Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah

(1)

SUMBERDAYA TAMAN NASIONAL

SEBANGAU-KALIMANTAN TENGAH

EDI SULISTYO HERI SUSETYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis

Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Edi Sulistyo Heri Susetyo E 361100031


(4)

(5)

EDI SULISTYO HERI SUSETYO. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau -Kalimantan Tengah.Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, ARIF SATRIA and ACENG HIDAYAT.

Masalah yang dihadapi dalam mengelola taman nasional di Indonesia adalah terlalu mahalnya biaya untuk mengeluarkan atau membatasi orang yang mengambil manfaat sumberdaya taman nasional, termasuk menjaga batas taman nasional agar tidak dimasuki orang. Dalam situasi seperti ini dapat dikatakan

bahwa sumberdaya taman nasional bersifatopen accesdan karenanya banyak para

penunggang gratis (free riders). Sumberdaya taman nasional tergolong common

pool resources (CPRs), yaitu tipe sumberdaya yang bersifat substraktif tinggi (highsubstractable) dan bersaing (rivalry) dalam memanfaatkannya karena tersedia secara terbatas. Akibatnya, pemanfaatan unit sumberdaya taman nasional oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain. Lebih daripada itu, jika dimanfaatkan secara berlebih akan menimbulkan eksternalitas negatif dan kerusakan pada sistem sumberdaya itu sendiri sehingga terjadi apa yang disebut

dengan tragedy of the common. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap

kelembagaan informal dalam memperkuat kelembagaan formal untuk mencapai tujuan pengelolaan TNS. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan tujuan antara sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (2) mengidentifikasi dan menganalisis interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (3) mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan-kelemahan kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumbedaya TNS; (4) mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan informal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; dan (5) merumuskan strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS.

Hasil analisis kelembagaan formal menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja pemanfaatan TNS.Pertama, TNS belum menyiapkan prasyarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara berkelanjutan, yaitu sistem zonasi. Hal ini mengakibatkan: (1) Balai TNS (BTNS) tidak dapat mengembangkan pemanfaatan jasa wisata secara intensif dan menyeluruh, (2) tidak ada wilayah (zona) bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara tradisional. Belum adanya sistem zonasi merupakan masalah umum taman nasional di Indonesia. Sampai tahun 2011, baru 62% taman nasional yang telah memiliki sistem zonasi dan telah ditetapkan oleh Pemerintah. Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) tidak sejalan dengan peraturan di atasnya yaitu PP 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP 8/1999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan SK 447/2003, pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang. Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNS dengan masyarakat setempat dan telah berakibat pada rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat perbedaan penafsiran


(6)

memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas walaupun mereka tidak memiliki ijin sementara masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena pengambilannya dilakukan dengan cara menebang pohonnya.

Saat ini, aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan formal, yaitu BTNS dan WWF.Para aktor ini memanfaatkan jasa ekosistem berupa wisata dan karbon.Kedua, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan informal, yaitu masyarakat setempat yang terdiri atas para penangkap ikan (nelayan), para pengambil getah jelutung, dan para pengambil kulit gemor.Masyarakat setempat memiliki aturan (kelembagaan) informal dalam

memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kelembagaan adat

Kedamangan.Berdasarkan kelembagaan adat Kedamangan, para nelayan mempunyai peranan penting dalam pola interaksi antar anggota masyarakat setempat.Para nelayan merupakan penguasa sungai yang mendapatkan legitimasi dari adat Kedamangan, serta diakui dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat adat Kedamangan sehingga kelembagaan adat Kedamangan merupakan kelembagaan yang kuat.

Melalui PP No. 28/2011, Pemerintah memberikan hak kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisonal taman nasional, sekaligus dalam rangka memberdayakannya. Hak untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisional taman nasional ini tidak terbatas pada hak akses dan mengambil sumberdaya berupa HHBK dan perburuan tradisional saja tetapi juga hak mengelola dalam bentuk budidaya tradisional dan hak untuk mengeluarkan yang lain (eksklusi). Dengan demikian, tingkatan kepemilikan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat tradisional setempat adalah “Proprietor” karena mencakup empat strata hak, yaitu hak akses, hak mengambil, hak mengelola, dan hak mengeluarkan yang lain. Pemberian hak (kewenangan) di zona tradisional taman nasional dari Pemerintah kepada masyarakat ini dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya taman nasional dalam upaya memecahkan masalah konflik dengan masyarakat setempat di TNS serta tingginya biaya eksklusi adalah melakukan integrasi kelembagaan formal dan informal khususnya di zona tradisional. Pemberian hak dari pemerintah kepada masyarakat setempat untuk mengelola zona tradisional dengan aturan pengelolaannya mengikuti aturan

(kelembagaan) informal adat Kedamangan dan secara teknis dilakukan

berdasarkan pengetahuan (ekologi) tradisional masyarakat setempat dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi.Implikasinya adalah bahwa BTNS harus segera menyusun dan menetapkan sistem zonasi TNS termasuk di

dalamnya zona tradisional yang akan didesentralisasikan kewenangan

pengelolaannya kepada masyarakat setempat, melakukan revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/2003, dan perlunya kesamaan tafsiran atas istilah HHBK dan TSL serta pemanfaatannya.


(7)

EDI SULISTYO HERI SUSETYO. Institutional Analysis of the Management of Resource Utilization at Sebangau National Park - Central Kalimantan. Supervised by SAMBAS BASUNI, ARIF SATRIA and ACENG HIDAYAT.

One of the problems in the management of Indonesiannational park management is the difficulty in limiting parties who potentially utilize benefits from the park. Protecting the national park from the people to access the area is almost impossible and relatively costly. This is because, in Indonesia, national park can be considered as a common pool resource facing free riders and overuse problems, leading to resource degradation. This study was conducted to reveal bothinformal and formal institutions in the utilization of national park resources. The specific objectives of the research are: (1) identifying and analyzing actors involved in the utilization of national park resources; (2) identifying and analyzing interactions between actors in the utilization of national park resources; (3) identifying and analyzing the strengthsof formal institutional in the utilization of national park; (4) identifying and analyzing informal institutions in the utilization of national park; and (5) formulating strategies to strengthen institutional arrangements for the utilization of national park resources.

The analysis of formal institutions shows that there are three factors influencing the poor performance of Sebangau National Park (SNP) inutilizing its resources. First, SNP does not have a zoning system as the main requirement of national park management. However, inability toestablisha strongzoning system is a common problem faced by national park in Indonesia. Until 2011 there was only 62% of national park in Indonesia that has established a zoning system. Secondly, the Forestry Ministerial Decree No. 447/2003 on the Administration for Collecting and Trading Wildlife is not in line with higher laws. It is a source of conflict between The Office of Sebangau National Park (BTNS)and local communities; therefore the utilization of wildlife is very poor. Thirdly, overlapping definition between "Non-Timber Forest Product (NTFP)" and "Wildlife (TSL)" has led to the limitation in utilizing SNP resources.

Actors involved in the utilization of Sebangau National Park’s resources can be classified into two groups. First, a group of actors who utilize the resources of SNP based on formal institutions, namely BTNS and the World Wide Fund for Nature (WWF). The actors take advantage of ecosystem services such as tourism and forest carbon. Secondly, a group of peoplewhoutilize the resources of SNP based on informal institutional, namely the local community. The communityconsists of fishermen, jelutung sap collector groups, and gemor skin collector groups.

The local community has rules (informal institutions) in utilizing the

resources namelyKedamangan. Based on it, fishermen have an important role in

the interaction between members of the local community. They get legitimacy fromKedamanganto be the river authorities. According to indicator developed by

Ostrom (1990), Kedamanganis a customary institutionproviding legitimacy for

local community that can be categorized as a strong institution. Under Government Regulation No 28 of 2011, the provision of access to the local community to utilize SNP’s resources within traditional zone is the government’s


(8)

not only refer to the rights to enter the area, and enjoy non-subtractive benefits, but more than that, it also includes the rights to utilize subtractive resources such as NTFP, to conduct traditional cultivation, to do limited traditional hunting and to exclude others. Based on the concept of property rights suggested by Ostrom and Schlager, the term "access" in the management of SNP resources is a form of rights transferred from the central government to local user groups or local communities. Granting access to the local community in the traditional zones of SNP is a form of decentralization or devolution. The level of rights granted to the local community in the traditional zone is "proprietors" where someone could have four right namely access, withdrawal, management, and exclusion.

Integrating formal and informal institutions, especially in the traditional zone, is a strategy to strengtheninstitutional arrangement of the utilization of national park resources. This strategy cansolve both conflict with local communities and the high cost of exclusion. Granting rights to the local community to manage traditional zones of SNP usingtheir rules (Kedamangan institution) and based on traditional ecological knowledge can be seen as a form of decentralization or devolution. Thus, The Office of Sebangau National Park (BTNS) must immediately establish zoning systems including traditional zone forlocal communities, propose the revision of the Ministry of Forestry decree No. 447/2003, and make an agreement with local communities on the interpretation of the“NTFP” and “Wildlife”terms as well as the utilization of NTFPs and Wildlife. Keywords: Sebangau National Park, institutional arrangement, traditional zone,


(9)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

SUMBERDAYA TAMAN NASIONAL

SEBANGAU-KALIMANTAN TENGAH

EDI SULISTYO HERI SUSETYO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(12)

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S


(13)

Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah

Nama : Edi Sulistyo Heri Susetyo

NIM : E 361100031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua

Dr Arif Satria, SP, MSi Dr Ir Aceng Hidayat, MT

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr IrBurhanuddin Masy’ud, MS Dr IrDahrul Syah, MScAgr


(14)

(15)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya disertasi inidapat diselesaikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS; Dr. Arif Satria, SP, M.Si; dan Dr. Ir. Aceng

Hidayat MT sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dan dorongan semangat yang tiada henti kepada penulis;

2 Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S beserta staf program studi Konservasi

Biodiversitas Tropika yang telah memberikan pelayanan studi;

3 Dr. Ir. Didik Suhardjito, M.S; dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai penguji luar pada prelim lisan; Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S sebagai penguji luar pada ujian tertutup;Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr. Bambang Supriyanto, M.Sc sebagai penguji luar pada sidang terbuka;

