BAB II KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

(1)

Berikut ini akan dijelaskan mengenai keadaan dan karakteristik geologi secara regional baik itu fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional dan geologi sejarah regional di daerah penelitian yang termasuk dalam lembar peta rupabumi digital Indonesia (Bakosurtanal) Lembar Belik (1308-641), Lembar Watukumpul (1308-642), Lembar Randudongkal (1308-643), dan Lembar Bantarbolang (1308-644) dan termasuk dalam Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto dan Tegal (1309-6 & 1309-3) Jawa Tengah.

2.1 Fisigrafi Regional

Menurut Van bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu :

1. Endapan Vulkanik Kuarter, 2. Dataran Aluvium Jawa Utara,

3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng, 4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah,

5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi, Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan,

6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.


(2)

Menurutnya, pegunungan di Jawa Tengah terbentuk oleh 2 puncak geantiklin yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan. Pegunungan Serayu Utara merupakan garis penghubung antara Zona Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Sedangkan Pegunungan Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi Bandung yang membujur secara longitudinal di Jawa Barat dan terdiri atas bagian barat dan timur, yang keduanya dipisahkan oleh Lembah Jatilawang yang termasuk kedalam Zona Pusat Depresi Jawa Tengah dan bagian baratnya merupakan tinggian di dalam Zona Bandung di Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan antiklin yang sederhana dan sempit di bagian barat, yaitu di sekitar Ajibarang. Sedangkan di bagian timur Banyumas berkembang antiklinorium dengan lebar mencapai 30 kilometer yaitu di sekitar Lok Ulo. Bagian timur Pegunungan Serayu Selatan ini merupakan struktur dome sedangkan dekat Jatilawang terdapat suatu antiklin yang terpotong oleh Sungai Serayu.

Antara Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Serayu Utara terdapat Zona Depresi Serayu, atau lebih dikenal dengan sebutan Zona Depresi Jawa Tengah. Depresi Jawa Tengah ini memanjang dari Majenang – Ajibarang – Purwokerto – Jatilawang dan Wonosbo. Di antara Purwokerto dan Banjarnegara, lebar dari zona ini sekitar 15 kilometer, tetapi di sebelah timur Wonosobo semakin meluas dan secara setempat-setempat ditutupi oleh gunungapi muda, di antaranya G. Sundoro (3155 m) dan G. Sumbing (3317 m) dan ke arah timur Zona Depresi Jawa Tengah ini muncul kembali, yaitu di sekitar Datar Temanggung, Magelang.


(3)

Sedangkan Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan Serayu Selatan yang terbentang luas di Jawa Barat. Pegunungan Karangbolong merupakan bagian dari lajur yang sama, tetapi terpisah baik dari yang terdapat di Jawa Barat maupun yang terbentang dari selatan Yogyakarta ke timur.

Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Serayu Utara (gambar 2.1), dan secara struktur termasuk ke dalam Besuki Majenang High. Secara regional, Zona Pegunungan Serayu Utara mempunyai relief yang agak menonjol membentuk jalur Pegunungan Slamet, dan menuju ke arah selatan semakin melandai membentuk Cekungan Serayu.

Gambar2.1 Peta Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelan, 1949)

2.2 Stratigrafi Regional

Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah penelitian dan diuraikan dari satuan yang tua ke satuan yang lebih muda.


(4)

Menurut Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996), urutan stratigrafi regional daerah penelitian dari yang tua ke yang muda tersusun atas Formasi Rambatan, Formasi Halang, dan Batuan Terobosan.

2.2.1 Formasi Rambatan

Formasi Rambatan tersusun atas serpih, napal, batupasir gampingan, dan napal selangseling batupasir gampingan. Berumur Miosen Tengah, dan banyak mengandung foraminifera kecil. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam, dan diperkirakan diendapkan pada cekungan depan busur (fore arc basin).

Menurut Martono (1992), Djuri (1975) menggambarkan sebaran Formasi Rambatan dalam Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, merupakan kelanjutan sebaran Formasi Merawu yang berada di Peta Geologi Lembar Banjarnegara – Pekalongan (Condon, Pardyanto, dan Ketner, 1975), yang berupa selang-seling batupasir gampingan, batupasir kuarsa, dan batupasir tufan, dengan fosil-fosil Lepidocyclina dan Cycloclipeus (Katacycloclipeus) annulatus MARTIN. Formasi ini juga dapat disebandingkan dengan Fm. Merawu bagian atas Marks (1957, dalam Dzulkifli, 2008), berupa lapisan tipis batupasir, batupasir gampingan, dan batulempung napalan dengan ciri permukaan lapisan berupa pola retakan heksagonal, gelembur gelombang, dan jejak binatang.

