Multi Media pada Uji Coba
Tahap I dengan Uji Coba Tahap II
Hasil ini
menunjukkan secara
persentase bahwa ada peningkatan yang spesifik dari uji coba tahap pertama ke uji
coba tahap kedua, dimana masing-masing aspek jika dilihat dari kecepatan pemahaman
terhadap
pelajaran dari
skor 69,6
meningkat menjadi 86,7 yang berarti terjadi peningkatan 17,10. Pada tahap
kedua, kreativitas
dari skor
65,9 meningkat menjadi 84.,, terjadi pening-
katan sebesar 18,60. Hasil belajar dari skor 85,6 meningkat menjadi 90,4,
terjadi peningkatan sebesar 4,80. Secara keseluruhan nilai rata-rata peningkatan dari
tahap pertama ke tahap kedua skornya adalah 13,50. Peningkatan persentase
penggunaan
multi media
dalam pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Persentase Peningkatan
Penggunaan Multi Media Setelah
menyelesaikan tahapan-
tahapan dalam penelitian ini diperlukan
adanya perbaikan atau revisi pada desain multi media pembelajaran menulis dan
membaca permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar berdasarkan masukan dari guru
fasilitator, diantaranya: 1 Menghilangkan kembali balon-balon yang tampak pada
tampilan awal setelah uji coba tahap pertama Gambar 4A, 2 Kata apel pada tampilan
Gambar 4B disarankan langsung menjadi contoh
untuk menulis
huruf tegak
bersambung, supaya siswa bisa langsung
390 melihat perubahan atau cara menulis
susunan kata-kata apel tersebut sehingga tidak hanya menulis huruf per huruf saja.
Perbaikan ini tidak hanya sampai disini akan tetapi terus diperbaiki sampai media ini
benar-benar memiliki legitimasi baik dari pengguna.
A B
Gambar 4 Tampilan Multi Media Setelah
Revisi Di
Sekolah Dasar
Negeri 18
Mataram, dari segi fasilitas termasuk cukup untuk kebutuhan proses pembelajaran,
terlebih pada proses pembelajaran menulis dan
membaca permulaan
yang membutuhkan Laptop, LCD Proyektor,
DVD atau PCD Player semuanya tersedia dan dalam kondisi baik dan berfungsi
normal.
Pengembangan multi
media pembelajaran
menulis dan
membaca permulaan untuk kelas 1Sekolah Dasar tidak
akan berfungsi
efektif jika
tidak dimanfaatkan oleh guru kelas 1 dan
didukung oleh prasarana dan sumberdaya yang cukup, sehingga guru harus paham
bagaimana
mengoperasikan prasarana
Laptop, LCD Proyektor, DVDPCD Player dan
sarana lainnya
dalam rangka
mendukung pembelajaran kearah yang lebih baik.
Simpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah adanya peningkatan yang lebih baik pada uji
coba tahap kedua bila dibandingkan dengan uji coba tahap pertama. Secara keseluruhan
nilai rata-rata dari uji coba tahap pertama mencapai 73,7 dari yang diharapkan
sedangkan rata-rata dari uji coba tahap kedua mencapai 87,2. Penggunaan multi
media pembelajaran menulis dan membaca permulaan membuat siswa lebih paham dan
cepat mengerti. Daftar Pustaka
Andi, 2008, Panduan Praktis : Video Editing
Dengan Pinnacle Studio Version 11, Jakarta, Penerbit Wahana Komputer
Aminah, Siti, 2011, Upaya Peningkatan Kemampuan
Menulis Permulaan
Melalui Latihan Motorik Halus Dengan Menggunakan Keterampilan
Mosaics Pada Siswa Autis Kelas I Semester I Di Slb Autis Alamanda
Surakarta
Tahun Pelajaran
20102011. Digilib.Uns.ac.id Arends, Richard. 2008. Learning To
Teach. Penerjemah: Helly Prajitno Sri Mulyani. New York: McGraw
Hill Company
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar : GBPP SD Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia.
Jakarta: Depdikbud.
Dick, W. and L. Carey. 1990. The Systematic Design of Instruction.
Glenview: Scott, Foresman, and Company.
Degeng, I.N.S. 1997. Penulisan Bahan Ajar: Modul
Pembelajaran dalam
Pelatihan Staf, Guru, dan Karyawan Sekolah Ciputra Surabaya. Surabaya
391 Errante,
A. 1997.
Close to
Home: Comparative
Prespective of
Childhood and
Community Violence.
American Journal
of Education, 102 1:2-3.
Hujair Sanaky. 2009. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
http:www.pengertianahli.com201310pen gertian-multimedia-menurut-para-
ahli.html diakses, 13-12-13 http:www.duniabaca.compengertian-
menulis-menurut-para -ahli.html Mulyono Abdurrahman, 2003. Pendidikan
Inklusi . Surakarta : Depdikbud. Ritawati Wahyudin, 1996. Bahan Ajar
Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas-kelas Rendah SD. Padang.