4 Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan, dan Sekretaris Ditjen PHKA

Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar program doktor di IPB;

5 Ir. Suwartono, MM, Ir. Drasospolino, MSc, Ir. Sumantri, Ir. Adib Gunawan,

Mas Ir. Djefri Susyafrianto, MM, mBak Ir. Nining Ngudi P, MSi, Ibu Ir. Puspa D. Liman, MSc, Dr. M. Zahrul Muttaqin, dan Ibu Ir. Maryanti Hendro yang selalu memberi dukungan kepada penulis dalam melaksanakan tugas belajar;

6 Semua kolega di BTNS, BKSDA Kalteng, WWF Kalteng, Pemda Kalteng,

Pemda Katingan, Kota Palangka Raya, Formas Sebangau, tokoh adat, dan tokoh masyarakat yang telah membantu dalam pengumpulan data; teman-teman KVT dan MEJ angkatan 2010 (Arif, Sri Rahayu, Hery, Gunadi dan Ikwan) serta IPH 2010 (Yayuk, Yano, Tanti, Bejo, Retno, Maya dll);

7 Keluarga besar (Alm) Hery Soeparman(Mas Didik, mBak Anik, mBak Eni &

dik Erna);keluarga besar (Alm) Sugimin Pawirowidjono(mBak Gie, mBak Dwi, mBak Tilung, dik Yaya); keluarga besar (Alm) Om Soemardji Priggodigdo, SH (Letkol. Tjahjono Prasetyanto, dik Ira, & dik Budi); Istri tercinta Isti Sunarni, S.Hut; Ananda Sabryna Aditya Putri; Amalia Safitri; dan Fathan Sulistyo Kamil yang telah dengan sabar memberikan dukungan, dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas belajar.

Akhirnya smoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014 Penulis


(16)

(17)

Halaman

DAFTAR TABEL...xv

DAFTAR GAMBAR...xv

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah...2

1.3 Kerangka Pemikiran...5

1.4 Tujuan Penelitian ...8

1.5 Manfaat Penelitian...8

1.6 Novelty...8

1.7 Struktur Penulisan...8

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Common Pool Resources (CPRs)...9

2.2 Kelembagaan. ...10

2.2.1 Definisi...10

2.2.2 Tingkatan aturan dan analisis kelembagaan...11

2.2.3 Hak kepemilikan...12

2.3 Taman Nasional dan kawasan yang dilindungi...14

2.3.1 Taman Nasional...14

2.3.2 Kawasan yang dilindungi...17

2.3.3 Kawasan Konservasi di Indonesia...19

2.3.4 Tata kelola TN dan kawasan yang dilindugi ...20

2.4 Desentralisasi...21

2.5 Metode Penelitian Kualitatif...22

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu...24

3.2 Pendekatan Penelitian...25

3.3 Kerangka Kerja Analisis Kelembagaan TNS...25

3.4 Data dan Sumber Data...26

3.5 Metode Analisis Data...28

3.5.1 Analisis isi...28

3.5.2 Analisis Aktor...28

3.5.3 Analisis hak kepemilikan...29

4. TAMAN NASIONAL SEBANGAU 4.1 Pengukuhan TNS...30

4.2 Organisasi Balai TNS...32


(18)

4.4 Potensi Pemanfaatan Sumberdaya TNS... 35

4.5 Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar TNS ... 37

5. ATURAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS 5.1 Aturan Formal... 38

5.1.1 Karakteristik dan Kinerja Kelembagaan Formal... 41

5.1.1.1 Batasan sumberdaya dan penggunanya... 41

5.1.1.2 Aturan pemanfaatan dan penyediaan... 42

5.1.1.3 Penataan pilihan kolektif... 44

5.1.1.4 Pengawasan dan penegakannya... 44

5.1.1.5 Pengaturan sanksi... 45

5.1.1.6 Mekanisme penyelesaian konflik... 49

5.1.1.7 Pengakuan untuk mengelola... 50

5.1.1.8 Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi... 50

5.2 Aturan Informal... 50

5.2.1 Karakteristik dan kinerja kelembagaan informal... 50

5.2.1.1 Batasan sumberdaya dan penggunanya... 50

5.2.1.2 Aturan pemanfaatan dan penyediaan... 51

5.2.1.3 Penataan pilihan kolektif... 53

5.2.1.4 Pengawasan dan penegakannya... 53

5.2.1.5 Pengaturan sanksi... 53

5.2.1.6 Mekanisme penyelesaian konflik... 54

5.2.1.7 Pengakuan untuk mengelola... 55

5.2.1.8 Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi... 55

6. INTERAKSI ANTAR AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS 6.1 Kepentingan dan Kekuatan Aktor... 58

6.1.1 BTNS. ... 58

6.1.2 WWF... 60

6.1.3 Kelompok Nelayan... 61

6.1.4 Kelompok getah jelutung... 62

6.1.5 Kelompok kulit Gemor ... 64

6.1.6 Damang... 65

6.1.7 Formas... 66


(19)

7. DAMPAK KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS

7.1 Kelestarian sumberdaya TNS... 71

7.2 Keadilan... 78

8. STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TNS... 80

9. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.1 Simpulan... 85

9.2 Rekomendasi Kebijakan... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(20)

Halaman 1.1 Skenario Pembangunan TN 2030...4 2.1 Klasifikasi umum jenis barang dan jasa...9

2.2 Hak-hak yang terikat (bundles of rights) dan posisi

pemegang hak...13

2.3 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan yang dilindugi...16

2.4 Matrik kategori kawasan yang dilindungi dan tujuan

pengelolaan...17

2.5 Matrik kategori kawasan konservasi Indonesia dan tujuan

pengelolaan...19

3.1 Data dan informasi yang dikumpulkan sesuai kerangka

kerja penelitian...27

4.1 Sumberdaya manusia dan anggaran BTNS Tahun

2007-2012...33

5.1 Sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya TN

yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990...45

5.2 Sanksi pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam

UU No. 41 Tahun 1999...46

5.3 Sanksi pemanfaatan sumberdaya hutan yang diatur dalam

UU No. 18 Tahun 2013...48

6.1 Kekuatan dan kepentingan aktor dalam pemanfaatan

sumberdaya TNS...59

7.1 Barang bukti pencurian kayu di kawasan TNS Tahun

2006-2012...75

7.2 Realisasi kegiatan rehabilitasi kawasan TNS Tahun

2006-2012...75

7.3 Perbandingan kapasitas organisasi BTNS Tahun 2007 dan

2010...76 7.4 Perubahan kebijakan pengelolaan TN di Indonesia...79

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.1 Kerangka pikir penelitian...7 2.1 Keterkaitan antara aturan dengan tingkat analisis...12

2.2 Kategori pengelolaan kawasan yang dilindugi dan tingkat

modifikasi lingkungan...18 3.1 Peta TNS, Kalimantan Tengah, Indonesia...24

3.2 Kerangka kerja analisis kelembagaan pemanfaatan

sumberdaya TNS...25 4.1 Struktur Organisasi Balai TNS...32

4.2 Sebaran lahan gambut berdasarkan kelas kedalamannya di

kawasan TNS...34 4.3 Peta sungai dan anak sungai di kawasan TNS...36 6.1 Pemanfaatan ikan di dalam dan sekitar TNS...62


(21)

6.2 Pemanfaatan getah jelutung oleh masyarakat di TNS...63

6.3 Pemanfaatan kulit gemor oleh masyarakat di TNS...65

6.4 Jumlah kunjungan wisatawan dan PNBP TNS Tahun 2007-2011...67

6.5 Interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS...69

7.1 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2006...71

7.2 Peta udara kawasan TNS tahun 2006...72

7.3 Foto barang bukti pencurian kayu di TNS tahun 2006...72

7.4 Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2010...73

7.5 Foto udara kawasan TNS tahun 2010...74

7.6 Foto hasil kegiatan rehabilitasi kawasan TNS tahun 2010...74

7.7 Perbandingan persepsi masyarakat sekitar terhadap kelembagaan TNS Tahun 2005 dan 2010...77

8.1 Integrasi Aturan Formal dan Informal Pemanfaatan Sumberdaya TNS...81


(22)

AB : Areal Buru

BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BLU : Badan Layanan Umum

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

BUMD : Badan Usahaa Milik Daerah

BTN : Balai Taman Nasional

BTNS : Balai Taman Nasional Sebangau

CPRs : Common Pool Resources

CA : Cagar Alam

CB : Cagar Biosfir

CIMTROP : Center for International Cooperation in Sustainable

Management of Tropical Peatland

DAS : Daerah Aliran Sungai

DA REDD : Demonstration Activity Reducing Emission from

Deforestation and Forest Degradation

Ditjen PHKA : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPTNB : Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken

FORMAS : Forum Masyarakat

GRK : Gas Rumah Kaca

HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

IPB : Institut Pertanian Bogor

IPPA : Izin Pemanfaatan Pariwisata Alam

IAD : Institutional Analysis and Development

IUCN : International Union for Conservation of Nature ICDP : Integrated Conservation development Projects IPAS : Integrated Protected Area System

IPPA : Izin Pengusahaan Pariwisata Alam

IUPJWA : Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam

IUPSWA : Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam

KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam

KSA : Kawasan Suaka Alam

KPA : Kawasan Pelestarian Alam

Kemenhut : Kementerian Kehutanan

KSDAHE : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya

LAHG : Laboratorium Alam Hutan Gambut

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

PAD : Pendapatan Asli Daerah

Perda : Peraturan Daerah

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PP : Peraturan Pemerintah


(23)

SM : Suaka Margasatwa

SDA : Sumber Daya Alam

SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional

SK Menhut : Surat Keputusan Menteri Kehutanan

SSI : Sebangau Sanitra Indah

TSL : Tumbuhan dan Satwa Liar

TN : Taman Nasional

TWA : Taman Wisata Alam

TB : Taman Buru

TAHURA : Taman Hutan Raya

TNC : The Nature Conservancy

TSL : Tumbuhan dan Satwa Liar

UNDP : United Nations Development Programme

UU : Undang-Undang

USAID : United States Agency for International Development

UPT : Unit Pelaksana Teknis


(24)

1. 1 Latar Belakang

Indonesiamempunyaikekayaan sumberdaya alam berupa hutan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga Indonesia disebut sebagai negaramegadiversity(Pratiwi 2008:1). Indonesia mempunyai luas 1,3% dari luas total daratan dunia.Hutan dan perairan Indonesia merupakan habitat bagi kurang lebih 27.500 spesies tumbuhan berbungayang setara 10% dari tumbuhan berbunga di dunia; 515 spesiesmamaliayang merupakan 12% spesies mamalia di dunia; 511 spesiesreptilia yang merupakan 7,3% dari spesies reptilia di dunia; 1.531 spesiesburung yang merupakan 17% spesies burung di dunia; 121 spesieskupu-kupuyang 44% diantaranya merupakan spesiesendemik; serta lebih

dari 25% spesiesikan air laut dan air tawar di dunia (Putroet al. 2012:9).

Untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam tersebut di atas, Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan konservasi seluas kurang lebih 27,97 juta hektar, dan 16,32 juta hektar atau 12% diantaranya berfungsi sebagai taman nasional (TN)(Kemenhut 2011:4; Ditjen PHKA 2009:1). Akan tetapi,sumberdaya alam TN di Indonesia saat ini mengalami kerusakan yaitu kurang lebih 1,54 juta hektaratau sebesar 9,5% dari total luas TN. Tingkat kerusakan ini lebih tinggi dibandingkan dengan target kinerja pengelolaan TN tahun 2010-2030 yaitu sebesar kurang dari 1%. Di samping itu,masyarakat sekitar TNyang berjumlah kurang lebih 10,2 juta jiwa dari 48,8 juta tergolong penduduk miskin (Kemenhut 2011: 5).

Beberapa penelitian untuk menyelesaikan permasalahan kerusakan

sumberdaya TN sudah dilakukan.Hasil penelitian Soekmadi (2002:209)

menunjukkan bahwa sumberdaya TN belum lestari karena TN masih menghadapi konflik antara pengelola TN dengan pemerintah daerah atau dengan masyarakat setempat.Konflik yang terjadi dalam pengelolaan TN disebabkan oleh terbatasdan ketidakpastiannya akses masyarakat setempat (Pratiwi 2008;Allo 2008;Prabowo 2010).Selanjutnya konflik juga terjadi karena kebijakan pemerintah atau kelembagaan formal tidak sesuai kebutuhan masyarakat setempat (Soekmadi

2002:10; Mehring et al.2011), kebijakan pemerintah tidak menjamin kepastian

hak dan akses masyarakat setempat (Allo 2008), dan pemerintah tidak

mengembangkan prinsip co-ownership yaitu kawasan hutan sebagai milik

bersama yang harus dilindungi bersama-sama (Riyanto 2005:251). Di samping menghadapi konflik, TN juga menghadapi keterbatasan sumberdaya manusia, keuangan, dukungan politik, serta keterbatasan sarana prasarana. Berbagai permasalahantersebut diatas menyebabkan kelembagaan formal tidak dapat

dilaksanakan secara efektif (Suhaeri 1994; Mehringet al.2011).

Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan pentingnya menata hubungan yang harmonisantara masyarakat setempat dengan pengelola TN. Hampir semua kawasan konservasi di dunia khususnya di negara-negara berkembang termasuk kawasan konservasi di Indonesia terdapat masyarakat setempatyang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi yang hidupnya bergantung pada kawasan konservasi tersebut (Borrini-Feyerabendet al. 2004). Keberadaan masyarakat setempat ini dapat menjadi potensi sekaligus ancaman bagi kelestarian sumberdaya TN. Sumberdaya TN terancam seperti selama ini terjadi karena konflik antara pengelola TN dengan masyarakat setempat akibat


(25)

dilarangnya akses masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya TN. Sebaliknya, masyarakat setempat berpotensi sebagai penjaga bahkan ikut mengelola sumberdaya TN apabila hubungan antara pengelola TN dan masyarakat setempat harmonis. Hal ini merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan biaya ekslusi tinggi pengelolaan TN.

Hubungan harmonis antara pengelola TN dan masyarakat setempat dapat dicapai melalui penataan hak kepemilikan yang tepat.Penataan hak kepemilikan yang tepat diyakini mendorong rasa kepedulian dan tindakan bersama masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian sumberdaya TN sehingga biaya eksklusi tinggi yang menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan TN dapat diatasi.Penelitian secara komprehensif antara kelembagaan formal dan informal khususnya tentang pemanfaatan sumberdaya TN penting dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan.Menurut Ruddle (1998) dalam Hidayat (2005:57), kebijakan penguatan kelembagaan artinya kelembagaan informal seharusnya

diperkuat dengan cara kelembagaan informal diakui oleh pemerintah.

Kelembagaan formal dan informal diharapkan bisa saling melengkapi sehingga sumberdaya TN bisa lestari.

1. 2 Perumusan Masalah

Secara teoritis, permasalahan kerusakan sumberdaya TN berhubungan

dengan karakteristik sumberdaya TN sebagai common pool resources(CPRs).

CPRs mempunyai dua karakteristik yaitu tingkat subtraktif yang tinggi dan tingkat ekslusi yang sulit.Tingkat substraktif yang tinggiartinya pemanfaatan unit sumberdaya oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain karena unit sumberdaya CPRs yang terbatas.Setiap pemanfaatan unit sumberdaya CPRs yang berlebihan oleh seseorang akan menimbulkan dampak negatif bagi orang lain atau bahkan sistem sumberdaya itu sendiri, hal ini disebut eksternalitas

negatif1.Di samping itu, CPRs mempunyai karakteristik tingkat ekslusi yang

sulitartinya terlalu sulit atau terlalu mahal biaya mengeluarkan atau membatasi orang-orang yang ingin memanfaatkan unit sumberdaya TNatau dengan kata lain untuk menjaga dan melindungi batas kawasan TN dari orang-orang yang memasuki kawasan TN hampir tidak mungkin,jikapun mungkin membutuhkan biaya yang mahalkarena ukuran sumberdaya TN yang terlalu besar atau manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya TN tidak dapat dibagi-bagi (non divisible) contohnya jasa pengendali banjir, jasa karbon, jasa wisata dan pengatur udara bersih, bahkan manfaat ini senantiasa keluar dari batas-batas fisik TN

(Kartodihardjo 2006:8). Oleh sebab itu, sumberdaya TN menghadapi

permasalahan para penunggang gratis(free rider)2 dan pemanfaatan yang

berlebihan (overuse) yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya.Untuk

mengatasi kerusakan sumberdaya TN yang disebabkan perilaku-perilaku

1

Eksternalitas adalah manfaat yang tidak bisa dinikmati sendiri, biaya yang ditanggung orang lain, dan biaya dan manfaat yang tidak diperkirakan sebelumnya sehingga tidak masuk dalam perhitungan pengambil keputusan (Pakpahan 1989:9).

2

Free rider, artinya pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya (Wade 1987:96).


(26)

menyimpang seperti penunggang gratis dan pemanfaatan yang berlebihan tersebut diperlukan kelembagaan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan (kelembagaan formal3)

Indonesia, sumberdaya TN dimiliki oleh Negara dan dikelola oleh

Pemerintah(Kementerian Kehutanan) atau dikenal dengan rezim hak kepemilikan

negara “state property regime4”.Akan tetapi, kelembagaan formal mengenai

TNyang berlaku saat ini tidak bisa ditegakkan secara efektif sehingga secara de

factosumberdaya TN dalam kondisi akses terbuka(open acces) artinyasumberdaya TN seakan tanpa pemilik, orang yang tidak berhak atau para penunggang gratis dapat memanfaatkan sumberdaya TNyang menyebabkan kerusakan sumberdaya

TN.Jadi, permasalahan utama pengelolaan sumberdaya TN adalah biaya eksklusi

tinggi5.

Pemerintah telah berupaya memperkuat kelembagaan TN melalui kebijakan TN mandiri yaitu pengelolaan TN yang memperkuat aspek pemanfaatan yang menjamin fungsi ekologis dan sosial, dengan cara meningkatkan investasi pemerintah dan swasta sehingga diperoleh pendapatan yang dapat digunakan

untuk membiayai pengelolaannya paling tidak 80%. (Kemenhut

2011:55).Kebijakan ini merupakan bentuk intensifikasi pengelolaan TN6 oleh

pemerintah yang dapat dilihat dari alokasi anggaran dan sumberdaya manusia yang lebih besar.Selain itu, kebijakan ini juga lebih mengutamakan investasi swasta yang pada umumnya manfaatnya banyak dinikmati oleh perorangan atau perusahaan yang modalnya kuat, sebaliknya masyarakat sekitar TN yang jumlahnya banyak dan bergantung pada sumberdaya TN berpotensi menjadi pihak yang terpinggirkan.Kebijakan ini diyakini tidak dapat memperbaiki hubungan antara masyarakat setempat dan pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya TN yang menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat setempat dalam pengelolaan TN.Untuk melaksanakan kebijakan ini pemerintah telah membuat peta jalan pembangunan kehutanan berbasis TN yang mengusulkan tiga skenario seperti disajikan pada Tabel 1.1.

3

Menurut North (1990:36) kelembagaan dapat dibagi menjadi formal dan informal.Kelembagaan formal meliputi aturan politik, aturan ekonomi, kontrak dan perjanjian yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.Kelembagaan informal dapat berupa norma-norma sosial, hukum adat, kebiasaan dan adat istiadat yang berkembang secara spontan dan umumnya tidak tertulis.

4

Menurut Bromley (1991:23); Hannaet al. (1996:5)dan Berkes (1996:94-99) dalam pengelolaan sumberdaya alam dikenal 4 rejim: (1) state property regimes; (2) private property regimes; (3) common property regimes; dan (4) non-property regimes (open access).

