Kajian habitat dan populasi ungko (Hylobates agilis unko) melalui pendekatan sistem informasi geografi di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

(1)

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis

unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI

GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

SUMATERA UTARA

KENI SULTAN

PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis ungko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Keni Sultan


(3)

ABSTRACT

KENI SULTAN. Habitat And Population Analysis Based On Geographic Information Systems of Ungko (Hylobates agilis unko) at Batang Gadis National Park, North Sumatera. Under direction of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and M. BISMARK.

Ungko (Hylobates agilis unko) is considered an endangered species. The information on the population status of the ungko is limited and fluctuatives. The overall aim of this project is to generate critical baseline data on the status of ungko and it’s habitat at Batang Gadis National Park, North Sumatera. The survey had been conducted at three diferent location during August 2006 through January 2007. Location of the research was based on type of forest, there were primary forest, logged-over forest and post-cultivated forest. Population density of ungko was conducted by fixed point count method, ungko’s habitat was conducted by block line method.

The average population density for ungko at post-cultivated forest was 15,5 individuals/km2 and 4,7 groups/km2, logged-over forest 13,2 individuals/km2 and 4 groups/km2,dan primary forest 9,9 individuals/km2 and 3,3 groups/km2. Overall there were 3.425 groups and 10.453 individuals in Batang Gadis National Park. Based on the data, population density of ungko at HBL is greater than at other location. Food source tree at the research site was 20 trees: 13 trees at post-cultivated forest, 17 trees at logged-over forest and 7 trees at primary forest. The feeding patern was 85% fruits, 10% leaves and 5% flowers. The average high of sleeping trees was 26,86±4,84 m and dbh was 56,33±23,99 cm. The sleeping trees at research site was dominated by Dipterocarpaceae.

Keywords: ungko (Hylobates agilis unko), Batang Gadis National Park, population density, habitat.


(4)

RINGKASAN

KENI SULTAN. Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis unko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan M. BISMARK

Taman Nasional Batang Gadis merupakan salah satu wilayah konservasi yang diperuntukan bagi satwa endemik dan langka Indonesia. Gangguan yang terjadi di Taman Nasional Batang Gadis sebelumnya, memberikan pengaruh terhadap kehidupan satwaliar di dalamnya, termasuk ungko. Saat ini, ungko termasuk satwa yang terancam punah yang diakibatkan semakin berkurangnya luasan habitat ungko, adanya perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan (pet animal). Keterbatasan informasi tentang ukuran populasi, karakteristik demografi dan laju kecenderungan demografi ungko liar juga menambah sulitnya menentukan langkah konservasi ungko selanjutnya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapat informasi karakteristik populasi (kepadatan populasi, ukuran kelompok dan penyebaran), habitat (jenis, keragaman dan distribusi pohon sumber pakan dan pohon tempat tidur), dan persepsi masyarakat terhadap pelestarian ungko di Taman Nasional Batang Gadis.

Metode yang digunakan untuk pengambilan data kelompok dilakukan dengan metode Fixed Point Count, sedangkan untuk mengetahui jumlah individu menggunakan metode pengamatan langsung (sensus) pada jalur transek (1-2 km) di hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Adapun metode untuk analisis vegetasi dilakukan dengan metode petak contoh untuk vegetasi tipe pohon (dbh ≥10 cm). Selanjutnya, untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap konservasi ungko dilakukan dengan metode wawancara langsung pada setiap satuan pemukiman penduduk Desa Aek Nangali yang terdiri atas Dusun Batu Nabontar, Malaka dan Pasar. Data yang diambil mewakili gender (laki-laki dan perempuan) dan umur (16 tahun keatas atau dewasa). Penelitian ini dilakukan antara Agustus 2006 sampai dengan Januari 2007.

Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pada areal sensus 0,24 ha jumlah jenis pohon di HP sekitar 21 jenis, HBT 30, dan HBL 40 jenis pohon. Kerapatan pohon HBL 470,8 pohon/ha, HBT 337,5 pohon/ha dan HP 483,3 pohon/ha. Adapun indeks keragaman jenis tiap lokasi: HBL 3,2, HBT 3,1 dan HP 2,7. hasil ini menunjukkan bahwa ketiga lokasi memiliki keragaman jenis yang cukup tinggi yang ditandai dengan jumlah jenis dalam petak 400 m2 berkisar 21-40 jenis. Begitu juga dengan kondisi kerapatan pohonnya baik.

Pohon sumber pakan ungko diidentifikasi berjumlah 20 jenis yang dikelompokkan ke dalam 10 famili. Pohon sumber pakan pada HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 13 (190 jenis/ha), 17 jenis (175 jenis/ha), sedangkan di HP hanya ditemukan 7 jenis (175 jenis/ha) pohon sumber pakan. Famili Moraceae merupakan sumber pakan utama ungko di TN Batang Gadis. Adapun komposisi pakan ungko adalah 85% buah, 15% daun dan 5% bunga.

Selanjutnya, pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat tidur berjumlah 17 pohon yang dimasukkan ke dalam 5 famili. pohon yang banyak dimanfaatkan sebagai tempat tidur oleh ungko berasal dari famili Dipterocarpaceae (41,2%: 7 jenis) dan Lauraceae (23,5%: 4 jenis). Dari famili Dipterocarpaceae, jenis meranti


(5)

dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Berdasarkan pengamatan pohon tempat tidur menunjukkan bahwa karakteristik pohon tempat tidur pada setiap lokasi, antara lain 1) pohon tertinggi atau setara ketinggianya dengan pohon sekitarnya, 2) memiliki percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) daun tidak terlalu rimbun untuk memudahkan pengawasan sekitar, 4) batang utama tegak lurus, 5) memiliki batang bebas cabang cukup tinggi (rerata 17,4±3,9), dan 6) terdapat pohon pakan disekitar pohon tidur.

Secara umum, kisaran ketinggian habitat ungko di TN Batang Gadis antara 300-1200 m dpl. Berdasarkan hasil pengamatan kelompok di kawasan hutan Desa Aek Nangali menunjukkan bahwa penyebaran ungko pada HBL berkisar antara 607-955, HBT antara 710-930, dan HP 612-758 m dpl. Adapun kawasan yang menjadi sebaran ungko memiliki ciri-ciri, antara lain 1) memiliki kerapatan tajuk yang baik karena termasuk kawasan dengan vegetasi stratum B, 2) ketersediaan sumber pakan yang banyak 180 jenis/ha, dan 3) kawasan yang minim terjadinya interaksi antar ungko dengan manusia karena jauh dari pemukiman penduduk (10 km dari desa terdekat).

Berdasarkan komposisi kelompok, populasi ungko dewasa 31,7%, pradewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5%. Secara keseluruhan, keberhasilan kelahiran anak di ketiga lokasi termasuk tinggi. Ukuran keberhasilan ini dilihat dari tingginya persentase kelompok yang memiliki keturunan yang mencapai 76,7% dan sebaliknya, kelompok yang tidak memiliki keturunan hanya sebesar 23,3%. Jumlah populasi menunjukkan HBL 946 individu dengan 287 kelompok; HBT sekitar 1.016 individu dengan 308 kelompok; dan HP memiliki jumlah individu yang lebih tinggi, yaitu 8.490 individu dengan 2.830 kelompok. Total estimasi populasi ungko di TN Batang Gadis diperkirakan sebesar 10.453 individu dengan jumlah kelompok sekitar 3.425 kelompok.

Populasi ini dapat bertahan atau menunjukkan peningkatan jika habitat ungko dapat dijaga dengan baik melalui pembinaan potensi desa, pengawasan yang ketat dan ditunjang dengan penegakan hukum yang tegas. Disamping itu, perlu juga dilaksanakan pengembangan sumber ekonomi alternatif, akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.

Kata kunci: ungko (Hylobates agilis unko), pohon sumber pakan, pohon tempat tidur, populasi, pelestarian ungko.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis

unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI

GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS,

SUMATERA UTARA

KENI SULTAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Mayor Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Tesis : Kajian Habitat dan Populasi Ungko (Hylobates agilis unko) Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi di Taman

Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Nama : Keni Sultan

NIM : P057050011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. (R) Dr. Ir. M. Bismark, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 27 September 1980 dari ayah Roni Ahmad dan Ibu Endang Sri Widayati. Penulis adalah anak kelima dari sembilan bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1987 di SDN 11 Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Tahun 1993 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 211 Srengseng Sawah Jakarta Selatan dan tahun 1999 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Bunda Kandung Pasar Minggu Jakarta Selatan. Pada tahun 1999, pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan, Program Studi Teknologi Produksi Ternak dan Lulus pada tahun 2004.

Di Tahun 2005, penulis diterima masuk ke Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Primatologi, Institut Pertanian Bogor.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Kerangka Pemikiran ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Habitat Ungko ... 6

Pengertian Hutan ... 6

Hutan sebagai Habitat Ungko ... 7

Pohon Sumber Pakan Ungko ... 7

Pohon Tempat Tidur Ungko ... 8

Hylobates agilis unko ... 9

Klasifikasi dan Penyebaran ... 9

Morfologi ... 11

Komposisi Kelompok ... 12

Reproduksi ... 13

Populasi Ungko ... 14

Kepadatan Populasi ... 14

Sistem Informasi Geografi ... 15

Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi ... 15

Aplikasi GIS untuk Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 16

Keadaan Umum Taman Nasional Batang Gadis ... 17

Letak dan Luas ... 17

Keanekaragaman Hayati ... 18

Keragaman Flora ... 18

Keragaman Fauna ... 19

Penetapan TN Batang Gadis sebagai Taman Nasional ... 20

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 21

Waktu dan Tempat ... 21

Waktu ... 21

Tempat ... 21

Bahan dan Alat ... 22

Bahan ... 22

Alat ... 22

Metode ... 22

Penentuan Lokasi ... 22

Pengumpulan Data Vegetasi ... 23


(12)

Pohon Sumber Pakan ... 24

Pohon Tempat Tidur ... 24

Pengumpulan Data Estimasi Populasi ... 25

Pengumpulan Informasi Geografi ... 26

Pengumpulan Data Aspek Konservasi ... 27

Analisis Data ... 28

Vegetasi ... 28

Keanekaragaman Jenis ... 29

Estimasi Populasi ... 30

Ukuran Kelompok ... 30

Analisis Sistem Informasi Geografi ... 31

Aspek Konservasi ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 32

Habitat Ungko ... 35

Kerapatan dan Keragaman Jenis ... 35

Indeks Nilai Penting (INP) ... 39

Ekologi Populasi ... 40

Pohon Sumber Pakan Ungko ... 40

Pohon Tempat Tidur Ungko ... 44

Estimasi Populasi ... 49

Analisis Populasi Berdasarkan Suara ... 49

Laju Vokalisasi ... 49

Analisis Populasi Berdasarkan Pemetaan Kawasan ... 52

Sebaran Ungko ... 52

Komposisi Kelompok ... 55

Kepadatan Populasi ... 57

Aspek Konservasi ... 61

Degradasi Habitat ... 61

Pola Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat ... 64

Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Ungko ... 66

SIMPULAN DAN SARAN ... 68

Simpulan ... 68

Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Estimasi populasi Hylobates sp di Indonesia ... 14

