Latar Belakang ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL BATIK DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Segala bentuk kebijakan pemerintah, pada hakekatnya tertuju pada peningkatan pembangunan ekonomi yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat. Febra Robiyanto dan Mugihardjo 2007 menyimpulkan bahwa suatu kegiatan pembangunan ekonomi dapat dikatakan berhasil apabila terjadi 1 kenaikan pendapatan per kapita dan produktivitas per kapita, serta jumlah penduduk miskin berkurang 2 penganggur semakin berkurang karena adanya peningkatan kesempatan kerja 3 perubahan struktur ekonomi dan alokasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang lebih produktif 5 peningkatan devisa dan kegiatan ekspor-impor, disusul berkurangnya pinjaman luar negeri 6 peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi 8 pengertian demokrasi lebih jelas, serta batasan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif lebih tegas. Negara berkembang seperti Indonesia, memiliki masalah kependudukan yang seringkali disebut sebagai masalah kompleks. Pertambahan jumlah penduduk di negara berkembang dapat menimbulkan masalah kepada usaha-usaha pembangunan karena di satu pihak, pertambahan penduduk yang sangat pesat akan menimbulkan perkembangan jumlah tenaga kerja yang sama cepatnya. Akan tetapi di lain pihak, negara berkembang mempunyai kemampuan yang jauh lebih terbatas untuk menciptakan lapangan kerja baru. Padahal, menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan 2 penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka, suatu tantangan bagi Pemerintah dan pihak swasta terkait peningkatan kemampuan penciptaan lapangan kerja baru. Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan pada tingkat usia tertentu dapat dikatakan sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu komponen pembangunan, maka tenaga kerja dituntut memiliki kualitas tertentu untuk menjamin pekerja mendapatkan perlindungan dan penghasilan yang memadai untuk dapat hidup layak. Payaman Simanjuntak 2001 mengatakan bahwa Tenaga kerja merupakan Sumber Daya Manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja dalam proses produksi. Kemampuan bekerja dari setiap tenaga kerja memiliki nilai ekonomis yang berarti segala kegiatan yang dilakukan dalam menghasilkan barang dan jasa adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan usia. Dengan kata lain, orang yang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau manpower. Tabel 1.1 menunjukkan kondisi penduduk yang bekerja maupun yang merupakan pengangguran. Jumlah angkatan kerja dari tahun ke tahun mengalami kondisi yang naik turun dan jumlah angkatan kerja tertinggi terdapat pada tahun 2012. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja sebanyak 16,70 juta orang dengan jumlah pengangguran sebanyak 1,22 juta orang. Tahun 2009 jumlah angkatan kerja meningkat menjadi 17,09 juta orang dengan jumlah pengangguran bertambah menjadi 1,25 juta orang. Tahun 2010 jumlah angkatan kerja mengalami penurunan menjadi 16,85 juta orang dengan jumlah pengangguran sebanyak 1,05 juta orang. 3 Tahun 2011 jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 16,91 juta orang dengan jumlah pengangguran berkurang menjadi 1,00 juta orang. Tahun 2012 jumlah angkatan kerja meningkat menjadi 17,10 juta orang dengan jumlah pengangguran sebanyak 0,96 juta orang. Tabel 1.1 Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT di Jawa Tengah Tahun 2008 - 2012 Tahun Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK Tingkat Pengangguran Terbuka TPT Juta Orang Juta Orang Juta Orang 2008 16,70 15,46 1,23 68,37 7,35 2009 17,01 15,84 1,26 69,27 7,33 2010 16,86 15,81 1,05 70,60 6,21 2011 16,92 15,92 1,00 70,77 5,93 2012 17,10 16,13 0,96 71,43 5,63 Sumber : RPJMD Prov. Jawa Tengah tahun 2013-2018, diolah Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Jawa Tengah pada tahun 2008-2012 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan TPAK, perlu diikuti dengan perluasan lapangan kerja dan pengoptimalan penyerapan tenaga kerja pada setiap sektor. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Tengah pada tahun 2008-2012 terus mengalami penurunan yang mengindikasikan bahwa meningkatnya jumlah angkatan kerja yang terserap. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka diharapkan dapat terus menurun. Maka, kebijakan Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan hendaknya bertujuan pada optimalisasi modal, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini 4 perlu ditunjang oleh kebijaksanaan dan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kemampuan produksi yang lebih besar. Trend pembangunan di beberapa dasawarsa ini, terjadi perubahan peranan struktur sektor industri dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja. Perubahan peranan sektor industri dalam menciptakan produksi nasional dan menampung tenaga kerja pada proses pembangunan sangatlah pesat. Menurut Dumairy dalam Haryani, 2013, produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar term of trade yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang besar dibanding produk-produk sektor lain. Pernyataan ini menjelaskan bahwa sektor industri memberikan pengaruh penting dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Semarang, sebagai Ibu Kota Jawa Tengah memiliki 9 jenis lapangan usaha yang masing-masingnya memberikan sumbangsih pada tingkat Produk Domestik Bruto PDRB Kota Semarang. Selaras dengan pernyataan yang mengatakan bahwa proses industrialisasi berpengaruh penting dalam peningkatan taraf hidup masyarakat, maka peran industri pengolahan semakin dibutuhkan demi peningkatan perekonomian Kota Semarang. 5 Tabel 1.2 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kota Semarang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2008-2012 Lapangan Usaha Distribusi Laju Pertumbuhan r 2008 2009 2010 2011 2012 2008-2009 2009-2010 2010-2011 2011-2012 Pertanian 1,19 1,16 1,13 1,08 1,02 3,12 2,78 1,74 0,54 Pertambangan dan Penggalian 0,16 0,16 0,15 0,15 1,14 2,52 2,83 2,33 1,96 Industri Pengolahan 27,33 27,08 26,63 26,60 26,58 4,47 4,90 5,50 6,36 Listrik, Gas dan Air Minum 1,31 1,29 1,27 1,25 1,22 3,86 4,16 4,78 3,76 Bangunan 14,87 15,27 15,45 15,55 15,49 8,15 7,14 7,04 6,03 Perdagangan, Hotel dan Restoran 30,83 30,81 30,83 30,90 31,09 5,25 5,93 6,67 7,08 Pengangkutan dan Komunikasi 9,66 9,67 9,67 9,64 9,57 5,44 5,87 6,06 5,61 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 2,86 2,80 8,73 8,71 2,73 3,06 3,19 5,56 7,44 Jasa-jasa 11,78 11,76 11,94 12,13 12,16 5,21 7,46 8,15 6,67 Jumlah 100 100 100 100 100 5,34 5,87 6,41 6,42 Sumber: BPS, PDRB Kota Semarang 2013 6 Tabel 1.2 menunjukkan besarnya kontribusi setiap sektor terhadap PDRB di Kota Semarang dari tahun 2008 hingga 2012. Dapat dilihat dalam tabel, terdapat Industri Pengolahan yang memberi kontribusi terbesar kedua dalam besar PDRB. Tahun 2008, Sektor Industri Pengolahan memberi kontribusi terhadap PDRB sebesar 27,55 persen, pada tahun 2009 menurun sebesar 27,33 persen. Tahun 2010 kontribusi Sektor Industri Pengolahan mengalami penurunan menjadi sebesar 27,08 persen. Pada tahun 2011 kembali menurun yaitu sebesar 26,68 persen. Tahun 2012, peranan Sektor Industri Pengolahan adalah sebesar 26,58 persen. Dari tahun ke tahun kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap tingkat PRDB Kota Semarang menunjukkan penurunan. Namun, meskipun begitu, laju pertumbuhannya justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut menunjukkan Sektor Industri Pengolahan semakin produktif. Walaupun dari tahun 2008 hingga 2012 persentase kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB menurun, namun sektor tersebut tetap memberikan sumbangan terbesar kedua setelah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap besarnya PDRB Kota Semarang. Dilihat dari peranan Sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB, maka sektor ini berpotensi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain diharapkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, Industri Pengolahan juga diharapkan menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin atau dengan kata lain dapat meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja sehingga dapat membantu mengurangi tingkat pengangguran di Kota Semarang. 