Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

(1)

KAJI AN H ABI TAT, TI N GKAH LAKU, D AN POPULASI

KALAW ET

( H y loba t e s a gilis a lbiba r bis)

D I TAM AN

N ASI ON AL SEBAN GAU KALI M AN TAN TEN GAH

YULI US D UM A

SEKOLAH PASCASARJAN A

I N STI TUT PERTAN I AN BOGOR

BOGOR

2 0 0 7


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFOTMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul :

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI KALAWET

(Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

adalah benar merupakan tulisan disertasi berdasarkan hasil penelitian saya sendiri dengan arahan Komisis Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2007

Yulius Duma


(3)

ABSTRAK

YULIUS DUMA. Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet

(Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh : SRI SUPRAPTINI MANSJOER, R.R. DYAH PERWITASARI, dan DONDIN SAJUTHI.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP Universitas Palangka Raya, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, untuk mengetahui kondisi habitat kalawet, mengamati pola aktivitas kalawet (Hylobates agilis albibarbis) memanfaatkan habitat; mendapatkan data populasi kalawet terkini; dan mengkaji vokalisasi sebagai penciri spesies

Hylobates di Kalimantan. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak, pengamatan aktivitas kalawet dilakukan dengan metode scan sampling, estimasi populasi dengan metode fixed point count, dan analisis vokalisasi dengan

software Adobe Audition 1.5 dan Raven 1.2.1. Rata-rata tinggi pohon di tipe MSF dan TIF 26,70 m (kisaran 20-45m), sedangkan di LPF 19,46m (kisaran 15-25 m). Lebih dari 90% (kisaran 90-100%) pohon di MSF dan TIF potensial sebagai sumber pakan kalawet, sedangkan di LPF sekitar 54% (kisaran 35-73%). Kalawet KC menggunakan waktunya sekitar 41% untuk aktivitas makan, 32% istirahat, 14% berpindah, dan 13% untuk vokalisasi; dengan pola makan 73% berupa buah, 16% daun, 10% bunga, dan 1% lainnya. Aktivitas harian tersebut dilakukan dalam daerah jelajah seluas 29,5 ha. Kepadatan populasi kalawet di kawasan TN. Sebangau bervariasi menurut tipe hutan, masing-masing sebesar 2,33 kelompok/km2, dan 8,02 individu/km2 di hutan gambut campuran (MSF); 0,44 kelompok/km2, dan 1,52 individu/km2 di hutan tegakan rendah (LPF); dan 3,10 kelompok/km2 dan 10,65 individu/km2 di hutan tegakan tinggi (TIF). Jumlah kelompok dan individu kalawet yang ada di LAHG sebanyak 700 kelompok, dan 2.404 individu; dan TN. Sebangau sebanyak 7.988 kelompok, dan 27.442 individu. Analisis vokalisasi Hylobates di Kalimantan dapat dijadikan acuan dalam mengidentifikasi ‘spesies’ khususnya hibrida antara H. agilis albibarbis x

H. muelleri.


(4)

ABSTRACT

YULIUS DUMA. Habitat, Behavior, and Population Analysis of Bornean Agile Gibbon (Hylobates agilis albibarbis) at Sebangau National Park, Central Kalimantan. Under Supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER, R.R. DYAH PERWITASARI, and DONDIN SAJUTHI.

The research was conducted in Natural Laboratory of Peat Forest (NLPF) CIMTROP University of Palangka Raya, in Sebangau National Park, Central Kalimantan. The aim of this research is to study the habitat of Bornean agile gibbon (kalawet), its activity patterns; population density; and calling analysis to identify the species of Hylobates in Kalimantan. Kalawet habitat was analysed by block line method; the activity patterns of kalawet was conducted by scan sampling method. Population density was counted by fixed point count method, while vocalization was analysed by Adobe Audition 1.5 and Raven 1.2.1 software’s. The average tree high in MSF and TIF was 26.70 m (range: 20-45m), while in LPF it was 19.46 m (range: 15-25 m). More than 90% (range: 90-100%) trees in MSF and TIF had potential as feed source of kalawet, while in LPF it was 54% (range: 35-73%). Kalawet used the time budget was about 41% for feeding, 32% for resting, 14% for moving, and 13% for vocalization. Feeding pattern was 73% fruits, 16% leaves, 10% flowers, and 1% others. Kalawet spent time for daily activity done in home range of 29.5 ha. Population density of kalawet in Sebangau National Park varied according to forest type. In mixed swamp forest (MSF) were 2.33 groups/km2 and 8.02 individuals/km2, in low pole forest (LPF) 0.44 groups/km2, and 1.52 individuals/km2, and in tall interior forest (TIF) 3.10 groups/km2 and 10.65 individuals/km2. There were 700 groups, and 2,404 individuals in NLPF; and 7,988 groups, and 27,442 individuals in Sebangau National Park. Analysis of vocalization of Hylobates in Kalimantan can be use as reference for identifying ‘species’ especially hybrids between H. agilis albibarbis

and H. muelleri.


(5)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

KAJIAN HABITAT, TINGKAH LAKU, DAN POPULASI

KALAWET

(Hylobates agilis albibarbis)

DI TAMAN NASIONAL

SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH

YULIUS DUMA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Judul Disertasi : Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau

Kalimantan Tengah

Nama : Yulius Duma

NRP : P067020021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua

Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

PRAKATA

Segala hormat, puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas perkenan dan tuntunan-Nya, disertasi yang berjudul “Kajian Habitat, Tingkah Laku, dan Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah” dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terselesaikan, tidak terlepas dari keterlibatan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc, dan Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D, atas segala curahan waktu, tenaga, arahan, bimbingan dan bantuan yang diberikan sejak perencanaan penelitian sampai penulisan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Prof.Ris. Dr. M. Bismark dan Dr. Ir. Rinekso Sukmadi, M.Sc.F, selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, saya menyampikan terima kasih dan penghargaan yang besar atas arahan dan saran-saran yang diberikan. Ucapan terima kasih yang sama, juga penulis tujukan kepada Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas Tadulako, yang memberikan izin tugas belajar; Direktur Proyek DUE-like Bath III UNTAD yang memberikan beasiswa DUE-like; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Ketua PS. Primatologi IPB yang memberikan kesempatan kepada penulis sebagai mahasiswa PS. Primatologi SPs IPB; Dirjen DIKTI DEPDIKNAS yang memberikan dana penelitian melalui penelitian Hibah Pasca; Ir. Suwido H. Limin, MS (Direktur CIMTROP Universitas Palangka Raya) dan staf, atas izin, fasilitas, dan bantuan yang diberikan dalam melakukan penelitian di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG); Aurelien Brule (Direktur Kalaweit Program, Kalteng) dan staf, atas izin dan fasilitas yang diberikan untuk melakukan perekaman vokalisasi Hylobates di Hampapak; Dr. Susan Cheyne yang memfasilitasi perekaman vokalisasi Hylobates hibrida di Barito Ulu; Ir. Anthon Pawarrangan (Pimpinan Cabang PT Dwimajaya Kalteng) dan staf yang memfasilitasi survei ke Tumbang Manggu, Katingan, Kalimantan Tengah; Erna Shinta, SHut (Unit Herbarium CIMTROP) dan Wardi (Herbarium Bogoriense LIPI) yang membantu


(9)

dalam mengidentifikasi spesies tumbuhan; Armaiki Yusmur (BTIC BIOTROP) yang membantu dalam analisis foto lansat; PEMDA Sulawesi Tengah yang menyediakan fasilitas asrama di Bogor; Kepala PSSP LPPM-IPB dan staf, serta seluruh staf pengajar dan administrasi PS. Primatologi IPB, atas berbagai bentuk bantuan dan kerjasama selama mengikuti pendidikan di IPB; rekan-rekan mahasiswa Primatologi (HIMAPRIMA), dan rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) di Bogor, atas berbagai dukungan dan kerjasama

yang baik dalam kebersamaan di Bogor; dan terima kasih kepada Ketua PS. Primatologi yang memberikan bantuan dana penyelesaian disertasi.

Kepada istriku terkasih Netty Tangaran, BSc dan anak-anakku tercinta Irene Patricia Lystianti, Fanny Astria dan Olivia Christavila, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang besar, atas segala pengertian, pengorbanan dan dukungan yang diberikan, serta senantiasa menyemangati penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada keluarga besar Tangaran-Manda, dan Tikara-Todingpadang, serta Jemaat Gereja KIBAID Palu, penulis menyampikan banyak terima kasih atas dukungan doa, moril, dan materil yang diberikan selama megikuti pendidikan di IPB.

Kiranya disertasi ini bermanfaat bagi banyak pihak dan kepentingan.

Bogor, Mei 2007


(10)

RIWAYAT HIDUP

YULIUS DUMA, lahir di Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan pada 26 Mei 1963 sebagai anak ke 3 dari 7 bersaudara, dari pasangan Ayahanda Yunus Duma (Alm.) dan Ibunda Ludia Kombong (Almh.).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1975 di SD YPKT Mandetek, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1979 di SMP Katolik Makale, dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1982 di SMAN 276 Makale, Tana Toraja. Kemudian melanjutkan pendidikan di Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1987. Pada tahun 1995, penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana UGM, dan meraih gelar Magister Pertanian pada tahun 1998. Sejak tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa program S3 pada Program Studi Primatologi SPs IPB.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, sejak tahun 1989. Selama bekerja sebagai staf pengajar, penulis telah mengikuti beberapa kursus, antara lain: Kursus Singkat Genetika, Kursus PEKERTI, Pemodelan Data Bergerak, Biologi Molekuler, Bioteknologi Reproduksi, dan Field Course: Primate Behavior and Ecology, di Pulau Tinjil (PSSP LPPM-IPB).

Penulis menikah dengan Netty Tangaran, BSc pada tahun 1987, dan telah dikaruniai tiga orang putri, yaitu Irene Patricia Listyanti (mhs. FKG UNHAS), Fanny Astria (SMA kelas 2), dan Olivia Christavila (SD kelas 6).