2. Profil vegetasi tingkat pohon pada habitat ungko ... 35

3. Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi

di kawasan hutan TN Batang Gadis ... 39

4. Pohon sumber pakan ungko di areal penelitian dalam luasan 0,52 ha ... 42

5. Famili yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur ungko ... 45

6. Rerata jumlah kelompok yang diidentifikasi di setiap

lokasi peneliti ………... ... 51

7. Komposisi kelompok ungko di TN Batang Gadis... 56


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5

2. Peta sebaran Hylobates agilis di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand (Geissmann 1995) ... 10

3. Variasi warna rambut Hylobatesagilis (Geissmann 2000)... 12

4. Hylobates agilis: betina subadult (A), betina dewasa (B) bayi (infant) (C), dan jantan dewasa (D) (Geissmann 2000). ... 13

5. Peta kawasan konservasi TN Batang Gadis ... 17

6. Keanekaragaman flora TN Batang Gadis: bunga kantung semar, Rafflesia sp dan alpine flower (Departemen Kehutanan 2004) ... 19

7. Keanekaragaman fauna TN Batang Gadis: harimau sumatera, kambing hutan dan kucing emas (Departemen Kehutanan 2004) ... 19

8. Lokasi penelitian di Desa Aek Nangali ... 21

9. Disain metode garis berpetak ... 23

10. Disain jalur transek ... 26

11. Disain areal pengamatan Fixed Point Count (Segitiga ungu adalah pos dengar dan “A” adalah luas areal pengamatan ) (Duma 2007) ... 26

12. Kondisi lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B) dan hutan bekas tebangan (C). ... 34

13. Profil habitat ungko habitat ungko dalam petak 20x40 m2... 38

14. Buah yang dikonsumsi ungko di TN Batang Gadis langsat hutan (A), torop/cempedak (B), gumbot laut (C), gitan (D), asam kandis (E), dan gumbot besar (D)... 43

15. Kisaran diameter dan tinggi pohon tempat tidur ungko pada lokasi penelitian ... 46

16. Karakteristik pohon tempat tidur ungko dengan percabangan yang lebar ... 47

17. Peta sebaran kelompok di HBL, HBT dan HP ... 48


(15)

19. Persentase sebaran populasi ungko per ketinggian

di TN Batang Gadis... 53

20. Peta sebaran ungko berdasarkan ketinggian pada lokasi penelitian... 54

21. Tutupan lahan TN Batang Gadis... 58

22. Peta sebaran kelompok menurut kelas ketinggian ... 59

23. Sumber pendapatan masyarakat Desa Aek Nangali... 64

24. Mata pencaharian masyarakat Desa Aek Nangali... 65

25. Persentase (%) persepsi terhadap keberadaan ungko oleh Masyarakat Desa Aek Nangali ... 66


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Jenis pohon TN Batang Gadis ... 76

2. Jenis pohon pada setiap lokasi penelitian... 78

3. Pohon sumber pakan ungko ... 80

4. Analisis vegetasi hutan bekas ladang ... 81

5. Analisis vegetasi hutan bekas tebangan ... 82

6. Analisis vegetasi hutan primer ... 83

7. Profil pohon tempat tidur ungko ... 84

8. Analisis statistika ... 85


(17)

 

 

 

PENDAHULUAN

  


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat Ungko

Pengertian Hutan

Pengertian hutan menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, yaitu suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang di dominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan cara terjadinya, hutan dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu hutan alam dan hutan anthropogen. Hutan alam adalah hutan asli yang mengalami suksesi sekunder sebagai akibat kerusakan-kerusakan karena faktor alam. Hutan alam terbagi atas dua, yaitu 1) hutan alam primer meliputi hutan asli (cerwood), hutan alam primer tua dan hutan alam primer muda, dan 2) hutan alam sekunder, meliputi hutan banjir, hutan vulkanogen, hutan erosi, hutan kebakaran alam dan hutan penggembalaan alam. Hutan anthropogen adalah hutan asli yang mengalami suksesi sekunder karena adanya tindakan manusia. Hutan anthropogen terbagi atas dua, yaitu 1) hutan anthropogen primer (permudaan hutan alam) meliputi hutan seleksi primer dan hutan trubusan (opslag) primer, dan 2) hutan anthropogen sekunder, meliputi hutan pengembangan anthropogen, hutan kebakaran anthropogen, hutan ladang, hutan tanaman dan hutan trubusan sekunder (Soerianegara dan Indrawan 1998).

Selain pembagian hutan di atas, hutan dapat dibagi atas hutan primer dan hutan sekunder. Hutan primer adalah sebuah area hutan yang sudah berumur tua dan memiliki keunikan bentuk biologis. Ciri hutan primer adalah terdapat pohon hidup yang besar, pohon mati yang besar (terkadang disebut snag). Selain itu, hutan primer memiliki beragam strata tegakan vegetasi hutan dari beragam spesies pohon dan beragam kelas umur (Wikipedia 2006). Hutan sekunder adalah hutan alam yang sudah mengalami gangguan, baik karena faktor alami dan campur tangan manusia. Hutan bekas tebangan adalah hutan alam yang mengalami gangguan karena faktor manusia berupa pembalakan (over-logged forest). Hutan bekas ladang (post-cultivated forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk akibat aktifitas perladangan berpindah yang dilakukan manusia (Soerianegara 1996).


(19)

Hutan sebagai Habitat Ungko

Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yaitu kebutuhan untuk berlindung, sumber pakan dan air (Alikodra 2002). Penebangan pohon dapat mengganggu aktifitas harian, terutama bagi satwa-satwa yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pohon (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1986). Habitat dengan pohon bertajuk kontinyu antara satu pohon dengan pohon lainnya pada habitat ungko memiliki peranan yang penting karena habitat yang demikian memungkinkan ungko untuk melakukan pergerakan (brankiasi) dengan cepat dari satu pohon ke pohon yang lainnya.

Sebaran Hylobates agilis hampir meliputi seluruh Sumatera, kecuali sebagian besar wilayah utara Sumatera (utara dari Danau Toba) adalah habitat Hylobates lar. Hylobates agilis unko hidup di hutan dataran rendah dan masih dapat ditemukan hingga ketinggian hingga 1.500 m dpl (Nijman 2005). Ketinggian di atas 1.500 m dpl bukan habitat yang baik untuk Hylobates karena kawasan di atas 1.500 m dpl sedikit memiliki spesies tumbuhan dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk melakukan brankiasi (Rowe 1996). Di TN Kerinci Seblat, ungko ditemukan pada habitat perbukitan dengan ketinggian antara 500-800 m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder dengan ketinggian berkisar 637-967 m dpl yang didominasi famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpceae (Bangun 2007).

Pohon Sumber Pakan Ungko

Pohon sumber pakan adalah jenis pohon yang menyediakan sumber pakan untuk ungko, meliputi buah, daun dan bunga atau bagian lainnya. Secara umum, jenis sumber pakan satwa primata terbagi atas 1) bagian vegetatif tumbuhan, 2) bagian reproduktif tumbuhan, dan 3) hewan (Fleagle 1988).

Dalam komposisi pakan ungko, buah merupakan sumber pakan utama karena ungko termasuk satwa primata frugivorous (pemakan buah). Ungko juga diketahui mengkonsumsi daun, bunga dan serangga kecil dengan proporsi yang lebih sedikit dibandingkan buah. Supriatna dan Wahyono (2000) menyebutkan bahwa proporsi pakan Hylobates agilis terdiri atas buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan serangga 1%, sedangkan menurut Napier dan Napier (1967) komposisi pakan ungko terdiri


(20)

atas 80% buah-buahan dan 20% daun, bunga dan pucuk daun, tetapi terkadang makan serangga.

Di TN Batang Gadis terdapat sekitar 15 jenis pohon sumber pakan yang dikelompokkan ke dalam 7 famili, yaitu Myristacaceae, Moraceae, Apycinaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae, Verbenaceae. Jenis pohon yang dominan dimanfaatkan ungko sebagai sumber pakan, antara lain Geunsia farinosa Blume, Craton laevifolius Blume, Myristica iners Blume dan Syzygium sp. Pada hutan yang sedikit mengalami gangguan lebih banyak ditemukan pohon sumber pohon pakan dibandingkan hutan terganggu, secara berturut-turut 13 jenis (86,7%) dan 10 jenis (66,7) (Bangun 2007).

Sumber pakan paling umum bagi Hylobates agilis albibarbis di TN Sebangau, berasal dari famili Myrtaceae (8 jenis), diikuti Annonaceae, Cluciaceae, Moraceae, Sapotaceae, Apocynaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae dan Dipterocarpaceae (Duma 2007). Persentase terbesar jenis pohon sumber pakan yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh Hylobates moloch di TN Gunung Halimun Salak berasal dari famili Moraceae (24,2%), Fagaceae (24,2%), Myrtaceae (12,1%), Euphorbiaceae (9,1%) dan Meliaceae (9,1%) (Iskandar 2007).

Pohon Tempat Tidur Ungko

Pohon tempat tidur adalah pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat beristirahat pada malam hari. Menurut Reichard (1998), Hylobates tidak membuat sarang untuk tidur, memanipulasi batang dan daun-daunan, melainkan tidur di batang terbuka. Lokasi pohon tempat tidur dominan berada di home range suatu kelompok (83%) dan sedikit berada di areal tumpang-tindih (overlap) dengan kelompok tetangga (17%). Di area tumpang-tindih, anggota dari kelompok yang berbeda adalah tidak pernah dilihat menggunakan pohon tempat yang sama.

Perilaku pemilihan termpat tidur memiliki tujuan adalah untuk meminimalisasi resiko predasi dari predatornya dan setiap spesies memiliki strategi yang khas dalam pemilihan pohon tidur, tempat untuk tidur dan tingkahlaku tidur. Pemilihan ketinggian di pohon tempat tidur nyata dilakukan induk betina dengan bayi (infant) dibandingkan dengan jantan dewasa. Induk betina dengan bayi memilih pohon yang paling tinggi untuk dijadikan pohon tidur dibandingkan dengan jantan dewasa.


(21)

Urutan masuk ke pohon tidur, yaitu pertama induk betina-bayi yang diikuti anak (juvenile), sedangkan subadult dan jantan dewasa merupakan anggota keluarga yang terakhir masuk ke pohon tidur. Tingkahlaku tidur anggota keluarga gibbons, yaitu tidur terpisah pohon, kecuali bayi tidur dengan induk betina (Reichard 1998).

Hylobates sp. memilih pohon tempat tidur dengan pertimbangan, yaitu 1) faktor cuaca, 2) kenyamanan, 3) ekploitasi sumber pakan, 4) menghindari dari ancaman predator, dan 5) daerah jelajah (Reichard 1998). Bangun (2007) menjelaskan bahwa di TN Batang Gadis, lokasi tidur ungko berada pada percabangan yang menghadap ke sungai. Menurutnya pemilihan percabangan yang mengarah ke sungai membuat sisa defekasi ungko akan jatuh langsung ke sungai, maka jejaknya akan hilang dari deteksi predator. Dengan demikian, ungko akan terhindar dari ancaman predator.

