Analisis morfologi dan ekologi kalawet (hylobates agilis albibarbis) di taman nasional sebangau Kalimantan Tengah

ANALISIS MORFOLOGI DAN EKOLOGI KALAWET
(Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL
SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

SUYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis
Morfologi Dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional
Sebangau Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2007

Suyanti
NRP. P057030031

ABSTRAK
SUYANTI. Analisis Morfologi dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di
Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah.
Dibimbing oleh SRI
SUPRAPTINI MANSJOER dan ANI MARDIASTUTI.
Kalawet (H.a. albibarbis) merupakan salah satu spesies Hylobates yang
terdapat di kalimantan dan dapat dijumpai di Laboratorium Alam Hutan Gambut
(LAHG) CIMTROP Universitas Palangkaraya, di Taman Nasional Sebangau,
Kalimantan Tengah. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli s/d Oktober
2005 di LAHG dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi dan
ekologi (populasi dan habitat) kalawet. Pengamatan morfologi dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan untuk survei populasi line
transect sampling. Pengamatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum
vegetasi dan profil pohon, yang hasilnya digambarkan dalam bentuk diagram
profil habitat. Wawancara kepada masyarakat di sekitar kawasan LAHG juga

dilakukan untuk mendapatkan informasi aktivitas masyarakat sekitar Taman
Nasional.
Karakteristik kualitatif bagian tubuh kalawet mempunyai warna rambut
yang beragam yaitu hitam, putih, coklat muda dan coklat tua. Karakteristik
kuantitatif dari segi ukuran tubuh kalawet jantan dewasa lebih besar dari jantan
remaja dan betina dewasa. Bobot badan jantan dewasa 4,0±1,0 kg, jantan
remaja 3,1±0,5 kg dan betina dewasa 3,9±0,7 kg. Dari segi bentuk tubuh antara
kalawet jantan dewasa dan jantan remaja sama, sebaliknya antara kalawet
jantan dewasa dan betina dewasa memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Hasil
survei populasi dengan luas daerah survei 6,0 km2 di tipe hutan gambut
campuran ditemukan 15 kelompok kalawet dengan jumlah anggota kelompok 2-4
individu. Kepadatan populasi 7,67 individu/km2 dengan kepadatan kelompok 2,5
kelompok/km2 dan rata-rata ukuran kelompok 3 individu/kelompok. Stratum
vegetasi yang paling banyak digunakan kalawet adalah stratum B (60%) yang
tingginya lebih dari 15-25 m dari permukaan tanah. Untuk jenis pohon yang
paling umum ditemukan Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum,
Camnosperma coriaceum, Syzygium clavatum, Callophyllum sclerophyllum dan
Diospyros pseudomalabarica. Masyarakat tidak melakukan perburuan terhadap
kalawet, perburuan di LAHG hanya pada babi hutan, kelelawar, burung, ular dan
biawak.

Kata kunci: Kalawet, Hylobates agilis albibarbis, morfologi, populasi, habitat,
Taman Nasional Sebangau.

ABSTRACT
SUYANTI. Morphological and Ecological Analyses of Kalawet (Hylobates
agilis albibarbis) in Sebangau National Park, Central Kalimantan, under
supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and ANI MARDIASTUTI.
Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) is one species of Hylobates naturally
in Kalimantan and can be found in Natural Peat Swamp Forest Laboratory
(LAHG) CIMTROP of Palangkaraya University, Sebangau National Park, Central
Kalimantan. This research was aimed to assess the morphology and ecology
(population and habitat) of kalawet. It was carried out in July up to October 2005.
The morphological characteristics of kalawet were observed qualitatively and
quantitatively. The line transects sampling method was used to survey
population. Whereas, habitat study focused on vegetation stratum and tree profile
uses, and the characteristics of habitat was shown in a habitat profile diagram.
Interview with community surrounding, who live around the park, aimed to collect
information about community’s activities related with kalawet.
The qualitative characteristics of kalawet were varied on hair color, such
as white, black, light brown and dark brown. Whereas, the quantitative

characteristics, in case of body size of adult males were bigger than juveniles and
adult females. The body weight of adult males were 4,0±1,0 kg, the juvenile
males were 3,1±0,5 kg and the adult females were 3,9±0,7 kg. In case of body
shape, the adult and juvenile males were similar, while the adult males and the
adult females were different. The results of population survey of 6 km2 of mixed
swamp forest were found 15 groups of kalawet, which consisted of 2-4
individuals/group. The population density were 8 individuals/km2 with group
density were 2,5 groups/km2 and the average of group size were 3
individuals/group. The most vegetation stratum used by kalawet was B (60%),
which had more than 15-25 m from the ground. The most general trees found
were Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum, Camnosperma coriaceum,
Syzigium
clavatum,
Callophyllum
sclerophyllum
and
Dyospyros
pseudomalabarica. The local communities did not hunt on kalawet, but in LAHG,
they did hunt on wild boars, cave bats, birds, snakes and lizards.
Keywords:


kalawet, Hylobates agilis albibarbis, morphology, population, habitat,
Sebangau National Park

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS MORFOLOGI DAN EKOLOGI KALAWET (Hylobates agilis
albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

SUYANTI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si

Judul Tesis

: Analisis
Morfologi dan Ekologi Kalawet
(Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional
Sebangau Kalimantan Tengah