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Taksonomi dan Penyebaran ... 5

Morfologi ... 8

Habitat ... 10

Tingkah Laku ... 15

Populasi ... 22

Status Konservasi ... 24

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 24

METODE PENELITIAN ... 30

Tempat Penelitian... 30

Waktu Penelitian... 32

Materi Penelitian... 32

Metode Penelitian... 32

Habitat ... 32

Tingkah laku ... 35

Estimasi Populasi ... 36

Vokalisasi ... 41

Analisis Data ... 41

Analisis Vegetasi ... 41

AnalisisTingkah Laku ... 42

Estimasi Populasi ... 43

Analisis Vokalisasi ... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN... 46

Habitat ... 46

Analisis Vegetasi ... 46

Pohon Sumber Pakan... 61

Pohon Tidur... 65

Daerah Jelajah (home range) ... 70

Tingkah Laku ... 72

Vokalisasi ... 75

Aktivitas Makan ... 76

Berpindah ... 79


(12)

DAFTAR ISI lanjutan

Populasi... 84

Frekuensi Vokalisasi dan Jumlah Kelompok ... 84

Probabilitas Vokalisasi ... 87

Ukuran Kelompok... 89

Kepadatan Populasi... 90

Analisis Vokalisasi ... 94

Vokalisasi Betina ....... 96

Vokalisasi Jantan ...... 110

KONSERVASI ... 113

Habitat dan Kalawet ... 113

Perburuan ...... 116

SIMPULAN DAN SARAN... 121

Simpulan... 121

Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Estimasi densitas beberapa populasi Hylobates di Indonesia .... 23 2 Daftar peubah vokalisasi kalawet yang diamati ... 44 3 Profil vegetasi di LAHG CIMTROP di Taman Nasional

Sebangau ... 47 4 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)

tertinggi di lokasi plot T0C di hutan gambut campuran (MSF). 53 5 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP) tertinggi di

lokasi plot T02 di hutan gambut campuran (MSF) ... 54

6 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP) tertinggi di

lokasi plot TA1 di hutan gambut campuran (MSF) ... 56

7 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)

tertinggi di plot T05 di hutan tegakan rendah (LPF) ... 57 8 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)

tertinggi di plot T08 tipe hutan tegakan rendah (LPF) ... 58 9 Sepuluh jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)

tertinggi di plot T14s di hutan tegakan tinggi (TIF) ... 60 10 Jenis tumbuhan yang dimakan oleh kalawet di LAHG ... 62 11 Profil potensi pohon sumber pakan kalawet di LAHG ... 64 12 Jenis, jumlah dan frekuensi penggunaan sebagai pohon tidur

oleh kelompok KC ... 68 13 Rata-rata panjang jelajah dan kecepatan jelajah harian kalawet

KC ... 82 14 Sebaran jumlah vokalisasi dan kelompok kalawet

teridentifikasi di setiap lokasi pengamatan ... 86 15 Probabilitas kelompok kalawet bervokalisasi selama waktu

pengamatan ... 88 16 Kepadatan kelompok kalawet pada tiap lokasi pengamatan... 91 17 Korelasi (r) antara variabel vegetasi dengan kepadatan

populasi kalawet ... 93 18 Spesies, lokasi, jumlah individu dan jumlah great call yang

analisis dalam penelitian ini ... 96 19 Nilai rata-rata peubah great callH. agilis albibarbis ... 98 20 Nilai rata-rata peubah great callHylobates muelleri ... 102 21 Nilai rata-rata peubah great call Hibrida (Hylobates agilis

albibarbis x Hylobates muelleri) ... 106 22 Nilai rata-rata peubah great callHylobates di Kalimantan ... 109


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema kerangka pemikiran ... 4

2 Sebaran geografik spesies dari famili Hylobatidae ... 6

3 Sebaran geografik spesies dari genus Hylobates ... 7

4 Pohon pilogeni Hylobatidae berdasarkan data vokalisasi dan molekuler ... 8

5 Profil kalawet jantan (kiri) dan Betina (kanan) dewasa ... 10

6 Hubungan luas daerah jelajah dengan ukuran tubuh satwa primata ... 14

7 Perbandingan aktivitas harian H. lar dan S. syndactylus ... 18

8 Sonagram vokalisasi Hylobatidae (1) great call betina, (2) Jantan ... 20

9 Komposisi great call dari Hylobates ... 21

10 Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah ... 25

11 Profil topografi TN. Sebangau ... 26

12 Profil vegetasi di LAHG, TN. Sebangau ... 28

13 Lokasi penelitian ... 30

14 Ilustrasi tipe hutan di LAHG ... 31

15 Petak contoh bentuk garis berpetak ... 33

16 Sistem transek dan lokasi daerah jelajah KC di LAHG ... 35

17 Denah lokasi pengamatan vokalisasi dan vegetasi... 37

18 Ilustrasi peta pengamatan kepadatan kelompok ... 37

19 Sonagram great callH. a. Albibarbis ... 41

20 Contoh tampilan analisis sonagram great call menggunakan program Raven 1.2.1 ... 45

21 Jumlah jenis dan kerapatan tingkat pohon dan tiang di LAHG 48 22 Rata-rata dbh dan tinggi pohon kategori pohon dan tiang ... 51

23 Sampel pakan kalawet di LAHG ... 64

24 Sebaran lokasi pohon tidur dalam daerah jelajah kelompok KC 66 25 Profil pohon tidur kalawet (tanda panah menunjuk kalawet yang sedang vokalisasi di pohon tidur) ... 67

26 Daerah jelajah KC ... 71

27 Pola aktivitas harian kalawet KC ... 73

28 Sebaran pola aktivitas harian kalawet KC pada waktu (jam) yang berbeda sepanjang hari ... 74

29 Komposisi pakan kalawet KC ... 77

30 Sebaran frekuensi makan per komponen pakan pada waktu (jam) yang berbeda sepanjang hari ... 78

31 Arah dan jalur jelajah harian kalawet KC selama pengamatan.. 81

32 Variasi besar kelompok kalawet di LAHG ... 89

33 Peta tutupan lahan Taman Nasional Sebangau ... 92

34 Sonagram great callHylobates agilis albibarbis... 99

35 Sonagram great callH. muelleri ... 101


(15)

DAFTAR GAMBAR Lanjutan

36 Sonagram great call Hibrida (Hylobates agilis albibarbis x H. muelleri) ...

104 37 Gelombang suara great call Hibrida (Hylobates agilis albibarbis x

H. muelleri) ...

105 38 Sonagram vokalisasi solo jantan HylobatesKalimantan ... 111


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot T0C di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 131 2 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot T02 di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 135 3 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot TA1 di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 140 4 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot T05 di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 144 5 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot T08 di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 148 6 Jenis tumbuhan dan nilai variabel vegetasi tingkat pohon,

tiang, pancang dan semai, di plot T14 di LAHG CIMTROP

TN Sebangau ... 151 7 Jumlah dan jenis tumbuhan tingkat pohon yang yang terdapat

di setiap lokasi ... 154 8 Jumlah dan jenis tumbuhan tingkat tiang yang yang terdapat di

setiap lokasi ... 156 9 Kepadatan populasi kalawet dan kondisi vegetasi tingkat

pohon di LAHG ... 158 10 Peta sebaran vokalisasi kelompok kalawet di setiap lokasi

Pengamatan ... 159 11 Rata-rata durasi kalawet KC berada di pohon tidur (PT),

aktivitas harian total, dan durasi aktivitas di luar pohon tidur,

selama 12 hari pengamatan full-day follow ... 162 12 Frekuensi aktivitas harian kalawet KC di LAHG TN Sebangau 163 13 Sebaran frekuensi makan per komponen pakan kalawet KC

pada waktu yang berbeda ... 164 14 Hasil analisis ragam peubah vokalisasi great call Hylobates di


(17)

Hylobates merupakan jenis kera kecil yang hidup di hutan tropis Asia Selatan dan Tenggara, di antaranya Thailand, Malaysia dan Indonesia (Fleagle 1988). Indonesia sendiri mempunyai beberapa spesies Hylobates, yaitu H. lar dan

H. agilis di Sumatera, H. klossii di Pulau Mentawai, H. moloch di Jawa, H. agilis

dan H. muelleri di Kalimantan. H. agilis terdiri dari tiga subspesies, yaitu H. agilis agilis yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat, H. agilis ungko di dataran rendah Sumatera bagian timur, dan H. agilis albibarbis di Kalimantan Barat dan Tengah (Marshall & Sugardjito 1986; Supriatna & Wahyono 2000). Selain itu, di daerah Barito Ulu, sebagai perbatasan daerah sebaran antara H. agilis albibarbis dan H. muelleri, telah terjadi persilangan di antara kedua spesies tersebut (McConkey 2003), yang kemungkinan bakal menjadi spesies tersendiri.

Sebagian besar genus Hylobates khususnya yang ada di Indonesia kini diperkirakan dalam keadaan terancam yang disebabkan terutama oleh rusak dan hilangnya hutan sebagai habitatnya, serta perburuan dan perdagangan ilegal. Populasi Hylobates, khususnya H. agilis albibarbis dan H. muelleri yang ada di Kalimantan, diperkirakan menurun dari tahun ke tahun seiring dengan penyusutan hutan habitatnya serta perburuan dan perdagangan satwa ini secara ilegal. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (1997), telah terjadi deforestasi di kawasan hutan Kalimantan sebesar 25,9% selama tahun 1985–1997. Aktivitas

illegal logging yang terus terjadi, mengindikasikan deforestasi terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai saat ini. Terjadinya deforestasi berarti hilangnya habitat bagi banyak satwa liar, termasuk satwa primata di Kalimantan. Kerusakan dan hilangnya habitat akan berdampak negatif terhadap populasi satwa primata. Buckley (2004) melaporkan kepadatan populasi kalawet (H. agilis albibarbis) di hutan gambut Sebangau (bekas konsesi HPH) Kalimantan Tengah, sebesar 7,4 ekor/km2, jauh lebih rendah dibanding hasil penelitian Mitani (1990) di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, sebesar 13,5–15,6 ekor/km2.

Suatu keuntungan bagi konservasi kalawet (H. agilis albibarbis) bahwa di daerah sebarannya, kini terdapat empat taman nasional, yaitu TN. Gunung Palung, TN. Tanjung Puting, TN. Bukit Baka-Bukit Raya, dan TN. Sebangau (Ditjen


(18)

PHKA 2006b). Akan tetapi, perambahan dan penebangan liar tetap terjadi dalam kawasan taman nasional tersebut (Alikodra & Syaukani 2004).

Kehilangan dan rusaknya hutan khususnya di Kalimantan merupakan pembunuhan tidak langsung terhadap satwa yang hidup di dalamnya termasuk

H. agilis albibarbis dan H. muelleri, serta silangannya di daerah Barito Ulu. Eksploitasi perusahaan HPH, penebangan liar, konversi hutan dan musibah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan selama ini semakin mempersempit habitat dan fragmentasi habitat Hylobates. Habitat yang semakin sempit dibarengi dengan fragmentasi habitat yang tinggi semakin memperkecil ruang ekologis bagi

Hylobates dalam mendapatkan teritori tempat tinggalnya. Itu berarti terjadi persaingan yang tinggi baik intra maupun inter spesies untuk mendapatkan teritori dan pakan.

Kondisi demikian diperkirakan berdampak pada aspek biologis dan populasi kalawet. Sifat Hylobates yang arboreal pada kanopi tengah dan atas, dan lokomosi secara brakhiasi membuatnya sulit untuk mencari dan mengembangkan wilayah jelajahnya pada kondisi kualitas habitat yang rendah dan terfragmentasi. Daerah jelajah tiap kelompok menjadi sempit, dan ketersediaan pakan menjadi terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap populasi dan biologis kalawet. Fragmentasi habitat diperkirakan berpengaruh pula terhadap luas jangkauan kalawet muda meninggalkan kelompok keluarga asalnya untuk mencari teritori dan pasangan kawinnya membentuk kelompok baru. Hal ini berarti, peluang terjadinya inbreeding semakin besar, selanjutnya akan mempengaruhi tatanan genetik populasi.