7 Tabel 1.3 menunjukkan distribusi persentase pertumbuhan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut jenis lapangan usaha di Kota Semarang. Dalam tabel tersebut menggunakan batas umur 15 tahun sebab terkait pemberlakuan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan yang telah menetapkan batas usia tenaga kerja menjadi 15 tahun. Tabel 1.3 Distribusi Persentase Pertumbuhan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Jenis Lapangan Usaha di Kota Semarang Tahun 2008-2012 Lapangan Usaha Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Pertanian 3,84 3,04 1,75 3,16 3,57 Pertambangan dan Penggalian 0,79 0,55 0,24 0,60 0,72 Industri Pengolahan 18,61 18,09 21,58 19,70 21,41 Bangunan 6,24 6,71 7,55 6,07 7,32 Perdagangan, Hotel dan Restoran 33,95 33,57 33,77 34,06 35,46 Pengangkutan dan Komunikasi 8,06 8,21 5,79 5,91 5,68 Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 5,50 5,66 4,51 5,27 5,88 Jasa-Jasa 23,03 24,16 24,81 25,22 25,82 Jumlah 100 100 100 100 100 Sumber: BPS Kota Semarang 2008-2012, diolah Berdasar pada tabel 1.3, diperoleh angka penyerapan tenaga kerja di Sektor Industri Pengolahan di Kota Semarang pada tahun 2008-2012 mengalami persentase yang fluktuatif. Namun, tetap memberikan banyak persentase dalam distribusi tenaga kerja di Kota Semarang. Persentase terbesar penduduk yang bekerja di Sektor Industri Pengolahan terjadi pada tahun 2010. BPS mendefinisikan jenis industri menurut jumlah tenaga kerjanya. Industri besar adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja sebanyak 100 orang atau 8 lebih, industri sedang adalah industri yang memiliki tenaga kerja sebanyak 20 sampai dengan 99 orang, sedangkan industri kecil adalah perusahaan yang memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 5-19 orang. Di Kota Semarang, terdapat beberapa macam industri kecil yang mampu bersaing dalam upaya penciptaan lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja, khususnya bagi masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Siaran Pers Kementrian Perdagangan RI memberitakan Wakil Menteri Perdagangan RI Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Bayu Krisnamurthi, dalam kunjungannya pada Pekan Batik Internasional 2013 410 mengatakan bahwa batik merupakan warisan budaya bernilai seni dan ekonomi tinggi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan perekonomian nasional. Menurut Bayu Krisnamurthi pula, bukan tidak mungkin pasar Batik Indonesia akan merambah ke pasar internasional. Dari pernyataan tersebut, batik khas Kota Semarang diharapkan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya memperluas pasar ke ranah internasional sebab batik khas Kota Semarang merupakan salah satu dari kekayaan jenis batik di Indonesia. Berikut ditampilkan jumlah unit usaha serta tenaga kerja industri kecil di Kota Semarang. 9 Tabel 1.4 Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Pada Industri Kecil di Kota Semarang Tahun 2011 Nama Usaha Jumlah Unit Jumlah Tenaga Kerja 1 Loenpia 38 98 2 Kolang-Kaling 8 42 3 Krupuk 128 426 4 Sepatu 72 176 5 Mebel 13 33 6 Terasi 33 70 7 Wingko Babat 14 68 8 Blekeding 19 33 9 Logam 69 247 10 Tempe 595 1.135 11 Tas 77 217 12 Tahu 117 516 13 Batik 41 190 14 Bandeng 48 122 15 Keripik 81 168 16 Ikan Asap 79 210 17 Bata Merah 279 554 Sumber : Disperindag Kota Semarang 2011, diolah Berdasarkan tabel 1.4 dapat diketahui bahwa Industri Kecil Batik di Kota Semarang mempunyai 41 unit usaha yang menyerap tenaga kerja sebanyak 190. Dilihat dari jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang terserap, usaha Pemerintah untuk membangkitkan kembali Industri Batik Semarangan seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD 2008-2013 dituangkan dalam Perda nomor 4 tahun 2005 