5

Menurut Pakpahan (1989) biaya eksklusi tinggi adalah biaya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki seseorang jauh lebih besar dari nilainya. North (1991), biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), serta biaya untuk menetapkan kontrak/perjanjian (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost)

6

Hal ini bisa dilihat dari Tim Pokja percepatan pembangunan TN Model berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 20/IV-Set/PA/2007


(27)

Tabel 1.1Skenario pembangunan TN 2030 No. Skenario Kebutuhan Proyeksi PNBP Investasi (Milyar Rp.) APBN (Milyar Rp.) SDM (Orang) 1 I (Hati-hati)

Prioritas 5 TN menjadi mandiri.

2.643,08 1.059, 75 2.044 (5 TN) + 3.557 (45 TN)

4.092,83

2 II (Moderat)

Prioritas 19 TN menjadi mandiri.

27.167,96 7.503,72 21.889 (19 TN) + 2.319 (31 TN)

39.775,07

3 III (Ambisius)

Prioritas 50 TN menjadi mandiri.

123.896,03 31.636,12 95.458 (50 TN)

-Sumber : Kemenhut (2011)

Kebijakan pemerintah di atas tidak akan mudah direalisasikan.Pertama, kebijakan intensifikasi pengelolaan TN melalui investasi pemerintah, dan swasta

membutuhkan sumberdaya manusia dan dana yang besar. Sebaliknya,

kemampuan pemerintah saat ini terbatas, dan pembangunan TN sebagai sub fungsi konservasi sumberdaya alam bukan menjadi prioritas pemerintah yang dapat diketahui dari alokasi anggaran untuk pengelolaan 50 TN per tahun yang rata-rata hanya 0,036% dari belanja Negara (Hardansyah 2013:15).Investasi swasta untuk pemanfaatan sumberdaya TN juga tidak mudah direalisasikan. Sampai tahun 2011, pemegang izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) hanya 9

perusahaan yang berlokasi di 5 TN7dan terdapat 11 permohonan IPPA baru yang

berlokasi di 6 TN8.Kedua, pola pengelolaan keuangan TN mandiri menggunakan

badan layanan umum (BLU9).Pola keuangan ini semakin mempertegas penguatan

peran pemerintah dan tidak tepat karena BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, bukan untuk komersialisasi.Satuan kerja pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan pola BLU jika memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.Hardansyah (2013:102) menunjukkan bahwa Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango belum memenuhi salah satu syarat teknis menjadi BLU, yaitu kinerja keuangannya belum sehat.Anggaran Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango tidak mempunyai korelasi kuat dengan realisasi pendapatan yang dihasilkan, danpendapatan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya pengelolaan TN, yaitu rasio pendapatan dengan biaya pengelolaan TNGGP masih dibawah 1%.

7

3IPPA di TN Bali Barat, 3 IPPA di TN Alas Purwo, 1 IPPA di TN Bromo Tengger Semeru, 1 IPPA di TN. Bukit Barisan Selatan, dan 1 IPPA di TN. Komodo.

8

Permohonan IPPA baru di 6 TN antara lain :TN. Gunung Ceremai, TN. Kep. Seribu, TN. GG Pangrango, TN. G. Halimun Salak, TN. G. Rinjani, dan TN. G. Merbabu.

9

PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, dalam Pasal 1 didefinisikan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.


(28)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap pentingnya keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan TN. Sebaliknya, berbagai penelitian telah menunjukkan pentingnya pemerintah mengakomodir atau memberi akses masyarakat setempat dalam pengelolaan TN. Untuk itu, penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan kontribusi penguatan kelembagaan pengelolaan TN dari aspek keterlibatan aktif masyarakat setempat yang umumnya

telah mempunyai kelembagaan tradisional atau informal yang kuat.

Kelembagaanformal dan informal diharapkan bisa saling melengkapi atau memperkuat sehingga sumberdaya TN bisa dikelola secara lestari.Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah “Sejauhmana kelembagaan informal mampu memperkuat kelembagaan formal

dalam mencapai tujuan pengelolaan Taman Nasional Sebangau (TNS)?” Beberapa

pertanyaan penelitian yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menjawab pertanyaan utama tersebut adalah:

1 Siapa sajakah aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS?

2 Bagaimana para aktor tersebut berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya

TNS?

3 Bagaimana kelembagaan formal mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di

TNS?

4 Bagaimana kelembagaan informal dalam pengelolaan TN terbentuk dan

dijalankan?

5 Bagaimana kelembagaan informal dapat mendukung efektivitas kelembagaan

formal dalam pengelolaan TNS?

1. 3 Kerangka Pemikiran

Paradigma pengelolaan TN telah bergeser sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011.Pengelolaan kawasan konservasi yang semula hanya dikelola oleh pemerintah bergeser menjadi pengelolaan bersama, dan yang semula mengutamakan aspek ekologi bergeser ke aspek ekonomi dan sosial budaya.Secara teoritis, perubahan paradigma pengelolaan TN

yang dituangkan dalam PP yang merupakan kelembagaan formal ini

mempengaruhi perilakumanusia, dan berdampak pada kondisi sumberdaya TN. Untuk melihat dampak perubahan kelembagaan formal bagi perilaku manusia dan kondisi sumberdaya TN, dilakukan analisis kelembagaan yang menggunakan

kerangka kerja institutional analysis and development (IAD).Kerangka kerja ini

fokus pada pola interaksi perilaku manusia (aktor) dalam memanfaatkan CPRs yang terjadi pada arena aksi yang terbagi menjadi situasi aksi dan para aktor.Pola

interaksi akanmenghasilkan kinerja.Arena aksi dipengaruhi oleh aturan,

karakteristik fisik sumberdaya, dan karakteristik masyarakat.Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis isi peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya TN dengan menggunakan analisis isi (content analysis).

Salah satu permasalahan utama kelembagaan formal dalam pengelolaan TN tidak efektif adalah tidak adanya akses masyarakat setempat dalam pemanfaatan sumberdaya TN. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penting juga untuk menganalisis kelembagaan formal pemanfaatan sumberdaya TN dari aspek


(29)

penataan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antara masyarakat setempat

dengan sumberdaya TN. Aturan formal hak kepemilikan juga dikaji

kesesuaiannya dengan penataan hak kepemilikan informal karena pada umumnya masyarakat setempat telah mempunyai sistem hak kepemilikan tradisional yang telah berlangsung lama.Ketidaksesuaian penataan hak kepemilikan antara kelembagaan formal dan informal akan menimbulkan konflik.

Selanjutnya untuk mengidentifikasi aktor-aktor dan pola interaksinya dalam pemanfaatan sumberdaya TN digunakan analisis aktor yang akan menghasilkan informasi tentang kepentingan dan kekuatan masing-masing aktor dan potensi kerjasama atau konflik antar aktor.Dalam tahap ini dianalisis juga hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya TN. Masing-masing jenis kelembagaan akan dilihat kinerjanyamenggunakan 8 (delapan) kriteria kelembagaan yang kuat menurut Ostrom.Berdasarkan berbagai analisis tersebut di atas, dirumuskan strategi tatakelola pemanfaatan sumberdaya TN yang efektif yang melihat kesesuaian antara kelembagaan formal dan informal.Kedua kelembagaan ini diharapkan saling memperkuat sehingga dapat menjamin kelestarian sumberdaya TN, dan masyarakat sekitar sejahtera.Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.1.


(30)

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian P er uba ha n p ar adi g m a da ri s ent ra lis tik ke d es en tr al is tik K ebi ja ka n sa at i ni Taman Nasional Areal pemanfaatan masyarakat setempat Konflik akses

Kelembagaan formal : UU No. 5/1990

PP 28/2011 PP 8/1998 dll

Kelembagaan informal/tradisional

Tidak sesuai

Analisis kelembagaan informal: Aturan yang digunakan (content analysis): hak dan kewajiban, larangan-larangan, akses atau hak kepemilikan, otorisasi, mekanisme, aktor,

hambatan-hambatan.

Analisis kelembagaan formal: Aturan yang digunakan (content analysis): hak dan kewajiban, larangan-larangan, akses atau hak kepemilikan, otorisasi, mekanisme, aktor, hambatan-hambatan.

Kelembagaan TNSkuat Sumberdaya TNSlestari,& masyarakat sekitar sejahtera Sumberdaya TN rusakde

facto “open

access” Masyarakat setempat Pemerintah Analisis kesesuaian (kongruen) Strategi penguatan kelembagaan Tidak Tidak Ya Tidak


(31)

1. 4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap kelembagaan informal dalam memperkuat kelembagaan formal untuk mencapai tujuan pengelolaan TNS. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan tujuan antara sebagai berikut:

1 Mengidentifikasi dan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemanfaatan

sumberdaya TNS.

2 Mengidentifikasi dan menganalisis interaksi antar aktor dalam pemanfaatan

sumberdaya TNS.

3 Mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan-kelemahan kelembagaan

formal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS.

4 Mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan informal dalam pemanfaatan

sumberdaya TNS.

5 Merumuskan strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS.

1. 5 Manfaat Penelitian

Penelitian kelembagaan merupakan rekayasa sosial yang hasilnya berupa suatu preskripsi untuk memecahkan suatu masalah (Pakpahan 1989:2-6).Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan khususnya tentang penguatan kelembagaan pengelolaan TNkepada pemerintah baik pusat maupun daerah, dan khususnya kepada pengelola TNS.

1. 6 Novelty

Penelitian terkait kelembagaan secara terintegrasi antara kelembagaan formal dan informal khususnya yang berbasis hak kepemilikan untuk tatakelola pemanfaatan sumberdaya TN di Indonesia belum pernah dilakukan.Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang hal tersebutyang sangat penting untuk tatakelola pemanfaatan sumberdaya TNS yang berkelanjutan, dan memperkuat teori kelembagaan Ostrom.