Informasi ekologi kalawet (H. agilis albibarbis) yang ada kini masih sangat terbatas, khususnya tentang kondisi habitat, kepadatan populasi, dan aktivitas kalawet dalam memanfaatkan habitatnya. Informasi-informasi tersebut sangat dibutuhkan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya-upaya konservasi kalawet ke depan, dalam rangka mengantisipasi ancaman kepunahan. Satwa primata tersebut dikategorikan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai spesies yang masih berisiko rendah namun hampir terancam (low risk : near threatened) (Eudey 2000).


(19)

Selain kerusakan dan hilangnya sebagian habitat, kegiatan perburuan juga merupakan ancaman bagi populasi kalawet (H. agilis albibarbis) dan H. muelleri

serta silangannya di Kalimantan. Satwa primata ini tergolong spesies yang dilindungi, dan terdaftar dalam Appendix I oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan (Soehartono & Mardiastuti 2002); namun tetap diburu oleh masyarakat untuk diperdagangkan dan dipelihara sebagai pet animal. Sebagai satwa yang dilindungi, terdapat upaya-upaya merehabilitasi kalawet dan Hylobates lainnya yang dipelihara oleh masyarakat untuk dikembalikan ke alam hidupan liarnya.

Fenotipe ketiga jenis Hylobates yang ada di Kalimantan (H. agilis albibarbis, H. muelleri, dan hibrida antara H. agilis albibarbis x H. muelleri) hampir sama, sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi dan memisahkannya dalam program rehabilitasi dan reintroduksi. Hal ini dapat diatasi melalui analisis vokalisasi, sebagaimana dinyatakan Mitani (1987) bahwa variasi vokalisasi

Hylobates mengindikasikan perbedaan genetik minimal pada level spesies sehingga dapat digunakan untuk membedakan spesies.

Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi mutahir tentang aspek ekologi (habitat, tingkah laku, dan populasi) kalawet, di TN. Sebangau, Kalimantan Tengah, dan vokalisasi sebagai penciri spesies Hylobates di Kalimantan.

Tujuan

1. Mengkaji kondisi habitat kalawet di TN Sebangau.

2. Mengkaji pola tingkah laku kalawet, meliputi aktivitas harian, jelajah harian, vokalisasi, dan komposisi jenis pakan.

3. Mendapatkan informasi populasi kalawet terkini di kawasan hutan rawa gambut TN Sebangau, melalui observasi vokalisasi.

4. Mengkaji karakteristik suara Hylobates untuk dijadikan salah satu penciri ke-2 spesies Hylobates dan hibridanya di Kalimantan.


(20)

Manfaat Penelitian

1. Membantu mengidentifikasi spesies Hylobates melalui analisis suara yang sangat berguna untuk program rehabilitasi dan reintroduksi Hylobates di Kalimantan.

2. Hasil penelitian merupakan informasi mutahir yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan konservasi populasi kalawet beserta habitat.

Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

POPULASI KALAW ET

AC UAN

STRATEGI

KON SERV ASI

I D EN TI FI KASI SPESI ES Analisis vokalisasi

AN ALI SI S BI O-EKOLOGI KALAW ET

ƒ Populasi

ƒ Tingkah laku

ƒ Jenis pakan AN ALI SI S H ABI TAT

ƒ Tipe hut an

ƒ St rukt ur Veget asi

ƒ Pohon Pakan

ƒ Pohon Tidur

ƒ Daerah j elaj ah

PERBURUAN :

ƒ Diperdagangkan

ƒ Hewan piaraan

ƒ Konsum si

KERUSAKAN H ABI TAT: ƒ Legal/ illegal logging

ƒ Konversi lahan

ƒ Kebakaran hut an

SOLUSI

ƒ Evaluasi habit at

ƒ Est im asi populasi

ƒ I dent ifikasi spesies

POPULASI M EN URUN

Manaj em en Habit at

Pengendalian Perburuan dan Pem eliharaan


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Penyebaran Hylobates

Hylobates merupakan salah satu genus dari famili Hylobatidae, ordo Primates. Genus Hylobates terdiri dari enam spesies, dan beberapa subspesies. Salah satu subspesies dari spesies H. agilis adalah H. agilis albibarbis yang terdapat di Kalimantan dengan klasifikasi selengkapnya sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Klas : Mammalia Ordo : Primates Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates

Spesies : Hylobates agilis Subspesies : H. agilis albibarbis

Nama lokal : Kalawet, Owa-owa

(Napier & Napier 1985; Geissmann 2003; Brandon-Jones et al. 2004). Hylobatidaeterdiri dari empat genus dan 12 spesies yang hidup menyebar di kawasan hutan tropik Asia Tenggara, yaitu (1) Genus Hylobates Illiger, 1811 terdiri dari enam spesies: (a) H. klossii di Kepulauan Mentawai; (b) H. lar

menyebar di Sumatera bagian utara, Semenanjung Malaysia, Thailand, Myanmar dan Yunnan (Smith 1999); (c) H. moloch di pulau Jawa; (d) H. agilis di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia; (e) H. muelleri di Kalimantan; dan (f) H. pileatus di Thailand dan Kamboja; (2) Genus Nomascus Miller, 1933: spesies N. concolor, N. gabriellae, N. leucogenys, dan N. nasutus, menyebar di China, Hainan, Laos,

Vietnam dan Kamboja; (3) Genus Symphalangus Glonger, 1841: spesies

S. syndactylus di Sumatera dan Malaysia; (4) Genus Bunopithecus Matthew dan Granger, 1923: spesies B. hoolock di Assam, Bangladesh, dan Myanmar (Geissmann 2003; Brandon-Jones et al. 2004). Untuk jelasnya, sebaran geografik spesies dari famili Hylobatidae, dan genus Hylobates tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 (Chivers 1984 dalam Chivers 2001, Geissmann 1995).


(22)

Gambar 2 Sebaran geografik spesies dari famili Hylobatidae

Kini, spesies B. hoolock dianggap tidak tepat menggunakan nama Bunopithecus, karena ternyata karakter dental dari spesimen fragmen rahang Bunopithecus sangat berbeda dengan karakter dental Hylobates yang ada saat ini. Bunopithecus dianggap sebagai genus dari Hylobatidae yang sudah punah. Oleh karena itu, nama genus dari spesies B. hoolock diganti dengan Hoolock, sehingga nama spesiesnya menjadi Hoolock hoolock (Mootnick & Groves 2005; Geissmann 2006b).


(23)

Gambar 3 Sebaran geografik spesies dari genus Hylobates

Berdasarkan data vokalisasi dan molekuler, Geissmann (2006a) menyusun pohon filogenetik Hylobatidae, dilengkapi dengan vernacular names masing-masing spesies, seperti pada Gambar 4. Jumlah kromosom diploid antar genus bervariasi, masing-masing genus Hylobates 44, Hoolock 38, Nomascus 52, dan genus Symphalangus 50 (Geissmann 2006a).

H. agilis terdiri dari tiga subspesies, yaitu (a) H. agilis agilis yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat dan semenanjung Malaysia, (b) H. agilis ungko di dataran rendah Sumatera bagian Timur, dan (c) H. agilis albibarbis


(24)

Gambar 4 Pohon filogeni Hylobatidae berdasarkan data vokalisasi dan molekuler (Geissmann 2006a)

di Kalimantan Barat dan Tengah (Marshall & Sugardjito 1986, Supriatna & Wahyono 2000, GCC 2004, Geissmann 2006a). Penyebaran H. agilis albibarbis

di Kalimantan Tengah ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito dan ke utara dibatasi Sungai Kapuas (Supriatna & Wahyono 2000).

H. muelleri menyebar hampir di seluruh pulau Kalimantan, kecuali di daerah barat Sungai Barito dan selatan Sungai Kapuas, sebagai daerah penyebaran

H. agilis albibarbis seperti pada Gambar 3 (Geissmann 1995). H. muelleri juga terdiri dari tiga subspesies, yaitu (a) H. muelleri muelleri di Kalimantan Timur dan Selatan, (b) H. muelleri abbotti di Kalimantan Barat dan sebelah utara Sungai Kapuas, (c) H. muelleri funereus di daerah Serawak (Geissmann 2006a).

Di daerah hulu Sungai Barito (Barito Ulu), sebagai batas daerah sebaran

H. agilis albibarbis dengan H. muelleri dilaporkan telah terjadi hibrida di antara keduanya yang diketahui sejak tahun 1979 oleh Dr. Marshall (Marshall & Sugardjito 1986, McConkey et al. 2003). Selain di Barito Ulu, hibrida juga terjadi di semenanjung Malaysia antara H. agilis dengan H. lar, dan di Thailand antara H. lar dengan H. pileatus (Brockelman & Gittins 1984).

Morfologi

Hylobates sering disebut sebagai kera kecil (small apes) karena postur tubuhnya yang kecil dengan bobot badan sekitar 4-8 kg. H. agilis memiliki bobot


(25)

badan rata-rata berkisar 4-7 kg dengan panjang badan antara 45-55 cm,

H. muelleri 5-6.4 kg dan panjang badan 42-47 cm, H. moloch 4-8 kg dan panjang badan 75-80 cm (Supriatna & Wahyono 2000), H. lar dan H. pileatus 5-7 kg dengan panjang badan 45-65 cm (Smith 1999, Sullivan 2004). Pada umumnya jantan sedikit lebih besar dari pada betina, namun Fleagle (1988) tidak mengkategorikan perbedaan ukuran tubuh tersebut sebagai dimorfisme seksual. Bobot badan yang ringan dibutuhkan untuk menunjang sifatnya yang arboreal.

Warna rambut H. agilis mulai dari coklat muda kemerahan sampai hitam, terutama sekitar pergelangan tangan dan kaki sampai jari-jari berwarna hitam dan umumnya lebih gelap dari warna bagian tubuh lainnya, sehingga sering juga disebut black/dark-handed gibbon. Rambut H. agilis Sumatera pada umumnya berwarna hitam, sedangkan H. agilis Kalimantan bervariasi dari coklat muda sampai coklat hitam dan bagian ventral lebih gelap daripada dorsal (Groves 2001, GCC 2004). Pada umumnya agilis memiliki garis lengkung putih pada alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkung putih ini lebih kontras di sekeliling wajah pada jantan daripada betina, bahkan garis putih di pipi pada betina berangsur hilang menjelang dewasa pada umur sekitar enam tahun. Kalawet betina dewasa yang dipelihara pada kondisi cahaya yang kurang atau defisiensi nutrisi dapat kehilangan garis putih pada alis (GCC 2004). Profil kalawet jantan dan betina, serta H. muelleri dapat dilihat pada Gambar 5.