Formasi Rambatan, diendapkan secara selaras di atas Formasi Pemali (di luar daerah penelitian), berumur Miosen Bawah bagian atas (Van Bemmelen, 1949; Kastowo, 1975, dalam Syahputra, 2009). Bagian bawah formasi terususun dari batupasir gampingan dan konglomerat, berselingan dengan lapisan tipis napal dan serpih. Bagian atas terdiri dari batugamping berwarna abu-abu sampai kebiruan.


(5)

Menurut Kartanegara, Uneputty, dan Asikin (1987), Formasi Rambatan terdiri dari dua bagian: bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir gampingan berselingan batulempung gampingan, sisipan konglomerat, batulanau, dan batugamping. Bagian atas didominasi oleh lempung gampingan, setempat sisipan batupasir gampingan dan batulanau. Formasi ini diendapkan oleh mekanisme arus turbid dari suatu sistem kipas bawah laut (inner – outer fan). Umur Formasi Rambatan, berdasarkan pada kandungan fosil foraminifera planktonik, adalah Miosen Akhir – Pliosen Awal (N14 – N18).

2.2.2 Formasi Halang

Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit, konglomerat tufan dan napal, bersisipan batupasir. Formasi ini berumur Miosen Akhir dan memiliki ketebalan hingga 800 meter (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996). Menurut Kastowo dan Suwarna (1996) di dalam Stratigraphic Lexicon ofIndonesia, Formasi Halang tersusun atas perselingan batupasir, batulempung, napal, dan tuf dengan interkalasi breksi. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan submarine fan pada kedalaman neritik, dan terbentuk pada fore arc basin, dengan ketebalan berkisar antara 400 – 700 meter. Oleh Safarudin (1982), bagian bawah formasi ini berumur Miosen (N15 – N16), dan bagian atas berumur Miosen (N15 – N18).

Sedangkan menurut Ratman dan Robinson (1996), Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit yang resisten dan konglomerat tufan dengan sisipan napal. Formasi ini membentuk karakteristik punggungan-punggungan dengan tinggi mencapai 1260 meter, dan pada ketinggian yang lebih rendah membentuk lembah lembah sempit dan curam. Formasi Halang diendapkan secara selaras di atas Formasi. Rambatan dan ditindih secara selaras oleh Fm. Kumbang. Berdasarkan hubungan


(6)

stratigrafi tersebut, Formasi Halang diperkirakan berumur Miosen Tengah –Miosen Akhir, dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang berangsur mendalam ke arah Timur.

Adapun menurut Martono (1992), Djuri (1975) menggambarkan perluasan Formasi Halang sebagai perluasan dari Formasi Penyatan dengan perubahan bagian yang kaya aliran lava diubah menjadi Formasi Kumbang, sedangkan yang didominasi batuan sedimen menjadi Formasi Halang, dengan pengertian bahwa Formasi Kumbang menindih tidak selaras Formasi Halang. Dari beberapa paragraf di atas dapat dilihat bahwa antara para pemeta dan penyelidik terdahulu terdapat berbagai perbedaan tentang susunan stratigrafi daerah penelitian, padahal satuan stratigrafi tersebut berkelanjutan dari satu lembar peta ke kembar lainnya. “tampak bahwa setiap pemeta cenderung memilih patokannya masing-masing dalam mengkorelasikan satuan stratigrafi di lembar petanya dengan satuan stratigrafi yang telah ada”, Martono (1992).

2.2.3 Batuan Terobosan Tersier

Batuan terobosan di daerah penelitian berupa retas lempeng dan retas diorit, yang berumur Miosen Akhir (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996). Berdasarkan umur di atas, diperkirakan bahwa retas lempeng dan retas diorit ini dapat disebandingkan dengan pembagian retas Zona Pegunungan Serayu Utara menurut Van Bemmelen (1973) di dalam Martono (1992), berupa retas gabro dan dioritporfirit dengan ciri holokristalin dan tekstur porfiritik. Dimana varitas basa adalah gabroporfirit dan yang menengah adalah diorit porfirit, dengan peralihan di antara keduanya. Ada indikasi diferensiasi ke arah alkalin. Batuan ini lazim mengandung inklusi batuan yang diterobosnya


(7)

2.2.4 Batuan Gunungapi Slamet Tak Terurai

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Batuan Gunungapi Slamet Tak Teruai pada daerah penitian yaitu berupa breksi gunungapi, lava, dan tuff berumur berumur plistosen, sebarannya membentuk dataran dan perbukitan.