Adapun karakteristik pohon tempat tidur yang dipilih Hylobates agilis di TN Sebangau Kalimantan Tengah, yaitu 1) merupakan pohon yang tertinggi disekitar lokasi tersebut, 2) mempunyai sistem percabangan yang relatif banyak dan besar, 3) daun sedikit sampai agak rimbun untuk memudahkan mengontrol sekitar pohon tempat tidur, 4) terdapat kanopi pohon lain disampingnya yang lebih rendah dari pohon tersebut untuk naik dan turun dari pohon tempat tidur, dan 5) disekitar pohon tempat tidur terdapat pohon sumber pakan yang dapat dimakan sesaat setelah turun dari pohon tempat tidur atau pohon tempat tidur itu sendiri merupakan pohon sumber pakan (Duma 2007). Di Taman Nasional Khao Yai, Thailand, 16% Hylobates menggunakan famili Dipterocarpaceae sebagai pohon tempat tidur lebih dari satu kali. Saat dewasa, pohon dari famili Dipterocarpae ini memiliki ukuran yang sangat besar (ketinggian ≥50), batang tegak lurus dan memiliki tinggi bebas cabang (cabang ptegak lurus dan memiliki tinggi bebas cabang (cabang pertama) umumnya tinggi dari pemukaan tanah (Reichard 1998).

Ungko (Hylobates agilis unko) Klasifikasi dan Penyebaran

Berdasarkan klasifikasi, Hylobates agilis unko termasuk ordo: primata; famili: Hylobatidae, genus: Hylobates, dan spesies: Hylobates agilis (Napier dan Napier 1985). Spesies Hylobates agilis terbagi ke dalam tiga subspesies, yaitu Hylobates


(22)

agilis unko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna dan Wahyono 2000). Hylobates agilis unko juga dikenal dengan sebutan ungko (Indonesia); sarudung (Mandailing Natal); black-handed gibbon (Inggris); agile gibbon (Inggris); dan lowland agile gibbon (Inggris).

Secara umum, penyebaran Hylobates spp., meliputi hutan hujan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, mulai dari timur laut (northeastern) India hingga Cina bagian selatan, berlanjut ke Bangladesh dan Malaysia hingga Indonesia. Di Asia Tenggara, penyebaran ungko meliputi Indonesia (Selatan Danau Toba, Sumatera), Malaysia (utara Sungai Perak dan selatan Sungai Mudah) dan Thailand (Eudey dan Members of the Primate Specialist Group 2000; Supriatna dan Wahyono 2000).

Gambar 2 Peta sebaran Hylobates agilis ( ) di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand (Geissmann 1995).

Gambar 2 memperlihatkan penyebaran ungko yang meliputi hampir seluruh kawasan hutan Pulau Sumatera, kecuali utara Danau Toba yang merupakan penyebaran spesies Hylobates lar. Di Pulau Sumatera, ungko dapat dijumpai di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Bukit Barisan Selatan (Lampung dan Selatan Bengkulu), Kerinci Seblat (Padang), Bukit Tiga Puluh


(23)

(Riau dan Jambi), Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Tapanuli Selatan) (Ditjen PHKA 2006b).

Morfologi

Secara umum, ciri-ciri Hylobates adalah kera kecil tak berekor, kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rongga dada pendek tetapi lebar, serta memiliki rambut yang tebal dan halus (Chivers 1977). Ungko (Hylobates agilis unko) memiliki tangan lebih panjang daripada kaki dan tidak dapat berenang (Bismark 1984). Disamping itu, memiliki struktur tangan, kaki dan jari yang panjang yang memungkinkan ungko dapat menjangkau dahan-dahan yang jauh dan efisien untuk berayun atau menggantung di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967). Pada bagian telapak tangan dan kaki berwarna hitam (Supriatna dan Wahyono 2000) dan penamaan black-handed gibbon diambil dari warna hitam pada bagian telapak tangannya. Pada bagian wajah tidak memiliki rambut dan berwarna hitam

Secara umum, warna rambut penutup tubuh Hylobates agilis bervariasi dari gelap sampai dengan berwana coklat keemasan (golden brown). Jantan dewasa memiliki rambut putih dibagian alis mata dan sekeliling pipi, sedangkan betina hanya alis yang berwarna putih (Twycross Zoo 2004; Geissmann 1995). Subspesies Hylobates agilis unko dapat dibedakan dari Hylobates agilis agilis pada frekuensi warna gelap yang lebih tinggi dan rendahnya warna terang (Eudey dan Members of the Primate Specialist Group 2000). Menurut Bangun (2007) pada ungko yang mempunyai pola warna rambut kecoklatan adalah pada bagian punggung dan dada lebih dominan dengan rambut berwarna hitam kecoklatan, sedangkan bagian tubuh lainnya dipenuhi rambut berwarna kecoklatan. Pada bagian lengan ungko ditumbuhi rambut berwarna hitam atau coklat gelap meskipun pada seluruh tubuhnnya dipenuhi warna lain seperti kuning atau coklat. Variasi warna rambut pada spesies Hylobates agilis disajikan pada Gambar 3.


(24)

Gambar 3 Variasi warna rambut Hylobates agilis (Geissmann 2000).

Bobot badan dewasa ungko sekitar 4,5-5,5 kg dengan panjang tubuh sekitar 45 cm (Twycross Zoo 2004) atau lebih rendah dibandingkan dengan siamang (Symphalangus syndactylus) yang berbobot sekitar 11 kg. Supriatna dan Wahyono (2000) menunjukkan bahwa bobot badan ungko dewasa antara 5-7 kg dan memiliki panjang tubuh antara 450-500 mm. Pembedaan jantan dan betina dewasa menurut bobot badan, tidak berbeda nyata. Namun, umumnya jantan dewasa lebih berat dari betina dewasa (Geissmann 2002; Kuester 2000).

Komposisi Kelompok

Famili Hylobatidae hidup dalam kelompok sosial yang disebut monogami. Satu kelompok ungko terdiri atas sepasang jantan dan betina dewasa dengan 1-2 ekor anak. Dalam satu kelompok ungko dapat terdiri atas 3-5 anggota kelompok. komposisi kelompok, terdiri dari:

1) pasangan jantan dan betina dewasa,

2) bayi (infant): mulai dari lahir sampai umur dua tahun, ukuran tubuh kecil dan pada tahun pertamanya digendong oleh induk betina selama pergerakanya,

3) anak muda (juvenile): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil, berjalan sendiri tapi cenderung selalu dekat induknya,

4) anak remaja (adolescent): berumur 4-6 tahun, ukuran badan sedang, sering berjalan dan melakukan aktivitas makan sendiri, dan

5) anak menjelang dewasa (>6 tahun), ukuran badan hampir sama dengan dewasa tetapi belum matang seksual, tetap di dalam kelompok tetapi lebih sering memisahkan diri (Gittin dan Raemaeker 1980; Baker et al. 2000).


(25)

B

A

D

C

Gambar 4 Hylobates agilis: A) betina subadult; B) betina dewasa; C) bayi (infant); dan D) jantan dewasa (Geissmann 2000).

Gambar di atas memperlihatkan komposisi kelompok ungko yang berjumlah 4 individu, yaitu sepasang jantan dan betina dewasa, remaja menjelang dewasa dan bayi. Ikatan pasangan antara jantan dan betina terjadi setelah mencapai masa dewasa kelamin (12-13 tahun).Ikatan pasangan antar jantan dan betina dewasa berlangsung bertahun-tahun (Geissmann 2005). Bayi yang dilahirkan selalu digendong induk betina dan akan terus bersama keluarga asalnya sampai umur 6 tahun (Gittin dan Raemaekers 1980). Kuester (2000) dan Leighton (1987) menjelaskan bahwa anak akan bersama induknya sampai mereka mencapai dewasa kelamin, sekitar umur 8 sampai 10 tahun, selanjutnya mereka akan memisahkan diri keluarga untuk membentuk keluarga baru.Dalam sebuah kelompok ungko, interaksi antar anggota keluarga akan meningkat seiring dengan meningkatnya periode aktivitas seksual, baik frekuensi, intensitas dan agresifitas. Lebih lanjut, anak ungko yang menjelang dewasa ditandai dengan mulai tertariknya pada tingkahlaku teritori dan aktivitas seksual (Baker et al. 2000).

Reproduksi

Hylobates tidak punya musim kawin tertentu. Jantan dewasa dapat mengawini betina sepanjang tahun. Rerata jantan dan betina mencapai umur dewasa kelamin adalah umur 8 tahun dan ditandai dengan keinginan mencari pasangan hidup untuk pertama kali. Pada betina, dewasa kelamin ditandai dengan terjadi mentruasi pertama kali (Kuester 2000).

Periode kebuntingan betina Hylobates spp. (gestation) sekitar 7 bulan. Betina dewasa hanya melahirkan satu anak per kelahiran setiap 2-3 tahun sekali (Kuester


(26)

2000). Masa pre-natal pada Hylobates spp. betina sekitar 7 bulan. Adapun jumlah total melahirkan bayi antara 5-6 anak selama periode hidupnya yang mencapai 30 tahun. Pada umumnya, Hylobates spp. akan menjaga dan merawat anaknya sampai sekitar umur 2 tahun atau disebut masa sapih (Kuester 2000). Menurut Leighton (1987), bahwa akibat keterbatasan data mengenai demografi Hylobates spp pada kebanyakan area menunjukkan Hylobates spp. tidak mempunyai musim melahirkan (birth seasonality).

Populasi Ungko Kepadatan Populasi

Menurut Alikodra (2002), populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu manghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan cover (tutupan), cara hidup, tempat berkembang biak dan kemampuan satwa beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya adalah faktor yang mempengaruhi terhadap kehidupan satwaliar.

Hylobates agilis telah kehilangan 66% habitatnya yang semula cukup luas, yaitu sekitar 500.000 km2 menjadi sekitar 170.000 km2. Populasi ungko yang tersedia di alam pada tahun 1986, diperkirakan hanya berkisar 30.000 individu dan hanya dapat ditemukan dalam konservasi di Kalimantan dan Sumatera (Supriatna dan Wahyono 2000). Febrianti (2003) menyebutkan bahwa untuk areal TN Kerinci Seblat yang luasnya 1,3 juta ha diperkirakan terdapat sekitar 150.000 individu. Kepadatan populasi ungko di TN Kerinci Seblat adalah 0,283-0,567 kelompok/km2 (Kehati 2004). Estimasi populasi spesies Hylobates disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Estimasi populasi Hylobates ssp. di Indonesia

Spesies Status

Konservasi

IUCN

Red List Estimasi Populasi

Tahun

Assessment Referensi

H. moloch H. agilis H. albibarbis H. lar H. muelleri H. klosii Highest - - - - Very High CR LR/nt [VU] LR/nt LR/nt VU 2.308 300.000* - 154.000 150.000-375.000 20.000-25.000 2005 1980 - 1980 2003 2005 Iskandar 2007 MacKinnon 1987 - McKinnon 1987 Nijman dan Meijaard Whittaker 2005 * Estimasi Hylobates agilis Indonesia, ‡ Estimasi populasi H.moloch di TN Halimun-Salak


(27)

Populasi ungko di kawasan lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper Sektor Baserah, Riau diperoleh kepadatan populasi ungko di KPPN sebesar 17,45±5,61 individu/km2 dan Sempadan Sungai 4,26±0,67 individu/km2 dengan kepadatan kelompok masing-masing 7,47±0,52 kelompok/km2 dan 1,89±0.02 kelompok/km2 (Apriadi 2001).

Di TN Batang Gadis yang luasnya 108.000 ha diperkirakan terdapat sekitar 7.620 individu. Kepadatan populasi ungko di TN Batang Gadis sebesar 8,82 individu/km2 dan kepadatan kelompok sebesar 2,6 kelompok/km2. Adapun ukuran kelompok ungko TN batang Gadis antara 2-5 individu/kelompok. Kepadatan populasi ungko di TN Batang Gadis terbaik pada level ketinggian 600-900 m dpl. (Bangun 2007).