H. agilis mempunyai lengan yang lebih panjang dari kaki (indeks intermembralnya >100) dilengkapi dengan empat jari yang panjang dan ibu jari yang lebih kecil. Kondisi ini memungkinkan H. agilis dapat bergerak secara brakhiasi/berayun dengan lincah dari pohon ke pohon menggunakan tangannya seperti menggantung pada dahan tanpa menggenggam. Kaki sebagai salah satu alat gerak kurang difungsikan pada Hylobates sehingga menjadi lebih pendek, tidak berkembang sebaik lengan yang berfungsi sebagai alat gerak utama dalam brakhiasi (Fleagle 1988, Kuester 2000). Metode lokomosi demikian memungkinkan H. agilis dapat berpindah sejauh tiga meter sekali berayun. Selain itu, H. agilis juga dapat berpindah dengan cara memanjat, melompat, dan berjalan bipedal sambil mengangkat kedua lengannya (Napier & Napier 1967, Fleagle 1988, Nowak 1997).


(26)

Kalawet jantan dewasa Kalawet betina dewasa

Kalawet betina dewasa Kalawet betina muda H. muelleri betina

dewasa

H. muelleri remaja

Gambar 5 Profil kalawet (H. agilis albibarbis) dan H. muelleri (a,bLAHG Sebangau, c,eHampapak, dPalangka Raya, fNijman 2005b)

Habitat Vegetasi

Suatu populasi menempati suatu wilayah tertentu yang dapat memenuhi segala kebutuhannya, khususnya kebutuhan dasar populasi yaitu untuk berlindung, berkembangbiak, makanan dan air serta untuk pergerakan. Suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi tersebut dikenal sebagai habitat (Alikodra 2002).

H. agilis yang ada di Indonesia menempati habitat hutan dataran tinggi di Sumatera (H. agilis agilis) dan hutan dataran rendah (H. agilis ungko) di Sumatera dan (H. agilis albibarbis) di Kalimantan Tengah dan Barat (Supriatna & Wahyono

a b


(27)

2000). Dataran rendah di Kalimantan berupa hutan rawa dan hutan dataran rendah kering terbentang sangat luas mencapai ratusan kilometer ke arah hulu atau pedalaman. Hutan rawa dibedakan dalam tiga kelompok utama, yaitu hutan bakau yang dipengaruhi air laut, hutan rawa air tawar yang mendapat air dari sungai, dan hutan rawa gambut tadah hujan, sedangkan hutan dataran rendah kering merupakan hutan Dipterocarpaceae (MacKinnon et al. 2000).

Hutan dataran rendah Kalimantan, kecuali hutan bakau, antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito merupakan habitat kalawet (H. agilis albibarbis),

sedangkan H. muelleri yang endemik Kalimantan tersebar di bagian lainnya dari pulau Kalimantan (MacKinnon et al. 2000, Supriatna & Wahyono 2000). Selain

Hylobates, Pulau Kalimantan juga dihuni oleh beberapa jenis satwa primata lainnya, seperti orangutan (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), beberapa spesies Presbytis, di antaranya P. baricunda, P. cristata, P. frontata, P. hosei, dan P. melalophos); Macaca nemestrina dan M. fascicularis.

Dalam kawasan habitat penyebaran kalawet (H. agilis albibarbis), sampai saat ini terdapat empat taman nasional (TN), yaitu TN Gunung Palung seluas 90.000 ha di Kalimantan Barat, TN Bukit Baka-Bukit Raya (181.090 ha) di Kalimantan Barat dan Tengah, TN Tanjung Puting (415.040 ha), dan TN Sebangau (568.700 ha) di Kalimantan Tengah. Selain itu, juga terdapat beberapa cagar alam (CA), antara lain: CA Bukit Tangkiling (2.061 ha), CA Pararawen I/II (5.855 ha), dan CA Bukit Sapat Hawung (239.000 ha) (Ditjen PHKA 2006b). Keberadaan taman nasional dan cagar alam tersebut sebagai kawasan konservasi dalam habitat penyebaran kalawet, merupakan hal yang menguntungkan dalam upaya konservasi kalawet. Namun demikian, kawasan konservasi tersebut, tidak terlepas dari perambahan dan penebangan liar (Alikodra & Syaukani 2004; Simbolon & Mirmanto 2000), terlebih lagi kawasan hutan yang tidak termasuk kawasan konservasi.

Alikodra & Syaukani (2004) menyatakan bahwa deforestasi (penghancuran hutan) di Indonesia saat ini sudah berada pada titik yang sangat membahayakan. Tingkat deforestasi pada zaman Orde Baru berkisar 0,8-1,0 juta hektar per tahun, dan kini di era reformasi, meningkat menjadi 1,6-2,5 juta hektar per tahun. Deforestasi tersebut terutama disebabkan oleh legal dan illegal logging, konversi


(28)

kawasan hutan menjadi perkebunan terutama kelapa sawit, dan kebakaran (Rieley & Ahmad-shah 1996, Boehm et al. 2003, Drasospolino 2004). Data Departemen Kehutanan (1997), menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan hutan Kalimantan sebesar 25,9% selama tahun 1985–1997. Deforestasi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai saat ini.

Hampir seluruh kawasan hutan di Kalimantan Tengah, sebelumnya telah dimanfaatkan sebagai penghasil kayu dengan sistem tebang pilih. Akibatnya, hutan rawa gambut yang tersisa saat ini, termasuk kawasan yang dilindungi, sebelumnya pernah ditebangi minimal sekali (Simbolon & Mirmanto 2000). Selanjutnya, Simbolon & Mirmanto (2000) menyatakan bahwa hutan rawa gambut dalam kawasan TN Tanjung Puting, masih terjadi penebangan liar secara intensif, membuat hutan tersebut semakin rusak dan mendorong terjadinya kebakaran. Hal yang sama juga terjadi di TN Gunung Palung. Alikodra & Syaukani (2004) menyatakan bahwa sekitar 80% kawasan TN Gunung Palung rusak parah akibat penebangan liar yang didorong oleh dibukanya ekspor kayu bulat di era reformasi.

Deforestasi yang cukup tinggi juga terjadi di kawasan hutan rawa gambut Sebangau, antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, dan kawasan proyek lahan gambut sejuta hektar (MRP mega rice project). Berdasarkan analisis foto lansat, Boehm et al. (2003) mendapatkan data deforestasi di kawasan tersebut sebesar 33% dalam jangka waktu 10 tahun, antara tahun 1991 – 2001. Itu berarti, deforestasi di kawasan tersebut rata-rata 3,3%/tahun. Deforestasi antara tahun 1991-1997 berkisar 1,9%/tahun, meningkat menjadi 6,5%/tahun antara tahun 1997-2000. Peningkatan luas kawasan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan tersebut, disebabkan oleh kebakaran hutan pada tahun 1997, aktivitas penebangan liar, dan aktivitas mega rice project.

Pada kondisi normal, vegetasi hutan rawa air tawar lebih kaya akan jenis flora dan tinggi tajuk dari pada hutan rawa gambut. Hal ini memberi gambaran bahwa hutan rawa air tawar lebih kaya unsur hara karena disuplai oleh aliran sungai, dibandingkan dengan rawa gambut yang hanya tadah hujan (Mackinnon

et al. 2000). Hal ini berarti, semakin jauh dari sungai, semakin miskin hara, dan pada akhirnya produktivitas primernya semakin rendah.


(29)

Analisis vegetasi pada hutan rawa gambut di Sebangau sebagai kawasan hutan bekas konsesi perusahaan HPH telah dilakukan oleh Shepherd et al. (1997). Kerapatan pohon (dbh diameter at breast high ≥ 7 cm) di daerah marginal ±2 km dari sungai, 1.693 pohon/ha, daerah peralihan 6,5 km dari sungai, 2.500 pohon/ha, dan daerah interior 18 km dari sungai, 1.347 pohon/ha. Tinggi pohon dan diameter batang (dbh) yang lebih besar, lebih banyak pada daerah interior dari pada daerah peralihan dan marginal.

Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa, seperti adanya perbedaan ketinggian tempat makan dalam suatu habitat bagi beberapa primata simpatrik. Untuk analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara & Indrawan (1998) membedakan stadium tumbuh vegetasi, sebagai berikut:

a. semai (seedling) mulai dari kecambah sampai setinggi 1,5 m,

b. pancang (sapling) tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm,

c. tiang (pole) tumbuhan berkayu dengan diameter 10 – <20 cm, dan d. pohon dewasa yang berdiameter ≥20 cm.

Daerah Jelajah

Pada umumnya suatu kelompok keluarga Hylobates menempati suatu wilayah teritori tertentu dalam habitatnya yang cenderung dipertahankan secara ketat dari gangguan individu atau kelompok lainnya (Leighton 1987, Mitani 1987, Nowak 1997, Geissmann 2003). Wilayah teritorinya ditandai dengan vokalisasi, khususnya pada pagi hari melalui duet call sebagai tanda keberadaannya kepada kelompok-kelompok tetangganya (Leighton 1987, Smith 1999).

Selain teritori, satwa primata dalam memanfaatkan habitat, juga dikenal adanya daerah jelajah (home range) sebagai area habitat yang digunakan untuk seluruh aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata; area inti (core area)

merupakan area yang paling banyak/sering di tempati dalam melakukan sebagian besar aktivitasnya; dan jelajah harian (daily range) adalah jarak yang ditempuh


(30)

kelompok melakukan aktivitasnya dalam satu hari (NRC. 1981, Fleagle 1988, Collinge 1993, Rowe 1996).

Perilaku menjelajah satwa primata sangat terkait dengan kebutuhan pakan (Oates 1986). Spesies yang folivorous cenderung mempunyai daerah jelajah yang lebih sempit karena ketersediaan dedaunan lebih bersifat umum dan merata, dibandingkan dengan spesies yang frugivorous, dimana ketersediaan buah lebih terbatas; dan spesies dengan ukuran tubuh yang besar cenderung membutuhkan daerah jelajah yang lebih luas untuk mendukung kebutuhan hidupnya, dibandingkan dengan ukuran tubuh yang lebih kecil, seperti diilustrasikan pada Gambar 6 (Fleagle 1988).

Gambar 6 Hubungan luas daerah jelajah dengan ukuran tubuh satwa primata (simbol tertutup = folivorous, simbol terbuka = frugivorous, segi tiga = nokturnal, segi empat = diurnal terestrial, dan bulat = diurnal arboreal) (Fleagle 1988).

Itu sebabnya, luas daerah jelajah di antara spesies dan kelompok Hylobates

cukup bervariasi. Chivers (2001) merangkum luas daerah jelajah beberapa spesies

Hylobates sebagai berikut: H. hoolock 38 ha, H. lar 41 ha, H. concolor 46 ha,

H. klossii 32 ha, H. pileatus 36 ha, H. muelleri 44 ha, H. agilis 29 ha, hibrida

H. agilis x H. muelleri 18 dan 34 ha, H. moloch 17 ha, dan siamang 31 ha. Ahsan

(2001) mendapatkan variasi luas daerah jelajah di antara tiga kelompok

H. hoolock yang diamati, masing-masing 40,7 ha, 86 ha, dan 25,7 ha. Selain itu, Ahsan (2001) juga mencatat bahwa H. hoolock lebih aktif berpindah dengan panjang jelajah yang lebih tinggi pada pagi hari.