Nama


: Suyanti

NRP

: P. 057030031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer
Ketua

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 23 Agustus 2007

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan serangkaian penelitian
hingga penulisan tesis yang berjudul “Analisis Morfologi Dan Ekologi Kalawet
(Hylobates agilis albibarbis) Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah”.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini dapat
terlaksana dengan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan peghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, masingmasing sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah dengan
sabar meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada
penulis mulai dari pesiapan, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.
2. Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si, yang telah meluangkan waktu dan berkenan
menjadi penguji luar komisi atas segala saran dan masukan untuk

penyempurnaan tesis ini.
3. Drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata
(PSSP) beserta staf, yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan.
4. Ir. Hi. Ilyas Mekka (mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali)
dan Drh. Sujanarto (Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
Propinsi Sulawesi Tengah), yang telah memberi izin tugas belajar; Rektor
IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Primatologi
serta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan
studi di SPs-IPB.
5. Direktur CIMPTROP Universitas Palangkaraya, Ir. Suwido H. Limin, MS, dan
staf atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan dalam melakukan
penelitian di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG).
6. Saudara Dr. drh. Hery Wijayanto, MP; Dr. Ir. Yulius Duma, MS; Moh. Irfan
S.Pt, M.Si; Ir. M.R. Yantu, MS; Ir. Wardah, MFSc; Ir. Rizal Tantu, M.Si; rekanrekan seangkatan 2003, rekan-rekan mahasiswa Primatologi (HIMAPRIMA),
serta rekan-rekan mahasiswa pacasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) di
Bogor, atas bantuan dan dukungannya langsung maupun tidak langsung
selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak mertua Mustakim,
ibu mertua Hasna Korompot, kakakku Syarif Masitudju, Zatul Masitudju,
Alamsyah Masitudju (Alm) dan adikku Sofyan Nur Masitudju (Alm), Ajmila


Masitudju, serta seluruh keluarga, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa
dan dukungan moral kepada penulis.
Kepada suamiku tercinta Hardi Mustakim dan anak-anakku tersayang Anda
Ryan Syah, Mahvicka Ariyani dan Nugrah Setiawan, terima kasih atas segala
kesabaran, pengertian, pengorbanan dan dukungan yang diberikan, yang
senantiasa menyemangati penulis dalam penyelesaian tesis.
Akhirnya dengan penuh rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak
terhingga, penulis sampaikan kepada ayahanda Drs. Hi. Tato Masitudju dan
ibunda Hj. Zamani. Hi. Laraga yang telah dengan sabar mendidik dan
membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan senantiasa mendorong
dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus melangkah meraih
pendidikan yang lebih tinggi.
Semoga karya ilimiah ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2007
penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palu pada tanggal 10 Juni 1972 dari ayah Drs. Hi.

Tato Masitudju dan ibu Hj. Zamani Hi. Laraga. Penulis adalah anak keempat dari
enam bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1985 di SDN 15 Palu.
Tahun 1988 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Palu
dan tahun 1991 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Karya Palu.
Pada tahun 1991 pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Pertanian Jurusan
Peternakan Universitas Tadulako dan lulus pada tahun 2000.
Di tahun 2000 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. Tahun 2003 penulis
diterima masuk ke Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Primatologi.
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menikah dengan Hardi Mustakim dan telah dikaruniai tiga orang
putera-puteri; Anda Ryan Syah, Mahvicka Ariyani dan Nugrah Setiawan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..............................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................
Kerangka Pemikiran ...................................................................

1
2
2
3

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Penyebaran .....................................................
Morfologi ....................................................................................
Ekologi ........................................................................................
Populasi dan Kepadatan Populasi .............................................
Habitat ........................................................................................
Stratifikasi ...................................................................................
Pakan .........................................................................................
Interaksi Masyarakat dengan Hutan ...........................................

5
7
8
9
11
12
13
14

Status Konservasi ......................................................................

15

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas dan Letak ...........................................................................
Dasar Hukum .............................................................................
Topografi dan Tanah ..................................................................
Iklim ...........................................................................................
Potensi Flora dan Fauna ...........................................................
Pencapaian ke Lokasi ................................................................
Profil Kelurahan Kereng Bangkirai .............................................

16
17
17
17
18
19
19

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian ........................................................................
Tempat dan Waktu .....................................................................
Alat dan Bahan ...........................................................................
Metode Penelitian ......................................................................

21
21
21
22

Cara Pengumpulan Data ...........................................................
Morfologi ....................................................................................
Ekologi .......................................................................................
Populasi ................................................................................
Tipe Habitat ..........................................................................
Profil Habitat .........................................................................
Stratum Vegetasi ..................................................................
Sumber dan Jenis Pakan .....................................................
Survei Aktivitas Masyarakat ..................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi ....................................................................................

22
22
26
26
28
28
29
29
30
31

Sifat Kualitatif .......................................................................
Sifat Kuantitatif .....................................................................
Ukuran Tubuh Kalawet .........................................................
Hasil dan Analisis Komponen Utama .........................................
Perbandingan Ukuran dan Bentuk Kalawet Jantan
Dewasa, Jantan Remaja dan Betina Dewasa ......................
Populasi ......................................................................................
Komposisi Kelompok ............................................................
Ukuran Kelompok .................................................................
Kepadatan Populasi .............................................................
Habitat ........................................................................................
Tipe Habitat ..........................................................................
Profil Habitat .........................................................................
Pemanfaatan Stratum Vegetasi ............................................
Sumber Pakan ......................................................................
Aktivitas Masyarakat ...................................................................

31
32
32
34
37

SIMPULAN ........................................................................................

64

SARAN ..............................................................................................

65

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

66

LAMPIRAN ........................................................................................

70

38
38
41
42
45
45
47
52
54
57

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis ...............................

10

2

Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet ....................................

23

3

Deskripsi morfologi eksternal kalawet ...........................................

31

4

Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran
kalawet jantan dewasa dan jantan remaja .....................................

33

Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran
kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ...................................

34

Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh
pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ..

35

7

Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T0 ................

39

8

Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T1A .............

40

9

Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T2.................

41

10

Estimasi populasi kalawet di lokasi penelitian ...............................

42

11

Persentase pemanfaatan stratum oleh kalawet .............................

52

12

Jenis tumbuhan yang dimakan oleh kalawet .................................