Sistem Informasi Geografi

Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi (SIG) adalah bidang ilmu baru yang dapat digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu sehingga dapat berkembang dengan cepat. Pengertian SIG berdasarkan ESRI, Environment System Research Institute (vendor yang bergerak dibidang SIG) adalah kumpulan terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memuhtakhirkan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang mempunyai referensi geografi. Secara umum, berdasarkakn definisi tersebut, satu fungsi SIG yang sangat penting adalah kemampuan menganalisa data, terutama data spasial yang kemudian menyajikannya dalam bentuk suatu informasi spasial berikut data atributnya (Yusmur dan Imantho__).

Pada suatu peta dibuat berdasarkan data spasial. Data spasial adalah data yang mengandung informasi lokasi geografi dari kenampakan-kenampakan dari permukaan bumi yang disertai informasi-informasi tertentu yang menggambarkan keadaan permukaan bumi tersebut (Trisasongko dan Shidiq 2004). Data spasial, salah satunya dapat diperoleh dari alat GPS (Global Positioning System) tentang titik koordinat (x,y) rute kejadian (addresses route events).


(28)

Penggunaan GPS adalah untuk mencek kebenaran image dengan cara menentukan beberapa lokasi dalam image, kemudian melakukan ground-truthing/field checking ke lokasi dan mencatat kondisi lokasi tersebut. Pengolahan data spasial dapat menggunakan perangkat lunak seperti ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo (Puntodewo et al. 2003).

SIG telah digunakan sebagai sebuah alat untuk memfasilitasi penelitian berbagai disiplin ilmu karena beragam tipe peta dari bidang ilmu yang terpisah dapat mensintesa melalui overlay peta (Savitsky 1998). Penggunaan SIG dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mendukung perencanaan dan pengelolaan hutan tropis di Indonesia, termasuk pengambilan keputusan (Puntodewo et al. 2003). Keuntungan penggunaan SIG dalam pengelolaan hutan tropis adalah dapat menjangkau area yang luas yang menjadi batasan inventori dan monitoring langsung (Puntodewo et al. 2003).

Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai untuk pengambilan keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem informasi geografi (SIG), penginderaan jauh (PJ) dan GPS (Global Positioning System) adalah tiga teknologi spasial yang sangat bermanfaat. Sebagian besar aplikasi SIG belum mencakup hutan tropis, meskipun dalam sepuluh tahun terakhir ini aplikasi SIG untuk hutan tropis sudah mulai berkembang (Puntodewo et al. 2003).

Secara komersial, hasil hutan yang paling utama adalah kayu. Penebangan hutan yang mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan memerlukan perencanaan yang baik. Pemodelan hutan secara spasial menggunakan SIG sangat membantu dalam perencanaan dan strategi penebangan. Disamping itu, SIG dapat membantu rehabilitasi hutan dalam tahap penelitian dan pemetaan lokasi, pemilihan spesies yang cocok, lokasi pembibitan dan infrastruktur dan juga tahap monitoring dan eveluasi (Puntodewo et al. 2003).

Dalam aspek konservasi hutan dan keragaman hayati, menentukan area prioritas dan hotspot dari keragaman hayati adalah hal paling mendasar. Aplikasi SIG untuk ini telah banyak membantu pengelolaan sumberdaya hutan dan keragaman


(29)

hayatinya. Baik di negara maju maupun di negara berkembang, penggunaan SIG dalam aspek konservasi dan keragaman hayati sudah cukup banyak dipakai (Puntodewo et al. 2003).

.

KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

Letak dan Luas

Secara administratif, TN Batang Gadis berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis, TN Batang Gadis terletak diantara 99° 12' 45" - 99° 47' 10" Bujur Timur (BT) dan 0° 27' 15" - 1° Or 57" Lintang Utara (LU) dan bersinggungan langsung dengan 68 desa. Nama taman nasional ini berasal dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Mandailing Natal, yaitu Batang Gadis. Adapun titik tertinggi adalah di puncak gunung berapi Sorik Merapi dengan ketinggian sekitar 2.145 m dpl (Departemen Kehutanan 2004). TN Batang Gadis memiliki luas mencapai 108.000 ha. Letak TN Batang Gadis disajikan dalam Gambar 5 berikut ini.


(30)

Kawasan TN Batang Gadis seluas 108.000 hektar, sebelumnya berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Hutan Lindung yang dialihfungsikan menjadi taman nasional seluas 101.500 hektar, yaitu Hutan Lindung Register 4 Batang Gadis I, Register 5 Batang Gadis II Komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Batahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampungan 1. Kawasan hutan lindung tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam kurun waktu 3 tahun antara tahun 1921-1924. Kawasan hutan produksi yang dialihfungsikan menjadi bagian TN Batang Gadis meliputi areal eks HPH PT. Gunung Raya Utama Timber (Gruti) seluas ± 5.500 hektar dan PT. Aek Gadis Timber seluas ±1000 hektar (Departemen Kehutanan 2004).

TN Batang Gadis juga merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis. DAS ini mempunyai luas 386.455 ha atau 58,8% dari luas Kabupaten Mandailing Natal dan sangat penting artinya sebagai penyedia air yang teratur untuk mendukung kehidupab dan kegiatan perekonomian masyarakat, terutama di bidang pertanian. Selain itu, TN Batang Gadis juga berfungsi menjaga tata air regional, karena keseimbangan tata air lokasi lain yang bertetangga dengan Kabupaten Mandailing Natal, seperti Kabupaten Tapanuli Selatan, Pasaman di Propinsi Sumatera Barat dan Rokan Ulu di Propinsi Riau, tergantung dari kondisi tutupan hutan TN Batang Gadis (Departemen Kehutanan 2004).

Keanekaragaman Hayati

Keragaman Flora

Hasil survei singkat keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) selama kurang lebih satu bulan, telah memperlihatkan bahwa keanekaragaman hayati di TN Batang Gadis cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak berukuran 200 m2 terdapat 242 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh yang ada di Indonesia). Selain itu, ditemukan juga jenis bunga langka dan dilindungi, yaitu bunga padma (Rafflesia sp.) jenis baru (Departemen Kehutanan 2004).


(31)

Gambar 6 Keanekaragaman flora TN Batang Gadis: bunga kantung semar, rafflesia sp. dan alpine flower (Departemen Kehutanan 2004).

Keragaman Fauna

Berdasarkan hasil perangkap kamera (camera trap) dan penelusuran jejak satwa, berhasil ditemukan satwa langka yang dilindungi undang-undang dan konvensi internasional, seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac)dan landak (Hystix brachyura). Selain itu, juga berhasil menemukan amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa) yang merupakan jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta) yang sudah langka dan merupakan jenis yang hanya dapat dijumpai (endemik) di Sumatera (Departemen Kehutanan 2004).

Gambar 7 Keanekaragaman fauna TN Batang Gadis: harimau sumatera, kambing hutan dan kucing emas (Departemen Kehutanan 2004).

Selain itu, jumlah burung di kawasan TN Batang Gadis yang dapat ditemukan 242 jenis, yaitu 45 jenis merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, 8 jenis secara global terancam punah, 11 jenis mendekati terancam punah, seperti


(32)

jenis-jenis Sunda groundcuckoo, Salvadori pheasant, Sumatran cochoa. Crested fireback dan March finfoot merupakan dua jenis burung yang ditemukan di TN Batang Gadis selama ini dikategorikan sebagai kekurangan data (data deficient) oleh IUCN karena sedikitnya catatan. Dari total jenis burung tersebut 13 merupakan jenis yang dikategorikan sebagai Burung Sebaran Terbatas yang berkontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik dan Daerah Penting bagi Burung (DPB) (Departemen Kehutanan 2004).

Penetapan Kawasan Hutan Batang Gadis sebagai Taman Nasional

Penetapan TN Batang Gadis diawali adanya usulan untuk penunjukkan TN Batang Gadis secara formal yang diajukan kepada Menteri Kehutanan melalui Surat Bupati Mandailing Natal (Madina) No. 522/982/Dishut/2003 tertanggal 8 April 2003 dan kepada Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 522/1837/Dishut/2003 tertanggal 16 September 2003 dan No. 522/2036/Dishut/2003 tanggal 29 Oktober 2003. Usulan ini diperkuat dengan adanya surat dari DPRD Kabupaten Madina yang memberikan persetujuan melalui Surat No. 170/1145/2003 tertanggal 20 November 2003 dan berbagai unsur masyarakat menyatakan Deklarasi Pembentukan Taman Nasional Batang Gadis pada tanggal 31 Desember 2003.

TN Batang Gadis ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan surat keputusan dari Menteri Kehutanan pada tanggal 29 April 2004 No.l26/Menhut-11/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara seluas ± 108.000 ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi taman nasional dengan nama Taman Nasional Batang Gadis. Penunjukkan taman nasional ini merupakan upaya bersama, antara lain pemerintah daerah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat seperti, BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra (Departemen Kehutanan 2004).


(33)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Waktu

Survei pendahuluan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2005. Pengumpulan data dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu mulai bulan Agustus 2006 sampai dengan Januari 2007 di TN Batang Gadis, Sumatera Utara.

Tempat

Lokasi penelitian berada di Desa Aek Nangali pada hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Ketiga lokasi tersebut merupakan habitat ungko hasil survei pendahuluan bulan Juli-Agustus 2005. Letak lokasi penelitian dan titik pos dengar di hutan Desa Aek Nangali TN Batang Gadis disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Lokasi penelitian di Desa Aek Nangali.

Ketiga lokasi berada pada kisaran ketinggian antara 607-955 m dpl dan secara umum bertopografi berbukit-bukit dengan puncak tertinggi adalah Tor Sanduduk (1.283 m dpl) (Gambar 8). Secara geografis, HBT terletak pada titik


(34)

koordinat 0037’30,036” lintang selatan dan 99026’22,884” bujur timur, HBL 0037’53,22” lintang selatan dan 99026’35,592” bujur timur, dan HP 0037’8,292” lintang selatan dan 99027’11,448” bujur timur.

Bahan dan Alat Bahan

Ungko adalah satwa primata yang menjadi obyek utama penelitian ini. Bahan lain yang dipergunakan adalah alkohol 75%, yang dipergunakan sebagai bahan pengawet contoh daun herbarium. Adapun bagian pohon yang akan diawetkan, yaitu daun. Contoh daun dilengkapi dengan nama lokal dan untuk diidentifikasi spesiesnya dilakukan di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor.

Alat

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain 1)citra satelit Landsat 7 dan tutup lahan (land cover) tahun 2000, 2) GPS (Global Positioning System) untuk mencatat koordinat pada saat ungko ditemukan dan saat pengumpulan data vegetasi, 3) perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan ERDAS 8.5 untuk menganalisis data spasial dan koordinat hasil pencatatan dari GPS, 4) kompas untuk menentukan arah (derajat) kelompok ungko saat vokalisasi, 5) termohidrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban lingkungan aktual setiap lokasi, 6) meteran, 7) tambang plastik, 8) kamera digital 2 megapiksel 10 kali perbesaran, 9) buku saku, dan 10) teropong binokuler.