1. 7 Struktur Penulisan

Penulisan disertasi ini disusun dalam 9 (sembilan)bab. Bab

Pertamamenyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang dan rumusan

permasalahan penelitian.Bab Keduamenyajikan tinjauan pustaka. Bab Ketiga

menyajikan metodologi penelitian. Bab Keempat menyajikan situasi dan kondisi

TNS yang meliputi proses penunjukkan TNS, karakteristik biologi, dan sosial

budaya masyarakat sekitar TNS.BabKelimamengungkapkan aturan pemanfaatan

sumberdaya TNS baik aturan formal maupun aturan informal. Bab Keenam

membahas interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya di TNS. Bab

Ketujuh, membahas dampak kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS

terhadap kondisi sumberdaya TNS.BabKedelapanmenyajikan strategi penguatan

kelembagaan formal pemanfaatan sumbedaya TNS. Terakhir, Bab Kesembilan


(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Common Pool Resources(CPRs)

Ostromet al. (1994:6-8) menggolongkan barang dan jasa berdasarkan dua

karakteristik penting yaitu tingkat substraktif (substractibility) dan tingkat

ekslusi(excludability).Tingkat substraktif artinya berkurangnya

ketersediaansumberdaya bagi orang lain akibat pemanfaatan yang dilakukan seseorang sebelumnya. Tingkat ekslusi artinya kemampuan untuk melarang atau membatasi orang-orang yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya.Berdasarkan kedua karakteristik di atas, barang dan jasa dibagimenjadi empat jenis yaitupublic goods, toll goods, common pool resources dan private goods.Klasifikasi umum jenis barang dan jasa disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasiumum jenis barang dan jasa

Tingkat ekslusi

(excludability)

Tingkat substraktif(subtractability)

Rendah Tinggi

Sulit public goods common-pool resources/goods

Mudah toll goods private goods

Sumber : Ostromet al. (1994: 7)

Common pool resourcesyang disingkat CPRs adalahsistem sumberdaya alam atau buatan yang cukup besar sehingga biaya untuk membatasi atau melarang pihak-pihak yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya terlalu mahal/tinggi tetapi bukan tidak mungkin (Ostrom 1990:30). CPRsmempunyai

karakteristik tingkat substraktiftinggi, dan tingkat ekslusi yang sulit.CPRs

mempunyai sifat substraktif yang tinggi, semantara sumberdaya terbatas, sehingga setiap pemanfaatan yang berlebihan(overuse)oleh seseorang akan berdampak negatif terhadap sumberdaya itu sendiri dan juga terhadap ketersediaan pemanfaatan bagi orang lain. Orang yang berfikir rasional cenderung meman-faatkan sumberdaya sebanyak mungkin bahkan berlebihan. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan dapat menyebabkan kerusakan yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan pada waktu-waktu tertentu. Ketika laju pemanfaatan melebihi laju pertumbuhannya atau melebihi daya dukung, maka sistem sumberdaya tersebut akan rusak. Karena karakteristik CPRs yang sulit melarang atau membatasi orang-orang yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya tersebut, menyabkan banyak pihak hanya mau memanfaatkan tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya, atau disebut para penung-gang gratis(free rider).Karakteristik yang kedua inisemakin memungkinkan CPRs menjadi rusak.Untuk menghindari kerusakan sumberdaya pada CPRs,diperlukan


(33)

2. 2 Kelembagaan 2.2.1 Definisi

Kasper dan Streit (1998), North (1990), Ostrom (1990), dan Knight (1992) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main.Kasper dan Streit (1998:28) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan yang dibuat manusia untuk membatasi kemungkinan perilaku menyimpang, misalnya perilaku oportunis, dalam berinteraksi dengan yang lainnya. North (1990:3) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam masyarakat, batasan-batasan yang dirancang untuk membentuk interaksi manusia baik dalam politik, ekonomi dan sosial. Ostrom (1990:51) mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan kerja yang digunakan untuk menentukan seseorang yang berhak membuat keputusan, tindakan yang diperbolehkan atau dibatasi, aturan yang akan digunakan, prosedur yang harus diikuti, informasi yang harus atau tidak harus disediakan, dan sanksi yang akan diberikan kepada seseorang. Knight (1992:2) mendefinisikan kelembagaan sebagai seperangkat aturan yang merupakan struktur interaksi sosial dengan cara-cara tertentu.

Kelembagaan sering juga dipahami sebagai organisasi.Uphoff

(1986:8)menjelaskan perbedaan antara kelembagaan dan organisasi, yaitu: (a) Organisasi bukan kelembagaan, (b) Kelembagaan bukan organisasi, dan (c) Organisasi adalah kelembagaan atau sebaliknya kelembagaan adalah organisasi. Uphoff menjelaskan ketiga kategori tersebut dengan mengambil contoh bidang

hukum.Perusahaan pengacara termasuk dalam kategori organisasi bukan

kelembagaan.Hukum adalah kelembagaan bukan organisasi.Sedangkan

pengadilan merupakan organisasi dan juga kelembagaan (atau sebaliknya). North (1990:4) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah aturan main dalam sebuah pertandingan tim olah raga, yang terdiri aturan formal yang tertulis dan juga kode etik yang tidak tertulis yang melengkapi aturan formal yang menentukan cara permainan dilaksanakan. Sedangkan organisasi merupakan tim yang bertujuan mencapai kemenangan dengan cara mengkombinasikan ketrampilan, strategi dan koordinasi dengan cara yang adil dan kadang-kadang dengan cara melanggar aturan. Organisasi merupakan kelompok individu-individu yang diikat oleh beberapa tujuan bersama dalam mencapai tujuannya.

North (1990:36) dan Knight (1992) membagi kelembagaan menjadi dua, yaitu formal dan informal.Kelembagaan formal umumnya berbentuk tertulis, contohnya aturan politik, aturan ekonomi, kontrak dan perjanjian.Sedangkan kelembagaan informal dibuat tidak sengaja atau berkembang secara spontan dan umumnya tidak tertulis, contohnya norma-norma sosial, hukum adat, kebiasaan dan adat istiadat.Sedangkan Kasper dan Streit (1998:100) membedakan kelembagaan formal dan informal didasarkan pada mekanisme pemberian

sanksi.Jika sanksi diberikan melalui mekanisme formal, maka disebut

kelembagaan formal.Sementara jika sanksi diberikan secara spontan dari interaksi sosialatau desentralisasi maka disebut kelembagaan informal.Menurut North

(1990:46) kelembagaan formal kadangkala berasal dari kelembagaan

informal.Perubahan kelembagaan ini merupakan respon dari masyarakat yang semula sederhana menjadi lebih komplek yang sering menghadapi perselisihan yang komplek sehingga membutuhkan standarisasi, dan memerlukan


(34)

batasan-batasan formal yang tertulis.North (1990:46), Kasper dan Streit (1998:100-110) membedakan kelembagaan berdasarkan asal aturan itu dibuat.Aturan yang berkembang di dalam suatu kelompok atau masyarakat yang berasal dari pengalaman, contohnya perilaku santun, dan standar etika yang diikuti oleh anggota masyarakatdisebut sebagai kelembagaan internal.Sedangkan aturan yang dibuat dari pihak luar atau secara eksternal melalui tindakan politik dan diberlakukan kepada masyarakat, contohnya aturan hukum yang dikeluarkan oleh DPR atau pemerintah disebut sebagai kelembagaan eksternal.

Tujuan kelembagaanadalah: mengurangi ketidakpastian dengan cara menyediakan struktur kehidupan keseharian yang memandu interaksi manusia (Kasper & Streit 1998:1; North 1990:3; Ostrom 1990:52); mengarahkan perilaku manusia kearah yang diharapkan anggota masyarakat; dan mengurangi perilaku oportunis (Knight 1992:3; Kasper & Streit 1998:28); mengurangi biaya koordinasi, dan membatasi dan menyelesaikan konflik (Kasper & Streit 1998:92);dan secara adil membagi keuntungan ekonomi diantara para aktor ekonomi (Libecap 1989).Kelembagaan harus ditegakkan dengan sanksi bagi yang menyimpang atau melanggar,kelembagaan tanpa adanya sanksi tidak ada gunanya(Kasper & Streit 1998:93).

Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud kelembagaan dalam penelitian ini adalah aturan main (rules of the game) baik formal maupun informal yang bertujuan untuk meningkatkan kepastian dan memprediksi interaksi diantara manusia dengan mendefinisikan secara jelas batasan-batasan tindakan yang sahyang dapat membebaskan perilaku oportunistik dan perilaku tidak produktif lainnya.

2.2.2 Tingkatan Aturan dan Analisis Kelembagaan

Menurut Ostrom (1990:52); Polski dan Ostrom (1999:19); Rudd (2003:116) ada tiga tingkat aturan yang secara komulatif mempengaruhi tindakan, dan hasil yang diperoleh dalam situasi kebijakan tertentu(lihat Gambar 2.1). Pertama, tingkat operasional (operational rules)yaitu aturan yang secara langsung mempengaruhi keputusan sehari-hari yang dibuat oleh pengguna sumberdaya alam tentang waktu, tempat,dan cara mengambil unit sumberdaya; menentukan pihak yang bertanggung jawab untuk memonitor dan pihak-pihak yang dimonitor; jenis informasi yang seharusnya diberikan atau tidak diberikan; dan jenis sanksi atau penghargaan yang diberikan bagi mereka yang melanggar atau yang mematuhi aturan. Kedua, tingkat pilihan kolektif(collective-choice rules)yaitu aturan yang menentukan jenis aturan yang dipilih untuk mengelola sumberdaya alam, aturan pada tingkat ini mempengaruhi aturan operasional secara tidak langsung.Ketiga, tingkat konstitusi (constitutional-choice rules)yaitu aturan yang menentukan pihak yang berhak, dan menentukan aturan yang digunakan untuk membuat seperangkat aturan pada tingkat pilihan kolektif.

Ostrom (1990:52) menjelaskan bahwa proses pemanfaatan

(appropriation), pemeliharaan (provision), monitoring dan penegakan

(enforcement) terjadi pada tingkat operasional. Kemudian, proses pembuatan kebijakan (policy-making), pengelolaan (management), dan penyelesaian keputusan kebijakan (adjudication of policy decision) terjadi pada tingkat pilihan kolektif(collective choice). Sedangkan perumusan (formulation), tata-kelola


(35)

(governance), pengadilan (adjudication), dan perubahan (modification) keputusan secara konstitusional dilakukan pada tingkat konstitusional (constitutional level).

