Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Op. Cit, hlm. 109

66 Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Op. Cit, hlm. 109

67 Rhoda W. Howard, “Dignity, Community and Human Rights”, dalam Abdullah Ahmed AnNaim (Ed), Human Rights in Cross Cultural Perspective: A Quest for Consensus, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1992, hlm. 81-101.

68 Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan: ‘ perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Lihat juga pasal 71: “pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini …dst”; dan pasal 72:” kewajiban dan tangungjawab pemerintah…., meliputi langkah implementasi yang efektif di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain’.

69 Lihat Pasal 4; hak untuk hidup..dst. adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun,’ dan Pasal 9 ayat (1) UU. 39 Tahun 1999; ‘setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya’. Pasal 33 (1): ‘setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan nyawa’.

70 Lihat Pasal 33 ayat (2) UU.No. 39 Tahun 1999. ‘setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

71 Lihat pasal 4 dan pasal 9 (1), pasal 33 (2)UU No. 39 Tahun 1999.

72 Lihat pasal 4; ‘hak untuk ….tidak disiksa dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apaun dan oleh siapapun’, dan pasal 33 (1) UU No. 39 Tahun 1999; ‘setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya,’dan pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999; ‘setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang’.

73 Presiden B.J. Habibie membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003, yang memuat agenda pemerintahannya dalam penegakan HAM, meliputi pendidikan dan sosialisasi HAM serta program ratifikasi instrumen internasional HAM.

74 Pasal 4 Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa: “Komisi Nasional bertujuan: a. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b. meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.”

75 Pasal 5 Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa: “Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Komisi Nasional melakukan kegiatan sebagai berikut: a. menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional; b. mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya; c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan Negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia; d. mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka mengajukan dan melindungi asasi manusia.

76Dalam UU 39/1999 tentang HAM, masalah Komnas HAM diatur dalam Bab VII, Pasal 75 s.d Pasal 99.

77Lihat Pasal 18 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM

78UU 39/1999 tentang HAM menggunakan istilah “Pelanggaran HAM yang Berat (UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM juga menggunakan istilah yang sama) dan masalah Pengadilan HAM diatur dalam Pasal 104.

79Lihat Pasal 4 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM

80Lihat Pasal 7 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM

81Lihat Pasal 43 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Berkaitan dengan pasal tersebut, pada tanggal 21 Februari 2008 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara No. 18/PUU-V/2007 tentang permohonan Judician Review terhadap UU 26/2000, khususnya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) yang diajukan oleh Eurico Gutteres, terpidana kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur. Putusan MK tersebut telah menghilangkan kewenangan DPR dalam menentukan ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM sebagai syarat dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan sebaliknya, DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan kepada presiden untuk dibentuknya suatu Pengadilan HAM ad hoc. Putusan ini sekaligus pula telah mencabut kewenangan DPR untuk turut campur dalam penyelidikan dan penyidikan mengenai ada tidaknya pelanggaran berat HAM. DPR juga tidak dapat lagi menentukan locus delicti dan tempus delicti dalam perkara pelanggaran HAM. Bahkan, DPR juga tidak dapat menduga-duga ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut, karena melalui putusannya, MK telah menghilangkan kata “dugaan” yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

82 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan ketiga menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebelum perubahan, Pasal ini berbunyi, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Makna perubahan itu menegaskan kedudukan undang-undang sebagai penjamin, sekaligus penjaga kedaulatan rakyat.

83Setidaknya terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961, hlm. 517 – 596.