Metode Penentuan Lokasi

Pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian adalah berdasarkan keberadaan ungko dan tipe habitat yang menjadi fokus penelitian ini. Informasi sebaran ungko diperoleh dari petugas maupun masyarakat sekitar yang mempunyai akses ke hutan dan juga berasal dari survei pendahuluan bulan Juli-Agustus 2005. Dari hasil survei pendahuluan diperoleh lokasi penelitian yang tepat adalah di hutan Desa Aek Nangali. Hal ini karena hanya hutan Desa Aek Nangali yang memiliki habitat (hutan bekas tebangan, hutan bekas ladang dan hutan primer) yang paling lengkap dibandingkan desa lainnya. Hasil ini didukung


(35)

data Bitra Konsorsium Indonesia (2005), bahwa hanya hutan di Desa Aek Nangali pernah dibuka untuk padi ladang, sedangkan desa lainnya tidak diperoleh informasi aktifitas ladang berpindah. Dengan demikian, lokasi penelitian yang sesuai sebagai lokasi penelitian adalah hutan di Desa Aek Nangali.

Pengumpulan Data Vegetasi

Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998). Cara pengambilan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan plot (petak) yang berbentuk bujur sangkar yang berukuran 20x20 m. Pada tiap lokasi pengamatan HBL, HBT dan HBT, plot dibuat sebanyak 6 petak, sehingga total berjumlah 18 petak. Petak ini dibuat pada jalur mengikuti kontur lahan dan kelompok ungko.

Data vegetasi yang dikumpulkan hanya berasal dari vegetasi tingkat pohon (dbh≥10cm). Pohon-pohon yang tidak diketahui nama lokalnya akan diawetkan dengan alkohol 75% kemudian diidentifikasi di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adapun, disain metode garis berpetak disajikan pada Gambar 9 berikut ini.

Arah Kompas

50 m 20 m

10 m

50 m

10 m

Gambar 9 Disain metode garis berpetak.

Pengambilan data vegetasi hanya pada tingkat pohon karena ungko merupakan satwa primata arboreal dan keberadaan pohon pada habitatnya sangat penting. Perubahan struktur dan komposisi pohon pada habitatnya akibat penebangan dapat mempengaruhi tingkahlaku dan kepadatan populasi ungko. Dengan melihat kondisi struktur dan komposisi pohon, maka pengaruh perubahan struktur dan komposisi pohon terhadap sebaran dan populasi ungko di TN Batang Gadis dapat disimpulkan dengan baik. Dari penelitian Suyanti (2007) menjelaskan


(36)

bahwa Hylobates agilis banyak menghabiskan waktunya di vegetasi tingkat pohon stratum B (15-30 m di atas permukaan tanah) dan sedikit menghabiskan waktunya pada pohon dengan stratum yang lebih rendah.

Pengambilan data pohon meliputi 1) nama jenis, 2) jumlah individu satu jenis dan beda jenis dalam petak pengamatan, 3) pendugaan tinggi pohon dan diameter pohon, 4) lebar tajuk pohon, 5) tinggi bebas cabang, 6) tinggi total dan 7) jarak antar pohon. Untuk pengukuran diameter batang pohon diukur setinggi dada manusia dewasa.

Profil Habitat. Struktur pohon setiap lokasi pengamatan HBL, HBT dan HBT diketahui dengan cara menggunakan diagram profil habitat dalam petak ukuran 20x40 m terhadap pohon dengan dbh ≥10 cm. Parameter struktur pohon yang dicatat adalah nama jenis, tinggi total, tinggi dan lebar tajuk, diameter dan posisi pohon dalam petak tersebut. Selanjutnya, data tersebut diolah dan gambar profil habitat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak CorelDraw Graphics Suite 11.

Pohon Sumber Pakan. Pohon sumber pakan diketahui melalui 1) pengamatan langsung saat ungko makan, 2) sisa-sisa makanan yang terbuang, 3) informasi dari masyarakat yang mememiliki akses ke lokasi penelitian, seperti penjerat burung murai daun dan pemandu dan 4) informasi pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jenis, jenis pohon sumber pakan dan bagian yang dimakan oleh ungko. Pohon sumber pakan yang sudah identifikasi kemudian akan dicatat juga titik koordinatnya menggunakan GPS. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, data koordinat keberadaannya diolah dan dimasukkan ke dalam peta Landsat 7 untuk mendapatkan peta sebaran pohon sumber pakan masing-masing lokasi pengamatan.

Pohon Tempat Tidur. Pohon tempat tidur ungko diketahui dengan pengamatan langsung di pagi hari sebelum ungko turun dari pohon tempat tidurnya. Pengumpulan data pohon tempat tidur dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristiknya, antara lain 1) jenis pohon, 2) tinggi total, 3) diameter batang, 4) lebar dan tinggi tajuk, dan 5) tinggi bebas cabang. Pohon tempat tidur yang sudah identifikasi kemudian akan dicatat juga titik koordinatnya menggunakan GPS. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3,


(37)

data koordinat keberadaanya diolah dan dimasukkan ke dalam peta Landsat 7 untuk mendapatkan peta sebaran pohon tempat tidur masing-masing lokasi pengamatan.

Pengumpulan Data Estimasi Populasi

Estimasi populasi primata didasarkan pada jumlah individu atau kelompok yang tercatat pada luasan areal tertentu (Bismark 2006). Jumlah individu dalam kelompok diketahui melalui pengamatan langsung pada jalur pengamatan (line transect sampling), sedangkan estimasi jumlah kelompok diketahui dengan menggunakan metode Fixed Point Count (Gambar 10) berdasarkan waktu vokalisasi yang ditentukan (O’brien 2004; Whittaker, 2005).

Penentuan luas daerah pengamatan untuk metode Fixed Point Count adalah luas lingkaran (Gambar 10), sedangkan metode sensus adalah luas transek (panjang x lebar) (Bismark 2006). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, diperoleh jarak suara ungko terjauh dan dapat didengar dengan baik adalah 0,7 km. Dengan proporsi areal pengamatan adalah 1 (Φ=1), maka luas areal pengamatan (A=Φ.π.r2) adalah 1,5 km2. Untuk metode pengamatan langsung, panjang transek dibuat sejauh 1-2 km dengan lebar pengamatan kiri dan kanan adalah 50 m. Setiap jalur dilakukan pengulangan sebanyak 8 kali. Setiap jarak 25 m dalam jalur diberi pita untuk memudahkan dalam mencatat lokasi ditemukan ungko (Gambar 10).

Waktu pelaksanaan pengamatan kelompok, yaitu pagi hari mulai pukul 06.00-09.00 WIB. Hal ini didasarkan bahwa suara great call ungko terjadi antara fajar sampai dengan pukul 10.00 WIB (Haimoff 1984; Whittaker 2005; Nijman dan Menken 2005; Nijman 2004). Saat great call terdengar, dicatat waktu (awal dan akhir), arah sumber suara menggunakan kompas, dan estimasi jarak antar pendengar dengan sumber suara dari tempat yang tetap atau yang disebut listening post (pos dengar). Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda yang terjadi karena ungko seringkali melakukan vokalisasi tidak hanya pada satu pohon saja, maka jarak antar vokalisasi kelompok ditetapkan 300 m. Pertimbangan penentuan jarak vokalisasi tersebut didasarkan atas sebaran suara kelompok setiap lokasi yang telah dipetakan per hari pengamatan dan pertimbangan waktu (interval waktu antar vokalisasi).


(38)

Ukuran kelompok adalah jumlah individu dalam kelompok. Kelompok yang ditemukan pada jalur transek diamati sekitar 10 menit, untuk kemudian dicatat: 1) jumlah individu, 2) komposisi keluarga, 3) karakteristik individu dalam kelompok, dan 4) titik koordinat kelompok dari GPS. Kelompok ungko yang berada di luar 50 m tidak dicatat. Titik koordinat yang diperoleh, diolah menggunakan program Arcview 3.3 sehingga diperoleh sebaran kelompok setiap lokasi penelitian.

Jalur Transek

50 m 50 m

Gambar 10 Disain jalur transek.

r

2

A=

θ

.

π

.r

2

A

Gambar 11 Disain areal pengamatan Fixed Point Count (segitiga ungu adalah pos dengar dan A = luas areal pengamatan) (Duma 2007).

Pengumpulan Informasi Geografi

Pada penelitian ini, sistem informasi geografi (SIG) dipakai untuk mendapatkan keadaan kawasan hutan TN Batang Gadis yang menjadi habitat


(39)

untuk ungko, melalui penggunaan teknologi spasial penginderaan jauh dan GPS. Salah satu hasil pemakaian SIG dalam penelitian ini adalah peta tutupan lahan kawasan hutan Batang Gadis dan peta sebaran pohon sumber pakan dan tempat tidur ungko serta sebaran kelompok ungko.

Citra satelit Landsat 7 kawasan hutan TN Batang Gadis tahun 2001 adalah bahan dasar untuk pengolahan informasi geografi/spasial (GIS database). Informasi spasial ini diperoleh dengan menggunakan alat GPS, yang berisikan koordinat (x,y) baik letak lokasi, sebaran pohon sumber pakan, pohon tempat tidur dan sebaran kelompok ungko. Disamping itu, informasi kondisi lokasi juga dicatat sebagai informasi pendukung dari data spasial.

Titik koordinat lokasi tipe/kelas hutan yang nantinya menjadi bahan untuk mengklasifikasi kawasan hutan TN Batang Gadis dikumpulkan sebanyak mungkin. Tujuannya adalah mendapatkan kebenaran image secara tepat atau sesuai dengan kondisi lapangan pada saat pengolahan citra nantinya. Titik-titik tersebut antara lain hutan primer, hutan bekas ladang, hutan bekas tebangan, perkebunan (hutan campuran), semak belukar, lahan terbuka (areal penebangan, jalan tanah), sawah, pemukiman penduduk dan sumber air (sungai). Data geografi/spasial dan citra satelit TN Batang Gadis diolah dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS 8.5 dan ArcView 3.3.

Pengumpulan Data Aspek Konservasi

Untuk mengetahui ragam aktifitas masyarakat Desa Aek Nangali dalam pemanfaatan hutan, persepsi masyarakat terhadap ungko dan tanggapan atas kegiatan konservasi, maka diadakan survei dengan metode wawancara langsung. Metode wawancara langsung ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban secara terbuka dari masyarakat Aek Nangali. Aspek yang menjadi fokus wawancara, diantaranya pengamanan habitat ungko, pengamanan ungko dan sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan konservasi ungko.

Pengambilan jumlah responden (masyarakat) Desa Aek Nangali menggunakan metode purposive sampling, yaitu jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang untuk setiap satuan pemukiman pembentuk Desa Aek Nangali, yaitu Dusun Batu Nabontar 30 orang, Dusun Malaka 30 orang dan Dusun Pasar 30 orang. Dengan demikian, jumlah total responden yang akan diambil sebanyak


(40)

90 orang. Adapun pengumpulan data kuisioner mewakili kategori, antara lain jenis kelamin (gender) laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 50:50, dan masyarakat berumur 16 tahun ke atas atau berumur dewasa.

Analisis Data Vegetasi

Untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi yang dominan di habitat ungko maka untuk setiap vegetasi yang berdiameter lebih dari 10 cm dihitung dari nilai penting dengan peubah sebagai berikut ini:

a) Kerapatan

A ni Ki= Keterangan:

Ki = kerapatan spesies ke-i,

ni = jumlah individu spesies ke-i, dan A = luas petak contoh.

b) Kerapatan Relatif

% 100 x n ni KR

Σ = Keterangan:

KR = kerapatan relatif ,

Ki = kerapatan spesies ke-i, dan

Σn = kerapatan seluruh spesies. c) Frekuensi

K Ji Fi= Keterangan:

Fi = frekuensi spesies ke-i,

Ji = jumlah petak ditemukannya spesies ke-i, dan K = jumlah seluruh petak contoh.