55

5
6

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Bagan alur kerangka pemikiran ................................................

4

2

Peta penyebaran kalawet (H.a. albibarbis) ................................

6

3

Kalawet (H.a. albibarbis) jantan remaja .....................................

7

4

Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut ........................

12

5

Peta taman nasional sebangau ..................................................

16

6

Laboratorium alam hutan gambut CIMTROP UNPAR ...............

21

7

Bagian tubuh kalawet yang diukur .............................................

24

8

Sketsa transek pengamatan .......................................................

28

9

Profil kalawet (H.a. albibarbis) ....................................................

32

10

Perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan
dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ................................

37

11

Profil vegetasi di LAHG TN. Sebangau ......................................

46

12

Diagram profil pohon dijalur T0 ..................................................

49

13

Diagram profil pohon dijalut T1A ................................................

50

14

Diagram profil pohon dijalur T2 ..................................................

51

15

Sampel pakan kalawet di LAHG, Blumeodendron tokbrai, Ficus
sp dan Gnetum sp .....................................................................

54

16

Jenis mata pencaharian masyarakat ..........................................

57

17

Kayu log dihanyutkan di sungai ..................................................

58

18

Jenis kayu yang ditebang ...........................................................

59

19

Kebakaran hutan di sekitar kawasan LAHG ...............................

60

20

Tingkat perburuan pada lokasi penelitian ...................................

61

21

Persentase pemahaman masyarakat mengenai konservasi.......

62

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Data umum kalawet .......................................................................

70

2

Hasil analisis komponen utama kalawet jantan dewasa ...............

71

3

Hasil analisis komponen utama kalawet jantan remaja .................

72

4

Hasil analisis komponen utama kalawet betina dewasa ...............

73

5

Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja .........

74

6

Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ........

77

7

Persamaan ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total
dan nilai eigen (Eigen value) pada kalawet jantan dewasa, jantan
remaja dan betina dewasa .............................................................

80

Nilai koefisien korelasi dengan komponen utama I (ukuran) dan
komponen utama II (bentuk) antara kalawet jantan dewasa,
jantan remaja dan betina dewasa ..................................................

81

9

Data survei populasi pada setiap jalur penelitian ..........................

82

10

Nama-nama jenis tumbuhan yang dijumpai di lokasi penelitian ....

83

8

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tak dapat dipungkiri bahwa lokasi Indonesia di daerah tropik dan
keragaman floranya sangat mendukung kehidupan satwa yang ada di dalamnya.
Tidak mengherankan, jika Indonesia merupakan salah satu negara dengan
ragam jenis satwa primata terkaya di dunia. Namun, tekanan yang besar
terhadap keberadaan keanekaragaman hayati menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan daftar jenis satwa terancam punah tertinggi pula.
Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) adalah salah satu spesies Hylobates
yang dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera.
dicantumkan

Pada CITES, kalawet

dalam Appendix I (Soehartono & Mardiastuti 2002) dan IUCN

mengkategorikannya

sebagai spesies yang lower risk.

Perbedaan utama

kalawet dengan spesies lainnya adalah pada morfologi, pola suara dan struktur
genetiknya. Kalawet dalam penyebarannya dapat dijumpai di hutan rawa gambut
Kalimantan Barat dan Tengah (Supriatna & Wahyono 2000).
Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau merupakan bagian
dari Taman Nasional Sebangau yang terletak di antara sungai Katingan dan
sungai Sebangau. Secara administratif kawasan ini meliputi Kabupaten Katingan,
Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya.

Kawasan Sebangau

merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan rawa gambut yang masih
tersisa di Kalimantan Tengah dengan ketebalan gambut mencapai 12 m dan
memiliki karakteristik ekosistem yang unik di tinjau dari jenis tanah, topografi,
hidrologi, flora dan fauna, serta memiliki ciri khas air hitam, dan juga merupakan
habitat orang utan, binturung, beruang madu, kalawet dan kelasi (Drasospolino
2004).
Kalawet di kawasan ini masih dapat dijumpai, tetapi dengan kerapatan
yang lebih rendah daripada di hutan dataran yang kering, mengingat hutan rawa
gambut miskin akan jenis dan kurangnya pohon-pohon besar untuk melakukan
perjalanan/pergerakan. Selain itu kehadiran penduduk desa di sekitar kawasan
Taman Nasional Sebangau menimbulkan beberapa permasalahan yang secara
langsung maupun tidak langsung ikut mengancam kehidupan kalawet. Banyak di
antara mereka yang belum mengetahui status, jenis satwa yang dilindungi dan
cara melakukan perlindungan, sehingga masih banyak pelanggaran yang terjadi,
seperti memelihara satwa yang dilindungi, berburu ataupun merusak habitatnya
untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan, serta penggalian kanal yang

2

merusak struktur lahan gambut.

Selain itu, masalah lain yang tidak bisa

dikendalikan seperti kebakaran hutan yang sering terjadi di sekitar kawasan
tersebut.
Dengan berbagai tekanan ini, sudah dapat dipastikan bahwa kehidupan
kalawet di alam mengalami penurunan dan tidak menutup kemungkinan suatu
ketika akan mengalami kepunahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka
perlu diupayakan berbagai macam pendekatan konservasi.
Dalam upaya konservasi kalawet, diperlukan pemahaman tentang aspek
kehidupan alami, antara lain aspek morfologi dan ekologinya. Oleh karena itu,
suatu penelitian akan dilakukan untuk mempelajari morfologi dan ekologi kalawet
yang terdapat di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG)
Kalimantan Tengah.
rekomendasi

yang

Sebangau,

Ketersediaan data ini diharapkan dapat melahirkan
berkaitan

dengan

upaya

konservasi

kalawet,

agar

keberadaannya dapat dipertahankan dan dilestarikan.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan karakteristik morfologi secara kualitatif dan kantitatif terhadap
kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa.
2. Mengetahui keadaan ekologi (populasi dan habitat) kalawet di Laboratorium
Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, Taman Nasional
Sebangau
3. Mendapatkan informasi

sikap dan aktivitas masyarakat

yang terkait

dengan keberadaan kalawet di sekitar kawasan.
Manfaat Penelitian
1. Menggunakan informasi karakteristik morfologi dan ekologi kalawet sebagai
dasar pijakan dalam pengembangan dan strategi konservasi.
2. Memberikan salah satu informasi dalam menyusun program konservasi guna
pelestarian populasi dan habitat kalawet di Laboratorium Alam Hutan Gambut
CIMTROP Universitas Palangkaraya, Taman Nasional Sebangau.