(31)

Rowe (1996) menyatakan bahwa daerah jelajah satwa primata dapat berubah dari tahun ke tahun, tergantung perubahan iklim, ketersediaan sumber pakan dan air, persaingan antar kelompok dalam spesies yang sama, perburuan dan degradasi habitat. Hal ini didukung oleh Collinge (1993) bahwa luas daerah jelajah dapat berubah tergantung pada ketersediaan sumber pakan dan air, dan tempat berlindung. Hasil penelitian Iskandar (2007) pada owa Jawa (H. moloch)

membuktikan bahwa daerah jelajah dipengaruhi oleh perubahan iklim dan tipe hutan. Luas daerah jelajah H. moloch di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada musim hujan di hutan primer sebesar 16,58 ha, sedikit lebih sempit, dibandingkan pada hutan sekunder sebesar 17,61 ha. Demikian halnya pada musim kemarau, luas daerah jelajah di hutan primer 18,91 ha, lebih sempit dibandingkan pada hutan sekunder sebesar 21,13 ha. Selanjutnya Iskandar (2007) menjelaskan bahwa daerah jelajah owa Jawa yang lebih sempit pada musim hujan dan di hutan primer dibandingkan pada musim kemarau dan di hutan sekunder, disebabkan oleh ketersediaan sumber pakan berupa buah yang lebih banyak pada musim hujan dan pada hutan primer. Hal ini berarti, semakin melimpah ketersediaan pakan, semakin sempit daerah jelajah, dan sebaliknya.

Chivers (2001) merangkum beberapa hasil penelitian dan menyimpulkan bahwa Hylobates mempertahankan sekitar 80-90% dari daerah jelajahnya sebagai teritori. Hylobates menempati dan menetap pada daerah teritori dengan luas antara 20-40 ha (Geissmann 2003), daerah jelajah siamang 47 ha dan H. Lar 57 ha (Raemaekers 1979), H. muelleri 33-43 ha (Leighton 1987), hibrida H. Muelleri

dengan H. agilis albibarbis 43-46 ha (McConkey 1999 dalam McConkey et al.

2003), H. klossii 33 ha (Whitten 1980 dalam Bismark 2006). Teritori tersebut dipertahankan secara ketat dan tidak akan pindah ke wilayah lain ketika wilayah tersebut mengalami gangguan (Shneider 1995 dalam Geissmann 2003). Perilaku demikian menyebabkan Hylobates mudah terancam ketika habitatnya terganggu.

Tingkah Laku Struktur sosial

Hylobates merupakan jenis kera kecil yang hidup di hutan hujan tropis Asia Tenggara (Marshall & Sugardjito 1986, Fleagle 1988, Geissmann 1995, Reichard


(32)

1998) secara arboreal pada kanopi tengah dan atas. Mereka hidup secara monogami dalam kelompok kecil sebagai kelompok keluarga (family group) yang biasanya terdiri dari dua sampai enam individu, sepasang jantan dan betina dewasa, dan beberapa anak pada umur yang berbeda (Leighton 1987, Fleagle 1988, Reichard 1998, Geissmann 2003, Sullivan 2004, Nijman 2004).

Kelompok umur Hylobates dalam satu kelompok keluarga dapat dibedakan atas: (a) bayi atau infant dari lahir sampai 2 tahun, (b) anak-anak atau juvenile, umur 2-4 tahun, (c) remaja atau adolescent, umur 4-6 tahun, (d) muda atau sub-adult, umur enam tahun atau lebih tetapi belum kawin, dan (e) dewasa umur di atas enam tahun saat mencapai dewasa kelamin (Leighton 1987, Sullivan 2004). Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992).

Brockleman et al. (1998) dalam penelitiannya pada H. lar, mendapati anggota kelompok subadult jantan (F1) mulai melakukan solo songs di sekitar batas teritori kelompoknya (F) sebagai perilaku khas Hylobates. Dua tahun kemudian, jantan muda (F1) tersebut meninggalkan kelompoknya dan menjadi pasangan kawin dengan induk di kelompok A menggantikan jantan A yang kemungkinan dikalahkan oleh F1.

Walaupun Hylobates pada umumnya hidup monogami, Fuentes (2000) mendapatkan adanya individu yang kawin dengan betina bukan pasangannya di alam. Hal ini merupakan upaya untuk menjamin keberhasilan reproduksi dalam rangka mempertahankan eksistensi genetiknya (genetic fitness) di bawah tekanan stres lingkungan seperti terbatasnya ketersediaan pakan.

Aktivitas Harian

Waktu aktivitas Hylobates sedikit berbeda dengan jenis primata diurnal lainnya. Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit, tetapi lebih cepat istirahat di pohon tidur pada sore hari (Chivers, 2001). Aktivitas harian utama satwa primata meliputi aktivitas makan, melakukan perjalanan/berpindah, istirahat, bersuara (Chivers 1973, MacKinnon & MacKinnon 1980). Selain itu, satwa primata juga melakukan aktivitas menelisik (grooming) dan bermain dalam


(33)

waktu istirahat. Chivers (2001) menyatakan bahwa aktivitas harian Hylobates

berlangsung selama kurang lebih 9,5 jam dalam sehari, dari pukul 06:19 pagi sampai pukul 15:43 sore hari.

Chivers (2001) merangkum aktivitas harian beberapa spesies Hylobates, dengan pola sebagai berikut: 38% alokasi waktu untuk makan, berpindah 12%, istirahat 42% (termasuk aktivitas menelisik 3%), dan 8% untuk vokalisasi. Aktivitas harian H. agilis rata-rata selama sembilan jam sehari yang dimulai pada pukul 06.15-07.30 pada pagi hari sampai pukul 13.10-17.40, dengan aktivitas utama adalah makan, berpindah, bersuara, dan istirahat (Gittins & Raemaekers 1980). H. lar aktif rata-rata selama 8-9 jam dan berada di pohon tidur rata-rata selama 15 jam per hari (Reichard 1998).

Aktivitas bersuara pada pagi hari merupakan awal aktivitas harian kelompok

Hylobates yang berfungsi untuk menunjukkan teritorialnya sekaligus sebagai pengaturan ruang antar kelompok (Bates 1970). Aktivitas bersuara pada ungko sebagian besar dilakukan pada pagi hari yang dapat terdengar sampai 1 km (Gittins & Raemaekers 1980), bahkan terdengar sampai 2 km (O’Brien et al.

2004).

Setelah turun dari pohon tidur, kelompok Hylobates memulai aktivitas makannya pada pohon yang sedang berbuah. Lamanya kegiatan makan pada suatu pohon bervariasi bergantung pada jenis dan kelimpahan pakan. Aktivitas makan ungko cenderung lebih banyak pada ketinggian tajuk menengah, 15-25 m, karena pada kanopi tengah ini merupakan jenis pohon yang menyediakan lebih banyak buah. Sebaliknya, tajuk yang tinggi atau kanopi atas pada umumnya merupakan jenis-jenis Dipterocarpaceae yang menghasilkan lebih banyak daun (Gittins & Raemaekers 1980).

Pola aktivitas harian Hylobatidae dalam memanfaatkan daerah jelajahnya bervariasi di antara spesies, dan terkait pula dengan sebaran dan jumlah sumber pakan, dan sebaran pohon tidur. Hal ini dicontohkan oleh MacKinnon & MacKinnon (1980) bahwa H. lar menggunakan waktu untuk makan lebih sedikit dan waktu untuk berpindah lebih banyak dibanding S. syndactylus (Gambar 7).


(34)

Gambar 7 Perbandingan aktivitas harian H. lar dan S. syndactylus

Palombit (1997) dalam penelitiannya di TN Gunung Leuser, Sumatera Utara, mendapatkan aktivitas harian yang sedikit berbeda antara H. lar dengan

S. syndactylus. H. lar menggunakan waktu untuk aktivitas makan sebesar 34%, berpindah 16%, istirahat 45%, vokalisasi 3% dan interaksi antar kelompok 2%; sedangkan S. syndactylus menggunakan waktu untuk aktivitas makan sebesar 40%, berpindah 12%, istirahat 44%, vokalisasi 1%, dan interaksi antar kelompok 3%.

Selain pola aktivitas harian, pola makan di antara spesies Hylobatidae juga cukup bervariasi, seperti dirangkum oleh Conklin-Brittain et al. (2001) sebagai berikut: H. hoolock, H. agilis, H. klossii, H. lar dan H. pileatus, rata-rata 72% buah, 15% daun, 6% bunga, dan 7% insekta; H. moloch, dan H. muelleri, rata-rata 60% buah, 37% daun, 1% bunga, dan 2% insekta; dan S. syndactylus (siamang) 40% buah, 49% daun, 6% bunga, dan 5% insekta, serta N. concolor 21% buah, 71% daun, dan 7% bunga. S. syndactylus dan N. concolor cenderung mengkonsumsi lebih banyak daun dibandingkan dengan spesies lainnya. Kedua spesies Hylobatidae ini lebih banyak hidup pada kawasan hutan dengan ketinggian sedang sampai pegunungan, dimana ketersediaan pohon buah semakin terbatas, sedangkan spesies Hylobatidae lainnya lebih banyak di kawasan hutan dataran rendah yang lebih kaya dengan keragaman pohon dan pohon buah (Chivers 2001, Conklin-Brittain et al. 2001).

Aktivitas harian satwa primata pada umumnya dipelajari melalui pendekatan alokasi waktu (time budget) setiap jenis aktivitas. Penelitian pola makan satwa

Istirahat Berpindah

Makan Vokalisasi

Istirahat Berpindah

Makan Vokalisasi


(35)

primata di habitatnya umumnya didasarkan pada persentase alokasi waktu untuk aktivitas makan (Conklin-Brittain et al. 2001, Ahsan 2001). Beberapa metode yang dapat digunakan dalam mempelajari berbagai aktivitas satwa disajikan oleh Martin & Bateson (1993), di antaranya ad libitum sampling, focal sampling, instantaneous sampling dan scan sampling.

Vokalisasi

Semua spesies dari Hylobatidae menghasilkan suara atau vokalisasi menyerupai nyanyian dengan pola yang spesifik untuk spesies dan jenis kelamin, biasanya dilakukan pada pagi hari (Geissmann 1995, Geissmann & Nijman 2006). Aktivitas bersuara di pagi hari merupakan awal aktivitas harian kelompok

Hylobates. Vokalisasi berfungsi antara lain: untuk menunjukkan teritorinya, sekaligus sebagai pengaturan ruang antar kelompok, atraksi kawin, dan untuk mempererat hubungan sebagai pasangan kawin (Bates 1970, Leighton 1987, Cowlishaw 1992). Vokalisasi dari Hylobatidae cukup nyaring melengking sehingga dapat terdengar sampai 1 km (Gittins & Raemaekers 1980), bahkan terdengar sampai 2 km (O’Brien et al. 2004).