(41)

% 100 x F Fi FR Σ = Keterangan

FR = frekuensi relatif, Fi = frekuensi spesies i, dan

∑F = jumlah frekuensi seluruh spesies. e) Dominansi C Ai Di Σ = Keterangan:

Di = dominansi spesies ke-i

Ai = jumlah luas bidang dasar spesies ke-i, dan A = luas petak contoh.

f) Dominansi Relatif

% 100 x C Ci DR Σ = Keterangan:

DR = dominansi relatif ke-i , Ci = dominansi spesies ke-i, dan

∑C = dominansi seluruh spesies. g) Indeks Nilai Penting (INP)

DR FR KR

INP= + +

Keanekaragaman Jenis. Keanekaragaman jenis pohon dihitung menggunakan persamaan indeks keanekaragaman Shannon-wiener (H’) (Odum 1993), sebagai berikut:

H’ = Σ[pi.logpi] Keterangan:

pi = proporsi nilai penting tiap spesies dalam petak contoh.

Semakin tinggi nilai keanekaragaman, maka semakin tinggi nilai indeks Shannon-wiener (H’). Untuk Indonesia, nilai indeks keanekaragaman 3,5 keatas dapat dikatakan tinggi (Soerianegara 1996).


(42)

Estimasi Populasi

Penghitungan kepadatan populasi berdasarkan luas per lokasi dan mempertimbangkan ketinggian kelompok ungko ditemukan, yang telah dimodifikasi dari O’Brien et al. (2004), sebagai berikut:

Ai = Φ . π . ri2

DGi = mi. (Φi . π . ri2)-1 DG = ∑ (Lix DGi) P = DG . I

Keterangan:

P = kepadatan populasi ungko TNBG,

DGi = kepadatan kelompok ungko pada 600-900 m dpl lokasi ke-i (kelompok/km2),

DG = kepadatan kelompok ungko pada 600-900 m dpl (kelompok/km2), mi = jumlah kelompok ungko diidentifikasi pada lokasi ke-i,

Ai = rerata luas area pengamatan ke-i

Li = luas total habitat di ketinggian 600-900 m dpl setiap lokasi ke-i (km2),

θi = proporsi area lokasi ke-I,

π = phi (3,14),

ri = jarak suara yang dapat didengar baik pada lokasi ke-i (km), dan I = rata-rata ukuran kelompok (individu/kelompok).

Penghitungan populasi berdasarkan luas total TN Batang gadis, sebagai berikut:

P = (Ltotal x Di)

Keterangan:

P = kepadatan populasi ungko TN Batang Gadis Ltotal = luas total TN Batang Gadis (km2)

Di = kepadatan individu (individu/km2)

Ukuran Kelompok

Perhitungan ukuran kelompok sebagai berikut:

=

R Ntot

UKi

Keterangan:

UKi = ukuran kelompok ungko lokasi ke-i (individu/kelompok),


(43)

R = jumlah total kelompok yang diidentifikasi (kelompok) Analisis Sistem Informasi Geografi

Penelitian ini menggunakan citra citra Landsat 7 kawasan hutan TN Batang Gadis sebagai dasar pengolahan informasi geografi. Untuk mendapatkan kondisi tutupan lahan, dilakukan klasifikasi hutan. Klasifikasi hutan tersebut didasarkan pada pola warna kelas/tipe lahan yang ditentukan. Langkah-langkahnya sebegai berikut: 1) lakukan pennyesuaian band (Band Combination) untuk lanskap hutan yakni band 4: 5: 2, pada perangkat lunak ERDAS 8.5. 2) Setelah mendapatkan pola warna untuk lanskap, dilakukan klasifikasi citra TN Batang Gadis menurut pola warna kelas dengan menggunakan teknik klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification).

Citra kawasan hutan TN Batang Gadis diklasifikasi sebanyak 10 kelas, yaitu hutan primer, hutan bekas ladang, hutan bekas tebangan, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka, pemukiman penduduk, awan, bayangan dan sumber air. Sampel setiap kelas telah diketahui letak dan posisinya berdasarkan hasil survei awal 2005, informasi dari pemandu dan peta tutupan lahan tahun 2001. Tiap kelas dibedakan menurut warna yang mewakilinya, seperti hijau tua untuk hutan primer, hijau muda hutan bekas tebangan, hijau terang untuk hutan bekas ladang, biru untuk sumber air, kuning untuk pemukiman, putih untuk awan, hitam untuk bayangan.

Selanjutnya setelah warna setiap kelas terbentuk, dilakukan proses digitasi per kelas dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Informasi spasial titik sebaran pohon sumber pakan dan tempat tidur serta sebaran kelompok ungko ditambahkan pada image hasil klasifikasi. Hasil pengolahan spasial tadi disajikan dalam bentuk peta tutupan lahan (landcover) dan dianalisis secara deskriptif .

Analisis Aspek Konservasi

Analisis aspek konservasi dibatasi pada persepsi masyarakat terhadap keberadaan ungko, upaya konservasi dan perlindungan habitatnya. Terutama pada


(44)

masyarakat yang terlibat langsung dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan di dalam dan sekitar TN Batang Gadis.

Untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan konservasi ungko dan habitatnya dilakukan wawancara langsung pada Masyarakat Desa Aek Nangali (Dusun Batu Nabontar, Pasar dan Malaka). Data hasil wawancara disajikan dalam bentuk diagram dan dianalisis secara deskriftif.


(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di sekitar Tor Sanduduk yang secara administratif termasuk wilayah Desa Aek Nangali, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Jarak dari Desa Aek Nangali ke lokasi penelitian sekitar 10 km dan untuk mencapainya ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam melalui jalan Desa Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo. Kondisi topografi lokasi penelitian berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 600-1.238 m dpl dan Tor Sanduduk adalah puncak tertinggi.

Kawasan hutan di Desa Aek Nangali termasuk hutan hujan tropis dataran rendah yang didominasi vegetasi dari famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Lauraceae dan Dipterocarpaceae (Bangun 2007). Kawasan ini merupakan daerah vulkanis dengan jenis tanah yang rawan erosi dan longsor, serta termasuk kawasan dengan curah hujan bertipe A yang menandakan bahwa kawasan ini memiliki intensitas hujan per tahunnya adalah tinggi (Departemen Kehutanan 2004).

Lokasi yang menjadi fokus penelitian meliputi hutan bekas ladang (HBL), hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP). Hutan bekas ladang (post-cultivated forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk akibat kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh manusia di masa lalu. Lokasi penelitian hutan bekas ladang berada disekitar jalan Desa Aek Nabara/Guo-Aek Nangali pada koordinat 00037’56,6’’ lintang utara dan 99026’36,9’’ bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar 612-955 m dpl. Masyarakat sekitar mengenal kawasan ini dengan sebutan Bapen, yang merupakan sebuah persatuan penduduk lokal yang membuka ladang di masa lalu (Bitra Konsorsium Indonesia 2005).

Masyarakat Aek Nangali telah melakukan perladangan sejak jaman pemerintah kolonial Belanda (Bitra Konsorsium Indonesia 2005) dan pada survei pendahuluan tahun 2005, aktifitas ladang berpindah masih dijumpai. Terdapat empat puluh kepala keluarga (40 KK) yang membuka ladang ke arah Desa Aek Nabara (Bitra Konsorsium Indonesia 2005). Namun, saat ini sebagian kawasan tersebut telah ditanami tanaman kebun dan sebagian lagi dibiarkan tidak dirawat ditumbuhi vegetasi tingkat semai hingga tingkat tiang. Bitra Konsorsium Indonesia (2005)


(46)

menyebutkan bahwa masyarakat setempat akan beralih dari tanaman ladang ke perkebunan, apabila ladangnya tidak memberikan hasil yang bagus.

Hutan bekas ladang (logged-over forest) adalah hutan sekunder yang terbentuk karena sebab-sebab antropogenik (kegiatan manusia), berupa pembalakan (Soerianegara 1996). Lokasi penelitian hutan bekas tebangan berada pada koordinat 00037’30’’ lintang utara dan 99026’23’’ bujur timur. Ketinggian lokasi penelitian ini berkisar 710-903 m dpl. Masyarakat lokal mengenal lokasi ini dengan sebutan camp rangkuti atau rangkuti, yaitu nama pemondokan kayu yang dibangun oleh marga rangkuti sebagai tempat istirahat bagi penebang kayu.

Berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa pembalakan kayu ilegal dilakukan oleh masyarakat Aek Nangali dan perusahaan perkayuan. Pembalakan kayu ilegal dalam skala besar marak sebelum Agustus 2004 dan kegiatan pembalakan kayu ilegal ini dipermudah dengan dibukanya jalan dari Desa Aek Nangali ke Aek Nabara. Adapun, jenis kayu yang paling diincar oleh penduduk adalah jenis bania (Hopea ssp.) yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Bitra Konsorsium Indonesia 2005).

Secara umum, hutan alam yang terdapat di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu blok yang ada di sebelah barat dan blok yang ada di sebelah timur jalan Aek Nangali-Aek Guo/Aek Nabara. Blok hutan di sebelah barat jalan, berukuran relatif kecil dan telah sedikit terisolasi dibanding blok hutan di sebelah timur jalan yang masih cukup luas dan bersambung dengan kawasan hutan di Gunung Sorik Marapi. Blok hutan di sebelah barat jalan sebagian besar merupakan kawasan bekas HPH PT. GRUTI. Antara hutan alam di kedua blok dan perkampungan di sekitarnya terdapat hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran dan persawahan. Sisa-sisa aktifitas penebangan kayu masih dapat ditemukan di sisi jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, seperti batang utuh (gelondongan). Berdasarkan hasil survei pendahuluan, sedikitnya terdapat enam titik lokasi pengolahan batang utuh menjadi balok-balok persegi disekitar daerah ini (Gambar 12).

Hutan primer dapat didefinisikan sebagai hutan yang minim sekali atau belum mengalami gangguan manusia. Hutan primer mudah dibedakan dengan tipe hutan lainnya melalui ukuran diameter batang yang besar dan tinggi, serta memiliki tajuk


(47)

yang rapat berasal dari bermacam-macam spesies pohon dan kelas umur vegetasi. Lokasi penelitian hutan primer berada di sekitar Batang Bangko pada koordinat 0037’23,7” lintang utara dan 99026’39,91’’ bujur timur. Ketinggian lokasi hutan primer antara 612-758 m dpl dan berbatasan langsung dengan Sungai Batang Bangko dan Aek Batang Manemek. Secara umum, kondisi topografi lokasi bervariasi mulai dari datar hingga bergelombang dengan derajat kemiringan antara 30 hingga lebih dari 450, dengan lembah yang dalam. Akibat kemiringan yang terjal dan tingginya intensitas hujan menyebabkan penelitian di hutan primer lebih sulit. Hutan penelitian disajikan pada Gambar 12.

B A

C

Gambar 12 Tipe hutan di lokasi penelitian: hutan primer (A), hutan bekas ladang (B) dan hutan bekas tebangan (C).