3

Kerangka Pemikiran
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi, dan
tersebar di beberapa tipe habitat.

Bermacam-macam jenis satwa liar ini

merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk banyak kepentingan
manusia, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis,
ekonomis, sosial maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkan dengan berbagai
cara dan seringkali menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan
penurunan populasi satwa liar, bahkan telah menyebabkan beberapa jenis satwa
liar termasuk satwa primata terancam kepunahan (Gambar 1).
Kehilangan

dan

rusaknya

hutan

merupakan

ancaman

terhadap

kehidupan kalawet. Perambahan hutan (illegal/leggal logging (HPH), konversi
hutan, kebakaran) dan perburuan (hewan peliharaan dan konsumsi) merupakan
permasalahan yang selama ini semakin mempersempit habitat kalawet di Taman
Nasional Sebangau. Habitat yang semakin sempit dibarengi dengan fragmentasi
habitat yang tinggi, semakin memperkecil ruang lingkup ekologis bagi kalawet.
Penebangan pohon akan menyebabkan berkurangnya jumlah pohon
sebagai tempat aktivitas kalawet dan dapat mempengaruhi ketersediaan sumber
pakan. Sifat kalawet yang arboreal dan lokomosi secara brakhiasi membuatnya
sulit untuk mencari dan mengembangkan wilayah jelajahnya pada kondisi
kualitas habitat yang rendah dan terfragmentasi. Penyempitan daerah jelajah
dapat mengakibatkan ukuran kelompok (jumlah individu dalam kelompok)
menjadi lebih kecil sesuai dengan daya dukung lingkungan hutan sebagai
habitat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap populasi dan biologis kalawet.
Belum lagi adanya jalur-jalur penebangan, semakin mempermudah akses
untuk masuk jauh ke dalam hutan bagi pemburu liar. Semua permasalahan
diatas, dapat menyebabkan populasi kalawet semakin menurun. Untuk itu, perlu
ditempuh langkah-langkah penyelamatan, perlindungan dan pelestarian habitat
dalam kawasan konservasi.

4

Kalawet (H.a.albibarbis)

Permasalahan

Kurangnya informasi
karakteristik biologi

Penyempitan
habitat

Penurunan
populasi

Kurangnya
kesadaran

konservasi

Pemecahan Masalah Melalui Penelitian

Analisis :
Morfologi

Analisis :
- Karakteristik
populasi (ukuran
kelompok, komposisi
kelompok dan
kepadatan populasi)

Analisis :
-Tipe habitat
- Profil habitat
- Pemanfaatan
stratum
- Sumber pakan

Rekomendasi
Konservasi

Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran

Analisis :
Sikap
masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Penyebaran
Hylobates merupakan salah satu genus dari famili Hylobatidae. Menurut
Geissman (2003), Hylobatidae terdiri dari empat genus dan 12 spesies yang
hidup tersebar di kawasan hutan tropik Asia Tenggara, yaitu
1) Genus Nomascus Miller, 1933 terdiri dari empat spesies:
a) Nomascus concolor,
b) Nomascus gabriellae,
c) Nomascus leucogenys, dan
d) Nomascus nasutus

menyebar di China, Hainan, Laos, Vietnam dan

Kamboja;
2) Genus Symphalangus Glonger, 1841: Symphalangus syndactylus, menyebar
di Sumatera dan Malaysia;
3) Genus Bunopithecus: Matthew dan Granger, 1923: Bunopithecus hoolock,
menyebar di Assam, Bangladesh dan Myanmar;
4) Genus Hylobates Illiger, 1811 terdiri dari 6 spesies:
a) H. pileatus, menyebar di Thailand dan Kamboja,
b) H. klossii, menyebar di Kepulauan Mentawai,
c) H. lar, menyebar di Sumatera bagian utara,
d) H. moloch, menyebar di Pulau Jawa,
e) H. muelleri, menyebar di Kalimantan, dan
f) H. agilis, menyebar di Sumatera, Kalimantan, Malaysia dan Thailand.
Hylobates agilis memiliki tiga subspesies, yakni (a) Hylobates agilis agilis,
yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat dan semenanjung
Malaysia, (b) Hylobates agilis ungko, menyebar di dataran rendah Sumatera
bagian timur, dan (c) Hylobates agilis albibarbis, menyebar di Kalimantan Barat
dan Tengah, dibagian utara di batasi oleh Sungai Kapuas, di timur dibatasi oleh
Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito (Gambar 2) (Chivers 2001).
Nama lokal Hylobates agilis menurut Supriatna & Wahyono (2000) lebih
dikenal dengan nama wau-wau (Kalimantan), ungko tangan hitam (Sumatera)
dan kelawat (bagian selatan Sumatera). Di Kalimantan Tengah Hylobates agilis
albibarbis dikenal dengan nama kalawet. Klasifikasi Hylobates agilis albibarbis
adalah sebagai berikut:

6
Kerajaan

: Animalia,

Filum

: Chordata,

Subfilum

: Vertebrata,

Kelas

: Mamalia,

Ordo

: Primata,

Subordo

: Anthropoidea,

Infraordo

: Catarrhini,

Superfamili

: Hominoidea,

Famili

: Hylobatidae,

Genus

: Hylobates,

Spesies

: Hylobates agilis,

Subspesies

: Hylobates agilis albibarbis, dan

Nama lokal

: Kalawet

Gambar 2 Peta Penyebaran Kalawet (H.a. albibarbis) (Chivers 2001)

7
Di daerah hulu Sungai Barito (Barito Ulu) sebagai batas daerah sebaran
Hylobates agilis albibarbis dan Hylobates muelleri dilaporkan telah terjadi hibrida
di antara keduanya (Marshall & Sugardjito 1986, McConkey et al. 2003). Selain
di Barito Ulu, hibrida juga terjadi di Semenanjung Malaysia antara Hylobates
agilis dengan Hylobates lar, dan di Thailand terjadi hibrida antara Hylobates lar
dengan Hylobates pileatus (Brockelman dan Gittins 1984).
Morfologi
Genus Hylobates merupakan kera kecil tak berekor, mempunyai kepala
kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil, rongga dada pendek tetapi
lebar, serta memiliki rambut tebal dan halus (Chivers 1977).
Menurut Groves (2001) pada genus Hylobates baik jantan maupun betina
mempunyai ukuran tubuh relatif sama. Gambaran sifat-sifat pada tubuh
ditunjukkan dengan seluruh tubuh ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu,
kecoklatan hingga hitam. Rambut yang tumbuh pada tangan berwarna hitam dan
umumnya lebih gelap dari bagian tubuh lainnya, sehingga sering disebut
black/dark-handed gibbon. Pada umumnya memliki garis lengkungan putih pada
alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkungan putih di
sekeliling wajah pada jantan lebih jelas daripada betina. Profil kalawet jantan
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kalawet (H.a. albibarbis) jantan remaja (Duma 2007)

8
Pada betina, garis putih di pipi (cheek patches) berangsur hilang pada
umur sekitar enam tahun atau menjelang dewasa. Kalawet betina dewasa, yang
dipelihara pada kondisi cahaya yang kurang atau defisiensi nutrisi dapat
kehilangan garis putih pada alis (GCC 2004).
Satwa primata yang tergolong satwa arboreal (termasuk kalawet)
mempunyai bentuk empat jari yang panjang dan ibu jari yang lebih kecil,
morfologi telapak tangan berupa segitiga dan datar, mempunyai telapak tangan
dan pergelangan tangan yang panjang, demikian pula telapak kaki dan
pergelangan kakinya, yang merupakan adaptasi mereka untuk brakhiasi/berayun
dan menggantung di tajuk-tajuk pohon (Napier & Napier 1967).
Genus Hylobates memiliki rumus gigi 2 1 2 3/2 1 2 3 = 32, dengan gigi
seri kecil dan sedikit ke depan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti
pedang, ada sedikit perbedaan antara ukuran jantan dan betina. Diastema
terdapat di rahang atas untuk gigi taring bawah. Premolar atas dan bawah
berbentuk bikuspid. Premolar bawah pertama berbentuk sektorial. Molar atas
berbentuk kuadrikuspid yang menunjukkan tipe hominoidea dan molar bawah
berbentuk kuinkuekuspid (Napier & Napier 1985).
Sariyani (2003) melaporkan ciri yang menonjol pada kalawet jantan
adalah jumbai seperti ekor yang menutupi skrotum (scrotal tuft). Scrotal tuft
berwarna hitam dengan kerapatan rambut bervariasi. Besar klitoris pada kalawet
betina sama besarnya dengan ujung penis pada jantan.
Panjang tubuh kalawet berkisar antara 45-55 cm dengan bobot badan
antara 5–7 kg. Hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous)
dengan satu atau dua anaknya yang belum dewasa (Collinge 1993). Indeks
intermembral sebesar 121 (Rowe 1996).

Masa kehamilan antara 7–8 bulan,

dengan jarak kelahiran satu anak dengan anak berikutnya sekitar 38 bulan, dan
individu yang siap melakukan perkawinan berumur sekitar 8–9 tahun (Supriatna
& Wahyono 2000) dengan masa hidupnya mencapai 30-40 tahun (Napier &
Napier 1985).
Ekologi
Ekologi adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan hubungan timbal balik
antara organisme dengan lingkungannya, baik lingkungan abiotik maupun biotik.
Hubungan organisme dengan lingkungan sebenarnya tidak lain adalah
pemanfaatan sumber daya lingkungan oleh organisme. Kelangsungan hidup bagi