Pola vokalisasi Hylobates dapat divisualisasikan dalam bentuk sonagram, dan menunjukkan variasi di antara individu dan spesies, antara lain dalam hal durasi, frase suara, jumlah not, dan frekuensi, seperti pada Gambar 8 (Geissmann 1995, Geissmann 2006a). Variasi vokalisasi tersebut, mengindikasikan perbedaan genetik minimal pada level spesies (Brockelman & Schilling 1984, Geissmann 1984), sehingga dapat digunakan sebagai penciri spesies (Mitani 1987). Pada dewasa ini, karakteristik vokalisasi masing-masing spesies dapat digunakan untuk memperkirakan hubungan sistematik spesies dari Hylobatidae dan menyusun pohon filogeninya (Geissmann 2002a).

Hylobatidae betina menghasilkan vokalisasi yang sangat menonjol, nyaring melengking dan terbagi dalam beberapa pase, disebut great call; biasanya terdiri dari 6-100 not, tergantung spesies, dengan durasi 6-30 detik. Bentuk not dan interval antar not dari great call merupakan pola spesifik spesies (Geissmann 1995, Haimoff 1984). Great call betina biasanya diikuti oleh suara jantan


(36)

Gambar 8 Sonagram vokalisasi Hylobatidae (1) great call betina, (2) Jantan, a. H. agilis, b. H. lar, c. H. moloch, d. H. muelleri, e. H. pileatus, f. H. klossii, g. H. hoolock, h. N. Concolor, i. N. Leucogenys, j. N. Gabriellae, dan k. S. syndactylus (Geissmann 1995, Geissmann 2006a)

(2) (1)


(37)

menghasilkan nyanyian yang lasim disebut duet call, kecuali pada H. moloch dan

H. klossii (Dallmann & Geissmann 2001, Geissmann 2006a). Vokalisasi great call, biasanya didahului oleh serangkaian not-not singkat sebagai pengantar, kemudian disambung dengan not-not great call. Interval antar great call sekitar 2 menit, diisi dengan not-not singkat sebagai selingan (Geissmann 2006a).

Vokalisasi dari genus Bunopithecus (Hoolock), Nomascus dan

Symphalangus, hanya berupa duet call dari pasangan kawin, sedangkan pada genus Hylobates, kecuali H. moloch dan H. klossii, dapat berupa duet call, solo betina dan solo jantan. Vokalisasi H. moloch dan H. klossii, hanya berupa solo betina termasuk great call, dan solo jantan; tidak menghasilkan duet call (Geissmann & Nijman 2006).

Vokalisasi great call dibedakan atas tiga fase, yaitu fase pre-trill, fase trill

dan fase post-trill, pada spesies H. moloch (Dallmann & Geissmann 2001, 2001a),

H. klossii (Haimoff & Tilson 1985), dan H. agilis (Haimoff & Gittins 1985), seperti pada Gambar 9 (Dallmann & Geissmann 2001).

Gambar 9 Komposisi great call dari Hylobates

Hasil penelitian Dallmann dan Geissmann (2001) pada H. moloch

mendapatkan adanya perbedaan yang signifikan great call betina antar individu dan antar populasi. Keragaman vokalisasi great call antar individu pada spesies

H. moloch, lebih tinggi dibandingkan dengan H. klossii, tetapi lebih rendah dari


(38)

Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson 1985). Batasan populasi tersebut, disesuaikan oleh Alikodra (2002) untuk digunakan dalam pengelolaan satwa liar, menjadi “kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya”. Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu.

Pada umumnya populasi primata di hutan hujan tropis menghadapi ancaman karena destruksi dan fragmentasi habitat, dan kegiatan perburuan untuk konsumsi dan perdagangan hewan piaraan (Meijaard et al. 1999, Robinson & Bennett 2000, Cowlishaw & Dunbar 2000). Tidak terkecuali, populasi satwa primata di Indonesia dihadapkan pada ancaman oleh aktivitas legal/illegal logging, perambahan dan konversi hutan, kebakaran hutan dan perburuan satwa (Meijaard

et al. 1999, Apriadi 2001, Andayani et al. 2001, O’Brien et al. 2004). Alikodra (2002) menyatakan bahwa populasi satwa liar, termasuk primata, semakin terdesak oleh aktivitas kehidupan manusia. Satwa liar banyak yang diburu untuk berbagai keperluan antara lain: diperdagangkan, konsumsi daging, keperluan pertunjukan, dan dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet).

Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), pemencaran (dispersi), struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku (Tarumingkeng 1994, Alikodra 2002). Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi (Alikodra 2002).

Studi populasi Hylobates, khususnya ukuran populasi dan karakteristik demografik di habitatnya, masih relatif jarang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari sifat Hylobates itu sendiri yang hidup arboreal pada kanopi atas sehingga


(39)

populasi yang tidak terhabituasi cukup sulit untuk dihitung dan diteliti (Brockelman & Srikosamatara 1993, O’Brien et al. 2004, Nijman 2004). Akibatnya, informasi kepadatan populasi dan karakteristik demografik Hylobates

khususnya di Indonesia masih relatif sedikit (Tabel 1).

Perilaku vokalisasi Hylobates di pagi hari, dapat dimanfaatkan dalam melakukan survei populasi satwa primata tersebut (Brockelman dan Srikosamatara 1993, Nijman 2004). Estimasi kepadatan kelompok dan populasi dapat dilakukan dengan metode fixed point count berdasarkan vokalisasinya (O’Brien et al. 2004, Buckley 2004). Selain itu, metode yang umum digunakan dalam estimasi besar populasi Hylobates adalah line transect (Kool 1992).

Tabel 1 Estimasi densitas beberapa populasi Hylobates di Indonesia Densitas (individu/km2)

Lokasi

H. agilis S. syndactilus H. moloch

Sumber 1,4 10,3 -

2,8 4,2 - TN Bukit Barisan

Selatan, Sumatera

2,2 6,7 -

O’Brien et al.

2004 6 24,6 -

11,4 7,2 -

TN Kerinci Seblat, Sumatera

10,8 11,4 -

Yanuar 2001

TN Way Kambas,

Sumatera 1,9 2,8 -

Yanuar & Sugardjito 1993

Riau, Sumatera 4,26 - - Apriadi 2001

TN Gunung Palung, Kalbar

13,5-15,6* - - Mitani 1990

Sebangau, Kalteng 7,4* - - Buckley 2004

Gn. Dieng - - 3,0-3,6 Nijman & Van

Balen 1998 TN Gunung

Gede-Pangrango - - 3,1-3,5 Nijman 2004

Gn. Dieng - - 6,1-13,7 Geissmann &

Nijman 2001

TN. Ujung Kulon - - 9,2 Iskandar 2001

TN Gn. Halimun - - 8,3 Kool 1992

*)


(40)

Status Konservasi

Semua famili Hylobatidae di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Selain itu, H. agilis dikategorikan oleh IUCN

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai spesies yang masih berisiko rendah namun hampir terancam (low risk : near threatened) (Eudey 2000); sedangkan menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) termasuk dalam Appendix I sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan (Soehartono & Mardiastuti 2002).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian Geografi

Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi yang kemudian dirubah fungsinya menjadi taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 423/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004, seluas 568.700 ha. Kawasan Taman Nasional Sebangau berada pada tiga wilayah daerah tingkat II, yaitu Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangka Raya, dengan koordinat 113° 18'-114° 03' BT dan 01° 55'-03° 07' LS. Kawasan ini terletak di antara Sungai Katingan dan Sungai Sebangau, dan dialiri oleh beberapa sungai kecil yang bermuara di kedua sungai tersebut (Gambar 10) (Drasospolino, 2004).

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, sebagian kawasan hutan Sebangau dikelola oleh CIMTROP (Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland) Universitas Palangka Raya sebagai Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) seluas ±50.000 ha. LAHG CIMTROP Universitas Palangka Raya berada pada daerah aliran sungai Sebangau yang membatasinya dengan Desa Kereng Bangkirai, kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya.


(41)

LAHG CIMTROP Univ. Palangka Raya Luas : ±50.000 ha

Gambar 10 Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Sebagai taman nasional yang baru, data informasi ekologi TN Sebangau masih sangat terbatas, kecuali di kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP Universitas Palangka Raya yang kini merupakan bagian dari TN Sebangau, sudah dilakukan beberapa penelitian, seperti vegetasi (Rieley et al.

1996, Shepherd et al. 1997), dan biodiversitas fauna (Rieley et al. 1996, Page

et al. 1997).

Topografi

Secara umum topografi TN Sebangau relatif datar dengan ketinggian antara 5-20 m dari permukaan laut (dpl) seperti terlihat pada Gambar 11, dan ketebalan gambut antara 0-12 m (CIMTROP 2002). Keadaan ini membentuk beberapa tipe hutan dengan vegetasi yang berbeda. Tipe hutan beserta vegetasinya yang ada di LAHG berbeda menurut jaraknya dari Sungai Sebangau.

TN SEBANGAU


(42)

Gambar 11 Profil topografi TN Sebangau (CIMTROP 2002)

Rieley et al. (1996), Rieley & Ahmad-Shah (1996), Shepherd et al. (1997), dan Page at al. (1999), membedakan beberapa tipe hutan di LAHG, yaitu (1) hutan rivarian (RF) dengan jarak sampai 1 km dari sungai, (2) hutan rawa gambut campuran (MSF) 1-5 km, (3) hutan tegakan rendah (LPF) 5-13 km, dan (4) hutan tegakan tinggi (TIF) >13 km dari pnggir sungai.

Kedalaman muka air tanah (water table) di bawah permukaan gambut di LAHG yang diukur pada akhir musim kemarau di beberapa lokasi, bervariasi menurut tipe hutan. Pengukuran kedalaman muka air tanah di MSF (2 lokasi) masing-masing 39,0 cm; di LPF (3 lokasi) masing-masing 34,3 cm, 23,7 cm dan 24 cm; dan di TIF (1 lokasi) 150 cm (Rieley et al. 1996, Shepherd et al. 1997).


(43)

Iklim

Iklim di Pulau Kalimantan adalah iklim hujan tropis. Iklim ini memiliki delapan bulan basah dan tidak memiliki bulan kering yang nyata. Jumlah hujan pada bulan paling kering lebih dari 60 mm (Ditjen PHKA 2006a). Musim hujan di Palangka Raya dan sekitarnya termasuk LAHG mulai pada bulan Oktober sampai bulan Juni, sedangkan musim kemarau dari bulan Juli sampai bulan September. Curah hujan tahunan maksimum mencapai 2.600 mm, dengan curah hujan bulanan bervariasi dari 22-525 mm (CIMTROP 2002). Temperatur udara di LAHG rata-rata 27,20C dengan kisaran 23,10C-34,70C di areal terbuka (sekitar camp LAHG), sedangkan temperatur udara di dalam hutan rata-rata 25,60C dengan kisaran 23,00C-29,60C (Realey et al. 1996).