2.2.5 Aluvium

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Aluvium pada daerah penelitian berupa kerikil, pasir, lanau, dan lempung, sebagai endapan sungai dan pantai dengan tebal hingga 150 m. Memiliki umur Holosen.

2.3 Struktur Geologi Regional

Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga periode tektonik tersebut adalah :

1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen), 2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen), dan 3. Tektonik Holosen.

2.3.1 Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)

Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen dan Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara hanya sebagian. Sedangkan


(8)

sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal. Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi yang diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat yang disertai aktivitas vulkanik.

2.3.2 Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)

Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik, yang penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan Vulkanik Kuarter.

2.3.3 Periode Tektonik Holosen

Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar, yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut menyebabkan berlangsungnya keseimbangan isostasi secara lebih aktif terhadap


(9)

blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi. Sesar-sesar menangga yang terjadi pada periode inidapat dikenal sebagai gawir-gawir sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau kaldera gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar pada kaldera Gunung Watubela.

Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa struktur geologi di Pulau Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara ,sesuai dengan konsep Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang didasarkan pada model shear murni.

2.4 Geologi Sejarah Regional

Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara Lempeng Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir atau Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan.

Selama Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari selatan yang dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng Indo-Australia. Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara, pergerakan ke utara ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan pengangkatan. Kompresi ini memulai terbentuknya pasangan kekar-kekar gerus


(10)

utama (conjugate set of primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi aktivitas volkanik. Pada akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan laut dangkal menempati bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi.

Selama Oligosen terjadi penurunan muka air laut secara tajam di seluruh dunia yang menyebabkan erosi pada blok yang paling tinggi dan bersamaan dengan itu, terendapnya material erosi ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan Robinson, 1996). Sedangkan menurut Martono (1992) Gejala tektonik tertua yang ditemukan di daerah ini ditunjukkan oleh proses pembentukan batuan Paleogen, yang diduga berlangsung sampai Oligosen. Terjadinya pencampuradukan tektonik yang melibatkan barbagai jenis batuan, termasuk sedimen yang sedang dalam proses pengendapan, memberikan kesan bahwa batuan Paleogen tersebut terbentuk di dalam zona tunjaman (subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949), pada Oligosen – Miosen, geantiklin bagian utara mengalami penurunan yang terjadi akibat naiknya geantiklin bagian selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi gravitasional yang menyebabkan geantiklin bagian selatan patah, sayap utara geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi geosinklin.

Miosen Awal merupakan kala yang tenang dengan penaikan muka air laut dan pembentukan terumbu di sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi. Orogenesis merupakan ciri-ciri Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan kembali dari selatan, kompresi blok sesar dan sedimen-sedimen yang menindihnya, aktivitas volkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting yang


(11)

terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan. Intensitas orogenesis dan aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama Miosen Tengah dan Akhir dan berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson, 1996). Menurut Martono (1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan cekungan belakang busur yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan sesekali bahan volkanik berbutir halus dari arah busur volkanik. Masa ketenangan tektonik Miosen Awal ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan penyesaran. Dalam proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan yang dikendalikan oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada akhir Miosen – awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan busur pulau gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif pada Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu lipatan yang terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin, Gafoer, dan Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan terendapkannya Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan diorit pada akhir Miosen Tengah.

Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan perlipatan dan adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen.

Menurut van Bemmelen (1949), pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara kembali mengalami pengangkatan akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke arah dataran Sunda). Pada Akhir Pliosen pengangkatan terus terjadi yang diiringi dengan beberapa gejala volkanisme. Pada Plistosen, aktivitas volkanisme semakin


(12)

meningkat disertai unsur tektonik hingga membentuk pola struktur geologi seperti sekarang ini.

Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas volkanik, pengubahan volkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks Gunungapi Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah yang menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen. Di atas kubah volkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen.