9
organisme, menyangkut kelangsungan hidup individu, kelangsungan hidup
jenisnya (populasi), dan kelangsungan hidup komunitas.
Menurut Suin (2003) lingkungan abiotik terdiri dari litosfir (tanah) adalah
bahan, tipe, struktur, tekstur, warna serta faktor fisika dan kimia tanah lainnya.
Adapun yang tergolong hidrolisfir (air) adalah arus, kedalaman, suhu, kekeruhan,
bahan-bahan terlarut, dan faktor fisika-kimia lainnya dan unsur-unsur atmosfir
antara lain adalah iklim, cuaca, angin dan suhu. Lingkungan biotik adalah
totalitas dari semua organisme yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Bila sejenis organisme oleh karena sesuatu hal, sampai pada suatu
daerah baru yang pada mulanya tidak ada di daerah itu, maka organisme itu
akan berusaha untuk menetap dan selanjutnya bereproduksi disana. Apabila di
lokasi baru itu keadaan lingkungan abiotik dan biotiknya dapat mendukung
organisme tersebut untuk berkembang biak dengan baik, maka akan
bertambahlah jumlahnya, dengan kata lain populasi organisme tersebut akan
bertumbuh kepadatan populasinya. Sebaliknya apabila keadaan lingkungan tidak
mendukung untuk kelangsungan kehidupannya, maka organisme tersebut akan
berusaha pindah ke tempat yang lain. Organisme yang tidak dapat berpindah
seperti tumbuhan dan hewan-hewan yang tingkat mobilitasnya rendah akan mati.
Dengan demikian jelaslah bahwa faktor lingkungan sangat menentukan
keberadaan dan kepadatan populasi suatu organisme di suatu daerah.
Populasi dan Kepadatan Populasi
Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu
satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada
suatu tempat dan waktu tertentu serta memiliki ciri/sifat khusus kelompok dan
bukan ciri individu. Ciri tersebut antara lain kerapatan, natalitas, mortalitas,
penyebaran umur, potensi biotik dan pertumbuhan (Anderson 1985).
Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai yang luas
tergantung pada spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Kebutuhan dasar
populasi adalah untuk berlindung, makan, bergerak dan berkembang biak.
Populasi dapat stabil, berkembang atau menurun yang disebabkan oleh: (1)
keadaan lingkungan hidup satwa seperti makanan, tempat tinggal, pelindung dan
lain-lain (2) keadaan sikap hidup satwa yaitu kelahiran, kematian dan survival,
serta (3) perpindahan satwa (Alikodra 2002).
Kepadatan populasi menurut Alikodra (2002) merupakan besaran
populasi dalam suatu unit ruang yang dapat dipengaruhi oleh faktor luar seperti

10
terjadinya perubahan lingkungan, dan faktor dalam

seperti interaksi antara

individu (persaingan, pemangsaan dan penyakit), yang menyebabkan terjadinya
perkembangan atau penurunan kepadatan. Brockelman & Srikosamatara (1993)
menambahkan bahwa kepadatan populasi Hylobates dapat diperkirakan dengan
mendengarkan nyanyian bersama pada tiap teritorial kelompok monogami.
Kalawet telah kehilangan sekitar 66% habitatnya yang semula cukup luas,
yaitu sekitar 500.000 km² menjadi 170.000 km². Diperkirakan pada tahun 1986
populasi kalawet yang tertinggal di alam hanya sekitar 30.000 ekor, dan dapat
dipastikan populasinya sampai saat ini semakin jauh berkurang dibanding data
tahun 1986 di atas. Kini kalawet hanya hidup di dalam kawasan konservasi di
Kalimantan dan Sumatera (Supriatna & Wahyono 2000).
Umumnya populasi satwa primata menghadapi beberapa ancaman
karena faktor destruksi dan fragmentasi habitat, perburuan dan penangkapan
untuk konsumsi atau tujuan lain. Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal
antara lain: tingkat dan jenis aktivitas manusia, tradisi perburuan lokal, jumlah
permintaan satwa primata untuk hewan piaraan semakin meningkat dan untuk
diperjualbelikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi
Hylobates agilis di Sumatera dan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis
Lokasi
Densitas
(ekor/km²)
TN. Gunung Palung
TN. Way Kambas Sumatera
TN. Kerinci Seblat Sumatera
Kawasan Lindung HPHTI Riau
Sebangau, Kalimantan Tengah

13,5-15,6*
1,9
6
11,4
10,8
4,26
17,45
7,4*

Sumber
Mitani 1990
Yanuar & Sugardjito 1993
Yanuar 2001
Apriadi 2001
Buckley 2004

*) Hylobates agilis albibarbis
Mitani (1990) mendapatkan kepadatan populasi kalawet (Hylobates agilis
albibarbis) di TN Gunung Palung Kalimantan Barat sebesar 13,5-15,6 ekor/km2 di
habitat hutan dataran rendah, perbukitan dan hutan gambut, namun tidak jelas
metode yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil estimasi kepadatan populasi
kalawet (Hylobayes agilis albibarbis) yang didapatkan oleh Buckley (2004)
dengan menggunakan metode fixed point count di Laboratorium Alam Hutan
Gambut (LAHG) Sebangau Kalimantan Tengah 7,4 ekor/km2.

Perbedaan

kepadatan populasi yang didapatkan di TN Gunung Palung jauh lebih tinggi
dibandingkan di LAHG Sebangau. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1981 Gunung

11
Palung sudah di tetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa dan kemudian
pada tahun 1990 ditetapkan sebagai taman nasional, sedangkan LAHG
Sebangau merupakan bekas konsesi HPH dan baru ditetapkan sebagai taman
nasional pada tahun 2004. Dengan kata lain kondisi habitat di TN Gunung
Palung jauh lebih baik daripada TN Sebangau sehingga kepadatan populasi
kalawetnya lebih tinggi.
Habitat
Habitat adalah

suatu tempat hidup organisme atau individu biasanya

ditemukan dan berkembang biak secara alami. Habitat merupakan hasil interaksi
berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi
dan iklim (makro, mikro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia,
vegetasi dan satwa (Smieth 1986). Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan
menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas satwa.

Habitat yang

mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan
kehidupan satwa yang lebih baik. Sebaliknya, habitat yang rendah kualitasnya
akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah
(Alikodra 2002).
Habitat satwa primata dapat ditemukan di hutan tropik dataran tinggi,
hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan rawa gambut. Hutan rawa
gambut adalah hutan yang tumbuh diatas gambut yang tebalnya berkisar antara
1 – 20 m. Gambut dan air yang mengaliri bersifat asam dengan pH rata-rata
3,5 – 4,0.