IKIP
Sekolah Teknologi
Menengah. Jurnal
Teknologi Pembelajaran: Teori dan Penelitian, 4 2:173.
Sahalessy, A.
1998. Masalah-masalah
Belajar Abad
21: Tinjauan
Pendayagunaan Teknologi Informasi. Jurnal Teknologi Pembelajaran: teori
dan Penelitian, 6 1:11-12.
Sugiyono. 2009.
Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sukartiningsih Wahyu, 2004. Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Membaca
Dan Menulis Permulaan Dikelas 1 Sekolah Dasar Melalui Media Kata
Bergambar. Publikasi
Jurnal Pendidikan Dasar, Vol.5, No.1,
2004. Wright, Andrew, David Betteridge, and
Michael Buckby. 1993. Games for Language Learning. Great Britain:
Cambridge University Press.
© 2014 LPPM IKIP Mataram
Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Nuraeni
Program Studi Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram E-mail: sasakrengganisgmail.com
Abstract: Inclusive education should be started in early childhood. In addition to laws and regulations that
support the implementation of early childhood education, conceptual and scientific studies of child development, have shown positive values in the provision of early education services. The most striking effect
and can leave the impression that the old performed at the right time, ie during the critical or sensitive period. Therefore, the need for stimuli given at an early age that can improve all aspects of the development is also
based on the view. Delay or waiver provision stimuli at the right time will give a negative impact on childrens development.
Abstrak:
Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian
ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan
tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.
Kata Kunci:
Pendidikan Inklusif, PAUD
Pendahuluan
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini menun-
jukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan
anak
lainnya anak
normal dalam
pendidikan. Pendidikan terpadu yang ada pada
saat ini diarahkan menuju pendidikan inklusif sebagai wadah yang ideal yang
diharapkan dapat
mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-
anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus yang selama ini masih belum
terpenuhi
haknya untuk
memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain.
Pendidikan inklusif
seharusnya dapat
dimulai sejak anak usia dini. Selain undang- undang dan peraturan yang mendukung
terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah
mengenai perkembangan anak, telah menun- jukkan adanya nilai-nilai positif dalam
pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith 2006 menjelaskan bahwa pengaruh
yang
paling mengena
dan dapat
meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis
atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang
dapat meningkatkan seluruh aspek perkem- bangan juga didasarkan pada pandangan
tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat
akan
memberi dampak
negatif bagi
perkembangan anak.
394 Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
Indonesia selama ini sudah menyeleng- garakan pendidikan inklusif, dimulai dari
tingkat pendidikan dasar SD sampai dengan tingkat atas SMA. Pendidikan
inklusif selayaknya dapat dimulai dari jenjang pendidikan yang paling awal, yaitu
dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini disebabkan karena pada saat usia dini,
seorang anak dapat menerima rangsangan dengan sangat baik dibandingkan setelah
anak tersebut menginjak usia yang lebih tinggi usia SD.
Konsep ABK
Anak Berkebutuhan
Khusus Pengertian
anak berkebutuhan
khusus memiliki arti yang lebih luas apabila
dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam pendidikannya memer- lukan pelayanan yang spesifik dan berbeda
dengan anak pada umumnya Depdiknas, 2007. Anak berkebutuhan khusus ini
mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan, baik itu disebabkan karena
kurang atau terlalu berlebihnya potensi yan dimiliki sang anak. Oleh sebab itu mereka
memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing
anak.
Secara umum
rentangan anak
berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus
yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu, dan anak berkebutuhan
khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan
perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau
tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwi-
bahasaan perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah, anak yang mengalami hambatan
belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak
berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan
sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen Depdiknas, 2007.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang
temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda-
beda Hildayani, 2009. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan
oleh tiga hal, yaitu: 1 faktor lingkungan 2 faktor dalam diri anak sendiri, dan 3
kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Sesuai kebutuhan
lapangan maka pada buku ini hanya dibahas secara
singkat pada
kelompok anak
berkebutuhan khusus
yang sifatnya
permanen.
Pengertian Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif mempunyai pengertian
yang beraneka ragam, Stainback dan Stainback 1990 mengemukakan bahwa
sekolah inklusif adalah sekolah yang dapat menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah tersebut mampu menyediakan program pendidikan yang layak sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
Bantuan dan
dukungan yang
diberikan oleh para guru agar semua anak dapat mencapai keberhasilan.
395 Staub dan Peck 1995 mengemukakan
bahwa pendidikan inklusif adalah dengan menempatkan anak berkelainan tingkat
ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler.
Pendidikan inklusif menurut Sapon- Shevin dalam Unesco, 2003 merupakan
sistem layanan pendidikan yang mem- persyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama dengan
anak seusianya. Hal ini menuntut konsekuensi
adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi
komunitas yang
mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak,
artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu
para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitar.
Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan
dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber
seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dalam ranah pendidikan, istilah
inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu
berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan demikian
pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.
Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak
berkebutuhan khusus
penyandang hambatancacat ke dalam program sekolah.