Dari Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa daerah dan penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah di utara bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama vertikal.


(1)

2.2.4 Batuan Gunungapi Slamet Tak Terurai

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Batuan Gunungapi Slamet Tak Teruai pada daerah penitian yaitu berupa breksi gunungapi, lava, dan tuff berumur berumur plistosen, sebarannya membentuk dataran dan perbukitan.

2.2.5 Aluvium

Menurut Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996, Aluvium pada daerah penelitian berupa kerikil, pasir, lanau, dan lempung, sebagai endapan sungai dan pantai dengan tebal hingga 150 m. Memiliki umur Holosen.

2.3 Struktur Geologi Regional

Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga periode tektonik tersebut adalah :

1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen), 2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen), dan 3. Tektonik Holosen.

2.3.1 Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)

Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen dan Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara hanya sebagian. Sedangkan


(2)

sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal. Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi yang diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat yang disertai aktivitas vulkanik.

2.3.2 Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)

Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik, yang penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan Vulkanik Kuarter.

2.3.3 Periode Tektonik Holosen

Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar, yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut menyebabkan berlangsungnya keseimbangan isostasi secara lebih aktif terhadap


(3)

blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi. Sesar-sesar menangga yang terjadi pada periode inidapat dikenal sebagai gawir-gawir sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau kaldera gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar pada kaldera Gunung Watubela.

Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa struktur geologi di Pulau Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara ,sesuai dengan konsep Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang didasarkan pada model shear murni.

2.4 Geologi Sejarah Regional

Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara Lempeng Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir atau Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan.

Selama Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari selatan yang dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng Indo-Australia. Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara, pergerakan ke utara ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan pengangkatan. Kompresi ini memulai terbentuknya pasangan kekar-kekar gerus


(4)

utama (conjugate set of primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi aktivitas volkanik. Pada akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan laut dangkal menempati bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi.

Selama Oligosen terjadi penurunan muka air laut secara tajam di seluruh dunia yang menyebabkan erosi pada blok yang paling tinggi dan bersamaan dengan itu, terendapnya material erosi ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan Robinson, 1996). Sedangkan menurut Martono (1992) Gejala tektonik tertua yang ditemukan di daerah ini ditunjukkan oleh proses pembentukan batuan Paleogen, yang diduga berlangsung sampai Oligosen. Terjadinya pencampuradukan tektonik yang melibatkan barbagai jenis batuan, termasuk sedimen yang sedang dalam proses pengendapan, memberikan kesan bahwa batuan Paleogen tersebut terbentuk di dalam zona tunjaman (subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949), pada Oligosen – Miosen, geantiklin bagian utara mengalami penurunan yang terjadi akibat naiknya geantiklin bagian selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi gravitasional yang menyebabkan geantiklin bagian selatan patah, sayap utara geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi geosinklin.

Miosen Awal merupakan kala yang tenang dengan penaikan muka air laut dan pembentukan terumbu di sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi. Orogenesis merupakan ciri-ciri Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan kembali dari selatan, kompresi blok sesar dan sedimen-sedimen yang menindihnya, aktivitas volkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting yang


(5)

terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan. Intensitas orogenesis dan aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama Miosen Tengah dan Akhir dan berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson, 1996). Menurut Martono (1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan cekungan belakang busur yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan sesekali bahan volkanik berbutir halus dari arah busur volkanik. Masa ketenangan tektonik Miosen Awal ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan penyesaran. Dalam proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan yang dikendalikan oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada akhir Miosen – awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan busur pulau gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif pada Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu lipatan yang terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin, Gafoer, dan Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan terendapkannya Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan diorit pada akhir Miosen Tengah.

Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan perlipatan dan adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen.

Menurut van Bemmelen (1949), pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara kembali mengalami pengangkatan akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke arah dataran Sunda). Pada Akhir Pliosen pengangkatan terus terjadi yang diiringi dengan beberapa gejala volkanisme. Pada Plistosen, aktivitas volkanisme semakin


(6)

meningkat disertai unsur tektonik hingga membentuk pola struktur geologi seperti sekarang ini.

Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas volkanik, pengubahan volkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks Gunungapi Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah yang menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen. Di atas kubah volkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen.

Dari Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa daerah dan penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah di utara bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama vertikal.