Flora

Terdapat beberapa jenis flora di kawasan ini, antara lain ramin (Gonystilus bancanus), jelutung (Dyera costulata), dan belangeran (Shorea belangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), jinjit (Calophyllum canum), meranti (Shorea sp.), nyatoh (Palaquium sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), agathis (Agathis sp.), menjalin (Xanthophyllum sp), bengaris (Kompassia malaccensis),

hangkang (Palaquium leiocarpum), tumih (Combretocarpus rotundatus), jambu-jambu (Eugenia sp.), galam tikus (E. spicata), manggis-manggis (Gracinia sp.),

malam-malam (Diospyros pseudomalabarica dan D. siamang), medang (Ixora sp.), kenari (Blumeodendron takbrai), mahang kerume (Ternstroemia magnifica), Lithocarpus dasystachys, milas merah (Xanthophyllum amoenum) , mendarah merah (Knema intermedia), kopi-kopi (Randia sp.), Aglaia rubiginosa, Parastemon sp., Polyalthia sp., Neoscortechinia kingii, Litsea sp. Xylopia fusca, Aromadendron nutans, Horsfieldia crassifolia, Cotylelobium lanceolatum, Licania splendens, Campnosperma coriaceum, Tetractomia tetrandra, Syzygium clavatum, Castanopsis foxworthyii. Gymnostoma sumatrana, Ilex hypoglauca,

Palaquium pseudorostratum, Tetramerista glabra, dan Syzygium remotifolium

(Shepherd et al. 1997, Ditjen PHKA 2006a). Profil vegetasi hutan di kawasan LAHG CIMTROP dapat dilihat pada Gambar 12.


(44)

Gambar 12 Vegetasi di LAHG, TN Sebangau

Fauna

Jenis Mamalia yang terdapat di kawasan hutan Sebangau, antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), kalawet (H. agilis), monyet ekor panjang (M. fascicularis) beruk (M. nemestrina), kalasi (Presbytis baricunda), beruang madu (Helarctos malayanus), babi hutan (Sus barbatus), rusa Sambar (Cervus unicolor), kijang mas (Muntiacus atheroides), kancil (Tragulus javanicus), macan dahan (Neofelis nebulosa), tupai (Tupaia sp.), loris (Nycticebus coucang), dan tarsius (Tarsius bancanus). Jenis burung antara lain pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak laut (Ardea sumatrana), cangak merah

(A. purpurea), elang hitam (Ictinaetus malayensis), pergam (Ducula bicolor),

enggang berjambul putih (Aceros comatus), enggang gunung (A. undulatus),

enggang gading (Buceros vigil), enggang badak (B. rhinoceros), dan bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus), layang-layang api (Hirundo rustica), dan layang-layang bulu (H. tahitica). Jenis reptil antara lain sanca (Python reticulatus), ular air (Homalopsis buccata), ular pipa berekor merah (Cylindrophis


(45)

rufus), cobra (Naja sumatrana), ular hijau (Ahaetulla prasina), ular coklat malaya (Xenelaphis hexagonatus), cicak terbang (Draco sp.), biawak (Varanus borneensis), kura-kura kotak (Cuora amboinensis), dan kura-kura berduri (Heosemys spinosa) (Page et al. 1997, Ditjen PHKA 2006a).


(46)

METODE PENELITIAN Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) seluas ±50.000 ha, yang dikelola oleh CIMTROP (Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland) Universitas Palangka Raya, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (Gambar 13).

Gambar 13 Lokasi penelitian

Kawasan LAHG terletak ±20 km arah selatan kota Palangkaraya dengan luas 50.000 ha, merupakan hutan bekas konsesi HPH PT. Setia Alam Jaya yang ditinggalkan sejak tahun 1996, dan kini menjadi bagian dari Taman Nasional Sebangau. Kawasan LAHG terdiri dari beberapa tipe hutan yaitu hutan rivarian (RF), hutan rawa campuran (MSF), hutan tegakan rendah (LPF), dan hutan tegakan tinggi (TIF) (Rieley et al. 1996, Rieley & Ahmad-Shah 1996, Shepherd

et al. 1997, dan Page at al. 1999), seperti diilustrasikan pada Gambar 14.

TN SEBANGAU


(47)

1 km 5 km 13 km Gambar 14 Ilustrasi tipe hutan di LAHG

Hutan rivarian merupakan daerah genangan air ketika sungai meluap (musim hujan) dengan jarak sampai 1 km dari pinggir sungai, didominasi oleh tumbuhan herba dan semak. Hutan rawa gambut campuran (MSF) terletak antara 1-5 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 2-6 m. Lantai hutan selalu tergenang oleh luapan sungai di musim hujan rata-rata 0,3 m di atas permukaan gambut, dan pada musim kering muka air tanah 0,4 m di bawah permukaan gambut. MSF mempunyai vegetasi yang relatif tinggi (sampai 35 m) dengan lapisan kanopi yang bertingkat. Hutan tegakan rendah (LPF) terletak antara 5-13 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 6-10 m. Pada musim hujan, lantai hutan LPF juga tergenang air lebih dari 0,3 m di atas permukaan gambut, dan pada musim kering muka air tanah hanya 0,24 m di bawah permukaan gambut. Karakteristik vegetasi di LPF, antara lain: tinggi kanopi jauh lebih rendah dibanding MSF dan TIF, kanopi lapisan atas maksimum 20 m, sangat terbuka dan didominasi oleh tumih (Combretocarpus rotundatus); tinggi kanopi lapisan bawah rata-rata di bawah 15 m yang sebagian besar merupakan vegetasi tingkat tiang; dan lantai hutan rata-rata ditumbuhi oleh pandan yang cukup padat.Hutan tegakan tinggi (TIF) berjarak lebih dari 13 km dari pinggir sungai dengan kedalaman gambut 8-12 m. Berbeda kontras dengan MSF dan LPF, TIF tidak tergenang di musim hujan, hanya muka air tanah yang naik menjadi 0,2-0,3 m di bawah permukaan gambut, sedangkan di musim kering muka air tanah sekitar 1,5 m di bawah permukaan gambut. Karakteristik vegetasi di TIF, antara lain: terdiri atas pohon besar dengan kanopi yang tinggi (sampai 45 m), dan lapisan kanopi yang bertingkat dan relatif lebih tertutup. Lantai hutan relatif bersih dari pandan dan semak (Realey et al. 1996, Rieley & Ahmad-Shah 1996, Shepherd et al. 1997).

MSF sungai


(48)

Waktu Penelitian

Peninjauan lapangan dan survei awal dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2004. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan November 2005.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan sebagai objek penelitian dalam analisis vegetasi adalah vegetasi yang terdapat di habitat kalawet di enam lokasi pengamatan di LAHG, sedangkan materi pengamatan populasi adalah 47 kelompok kalawet yang teridentifikasi di enam lokasi pengamatan di LAHG TN. Sebangau (Gambar 17). Untuk pengamatan tingkah laku harian, hanya satu keluarga yaitu kelompok KC (4 ekor) yang terdiri dari sepasang jantan-betina dewasa, seekor remaja dan seekor bayi. Untuk analisis vokalisasi, dilakukan perekaman suara dari 13 kelompok

H. agilis albibarbis di LAHG, dua kelompok hibrida H. agilis albibarbis x

H. muelleri di Barito Ulu, dua pasang dan satu betina dewasa H. muelleri di kandang rehabilitasi ‘Kalaweit Program’ Hampapak, Kalimantan Tengah.

Alat yang digunakan berupa 2 unit binokuler, 1 unit GPS (Global Positioning System) Etrex Garmin 12, 2 unit kompas, 1 unit rekorder kaset, 1 unit rekorder digital, dan 1 unit kamera digital, serta foto landsat dan sejumlah

software pendukung.

Metode Penelitian Habitat

1. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan pada daerah jelajah kalawet yang akan diamati. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode garis berpetak (Gambar 15). Petak contoh berbentuk empat persegi berukuran 20x20 m sebagai petak utama (untuk tingkat pohon), 10x10 m (tingkat tiang), dan 5x5 m (tingkat pancang), dan 2x2 m (tingkat semai) (Soegianto 1994; Soerianegara & Indrawan 1998). Jumlah ulangan setiap lokasi atau plot, lima petak.


(49)

C B

A

D D

A B

C

Gambar 15 Petak contoh bentuk garis berpetak. A = 2x2 m untuk tingkat semai,

B = 5x5 m untuk tingkat pancang, C = 10x10 m untuk tingkat tiang, D = 20x20 m untuk tingkat pohon.

Identifikasi pohon didasarkan pada informasi dari beberapa enumerator berupa nama lokal kemudian ditelusuri nama latinnya di unit herbarium CIMTROP. Pohon yang tidak diketahui baik nama latin maupun nama lokalnya, diambil spesimennya untuk diidentifikasi di unit herbarium CIMTROP, Palangka Raya, dan Herbarium Bogoriense LIPI, Bogor. Genus dari setiap spesies diidentifikasi menurut Van Steenis (1987).

2. Pohon sumber pakan

Pohon pakan adalah pohon yang buah, bunga, atau daunnya dimakan oleh kalawet. Pengamatan dilakukan dengan mengikuti pergerakan kalawet mulai dari pohon tidur pada pagi hari sampai kembali ke pohon tidur pada sore hari. Di samping pengamatan langsung, jenis pohon pakan yang dimakan oleh kalawet dapat diperoleh juga dari informasi masyarakat yang mempunyai akses ke hutan lokasi penelitian, di antaranya pencari jelutung, bekas pencari kayu/penebang pohon, dan enumerator yang berpengalaman bekerja di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah dan identifikasi jenis pohon yang dimakan, dan bagian pohon yang dimakan.

3. Pohon tidur

Pohon tidur adalah pohon-pohon dalam daerah jelajah yang dijadikan tempat istirahat/tidur pada malam hari. Pengamatan pohon tidur dilakukan


(50)

dengan menandai dan mengidentifikasi karakteristik pohon yang digunakan kalawet sebagai pohon tidur pada malam hari. Berdasarkan karakteristik pohon tidur yang diperoleh, selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi pohon yang potensial sebagai pohon tidur dalam plot pengamatan. Data yang dikumpulkan meliputi kerapatan dan identifikasi jenis pohon tidur.

4. Daerah jelajah

Daerah jelajah merupakan luas area dimana kelompok keluarga (family group) kalawet melakukan aktivitasnya sepanjang waktu, dan jelajah harian merupakan rata-rata jarak tempuh kelompok kalawet melakukan aktivitas harian dalam daerah jelajahnya ((NRC. 1981; Collinge 1993). Pengamatan jelajah harian dan daerah jelajah kalawet dilakukan pada satu kelompok yang diketahui berada antara transek A dan transek D (Gambar 16) sebagai kelompok C (KC).