Sumber : Ostrom (1990:53)

Gambar 2.1 Keterkaitan antara aturan dengan tingkat analisis

2.2.3 Hak Kepemilikan

Sistem hak kepemilikan merupakan bagian dari kelembagaan masyarakat yaitu norma dan aturan main, yang dirancang untuk membatasi perilaku manusia

dalam berinteraksi (North 1990; Hanna et al. 1996:1). Hanna et al. (1996:2)

meyakini pentingnya peranan hak kepemilikan dalam pencapaian kelestarian

lingkungan.Bromley (1992:4) membedakan pengertian antara property dengan

property rights.Propertydidefinisikan sebagai klaim terhadap aliran manfaat, dan property rights adalah klaim untuk memanfaatkan dan mengendalikan sumberdaya secara sah, dimana negara mengakui dan melindunginya dengan mewajibkan bagi orang lain untuk menghormatinya. Hak (rights) berhubungan

juga dengan kewajiban (duties). Permasalahan akses terbukapengelolaan

sumberdaya dikarenakan ada hak untuk memanfaatkan, tetapi tidak ada kewajiban bagi para pengguna untuk menahan diri dalam memanfaatkan. Property merupakan hak yang harus ditegakkan/dihormati oleh pihak lain, maka property merupakan kelembagaan/aturan main yang penegakannya memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut. Bromley

(1992:4) lebih melihat property bukan sebuah objek tetapi merupakan hubungan

sosial yang menentukan pemegang sumberdaya berkaitan dengan sesuatu nilai

terhadap semua orang lain. Dengan demikian, property merupakan hubungan

sosial antara aliran manfaat, pemegang hak dan pengemban tugas.

Schlager dan Ostrom (1999:254) mengatakan bahwa hak kepemilikan

terhadap sumberdaya alam dapat ditentukan secara de jure dan de facto.Hak

kepemilikan secara de jure adalah hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam

yang dijamin secara hukum oleh pemerintah.Pemagang hak ini dapat berbentuk badan pemerintah, perusahaan swasta atau perorangan.Sedangkan hak

kepemilikan secara de facto adalah hak yang biasanya dibuat oleh pengguna

Pemanfaatan Pemeliharaan Pengawasan Penegakan aturan Aturan Konstitusi Pilihan kolektif Operasional

Tingkat

analisis Konstitusi Pilihan kolektif Operasional

Proses : Penyusunan Tata-kelola Pengadilan Perubahan

Pembuatan kebijakan Pengelolaan


(36)

sumberdaya alam atau anggota masyarakat terhadap suatu sumberdaya tertentu.Hak ini biasanya berdasarkan norma-norma sosial, hukum adat dan nilai-nilai budaya yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Hak ini biasanya efektif dalam kelompok kecil dan akan tetap bertahan sepanjang didukung oleh kelompok dan atau diakui oleh otoritas negara. Ostrom dan Schlager (1996:130) mengklasifikasikan kepemilikan terhadap sumberdaya alam kedalam 5 jenis hak

yaitu: akses (access), pemanfaatan (withdrawal), pengelolaan (management),

eklusi(exclusion),dan pengalihan(alienation)seperti disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Hak-hak yang terikat (bundles of rights) dan posisi pemegang hak

Strata Hak

Pemilik Penuh (Full owner)

Pemilik (Proprietor)

Penyewa (Authorized claimant)

Pengguna Authorized user

Pemegang Izin Masuk (Authorized entrant)

Akses X X X X X

Pemanfaatan X X X X

Pengelolaan X X X

Ekslusi X X

Pengalihan X

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996:133)

Hak akses adalah hak memasuki kawasan yang secara fisik terdefinisikan

dan menikmati manfaat non-subtraktif,contohnya: seseorang yang

membayar untuk memasuki TNdapat menikmati jasa wisata yang dihasilkan kawasan TN.Selama di TN, mereka telah membeli hak sementara untuk memasuki dan menikmati berbagai manfaat didalamnya selama tidak dianggap melanggar batasan yang berlaku. Hak mereka dilindungi oleh aturan sehingga pengguna TN lainnya mempunyai kewajiban untuk tidak mengganggu hak tersebut.

Hak pemanfaatanadalah hak memasuki kawasan secara fisik dan memperoleh unit sumberdaya atau hasil dari sistem sumberdaya. Pengguna sumberdaya yang memegang hak ini mempunyai kewenangan untuk melakukan pemanenan unit sumberdaya pada lokasi tertentu. Pemegang hakpemanfaatan tidak hanya mempunyai hak untuk memasuki kawasan TN tetapi juga mempunyai hak untuk memanen hasil hutan. Hak pengelolaanadalah hak mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya dengan membuat perbaikan sumberdaya tersebut. Hak ini juga termasuk hak untuk memodifikasi dan merubahnya. Hak ini misalnya hak untuk membatasi jenis-jenis hasil hutan yang boleh dipanen, peralatan/teknologi yang diizinkan untuk melakukan pemanenan, dan ukuran pohon atau hewan yang boleh dipanen. Pemegang hak pengelolaan mempunyai kewenangan menentukan cara, waktu, dan tempat dalam memanfaatkan sumberdaya.

Hak ekslusiadalah hak menentukan pihak-pihak yang akan mempunyai


(37)

dialihkan,contohnya: hak untuk menentukan kelompok masyarakat yang diizinkan memasuki atau melakukan pemanenan di dalam kawasan hutan. Hak pengalihan adalahhak untuk mengalihkan atau memindah-tangankan sebagaian atau seluruh hak pengelolaan dan hak ekslusi terhadap individu atau kelompok lainnya. Mengalihkan hak dapat berarti menjual atau menyewakan hak pengelolaan dan atau hak ekslusi. Individu yang telah mengalihkan haknya maka tidak akan memiliki kewenangan terhadap sumberdaya lagi.

Berdasarkan hak-hak tersebut, Ostrom dan Schlager (1996:133) membagi

pemegang hak sumberdaya alam menjadi lima kelas: authorized entrant,

authorized users, claimants, proprietor dan owner. Authorized entrant adalah pengguna sumberdaya yang hanya memiliki hak akses.Authorized usersadalah pengguna sumberdaya yang secara bersamaan memiliki kedua hak yaitu hakakses

dan hak pemanfaatan.Claimantsadalah pengguna sumberdaya yang memiliki tiga

hak yaitu hak akses,hak pemanfaatan, dan hak pengelolaan. Proprietor adalah

pengguna sumberdaya yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eklsusi, tetapi tidak mempunyai hak mengalihkan.Owner

memegang hak akses,hak pemanfaatan,hakpengelolaan,hak eklusi dan

mengalihkan hak mereka.

2. 3 Taman Nasional dan Kawasan yang dilindungi 2.3.1 Taman Nasional

Konsep TN di Indonesia dipengaruhi oleh konsep TN yang dikembangkan

IUCN yang mengadopsi TN Yellowstone di Wyoming, Amerika Serikat10yang

merupakan TN pertama di dunia yang berdiri tahun 1872 (Mackinnon et al.

1986:3; Nepal & Weber 1995:1; Lu et al. 2005:418; Chape et al. 2005:444;

Damayanti 2008:1). Konsep pembangunan TN di Amerika Serikat bertujuan melindungi satwa liar dan keindahan alam, merupakan kawasan yang luas, mempunyai keindahan alam, dimiliki dan dikelola oleh pemerintah pusat, serta

tidak ditempati oleh manusia (Lu et al. 2005:418; McNeely 1994; Saalismaa

2000:8). Konsep ini mempengaruhi perkembangan kawasan yang dilindungi di dunia (Sudradjat & Koesno 1988:2; Jepson & Whittaker 2002:137; Dorji 2009:1).Setelah perang dunia ke-2, hampir semua negara berkembang membangun kawasan yang dilindungi mengadopsi model Yellowstone, dan pembangunan kawasan yang dilindungi semakin pesat sejak konsep TN diadopsi dalam sidang umum IUCN tahun 1969 di New Delhi(Damayanti 2008:2). Definisi

TN11berdasarkan sidang umum IUCN di New Delhi adalah:

Kawasan yang relatif luas merupakan (1) tempat satu atau beberapa ekosistem yang secara material tidak boleh dirubah oleh perambahan dan eksploitasi manusia, tempat spesies tumbuhan dan hewan, secara geomorfologi dan habitat

10

Negara-negara yang mendirikan TN setelah Amerika Serikat, yaitu: Australia (1879), Canada (1885), New Zaeland (1894), Swedia (1909), Swiss (1914), Mexico (1917), beberapa negara jajahan Eropa di Afrika (Afrika Selatan,1892; Rwanda, 1925; Madagaskar,1927; dan Kenya, 1935); Chili (1931), Argentina (1934), Ekuador (1935); dan beberapa negara jajahan Inggris di Afrika Timur (1948-1951).

11

Definisi TN pertama kali pada siding umum IUCN di New Delhi pada tahun 1969 (IUCN 1994:5; Fathoni 1998:1; Dudley & Stolton 2008).


(38)

ilmu pengetahuan khusus, pendidikan dan kepentingan rekreasi atau terdiri dari bentang alam yang indah, dan (2) tempat otoritas tertinggi negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau menghilangkan secepatnya kemungkinan perambahan dan eksploitasi di semua kawasan dan untuk menegakkan secara efektif kepedulian terhadap ekologi, geomorfologi, atau fitur indah; dan (3) tempat pengunjung memasuki, pada kondisi tertentu, untuk inspirasi, pendidikan, budaya and tujuan rekreasi”.

Konsep pengelolaan TN di atas dicirikan oleh tidak adanya peran

masyarakat setempat, TN seakan menjadi sebuah pulau yang terisolasi “isolated

islands”. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan tradisional atau pendekatan preservasi (a preservationist approach).Pendekatan ini gagal menyelesaikan

konflik antara TN dengan masyarakat setempat di negara-negara

berkembang.Pendekatan ini mendapatkan kritik pada kongres TN sedunia ke-3

yang dilaksanakan di Bali, Indonesia tahun 1982 (MacKinnon et al.