Ini tentunya menjadikan tanah sangat miskin akan unsur hara

(oligotrof), khususnya kalsium. Hutan ini juga merupakan suatu ekosistem yang
cukup unik, karena tumbuhnya diatas tumpukan bahan organik yang melimpah
dan hidupnya tergantung pada hujan. Tumbuhan yang hidup pada daerah ini
adalah jenis-jenis Shorea sp, Dacrydium sp, Calophyllum sp, dan Alstonia sp
(Arief 1994).
Kebanyakan rawa gambut mempunyai zona hutan yang terpusat, yang
berubah dari hutan yang tinggi dengan tajuk yang tidak rata di bagian luar,
serupa dengan hutan Dipterocarpacea dataran rendah, menjadi zona-zona
dengan pohon-pohon yang lebih rendah, lingkar batang lebih kecil, daun-daun
semakin tebal dan kekayaan jenis menurun pula menuju ke bagian pusat rawa.
Komposisi flora juga berubah melintasi urutan katena. Beberapa jenis tumbuhan
memiliki akar nafas untuk memperoleh oksigen di habitat rawa gambut yang
selalu tergenang. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

12

Gambar 4 Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut
(MacKinnon et al. 2000)
Monyet, owa dan bahkan orang utan ditemukan di hutan rawa gambut,
tetapi dengan kerapatan yang lebih rendah. Macaca fascicularis dan Presbytis
cristata, terdapat dalam kerapatan yang lebih tinggi di hutan rawa gambut
daripada di hutan dataran rendah lainnya, tetapi hanya di sepanjang sungai.
Jauh dari sungai, semua kerapatan satwa primata jauh lebih rendah, dengan
kerapatan rata-rata menurun dari 10 kelompok/km² menjadi 3 kelompok/km² di
pedalaman. Ini terjadi mengingat hutan rawa gambut miskin akan jenis dan
kurangnya pohon buah-buahan dan pohon-pohon besar untuk melakukan
perjalanan, khususnya menuju ke bagian tengah rawa (MacKinnon et al. 2000).
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) kalawet dapat hidup di hutan
rawa, selain itu mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan
tanah kering.

Selanjutnya Raemaekers (1979) menambahkan, ungko dapat

hidup simpatrik dengan H. lar dan siamang, serta pada kesempatan tertentu
dapat berhibridisasi dengan H. muelleri.
Stratifikasi
Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari
suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat
digunakan dalam menentukan stratifikasi baik vertikal maupun horisontal yang
menjadi dasar untuk melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan.
Struktur vertikal dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai

13
lapisan tajuk, sedangkan stuktur horisontal untuk menerangkan sebaran jenis
pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan
(Ewusie 1990).
Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi
karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari
jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai
pohon-pohon yang dibawahnya. Batas-batas tinggi stratifikasi pohon itu akan
berbeda pada keadaan tempat tumbuh dan komposisi hutan yang berlainan.
Misalnya didalam hutan hujan Way Kambas, tinggi rata-rata statum A dapat
bervariasi antara 30 m keatas, stratum B antara 20-30 m, stratum C antara 4-20
m. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan
tumbuh-tumbuhan penutup tanah yaitu stratum D antara 1-4 m dan stratum E
merupakan lapisan penutup tanah, tingginya 0-1 m (Soerianegara dan Indrawan
2002).
Antara stratum A dan stratum B terdapat perbedaan yang jelas karena
terdapat diskontinuitas tajuk yang vertikal. Antara stratum B dan stratum C
perbedaan ini umumnya kurang jelas, sehingga hanya dapat dibedakan
berdasarkan tinggi dan bentuk pohon saja. Tidak semua hutan memiliki ketiga
stratum diatas, yang berarti hutan hanya mempunyai stratum A-B atau A-C saja.
Yang penting adanya peranan liana (tumbuh-tumbuhan pemanjat) berkayu yang
dapat menjadi bagian dari tajuk hutan (Arief 1994).
Pohon-pohon dari stratum A tumbuh menjulang tinggi dari tajuk hutan
seringkali disebut emergents, sedangkan stratum B yang merupakan tajuk paling
tebal seringkali disebut tajuk hutan utama (main canopy atau main storey)
(Soerianegara dan Indrawan 2002).
Salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal
adalah dengan membuat diagram profil hutan, tetapi diagram profil ini hanya
bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan
(Richards, 1983). Torquebian (1982) menambahkan dalam pembuatan diagram
profil peubah yang diukur adalah tinggi total pohon, tinggi pohon bebas cabang,
diameter pohon dan proyeksi tajuk.
Pakan
Makanan merupakan sumber energi untuk pertumbuhan, produksi,
reproduksi dan penunjang kebutuhan pokok lainnya. Kalawet dalam hidupnya
mengkonsumsi

buah 58% (terutama yang banyak mengandung gula seperti

14
buah ficus), daun 39%,

bunga 3% dan sisanya 1% berbagai jenis serangga.

Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu
persatu buah, biji, bunga atau daun muda (Supriatna & Wahyono 2000).
Apriadi (2001) menyatakan bahwa sikap bergantung pada Hylobates
agilis banyak digunakan pada saaat makan buah dan sikap duduk pada saat
makan daun. Kegiatan makan cenderung terjadi pada tajuk dengan ketinggian
menengah (15-25 m) dari permukaan tanah. Kalawet biasanya mencari buah dan
daun muda pada kanopi bagian tengah dan atas.
Selain makanan, air juga merupakan komponen habitat yang penting.
Satwa primata arboreal seperti kalawet, minum di tempat yang tergenang air
diantara cabang pohon. ungko minum dengan cara merendam tangannya pada
genangan air dan meraihnya ke mulut, menghisap dan menjilati air yang terdapat
pada bulu tangannya.