Ketinggian pohon di hutan primer dapat mencapai 45 m (Gambar 12). Berdasarkan penelitian gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Conservation International Indonesia (CII) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, diperoleh di hutan dataran rendah (ketinggian 600-700 m dpl) di daerah Desa Aek Nangali, pada petak ukuran 200 m2 terdapat 222 jenis tumbuhan yang meliputi pohon, tumbuhan pemanjat, epifit semak dan herba, yaitu sekitar 90% terdiri atas hutan primer (Departemen Kehutanan 2004).

Pada petak satu hektar, jumlah pohon dengan diameter setinggi dada (≥10 cm) terdapat pohon dengan kerapatan 583 batang per hektar: 120 pohon (20,6%) adalah


(48)

famili Dipterocarpaceae (meranti-merantian), seperti Hopea spp (cengal), Dipterocarpus spp dan Shorea platyclados (bania) yang ditemukan pada ketinggian 1.200 m dpl dengan diameter pohon dapat mencapai 1,6 m (Departemen Kehutanan 2004).

Habitat Ungko

Pada penelitian ini, analisis vegetasi lebih difokuskan pada vegetasi tingkat pohon (dbh ≥10 cm). Hal ini didasarkan bahwa ungko adalah satwa primata arboreal yang banyak menggunakan ruang geraknya di atas pepohonan. Beragam aktifitas harian, mulai dari bangun tidur, vokalisasi, mencari makan, menjelajah, istirahat hingga kembali ke pohon tidur dilakukan di atas pohon. Ungko jarang sekali turun ke dasar hutan. Perbedaan kondisi struktur dan komposisi dapat mempengaruhi ungko dalam pemanfaatan pohon sebagai tempat aktifitas harianya. Dengan demikian, keberadaan pohon memiliki peran penting dalam kehidupan satwa primata arboreal seperti ungko.

Kerapatan dan Keragaman Jenis

Berdasarkan hasil identifikasi dalam luas areal 0,24 ha, diperoleh jumlah pohon pada HBL, HBT dan HP secara berturut-turut adalah 40, 30 dan 21 jenis. Selanjutnya, kerapatan pohon di HBL sebanyak 470,8 pohon/ha, HBT sebanyak 337,5 pohon/ha dan HP sebanyak 483,3 pohon/ha. Kerapatan ini lebih tinggi dari hasil laporan Bangun (2007) yang menyebutkan bahwa kerapatan pohon di hutan primer sekitar 295 pohon/ha dengan jumlah pohon 31 jenis, sedangkan kerapatan pohon di hutan bekas tebangan diperoleh sekitar 220 pohon/ha dengan jumlah pohon adalah 24 jenis.

Tabel 2 Analisis vegetasi tingkat pohon pada habitat ungko

JJ K D F H’

Lokasi

Penelitian (indv) (pohon/ha) (JBD/ha) (jmlh plot /total plot) (indeks)

HBL 40,0 470,8 77,0 12,2 3,2

HBT 30,0 337,5 190,3 8,5 3,1

HP 21,0 483,3 59,3 8,7 2,7

JJ: jumlah jenis, K: kerapatan, D: dominansi, F: frekuensi, H’: indeks keragaman jenis Shannon-Wiener, indv: individu, ha: hektar, JBD: jumlah bidang dasar, Jmlh: jumlah.


(49)

Tabel 2 memperlihatkan bahwa kerapatan pohon tertinggi adalah di kawasan HP, diikuti HBL dan HBT. Penyebab utama perbedaan kerapatan pohon antara kawasan HP dengan HBT dan HBL adalah pembalakan pohon di hutan Aek Nangali yang terjadi dimasa lalu. Kerapatan pohon yang tinggi di kawasan HP, terutama karena pohon di kawasan ini sulit dijangkau oleh manusia. Kawasan ini berada jauh dari jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo, sekitar 2 km dan akses untuk mencapai lokasi ini lebih sulit dibandingkan lokasi lainnya sehingga gangguan manusia pada HP lebih rendah. Berbeda dengan kawasan HBL dan HBT yang mudah dijangkau manusia karena berada disekitar dengan jalan Aek Nangali-Aek Nabara/Aek Guo sehingga cenderung memiliki kerapatan pohon yang lebih rendah. HBL dan HBT adalah kawasan hutan yang telah terfragmentasi akibat penebangan pohon dan alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian. Penebangan kayu ilegal yang terjadi di masa lampau turut menyebabkan kerapatan vegetasi di HBT dan HBL menjadi rendah.

Indeks keragaman jenis pada HBL, HBT dan HP berturut-turut adalah 3,2, 3,2 dan 2,7. Keragaman jenis ini dapat dikatakan cukup tinggi yang ditandai dengan jumlah pohon dalam petak berukuran 400 m2 berkisar 21-40 jenis. Keragaman jenis tinggi pada HBL dan HBT dimungkinkan terjadi karena penebangan kayu pada HBT bersifat tidak tebang habis dan hanya memilih jenis-jenis kayu bernilai ekonomi yang tinggi, seperti jenis bania (Hopea spp.) ataupun meranti (Shorea spp.). Dengan masih menyisakan pohon, pertumbuhan pohon pada titik-titik penebangan masih dapat ditutupi oleh pohon lama yang berada di sekitarnya dan perkembangan suksesi tumbuhan pada hutan bekas tebangan kelak akan seperti hutan primernya (Soerianegara 1996).

Selanjutnya, tingginya keanekaragaman jenis pohon di hutan terganggu juga disebabkan adanya pertumbuhan jenis baru yang mendominasi pada titik/lokasi penebangan dan perladangan. Jenis baru yang dimaksud adalah jenis pohon yang tumbuh setelah hutan primer dibuka. Jenis pohon ini membutuhkan paparan sinar matahari yang cukup untuk dapat tumbuh. Di hutan primer, jenis ini sulit tumbuh akibat rapatnya tajuk menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lantai hutan. Umumnya, pertumbuhan jenis ini sifatnya cepat, batang utama kurus dan tinggi, dan percabangannya kecil rapat. Contoh beberapa jenis yang hanya ditemukan di lokasi


(50)

hutan terganggu adalah marambong (Geunsia farinosa Blume), andaurung (Grewia acuminate Juss), dan gumbot (Ficus padana.).

Berdasarkan hasil pengamatan pada kedua hutan terganggu tersebut diperoleh bahwa HBL dan HBT memiliki jenis pohon yang tidak dijumpai di HP sekitar 60,3% (38 jenis) dari total 63 jenis yang ditemukan. Selanjutnya, persentase kesamaan pohon antara HBL dengan HP lebih kecil, yaitu sekitar 4,3% (8 jenis), sedangkan persentase kesamaan pohon antara HBT dengan HP, yaitu sekitar 19% (12 jenis). Angka persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa antara hutan bekas tebangan dan hutan primer memiliki kesamaan vegetasi tingkat pohon sekitar 40% (Bangun 2007). Beberapa pohon yang sama pada ketiga lokasi penelitian antara lain medang (Litsea sp) ndolok (Ixora sp), meranti (Shorea sp), oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), darah-darah (Myristica iners Blume) dan kemenyan (Syrax benzoin Dryand).

Berdasarkan hasil pengamatan pada petak ukuran 20x40 m tiap lokasi ditemukan sebanyak 85 pohon dan secara horizontal, setiap lokasi memiliki perbedaan struktur pohon. Pada HBL, pohon stratum C dan B mendominasi kawasan ini, masing-masing sebesar 56 dan 28%. Pada HBT, pohon stratum B dan C mendominasi kawasan, masing-masing sebesar 38,6% (10 jenis) dan 57,6% (15 jenis), sedangkan stratum A hanya sebesar 3,8% (1 jenis). Hasil berbeda ditunjukkan pada HP bahwa kawasan ini memiliki pohon dengan beragam ukuran ketinggian yang lengkap: pohon stratum B mendominasi kawasan ini sebesar 62,8% (22 jenis), pohon stratum A sebesar 28,5% (10 jenis) dan stratum C sebesar 5,7% (2 jenis).

Apabila melihat besarnya dominasi pohon stratum B dan C tiap lokasi, maka dapat dikatakan bahwa pergerakan dan aktifitas ungko akan lebih banyak dilakukan di kedua stratum tersebut, meskipun di HP pohon stratum A juga digunakan sebagai ruang aktifitas bagi ungko. Di HP, famili paling tinggi berasal dari Dipterocarpaceae, yaitu meranti (Shorea sp.). Perbedaan struktur dan komposisi setiap lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13 berikut ini (perbandingan 1:667).


(51)

HP

Gambar 13 Profil habitat ungko dalam petak 20x40 m2.

HBL HBT

Stratum D Stratum A

Stratum B

Stratum C


(52)

Indeks Nilai Penting (INP)

Bangun (2007) menyebutkan bahwa hutan primer di TN Batang Gadis didominasi jenis mollatus sp, Craton laevifolius Blume dan Geunsia farinosa Blume, dengan INP berturut-turut 49,5, 23,9, dan 19,9%. Selanjutnya, pada hutan terganggu didominasi Litsea elliptica Blume Boerl, Geunsia farinosa Blume dan Ixora sp, dengan INP berturut-turut 35,9, 26,7, dan 22,6%.

Indeks nilai penting pohon pada lokasi penelitian HBL, HBT dan HP disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai INP tertinggi jenis vegetasi tingkat pohon yang mendominasi di kawasan hutan TN Batang Gadis

Krptn

Jenis Per ha DR FR KR INP Tinggi Pohon HBL

Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth 25,00 3,73 5,48 5,31 14,52 18,33

41,67 16,65

Medang (Litsea sp) 48,08 5,48 8,85 62,41

25,00 20,50

Meranti (Shorea sp) 3,47 6,85 5,31 15,63

37,50 19,00

Moyan (belum teridentifikasi) 5,35 5,48 7,96 18,79

37,50 14,30

Ndolok (Ixora sp) 2,11 5,48 7,96 15,55

29,17 21,28

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 5,20 4,11 6,19 15,50

45,83 12,95

Torop (Artocarpus sp) 5,29 2,74 9,73 17,76

HBT

Marambong (Geunsia farinose Blume) 29,17 7,04 5,88 8,64 21,56 16,10

25,00 23,66

Medang (Litsea sp) 7,92 7,84 7,41 23,17

20,83 23,20

Meranti (Shorea sp) 6,56 7,84 6,17 20,58

79,17

Ndolok (Ixora sp) 22,56 9,80 23,46 55,82 24,21

20,83 25,28

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl 6,38 7,84 6,17 20,40

8,33 23,50

Ronggas (belum teridentifikasi) 2,72 3,92 2,47 9,11

8,33 35,50

Sengal (Shorea sp) 6,57 3,92 2,47 12,96

HP

Langsat hutan (Craton laevifolius Blume) 20,83 7,28 7,69 4,31 19,28 24,20

20,83 18,40

Mayang (Litsea oppositifolia (Blume) Korth) 2,95 7,69 4,31 14,96

66,67 21,69

Medang (Litsea sp) 9,74 11,54 13,79 35,07

45,83 19,63

Meranti (Shorea sp) 7,99 9,62 9,48 27,09

137,50 20,60

Ndolok (Ixora sp) 13,32 11,54 28,45 53,30

41,67 15,64

Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl) 7,43 7,69 8,62 23,74

37,50 19,22

Sengal (Shorea sp) 12,48 3,85 7,76 24,09

DR: dominansi relatif, FR: frekuensi relatif, KR: kerapatan relatif, INP: indeks nilai penting, Krptn: kerapatan,

