Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia
pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Tidak demikian halnya yang diatur untuk
golongan Bumiputera.Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat danmendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan
untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada
advokat atau pembela lain yang bersedia.
10
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan
hukum belum dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para
advokat adalah orang Belanda.
11
Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada
tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di
Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara
hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di
Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
10
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan., Op. cit., hlm. 21.
11
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 3.
Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.
12
Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia
yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.
13
Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri
Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai
bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian bantuan
hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak
mampu memakai advokat-advokat Belanda, hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di
Indonesia.
14
Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari
pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan
pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah
pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.
15
12
Ibid, hlm. 9, et seq
13
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 12.
14
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43.
15
Bambang Sunggono dan Aries Harianto.Op.cit., hlm. 14.
Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut.
“Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 yaitu saat Soekarno mengambil oper
kekuasaan dengan mengganti konstitusi, keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga
hanya ada 1 satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Demikian pula hanya berlaku 1 satu
hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah
justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan
Rechtsvordering melainkan HIR.
“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke
dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan
peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-kete
ntuan mengenai bantuan hukum.”
16
Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno hingga tahun 1965, bantuan hukum dan profesi advokat mengalami
kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.
17
Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut:
“Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena
tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan
impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara
tidak melihat gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta
pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.
16
Abdurrahman, Op. cit., hlm.44, et seq.
17
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
“Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara
hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh
dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan h
ukum di Indonesia.”
18
Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang
Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menulis sebagai berikut:
“… Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat
sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya
usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan
dan respek kepada hukum tumbuh kembali.
” Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-Undang No.
19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan
peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.
19
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama
kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan
18
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 46.
19
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 15.
bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi
dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.
20
Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk
mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum Rechtshogeschool Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof.
Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat
yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof.
Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong
yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di
Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi
Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum LKBH. Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
21
Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi
atau perkumpulan bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-perkumpulan
20
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 48.
21
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 16.
advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari
Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan
advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.
Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama
direncanakan sejak Kongres I PERSAHI Persatuan Sarjana Hukum Indonesia pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan
advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh
advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia PAI dengan
ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.
Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia
pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untukikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan
lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres IMusyawarah Advokat yang
berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan
advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia PERADIN.
22
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum.
Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum LBH di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung
Nasution,
23
yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001KepDPP101970, dan mulai berlaku pada
tanggal 28 Oktober 1970.
24
Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
YLBHI.
25
Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan
Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta
untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya
tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang
buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan
22
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Op. cit., hlm. 26 .
23
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
24
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 50.
25
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Op. cit. hlm. 50.
kepada penanganan perkara pidana, perdata, subversi dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan nasihat dan konsultasi.
Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan,
baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para
pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di
sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan
perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum non- litigasi.
26
Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan
pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum
yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan
dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
27
Pada tahun 1979 terdapat tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan
hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum.
28
26
T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 71
27
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 52.
28
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat
Indonesia IKADIN, Asosiasi Advokat Indonesia AAI, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia IPHI, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia HAPI,
Serikat Pengacara Indonesia SPI, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia AKHI, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal HKHPM dan Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia APSI. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan dalam Pasal 32 Ayat 4 perintah untuk
membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association wadah tunggal dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang
tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia PERADI. PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal
organisasi advokat Indonesia. Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang
yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang
yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia
untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara
ekonomis.
29
Guna melaksanakan amanat SEMA, sejak tahun 2011 telah dibentuk Pos-Pos
Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan secara bertahap. Pada
tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum bertambah menjadi 69 di 69
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, direncanakan
penambahan 5 Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama
Purwokerto,Pengadilan Agama Tulungagung, dan Pengadilan AgamaGirimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74
Posbakum.
30
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum
membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
29
Lampiran 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
30
Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74, diakses dari http:www.badilag.netdirektori-dirjen17982-tahun-2014-posbakum-bertambah-5-menjadi-74-
111.html, pada tanggal 22 Juli 2014, pukul 19.45.
2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan
prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat
miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.