Tempat minum kalawet

berada antara 10-30 m dari

permukaan tanah (Chivers 1977).
Whitington (1992) melaporkan adanya interaksi antara Hylobates sp dan
Macaca nemestrina (beruk) dalam mencari sumber makanan. Hylobates sampai
di pohon tempat makan lebih dahulu dibanding M. nemestrina. M. nemestrina
tidak mendekati pohon buah yang sedang di kuasai oleh Hylobates, tetapi
menunggu sampai kelompok Hylobates selesai makan dan menjauh dari pohon
tersebut. Setelah Hylobates pergi, M. nemestrina mulai makan pada pohon
buah yang sama.
Hylobates merupakan penyebar biji yang baik di hutan. Hylobates
menyebarkan 81% biji dari buah yang mereka makan dan hanya merusak 12%
biji yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Efektivitas tumbuh dari biji
tersebut bervariasi, tetapi hampir semua spesies biji tersebut dapat tumbuh
(McConkey 2000).
Interaksi Manusia dengan Hutan
Interaksi diartikan sebagai suatu hubungan antara dua faktor atau lebih
yang saling mempengaruhi atau saling memberi aksi dan reaksi. Interaksi sosial
pengertiannya menunjuk pada hubungan sosial yang dinamis, menyangkut
hubungan di antara orang per orang, antara perorangan dengan kelompok
manusia, maupun antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok
manusia lainnya (Sulistiadi 1986).
Suhendang (2002) membagi bentuk interaksi manusia dengan hutan
kedalam dua kelompok, yaitu

15
1) berdasarkan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan oleh
manusia, dan
2) berdasarkan bentuk-bentuk fungsional dan sifat-sifat ketergantungan
manusia terhadap hutan dan sebaliknya.
Pengelompokan cara pertama bersifat struktural, oleh karena dasar-dasar
pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang terstruktur,
sedangkan pengelompokan cara kedua bersifat fungsional, oleh karena dasardasar pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang
menerangkan bentuk-bentuk fungsi yang melekat pada masing-masing, yaitu
hutan dan manusia.
Jadi dasar pengelompokannya adalah macam-macam fungsi hutan bagi
kehidupan dan peradaban manusia, demikian pula sebaliknya macam-macam
fungsi manusia bagi keberlanjutan keberadaan hutan di muka bumi ini, diukur
menurut kuantitas dan kualitas hutannya (Suhendang 2002).
Status Konservasi
Pada saat ini banyak diantara spesies satwa yang tersebar di wilayah
zoogeografisnya terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkannya,
terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat serta perburuan yang tidak
terkendali. Berbagai negara termasuk Indonesia, telah giat melakukan upayaupaya untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies satwa tersebut melalui
program konservasi. Program konservasi ini bukan hanya melestarikan spesies
satwa yang terancam punah, tetapi sekaligus melestarikan habitatnya.
IUCN menetapkan status konservasi kalawet sebagai Lower Risk, dan
oleh CITES kalawet dicantumkan dalam Appendix I (Soehartono & Mardiastuti
2002). Pemerintah Indonesia telah melindungi kalawet melalui Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1999 dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.
301/Kpts-II/1991. Undang-undang ini mengenai inventarisasi satwa yang
dilindungi dan atau bagian-bagiannya yang di pelihara oleh perorangan.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas dan Letak
Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, sebagian kawasan hutan
Sebangau dikelola oleh CIMTROP (Centre for International Cooperation in
Management

of

Tropical

Universitas

Peatland)

Palangkaraya

sebagai

Laboratotium Alam Hutan Gambut (LAHG) yang luasnya kurang lebih 50.000 ha.
LAHG berada pada daerah aliran sungai Sebangau yang dibatasi dengan
Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau. Taman Nasional Sebangau
secara geografis terletak pada 113º18’-114º 03’ BT dan 01º55’-03º07’ LS, dan
secara administratif terletak di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau
dan Kota Palangkaraya (Gambar 5). Mempunyai luas 568.700 ha, terdiri dari
hutan produksi seluas 510.250 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi
seluas kurang lebih 58.450 ha.

100000

120000

140000

160000

9780000

Tewangkadamba

5

0

5

10

15

9780000

MODEL ZONASI
KAWASAN LINDUNG SEBANGAU
PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

Kasongan

20

Kilometers

Luwukkanan

Luwukkiri

180000

Tewangtampang
9760000

9760000

Handiwong
Tumbangbanggu
Petak Bahandang
Hiyangbana
Talingke
Palangka Raya

9740000

9740000

"
8
"
8

Asemkumbang
Pahandut
Baun BangoD. Jalan Pangen
Tumbangronen

"
8

"
8

Jahanjang

"
8
"
8

Perupuk
Telaga

9720000

9720000

"
8

"
8

Karuing
"
8

"
8

"
8
"
8
""
8
8
"
8

"
8

Tampelas
"
8

9700000

"
8

"
8

"
8

9700000

Galinggang

Tumbang Bulan

9680000

9680000

"
8

Perigi

Paduran III
Paduran II

"
8

Zoning Kawasan
Paduran I
"
8

U

9660000

9660000

Tewang Kampung
Kampung Melayu
Mekartani

Zone Penyangga

Mendawai
Teluk Sebulu

Zone Inti Kawasan Lindung

B

T

Bantanan Zone Rimba
Seikaki

Zone Perikanan
Zone Rehabilitasi

Setiamulia

Zone Penelitian CIMTROP

Bangunjaya
Jayamakmur

Batas Kabupaten

Suburindah
Singamraya
ampungtengah
mpung keramat Pagatan
Pegatan Hilir
P
H l
100000

9640000

9640000

Kampung baru

S
Pangkoh

Zone Pemanfaatan

Batas Usulan Kawasan

120000

140000

S i

160000

Jalan

Bahaur

Sungai

180000

Gambar 5 Peta Taman Nasional Sebangau (Drasospolino 2004)

17
Dasar Hukum
Taman Nasional ini ditetapkan di Jakarta berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. SK 423/Menhut-II/2004, pada tanggal 19 Oktober 2004
(Drasospolino 2004).
Topografi dan Tanah
Kawasan Taman Nasional Sebangau membentuk topografi yang relatif
datar, dengan ketinggian antara 5-20 m dari per