Konsep inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak
yang
memiliki hambatan
ke dalam
kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah
Walisman 2009
menyatakan bahwa
hakikat inklusif adalah mengenai persamaan hak setiap siswa atas perkembangan
individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan yang sama untuk
mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus
dirancang
dengan memperhitungkan
perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidak-
mampuan khusus
danatau memiliki
kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang
bermutu tinggi
dan tepat.
Keduanya menekankan bahwa siswa memiliki hak
yang sama tanpa dibeda-bedakan ber- dasarkan perkembangan individu, sosial, dan
intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan
dengan mempersiapkan model pendidikan yang
disesuaikan dengan
perbedaan- perbedaan individu tersebut. Perbedaan
bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan,
namun pendidikan
harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 70 Tahun
2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang mem- berikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa
untuk
mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pengertian pendidikan dalam Per- mendiknas di atas memberikan penjelasan
secara lebih rinci mengenai siapa saja yang
396 dapat dimasukkan dalam pendidikan in-
klusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan
yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang
perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang
normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan danatau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah
mulai mengubah
model pendidikan yang selama ini memisah-
misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan
kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah baca: kelas akselerasi, dan
peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa SLB.
Rumusan mengenai
pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat
Pendidikan Sekolah Luar Biasa PSLB Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah Mandikdasmen Kementrian Pendidikan Nasional Kemen-
diknas
mengenai pendidikan
inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa
bersama-sama teman
seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anak- anak berhasil.
Pengertian-pengertian yang dikemu- kakan di atas secara umum menyatakan hal
yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang
dirancang dan disesuaikan dengan kebu- tuhan semua peserta didik, baik peserta didik
yang normal maupun peserta didik ber- kebutuhan khusus. Masing-masing dari
mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama
lain.
Latar Belakang Pendidikan Inklusif di PAUD
Pendidikan inklusif
seharusnya dapat
dimulai sejak anak usia dini. Selain undang- undang dan peraturan yang mendukung
terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah
mengenai
perkembangan anak,
telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif
dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith 2006 menjelaskan bahwa
pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya
rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek per-
kembangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian
pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan
memberi dampak
negatif bagi
perkembangan anak. Disamping uraian di atas, alasan
mengapa program
inklusif sebaiknya
diterapkan sejak di PAUD karena ternyata ada banyak sekali manfaat yang bisa didapat
dari program inklusif yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah, diantaranya:
397 1.
Manfaat bagi semua siswa;
Bagi anak-anak yang tidak memiliki hambatan akan menambah wawasan
bahwa di lingkungan mereka ada beberapa individu yang mempunyai
beberapa hambatan
Setelah mereka mengetahuinya
selanjutnya dapat menimbulkan efek pemahaman dan penerimaan sejak
dini
Bagi anak berkebutuhan khusus tidak
akan merasa bahwa mereka berbeda dengan anak-anak lain
Meningkatkan rasa percaya diri
anak-anak yang mempunyai kebu- tuhan khusus.
2. Manfaat bagi tenaga pendidik
Guru memperoleh ilmu dan dan
pengalaman baru
yang sangat
bermanfaat bagi mereka
Menemukan metode-metode mani- pulatif dan kreatif dalam pengajaran
Menumbuhkan suatu komitmen
terhadap etika dan tanggung jawab pengajaran.
3. Manfaat bagi orangtua
Manfaat bagi orangtua dengan ABK adalah dapat meningkatkan rasa percaya
diri mereka karena ternyata anaknya bukanlah
“penyakit” yang
perlu disingkirkan tapi bisa bergabung dengan
bukan ABK. Manfaat bagi orangtua pada umumnya adalah dalam rangka pengem-
bangan sikap empati, penghargaan dan penerimaan
pada ABK
beserta keluarganya.
4. Manfaat bagi masyarakat
Masyarakat secara umum akan terbuka pemahamannya bahwa ABK bukanlah
anak yang
harus dikucilkan
dan disingkirkan,
ABK bisa
bergabung dengan anak pada umumnya karena
mereka seperti yang lainnya juga adalah manusia yang tentu saja mempunyai hak
yang sama. Keterbukaan pemahaman masyarakat
tersebut bisa
dibangun melalui adanya sekolah-sekolah inklusif,
terutama apabila dimulai dari jenjang PAUD.
Model-model Pendidikan Inklusif Pendidikan
inklusif merupakan
per- kembangan baru dari pendidikan terpadu.
Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan
kebutuhan khususnya,
semua diusahakan dapat dilayani secara optimal
dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum,
sarana-prasarana,
tenaga pendidik
dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai
pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusif mensyaratkan
pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menye- suaikan
dengan sistem
persekolahan. Dengan
melihat adanya
penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang
berbeda-beda, maka dalam setting pendidi- kan
inklusif model
pendidikan yang
dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim
dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pada dasarnya pendidikan inklusif memiliki
beberapa model, diantaranya Dikdasmen, 2007:
398