Pengamatan jelajah harian dan daerah jelajah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut ini.

a. Survei awal dilakukan untuk mengetahui lokasi adanya kelompok kalawet dan mendapatkan pohon tidurnya sebagai titik posisi awal.

b. Habituasi dilakukan dengan mengikuti pergerakan kelompok kalawet selama kurang lebih dua bulan sampai tidak merasa terganggu dengan kehadiran peneliti.

c. Pengukuran daerah jelajah dilakukan dengan mengikuti pergerakan kelompok kalawet dari pohon tidurnya dan memetakannya pada peta jalur transek pengamatan yang ada selama 36 hari sampai dapat dideterminasi batas terluar daerah jelajah pada semua arah.

d. Selain dipetakan pada peta pengamatan, daerah jelajah juga ditandai dengan GPS untuk selanjutnya dipetakan menggunakan program

MapSource.

e. Panjang jelajah harian dan luas daerah jelajah juga dihitung menggunakan program ArcView GIS 3.2.


(1)

Lampiran 11 Rata-rata durasi kalawet KC berada di pohon tidur (PT), aktivitas

harian total, dan durasi aktivitas di luar pohon tidur, selama 12 hari

pengamatan

full-day follow

Waktu

1

Durasi

2

Hari

Start

Vokalisasi

Turun

PT

Naik

PT

Berada

di PT

Aktivitas

total

Aktivitas

di luar

PT

a

b

c

c s/d b

a s/d c

b s/d c

1 05:15

06:05

16:05 14:00

10:50

10:00

2 04:50

05:55

15:40 14:15

10:50

9:45

3 05:10

06:10

15:35 14:35

10:25

9:25

4 05:10

05:40

15:45 13:55

10:35

10:05

5 05:05

06:10

15:30 14:40

10:25

9:20

6 05:05

05:55

16:10 13:45

11:05

10:15

7 05:05

06:05

16:05 14:00

11:00

10:00

8 05:40

06:35

15:45 14:50

10:05

9:10

9 05:55

08:05

15:30 16:35

9:35

7:25

10 06:15

07:45

16:25 15:20

10:10

8:40

11 05:25

06:30

16:10 14:20

10:45

9:40

12 05:10

06:20

16:15 14:05

11:05

9:55

Rata-rata 05:20 06:26 15:54

14:31

10:34 9:28

sdv 0:24

0:44

0:19

0:47

0:27

0:47

1)

a, b, c, menunjukkan pukul (jam) saat aktivitas. 2)

menunjukkan durasi aktivitas (jam:menit), c s/d b (durasi berada di pohon tidur, sejak naik sampai dengan saat turun dari pohon tidur), a s/d c (durasi aktivitas total, sejak mulai vokalisasi sampai dengan naik ke pohon tidur), dan b s/d c (durasi aktivitas di luar pohon tidur, sejak turun dari pohon tidur sampai ke pohon tidur berikutnya).


(2)

Lampiran 12 Frekuensi aktivitas harian kalawet KC di LAHG TN Sebangau

Waktu

Aktivitas

5:00-6:00

6:00-700

7:00-8:00

8:00-9:00

9:00-10:00

10:00-11:00

11:00-12:00

12:00-13:00

13:00-14:00

14:00-15:00

15:00-16:00

16:00-17:00

Jumlah

……….. n ………...……….

Vokalisasi

182 160

38

10

2

0 0

0

0

0

0

0

392

Makan

13 146

235

243

189

139 91

70

55

45

34

2

1262

Berpindah

7 52 71

60

62

41 41

30

29

28

19

3

443

Istirahat

206 50 33

42

45

47 55

68

70

71

92

225

1004

Jumlah

408 408

377

355

298

227 187

168

154

144

145

230

3101

……… % per jam pengamatan harian ………...

Vokalisasi

44.61 39.22 10.08

2.82

0.67

0.00 0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

12.64

Makan

3.19 35.78 62.33

68.45

63.42

61.23 48.66

41.67 35.71 31.25 23.45

0.87

40.70

Berpindah

1.72 12.75 18.83

16.90

20.81

18.06 21.93

17.86 18.83 19.44 13.10

1.30

14.29

Istirahat

50.49 12.25 8.75

11.83

15.10

20.70 29.41

40.48 45.45 49.31 63.45

97.83

32.38

Jumlah

100 100

100

100

100

100 100

100

100

100

100

100

100

……… % per total pengamatan aktivitas harian………...

Vokalisasi

5.87 5.16 1.23

0.32

0.06

0.00 0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

13

Makan

0.42 4.71 7.58

7.84

6.09

4.48 2.93

2.26

1.77

1.45

1.10

0.06

41

Berpindah

0.23 1.68 2.29

1.93

2.00

1.32 1.32

0.97

0.94

0.90

0.61

0.10

14

Istirahat

6.64 1.61 1.06

1.35

1.45

1.52 1.77

2.19

2.26

2.29

2.97

7.26

32


(3)

Lampiran 13 Sebaran frekuensi makan per komponen pakan kalawet KC pada waktu yang berbeda

Waktu

Komposisi

Pakan

(diet)

5:00-6:00

6:00-7:00

7:00-8:00

8:00-9:00

9:00-10:00

10:00-11:00

11:00-12:00

12:00-13:00

13:00-14:00

14:00-15:00

15:00-16:00

16:00-17:00

Jumlah

……….. n ………...………

Buah

11 122 174 172 144 88 60 50 43 34 21 2 921

Daun

2 16 31 32 39 23 20 12 8 10 10 0 203

Bunga

0 8 30 38 5 26 9 4 2 0 1 0 123

Lainnya

0 0 0 1 1 2 2 4 2 1 2 0 15

Jumlah

13 146 235 243 189 139 91 70 55 45 34 2 1262

……….. % per jam pengamatan harian ………...

Buah

84.62 83.56 74.04 70.78 76.19 63.31 65.93 71.43 78.18 75.56 61.76 100 72.98

Daun

15.38 10.96 13.19 13.17 20.63 16.55 21.98 17.14 14.55 22.22 29.41 0 16.09

Bunga

0 5.48 12.77 15.64 2.65 18.71 9.89 5.71 3.64 0.00 2.94 0 9.75

Lainnya

0 0.00 0.00 0.41 0.53 1.44 2.20 5.71 3.64 2.22 5.88 0 1.19

Jumlah

100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

……… % per total pengamatan aktivitas makan………...

Buah

0.87 9.67 13.79 13.63 11.41 6.97 4.75 3.96 3.41 2.69 1.66 0.16 73

Daun

0.16 1.27 2.46 2.54 3.09 1.82 1.58 0.95 0.63 0.79 0.79 0.00 16

Bunga

0.00 0.63 2.38 3.01 0.40 2.06 0.71 0.32 0.16 0.00 0.08 0.00 10

Lainnya

0.00 0.00 0.00 0.08 0.08 0.16 0.16 0.32 0.16 0.08 0.16 0.00 1

Jumlah

1.03 11.57 18.62 19.26 14.98 11.01 7.21 5.55 4.36 3.57 2.69 0.16 100


(4)

Lampiran 14 Hasil analisis ragam peubah vokalisasi

great call

Hylobates

Kalimantan

Variables Source of

Variance

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

DT Between Groups 933.64 3 311.21 126.95 0.000

Within Groups 399.57 163 2.45

Total 1333.21 166

DPRT Between Groups 322.24 3 107.41 80.77 0.000

Within Groups 216.77 163 1.33

Total 539.01 166

FMAPRT Between Groups 5082641.36 3 1694213.79 114.38 0.000

Within Groups 2414306.87 163 14811.70

Total 7496948.23 166

FMIPRT Between Groups 153169.09 3 51056.36 30.42 0.000

Within Groups 273577.89 163 1678.39

Total 426746.98 166

JNPRT Between Groups 24.77 3 8.26 20.89 0.000

Within Groups 64.45 163 0.40

Total 89.22 166

MFPRT Between Groups 4168752.25 3 1389584.08 110.67 0.000

Within Groups 2046704.16 163 12556.47

Total 6215456.42 166

KNPRT Between Groups 5.18 3 1.73 150.65 0.000

Within Groups 1.87 163 0.01

Total 7.05 166

DFT Between Groups 109.86 3 36.62 44.73 0.000

Within Groups 133.43 163 0.82

Total 243.30 166

FMAT Between Groups 1335988.08 3 445329.36 24.23 0.000

Within Groups 2995999.45 163 18380.36

Total 4331987.53 166

FMIT Between Groups 47102.09 3 15700.70 6.12 0.001

Within Groups 418330.46 163 2566.44

Total 465432.56 166

MFT Between Groups 902242.09 3 300747.36 17.25 0.000

Within Groups 2841328.03 163 17431.46

Total 3743570.12 166

JNT Between Groups 92517.27 3 30839.09 3149.73 0.000

Within Groups 1595.94 163 9.79

Total 94113.21 166

KNT Between Groups 1423.19 3 474.40 7691.62 0.000

Within Groups 10.05 163 0.06

Total 1433.24 166

DPOT Between Groups 16.77 1 16.77 14.21 0.000

Within Groups 139.25 118 1.18

Total 156.02 119

FMAPOT Between Groups 9959.05 1 9959.05 1.42 0.236

Within Groups 827487.15 118 7012.60

Total 837446.20 119


(5)

Lampiran 14

Lanjutan ………..

Variables Source of

Variance

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

FMIPOT Between Groups 2704.18 1 2704.18 0.74 0.390

Within Groups 428375.68 118 3630.30

Total 431079.86 119

MFPOT Between Groups 23042.25 1 23042.25 5.09 0.026

Within Groups 534160.29 118 4526.78

Total 557202.54 119

JNPOT Between Groups 9.35 1 9.35 8.27 0.005

Within Groups 133.45 118 1.13

Total 142.80 119

KNPOT Between Groups 9.68 1 9.68 130.19 0.000

Within Groups 8.77 118 0.07

Total 18.44 119

MAFT Between Groups 9053901.87 3 3017967.29 42.25 0.000

Within Groups 11644322.25 163 71437.56

Total 20698224.12 166

MPT Between Groups 857.26 3 285.75 10.70 0.000

Within Groups 4352.38 163 26.70

Total 5209.64 166

TNGC Between Groups 79234.72 3 26411.57 2428.68 0.000

Within Groups 1772.60 163 10.87

Total 81007.32 166

KNGC Between Groups 799.40 3 266.47 4803.18 0.000

Within Groups 9.04 163 0.06


(6)

DAFTAR ISTILAH

Not

suara tunggal yang tidak terputus, dengan modulasi frekuensi

tertentu

Fase sekumpulan not dengan dengan interval yang sangat singkat

dan bentuk yang relatif sama, dapat dibedakan antara satu

dengan lainnya

Frase

serangkaian not atau fase dengan bentuk yang bervariasi, dan

kontinu

Great call

frase suara

Hylobates

betina yang nyaring dan khas

Solo

Suara jantan atau betina yang terdiri dari serangkaian not,

fase, atau frase tanpa diantarai oleh suara individu lain

Pre-trill

Fragmen awal dari

great call

dengan frekuensi yang rendah

dan berangsur-angsur meningkat sampai masuk ke fase

trill

Trill

Fragmen

great call

berupa teriakan yang sangat nyaring,

dengan frekuensi yang maksimum

Post-trill

Fragmen akhir

great call

dengan frekuensi yang rendah

Coda

jantan

Suara jantan sesaat setelah

great call

, terdiri dari beberapa

not menutup

great call

betina.