Berdasarkan Tabel 3, jenis pohon yang mendominasi pada ketiga lokasi berasal dari jenis pohon medang (Litsea sp.), sengal (Litsea sp.), meranti (Shorea sp.), Oteng (Litsea elliptica (Blume) Boerl), marambong (Geunsia farinosa Blume) dan ndolok (Ixora sp.). Besarnya dominasi dan kerapatan pohon tersebut dibandingkan dengan


(1)

Lembar Pertanyaan Quisioner

Aspek Sosial Ekonomi Desa Aek Nangali

(

Hylobates agillis

) di Taman Nasional Batang Gadis,

Mandailing Natal, Sumatera Utara

No. Lembar Pertanyaan : Nama Dusun :

A. Identitas Responden

1, Nama :

2, Jenis Kelamin :

1) Perempuan 2) Laki-laki

3, Agama : 1) Islam

2) Kristen Khatolik 3) Kristen Protestan 4) Hindu

5) Budha

6) Agama Lain, sebutkan

4, Marga :

1) Nasution 6) Dalimunte 2) Lubis 7) Batubara 3) Pulungan 8) Tanjung

4) Rangkuti 9) Marga lain, sebutkan ………

5) Matondang 10) Bukan Mandailing/Batak, sebutkan nama Suku …,,

5, Usia :

1) 16 – 20 tahun 4) 31– 40 tahun 7) 51– 55 tahun 2) 21– 25 tahun 5) 41– 45 tahun 8) 55 – 65 tahun 3) 26 – 30 tahun 6) 46 – 50 tahun 9) Lebih dari 65 tahun

6, Pendidikan :

1) Tidak sekolah/tidak tamat SD 4) Tamat SMP/sederajat Diploma/D III 2) Tamat SD/sederajat 5) Tidak tamat SMA/sederajat Sarjana S1 3) Tidak tamat SMP/sederajat 6) Tamat SMA/sederajat S2 atau S3

7, Apakah lahir di desa ini ?


(2)

2) Antara 2 – 5 tahun 4) Antara 11 – 20 tahun 6) Tidak tahu

8, Pekerjaan?

a, Pekerjaan Utama/Paling diandalkan b, Pekerjaan tambahan/sampingan

(Pilih satu saja yang paling diandalkan) (Boleh lebih dari satu)

1) Bertani sawah (Milik sendiri)/(Buruh Tani) 1) Bertani sawah

2) Berkebun/tanaman keras/palawija 2) Berkebun/tanaman keras/palawija 3) Pegawai Negeri 3) Pegawai Negeri

4) Pegawai swasta 4) Pegawai swasta

5) Pedagang, sebutkan ……,, 5) Pedagang, sebutkan ……,,

6) Pelajar 6) Pelajar

7) Ibu Rumah tangga 7) Ibu Rumah tangga

8) Lainnya, sebutkan ………,, 8) Lainnya, sebutkan ………,,

9) Tidak bekerja/Tidak ada pekerjaan utama 9) Tidak ada pekerjaan sampingan/tambahan

9, Penghasilan per bulan? 1) Dibawah 500,000 2) 500,000 – 750,000 3) Diatas 750,000

4) Lainnya, sebutkan …………,

10, Jumlah anggota keluarga ?

1) Dibawah 4 anggota keluarga 3) 5 – 7 anggota keluarga

2) 4 – 5 anggota keluarga 4) Lainnya, sebutkan ………

11, Status kepemilikan

Kepemilikan Milik Sendiri Sewa Kondisi

Rumah Sawah Kendaraan roda empat/ mobil, dll

Kendaraan roda dua/ motor, dll

Televisi Radio Lainnya, sebutkan ………

B. Karakteristik Lokasi

12, Apakah Anda memiliki lahan sendiri, kalau ada berapa luas?

1) Kurang dari 1 ha 2) Lebih dari 1 ha 3) Tidak ada 4) Lainnya, sebutkan ……


(3)

1) Karet 2) Kelapa sawit 3) Padi 4) Coklat 5) Lainnya, sebutkan …………

14, Berapa lama waktu tempuh ke lahan tersebut?

1) 1 jam 2) 2 jam 3) 3 jam 4) 4 jam 5) Lebih dari 4 jam 6) Lainnya, sebutkan ……

C. Pengamanan Habitat Ungko

15, Apa saudara sering pergi ke hutan?

1) Ya 2) Tidak 3) Sekali – sekali 4) Sering 5) Lainnya, sebutkan …,…,

16, Jika Ya, biasanya anda melakukannya dengan siapa?

1) Sendiri 2) Kawan – kawan 3) Keluarga 4) Lainnya, sebutkan …………,

17, Jika Ya, berapa sering/kali dalam per bulan?

1) Kurang dari 5 kali 2) 5 kali 3) 10 kali 4) 15 kali 5) Lainnya, sebutkan ………,

18, Berapa jarak yang ditempuh bila anda masuk hutan?

1) 1 km 2) 2 km 3) 3 km 4) 4 km 5) Lainnya, sebutkan ………,

19, Berapa lama anda biasanya berada di hutan?

1) 1 jam 2) 2 jam 3) 3 jam 4) 4 jam 5) Lebih dari 4 jam 6) lainnya sebutkan ,,,,

20, Apa tujuan saudara pergi ke hutan?

1) Mengambil kayu 3) Mengambil hasil hutan 2) Mengambil rotan 4) Lainnya, sebutkan ……,,

21, Apakah anda sering berburu di hutan? 1)Ya 2) Tidak

22, Jika Ya, binatang apa saja yang anda buru?

1) Kera/Ungko 2) Babi hutan 3) Rusa 4) Ular 5) Lainnya, sebutkan …………,

23, Bagaimana cara anda memburu binatang tesebut?

1) Ditembak 2) Dijerat 3) Dijaring 4) Dipanah 5) Lainnya, sebutkan …………,

24, Dipergunakan untuk apa hewan buruan tersebut?

1) Dimakan 2) Dijual 3) Souvenir 4) Obat 5) Lainnya, sebutkan …………,,

25, Binatang apa yang paling disukai untuk dimakan?

1) Kera/Ungko 2) Babi hutan 3) Rusa 4) Ular 5) Lainnya, sebutkan …………

26, Apakah binatang hutan mengganggu tanaman anda? 1) Ya 2) Tidak

27, Jika Ya, binatang apa dan tanaman apa yang dirusak?


(4)

2) Binatang ………, Tanaman ……… 3) Binatang ………, Tanaman ……… 4) Binatang ………, Tanaman ……… 5) Binatang ………, Tanaman ………

28, Apakah penduduk desa ini sering menebang kayu? 1) Ya 2) Tidak

29, Jika Ya, menggunakan apa?

1) Kapak 2) Chainsaw 3) Lainnya, sebutkan ………,,

30, Dipergunakan untuk apa kayu tersebut?

1) Dijual 2) Digunakan sendiri 3) Lainnya, sebutkan ………

D, Pengamanan Hewan Ungko

31, Apakah anda bisa menyebutkan hewan apa saja yang terdapat dihutan desa anda?

2) Tidak ditangkap Nama Hewan 1) Ditangkap karena :

Jual Makan Pelihara Hama

a, ………, b, ………, c, ………,

d, ………, e, ………, f, ………,

32, Apakah anda sering melihat kera/ungko? 1) Ya 2) Tidak

33, Jika Ya, Dimana anda melihatnya?

1) di dalam hutan 2) di pinggir hutan 3) di luar hutan 4) Lainnya, sebutkan ……,,

34, Pada musim apa anda biasanya melihat Ungko?

1) musim panas 2) musim hujan 3) Lainnya, sebutkan …………,,

35, Berapa kelompok yang pernah saudara lihat?

1) 1 kelompok 3) 3 kelompok 5) Lainnya, sebutkan ………, 2) 2 kelompok 4) 4 kelompok

36, Berapa jumlah Ungko dalam setiap kelompok?


(5)

37, Berapa jumlah jantan dalam 1 kelompok?

1) 1 jantan 2) 2 jantan 3) 3 jantan 4) 4 jantan 5) Lainnya, sebutkan ………,

38, Berapa jumlah betina dalam 1 kelompok?

1) 1 betina 2) 2 betina 3) 3 betina 4) 4 betina 5) Lainnya, sebutkan …………

39, Apakah anda mengetahui umur kera/ungko? 1) Ya 2) Tidak

40, Apakah Ungko di desa anda sering diburu?

1) Ya 2) Tidak 3) Lainnya, sebutkan ………,,

41, Jika Ya, biasanya kera tersebut diapakan?

1) dimakan 2) dijual 3) dipelihara 4) Lainnya, sebutkan ………,,

42, Biasanya dijual kemana saja kera/ungko tersebut?

1) dipasar 2) pesanan orang 3) lainnya sebutkan …………

43, Berapa harga jual kera/ungko tersebut?

1) 25 ribu 2) 50 ribu 3) 100 ribu 4) lainnya, sebutkan ……,,

44, Apakah anda atau warga desa anda pernah mendengar atau menjumpai Ungko di sekitar kawasan desa ini?

1) Ya, pernah 2) Tidak pernah 3)Tidak tahu

45, Apakah anda tahu bahwa Ungko dilindungi oleh Undang-undang/peraturan pemerintah? 1) Ya, tahu 2) Tidak tahu 3) Tidak menjawab

46, Jika Tahu, dari mana anda tahu informasi/peraturan tersebut? 1) Televisi 5) Teman, tetangga kerabat, orang lain 2) Radio 6) Pemerintah

3) Surat kabar/majalah 7) LSM

4) Pelajaran Sekolah 8) Lainnya, sebutkan …………

47, Apakah anda tahu bahwa Ungko dilarang untuk ditangkap, dibunuh, dijual? 1) Ya, tahu 2) Tidak tahu 3) Tidak menjawab

48, Lembaga/instansi mana menurut anda yang perlu melakukan penyuluhan tentang koservasi Ungko: 1) BKSDA 2) PEMDA setempat 3) LSM 4) Lainnya, sebutkan ,,,,,,,,,,,,,,,,

49, Apakah kelompok ungko tersebut sering merusak tanaman 1) Ya 2) Tidak 3) lainnya, sebutkan ……,,

50, Jika Ya, tanaman apa yang sering dirusak …………

51, Apakah saudara suka terhadap ungko?


(6)

53, Apakah saudara pernah melihat ungko yang sakit?

54, Kalau saudara tahu, penyakitnya apa?

55, Bagaimana gejalanya?

56, Apakah saudara tahu pakan ungko yang dipelihar masyarakat?

57, Apakah pakan yang diberikan sama dengan yang dimakan ungko tersebut?

E, Hubungan Sosial Budaya

58, Apakah ada hewan tertentu di hutan yang oleh warga desa anda dilarang untuk diburu atau ditangkap? 1) Ya, ada larangan 2) Tidak ada larangan 3) Tidak tahu Sebutkan hewan apa saja dan alasannya :

a, ……… alasan ………,, b, ……… alasan ………,, c, ……… alasan ………,,

59, Apakah di desa anda sering mengadakan acara adat/ritual keagamaan? 1) Ya 2) Tidak 3) Lainnya, sebutkan ………

60, Jika Ya, apakah dalam acara tersebut menggunakan sesajen / korban berupa hewan? 1) Ya 2) Tidak 3) Lainnya, sebutkan ………,,

61, Apakah warga desa ini menggunakan Ungko sebagai hewan sesajen dalam acara ritual keagamaan? 1) Ya 2) Tidak 3) Lainnya, sebutkan …………,,

62, Hewan apa saja yang biasanya digunakan pada acara tersebut?