bahwa Pemerintah Kota Semarang sangat memerhatikan para pengusaha Mikro Kecil dan Menengah ternyata belum optimal. Hal ini terkendala terbatasnya Sumber Daya Manusia pengrajin Batik Semarangan di setiap unit usahanya yang rata-rata hanya memiliki tenaga kerja 10 sebanyak 3-5 orang tenaga kerja tetap dan melakukan penambahan tenaga kerja sebanyak 1-5 orang hanya apabila terjadi peningkatan permintaan. Tabel 1.5 Perkembangan Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Pada Industri Kecil Batik di Kota Semarang 2009-2011 Tahun Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja 2009 37 178 2010 39 183 2011 41 190 Sumber : Disperindag Kota Semarang 2009-2011, diolah Tabel 1.5 menunjukkan perkembangan jumlah unit usaha dan tenaga kerja pada Industri Kecil Batik di Kota Semarang tahun 2009-2011. Dari tahun ke tahun, jumlah tenaga kerja Industri Kecil Batik di Kota Semarang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah unit usahanya. Hal ini menunjukkan Industri Kecil Batik Semarangan berpotensi sebagai penyerap tenaga kerja meskipun belum sebanyak tenaga kerja yang terserap oleh Industri Pengolahan Makanan. Dalam wawancara prasurvei yang telah dilakukan, beberapa pengusaha batik mengatakan bahwa jumlah permintaan Batik Semarangan yang tidak tentu setiap bulannya membuat pengusaha tidak dapat merekrut banyak pekerja tetap. Ketika permintaan banyak maka Industri Kecil Batik mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar tetapi ketika permintaan sedikit maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang ada untuk menekan biaya produksi. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan persebaran Industri Kecil Batik di beberapa kecamatan di Kota Semarang beserta jumlah tenaga kerja dan nilai produksinya. 11 Tabel 1.6 Persebaran Industri Kecil Batik di Kota Semarang Tahun 2011 Kecamatan Unit Usaha Tenaga Kerja Nilai Produksi Rp.000,- Semarang Barat 2 8 90.000 Semarang Timur 14 82 1.191.000 Semarang Selatan 5 27 301.000 Banyumanik 2 11 66.000 Mijen 3 11 100.000 Gajah Mungkur 4 10 109.000 Tembalang 3 13 122.000 Pedurungan 2 6 44.000 Genuk 2 8 56.000 Gunung Pati 4 14 75.000 Jumlah 41 190 2.154.000 Sumber: Disperindag 2011, diolah Tabel 1.6 menunjukkan pengusaha Batik di Kota Semarang yang paling banyak terdapat pada Kecamatan Semarang Timur, yaitu sebanyak 14 unit usaha yang menyerap 82 tenaga kerja dan dengan nilai produksi Rp. 1.191.000.000,-. Di Kampung Batik terdapat pelatihan khusus lengkap dengan penyediaan peralatan membatik. Selain itu, dengan adanya Kampung Batik, masyarakat menjadi lebih mudah mendapatkan batik yang dicari. Namun, pada kecamatan lain, terdapat jumlah unit usaha, tenaga kerja dan nilai produksi yang lebih sedikit. Hal ini dapat dikarenakan sarana dan prasarana lebih terbatas, sehingga minat masyarakat untuk menggeluti kerajinan batik kurang. Sejalan dengan beberapa data penyerapan tenaga kerja di atas, maka dibutuhkan adanya kajian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja Industri Kecil Batik di Kota Semarang. Membatik merupakan pekerjaan yang erat kaitannya dengan art yang membutuhkan kain, lilin dan obat pewarna sebagai bahan baku. Para perajin Batik 12 Semarangan seringkali terkendala pada harga bahan baku yang terus melonjak. Seperti yang tertulis di artikel suaramerdeka.com edisi Juni 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus merosot membuat harga bahan baku pembuatan batik naik hingga dua kali lipat. Perajin batik terpaksa harus menaikkan biaya produksi hingga dua kali lipat. Dalam wawancara prasurvei, Nining Supartin, salah satu perajin batik di Kampung Batik Bubakan, mengatakan bahwa adanya kenaikan harga bahan baku batik hampir di setiap tahun mengakibatkan biaya produksi bertambah, sehingga dia terpaksa menaikkan harga jual kain batik tulis maupun cap, yakni 5-10 dari harga biasa dan untuk menghemat biaya produksi. Dengan alasan menghemat biaya produksi pula, Nining memilih untuk mengurangi jumlah tenaga kerjanya sebab tidak mungkin menurunkan kualitas