1986).Kongres TN sedunia ke-3 di Bali selanjutnya merumuskan konsep baru pengelolaan TN yaitu pembangunan kawasan yang dilindungi menjadi komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan, memberikan perhatian yang besar terhadap keberadaan masyarakat sekitar, manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem, perlunya keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan konservasi, kerjasama dengan sektor-sektor lainnya, dan memperhatikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Saalisma 2000:10; IUCN 2010:6). Pentingnya masyarakat sekitar dalam pengelolaan TN semakin mendapatkan perhatian dalam kongres TN sedunia ke-4 tahun 1992 di Caracas,Venezuelayang mempunyai slogan “Parks for Life”. Pemerintah perlumengakui kebutuhan dan aspirasi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang dilindungi (IUCN 1993; Weeks & Mehta 2004: 255). Dalam kongres ini dikeluarkan kategori baru pengelolaan kawasan yang dilindungi yaitu kategori VI: kawasan yang dilindungi dengan tujuan pokok untuk pemanfaatan ekosistem secara lestari (IUCN 1994:9;Locke & Dearden 2005:2; Dorji 2009:1). Selanjutnya IUCN melakukan revisi terhadap definisi TN, yaitu :

“Kawasan alami baik darat dan atau laut untuk tujuan (a) perlindungan kekompakan ekologi dari satu atau lebih ekosistem baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang, (b) melarang eksploitasi dan tindakan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan, dan (c) menyediakan landasan untuk spritual, keilmuan, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan kepada pengunjung, yang semuanya harus kompatibel baik secara lingkungan maupun budaya” (IUCN 1994:19).

Konsep pengelolaan TN yang baru memunculkan program-program seperti ICDP (Integrated Conservation development Projects), IPAS (Integrated Protected Area System), dan daerah penyangga yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui partisipasi masyarakat, dan integrasi kegiatan

konservasi di dalam TN dan kegiatan pembangunan di luar TN(Wells et al.

1992).Kongres TN sedunia ke-5 di Durban, Yordania tahun 2003, memandatkan bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi harus memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam

dan sekitar kawasan yang dilindungi.Secara ringkas pergeseran konsep


(39)

Tabel 2.3 Pergeserankonsep pengelolaan kawasan yang dilindungi

Topik Konsep lama Konsep baru

Tujuan • hanya untuk tujuan konservasi

• utamanya untuk perlindungan hidupan satwa liar

• dikelola khusus untuk pengunjung/wisatawan

• nilai utamanya: sifat liar

about protection

• mencakup tujuan sosial dan ekonomi

• dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya

• dikelola bersama masyarakat setempat

• mencakup juga nilai budaya dari sifat liar yang dilindungi

also about restoration,

rehabilitation and social-economic purposes

Pengelolaan • oleh pemerintah pusat • melibatkan para pihak yang berkepentingan

Masyarakat Setempat

• perencanaan dan pengelolaan “memusuhi” masyarakat

• pengelolaan tanpa memperdulikan opini/pendapat masyarakat

• dikelola bersama, untuk, dan dikelola oleh masyarakat setempat

• dikelola dengan

mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat

Cakupan Pengelolaan

• dikembangkan secara terpisah

• dikelola seperti “pulau biologi

• direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari system

nasional, regional dan internasional

• dikembangkan dalam bentuk “jaringan” (PAN=Protected Area Network) koridor hijau

Persepsi • dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah)

• dipandang hanya untuk kepentingan nasional

• dipandang sebagai aset publik (milik masyarakat)

• dipandang juga sebagai kepentingan internasional Teknik

Pengelolaan

• pengelolaan dilakukan sebagai respon jangka pendek

• orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis

• pengelolaan diadaptasikan menurut perspektif jangka panjang

• orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Pendanaan • dibayarkan hanya dari pajak

(taxpayer) pemerintah

• dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan (daerah, nasional, internasional) maupun (pemerintah, swasata, masyarakat).

Kemampuan Manajemen

• dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya alam

• pemimpin;”ahli”

• dikelola olehmulti-skilled individuals

• dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge)

Sumber :Thomas & Middleton (2003:4)

Perkembangan TN di Indonesia diawali dengan diumumkannya 5 TN

pertama pada tahun 198012 (Sumardja et al. 1982:215; Sudradjat & Koesno

12

Perkembangan konservasi alam sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda ketika Raja William I mengirim Prof. Carl Reinwardt ke Indonesia (1815-1821) yang kemudian mendirikan Kebun Raya Bogor (Botanic Garden at Buitenzorg) pada tahun 1818.Selanjutnya pada tahun 1889 Dr. Melchior Treub mendirikan hutan penelitian Cibodas (sekarang TN Gunung Gede Pangrango) seluas 280 hektar. Tahun 1921 ditetapkan suaka alam (nature reserve) Ujung Kulon untuk perlindungan


(40)

1988:2; Widada et al. 2006:93), yaitu Gunung Leuser, Gede Pangrango, Ujung Kulon, Baluran, dan Komodo. Selanjutnya pada tahun 1982 bertepatan dilaksanakannya kongres TN se-dunia ke-3 di Bali, dibentuk 11 TN lainnyayaitu : Bromo Tengger, Lore Lindu, Kutai, Bali Barat, Barisan Selatan, Meru Betiri, Dumoga Bone, Manusela, Tanjung Puting, Kerinci Seblat, dan Kepulauan Seribu (Sumardja et al. 1982:222). Sampai saat ini jumlah TN di Indonesia adalah 50 unit atau 9,6% jumlah hutan konservasi di Indonesia, dengan luas 16,4 juta hektar

atau 60,39% luas hutan konservasi Indonesia13(Kemenhut 2012:1).

2.3.2 Kawasan yang dilindungi

Definisi kawasan yang dilindungi (protected area)umumnya mengacu

pada definisi yang dikembangkan oleh organisasi internasional untuk

perlindungan alam yaitu IUCN14 (International Union for Conservation of

Nature).Definisi kawasan yang dilindungi menurut IUCN (1994:7) adalah:Suatu areal atau kawasan baik daratan maupun lautan yang berfungsi secara khusus untuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan alam yang terkait dengan budaya serta dikelola secara resmi atau cara-cara efektif lainnya”.

Berdasarkan IUCN, terdapat 9 tujuan utama kawasan yang dilindungi, yaitu: (1) Penelitian untuk ilmu pengetahuan (scientific research), (2) Perlindungan kehidupan liar (wilderness protection), (3) Perlindungan keanekaragaman jenis dan genetik (preservation of species and genetic diversity), (4) Pemeliharaan jasa lingkungan (maintenance of environmental services), (5) perlindungan fitur budaya dan alam yang khas (protection of specific natural and cultural features), (6) Rekreasi dan pariwisata (tourism and recreation), (7) Pendidikan (education), (8) Pemanfaatan sumberdaya secara lestari (sustainable use of resources from natural ecosystems), dan (9) Perlindungan tradisi dan budaya (maintenance of cultural and traditional attributes).IUCN mengembangkan 6 kategori pengelolaan kawasan yang dilindungi berdasarkan tujuan utamanya seperti disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Matrik kategori kawasan yang dilindungi dan tujuan pengelolaan

Tujuan pengelolaan Kategori pengelolaan menurut IUCN

IA IB II III IV V VI

Penelitian untuk ilmu pengetahuan 1 3 2 2 2 2 3

Perlindungan kehidupan liar 2 1 2 3 3 - 2

Badak Jawa, dan tahun 1923 ditetapkan suaka alam Lorent , pada tahun 1940 didirikan 17 CA. Dr. S.H Kooders dikenal sebagai pelopor perlindungan alam di Hindia Belanda yang pada tahun 1912 mendirikan perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda (Jepson & Whittaker

2002:147). 13

Jumlah kawasan konservasi di Indonesia adalah 521 unit yang terdiri CA (43,57%), SM (14,4%), TN (9,6%), TWA (22,07%), Tahura (4,41%), TB (2,5%), dan KSA lainnya (3,45%). Sedangkan luas kawasan konservasi di Indonesia adalah 27,1 juta hektar, yang terdiri CA (15,16%), SM (18,55%), TN (60,39%), TWA (2,76%), Tahura (1,3%), TB (0,82%), dan KSA lainnya (1,02%) (Kemenhut 2012:1).

14

IUCN adalah organisasi lingkungan global yang terbesar dan tertua di dunia, dengan anggota lebih dari 1.000 pemerintah dan LSM, serta mempunyai pakar hampir 11.000 orang di 160 negara. Sebelumnya IUCN bernama IUPN (International Union for the Protection of Nature) yang didirikan pada tahun 1948 di Fontainebleau-Prancis yang didukung oleh UNESCO (IUCN 2010).


(1)

Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia, Jilid 1. Bogor(ID): Balai Penelitian Hasil Hutan, Badan Litbang Pertanian.

McNeely JA.1994. Protected areas for the 21st century: working to provide benefits to society.Biodiversityand Conservation. 3(5):390–405.

Meinzen-Dick R, Knox A. 1999. Collective Action, Property Rights, and Devolution of Natural Resources Management: A Conceptual Framework. Mehring M, Elverfeldt CS, Koch S, Barkmann J, Schwarze S, Kleemann SS.

2011. Local institutions: Regulation and valuation of forest use-Evidence from Central Sulawesi, Indonesia. Land Use Policy28:736-747

Mohd R, Lee K.C.S. 1999. Tactics of Environmental NGOs in Influencing Public Policy in Malaysia. Pertanika J. Soc. Sci. & Hum. 7(2):71-77.

Mukti A. 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam [disertasi]. Malang (ID): PS-PSAL UNIBRAW.

Najiyati S, Asmana A, Suryadiputra INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.

Nepal SK, Weber KE, editor. 1995. Managing Protected Areas Under Conditions of Conflict. Selected Case Studies from China, Myanmar, Nepal, Philippines, and Thailand. Bangkok, Thailand: Asian Institute of Technology.

Nijman V. 2010.An overview of international wildlife trade from Southeast Asia. Biodivers Conserv 19:1101-1114. DOI 10.1007/s10531-009-9758-4

Nort DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. Cambridge: Cambridge Univ Pr.