bahan baku yang nantinya sangat berpengaruh pada hasil akhir batik yang diproduksi. Beliau tidak mempekerjakan pekerja borongan melainkan hanya pekerja harian sampai harga bahan baku stabil. Daryono yang juga merupakan produsen batik, dalam artikel yang tercantum pada website Suara Merdeka edisi Juni 2014, mengatakan bahwa kenaikan harga bahan baku mengakibatkan margin keuntungan yang diterimanya berkurang 40. Dalam artikel tersebut, Daryono juga mengatakan bahwa lebih baik mengurangi jumlah pekerja borongan daripada harus menaikkan harga batik karena akan membuat konsumen beralih pada produk pesaing. Melalui beberapa penuturan perajin batik tersebut, harga bahan baku batik sangat berpengaruh pada biaya bahan baku yang nantinya akan ditanggung oleh produsen. Tabel 1.7 menunjukkan harga bahan baku batik pada tahun 2010-2014. 13 Tabel 1.7 Rata-Rata Harga Bahan Baku Batik di Jawa Tengah Tahun 2010-2014 dalam Rupiah Tahun Kainmeter Lilinkg Obat Pewarna100gr 2010 10.000 22.000 25.000 2011 17.000 32.500 28.000 2012 15.000 26.000 33.000 2013 18.500 24.500 36.000 2014 20.000 29.000 32.000 Sumber: wawancara prasurvei dan artikel berita 2010-2014, diolah Dari tabel 1.7, dapat diketahui rata-rata harga bahan baku utama pembuat batik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Lonjakan tersebut terjadi akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan kenaikan harga BBM. Besarnya nilai tukar rupiah berpengaruh pada kelangsungan produksi batik karena sebagian bahan baku batik masih didatangkan dari luar negeri dengan transaksi menggunakan dolar AS. Melambungnya biaya produksi turut menjadikan harga jual batik ikut naik. Padahal, daya beli masyarakat tetap. Meski biaya produksi meningkat akibat lonjakan harga bahan baku batik, tidak semua produsen berani mengambil keputusan untuk menaikkan harga barang produksinya. Beberapa produsen batik menyiasatinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja. Tenaga kerja yang berkualitas dan dapat melakukan kegiatan produksi yang tinggi layak mendapatkan penghargaan berupa upah yang sesuai. Maka upah dapat dikatakan sebagai hal yang berpengaruh pada nilai produksi yang dihasilkan. Upah juga merupakan suatu barometer perngukur kesejahteraan. Apabila tenaga kerja merasa menerima upah yang layak, maka kesejahteraan tenaga kerja akan tercapai. Oleh karena itu Pemerintah akan berperan aktif untuk mengatur tentang upah. 14 Pemerintah telah mengatur tentang Upah Minimal KotaKabupaten, sehingga UMK sering kali menjadi perselisihan antara pengusaha dan pekerja. Hal ini terjadi karena masalah UMK hanya dilihat dari satu sisi di mana seseorang bisa hidup dengan gaji yang diperoleh. Tingginya atau kenaikan upah menjadi sensitifitas tersendiri bagi perusahaan karena kenaikan upah akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan berujung pada keputusan perusahaan untuk menaikkan harga barang produksi. Maka, diperlukan Undang-Undang yang tegas untuk mengatur tentang Pengupahan yang layak bagi tenaga kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 melindungi upah tenaga kerja yang merupakan upah minimum berdasarkan wilayah Provinsi atau kabupatenkota, yang diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Tabel 1.8 Upah Minimum Kota Semarang dan Nilai Produksi Industri Batik Tahun 2009-2012 Tahun UMK Pertumbuhan Nilai Produksi Rp. 000,- 2009 838.500 122.800 17,16 1.065.000 2010 939.756 101.256 12,07 1.545.000 2011 961.323 21.576 2,30 2.154.000 2012 991.500 30.177 3,14 - Sumber : BPS Disperindag Kota Semarang 2009-2012, diolah Selama tahun 2009-2012 upah minimum Kota Semarang secara cenderung meningkat setiap tahunnya namun laju pertumbuhan upah minimum Kota Semarang cenderung menurun setiap tahunnya. Persentase tertinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 17,16 dan terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 2,30 . UMK yang terus meningkat dapat memicu peningkatan kualitas pekerja. Pekerja yang berkualitas akan menghasilkan barang produksi yang lebih baik sehingga dapat 15 memicu peningkatan permintaan akan barang tersebut. Peningkatan permintaan merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan kegiatan produksi yang akan bermuara pada keputusan perusahaan untuk melakukan penambahan tenaga kerja. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai produksi yang terus meningkat dari tahun 2009 hingga tahun 2011 seiring dengan peningkatan UMK pada tahun tersebut. Dari seluruh kabupatenkota di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang memiliki upah minimum tertinggi dan juga mampu menutupi Kebutuhan Hidup Layak KHL. Hal tersebut mengakibatkan banyak angkatan kerja yang tertarik untuk bekerja di Kota Semarang. Pemerintah berusaha meningkatkan upah minimum dan menyeimbangkan dengan Kebutuhan Hidup Layak KHL karena setiap tahunnya biaya hidup layak meningkat akibat harga-harga kebutuhan ekonomi yang selalu meningkat. Selain upah, tingkat investasi tidak kalah penting bagi peningkatan nilai produksi yang dapat berpengaruh pada keputusan perusahaan untuk menambah atau mengurangi tenaga kerja. Investasi diperlukan untuk pengembangan modal yang menunjang kelancaran proses produksi, khususnya pada Industri Kecil Batik di Kota Semarang. 16 Tabel 1.9 Data Perkembangan Nilai Investasi Pada Industri Kecil Batik di Kota Semarang Tahun 2011 No. Kecamatan Nilai Investasi Rp. 000,- 1 Semarang Barat 68.000 2 Banyumanik 67.000 3 Semarang Timur 675.000 4 Mijen 109.000 5 Gajahmungkur 138.000 6 Tembalang 315.000 7 Genuk 91.000 8 Gunungpati 95.000 9 Pedurungan 70.000 10 Semarang Selatan 280.000 Jumlah 1.908.000 Sumber: Disperindag Kota Semarang 2011, diolah Tabel 1.9 menunjukkan nilai investasi tertinggi pada industri kecil batik di Kota Semarang ada pada kecamatan Semarang Timur, yaitu sebesar Rp. 675.000.000,- dan nilai investasi terendah adalah pada kecamatan Banyumanik, yaitu sebesar Rp. 67.000.000,-. Tabel berikut memperlihatkan tingkat investasi pada Industri Kecil Batik Kota Semarang di masing-masing kecamatan. Pada tabel 1.6 telah disebutkan nilai produksi industri batik tertinggi terdapat di Kecamatan Semarang Timur, sama dengan nilai investasinya yang terbilang paling tinggi di antara kecamatan lainnya di Kota Semarang. Dilihat dari besar 17 investasi dan nilai produksi, dapat dikatakan keduanya memiliki hubungan positif di mana apabila nilai investasi meningkat maka nilai produksi akan cenderung meningkat. Seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 1.10 Perkembangan Nilai Investasi dan Nilai Produksi Pada Industri Kecil Batik di Kota Semarang Tahun 2009-2011 Tahun Nilai Investasi Nilai Produksi 2009 1.758.000 1.065.000 2010 1.820.000 1.545.000 2011 1.908.000 2.154.000 Sumber: Disperindag Kota Semarang 2009-2011, diolah Tabel 1.10 menunjukkan perkembangan investasi dan nilai produksi Industri Kecil Batik di Kota Semarang selama tahun 2009-2011. Nilai produksi pada Industri Kecil Batik setiap tahunnya meningkat seiring dengan peningkatan nilai investasinya. Hal tersebut menunjukkan hubungan positif antara nilai investasi dan nilai produksi. Maka, Pemerintah perlu menyoroti pula soal pemerataan distribusi investasi di tiap kecamatan demi kelancaran proses produksi sehingga nilai produksi terus meningkat dan tidak terjadi ketimpangan yang mencolok pada nilai produksi di tiap kecamatan. Secara teori, investasi mencakup modal berupa peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi, bangunan atau pabrik dan juga barang- barang yang disimpan perusahaan dalam gudang, termasuk bahan-bahan dan persediaan, barang proses dan barang jadi Mankiw, 2007. Semakin tinggi modal yang tersedia, semakin berkembang usahanya. Perkembangan usaha tersebut salah 18 satunya ditandai dengan kualitas barang produksi yang membaik. Kualitas barang produksi yang baik meningkatkan permintaan dari konsumen akan barang produksi. Meningkatnya permintaan akan berpengaruh positif bagi penyerapan tenaga kerja karena perusahaan membutuhkan pekerja yang lebih banyak dalam proses produksi.

1.2 Rumusan Masalah