Nygren A. 2005. Community-Based Forest Management Within the Context of Institutional Decentralization in Honduras. World Development. 33 (4):639-655. Elsevier.

Ostrom E. 1990. Governing The Commons : The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge Univ Pr.

Ostrom E, Gardner R, Walker J. 1994. Rules, Games, & Common Pool Resources. USA(US):UnivMichigan Pr.

Ostrom E, Schlager E. 1996. The Formation of Property Rights. Di dalam : Hanna S, Folke C, Maler KG, editor. Rights to Nature: ecological, economic, cultural, and political principles of institutions for the environment. Washington DC: Island Pr.

Ostrom E. 1997. A Behavior Approach to the Rational-Choice Theory of Collective Action. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. Ostrom E. 1999. Self-Governance and Forest Resources.Occasional paper No.

20.Bogor : CIFOR.

Pakpahan A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi.Di dalam: Pasandaran E, Gunawan M, Pakpahan A, Soentoro, Djauhari A. Prosiding Patanas, Evolusi Kelembagaan PedesaanDi Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Bogor(ID): Pusat Penelitian Agro Ekonomi.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.


(2)

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Perda No. 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 Tentang Zonasi Taman Nasional.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2007 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Umum Penggunaan Belanja Bantuan Modal dalam Rangka Pengembangan Desa Konservasi di daerah Penyangga Kawasan Konservasi.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar Untuk Lembaga Konservasi.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2013 tentang Pemanfaatan Air dan Energi Air di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Kegiatan Tertentu Pengenaan Tarif Rp.0,00 (Nol Rupiah) di Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Alam.

Peraturan Pemerintah Nomor13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Peraturan Pemerintah Nomor6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.


(3)

Phillips A. 2002. Management Guidelines for IUCN Category V Protected Areas: Protected Landscapes/Seascapes. Switzerland: IUCN.

Polski MM, Ostrom E. 1999. An Institutional Framework for Policy Analysis and Design.

Pomeroy RS, editor. 1994. Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and the Pacific : consepts, methods and experiences. Manila (PH): ICLARM.

Prabowo SA. 2010. Analisis Kebijakan dan Permasalahan Pemukiman di Dalam Taman Nasional: Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.

Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata Untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [disertasi]. Bogor (ID): PS-IPB.

Putro HR, Supriatin, Sunkar A, Rossanda D, Prihatini ER. 2012. Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia. Bogor(ID): Percetakan IPB. Rachmanadi D, Harun MK, Rusmana. 2009. Model Rehabilitasi Hutan dan

Lahan Rawa Gambut Dengan Teknik Agroforestri Berbasis Jenis Jelutung. Banjarbaru (ID): Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Rastogi A, Badola R, Hussain SA, Hickey GM. 2010. Assesing the utility of stakeholders analysis to Protected Areas Management: The case of Corbett National Park, India. Biological Conservation:1-9, doi:10.1016/j.biocon.2010.04.039.

Ribot JC. 2002. Democratic Decentralization of Natural Resources : Institutionalizing Popular Participation. Washington, DC: World Resources Institute.

Riyanto B. 2005. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor:LPHKL.

Rudd MA. 2003. Institutional Analysis of Marine Reserve and Fisheries Governance Policy Experiments, A Case Study of Nassau Grouper Conservation in the Turks and Caicos Islands[Desertasi]. The Netherlands: Wageningen University.

Ruddle K. 1998. The context of Policy Design for Existing Community-based Fisheries Management System in the Pacific Island. Ocean and Coastal Management40:105-126.

Saalismaa N. 2000. Local People and Protected Areas: a case study from Miraflor, Nicaragua [tesis]. University of Helsinki, Dept of Limnology and Environmental Protection.

Satria A. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Pr.

Schlager E, Ostrom E. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economic.68 (3): 249-262.

Schlager E, Ostrom E. 1999. Property Rights Regimes and Coastal Fisheries: An Empirical Analysis. Di dalam: McGinnis MD, editor. 1999. Polycentric Governance and Development. Workshop in Political Theory and Policy Analysis.The University of Michigan Press.

Scott WR. 2008.Institutions and Organizations: Ideas and Interests. 3rded. Los Angeles (US): Sage.


(4)

Soehartono T, Mardiastuti A. 2013.The Voice of National Parks in Kalimantan, Indonesia: Searching the Truth of Thirty Year National Park Development. Jakarta: Nata Samastha Houndation.

Soekmadi R. 2002. National Park Management In Indonesia: Focused on the Issues of Decentralization and Local participation [Desertasi]. Gottingen (DE): Gottingen Univ.

Soleh R, Nurwatha P, Faridah I, Nuralam R. 2010. Saatnya Kami “Berdaulat”:

Sebuah Cuplikan Perjuangan Masyarakat Gunung Simpang untuk Membangun Kembali Peranannya dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta (ID):DIT-KKBHL KEMENHUT.

Sudradjat A, Koesno. 1988. Masalah Perundang-undangan dalam rangka pengembangan wisata alam di taman nasional [makalah]. Seminar Nasional Konservasi Sumberdaya Alam dan pengembangan Wisata Alam; 17 Nopember 1988.Yogyakarta, Fakultas Kehutanan UGM.

Suharjito D. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina.JMHT.15 (3): 123-130

Suhaeri. 1994. Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana IPB.

Sugiyono.2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Penerbit ALFABETA.

Sumardja EA, Harsono, Mackinnon J. 1982. Indonesia’s Network of Protected Areas. Di dalam: McNeely JA, Miller KR, editor. National Parks, Conservation, and Development.The role of protected areas in sustaining society.World Congress on National Parks. Bali, Indonesia, 11-22 October 1982. Washington DC: Smithsonian Institution Press.

Suporahardjo, editor. 2005. Manajemen Kolaborasi: memahami pluralisme membangun konsensus. Bogor: Pustaka Latin.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi SumberDaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan san Satwa Liar. Thomas L, Middleton J, editor. 2003. Guidelines for Management Planning of

Protected Areas.Gland–Switzerland, and Cambridge-UK: IUCN.

TRAFFIC. 2012. The Trade in South-East Asian Python Skins. Geneva:ITC (International Trade Centre)

Tremblay P. Economic contribution of Kakadu National Park to tourism in the Northern Territory. CRC

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SumberDaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.


(5)

Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. USA(US): Kumarian Pr.

Uphoff N. 1998. Community-based Resources Management: connecting micro and macro process and people with their environment. Working paper. International CBRNM Workshop, Washington.

USAID. 2011. Devolution of Forest Rights and Sustainable Forest Management: a review of policies and programs in 16 developing countries. Burlington: Tetra Tech ARD.

Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan 2004. Bogor (ID): Wetlands International-Indonesia Programme.

Weeks P, Mehta S. 2004. Managing People and Landscapes: IUCN’s Protected Area Categories. J. Hun. Ecol. 16(4):253-263.

Wells M, Brandon K, Hannah L. 1992. People and Parks: Linking Protected Areas Management with Local Communities. New York :The World Bank. Widada, Mulyati S, Kobayashi H. 2006. Sekilas tentang konservasi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya. Jakarta (ID):Ditjen PHKA-JICA.

[WWF-Indonesia] World Wide Fund for Nature-Indonesia.2009. Estimasi Emisi Karbon dari Kebakaran Hutan dan Lahan. Bogor: IPB, WWF, dan CCROM [Indonesia] World Wide Fund for Nature-Indonesia. 2009.

WWF-Indonesia Strategic Plan 2009-2013. Jakarta:WWF-WWF-Indonesia.

[WWF-Indonesia Sebangau Project] World Wide Fund for Nature-Indonesia Sebangau Project. 2004. Perencanaan Pengelolaan Penutupan Kanal (canal clocking) di Kawasan Hutan Rawa Gambut Sebangau Kalimantan Tengah. Palangkaraya: WWF Indonesia-Sebangau Project.

[WWF-Indonesia Sebangau Project] World Wide Fund for Nature-Indonesia Sebangau Project. 2013. Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2006.Palangkaraya:WWF-Indonesia Sebangau Project.

[WWF-Indonesia Sebangau Project] World Wide Fund for Nature-Indonesia Sebangau Project. 2013. Peta identifikasi lahan terbuka TNS tahun 2010.Palangkaraya:WWF-Indonesia Sebangau Project.

Yogaswara H. 2009. Taman Nasional Dalam Wacana Politik Konservasi Alam: Studi Kasus Pengelolaan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak. Jurnal Kependudukan Indonesia. 4(1):73-89.

Yudistira P. 2012. Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Wiratno, Hakim B, editor. Jakarta (ID): Dit KKBHL-Kemenhut.

Zuhud EAM. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga (POGA) Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia di Era Globalisasi. Bogor (ID) : IPB


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blora-Jawa Tengah pada tanggal 06 Desember 1971 dari ayah (Alm) Hery Soeparman dan ibu (Alm) Endang Budiasri. Menikah dengan Isti Sunarni, S.Hut, memiliki tiga orang buah hati yaitu Sabryna Aditya Putri, Amalia Safitri, dan Fathan Sulistyo Kamil. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1996 di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor (IPB). Selanjutnya pada tahun 2003 penulis mendapatkan beasiswa program Master (S2) dari Pusat Pendidikan dan Latihan Perencanaan Nasional (PUSDIKLATREN)-Bappenas pada Magister Ekonomika Pembangunan-Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pendidikan Master diselesaikan pada tahun 2005. Kemudian pada tahun 2010, penulis mendapatkan beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan-Kementerian Kehutanan untuk mengikuti program Doktor (S3) pada Program Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT)-IPB.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai pada tahun 1996 menjadi counterpart pada Proyek Pengembangan Konservasi Alam Terpadu (PKAT) Direktorat Bina Program Ditjen PKADepartmen Kehutanan. Selanjutnya tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dengan penempatan di Kantor Wilayah Propinsi Jateng dpk Dishutbun Kab. Rembang. Jabatan terakhir adalah sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah.

Bogor, Oktober 2014 Edi Sulistyo HS NIM E 361100031